PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN dan

PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN
(Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama)

Dosen Pengampu

: Sururin, M.Ag

Disusun Oleh :
Asep Syahrul Mubarak

1112011000014

Lia Herliawati

1112011000031

Lola Nurhidayaty

1112011000035

Ummi Hafizhah


1112011000038

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
1436 H/2015 M

1

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah memberikan nikmat
iman, nikmat sehat, nikmat kepercayaan diri sehingga memberikan Kami motivasi
besar dalam penyusunan makalah ini.
Dan shalawat serta salam kepada Nabi besar kita, Nabi akhir zaman, yaitu
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah mengeluarkan kita dari
zaman kegelapan hingga zaman yang terang akan ilmu pengetahuan secara alamiah
dan spiritual kini.
Terima kasih kepada ibu Sururin, M.Ag yang membimbing Kami dalam mata
kuliah Psikologi Agama. Tak lupa Kami ucapkan terima kasih kepada teman dan

rekan-rekan yang hadir membantu dan terlibat dalam pembuatan makalah ini sehingga
selesai tepat waktu.
Selanjutnya Kami akan memaparkan makalah dengan judul Psikologi Agama
dan Kebudayaan. Hal ini bertujan untuk menambah wawasan mengenai keterkaitan
antara ilmu Psikologi Agama dengan kebudayaan masyarakat dari segala aspek dan
dampaknya serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat era globalisasi. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Mei 2015

2

BAB PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan:
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata

budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, berarti “daya dan
budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah
“budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan
“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu sendiri.
Kata “kebudayaan” memiliki persamaan arti dengan kata asing, yakni culture. Kata
kultur berasal dari kata Latin yakni colere yang berarti “mengolah, mengerjakan”
terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai
“segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah
alam”.1 Selanjutnya menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.2
Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi
kehidupan masyarakat, adalah seperangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh
dalam menghadapi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat
dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut.
Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk sebuah sistem yang terdiri
dari satuan-satuan yang berbeda secara bertingkat yang fungsional hubungannya satu
sama lain secara keseluruhan.
Dari hal tersebut terlihat bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan

sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung
kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan

1Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), cet. IX, h. 146.
2Ibid., h. 144.

3

bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat.3

B. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Menurut Parsudi Suparlan, tradisi merupakan sosial budaya yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. 4 Bahkan menurut Prof. Dr. Kasmiran
Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang terbentuk dari bawah,
sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya.5 Sedangkan Meredith McGuire
melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan
mitos dan agama.6
Secara umum tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut
pranata.7 Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan

konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan,
ekonomi, dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat
yang bersangkutan. Para ahli sosiolog menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata
ini dapat dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungan antarperannya maupun
norma-norma yang berkaitan dengan itu.8
Selain pranata sekunder, ada pranata primer yang merupakan kerangka acuan
norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia itu sendiri. Pranata
primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati diri serta kelestarian
masyarakat. Karena itu, pranata primer tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja.
Melihat struktur dan peranan serta fungsinya, pranata primer ini lebih mengakar pada
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pranata primer bercorak menekankan pada

3H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h. 223.
4Ibid., h. 224.
5Ibid., h. 223-224.
6Ibid., h. 224.
7Pranata atau institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus.
Norma/aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku,
sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku,
sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misal dikucilkan).Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta

memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.
8Jalaluddin, loc. cit.

4

pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti
pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan, pertemanan atau persahabatan.9
Mengacu kepada penejalasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk kedalam
pranata primer. Ia sulit berubah, karena didukung masyarakat juga memuat sejumlah
unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan
masyarakat. Tradisi keagamaan pun mengandung nilai-nilai yang sangat penting yang
berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat atau setiap individu pemeluk
agama.10
Menurut Thomas F.O. Dea, agama merupakan aspek sentral dan fundamental
dalam kebudayaan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan pola
kehidupan masyarakat di Indonesia, salah satunya masyarakat Minangkabau yang
dengan tegas mendasarkan kebudayaannya berdasarkan pada nilai-nilai dan norma
Islam. Dalam kehidupan masyarakat Minagkabau dikenal pepatah: “Adat bersendi
Syara’, syara’ bersendi adat. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.” 11
Dalam hal ini nampaklah bahwa agama memegang peranan penting dalam

pembentukan suatu kebudayaan.
Selanjutnya, bila kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman
masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama, perangkat-perangkat yang
berlaku umum dan menyeluruh merupakan norma-norma kehidupan yang cenderung
mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi
keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat
tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat maka akan semakin terlihat peran dominan
agama dalam kebudayaan. Dan hal tersebut berlaku sebaliknya.12

C. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan merupakan kerangka acuan norma yang sudah dianggap baku
dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagai pranata
primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah, karena keberadaannya didukung
9H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 224-225.
10 Ibid., h. 225.
11Ibid.
12Ibid., h. 226.

5


oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati
diri masyarakat pendukungnya.13
Selanjutnya, para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi.
Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu: sistem kebudayaan, sistem
sosial, dan benda-benda budaya. Sedangkan isinya terdiri atas tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan,
religi, dan kesenian. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh normanorma dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Kemudian nilai
dan norma tersebut berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga
terbentuk suatu sistem sosial. Dari sistem ini selanjutnya terwujud pula benda-benda
kebudayaan dalam bentuk benda fisik.14
Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret, dapat
digambarkan melalui proses penyiaran agama hingga terbentuk suatu komunitas
keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara. Pada tahap
pertama, penyebar agama datang dan para pemimpin agama menyampaikan ajaran
kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut berisikan konsep-konsep agama yang
disebut sistem kebudayaan (cultural system). Dalam hal ini terjadi proses transfer
ilmu yang dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif (yang menyangkut
pengetahuan agama). Pada tahap kedua, masyarakat diarahkan kepada bagaimana
melaksanakan ajaran agama. Ilmu yang telah diperoleh diharapkan mampu dilakukan
dengan baik dalam keseharian. Pada tahap ini terlihat bahwa agama sudah mencapai

tingkat sistem sosial (social system). Di tahap selanjutnya, terciptalah benda-benda
keagamaan baik dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama.
Tahap ini merupakan tahap akhir dan telah terwujudsuatu bentuk kebudayaan fisik
(material culture) suatu agama.15
Lingkungan kebudayaan yang bersumber dari ajaran agama ini kemudian
mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakat (khususnya masyarakat Indonesia).
Pada wilayah-wilayah tertentu, sikap keberagamaan ini dipengaruhi oleh agama
Hindu, pada wilayah lain oleh agama Kristen, dan wilayah lain selanjutnya oleh

13H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 226.
14Ibid., h. 226-227.
15Ibid., h. 227-228.

6

agama Islam. Di sini terlihat bagaimana tradisi keagamaan yang telah berlangsung
sejak empat belas abad lalu masih ikut mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.16
Menurut Robert C. Monk, memang pengalaman agama umumnya bersifat
individual. Tetapi pengalaman agama juga senantiasa mendorong seseorang untuk
mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap, tingkah laku, dan

praktik-praktik keagamaan yang dianutnya. Hal inilah yang merupakan sisi sosial
yang menjadi unsur pemelihara dan pelestari sikap para individu yang menjadi
anggota masyarakat. Monk melihat bagaimana hubungan antara sikap keagamaan
dengan tradisi keagamaan. Sikap keagamaan seseorang dalam masyarakat yang
menganut suatu keyakinan agama merupakan unsur penopang bagi terbentuknya
tradisi keagamaan.17
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku
keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi
pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk
sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan
tertentu. Bagaimana pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat
dilihat dari contoh berikut. Seorang muslim dibesarkan di lingkungan keluarga yang
taat akan menunjukkan sikap yang menolak ketika diajak masuk ke Kelenteng, Pure,
atau Gereja. Sebaliknya, hatinya akan tentram saat menjejakkan kakinya di masjid.
Demikian pula seorang penganut agama Katolik, Budha ataupun Hinduakan
mengalami hal yang serupa.18
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari
pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap

keagamaan ini akan turut mempengaruhi cara berfikir, cita rasa, ataupun penilaian
seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Dalam pandangan
Robert C. Monk, tradisi keagamaan memiliki dua fungsi: 1) sebagai kekuatan yang
mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu; dan 2)

16H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 228.
17Ibid., h. 229.
18Ibid., h. 230.

7

sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau individu bahkan dalam situasi konflik
sekalipun.19
Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang
menjadi warisan generasi tua kepada generasi muda. Sebab, pendidikan menurut
HasanLanggulung, dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu
yang diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi seseorang,dan sudut
pandang masyarakat yang merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua
kepada generasi berikutnya.20

D. Agama dan Pembangunan Kebudayaan Masyarakat
1. Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Muti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam
pembangunan adalah:21
a. Sebagai etos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi panutan seseorang atau
masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan
suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya nilai moral tersebut akan
memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak,
sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan yang dilarang
agama dijauhinya dan sebaliknya selalu giat dalam menerapkan perintah
agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang
banyak.Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola
tingkah laku yang ethis. Penerapan agama lebih menjurus kepada perbuatan
yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain. Segala bentuk
perbuatan individu maupun masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang
serasi dengan peraturan dan aturan agama, hingga pada akhirnya akan terbina
b.

suatu kebiasaan yang agamis.
Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan
mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang

126.

19H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 230-231.
20Ibid., h. 231.
21Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet. IV, h. 125-

8

lebih baik. Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang
berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan
imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan
baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi
seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa
pahala bagi kehidupan akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang
taat.Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang
berlandaskan

ganjaran

keagamaan

telah

banyak

dinikmati

dalam

pembangunan, misalnya:
1) Hibah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah
ataupun lembaga pendidikan.
2) Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan
rumah-rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya.
3) Pengarahan tenaga yang terkordinasi oleh pemuka agama dalam
membina gotong royong.

2. Fungsi Agama Dalam Masyarakat22
a. Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka
anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi.Ajaran agama secara
yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.Kedua unsur suruhan dan larangan
ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran
agama masing-masing.
b. Penyelamat
Manusia selalu menginginkan dirinya selamat di mana pun dia
berada.Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan
yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada
penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan
akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para
penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan
kepada Tuhan.
Pelaksanaan pengenalan kepada unsur (zat supernatural) bertujuan agar
dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara langkah
22Ibid., h. 126-129.

9

menuju ke arah tersebut secara praktis dan dilaksanakan dengan berbagai
cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya: mempersatukan diri
dengan Tuhan (panthaisme), pembebasan dan pensucian diri (penebus dosa)
dan kelahiran kembali (reinkarnasi).
Untuk itu dipergunakan berbagai lambang keagamaan.Kehadiran
Tuhan dapat dihayati secara batin maupun benda-benda lambang. Kehadiran
dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadiran
dalam menggunakan benda-benda lambang melalui:
1) Theophania spontanea, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan dapat
dihadirkan dalam benda-benda tertentu seperti tempat angker, gunung,
dan lainnya.
2) Theophania incativa, yaitu kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam
lambang karena dimohonkan, baik melalui invocativa magis (mantera,
dukun) maupun invocativa religius (permohonan, doa, kebaktian dan
sebagainya).
c. Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah
akan segera hilang dari batinnya jika seseorang yang bersalah atau berdosa
tersebut telah menebus dosanya melalui taubat, pensucian atau penebusan
dosa.
d. Kontrol Sosial
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya
terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun
kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma,
sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial
secara individu maupun kelompok, hal ini disebabkan karena dua hal yaitu:
1) agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya; dan 2) agama
secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis
(kenabian).
e. Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa
memiliki kesamaan dalam satu kesatuan iman dan kepercayaan. Rasa
kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun
perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang
kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat
mengalahkan rasa kebangsaan.
10

f. Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan pribadi seseorang atau
kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang
dipeluknya tersebut terkadang mampu mengubah kesetiaannya kepada adat
atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.
g. Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para menganutnya untuk
bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja diperintahkan bekerja
secara rutin dalam pola hidup yang sama, tetapi juga dituntut untuk
melakukan inovasi dan penemuan.
h. Sublimatif
Ajaran agama memperbolehkan segala usaha manusia, bukan hanya
yang bersifat ukhrawi, tetapi juga yang bersifat duniawi.Segala usaha
manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila
dilakukan atas niat yang tulus karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

3. Sikap Keagamaan23
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang
yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama.
Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan
terhadap agama sebagai komponen kognitif, dan persamaan terhadap agama
sebagai komponen aktif, serta perilaku agama sebagai komponen konatif. Di
dalam sikap keagamaan antara komponen kognitif, afektif, dan konatif saling
berintegrasi secara kompleks. Pendidikan agama yang bersifat drissur, dan
menggugah akal serta perasaan memegang peranan penting dalam pembentukan
sikap keagamaan.
Mc. Nair dan Brown (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa
dukungan orang tua berhubungan secara signifikan dengan sikap siswa. Begitu
pun Zakiah Darajat (1988) mengatakan bahwa sikap keagamaan merupakan
perolehan dan bukan bawaan. Ia terbentuk melalui pengalaman langsung yang
23Ibid., h. 131-133.

11

terjadi dalam hubungannya dengan unsur-unsur lingkungan materi dan sosial,
misalnya rumah yang tentram, orang spesial, teman orang tua, jamaah dan
sebagainya.
Walaupun sikap terbentuk karena pengaruh lingkungan, namun faktor
individu tersebut ikut pula menentukan. Menurut Siti Partini pembentukan dan
perubahan sikap dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: 1) faktor internal, berupa
kemampuan menyeleksi dan mengolah atau menganalisis pengaruh yang datang
dari luar, termasuk minat dan perhatian; dan 2) faktor eksternal, berupa faktor di
luar diri individu yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.
Dengan demikian walaupun sikap keagamaan bukan merupakan bawaan akan
tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor internal dan
eksternal individu. Pembentukan sikap keagamaan pun mempengaruhi sikap
kebudayaan di lingkungannya, seoerti sikap fanatis, sikap toleran, sikap pesimis,
sikap aptimis, sikap tradisional, sikap modern, sikap fatalisme dan sikap free will.
Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif dan dampak positif dalam
meningkatkan kehidupan individu dan masyarakat.
Salah satu contohnya dapat kita lihat betapa indahnya sikap seorang muslim
yang diajarkan Islam bahwa setiap penganutnya harus berusaha sekuat tenaga
untuk menuntut perbaikan hidupnya did dunia, karena kebahagiaan hidup di
dunia (yang diridhai-Nya) sebagai jembatan untuk tercapainya kebahagiaan hidup
di akhirat. Sikap yang seperti itu memacu pemeluk agama untuk berpartisipasi
aktif dalam membangun kebudayaan serta peradaban bagi masyarakat pada
zamannya.

E. Kebudayaan dalam Era Global dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
Era global umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang
menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia antarnegara menjadi mudah
berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik, karena alat transportasi bukan
penghambat bagi manusia melewati ke berbagai tempat di bumi ini; ataupun melalui
pemanfaatan perangkat komunikasi. Selain itu, era global merupakan era yang
ditopang oleh kemajuan teknologi yang menjadikan manusia seakan hidup dalam satu
12

kota, kota dunia. Batas negara sudah tidak jadi penghalang bagi manusia untuk saling
berhubungan. Kehidupan manusia era global saling mempengaruhi sehingga segala
sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa tertentu akan terangkat
menjadi milik bersama.24
Dibalik hal tersebut, menurut David C. Korten, ada tiga krisis yang akan dihadapi
manusia secara global. Krisis tersebut yaitu: kemiskinan, penanganan lingkungan
yang salah serta kekerasan sosial. Gejala tersebut akan menjadi mimpi buruk
kemanusiaan abad ke-21. Selanjutnya, bukan hanya krisis tersebut, namun manusia
akan dihadapkan dengan banyak permasalahan yang bersifat global.25
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak globalisasi itu dapat dilihat
melalui hubungan dengan perubahan sikap. Menurut Osgood dan Tannenbaum
perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau
masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi
dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka
mereka akan menerimanya. Selanjutnya, menurut teori Festinger, bahwa perubahan
seakan terjadi apabila terjadi keseimbangan kognitif (pengetahuan) terhadap
lingkungannya. Dengan demikian, perubahan sikap dari seseorang atau masyarakat
akan terjadi apabila menurut pengetahuan mereka, kemajuan teknologi yang
dialaminya di era globalisasi sejalan dengan pengetahuan dan pemikiranya. Pada garis
besarnya, proses perubahan sikap tersebut dapat digambarkan melalui dua jalur, yaitu
proses rasional dan proses emosional.26
Proses rasional diawali oleh adanya perhatian, pemahaman, penerimaan, dan
berakhir pada keyakinan. Sedangkan proses emosional berawal dari perhatian,
simpati, menerima, dan berakhir pada minat. Mengacu pada kedua proses tersebut,
dapat dipahami bahwa sesuatu berawal dari tingkat perhatian. Dalam hal inilah
barangkali dapat terlihat hubungan antara pengaruh kebudayaan dalam era globalisasi
dengan pembentukan jiwa keagamaan.27
Menurut pendekatan psikologi, keterikatan terhadap tradisi keagamaan lebih tinggi
terjadi pada orang yang sudah berusia lanjut daripada generasi muda. Dalam hal ini,
24H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h. 231-232.
25Ibid., h. 232.
26H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 234.
27Ibid., h. 235.

13

usia memiliki pengaruh. Selanjutnya dapat menunjukkan bahwa perubahan sikap
terhadap perubahan yang terjadi akan lebih mudah terjadi di kalangan generasi muda.
Kecenderungan tersebut tampak pada proses perubahan sikap generasi muda di tanah
air terhadap berbagai tradisi keagamaan. Perayaan tahun baru (1 Januari) setiap tahun
tampaknya sudah bukan lagi dianggap sebagai tradisi keagamaan dari agama tertentu,
melainkan dianggap sebagai perayaan nasional. Hal ini mengisyaratkan terjadinya
pelunturan norma-norma dan nilai-nilai keagamaan di kalangan generasi muda.
Tradisi keagamaan cenderung ditanggapi tanpa disertai emosi dan rasio keagamaan.
Nilai-nilai kebudayaan yang bersumber dari ajaran suatu agama beralih menjadi nilainilai sosial. Hal ini menunjukan terjadinya pergeseran nilai dari sakral ke nilai
profane.28 Dari hal ini dapat kita pahami bahwa kebudayaan di era global dapat
membuat jiwa keberagamaan seseorang itu menurun terutama di kalangan generasi
muda.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai
sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan, khususnya
di kalangan generasi muda. Paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak: 1)
muncul sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama; dan 2)muncul sikap
fanatik keagamaan. Sikap toleransi dijumpai di kalangan kelompok yang disebut
moderat, sedangkan sikap fanatik sering diidentikkan dengan kelompok fundamental.
Kedua hal ini menurut pendekatan psikologis berisi ciri-ciri kepribadian introvet dan
ekstrovet. Gejala kejiwaan yang dimiliki orang-orang yang introvet lebih bersifat
tertutup terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan ekstrovet lebih bersifat terbuka
dan mudah menerima.29
Era global memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan
perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau
tidak mau, siap tidak siap perubahan itu diperkirakan akan terjadi. Di kala itu,
manusia dihadapkan pada peradaban umat manusia. Sedangkan di sisi lain manusia
dihadapkan kepada malapetaka sebagai dampak perkembangan dan kemajuan
modernisasi dan perkembangan teknologi itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh
David C. Korten. Dalam kondisi yang seperti itu, manusia akan mengalami konflik
batin secara besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan
28Ibid., h. 235-236.
29H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 236.

14

antara kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan
ruhani.30
Kehidupan manusia di era global mengacu pada kehidupan kosmopolitan (warga
dunia). Batas geografi negara seakan melebur, terjadi proses lintas budaya yang cepat,
kemudahan transportasi, dan cepatnya informasi diketahui banyak orang. selain itu
globalisasi juga melahirkan pandangan serba boleh. Apa yangsebelumnya dianggap
tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara nilai-nilai tradisional
mengalami penggerusan. Manusia mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan
mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya yang di
dalamnya termasuk tradisi dari ajaran agama. Dilain pihak, manusia juga ditawarkan
kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menawarkan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Dari hal-hal tersebut, manusia
dihadapkan pada kondisi yang dapat menimbulkan keraguan dan kecemasan.31
Dalam

kondisi

global

yang

demikian,

diperkirakan

memunculkan

tiga

kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Pertama,
berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderunganke
tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan ketiga, adalah munculnya gerakan
sempalan yang mengatasnamakan agama.32
Meski banyak memunculkan kecemasan-kecemasan pada dasarnya globalisasi
disamping memberikan ancaman -seperti merebaknya konsumerisme, materialisme,
hedonisme, sekularisme, mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemewahan yang tidak semestinya, foya-foya, pergaulan bebas, kebudayaan
kekerasan, pornografi, porno aksi, dan semacamnya yang dapat berasal dari dunia
film, media cetak, televisi, dan internet- juga memiliki pengaruh positif. Pengaruh
positif dalam arti globalisasi membawa serta peradaban luar yang ditengarai
berkontribusi bagi kehidupan manusia. Hal-hal positif itu misalnya budaya disiplin,
kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, budaya kompetisi, kerja keras,
penghargaan terhadap orang lain, demokrasi, jujur, optimis, mandiri, taat aturan dan
sebagainya.33
30Ibid., h. 237.
31H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 238.
32Ibid., h. 239.
33Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. IV, h. 90.

15

Selanjutnya, dampak daripada globalisasi pada keberagamaan seseorang yakni
dapat dipahami dalam pembahasan berikut.
1. Agama Budaya dan Budaya Agama
Pada umumnya pembagian agama dibagi menjadi dua, yaitu agama samawi
(langit) dan agama budaya. Agama samawi bersumber dari Kitab Suci yang
ajarannya disampaikan oleh para Rasul (Utusan Tuhan), yakni termasuk
diantaranya agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.
sedangkan yang dimaksud dengan agama budaya adalah agama yang lahir dari
pemikiran atau perkembangan budaya manusia. Kepercayaan terhadap
“sesuatu” yang melahirkan sistem kepercayaan yang secara umum disebut
“agama”, sejauh ini sebagian besar pengalaman manusia, lebih banyak
berdasarkan atau berpusat pada legenda dan mitologi.
Selo Soemardjan sebagai pakar sosiologi menyatakan bahwa agama memang
bersumber dari ajaran Ilahi. Namun bila sudah diimplementasikan dalam
kehidupan manusia, maka ia menjadi bagian budaya. Maka sejalan dengan hal
ini, budaya digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) budaya iptek, adalah budaya
yang lahir dari ilmu pengetahuan dan tekonologi, contohnya bangunan gedung;
dan 2) budaya agama, adalah budaya yang lahir dari nilai-nilai ajaran agama,
contohnya bangunan rumah ibadah serta proses ibadah.
Setelah memahami dua hal ini, maka seharusnya acara keagamaan dapat
dibedakan dari acara formal yang non-agama dan murni budaya. Acara
keagamaan, lazimnya mengandung unsur sakral hingga mereka yang terlibat
dapat merasakan khidmat. Namun dalam kehidupan masyarakat modern
tampaknya perbedaan itu sudah kian menipis. Contohnya acara peringatan
maulid Nabi terkesan dianggap sebagai acara yang bersifat rekreatif. Kondisi
masyarakat Hindu di Bali pun tak jauh beda, upacara keagamaan sebagian besar
mengarah ke atraksi pariwisata. Bahkan dalam skala global, batas antara budaya
agama dan non-agama sudah melebur. Masyarakat dunia cenderung sudah tidak
memperhatikan nilai-nilai sakral yang melatarbelakangi budaya agama, salah
satunya Valentine’s Day yang dipercaya bersumber dari tradisi agama Kristen
tetapi diterima oleh masyarakat kota-kota besar dunia, terutama kalangan
remaja. Gejala ini menampilkan kecenderungan baru masyarakat global, yaitu:
1) ada kecenderungan ingin melepaskan diri dari ikatan nilai-nilai agama

16

formal; dan 2) kemungkinan bahwa masyarakat global yang kosmopolitan mulai
mengidap ‘kegersangan spiritual’.34
2. Sentimen Keagamaan
Secara etimologis, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau
pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu
yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran.Sebagai gejala psikologis,
sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap
sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang
ada.Ataupun dianggap melecehkan sistem nilai yang oleh pendukungnya
dianggap sebagai sesuatu yang benar dan perlu dipertahankan.Sentimen
berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan, yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan reaksi.35
Sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama dikaitkan dengan nilai-nilai
kekudusan.Didalamnya termuat segala sesuatu yang dianggap suci oleh
penganutnya.Nilai-nilai kesucian tersebut mencakup unsur ghaib yang
berhubungan dengan sembahan, tokoh, sumber ajaran, perangkat, tempat, serta
aktivitas.36
Keyakinan agama mencakup komitmen terhadap pemeliharaan nilai-nilai
kesucian yang diimani para pemeluk agama.Nilai-nilai yang wajib dijaga,
dipertahankan dan diperjuangkan oleh penganutnya. Oleh karena itu, pelecehan
dalam bentuk apapun, terhadap nilai-nilai kesucian ini akan melahirkan
sentimen keagamaan.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok manusia suci, panutan utama bagi kaum
Muslimin. Apabila ada perilaku yang dianggap melecehkan atau menghina
RasulSAW, pasti akanmenyulut reaksi para pengikutnya. Perilaku yang tidak
wajar terhadap tokoh suci yang diagungkan ini, secara psikologis akan
menumbuhkan solidaritas masyarakat Muslim sebagai umat dan pengikut Rasul
SAW. Reaksi spontan ini akan menampilkan semacam sentimen agama.
Dalam menyikapi kasus-kasus serupa ini, Departemen Agama dan para tokoh
agama memiliki peran dan fungsi penting.Sebagai instansi, Departemen Agama
diberi wewenang untuk membuat kebijakan terkait peraturan kehidupan umat
beragama.Sedangkan tokoh agama sebagai pemimpin kharismatik diharapkan
dapat memberikan fatwa yang dinilai arif dan menyejukkan. Dengan
34 H. Jalaluddin, Psikologi Agama…, h. 240-243.
35Ibid., h. 244.
36Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. IV, h. 90.

17

memberikan

pemahaman

nilai-nilai

ajaran

agama

yang

benar,

serta

pembentukan akhlak, dihrapkan umat beragama akan menjadi semakin
kedewasaan beragama.
3. Kegersangan Spiritual
Perkembangan peradaban manusia, ibarat gerbong yang melitas di rentanan rel
zaman. Menempuh perjalanan dari suatu kurun ke kurun waktu sejak Zaman Kuno.
Mulai dari peradaban Assyria, Babylonia, India, dan Cina kaya akan nilai-nilai
spiritualisme. Awal-awalnya peradaban Yunani Kuno yang dipengaruhi mitologisme tak
jauh berbeda. Setelah munculnya filsafat rasionalisme, hingga melintasi kurun Abad
Pertengahan, gerbong peradaban dimuati rasionalisme-spiritualisme. 37
Saat melintasi Abad Modern, gerbong yang melintas sudah dipengaruhi muatan baru.
Nilai-nilai spiritualisme “tercecer” dan tak mampu bersaing dengan raionalisme-empiris
dengan produk ipteknya. Produk dalam wujud materi memberi pelayanan baru bagi
kehidupan manusia dan kesejahteraan material. Kehidupan manusia secara fisik menjadi
lebih aman, mudah, nyaman, dan sekaligus menjanjikan.38
Manusia pada hakikatnya terbangun dari tiga dimensi, yakni fisik, mental dan
spiritual. Kesejahteraan dan keharmonisan hidup manusia akan tercapai jika ketiga
dimensi ini memperoleh kebutuhan, serta periaku yang sama dan berimbang.
Keharmonisan tersebut ditandai dengan kebugaran fisik, kecerdasan akal, kepekaan
emosional dan ketentraman batin.
Fisik bersifat materi yang teracik dari unsur-unsur kimiawi. Kebugaran fisik dapat
dipenuhi melalui asupan makanan dan minuman yang secara kimiawi memenuhi unsur
gizi, empet sehat, lima sempurna.39Dimensi mental bersifat psikologis dengan komponen
kognisi (pikir), emosional (rasa), dan konasi (kemauan). Kebugaran mental hanya
mungkin dicapai, bila ketiga komponen dimaksud memperoleh pelakuan yang
berimbang. Pencerdasan pikiran, penghalusan rasa, serta penguatan kamauan. 40
Berbeda dengan kedua dimensi tersebut, kebugaran spiritual terkait dengan nilai-nilai
iman. Dalam pendekatan spiritual, manusia adalah makhluk beragama (homo religius).
Manusia memiliki fitrah, berupa dorongan ketundukan kepada Sang Pencipta. Fitrah
yang berupa potensi ini disebut fitrah majbulah. Untuk mengembangkannya, ia
membutuhkan bimbingan dan arahan yang sejalan dengan fitrah itu sendiri. Paket
bimbingan dan arahan ini adalah nilai-nilai ajaran agama. 41
Ajaran agama yang oleh Sang Pencipta didelegasikan melalui Rasul-Nya (utusan),
disebut fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan). Sebagai potensi, fitrah majbulah juga
37Ibid, h. 252.
38Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. IV, h. 90.
39Ibid.
40H. Jalaluddin, Psikologi Agama..., h. 253.
41
Herimanto dan Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar..., h. 90.

18

perlu dibugarkan. Bila dibiarkan ia akan mengalami kegersangan spiritual. Kebugaran
spiritual pada hakikatnya adalah upaya menyelaraskan antara fitrah majbulah dengan
fitrah munazzalah. Pada puncaknya keselarasan ini akan membawa manusia pada kondisi
kehidupan batin yang tentram. Menjadikan manusia bisa menemukan jati dirinya. Sadar
akan dirinya sebagai makhluk ciptaan. Sebagai hamba. Bukan penguasa. 42

Selanjutnya, kegersangan spiritual dapat menimbulkan “cacat nurani”,
diantaranya yakni:
a. Megalomania, dapat menjadikan manusia lupa diri akibat rangkaian
kemenangan yang diperoleh, merasa perkasa dan gila kekuasaan. Hal ini
menjadikan dirinya sebagai “agama” baru, keunggulan produknya bagaikan
“fatwa”.43 Contoh sosok megalomania antara lain Adolf Hitler, Saddam
Hussein, dan George Walker Bush.
b. Keserakahan, menjadikan manusia semakin haus dan tak pernah puas
dengan apa yang dimilikinya. Mereka berlomba-lomba mendapatkan hasil
yang banyak dan memperkaya diri dengan cara apapun, sementara nilainilai moral terabaikan. Tanpa memiliki kekayaan manusia merasa
kehilangan harga diri, sehingga terdorong melakukan manipulasi ataupun
korupsi.44
c. Manusia Robot, mengubah perilaku manusia yang terkendali secara
mekanisme, meniru perilaku orang lain yang dijadikan sosok idola sehingga
kehilangan jati diri. Selain itu pula menjadikan manusia pengagum
teknologi dan aktifitas kehidupannya terpaku ke perangkat teknologi yang
hampa akan nilai-nilai.
d. Euforia Masal, mendorong manusia menemukan teman senasib dan
sepenanggung untuk melakukan segala aktifitas kehidupan selama dapat
mengobati kegundahan batin. Tak heran berbagai klub bermunculan di kotakota yang sudah terlanda peradaban modern.

42Ibid.
43H. Jalaluddin, Psikologi Agama..., h. 254.
44Ibid., h. 255.

19

DAFTAR PUSTAKA

Djalaluddin, dan Ramayulis.Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. IV,
1998.
Herimanto, dan Winarno.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2010.
Jalaluddin, H.Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. XIV, 2010.
Koentjaraningrat.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. IX, 2009.

20

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2