Peranan Sri Susuhunan Pakubuwana X di Sa

Peranan Sri Susuhunan Pakubuwana X di Sarekat Islam
Cikal bakal gerakan Islam yang bersifat ekonomis adalah Sarekat Dagang Islam yang
tumbuh di Surakarta. Sarekat Dagang Islam didirikan pada tahun 1905 di Kampung
Sondokan, Solo oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto,
Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro. Latar Belakang pendirian SDI adalah
kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan
Cina. Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan
dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).1
Beberapa pakar berpendapat bahwa gerakan ini berpangkal pada saingan berat antara
majikan Indonesia dan Cina di bidang perusahaan batik. J.S. Furnivall, umpamanya, menulis
bahwa pada tahun 1892 penggantian kain pribumi dengan bahan impor yang dibeli oleh
pengrajin batik melalui perantara Tionghoa, mengakibatkan bahwa seluruh perusahaan ini
beralih ke tangan Cina. Akhirnya, pada tahun 1911, untuk melawan praktek curang dari
pengusaha Cina maka pedagang batik Jawa di Surakarta membentuk Sarekat Islam.2
Pada tahun 1911, SDI dirubah namanya oleh KH. Samanhudi menjadi Sarekat Islam
atau SI. Hal ini karena Residen Surakarta membekukan SDI setelah organisasi itu
berkembang cepat ke daerah-daerah lain di Jawa dan setelah kegiatan-kegiatan pada
anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa setempat.3
Beda dengan gerakan-gerakan lainnya, SI merupakan total artinya tidak terbatas pada
satu orientasi tujuan tetapi mencakup bidang aktivitas, yaitu ekonomi, sosial, politik, dan
kultural.4 Gerakan SI pada awalnya lebih merupakan gerakan reaktif terhadap situasi

kolonial, maka kemudian pada tahap-tahap berikutnya gerakan itu melangkah ke arah
rekonstruksi kehidupan bangsa, untuk selanjutnya menentukan identitasnya, dan akhirnya
beralih ke perjuangan politik untuk menentukan nasib sendiri.5

1

Purwadi (ed)., Sri Susuhunan Paku Buwono X: Perjuangan, Jasa & Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa,
(Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hlm. 27.
2
Larson, George D., Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942
(terj.), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 53.
3
Purwadi (ed)., op.cit., hlm. 28.
4
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, (Yogyakarta: Ombak
2014), hlm. 124.
5
Ibid., hlm. 125.

1


Sebuah koran lokal melaporkan bahwa anggota SI sudah mencapai 20.000 pada Juli
1912 setelah satu setengah tahun berdiri (berdiri 9 November 1911). SI Solo pun menjadi
organisasi resmi berbadan hukum dengan beslit 12 Juni 1914 No. 38.6
Berkembangnya Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar merupakan suatu
prestasi kehidupan politik dari kalangan pribumi yang kuat. Dengan tersebarnya pengaruh SI
di pelbagai kota dan terbentuklah cabang-cabang SI. Hal ini tentunya tak terlepas dari
seseorang yang berjasa besar untuk mengembangkan sayap SI di percaturan politik era
pergerakan nasional. Sosok yang jelas mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi serta piawai
dalam tindakannya agar SI dapat menjadi organisasi yang berpengaruh di era pergerakan
nasional. Salah satu tokoh tersebut adalah Sri Susuhanan Pakubuwana X atau lebih mudah
disingkat Pakubuwana X atau PB X.
Memang begitu sulit kita bayangkan karena begitu protektifnya Kolonial terhadap
kehidupan keraton termasuk gerak gerik raja pun menjadi intaian dari pihak Kolonial.
Namun, bagaimana bisa seorang raja bernama Pakubuwana X bisa dengan leluasa berperan
dalam perkembangan SI tanpa dicurigai oleh pihak Kolonial? Serta peran apa yang dilakukan
oleh Pakubuwana X terhadap SI? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan
ini.
Pakubuwana X bertahta di Surakarta Hadiningrat antara tahun 1893-1939. Beliau
adalah putra Pakubuwana IX. Kawula negari Surakarta memberi gelar Sampeyan Dalem

Ingkang Minulya Saha Wicaksana Kanjeng Sinwun Paku Buwana X. Paku Buwana X lahir
tanggal 21 Rejeb 1795 atau 29 November 1866. Nama kecilnya adalah Bendara Raden Mas
Gusti Sayiddin Malikul Husna. Ibunya bernama Gusti Kanjeng Ratu Sinuwun Paku Buwana.
Sejak lahir diambil anak oleh eyang dalem Gusti Kanjeng Ratu Agung, permaisuri Paku
Buwana VI.7
Pakubuwana X yang memimpin Surakarta selama 46 tahun terbukti menjadi raja yang
paling berjasa bagi kerajaan maupun bangsa ini. Rakyat memberi julukan bagi sang raja
dengan sebutan Ingkang Sinuwun Minulya saha Ingkang Wicaksana yang berarti Paduka
yang Mulia dan bijaksana.8 Pakubuwana X juga dijuluki sebagai Sunan Penutup karena dia
lah raja yang banyak memberikan jasa besar dan setelah itu raja-raja di Surakarta sudah
tertutup pamornya, terbukti dengan pasca kemerdekaan Indonesia, Keraton Surakarta
6
7
8

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 100-101.
Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), hlm. 367.
Gunawan Sumodiningrat & Ari Wulandari, Paku Buwono X, (Yogyakarta: Narasi, 2014), hlm. 84.

2


Hadiningrat sudah menjadi wilayah Karesidenan biasa dan sudah tidak punya kekuasaaan
secara administratif lagi.
PB X dikenal sebagai salah satu raja yang melakukan perombakan dan pembangunan
besar-besaran di Surakarta Hadiningrat. Segala sesuatu yang dirasanya perlu untuk
diperbaiki,

maka

direnovasinya.9

Bangunan-bangunan

yang

dibangun

pada

masa


pemerintahan PB X antara lain Pasar Gede, Taman Sriwedari, Gereja St. Antonius, Rumah
Sakit Kadipolo dan lain sebagainya.
Namun, pada tulisan kali ini, penulis fokus pada peranan PB X dalam pergerakan
nasional. Hal itu terkhusus pada peranan PB X terhadap perkembangan Sarekat Islam. Boleh
dianggap, Keraton Surakarta pada masa PB X yang memolopori pergerakan nasional untuk
mengembalikan kejayaan Mataram, yang kemudian mewujud dalam konteks yang lebih luas,
yaitu kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan NKRI.10
Kerjasama antara SI dan istana Pakubuwono X yang secara tepat digambarkan
sebagai suatu hubungan pacar-pacaran, hubungan itu telah dimulai semenjak September 1912
ketika dari pimpinan SI yang terdiri dari sebelas, empat orangnya adalah pegawai Susuhunan.
Puncaknya tercapai setahun kemudian pada Kongres SI yang kedua tanggal 23 Maret 1913
yang diselenggarakan di Sriwedari, Solo, taman hiburan dan pusat pertemuan yang termasuk
di dalam wilayah Susuhunan.11 Suatu bukti dengan peran PB X, kongres ini berjalan tanpa
cekalan dari pihak Belanda.
Sebagai ketua SI pertama kali adalah Haji Umar Said Cokroaminoto. Sebagai
pimpinan massa yang populis, beliau kerap berhubungan dengan Sunan Pakubuwana X untuk
bertukar pikiran, terutama membicarakan strategi perjuangan. Atas jaminan dari Sunan
Pakubuwana X, pada 16 Agustus 1912, SI boleh aktif lagi.12
PB X sangat tegas dan kuat tekadnya untuk menunjukan peranannya sebagai Raja

Jawa yang berideologi Islam, serta memiliki hubungan dengan Sarekat Islam. Mengingat
dalam konteks tradisional, keraton memegang peranan sentral dalam kehidupan masyarakat,
sangat tidak mungkin kalau Sarekat Islam berdiri tanpa campur tangan keraton. 13 Salah satu

9

Ibid., hlm. 94.
Ibid., hlm. 120.
11
Larson, George D., op.cit., hlm. 66.
12
Purwadi (ed)., op.cit, hlm. 29.
13
Gunawan Sumodiningrat & Ari Wulandari, op.cit, hlm. 130.
10

3

dedikasinya yaitu memerintahkan putranya bernama Pangeran Hangabehi untuk ikut
mengurusi SI.

Pangeran Hangabehi terpilih sebagai anggota Pelindung SI sehari sebelum
diadakannya kongres. Ketika ditanya oleh residen Van Wijk, Hangabehi menegaskan bahwa
ia telah menjadi anggota SI pada tanggal 20 Maret dan diundang untuk menghadiri rapat prakongres. Ketika ia tiba-tiba ditawarkan menjadi pelindung, ia secara impulsif menerimanya
tanpa memikirkan untuk berkonsultasi dulu dengan Susuhunan atau dengan wazir.14
Untuk menggalang dukungan pada Sarekat Islam, PB X sering mengadakan
kunjungan ke daerah-daerah. Setiap kunjungan PB X selalu diiringi ratusan orang
pengikutnya. Belanda mulai mencurigai tindakannya pada masa Gubernur W. de Vogel dan
membatasi pengiring PB X. Pada setiap kunjungan PB X ini sangat efektif untuk menggalang
pendukung Sarekat Islam. PB X berhasil menarik simpati rakyat dan para bupati sehingga
Solo bisa menjadi kota yang turut memelopori nasionalisme.15
Agenda senang berkunjung ke daerah lain yang dilakukan PB X dimanfaatkan untuk
menyebarkan paham SI ke daerah lain. Menurut laporan Bupati Demak, ketika PB X datang
ke Demak dalam bulan Mei 1913 disebarkan kabar angin bahwa kunjungannya dimaksudkan
untuk memberi perintah supaya tidak menentang SI. Dan tak lama sesudah diberitakan dalam
surat kabar harian bahwa Pangeran Hangabehi telah menjadi anggota kehormatan SI.16
Salah satu bukti timbal balik atas dedikasi PB X terhadap SI, pada perkawinan kedua
PB X dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII, Kanjeng Ratu Hemas, orang-orang SI
sudah memasang bendera kerajaan Merah Putih (gula-klapa). Keputusan untuk mengibarkan
bendera gula-klapa itu disepakati dalam rapat SI Surakarta tanggal 2 Oktober 1915.17
Untuk menghormati perkawinan itu, tanggal 14 November 1915 SI Solo mengadakan

pertemuan di Sriwedari. Dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh para bangsawan, berbicara
Ketua SI Solo Samanhudi dan orang-orang lain, termasuk tokoh radikal Mas Marco.
Kemudian ada pawai bersama oleh Abipraya, Narpo Wandowo, Boedi Oetomo, dan Sarekat
Islam. Pawai itu dimaksudkan untuk menyerahkan gambar Sunan dan Permaisuri.18

14
15
16
17
18

Larson, George D., op.cit, hlm 66-67
Gunawan Sumodiningrat & Ari Wulandari, op.cit, hlm. 83.
Larson, George D., op.cit, hlm 71.
Kuntowijoyo, op.cit, hlm. 88.
Ibid., hlm. 92-93

4

Yang menjadi pertanyaan, mengapa PB X bisa berperan dalam pengembangan SI

padahal saat itu dia berposisi sebagai Raja. Bukankah seorang Raja menjadi sosok yang akan
terus dipantau oleh Kolonial? Ternyata ada kiat khusus agar perjuangan PB X tidak tercium
oleh pihak Kolonial.
Keterlibatan PB X dalam sikap politiknya, dengan sadar PB X memainkan kartu
nasionalisme Jawa, PB X sering berkililing secara incognito, dan sengaja atau tidak
membangkitkan nasionalisme itu. PB X yang suka berkeliling ke daerah-daerah selalu
diberitakan pers dan dipantau oleh Kolonial. Pengiriman utusan ke Ambon pada awal 1915
untuk menjenguk kuburan PB VI adalah lambang nasionalisme dan pemberontakan simbolis
PB X pada pemerintah kolonial. Bagaimana Sunan berhasil memanipulasi sistem simbol
untuk kepentngannya nampak dalam rangkaian acara-acara perkawainannya. Seluruh kota
menjadi pentas kolosal tempat simbol diperagakan. Untuk menentang simbol yang efektif
adalah suatu kebodohan. Bahkan Residen, yang mestinya berada di atas hubungan dominasisubordinasi, “diatur” sedemikian rupa untuk menambah kewibawaan Sunan.19
Dengan menguasai simbol-simbol pribadi dan publik, PB X telah berhasil menjadi
raja besar. Penguasa kolonial terkesan dengannya sebagai anak manja, peminum, suka
makan, suka perempuan, pesta-pesta, dan bodoh dalam matematika dan bahasa. Ternyata itu
semua berdasar ukuran-ukuran Barat yang lebih mementingkan rasio IQ. Padahal, PB X
bukanlah tipe demikian. Telah diceritakan bagaimana ia menggunakan EI untuk memainkan
simbol-simbol bagi kepentingan kekuasaan. Bagaimana ia berhasil memperdaya kekuasaan
kolonial nampak ketika ia menyelenggarakan perhelatan agung perkawinan keduanya.
Terbukti bahwa dia lebh dicintai rakyat walaupun ada pemerintah kolonial.20

Andaikata PB X mengedepankan politik substantif dengan menekankan ekonomi dan
kesejahteraan dan tidak mengedepankan politik simbolis yang hanya memperkuat
hubungannya dengan penguasa kolonial, priyayi, dan kawula lain. Tidak akan ada ramalan
bahwa kerajaannya musnah.21
Namun, meskipun cukup cerdik dalam bersiasat untuk menghindari kecurigaan
Belanda, pihak Belanda juga merasa cemas karena peranan Susuhunan sebagai kepala agama
Islam di Surakarta, suatu peranan yang membuat hubungannya dengan Sarekat Islam sebagai
suatu yang wajar. Hubungan demikian diperkuat lagi dengan perlawanan bersama terhadap
19
20
21

Ibid, hlm. 94-95
Ibid., hlm. 108-109.
Ibid., hlm. 111.

5

kegiatan para penginjil Kristen, suatu faktor yang sering kali disebut dalam hubungan dengan
menyebarnya pesat Sarekat Islam. Hal ini adalah sesuatu yang dari sudut politik sudah barang

tentu tak boleh diremehkan, khususnya dalam hubungan masa kebangkitan semangat
nasionalisme di seluruh Asia dan berkobarnya Pan-Islamisme di segala tempat.22
Bisa kita tarik kesimpulan atas perananan PB X terhadap perkembangan Sarekat
Islam, dia berperan sebagai “tokoh dibelakang layar”, artinya PB X tidak terlibat langsung
seperti menjadi anggota. Namun, dengan kekuasaan yang dimilikinya disertai dengan
kepeduliannya terhadap keberadaan SI, PB X memberikan kelonggaran terhadap SI untuk
berkembang di Solo seperti memberi tempat SI untuk menyelenggarakan kongres di Taman
Sriwedari, Solo. Peranan lain adalah mempromosikan SI di setiap blusukan PB X di daerahdaerah luar Solo. Sebagai raja yang dicintai oleh rakyat banyak, cara ini efektif untuk
menggalang massa dan mempekokoh keberadaan SI di era pergerakan nasional. Meskipun
berada di bawah bayang-bayang kolonial, PB X tetap melenggang mulus dalam usaha
politikny, terbukti PB X tidak pernah terkena “kudeta” dari kursi nomor satu di Keraton
Surakarta. PB X benar-benar turun tahta dengan mengehmbuskan nafas terakhirnya di tahun
1939, 6 tahun sebelum Indonesia meraih kemerdekaan.

Daftar Pustaka
Gunawan Sumodiningrat & Ari Wulandari, 2014, Paku Buwono X, Yogyakarta: Narasi.
Kuntowijoyo, 2004, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak.
22

Larson, George D., op.cit, hlm. 50.

6

Larson, George D., 1990, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912-1942 (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwadi, 2007, Sejarah Raja-raja Jawa, Yogyakarta: Media Abadi.
Purwadi (ed)., 2009, Sri Susuhunan Paku Buwono X: Perjuangan, Jasa & Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, Jakarta: Bangun Bangsa.
Sartono Kartodirdjo, 2014, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional, Yogyakarta: Ombak.

7