Mangku tak sudi mati di tanah tumpah dar

Mangku tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan,
hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya
akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang
buatnya adalah angan-angan yang jauh. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa
tentulah mungkin. Dan, itu sudah jauh lebih mulia daripada kematian ayahnya.
Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh
merampas tanah tuan tanah dan membagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Huruhara politik pun menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki
roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing
untuk merebut kembali tanah mereka.
Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan
bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula air mata.
Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam
lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya jadi juru selamat. Pemilik tanah
membiarkannya menempati gubuk orangtuanya. Dia jadi pembantu di rumah tuan tanah itu.
Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebar
pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan,
sementara Ayah dan Ibunya menggarap lahan dengan gairah seorang petani sejati. Bayangbayang itu kemudian mengabur jadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Dia
mimpi tentang hari tuanya di daratan yang jauh dan pulang ke kayangan dengan sebuah doa.
Meski tak selesai sekolah dasar, dia tahu ada daratan bernama Lampung, di mana orang Bali
membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi
doa sederhana oleh orang Bali sejati.

Sejak lama dia kumpulkan keterangan tentang Sumatera, yang menjadi kembang impiannya,
termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang kernet bus
jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi,

peta itulah yang menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkannya di
lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan
tempat tinggalnya dengan Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik
garis lurus dari desanya ke Pelabuhan Bakauheuni. Seribu dua ratus kilometer! Ah…! Biasanya,
dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh
dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya
berkesudahan dengan tidur yang lelap.
Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas feri yang akan membawanya
menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan
air yang memisahkan Sumatera dan Jawa. Dia gentar karena yang akan dia arungi anak samudra,
bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya.
Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk
tekad siap mati. Mangku berbulat hati berangkat berbekal tabungan bertahun-tahun: seekor
anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit
imitasi berisi pakaian dan sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit.
Sebesar apa, setinggi mana pun menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung

Agung bukan apa-apa. Lereng, apa lagi puncaknya, tak tampak. Selepas berdoa bagi keselamatan
dirinya dan kedua sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing
Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, dia keluar menggendong kera, dengan tas
jinjing di tangannya. Angin menyapu punggung mereka.
Begitulah pengembaraan itu dimulai, tanpa pamit kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan
dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai
ayahnya. Buat Mangku, yang ingin mati terhormat, risi rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu.
Terasa seperti beribu mata yang terus mengawasi kalau-kalau dia membalas dendam atas
kematian ayahnya. Badai perasaan itu lebih baik diakhiri dengan diam-diam, tanpa basa-basi,
pikirnya.
Malam pekat dan dingin mengarak Mangku, anjing, dan keranya mengendap-endap
meninggalkan desa.

Manakala kunang-kunang terakhir membungkamkan pancaran fosfor dari tubuhnya untuk
menyambut terang tanah, Mangku dan teman sepengembaraan tiba di tepi jalan beraspal. Kilau
lampu mobil membuat jantungnya berdentam. Itulah bus yang dia tunggu. Sedikit gugup, dia
mengacungkan tangan. Bus mendekat, berhenti beberapa depa dari tempatnya berdiri.
Bali tempat dewa bersemayam. Apa pun yang keluar dari sini, berhak atas kayangan. Anjing
Kintamani dan kera jantan itu melenggang saja masuk ke feri di Gilimanuk. Tak perlu
dikarantina. Mereka suci seperti Hindu. Penyakit hewan hanya berjangkit di luar pulau. Juga

penyakit manusia yang bernama kekejian!
Mangku pernah membaca laporan, hanya setelah masuknya tentara dari luar Bali, menjelang
penutupan 1965, berjangkitlah pembantaian terhadap mereka yang begitu saja dituduh makar dan
cuma pantas untuk dibunuh seketika, bagai binatang penyakitan, termasuk ayahnya.
Tiba di Banyuwangi, Mangku mencari pangkalan bahan bangunan. Dia beli sebatang dolken.
Sulit mencari ember kaleng. Tetapi, akhirnya dia temukan kaleng bekas pada seorang pedagang
loak. Kaleng itu dia lilit karet dan jadilah tambur. Sementara batang dolken dia takik tiap jarak
sejengkal.
Dengan alat itu, bersama anjing dan kera, Mangku membentuk “topeng monyet”. Tapi, ini bukan
rombongan sembarangan. Ini seniman dari kayangan. Maka rantai tak diperlukan. Kedua hewan
itu

dibiarkan

menikmati

kebebasan

untuk


bermain,

melompat,

menari,

jumpalitan,

menggonggong, dan mengaing. Si kera bergerak dan menari karena dia suka, bukan karena
dipaksa. Juga anjing Kintamani itu, yang berlari-lari dengan anggun mengibas-ngibaskan bulu
ekornya yang halus, berjingkat sambil melompat-lompat memanjat dolken. Gerakan itu semata
ungkapan cinta mereka kepada tuannya. Selain menabuh tambur, Mangku ikut menari, mulutnya
berdecak-decak, tangannya berkibar-kibar, bagai penari kecak.
Kalau rombongan ini tampil di alun-alun kota yang mereka lalui, penonton berjejal seperti
kerupuk.
Pengembaraan Mangku bersama kedua hewan itu tak selalu menyenangkan. Menjelang
Semarang, beberapa kali dia ditahan aparat. Mereka meminta surat jalan. Mangku tak punya.

Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan–yang dibuat-buat penguasa,
termasuk polisi, banpol, babinsa, hansip, dan tentara–bisa ditebus dengan uang.

Di Pemalang, dekat pantai Widuri, dia merinding, juga tersenyum kecut. Ceritanya, ketika dia
akan menggelar pertunjukan, adalah kru film Austria yang sedang mengambil gambar di semaksemak, tak jauh dari bibir pantai. Diyakini, di situ dikuburkan sejumlah guru, lurah, dan pamong
lain yang dituduh komunis. Mangku tergoda bergabung dengan kerumunan manusia di semaksemak itu.
Di depan kamera, seorang saksi mata menceritakan bahwa suatu malam, akhir Oktober 1965,
ketika dia berusia 13, dia dengar rentetan tembakan dari arah laut. Esok paginya, dia pergi ke
pantai menemui teman-temannya. Kaget, di situ dia jumpai sekelompok orang dewasa sedang
menyeret-nyeret mayat yang tergeletak dingin di pantai. Anak-anak tanggung yang mengerubung
disuruh ikut menyeret mayat yang sudah tak berdarah, dan melemparkannya ke lubang.
Mangku merunduk, hatinya meraung.
Tampil pula saksi lain. Orang ini, berusia di atas 60, mengaku disekap di Nusakambangan,
sebelum dipencilkan ke Pulau Buru.
“Mereka yang terbaring di sini,” kata orang itu, “adalah orang-orang yang sangat disegani,
dihormati. Mereka guru, pamong terbaik di daerah ini.”
Saksi itu berkisah, sepulang dari Buru dia menganggur. Pekerjaan satu-satunya adalah togel.
Untuk mendapat nomor jitu, berbagai cara ditempuh para penjudi. Meminta nomor di kuburan,
mereka lakoni. Dia sendiri pernah meminta nomor di kuburan massal itu.
“Malam-malam, saya letakkan kertas polio putih bersih. Di atasnya saya baringkan pensil,”
katanya bersungguh-sungguh. “Besok paginya, saya datang. Dua kali saya dapat nomor. Dua kali
bandar jebol,” dia tersenyum simpul, kerumunan orang bergoyang. Sambungnya: “Saya yakin,
roh Pak Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga pernah

mencoba, tapi tak dapat apa-apa, kecuali kertas putih tok. Sebab, roh Pak Machdum cuma mau
kasi nomor kepada mereka yang seideologi…,” tukasnya.

Perasaan Mangku diaduk-aduk. Hatinya diiris-iris, juga terasa dikilik-kilik. Dia tunduk,
menyembunyikan senyum getir. Ketika kata-kata saksi mata itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, kru film terpingkal-pingkal.
Tegal dia temui baik-baik saja. Juga Indramayu, Krawang, dan Cikampek. Mangku tak mengira,
Jakarta cuma sebuah bencana. Siang itu, ketika dia melintasi daerah Menteng, terdengar sirene
meraung. Dari mobil kap, orang berpakaian seragam berlompatan mengejarnya. Seseorang, yang
membawa tangguk, menyauk anjingnya, dan melemparkan hewan itu ke mobil.
“Anjing rabies, jangan macam-macam, lu, ya…!” terdengar teriakan dari dalam mobil yang
meluncur kencang. Mangku termangu. Keranya menjerit-jerit, tak rela kawannya diperkosa.
Hanya itu yang bisa diperbuat kera itu. Kota sebesar ini cuma berisi penjahat, pikir Mangku.
Beberapa hari kemudian, setelah lelah berlari-lari kecil, melompat, menari-nari dalam satu
penampilan bersama keranya di satu persimpangan, Mangku ingin melihat-lihat rumah yang
besar-besar dan mentereng di selatan kota. Kera yang melenggang di sampingnya mendadak
menyentak-nyentak tangannya. Terdengar gonggongan anjing dari pekarangan rumah. Mangku
kenal betul gonggongan itu. Dia menghampiri pagar.
“Kaukah itu Jonggi…!?” teriak Mangku. Dia lihat anjing Kintamaninya dituntun seseorang
dengan rantai metal yang melilit lehernya. Anjing itu mendekati pagar, ingin mencium lutut

Mangku. Yang memegang rantai menyentakkannya. Penjepit di rantai itu mencubit leher anjing
itu. Jonggi terkaing.
“Mau apa kamu, ha…?!”
“Itu anjing saya.”
“Bohong! Mau maling lu! Awas ya, saya lapor…” orang itu ngacir.
Ditunggu berjam-jam, orang itu tak keluar juga. Dari arah dalam, Jonggi terus menggonggong.
Mangku tahu betapa gelisahnya anjingnya itu. Lama-kelamaan gonggongan semakin
menghilang, diredam rantai pencekik. Satpam datang mengusir Mangku. Anak Bali dan
sahabatnya menyingkir. Hati mereka laksana dua serangkai, sama-sama terluka.

Jakarta cuma memberi bekal kekecewaan tak terbayar. Menumpang truk, Mangku menuju
Merak. Dia ingat, dari kota pelabuhan ini, sekali lompat dia sudah akan menginjak daratan
idaman. Tempat di mana dia ingin mati secara wajar, diiringi doa, tentu. Tidak seperti Ayahnya.
Di Merak, matahari menggigit melumatkan kulit. Mangku memutuskan istirahat di emper
gudang. Duduk mencangkung, dia belai teman semata wayang. Luka hatinya, karena anjingnya
yang dirampok dan diperkosa di Jakarta, belum sembuh. Namun, udara lembab bergaram dan
deburan ombak agak menawarkan perasaannya.
Selagi dia menerawang, tiba-tiba seekor anjing menerjang dari bawah truk yang sedang parkir
dan menyerang kera di sebelah Mangku. Kera itu menjerit, melompat, dan secepat kilat
bergantung di kaso emper. Darah menetes dari pahanya. Selang beberapa detik, diiringi raung

pertanda

siap

membunuh,

segerombolan

anjing

menyerbu

dan

berkerumun

sambil

menggonggong kera terluka yang bertengger. Mangku lari ke lapangan, menggenggam pasir, dan
melemparkannya ke gerombolan anjing tadi. Mereka berlarian menyingkir.

Malamnya, Mangku meratap tertahan-tahan isak tangis. Di hadapannya, sahabatnya terkapar di
tikar. Kera itu kejang. Mulutnya berbuih.
Paginya, para pemancing menemukan bangkai anjing mengapung. Rupanya, anjing pembawa
rabies, yang menyerang kera Mangku, mati, dan orang membuangnya ke laut.
Mangku takkan memperlakukan sahabatnya seperti itu. Dia membungkus jasad sahabatnya
dengan hormat, membawanya menyeberangi selat. Sesampai di daratan Sumatera, Mangku
membopong tubuh kaku kera itu menuju daratan yang agak tinggi, menatap selat.
Mangku tegak di atas lutut menghadap lubang. Berdoa beberapa saat, lantas dia menimbuni
kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah
kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….”