Dan Setrum pun Mengalir sampai Tempo Men

Dan Setrum pun Mengalir Sampai Tempo
Menyelisik Ekonomi Politik Tempo di Balik Liputan Khusus “Saatnya Beralih ke Energi
Terbarukan”
Zakiyah Derajat

Pendahuluan
Edisi “SBY dan Hantu Kudeta” Majalah Tempo tertanggal 18-24 Maret 2013
berhasil menarik perhatian saya. Bukan hanya karena sampul merah kontroversial miliknya,
di mana judul berduet hebat dengan gambar Presiden Republik Indonesia yang sedang
membawa senjata1, namun juga karena Liputan Khusus dalam edisi tersebut: “Saatnya
Beralih ke Energi Terbarukan”.
Saya adalah peminat energi terbarukan, dan histori akademis saya sangat
mendukung keberpihakan saya terhadap energi tersebut. Maka menarik bagi saya ketika
mendapatkan edisi energi alternatif ini dibahas dalam majalah politik, terlebih menjadi
sebuah liputan khusus. Saya pun tergoda untuk mencari sebab-musabab Tempo membuat
liputan khusus ini.
Beberapa pertanyaan muncul sesaat setelah saya membaca judul besar halaman
liputan tersebut. Misalnya seperti “apa intensi Tempo?”, “ada apa/siapa di balik liputan
ini?”, “mengapa baru kali ini membuatnya?”, “gagasan apa yang ingin dibawa?”.
Pertanyaan tersebut muncul karena keyakinan saya bahwa media tidak pernah netral dan
beberapa teori ekonomi politik yang meneguhkan poin sebelumnya. Artinya Tempo tidak

tanpa alasan ketika memproduksi rubrik tiga puluh halaman tersebut. Alasan untuk menarik
minat pembaca untuk sementara saya tempatkan pada urutan terakhir terlebih dahulu.
Pemaparan yang akan saya lakukan lebih pada analisis konten. Hasil pembacaan
dari liputan tersebut mengerucut pada indikasi adanya usaha memberi citra pada
pemerintah. Setelahnya segera saya jajarkan dengan beberapa data yang saya peroleh dari
luar teks, untuk mencoba sedikit membayangkan bagaimana kinerja redaksi Tempo

1

Pun sebenarnya majalah ini (juga korannya) sudah sangat terkenal dengan kekreatifannya dalam
memproduksi cover kontroversial, terutama ketika isu korupsi pejabat menjadi fokus utama liputan.

1

memproduksi liputan ini.2 Bagian ‘Di Balik “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”
merupakan gambaran-gambaran yang mencoba menyelisik lebih jauh data yang didapat,
baik dari dalam isi liputan itu sendiri, maupun data yang terhimpun dari luar teks.
Ekonomi Politik dan Cultural Studies
Perjalanan teori ekonomi politik turunan Marxian strukturalis (selanjutnya
disebut ekonomi politik) lebih dilihat sebagai sebuah teori dengan kacamata besar, yang

melihat segala sesuatu dalam level makro. Yaitu bahwa sesuatu hal dihadirkan karena
adanya kekuatan lebih besar yang melingkupinya. Perspektif ekonomi politik memfokuskan
perhatian pada skala ekonomi (kepemilikan) dan situasi sosial-politik yang ada (Curran et al
1987).
Cultural studies dapat dikatakan sebaliknya, yaitu lebih tertarik pada hal-hal yang
mikro. Bagi studi ini, yang mikro, sesuatu yang renik yang banyak disisihkan dan tidak
dipandang oleh yang “besar”, merupakan juga hal yang sangat signifikan. Yang remehtemeh dalam everyday life ini kemudian disebut kebudayaan oleh cultural studies (Barker
2011: 39).
Artinya justru dari hal yang sangat renik itulah ideologi besar suatu pihak dapat
ditangkap, untuk kemudian dapat dipersoalkan relasi kuasa yang melingkupinya. Akhirnya
bagi cultural studies, teks menjadi sangat penting, karena dari si ‘kecil’ teks tersebutlah
terdapat serangkaian praktik signifikan –organisasi tanda yang membangun makna–
sehingga puing-puing ideologi yang menyusun kedirian suatu pihak lebih sangat mungkin
untuk terkuak (Barker 2011: 69).
Curran sendiri lalu mengkritik cultural studies ketika berposisi ambigu dalam
memakai teori ekonomi politik. Ia berpendapat bahwa bapak-bapak cultural studies selalu
menolak turunan-turunan ekonomi:
“On the one hand the indigenous British tradition of cultural studies, initiated
through the work of Williams, Thompson and Hoggart has always been


2

Usaha membayangkan ruang redaksi Tempo terinspirasi dari artikel Agus Sudibyo “Absennya Kajian Ekonomi
Politik Media di Indonesia” (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2000; 115-134), yang menyarankan untuk segera
di-booming-kan penelitian ekonomi politik media di Indonesia. Di akhir tulisannya, Agus memberi beberapa
contoh penelitian yang menarik untuk dilakukan, salah satunya adalah meneliti institusi di ruang pemberitaan
yang ia spesifikkan dengan kasus redaksi Tempo.

2

opposed to economic reductionism. This position has been effectively
summarized by Hall:…” (Curran et al 1987: 26; cetak tebal oleh saya).

Boleh saja James Curran berkata demikian. Namun walaupun cultural studies
sangat berminat pada hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, tidak berarti ia akan selalu
meninggalkan sesuatu yang besar. Cultural studies sudah memosisikan dirinya untuk
melepaskan diri dari model ‘pengaruh langsung’ (behaviouristic) (Hall 1980), untuk itu
paradigma ekonomi politik saja tentu tidak akan cukup.
Dan ahli ekonomi politik media, Murdock dan Golding (dalam Dan Laughey 2008:
134), dengan posisi keilmuannya justru mengatakan bila analisis ideologi (milik Hall) melalui

teks media saja yang tidak akan cukup:
“this process of ideological reproduction cannot be fully understood without
an analysis of the economic context within which it takes place and of the
pressures and determinations which this context exerts”.

Douglas Kellner dan Meenakshi Gigi Durham lalu seakan memperjelas kedua
oposisi yang sebenarnya ingin bertemu tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendekatan
ekonomi politik dan pendekatan sosiologis kultural dalam budaya media seharusnya
dikombinasikan, daripada melulu berdebat yang kemudian menghasilkan percabangan yang
luas dalam studi komunikasi dan studi budaya. Bagi mereka ekonomi politik dan cultural
studies bisa saling memperkaya.

Analisis teks sebagai artefak budaya akan semakin

diperkaya dengan adanya data-data empiris yang didapat dari pendekatan ekonomi politik
(Durham et al 2006: xxx-xxxi).
Yang perlu ditekankan kemudian adalah bahwa keduanya, ekonomi politik dan
cultural studies, memiliki prinsip yang sama dalam memandang media, yaitu tidak ada
media yang netral3. Dari perspektif ekonomi politik, menurut Vincent Mosco:
“The tendency within political economy and forms of institutional analysis is

to concentrate on how communication is socially constructed, on the social
forces that contribute to the formation of channels of communication, and on
the range of messages transmitted through these channels. This has
contributed to an important body of research on how business, government,
and other structural forces have influenced communication practices”
(Mosco 2009: 67, cetak tebal oleh saya).

Senada namun tak sama, Hall berkata:

3

Media sendiri, untuk cultural studies bisa berbentuk hal yang sangat renik. Namun perspektif ekonomi politik
komunikasi selalu cenderung mengarah pada media massa.

3

“... kami menantang pelbagai gagasan tentang teks media sebagai sarana
pembawa makna yang ‘transparan, sebagai ‘pesan’ yang serupa jenisnya
(undifferentiated), dan memberi lebih banyak perhatian […] pada
kesalingterkaitan linguistik dan ideologis teks itu dalam keseluruhan yang

terorganisir” (Hall 1980: 194).

Akhirnya paper ini pun tidak akan meninggalkan semangat cultural studies. Teks
adalah sangat bermakna. Maka dalam hal ini isi Liputan Khusus Tempo edisi “SBY dan Hantu
Kudeta” menjadi titik berangkat yang sangat penting untuk dibaca posisi awal ideologisnya.
Data empiris juga akan diikutsertakan untuk meneguhkan relevansi ekonomi politik hasil
pembacaan teks di awal.
Tempo dan Jurnalisme Populer
John Storey (1996) menggambarkan jurnalisme populer antara lain dengan
membandingkannya dengan jurnalisme pemerintah (serta oposisi). Walau tujuan jurnalisme
adalah menyajikan informasi perihal dunia, namun pada praktiknya cara penuturan cerita
melalui permainan diksi-diksi dan alurlah yang paling sering dilakukan. Menurut Fiske
(dalam Storey 1996), pers populer sengaja menyerang di arena yang menjadi garis batas
yang publik dan yang prifat: “gayanya sensasional, terkadang skeptis, tidak jarang
bersungguh-sungguh secara moralistis; ungkapannya populis; kelonggaran bentuknya
menampik perbedaan stilistik antara fiksi dan dokumenter, antara berita dan hiburan”
(Storey 1996; 96).
Lagi dijelaskan bahwa pers populer memberi tawaran-tawaran baru yang
imajinatif utopis mengenai cara pemahaman dunia yang menentang standar realitas yang
sudah ada (oleh blok penguasa). Yang menarik kemudian dikatakan bahwasanya jurnalisme

populer mencetak audiens skeptis yang terombang-ambing antara rasa percaya dan tidak
percaya (atas yang berhubungan dengan blok penguasa).
Yang lebih penting adalah bahwasanya pers populer harus benar-benar menjadi
budaya pop untuk dapat diterima oleh ‘rakyat’. Disebutkan di sana bahwa ia “harus
memprovokasi percakapan dan memasuki sirkulasi dan resirkulasi oral”.
Melihat beberapa ciri yang dikemukakan oleh Storey di atas, layak bila Tempo
sudah sangat bisa masuk ke dalam kategori pers populer. Dari judul Laporan Utama,

4

pemilihan dan editing gambar sampul, serta pilihan diksi dan cara Tempo menggambarkan
suatu peristiwa, dapat dilihat bagaimana ia membentuk identitas yang sensasional.4
Belum lagi karena ia memiliki sejarah tidak baik dengan pemerintahan Soeharto,
artinya Tempo saat itu berada pada posisi oposisi atas keberadaan pemerintah. Namun
praktik negosiasi posisinya kini bergeser, tidak lagi dapat dikatakan sepenuhnya beroposisi
dengan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa perbaikan birokrasi pada
badan pemerintah. Bagi Tempo (dan jurnalisme lainnya) menjadi ‘fair’ seakan merupakan
sebuah keharusan. Maka ia berusaha untuk selalu menunjukkan ke-‘fair’-annya tersebut.
Contohnya edisi Desember 2012 “Bukan Bupati Biasa” memberi award kepada tujuh Bupati
yang (menurut Tempo) berprestasi. Walau demikian, usaha untuk menjadi tetap ‘fair’

tersebut sungguh harus dipertanyakan. Ia adalah pers populer, dalam artian ini, maka massa
yang menjadi sentral. Tradisi ‘fair’ serta pilihan kata (dan alur cerita) yang dipilihnya adalah
komoditas5, dan tentu sangat ideologis, salah satunya karena ia telah memiliki banyak sekali
pelanggan6. Begitulah kinerja budaya pop bermain, walaupun dalam hal ini adalah majalah
politik. Artinya majalah politik pun di era seperti ini harus sangat ngepop bila ingin
bertahan.7
Analisis ke’ngepop’-an Tempo ini akan selalu menjadi pengingat utama bahwa
ekonomi politik selalu (akan) bermain dalam gerak-gerik majalah ini.

4

Ambil contoh saja dua edisi pertama bulan April, dengan judul “Kartu Kuning Buat Samad” (tentang
kebocoran surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum), dan “Bandar Proyek Partai Beringin” (di tempat
tertentu edisi ini diborong orang tak dikenal).
5
Komodifikasi, dengan produknya berupa komoditas, merupakan proses pertama dalam peta penting ekonomi
politik. Proses kedua adalah spasialisai, dan yang terakhir adalah strukturasi (Mosco 2009: 11). Komodifikasi
yang dilakukan Tempo dalam mempersembahkan “tradisi fair” dan pilihan kata ini, termasuk dalam
komodifikasi konten (ibid.: 12).
6

Pelanggan adalah audiens. Maka dalam budaya pop, pelanggan juga dikomodifikasi. Mosco menyebut tiga
hal yang dikomodifikasi dalam analisis ekonomi politik komunikasi, yaitu: konten, audiens, dan pekerja (ibid.)
7
Banyak hal yang melanda dunia berita cetak. Di antaranya maraknya cyberspace. Segala strategi harus
dikerahkan untuk tetap menarik pelanggan. Bila tidak, ia dapat mati, seperti yang terjadi pada Newsweek yang
menghentikan edisi cetaknya dan berpindah total ke edisi digital.

5

Liputan Khusus “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”
Halaman Welcome8 dan Halaman Pengantar (hal. 50-55)
Tempo telah menyatakan keberpihakannya sejak awal mengenai energi
terbarukan ini. Bukti yang pertama sangat jelas: dengan membuat liputan khusus ini. Yang
kedua pada bagian daftar isi majalah di halaman 4 yang bertajuk mini 'Saatnya Beralih ke
Energi Terbarukan'. Yang ketiga dengan gamblang lagi Tempo membahasakan
keberpihakannya

dengan

diksi


yang

berbeda

yang

ditempatkan

sebagai

judul welcome untuk liputan tersebut, yaitu "BERPIHAK KE ENERGI TERBARUKAN". Letak
liputan khusus ini yang berada di tengah bendelan, sehingga secara teknis akan sangat
mudah untuk diakses (dibuka) oleh pembaca. Penempatan yang mudah diakses ini juga
bukan berarti sesuatu yang tanpa makna. Pemilihan huruf yang semua terkapitalkan,
seakan sekali lagi menandakan bahwa itulah pandangan Tempo tentang energi: mereka
sangat berpihak ke energi terbarukan.
Halaman welcome yang dimaksud sebelumnya adalah halaman 50-51, kiri
digabung dengan kanan (artinya dua kali ukuran majalah), berlatar warna hijau, dengan
daftar isi yang ditampilkan secara kreatif. Sebagian besar halaman 'Selamat Datang' ini diisi

oleh grafik yang menarik, sehingga kata-kata yang ada dalam halaman tersebut tidak terasa
sebagai kata-kata yang akan melelahkan dibaca – kata-kata dihadirkan sebagai pelengkap
gambar saja. Berikut sisa teks pelengkap yang terletak di ujung kanan bawah gambar:
"Bisnis energi alternatif mulai bergairah dan sumbangannya terhadap
pemanfaatan energi akan semakin besar. Masih tersandera subsidi bahan
bakar minyak." (hal.51)

Keoptimisan Tempo yang sejak awal ia bangun untuk mendukung energi
alternatif segera ia musnahkan dalam kalimat kedua. Ini merupakan kalimat kontradiktif
pertama, dan tak elak, menjadi topik utama dari liputan khusus ini. 9

8

Istilah yang saya pakai sebagai halaman pengantar dari redaksi. Halaman ini tidak diberi judul oleh redaksi.
Selain kalimat yang sensasional, Tempo juga terkenal dengan pola penuturan berita yang kontradiktif.
Kekontradiktifan tersebut seakan melambangkan mimpi yang tak sesuai dengan kenyataan di lapangan, atau
misal dalam kasus pemerintahan: program kerja bagus nan fantastis, namun tak pernah berjalan mulus sesuai
rencana. Nada-nada kontradiktif ini hampir selalu mewarnai isi liputan Tempo. Goenawan Muhamad (GM),
pendiri Tempo sendiri mengatakan bahwa posisi Tempo adalah sebagai sarana resistensi masyarakat terhadap
dominasi negara. Hal ini dapat dilihat di rangkuman buku Wars Within, buku tentang Majalah Tempo
http://catatancalonwartawan.wordpress.com/tag/tempo/ diakses pada 30 Juni 2013. Namun perkataan GM
9

6

Yang perlu diperhatikan lagi adalah kata 'bisnis' yang muncul di kalimat pertama.
Kalimat yang bernada positif itu menunjukkan bahwa Tempo setuju ketika energi alternatif
menjadi bisnis (untuk sumbangannya terhadap pemanfaatan energi yang semakin besar).
Ideologi Tempo mulai bisa diraba di sini. Bila Tempo pro rakyat, maka seharusnya ia
mendukung ekonomi kerakyatan dan misalnya lebih mengadvokasi gerakan masyarakat. Di
sini, tak ada kata rakyat diikutkan.
Halaman 52-53 juga merupakan gabungan dua halaman, kiri dan kanan, berisi
gambar wilayah Indonesia dengan potensi energi terbarukan yang tersebar di wilayah
Nusantara. Judulnya tercetak dengan ukuran besar "NEGERI SABUK ENERGI", yang seukuran
dengan judul di halaman welcome. Ada sembilan energi yang tersebar: hidro, mikrominihidro, panas bumi, surya, uranium dan thorium (untuk nuklir), biomassa, angin, arus
laut, dan shale gas. Masing-masing direpresentasikan dengan lingkaran warna yang
berbeda-beda. Penjelasan di halaman ini dapat dikatakan memilih diksi yang tidak kaku dan
lebih ke arah sastra:
"Terletak tepat di khatulistiwa, Indonesia surga energi alternatif. Matahari
bersinar sepanjang tahun, memberikan energi untuk berbagai tumbuhan yang
bisa dijadikan bahan bakar. Energi surya pula yang menggerakkan udara
menjadi angin. Cincin api yang membalut di sekeliling menjadi tempat
tumbuhnya kerucut gunung api pemberi panas bumi dan penyimpan potensi
air terjun. Jalur arus laut dunia berkelindan di antara ribuan pulau. Inilah negeri
10
sabuk energi."

Tentu ini meneguhkan identitas Tempo sebagai majalah populer. Pemilihan diksi
tidak lain daripada usaha agar Tempo selalu dekat dengan pembaca.11 Hal ini sangat erat
kaitannya dengan pintu masuk Mosco untuk menyelisik ekonomi politik: komodifikasi
konten (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).
Lalu setelah kalimat 'sastrawi' tersebut, terdapat tulisan tercetak kecil 'DAFTAR
CADANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN SETIAP PROVINSI DI INDONESIA" yang
kemudian disusul gambar peta sebaran energi terbarukan tersebut di Nusantara.

tersebut bisa jadi tidak berlaku untuk konteks kekinian, karena wajah Tempo yang pro rakyat saya nilai mulai
berubah.
10
Dalam berbagai liputannya, diksi yang dipilih Tempo berusaha menggerakkan emosi pembacanya. Tradisi
"ke-Tempoan" ini sudah diteguhkan sejak awal pendiriannya. GM sejak awal menghendaki wartawan Tempo
menulis liputan dengan pola bercerita (ibid.).
11
Bahkan dalam buku Wars Within dikatakan bahwa pada masa awal keberadaannya, beberapa mahasiswa
menyebutnya sebagai majalah gossip (ibid.).

7

Halaman 54-55, masih merupakan halaman yang informatif dengan disertai
gambar. Kali ini porsi tulisan lebih banyak daripada halaman-halaman sebelumnya yang
menjelaskan secara berurutan tentang status dan informasi singkat cadangan sembilan
energi terbarukan di halaman sebelumnya. Porsi gambar masih mendominasi dua halaman
ini. Beberapa poin informasi singkat tersebut di antaranya adalah: (banyaknya) Cadangan,
Biaya eksplorasi / pembangunan, Lama pembangunan, dan deskripsi singkat energi. Yang
menarik adalah adanya poin biaya pembangunan. Mengapa Tempo menyertakan biaya
pembangunan? Bila dikorelasikan dengan kata 'bisnis' yang ia munculkan di awal, liputan ini
lebih bertujuan untuk menarik para pengusaha agar menjalankan bisnis energi alternatif.
Pemaparan halaman 53-55 secara garis besar memberikan informasi bahwa
Indonesia sangat kaya akan energi alternatif. Informasi ini kemudian menjadi bernada
persuasif karena kuantitas dan kualitas akan informasinya. Lima kalimat 'sastra', disusul
peta, kemudian informasi mini tentang kesembilan energi yang dimaksud seakan membuka
dan memperteguh cakrawala pembaca akan kekayaan energi terbarukan yang dimiliki
Indonesia. Pembaca di sini dapat diartikan secara luas. Namun mulai dapat dilihat pihakpihak yang dibidik, yaitu: pengusaha, pemerintah (dengan adanya frase 'tersandera
subsidi'), dan pembaca umum yang lebih anonim.
Temuan-temuan dalam Artikel
Artikel yang terdapat dalam liputan khusus ini berjumlah sebelas artikel, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tanpa judul yang selanjutnya disebut artikel pembuka (hal. 56-58)
Artikel mikrohidro berjudul 'BANJIR IZIN DI SEPANJANG SUNGAI' (hal.60-61)
Artikel mikrohidro kedua (tambahan) berjudul 'KINCIR AIR PENGHASIL LISTRIK' (hal.62)
Artikel biomassa berjudul 'BIOMASSA MASIH TERSIA-SIA' (hal. 64-65)
Artikel tenaga surya berjudul 'KARENA TAK CUKUP TERIK' (hal. 66-67)
Tambahan untuk artikel tenaga surya, berjudul 'JADILAH LAMPU, JADILAH SENTER' (hal.
68)
7. Artikel panas bumi berjudul 'PROYEK SUNYI PANAS BUMI' (hal. 70-71)
8. Artikel nabati berjudul 'TERSANDERA FORMULASI HARGA' (hal. 72-73)
9. Tambahan untuk artikel nabati, berjudul 'MASA MINYAK SUDAH LEWAT' (hal. 74)
10. Untuk shale gas berjudul 'ENERGI TERPENDAM BERNAMA SHALE GAS' (hal. 76-77)
11. Artikel tenaga nuklir berjudul 'SUARA GO NUCLEAR DARI KALIMANTAN' (hal. 78-79)

8

Pada dasarnya pemilihan judul artikel merepresentasikan isi artikel tersebut.
Sebagian besar porsi halaman liputan khusus ini diisi oleh liputan yang bernada psimis.
Tempo tetap berpihak pada energi terbarukan, namun psimisme begitu merebak dalam
penuturan hasil liputannya. Kalimat bernada negatif di halaman welcome sebelumnya (hal.
51) terteguhkan dalam tulisan-tulisan yang membangun liputan ini. Subyek yang utamanya
dinegatifkan adalah, tentu: pemerintah.
Pada artikel pertama sudah digambarkan bagaimana psimisme itu hadir.
Testimoni mengapa usaha energi terbarukan seakan “seret” didapat dari kalangan pebisnis
energi alternatif dan juga dari pemerintah sendiri. Dua kekuatan ini, ditambah satu lagi
kekuatan redaksi Tempo, seakan ditemukan dengan kekuatan Pemerintah. Ada pebisnis
yang nggrundel, lalu pemerintah yang mengkritik pemerintah, dan redaksi Tempo yang
mensejajarkan dengan kinerja negara lain dalam merealisasikan gagasan energi terbarukan.
Artinya ketika pihak yang secara halus diprotes di sini (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral) membaca artikel yang ada, Tempo seakan ingin ia berubah.
Dari kesebelas artikel tersebut, ada bias yang terjadi dalam melaporkan suatu
badan pemerintah. Namun bias ini tak begitu mengherankan, karena tak ada di dunia ini
yang luput dari bias. Yang menjadi masalah adalah bagaimana dan mengapa bias itu dapat
terjadi. Lebih mudahnya saya menyebut satu kata Pemerintahan (dengan P besar), dengan
aktor utama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Aktor utama ini disandingkan
dengan BUMN energi, termasuk di antaranya yang tersebut dalam liputan adalah PLN, dan
Pertamina, serta satu lagi aktor energi lainnya: BP Migas (yang sudah almarhum).12
Ketika menyebutkan PLN, Tempo seakan lebih hormat. Ketika misalnya
menyebutkan PLN tidak melakukan kinerjanya yang baik, tuturan Tempo tentangnya adalah
bersumber secara langsung dari pihak PLN. Tempo melakukan cross-check dengan pihak
PLN. Tempo memberi ruang untuk PLN mengakui kekurangannya. Seperti dalam kalimat
berikut:
“Secara nasional, potensi biomassa yang tersia-sia juga luar biasa. Dari
perkiraan cadangan yang hampir 50 ribu megawatt, Sofyan (Kepala Divisi Energi

12

Ada juga dari pihak Kementerian Keuangan, namun bukan agen yang direpresentasikan aktif di sini.

9

Baru dan Terbarukan PT. PLN) mengakui PLN baru menyerap total 70
13
megawatt listrik per tahun dari sumber biomassa.” (hal. 65)

Hal lain lagi yang ditemukan, PLN diberi porsi besar dalam liputan khusus ini.
Alasannya memang hubungan energi dan listrik yang erat. Namun apa logis ketika berbicara
energi, PT. Pertamina hanya sedikit sekali disangkut pautkan?
Sedang Pertamina, digambarkan datar, dan memiliki porsi yang (sangat) minim
untuk diaktualisasikan dalam liputan ini. Bahkan untuk artikel “PROYEK SUNYI PANAS
BUMI”, Tempo lebih memilih meniadakan Pertamina dan memunculkan Pusat Sumber Daya
Geologi (serta PLN tentunya) (hal. 70-71). Padahal Pertamina juga punya andil dalam sejarah
panas bumi di Indonesia.
Dan wajah Menteri Energi Jero Wacik, pemimpin aktor utama Kementrian Energi
dan Sumber Daya Mineral, hampir selalu dihadirkan sebagai kontradiksi. Pada artikel
pembuka misalnya, setelah menjabarkan keluhan-keluhan tidak dapat langgengnya
perjalanan (bisnis) energi alternatif di Indonesia, Tempo kemudian mensejajarkan keluhan
tersebut dengan kalimat mengenai Menteri Jero, sebagai berikut:
“DISAKSIKAN belasan anak buahnya, Jero Wacik menjelaskan komitmen
pemerintah mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dalam penyediaan
listrik nasional. Ia memamerkan setumpuk program untuk menggenjot energi
alternatif, dari energi surya, air, geotermal, sampai biomassa.” (hal. 57, cetak
tebal oleh saya),

yang artinya sampai saat ini energi alternatif adalah sebatas setumpuk program.
Bila PLN diberi ruang untuk mengakui kesalahan, Kementrian Energi diberi ruang
untuk “menyatakan” kesalahan. Tempo tidak membahasakan pernyataan kesalahan
tersebut langsung dari pihak kementerian, namun dari pihak yang merasa disalahi, misal
dari pebisnis yang mengatakan tarif a, b, c, d, dan seterusnya. Atau dengan mensejajarkan
dengan negara (-negara) lain, contohnya pada halaman 58 (setelah membahas Jerman,
Perancis, dan China):
“Adapun Jepang mulai aktif membangun infrastruktur energi angin dan surya
setelah tragedi pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima pada Maret 2011.
Jepang memasok 30 persen kebutuhan listrik hingga 2030.

13

Masih banyak juga kalimat-kalimat yang lai yang senada dengan ‘lebih baik-baik kalau dengan PLN’. Namun
karena keterbatasan tempat, hanya ini yang dapat saya munculkan.

10

Brasil terdepan dalam pemanfaatan energi air. Sebanyak 80 persen pasokan listrik
Negeri Samba hasil energi terbarukan, yang sebagian besar dari tenaga hidro.
Pemerintah Brasil juga giat membangun kincir angin. Negara itu tercatat pula
sebagai kampiun dalam produksi bahan bakar hayati etanol alias bioetanol. Lebih
dari separuh bahan bakar di Brasil diperoleh dari tanaman.” (cetak tebal oleh saya)

Maka mengapa tidak juga dibandingkan kinerja perusahaan-perusahaan listrik
yang ada di negara tersebut (untuk PLN)?
Dari keseluruhan artikel, mikro/makrohidro adalah yang sudah berjalan cukup
mulus di Indonesia, hingga ujung sungai yang suatu daerah yang terpencil pun dikatakan
sudah ada pengusaha yang memiliki izin. Peraturan pemerintah dan tarif jual listrik yang
dipatok negara, dinilai efektif. Namun kecukup-mulusan ini hanya menyangkut izin usaha,
karena yang terealisasi hanya beberapa. Tempo kembali pro pengusaha ketika menyangkutpautkan hal ini dengan tidak adanya dana pinjaman usaha dari bank untuk jenis usaha
energi alternatif.

Di Balik “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”
Tempo dan PLN
Mengapa Tempo condong memberi porsi lebih untuk PLN dalam liputan khusus
ini? Ketika saya mencoba mencari satu kata yang menghubungkan Tempo dan PLN, Dahlan
Iskan muncul sebagai jawab. Sudah barang tentu PLN kini adalah anak emas Dahlan Iskan
sang Menteri BUMN. Dan dalam sejarah ke-Tempo-an, bisa dikatakan bahwa Dahlan Iskan
merupakan anak emas Tempo.
Menjabat menjadi direktur utama PLN di akhir 2009 hingga September 2011
diminta untuk menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan telah melalui banyak kisah dalam PLN.
Reformasi ia lakukan terhadap tubuh PLN. Ia mengakui PLN dikenal berwajah koruptif oleh
masyarakat, maka wajah ini merupakan salah satu yang ingin Dahlan ubah.14 Selain itu,
efektivitas kerja PLN mulai menemukan titik terangnya. Kepemimpinan Dahlan mampu
14

http://www.tempo.co/read/news/2011/11/22/090367975/Alasan-Dahlan-Iskan-Tak-Mau-Ambil-Gaji-DirutPLN diakses tanggal 29 Juni 2013.

11

menekan pemadaman listrik dengan memperbaiki mesin-mesin pembangkit.15Maka PLN
jelas merupakan anak emas Dahlan Iskan.Kini walaupun Dahlan Iskan merupakan Menteri
BUMN, PLN tetaplah memiliki hubungan emosi yang kuat dengan Dahlan. PLN merupakan
organisasi kepemerintahan pertama yang ia pimpin dengan gayanya sendiri, dan dengan pro
kontranya sendiri. Dalam sebuah artikel berita, dikabarkan bahwa Dahlan Iskan terisak-isak
ketika ditunjuk jadi Menteri BUMN.
"Saya menangis harus meninggalkan PLN. Padahal, PLN di seluruh Indonesia sedang
16
lagi bersemangat-semangatnya."

Di artikel lain, tampak ia tak ingin PLN yang sudah mulai reformatif, jatuh ke
tangan yang “salah”.17Sederhananya, walaupun (dulu) kontra juga banyak terjadi di tubuh
PLN sendiri, namun pasti ada banyak pihak dalam PLN tersebut yang mendukung
kepemimpinannya. Pak Dahlan pun berkata bahwa orang dalam perusahaan lah yang
seharusnya menjadi penggantinya. Lalu terpilihlah Nur Pramuji, yang sebelumnya menjabat
sebagai Direktur Energi Primer PLN. Di bawah Dahlan yang menjadi Menteri, menjadi “bos”
dari segala BUMN, PLN yang dulu anak emasnya, harus tetap tumbuh paling tidak seperti
reformasi yang telah ia capai. Dan dengan histori yang melekat antaranya dan perusahaan
listrik tersebut, maka masih relevan bila saya mengatakan PLN masih merupakan anak emas
Dahlan, dalam artian PLN merupakan pelopor BUMN reformatif pimpinannya.
Tentang anak emas Tempo. Dahlan Iskan dulu adalah seorang wartawan Tempo.
Setelah dipromosikan menjadi kepala Biro Tempo Surabaya, ia diangkat menjadi direktur
Jawa Pos pada 1982. Hal ini dapat terjadi karena Tempo telah membeli Jawa Pos yang pailit
dan kemudian membutuhkan direktur baru. Maka diangkatlah Dahlan Iskan. Ia yang
wartawan lalu menahkodai Jawa Pos yang terpuruk saat itu. 18
Hingga akhirnya Dahlan Iskan dapat membangun Jawa Pos menjadi sosok giga
yang menjadi raja, paling tidak di Jawa Timur. Jaringannya sangat luas, dan kini di Surabaya
menjadi perusahaan megah yang memiliki kompleks usahanya sendiri. Dahlan Iskan kini juga

15

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/17/12530927/Ditunjuk.Jadi.Menteri.BUMN.Dahlan.Terisak-isak
diakses tanggal 30 Juni 2013.
17
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
18
http://dongants.wordpress.com/2009/04/06/jawa-pos-adalah-dahlan-iskan/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
16

12

memiliki sebagian kecil saham di sana. Karena kinerja Dahlan di Jawa Pos yang gemilang
tersebut, publik mengasumsikan bahwa Dahlan adalah pemilik Jawa Pos.
Maka tak heran jika hubungan Tempo dan Dahlan sangat dekat. Dahlan adalah
sejatinya trah Tempo, dan ketika sudah ia duduk di pemerintahan, tak dapat terelakkan lagi
bila ‘bias Dahlan’ mudah sekali terjadi di tubuh redaksi Tempo. Apalagi dalam tubuh
organisasi yang masih dianggap idealis sepertinya.
Bila PLN adalah anak emas Dahlan Iskan, dan Dahlan adalah anak emas Tempo,
maka Tempo pun bisa jadi sangat bias dalam mengisahkan PLN dalam kaitannya dengan
pihak lain.19
Solar Bersubsidi yang Semakin Langka
Hal ini ada kaitannya dengan mengapa Tempo mengeluarkan liputan khususnya
untuk bulan Maret. Bubarnya BP Migas sebelumnya tentu tidak begitu signifikan untuk
hadirnya liputan ini. Kasus kelangkaan energi pun sebenarnya sudah merebak jauh sebelum
tahun 2013. Bahkan majalah National Geographic Indonesia telah memberikan liputan
khusus energi alternatif (dunia) sejak 2006.
Lalu didapat peristiwa kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di berbagai
daerah yang dimulai sejak akhir Maret. Dilanjutkan dengan naiknya harga BBM bersubsidi
Juni kemarin. Momen akhir Maret tersebut, yang begitu pas dua minggu setelah terbitnya
liputan khusus ini, membuat saya sulit menerima hal tersebut hanya sebuah kebetulan yang
kemudian menguntungkan Tempo. Mengapa saya berkata demikian? Karena dalam
memproduksi sebuah liputan, apalagi liputan khusus, redaksi harus memiliki alasan yang
kuat. Yang menarik lagi, Tempo memiliki dua liputan khusus di bulan Maret kemarin.
Padahal tahun sebelumnya (2012), ia hanya memiliki dua liputan khusus saja, yaitu di bulan
Desember dan Agustus. Lagi, liputan khusus tersebut beruntun. Kini, di 2013 saja, Tempo
sudah mengeluarkan 5 liputan khusus. Yang pertama di bulan Januari, dua di bulan Maret,
dan tentang Kartini di April, serta satu lagi di awal bulan Juni kemarin. Atas dasar itu, alasan

19

Dan malah bisa jadi liputan khusus ini khusus dibuat untuk PLN. Bisa jadi, namun perlu banyak etnografi
produksi media terlebih dahulu sebagai pencarian bukti.

13

yang tadinya hanya kuat, menjadi alasan yang sangat kuat sehingga liputan khusus energi
alternatif ini dibuat. Alasan tersebut saya sinyalir adalah alasan untuk keuntungan Tempo.
Bagaimana bisa demikian? Hal ini saya mulai dengan jaringan jurnalis. Tentu
terdapat beberapa kasus yang diketahui terlebih dahulu oleh beberapa pihak sebelum
diberitakan kepada publik. Pihak yang tahu tersebut di antaranya intel, dan dalam hal ini
yang tugasnya tak begitu berbeda dengan intel: wartawan. Jenis kasusnya bisa macammacam, namun ini tidak berlaku untuk berita kasus yang tidak direncanakan seperti bencana
alam. Dalam hal ini Tempo, sebagai majalah yang sudah lama berkiprah di Indonesia, pasti
telah memiliki jaringan “intel” jurnalisme yang luas, dan dalam. Sedang penimbunan solar
bukanlah sebuah berita yang dapat terjadi begitu saja, artinya ada proses penimbunan itu
sendiri sebelum terjadi kelangkaan.
Bila Tempo sudah mendapat informasi penimbunan ini sejak misalnya Januari,
maka yang perlu ia lakukan kemudian adalah mencocokkan dengan cadangan solar yang ada
di pemerintah serta banyaknya solar terjual per-harinya. Dengan kalkulasi yang benar,
Tempo lalu merumuskan untuk membuat liputan khusus energi alternatif tersebut, dan juga
memutuskan tanggal terbitnya yang pasti di masa-masa sebelum masyarakat merasakan
kelangkaan solar.
Ketika terbitnya, bisa jadi efek liputan khusus ini hanya biasa saja di mata
pembaca. Namun ketika kelangkaan solar mulai terkuak, maka orang akan menengok
Tempo, dan menyetujui apa yang dimaksud Tempo: untuk segera beralih ke energi
terbarukan. Hal ini tentu akan menjadi keuntungan tersendiri untuk Tempo, karena publik
akan menilainya sebagai yang aktual dan benar.20/21

20

Dalam hal ini kemudian narasumber menjadi penting. Bila dikaitkan dengan hubungan baik Tempo dengan
Dahlan Iskan di pemerintahan, maka wajar bila Tempo menjadi yang nomor satu dalam mendapatkan berita
tentang hal ini. Kapital sosial (Bourdieu dalam (Barker 2011: 360))dengan pemerintahan selalu menjadi modal
utama untuk media massa bernafas politik seperti Tempo.
21
Selain untuk segera beralih ke energi terbarukan, tentu Tempo juga ingin turut menyerukan pencabutan
subsidi BBM. Hal ini telah banyak tertuang di berbagai liputan Tempo. GM sendiri sering mentwit (twitter)
tentang bagaimana menguntungkannya pencabutan subsidi BBM. Menurut saya sendiri, pencabutan subsidi
tersebut sangat politis. Karena tidak murni pemerintah RI saja yang memutuskan. Banyak desakan dari pihak
luar,
seperti
USAID
(http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/02/runtuhnya-kedaulatan-energipendapat.html#.Udxd1-zHTmk diakses 5 Juli 2013), dan lain-lain. Wajah Tempo yang “liberal” bisa jadi
“sejalan” dengan misi pihak-pihak luar tersebut.

14

Akhirnya wajah Tempo yang pro rakyat kini semakin dipertanyakan. Pernyataan
ini kemudian diperkuat dengan kerajaan yang sedang ia bangun, yang nadanya adalah pro
kapital, untuk pemupukan uang. Kerajaan seperti apa?
Majalah Tempo dijalankan oleh PT. Tempo Inti Media Tbk. Sahamnya dimiliki PT.
Grafiti Pers dengan porsi saham sebesar 21,016 persen, Yayasan Tempo 21 Juni 24,83
persen, PT Jaya Raya Utama (yang dimiliki oleh pemilik Agung Sedayu Group) 16,28 persen.
Selanjutnya Yayasan Jaya Raya memiliki kepemilikan saham di Tempo sebesar 8,54 persen,
karyawan Tempo 12,086 persen, dan sisanya sebesar 17,24 persen dikuasai masyarakat. 22
Dalam webnya www.tempo.co, akan terasa bisnis Tempo yang semakin meraja tersebut.
Di tahun 2001 Tempo mengeluarkan Koran Tempo, edisi cetak tentunya. Pada
2012, ketika peluncuran portal berita terbarunya www.tempo.co, Koran Tempo versi digital
tidak lagi dapat dibaca secara gratis, alias harus berlangganan. Demikian pula yang terjadi
dengan sejawatnya Kompas. Bila memang menjadi kesepakatan media massa cetak di
Indonesia, maka itu permasalahan yang lain yang membutuhkan tempat lebih untuk dibahas
lebih lanjut. Namun perluasan bisnis Tempo tidak berhenti hanya dengan versi digital yang
tidak gratis tersebut.
Selain kini Tempo telah memiliki radio (Green Radio), TV (Tempo TV), dan kantor
berita (KBR 68H)23. Hal ini diteorikan sebagai integrasi horisontal yang disebutkan Mosco
(2009: 15), yang berarti konsentrasi dalam lintas media. Tujuannya adalah untuk kekuasaan
dan kekuatan.
Tempo juga memiliki Tempo Institute yang mengatas-namakan dirinya sebagai
“Center for Excellent Journalism”. Menurut saya ini adalah kerajaan bisnis Tempo saja. Yang
pertama dengannya berarti kesempatan Tempo bertemu jurnalis-jurnalis muda di Kampus
menjadi semakin besar, yang artinya mereka semakin dekat dengan darah muda yang segar
cikal bakal jurnalis untuk produksi berita mereka. Yang kedua dengan Tempo Institute
22

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/20/088372752/RUPS-Tempo-Angkat-Dua-Komisaris-Baru
diakses pada 30 Juni 2013.
23
http://kabarinews.com/perjalanan-panjang-tempo/38026 diakses pada 30 Juni 2013.

15

meraup banyak sekali uang dengan menyelenggarakan banyak sekali pelatihan penulisan
jurnalisme, dan banyak event lainnya.
Dari halaman web-nya www.tempo-institute.org, wajah kapitalis tersebut
tergambar:
“Dengan biaya Rp. 3.500.000,00 (Diskon 15% bagi Mahasiswa dan Alumnus
Pelatihan Tempo Institute) peserta mendapatkan pelatihan intensif dalam
dua minggu pertemuan.” (cetak tebal dari halaman web).

Tempo Institute menjadi satu bagian yang termasuk integrasi secara vertikal
(ibid.), karena walaupun ia merupakan komodifikasi pekerja (dengan jurnalis Tempo sebagai
tutor dan pengisi pertemuan), dan komodifikasi audiens (dengan menarik audiens sebagai
peserta) (ibid: 14), secara tidak langsung pelatihan jurnalisme tersebut dapat juga diartikan
sebagai usaha untuk menyaring tenaga jurnalis bahkan sejak dini. Diartikan integrasi secara
vertikal, karena Tempo Institute merupakan situs kaderisasi jurnalis muda, yang berarti
sumber pasokan tenaga kerja (jurnalis) terampil di masa berikutnya.
Dengan wajah yang semakin tidak pro rakyat tersebut, maka disanksikan bila
liputan khusus energi terbarukan yang diproduksi Tempo merupakan usaha Tempo untuk
turut andil dalam kesejahteraan masyarakat.24
Kesimpulan
Wacana tentang energi alternatif telah lama mondar-mandir dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Alasan pemanasan global awalnya menjadi isu yang sangat penting.
Pada kenyataannya, Majalah Tempo baru mengangkatnya menjadi liputan khusus di Maret
2013, maka hal ini menjadi suatu yang sangat politis.
Wacana tentang energi terbarukan yang dibawa Tempo, yang bias PLN ini,
meneguhkan segala pendapat untuk segera beralih ke energi terbarukan: mereka yang
pengusaha akan mendukung ketahanan energi dengan memberi modal; mereka yang
masyarakat biasa akan mendukung program pemerintah: termasuk menerima pencabutan
subsidi BBM.

24

Bila dilakukan dengan gerakan misalnya, seberapa jauh Tempo berafiliasi dengan masyarakat luas misalnya
di bidang literasi? GM malah membuat komunitasnya yang sungguh Jakartasentris: Utan Kayu.

16

Liputan khusus tentang Energi Terbarukan ini juga membuat masyarakat kembali
menengok Tempo ketika dua minggu setelah terbitnya, yaitu di akhir Maret 2013,
kelangkaan akan solar mulai terjadi di beberapa daerah. Adanya jejaring informasi yang
dimiliki Tempo, dalam kaitannya dengan PLN (dan BUMN, dan Dahlan Iskan), dapat
membuahkan hasil berupa kepercayaan dari masyarakat untuk Tempo karena tingginya
probabilitas penilainnya sebagai yang aktual dan benar.
Jejaring ini, yang berdampak pada citra positif Tempo, semakin mengukuhkan
kekuatan Tempo. Wajahnya yang “kapitalis”, segera juga dikokohkan dengan beberapa teks
yang mengacu pada bisnis energi. Wajah Tempo yang pro rakyat semakin dipertanyakan.
Tempo kini dalam perjalanannya membangun kerajaan media. Tentang konsentrasi
kekuatan atas media ini, yang semakin menguat ini, berarti juga ancaman terhadap
diversifikasi konten, yang semakin membawa masyarakat untuk mengonsumsi informasi
yang homogen. Semakin homogennya informasi yang diterima masyarakat, maka semakin
mudah untuk melanjutkan kekuasaan, dan semakin jauh pada keadilan, pada masyarakat
yang demokratis.

17

Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies Teori & Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.
Curran, J., Gurevitch, M. and Woollacott, J. 1982. The Study of the Media: Theoretical
Approaches dalam Gurevitch (ed.). Culture, Society and the Media. New York:
Methuen & Co.
Durham, Menakshi Gigi & Kellner, Douglas M. 2006. Adventures in Media and Cultural
Studies: Introducing the Keyworks dalam Menakshi Gigi Durham & Douglas M.
Kellner (ed.). Media and Cultural Studies. UK: Blackwell.
Hall, Stuart. 1980. Pengantar pada Kajian Media di Center dalam Hall, Stuart, Hobson,
Dorothy, Lowe, Andrew, dan Paul Willis (ed.). Budaya, Media, Bahasa. Yogyakarta:
Jalasutra.
Laughey, Dan. 2008. Key Themes in Media Theory. Buckingham: Open University Press.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication
Ltd.
Storey, John. 1996. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Jurnal
Sudibyo, Agus. “Absennya Kajian Ekonomi Politik Media di Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Vol.4. No.2. Hal.115-134
Artikel dan Web
2009. Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. http://dongants.wordpress.com/2009/04/06/jawapos-adalah-dahlan-iskan/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
2009. Rangkuman Buku Wars Within.
http://catatancalonwartawan.wordpress.com/tag/tempo/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
2011. Alasan Dahlan Iskan Tak Mau Ambil Gaji Dirut PLN.
http://www.tempo.co/read/news/2011/11/22/090367975/Alasan-Dahlan-Iskan-Tak-MauAmbil-Gaji-Dirut-PLN diakses tanggal 29 Juni 2013.
2011. Ditunjuk Jadi Menteri BUMN, Dahlan Terisak-isak.
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/17/12530927/Ditunjuk.Jadi.Menteri.BUMN.Dah
lan.Terisak-isak diakses tanggal 30 Juni 2013.
18

2011. RUPS Tempo Angkat Dua Komisaris Baru.
http://www.tempo.co/read/news/2011/12/20/088372752/RUPS-Tempo-Angkat-DuaKomisaris-Baru diakses tanggal 30 Juni 2013.
2012. Dahlan Iskan, Daftar Kehebohan sang Menteri 'Koboi'.
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/ diakses tanggal 30 Juni 2013.
2012. Perjalanan Panjang Tempo. http://kabarinews.com/perjalanan-panjang-tempo/38026
diakses tanggal 30 Juni 2013.
2012. Runtuhnya Kedaulatan Energi: Pendapat Beberapa Pakar.
http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/02/runtuhnya-kedaulatan-energipendapat.html#.Udxd1-zHTmk diakses 5 Juli 2013.
2013. Majalah Tempo “SBY dan Hantu Kudeta”. 00003.
www.tempo.co diakses tanggal 1 Juli 2013.
www.tempo-institute.org diakses tanggal 1 Juli 2013.

19