T PD 1303388 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan perubahan dunia yang begitu cepat dan menyeluruh, pendidikan memiliki peranan sangat sentral dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna dapat bertahan dan menjalani kehidupan di abad ke-21. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menunjukkan peran strategis pendidikan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Fungsi pendidikan nasional itu sendiri diantaranya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam menghadapi tantangan di era global. Sains merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari makhluk hidup dengan segala aspek kehidupannya dengan mengedepankan aspek metode ilmiah. Pada hakikatnya sains berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Relevan dengan tujuan pendidikan nasional, Rustaman (2007, hlm. 97) menjelaskan bahwa pendidikan sains memiliki visi untuk mempersiapkan siswa yang melek sains dan teknologi. Harapan dari siswa yang melek sains dan teknologi yaitu mampu memahami diri dan lingkungan sekitarnya melalui pengembangan keterampilan proses, sikap ilmiah, keterampilan berpikir, penguasaan konsep sains, kegiatan teknologi, dan upaya pengelolaan lingkungan secara bijaksana yang dapat menumbuhkan sikap pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Keberhasilan pendidikan sains dalam mewujudkan visinya ditunjukkan apabila siswa memahami apa yang dipelajari serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, pendidikan sains selayaknya dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman dan kebiasaan dalam berpikir


(2)

sehingga siswa mempunyai kemampuan dalam menghadapi tantangan hidup di era globalisai. Bertemali dengan itu maka proses pembelajaran sains selayaknya dikondisikan untuk mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan menekankan pada pemberian pengalaman langsung melalui kegiatan inkuiri ilmiah (scientific inquiry) dengan tujuan dapat membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Salah satu aspek keterampilan berpikir yang perlu mendapat penekanan pada pembelajaran sains dalam menghadapi perubahan teknologi dan masyarakat saat ini adalah keterampilan berpikir kreatif. Dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) satuan pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa siswa harus dapat menunjukan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif dalam membangun, menggunakan, dan menerapkan informasi tentang lingkungan sekitar untuk mampu menyelesaikan masalah (BNSP, 2006). Harapan dikembangkannya keterampilan berpikir kreatif dalam pembelajaran sains yaitu siswa dapat berlatih untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Guilford (dalam Tan, 2009, hlm. 7) mengistilahkan kreativitas sebagai divergent production (berpikir divergen). Berpikir divergen yaitu berpikir untuk memberikan macam-macam kemungkinan jawaban benar ataupun cara penyelesaian suatu masalah berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada jumlah dan kesesuaian. Hassoubah (2008, hlm. 50) menjelaskan bahwa berpikir kreatif merupakan pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong kita untuk menghasilkan produk yang kreatif. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan kemampuan siswa mengungkapkan ide atau gagasan dari suatu masalah untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban ataupun cara terhadap pemecahan masalah secara mendetail berdasarkan informasi yang diberikan. Adapun ciri dari keterampilan berpikir kreatif tersebut menurut Munandar (2002; 2009, hlm. 192) diantaranya terdiri dari:

kelancaran (fluency), yaitu mampu mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah dengan lancar; keluwesan (flexibilty), yaitu mampu menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi; keaslian (originality), yaitu mampu menyatakan suatu ide dengan caranya sendiri; dan merinci (elaboration), yaitu merinci ide secara mendetail.


(3)

Keterampilan lain yang juga tidak kalah penting dengan keterampilan berpikir yaitu keterampilan proses sains. Keterampilan ini penting dimiliki oleh siswa dalam kegiatan inkuiri ilmiah guna menyelesaikan berbagai masalah sains. Keterampilan proses sains adalah semua kemampuan yang diperlukan untuk memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori-teori sains baik berupa kemampuan mental, fisik, maupun kemampuan sosial. Menurut Rustaman (2005, hlm. 80) keterampilan proses sains meliputi kegiatan melakukan pengamatan, menafsirkan pengamatan,

mengklasifikasi, berkomunikasi, memprediksi, merumuskan hipotesis,

menganalisis data, merancang eksperimen atau percobaan, menerapkan konsep atau prinsip, mengajukan pertanyaan, menggunakan alat, melakukan pengukuran dan penarikan kesimpulan.

Siswa tidak akan lepas dari proses berpikir dan keterampilan proses sains dalam menemukan produk sains. Hal ini terlihat dari banyak jenis keterampilan proses sains seperti mengamati, menginterpretasi atau membuat hipotesis bisa dikuasai siswa dengan baik jika disertai dengan keterampilan berpikir. Kedua keterampilan tersebut merupakan keterampilan siswa yang memerlukan proses latihan, oleh karena itu sudah selayaknya keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains senantiasa dikembangkan dalam setiap langkah pembelajaran disetiap jenjang pendidikan.

Faktanya yang terjadi di lapangan pembelajaran sains masih terbilang belum menyentuh pengembangan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains secara optimal. Penelitian Rofi’uddin (2009), menjelaskan bahwa saat ini pendidikan berpikir di tingkat pendidikan dasar belum tertangani secara sistematis dan dilaksanakan secara parsial sehingga berakibat pada kemampuan berpikir lulusan sekolah dasar masih rendah. Selain itu, penelitian Suastra (dalam Aziz, 2012, hlm. 4) menjelaskan bahwa rendahnya pembelajaran sains disebabkan karena tolak ukur keberhasilan pendidikan di sekolah masih difokuskan pada segi konsep. Pembelajaran sains selama ini memiliki kecenderungan hanya mengasah aspek mengingat (remembering) dan memahami (understanding), kurang melatih siswa dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah dimana siswa dituntut untuk menggunakan penalaran, argumentasi dan kreativitas lebih.


(4)

Selain itu pembelajaran di lapangan juga tidak banyak melatih keterampilan siswa dalam berinkuiri. Keadaan ini diperparah dengan kondisi dimana fokus penyajian pembelajaran hanya dilakukan dengan kegiatan ceramah sehingga mengakibatkan kegiatan siswa ketika belajar sangat terbatas. Penjelasan tersebut didukung oleh hasil penelitian Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007 (dalam Handika, I & Wangid, M. N., 2013) yang menyatakan bahwa metode ceramah dengan cara menulis di papan tulis merupakan metode yang paling banyak digunakan. Berbagai temuan tersebut juga didukung oleh hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di salah satu sekolah dasar di kabupaten Majalengka, bahwa pertanyan-pertanyaan yang dilontarkan guru pada pelaksanaan pembelajaran sains masih didominasi oleh aspek ingatan, selain itu kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas juga belum dapat mengoptimalkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan melakukan inkuiri. Pada pelaksanaannya siswa lebih banyak diam mendengarkan penjelasan guru serta mencatat hal-hal yang penting.

Rendahnya keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains (KPS) pada akhirnya bermuara pada rendahnya hasil belajar sains siswa. Sebagaimana dikutip dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Peringkat Indonesia di PISA (Programe for International Student Assessment) dalam matematika, sains, dan membaca yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development pada tahun 2012 berada pada posisi 64 dari 65 negara yang ikut serta. Berdasarkan data PISA tersebut anak Indonesia masih rendah dalam kemampuan literasi sains diantaranya mengidentifikasi masalah ilmiah, menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem

kehidupan dan memahami penggunaan peralatan sains

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa).

Hasil survey dari lembaga lain ternyata juga tidak jauh berbeda, hasil penilaian dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) yang mengukur kemampuan scientific inquiry, menunjukan bahwa rata-rata skor prestasi sains siswa Indonesia pada tahun 1999 yaitu 435 sehingga menjadikan Indonesia berada pada urutan 32 dari 39, pada tahun 2003 berada pada urutan 37 dari 46 dengan rata-rata skor 420, begitupun hasil pada tahun 2007 berada pada


(5)

urutan 35 dari 49 dengan skor rata-rata 427, dan hasil survey yang terakhir juga menunjukan hasil yang relatif sama yaitu berada pada urutan 39 dari 41 dengan skor rata-rata 406 sedangkan rata-rata skor internasional sudah mencapai skor 500. Berdasarkan hasil interpretasi survey TIMSS terhadap kemampuan siswa Indonesia ditinjau dari aspek kognitif (knowing, applying, reasoning), ternyata

secara rata-rata masih berada pada kemampuan knowing

(http://timssandpirls.bc.edu/data-release-2011/pdf/Overview-TIMSS-and-PIRLS-2011-Achievement.pdf).

Berdasarkan data empiris yang telah dikemukakan di atas, perlu dilakukan sebuah perubahan besar dan mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran sains. Berbagai upaya seyogyanya dilakukan memiliki tujuan untuk membenahi pembelajaran yang bermuara pada peningkatan mutu dan hasil pembelajaran sehingga pada akhirnya dapat mempersiapkan siswa yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi perubahan pola pikir dalam proses pembelajaran. Perubahan pola pikir tersebut hendaknya menggambarkan pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, dari satu arah menuju pada pembelajaran yang interaktif, dan dari belajar dengan menghafal menjadi belajar berpikir atau dari belajar yang dangkal menjadi kompleks. Permendiknas RI No. 41 (2007, hlm. 6) menjelaskan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Penjelasan tersebut dimaksudkan supaya pembelajaran menjadi aktivitas yang bermakna dimana setiap siswa dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya.

Studi terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan proses mengungkapkan bahwa keterampilan ini tidak akan berkembang tanpa usaha yang secara eksplisist dan disengaja ditanamkan dalam pengembangannya. Seorang siswa tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan baik tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam pembelajaran


(6)

(Wayan & Triwiyono dalam Rustaman, 2007, hlm. 77). Dengan demikian, guru sebagai pendidik berkewajiban untuk mengkondisikan pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan keterampilan berpikirnya. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif dan mengembangkan keterampilan proses sains adalah model pembelajaran berbasis masalah (PBM). Arends (2008, hlm. 41) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemandirian, dan percaya diri.

Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah dapat terlihat dari keberhasilan model ini menyelesaikan berbagai permasalahan pembelajaran yang tertuang dalam beberapa penelitian. Penelitian Khori, W. dkk (2013) menunjukan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran model PBL berbantuan multimedia lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran ekspositori, ditunjukan dengan rata-rata N-gain kelas ekseperimen sebesar 0,45 lebih baik dari rata-rata N-gain kelas kontrol yang hanya sebesar 0,16. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa melalui PBL terjadi peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan kategori sedang. Penelitian lain dari Muntaha, A & Hartono (2013) menunjukan hasil bahwa model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan rata-rata skor N-gain kelas eksperimen sebesar 0,32 lebih baik dari rata-rata skor N-gain kelas kontrol sebesar 0,14. Selain itu penelitian Handika, I & Wangid, M. N. (2013) yang berjudul pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap penguasaan konsep dan keterampilan proses sains siswa kelas V menunjukan hasil bahwa pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh yang lebih baik dan signifikan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap penguasaan konsep sains dan keterampilan proses sains siswa.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas jelas bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa, namun data hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan yang didapat hanya berada pada kriteria sedang. Dengan demikian


(7)

peneliti menganggap perlu melakukan penelitian mengenai peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa melalui model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran IPA. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu menitik beratkan pada pembiasaan membaca yang dilakukan oleh siswa sebelum dimulainya pembelajaran.

B. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup masalah yang terindentifikasi maka diperlukan pembatasan masalah, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini terbatas pada peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) pada pembelajaran IPA di kelas V SD, materi daur air. Materi tersebut kemudian dijabarkan menjadi: (1) proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya; (2) pencemaran air; (3) pemanfaatan dan penghematan air. Materi daur air dipilih dengan harapan pembelajaran yang dilakukan dapat memunculkan ide-ide kreatif siswa dalam memberikan pemecahan masalah yang berkaitan dengan air di lingkungan sekitar. Selain itu materi daur air juga dapat menantang siswa untuk melakukan inkuiri dengan mengaplikasikan keterampilan proses sains.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM?

2. Apakah peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM?


(8)

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) terhadap peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa kelas V di salah satu SD kabupaten Majalengka. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan apakah data peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM.

2. Mendeskripsikan apakah data peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM

E. Manfaat Penelitian

Manfaat umum yang diharapkan dari penelitian ini yaitu agar data hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti empiris tentang peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar melalui model pembelajaran berbasis masalah. Lebih lanjut secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait. Adapun manfaatnya dapat dilihat dari beberapa aspek berikut, yaitu: 1. Manfaat dari segi teori, penelitian ini diharapkan dapat menambah

perbendaharaan penelitian pendidikan dan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan kajian bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian terkait dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains.

2. Manfaat dari segi kebijakan, memberikan arahan kebijakan untuk mengembangkan pendidikan bagi siswa sekolah dasar dalam pembelajaran IPA yang baik dan efektif untuk diimplementasikan di sekolah dasar.

3. Manfaat dari segi praktis, yaitu:

a. Siswa, diharapkan penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada proses pembelajaran IPA dapat membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa. Selain


(9)

itu model pembelajaran berbasis masalah juga dapat meningkatkan antusias siswa pada pembelajaran IPA.

b. Para guru, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pemilihan model pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa. Selain itu, pada penelitian ini juga tersedia perangkat pembelajaran yang dapat dijadikan contoh dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa khususnya pada materi daur air.

4. Manfaat dari segi isu serta aksi sosial, memberikan informasi kepada semua pihak mengenai model pembelajaran berbasis masalah, sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk lembaga-lembaga formal maupun non formal dalam mengimplementasikan pembelajaran IPA.

F. Struktur Organisasi

Penulisan tesis ini dimulai dari bab 1 pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang penelitian, pembatasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis. Bab II kajian pustaka membahas secara teoritis hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu hakikat pembelajaran sains di SD, model pembelajaran berbasis masalah, keterampilan berpikir kreatif, keterampilan proses sains, model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains, kerangka berpikir, ruang lingkup materi, dan hipotesis penelitian. Bab III metode penelitian berisi penjabaran tentang desain penelitian, lokasi dan waktu penelitian, partisipan, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, prosedur penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Bab IV temuan dan pembahasan terdiri dari hasil penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya terdiri dari deskripsi peningkatan keterampilan berpikir kreatif melalui pembelajaran berbasiss masalah, dan deskripsi peningkatan keterampilan proses sains melalui pembelajaran berbasis masalah. Bab V simpulan, implikasi, dan rekomendasi. Daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang merupakan penunjang dari penelitian ini.


(1)

Selain itu pembelajaran di lapangan juga tidak banyak melatih keterampilan siswa dalam berinkuiri. Keadaan ini diperparah dengan kondisi dimana fokus penyajian pembelajaran hanya dilakukan dengan kegiatan ceramah sehingga mengakibatkan kegiatan siswa ketika belajar sangat terbatas. Penjelasan tersebut didukung oleh hasil penelitian Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007 (dalam Handika, I & Wangid, M. N., 2013) yang menyatakan bahwa metode ceramah dengan cara menulis di papan tulis merupakan metode yang paling banyak digunakan. Berbagai temuan tersebut juga didukung oleh hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di salah satu sekolah dasar di kabupaten Majalengka, bahwa pertanyan-pertanyaan yang dilontarkan guru pada pelaksanaan pembelajaran sains masih didominasi oleh aspek ingatan, selain itu kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas juga belum dapat mengoptimalkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan melakukan inkuiri. Pada pelaksanaannya siswa lebih banyak diam mendengarkan penjelasan guru serta mencatat hal-hal yang penting.

Rendahnya keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains (KPS) pada akhirnya bermuara pada rendahnya hasil belajar sains siswa. Sebagaimana dikutip dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Peringkat Indonesia di PISA (Programe for International Student Assessment) dalam matematika, sains, dan membaca yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development pada tahun 2012 berada pada posisi 64 dari 65 negara yang ikut serta. Berdasarkan data PISA tersebut anak Indonesia masih rendah dalam kemampuan literasi sains diantaranya mengidentifikasi masalah ilmiah, menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem

kehidupan dan memahami penggunaan peralatan sains

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa).

Hasil survey dari lembaga lain ternyata juga tidak jauh berbeda, hasil penilaian dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) yang mengukur kemampuan scientific inquiry, menunjukan bahwa rata-rata skor prestasi sains siswa Indonesia pada tahun 1999 yaitu 435 sehingga menjadikan Indonesia berada pada urutan 32 dari 39, pada tahun 2003 berada pada urutan 37 dari 46 dengan rata-rata skor 420, begitupun hasil pada tahun 2007 berada pada


(2)

urutan 35 dari 49 dengan skor rata-rata 427, dan hasil survey yang terakhir juga menunjukan hasil yang relatif sama yaitu berada pada urutan 39 dari 41 dengan skor rata-rata 406 sedangkan rata-rata skor internasional sudah mencapai skor 500. Berdasarkan hasil interpretasi survey TIMSS terhadap kemampuan siswa Indonesia ditinjau dari aspek kognitif (knowing, applying, reasoning), ternyata secara rata-rata masih berada pada kemampuan knowing (http://timssandpirls.bc.edu/data-release-2011/pdf/Overview-TIMSS-and-PIRLS-2011-Achievement.pdf).

Berdasarkan data empiris yang telah dikemukakan di atas, perlu dilakukan sebuah perubahan besar dan mendasar dalam pelaksanaan pembelajaran sains. Berbagai upaya seyogyanya dilakukan memiliki tujuan untuk membenahi pembelajaran yang bermuara pada peningkatan mutu dan hasil pembelajaran sehingga pada akhirnya dapat mempersiapkan siswa yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi perubahan pola pikir dalam proses pembelajaran. Perubahan pola pikir tersebut hendaknya menggambarkan pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, dari satu arah menuju pada pembelajaran yang interaktif, dan dari belajar dengan menghafal menjadi belajar berpikir atau dari belajar yang dangkal menjadi kompleks. Permendiknas RI No. 41 (2007, hlm. 6) menjelaskan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Penjelasan tersebut dimaksudkan supaya pembelajaran menjadi aktivitas yang bermakna dimana setiap siswa dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya.

Studi terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan proses mengungkapkan bahwa keterampilan ini tidak akan berkembang tanpa usaha yang secara eksplisist dan disengaja ditanamkan dalam pengembangannya. Seorang siswa tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan baik tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam pembelajaran


(3)

(Wayan & Triwiyono dalam Rustaman, 2007, hlm. 77). Dengan demikian, guru sebagai pendidik berkewajiban untuk mengkondisikan pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan keterampilan berpikirnya. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif dan mengembangkan keterampilan proses sains adalah model pembelajaran berbasis masalah (PBM). Arends (2008, hlm. 41) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemandirian, dan percaya diri.

Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah dapat terlihat dari keberhasilan model ini menyelesaikan berbagai permasalahan pembelajaran yang tertuang dalam beberapa penelitian. Penelitian Khori, W. dkk (2013) menunjukan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran model PBL berbantuan multimedia lebih baik daripada kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran ekspositori, ditunjukan dengan rata-rata N-gain kelas ekseperimen sebesar 0,45 lebih baik dari rata-rata N-gain kelas kontrol yang hanya sebesar 0,16. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa melalui PBL terjadi peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan kategori sedang. Penelitian lain dari Muntaha, A & Hartono (2013) menunjukan hasil bahwa model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan rata-rata skor N-gain kelas eksperimen sebesar 0,32 lebih baik dari rata-rata skor N-gain kelas kontrol sebesar 0,14. Selain itu penelitian Handika, I & Wangid, M. N. (2013) yang berjudul pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap penguasaan konsep dan keterampilan proses sains siswa kelas V menunjukan hasil bahwa pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh yang lebih baik dan signifikan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap penguasaan konsep sains dan keterampilan proses sains siswa.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas jelas bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa, namun data hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan yang didapat hanya berada pada kriteria sedang. Dengan demikian


(4)

peneliti menganggap perlu melakukan penelitian mengenai peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa melalui model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran IPA. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu menitik beratkan pada pembiasaan membaca yang dilakukan oleh siswa sebelum dimulainya pembelajaran.

B. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup masalah yang terindentifikasi maka diperlukan pembatasan masalah, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini terbatas pada peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) pada pembelajaran IPA di kelas V SD, materi daur air. Materi tersebut kemudian dijabarkan menjadi: (1) proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya; (2) pencemaran air; (3) pemanfaatan dan penghematan air. Materi daur air dipilih dengan harapan pembelajaran yang dilakukan dapat memunculkan ide-ide kreatif siswa dalam memberikan pemecahan masalah yang berkaitan dengan air di lingkungan sekitar. Selain itu materi daur air juga dapat menantang siswa untuk melakukan inkuiri dengan mengaplikasikan keterampilan proses sains.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM?

2. Apakah peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM?


(5)

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) terhadap peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa kelas V di salah satu SD kabupaten Majalengka. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan apakah data peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM.

2. Mendeskripsikan apakah data peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih baik dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran bukan PBM

E. Manfaat Penelitian

Manfaat umum yang diharapkan dari penelitian ini yaitu agar data hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti empiris tentang peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar melalui model pembelajaran berbasis masalah. Lebih lanjut secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait. Adapun manfaatnya dapat dilihat dari beberapa aspek berikut, yaitu: 1. Manfaat dari segi teori, penelitian ini diharapkan dapat menambah

perbendaharaan penelitian pendidikan dan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan kajian bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian terkait dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains.

2. Manfaat dari segi kebijakan, memberikan arahan kebijakan untuk mengembangkan pendidikan bagi siswa sekolah dasar dalam pembelajaran IPA yang baik dan efektif untuk diimplementasikan di sekolah dasar.

3. Manfaat dari segi praktis, yaitu:

a. Siswa, diharapkan penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada proses pembelajaran IPA dapat membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa. Selain


(6)

itu model pembelajaran berbasis masalah juga dapat meningkatkan antusias siswa pada pembelajaran IPA.

b. Para guru, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pemilihan model pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa. Selain itu, pada penelitian ini juga tersedia perangkat pembelajaran yang dapat dijadikan contoh dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa khususnya pada materi daur air.

4. Manfaat dari segi isu serta aksi sosial, memberikan informasi kepada semua pihak mengenai model pembelajaran berbasis masalah, sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk lembaga-lembaga formal maupun non formal dalam mengimplementasikan pembelajaran IPA.

F. Struktur Organisasi

Penulisan tesis ini dimulai dari bab 1 pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang penelitian, pembatasan masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis. Bab II kajian pustaka membahas secara teoritis hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu hakikat pembelajaran sains di SD, model pembelajaran berbasis masalah, keterampilan berpikir kreatif, keterampilan proses sains, model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains, kerangka berpikir, ruang lingkup materi, dan hipotesis penelitian. Bab III metode penelitian berisi penjabaran tentang desain penelitian, lokasi dan waktu penelitian, partisipan, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, prosedur penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Bab IV temuan dan pembahasan terdiri dari hasil penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya terdiri dari deskripsi peningkatan keterampilan berpikir kreatif melalui pembelajaran berbasiss masalah, dan deskripsi peningkatan keterampilan proses sains melalui pembelajaran berbasis masalah. Bab V simpulan, implikasi, dan rekomendasi. Daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang merupakan penunjang dari penelitian ini.