laporan pendahuluan kanker rektum di

A. Latar Belakang
Karsinoma kolorektal yang merupakan kanker pada kolon atau rektum
merupakan keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua
terbanyak (terlepas dari gender) di Amerika Serikat (PBPK Kolorektal, 2012). Dari
data Globocan 2012, insiden kanker kolorektal di Indonesia adalah 12,8 per 100.000
penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker.2 Di
Indonesia, kanker kolorektal sekarang menempati urutan nomor 3 (GLOBOCAN
2012), kenaikan tajam yang diakibatkan oleh perubahan pada diet orang Indonesia,
baik sebagai konsekuensi peningkatan kemakmuran serta pergeseran ke arah cara
makan orang Barat (westernisasi) yang lebih tinggi lemak serta rendah serat.
Melihat kasus diatas, mencegah terjadinya kanker penting dilakukan. Sebagai
salah satu tenaga kesehatan, penting mengetahui proses penyakit kanker kolorektalini
sehingga saat merawat pasien dengan keluhan kanker kolorektal dapat diberikan
intervensi yang tepat.
B. Pengertian
Kanker rektal adalah suatu tumor malignan yang muncul dari jaringan epitel dari
rectum (Smeltzer, 2002). Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel
(proliferasi) yang tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh
(proliferasi abnormal).
Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik.
Non-neoplastik dibagi atas:

1. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal karena
bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu misalnya kehamilan.
2. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran organ
tanpa ada pertambahan jumlah sel.
3. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah menjadi tipe
yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang terspesialisasi.
4. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel abnormal yang
mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Perubahan yang termasuk dalam hal ini
terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel abnormal pada jumlah besar
dan tendensi untuk tidak teratur.
C. Etiologi
Etiologi kanker kolorektal hingga saat ini masih belum diketahui, Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker
kolorektal. Mutasi dari gen APC adalah penyebab familial adenomatosa poliposis
(FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100% mengembangkan
kanker usus besar pada usia 40 tahun (Tomislav Dragovich, 2014).
Banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal,
diantaranya
adalah :
 Diet tinggi lemak, rendah serat.

 Usia lebih dari 50 tahun.

 Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
 Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome. Pada semua
pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi kanker
rektum.
 Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome, PeutzJeghers
 syndrome dan Muir syndrome.
 Terjadi pada 50 % pasien kanker kolorektal herediter nonpolyposis.
 Inflammatory bowel disease.
 Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun).
 Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat.
D. Patofisiologi
Umumnya kanker rektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip
adenoma. Insiden tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih
terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak
terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin
sudah menyebar ke dalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan organ-organ
yang berdekatan. Kanker rektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling

permukaan usus, submukosa dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan seperti
hepar, kurvatura mayor, lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran
genitourinari dan dinding abdomen juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastase ke
kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak
selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional
masih normal (Price, 2006). Sel-sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar
melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paruparu, otak, tulang dan ginjal. Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala
hingga tahap lanjut karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum
muncul gejala (Price, 2006). Manifestasi tergantung pada lokasi, tipe dan perluasan
serta komplikasi. Perdarahan sering sebagai manifestasi yang membawa pasien datang
berobat. Gejala awal yang lain sering terjadi perubahan kebiasaan buang air besar,
diare atau konstipasi. Karekteristik lanjut adalah nyeri, anoreksia dan kehilangan berat
badan. Mungkin dapat teraba massa di abdomen atau rektum. Biasanya pasien tampak
anemis akibat dari perdarahan. Prognosis kanker kolorektal tergantung pada stadium
penyakit saat terdeteksi dan penanganannya. Sebanyak 75 % pasien kanker kolorektal
mampu bertahan hidup selama 5 tahun. Daya tahan hidup buruk / lebih rendah pada
usia dewasa tua . Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal : (1)
obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi; (2) perforasi dari
dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi dari rongga peritoneal oleh isi usus; (3)
perluasan langsung tumor ke organorgan yang berdekatan.

The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging
system yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).
1. Stadium 0

2.

3.

4.

5.

Kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rectum yaitu pada mukosa
saja. Disebut juga carcinoma in situ.
Stadium I
Kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar ke bagian terluar
dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
Stadium II
Kanker telah menyebar keluar rektum ke jaringan terdekat namun tidak menyebar

ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
Stadium III
Kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar ke bagian
tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
Stadium IV
Kanker telah menyebar ke bagian lain tubuh seperti hati, paru atau ovarium.
Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 2. Stadium Ca. Rektum
E. Tanda Gejala
Gejala dan tanda dini kanker kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat
penyebaran. Kanker kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi
seperti konstipasi. Makin ke distal letak tumor feses makin menipis atau seperti
kotoran kambing, atau lebih cair disertai darah atau lendir. Perdarahan akut jarang
dialami, demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Pada
obstruksi penderita merasa lega saat flatus (Price, 2005).
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker kolorektal antara lain ialah:
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam.

2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.
4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada
perut atau nyeri.
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya.
6. Mual dan muntah.
7. Rasa letih dan lesu.

8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah
gluteus
F. Pemeriksaan Penunjang
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba menunjukan
keadaan sudah lanjut. Massa pada sigmoid lebih jelas teraba daripada massa di bagian
lain kolon. Karena kanker kolorektal sering berkembang lamban dan penanganan
stadium awal sangat dibutuhkan, maka organisasi kanker Amerika merekomendasikan
prosedur skrining rutin bagi deteksi awal penyakit. Rekomendasinya sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rektal tusse untuk semua orang usia lebih dari 40 tahun.
2. Test Guaiac untuk pemeriksaan darah feses bagi usia lebih dari 50 tahun.
3. Sigmoidoskopi tiap 3-5 tahun untuk tiap orang usia lebih dari 50 tahun.


Gambar
1. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rektum
Mengenai diagnosis kanker kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan
kontras ganda (De Jong, 2005). Pasien dengan dugaan kanker kolorektal dapat
dilakukan prosedur diagnostik lanjut untuk pemeriksaan fisik. test laboratorium,
radiograpi dan biopsi untuk memastikan.
Test laboratorium yang dianjurkan sebagai berikut :
1. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik ditandai dengan
sel-sel darah merah yang kecil tanpa terlihat penyebab adalah indikasi umum
untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker rektal.
2. Test Guaiac pada feses untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feses, karena
semua kanker rektal mengalami perdarahan intermitten.
3. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Karena tes ini
tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada lebih dari separuh pasien
dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam skrining atau test diagnostik
dalam pengobatan penyakit. Ini terutama digunakan sebagai prediktor pada

4.


5.

6.

7.

prognosis postoperatif dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan
pembedahan.
Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meningkat, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium dan kreatinin.
Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya dan
lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam usus
bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus, konstriksi atau
gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor dan pola mukosa normal
hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata
dalam mendeteksi rektum
CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI) atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah mengenai

organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
Endoskopi (sigmoidoskopi atau kolonoskopi) adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor. Sekalian dilakukan biopsi
jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50-65% dari kanker
kolorektal. Pemeriksaan endoskopi dan kolonoskopi direkomendasikan untuk
mengetahui lokasi dan biopsi lesi pada pasien dengan perdarahan rektum. Bila
kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak
dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah, ulseratif sentral, seperti
penyakit divertikel, ulseratif kolitis dan penyakit Crohn’s (Smeltzer, 2002)

G. Pathway

H. Pengkajian
Riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah :
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
– Kelemahan, keletihan, kelelahan
– Perubahan pola istirahat/tidur malam hari; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
tidur, misalnya: nyeri, ansietas dan berkeringat malam hari
– Pekerjaan/profesi dengan pemajaan karsinogen lingkungan, tingkat stress tinggi

2. Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada aktivitas
Tanda : Dapat terjadi perubahan denyut nadi dan tekanan darah
3. Integritas Ego
Gejala :
– Faktor stress
– Masalah terhadap perubahan penampilan
– Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak
bermakna, rasa bersalah, kehilangan control, depresi
Tanda : Menyangkal, menarik diri
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada saat defekasi
Riwayat kesehatan diambil untuk mendapatkan informasi tentang :
1. Perasaan lelah
2. Nyeri abdomen atau rectal dan karakternya (lokasi, frekuensi, durasi, berhubungan
dengan makan atau defekasi)
3. Pola eliminasi terdahulu dan saat ini
4. Deskripsi tentang warna, bau dan konsistensi feses, mencakup adanya darah atau
mucus.
5. Riwayat penyakit usus inflamasi kronis atau polip kolorektal

6. Riwayat keluarga dari penyakit kolorektal dan terapi obat saat ini
7. Kebiasaan diet ( masukan lemak, serat & konsumsi alcohol ) juga riwayat
penurunan BB.
Pengkajian objekif meliputi :
1. Auskultasi abdomen terhadap bising usus
2. Palpasi abdomen untuk area nyeri tekan, distensi, dan massa padat
3. Inspeksi specimen terhadap karakter dan adanya darah
I. Diagnosa Keperawatan (NANDA, 2014)
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketunadayaan fisik kronis
2. Konstipasi berhubungan dengan defekasi tidak teratur dan kurang serat
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
4. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
J. Fokus Intervensi
1. Nyeri Kronis
Intervensi

Rasional

1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif.
2. Observasi reaksi nonverbal dan
ketidaknyamanan.
3. Monitor vital sign
4. Gunakan
teknik
komunikasi
teurapeutik
untuk
mengetahui
pengalaman nyeri.
5. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengearuhi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri
7. Ajarkan teknik nonfarmakologi :
napas
dalam
dan
distraksi
(mendengarkan murotal)
8. Tingkatkan istirahat
9. Berikan
kolaborasi
terapi
farmakologi (analgesik).

1. Untuk mengetahui kondisi pasien
secara komprehensif.
2. Untuk mengetahui kondisi nyeri
pasien
3. Untuk memantau kondisi pasien
4. Untuk mengetahui nyeri pasien.
5. Untuk menurunkan nyeri
6. untuk menentukan intervensi
7. untuk menurunkan nyeri, karena
dengan terapi nonfarmakologi dapat
meningkatkan relaksasi sehingga
ketegangan otot dan raas nyeri dapat
menurun
8. untuk menurunkan nyeri, terdapat
hormon serotonin saat tidur yg dapat
memblok nyeri
9. untuk menurunkan nyeri

2. Konstipasi
Intervensi
Rasional
1. Monitor tanda dan gejala konstipasi
1. Untuk mengetahui konstipasi pada
2. Monitor bising usus
pasien
3. Monitor defekasi, karakteristik feses,
2. Bising usus kurang dari 12x.menit
frekuensi, konsistensi dan volume
dapat
mengakibatkan
atau
feses
menandakan aadnya konstipasi
4. Mendorong meningkatkan asupan
3. Untuk
mengetahui
progress
cairan kecuali kontraindikasi
intervensi untuk konstipasi
5. Identifikasi bersama pasien penyebab
4. Cairan
dapat
menurunkan
konstipasi
konsistensi feses yang keras
6. Menganjurkan pasien atau mendorong
5. Untuk mencegah konstipasi
keluarga untuk mengingaktkan pasien
6. Serat dapat memudahkan feses
untuk diet tinggi serat tinggi
keluar dari anus, sehingga dapat
karbohidrat dan tinggi protein,
menurunkan nyeri saat defekasi
minimalisir konsumsi lemak
3. Intoleransi Aktivitas
Intervensi
Rasional
1. Observasi pembatasan aktivitas 1. Untuk tahu batas kemampuan
pasien
aktivitas pasien.
2. Kaji penyebab intoleransi
2. Agar pasien tidak kelelahan.
aktivitas dan menentukan apakah
3. Untuk meningkatakan energi pada
penyebab dari fisik,
pasien
psikis/motivasi.
4. Tidur dapat meningkatkann energi

3. Memonitor nutrisi dan sumber
energi yang adekuat
4. Monitor pola tidur
5. Monitor
hasil
lab
yang
berhubungan dengan energi (Hb,
Ht, elektrolit)
6. Pilih
aktivitas
yang
tidak
memakan banyak energi
7. Kaji kesesuaian aktivitas &
istirahat pasien sehari-hari.
8. Tingkatkan aktivitas secara
bertahap, biarkan pasien
berpartisipasi dapat perubahan
posisi, berpindah & perawatan diri
9. Pastikan pasien mengubah posisi
secara bertahap. Monitor gejala
intoleransi aktivitas
10. Ketika membantu pasien
bergerak/beraktivitas, observasi
gejala intoleransi spt mual, pucat,
pusing, gangguan kesadaran &
tanda vital
11. Edukasi tentang teknik
memanagemen waktu dan
aktifitas untuk mencegah
kelelahan
12. Dampingi pasien untuk mengatur
prioritas kegiatan sesuai dengan
level energi
13. Bantu pasien mengidentifikasi
aktivitas yang dapat dilakukan
14. Bantu pasien memaknai atau
manfaat dari aktivitas yang masih
bisa dilakukan
15. Bantu pasien dan keluarga untk
menentukan kegiatan yang aman,
mudah dilakukan dan
tidak
terlalu melelahkan
16. Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual
17. Monitor RR pasien, TD, suhu.
18. Kaji kemampuan mobilitas pasien
19. Ajarkan pasien untuk sering
melakukan perubahan posisi di

pada pasien
5. Monitoring hematologi pada pasien
6. Untuk mencegah terjadinya kelelahan
pada pasien
7. Managemen energi
8. Agar pasien lebih percaya diri dalam
melakukan aktifitas
9. Untuk mengetahui perkembanga
aktivitas yang dapat dilakukan
10. Supaya mengetahui apabila terdapat
respon yang tidak normal
11. Mengetahui batas toleransi pasien
terhadap aktivitas
12. Supaya dapat dilakukan latihan
lanjutan
13. mengidentifikasi kegiatan yg dapat
dilakukan
14. supaya toleransi aktivitas pasien
meningkat dan tidak mengalami
kemunduran
15. Mencegah risiko jatuh
16. Supaya terdeteksi batas toleransi
pasien
17. Mengetahui keterbatasan aktivitas
yang dapat dilakukan
18. Supaya
pengetahuan
pasien
bertambah
terkait
manajemen
aktifitas
19. Meningkatkan aktivitas pasien secara
mandiri

bed dengan usaha mandiri

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi
Rasional
1. Pertahankan tirah baring selama
1. Menurunkan
kebutuhan
fase akut/pasca terapi
metabolik
untuk
mencegah
2. Bantu
perawatan
kebersihan
penurunan kaloridan simpanan
ronggamulut (oral hygiene).
energi.
3. Berikan diet TKTP, sajikan dalam
2. Meningkatkan kenyamanan dan
bentuk
yang
sesuai
selera makan.
perkembangankesehatan
klien
3. Asupan kalori dan protein tinggi
(lunak, bubur kasar,nasi biasa)
perlu
diberikan
untuk
4. Kolaborasi pemberian obat-obata
mengimbangi
sesuai indikasi
statushipermetabolisme
klien
5. Bila perlu, kolaborasi pemberian
keganasan
nutrisi parenteral
4. Pemberian preparat zat besi
danvitamin
B12
dapat
mencegahanemia;
pemberian
asam folatmungkin perlu untuk
mengatasidefisiensi
karen
amalbasorbsi
5. Pemberian
peroral
mungkindihentikan
sementara
untuk mengistirahatkan saluran
cerna
K. Daftar pustaka
Gale, Danielle & Charette, Jane, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi,
EGC, Jakarta.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.
Kozier, B., Berman, A.and Shirlee J. Snyde. 2010. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep Proses dan Praktik Volume 1. Edisi ke-7. Dialih
bahasakan oleh Pamilih Eko Karyuni. Jakarta : EGC.
PBPK Kolorektar, 2012, Kanker Kolorektal. Jakarta : Kemenkes.
Price, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses–
Proses Penyakit Vol. 1, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Vol. 2, Edisi 8, EGC, Jakarta