AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONALDALAM HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK

UNIVERSITAS INDONESIA

AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL
DALAM HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK

PAPER TUGAS INDIVIDU
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Hukum Perjanjian
Internasional

ASYSTASIA SABATHRIN CINDANANTI
1206230662

FAKULTAS HUKUM
PEMINATAN HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK
DEPOK
APRIL 2015

Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional
Dalam pembahasan ini lebih ditekankan kepada pelaksanaan amandemen
atau modifikasi dalam perjanjian internasional yang subyeknya adalah negara dan
tidak


dibahas

mengenai

organisasi

internasional

karena

pengaturan

di

konvensinya kurang lebih serupa. Sebelum lebih jauh membahas amandemen dan
modifikasi perjanjian internasional, perlu ditekankan bahwa aturan mengenai
amandemen dan modifikasi yang dibahas di makalah ini adalah hukum yang
mengatur perjanjian berbentuk multilateral atau perjanjian yang pesertanya lebih
dari 2 negara. Bagi perjanjian bilateral aturan VCLT tetap berlaku secara umum

namun tidak perlu memenuhi beberapa tahapan prosedur formil dalam VCLT
karena amandemen dan modifikasi pada perjanjian bilateral secara sederhana
hanya perlu persetujuan dan kesepakatan kedua belah negara peserta perjanjian.
Di zaman dulu tidak dikenal amandemen namun konsep pengubahan
perjanjian telah dikenal dengan istilah 'revisi' (terminologi mana digunakan pada
zaman pemerintahan Hitler di Jerman terkait dengan perjanjian Versailles) 1.
Perbedaan antara amandemen dengan modifikasi pernah disebut Jan Klebber,
...The most formal way to change a treaty is by amendment under Vienna
Convention Art. 40...by definition involves all parties to the original treaty. If only
some parties are concerned with attempts to revise a regime, the convention
speaks of a modification between those parties inter se. Such modification is
generally permitted as long as it does not deprive others of rights under the original
version of the treaty concerned, and as long it is compatible with the treaty's object
and purpose.2

Dari pernyataan diatas dapat dibedakan bahwa amendemen dan modifikasi
memang sama-sama bertujuan mengubah hal-hal yang diatur dalam perjanjian
namun, dari segi siapa para pihak yang terlibat dalam proses pengubahan dan
yang terkena akibat hukum dari perubahan itu berbeda.


1 Jan Klabbers, International Law, (Maryland: Cambridge University Press,
2013), hlm. 57.
2 Ibid.

1

Amandemen
Terminologi "amandemen" dalam Art. 40 VCLT 1969 merujuk pada
perubahan formal ketentuan perjanjian internasional yang mempengaruhi semua
pihak dalam perjanjian tertentu. Perubahan itu harus memenuhi syarat formalitas
yang sama seperti saat pembentukan perjanjian aslinya saat pertama kali dibentuk.
Banyak sekali perjanjian multilateral yang memberikan persyaratan spesifik untuk
memuaskan para negara peserta yang akan mengadopsi hasil atas dari perubahan
perjanjian. Dalam kondisi tidak adanya aturan-aturan tertentu yang dimaksud tadi
maka pengubahan membutuhkan persetujuan (consent) dari semua pihak.3
Definisi yang diberikan oleh PBB diatas masih belum jelas secara hukum maka
pada paragraf selanjutnya akan dijelaskan detail amandemen perjanjian
internasional.
Amandemen perjanjian internasional diatur di Art. 39 VCLT 1969 yang
merumuskan aturan umum demikian:

"A treaty may be amended by agreement between the parties. The rules laid down
in Part II apply to such an agreement except in so far as the treaty may otherwise
provide."

Norma diatas merupakan 'kebolehan' karena adanya kata 'may' (dapat)
sehingga logika hakikat pengaturan Art. 39 VCLT adalah memberi keleluasaan ke
para pihak dalam perjanjian internasional untuk melakukan amandemen terhadap
perjanjian yang dibuat diantara mereka. Bila perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tidak mengatur sendiri prosedur pengubahan perjanjian maka cara
melakukan amandemen terhadap perjanjian diatur dalam Bagian II VLCT.
Artinya, amandemen terhadap original treaty ini sama prosedurnya dengan
formulasi perjanjian yang awal seperti harus adanya mekanisme otorisasi lewat
full power(s), adoption of the text, authentication of the text, consent to be bound
(dengan signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification,
acceptance, approval (or) accession, atau lewat cara lain yang disetujui negara
yang ikut menegosiasikan penyusunan perjanjian), reservasi dan mekanisme
acceptance atau objection dari negara peserta pembuatan perjanjian lainnya (bila
3 United Nations Treaty Collection , "Glosary of terms relating to Treaty actions",
https://treaties.un.org/pages/Overview.aspx?
path=overview/glossary/page1_en.xml#amendment, diakses 14 April 2015.


2

ada), dan entry into force.
Hal ini ternyata dinyatakan berbeda oleh T.O. Ellias yang mengatakan
bahwa pengaturannya tidak hanya yang tertera di Chapter II VCLT saja melainkan
meliputi juga Chapter I dan III,
...It is elementary that, where circumstances warrant such a course, a treaty may be
amended by agreement between all parties to it. This may be brought by an
instrument of the same kind as or similiar kind to the original treaty, unless
the parties agree otherwise...also that the rules laid down in Chapter I to III
regarding the modalities of conclusion of a treaty and its entry to force must be
observed, unless the treaty itself provide otherwise... The reason for the
requirement of these formalities with respect to treaty amendment is that rights
and obligations solemnly aquired and undertaken respectively under a treaty
should be capable of being subsequently varied only by spesific agreement
between the parties and that such amendment should be carried out in a clear and
unambigous manner...It is possible for some only of the parties to agree to amend a
multilateral treaty as between themselves, leaving the other parties unaffected by
such amendment not only as between themselves but also in their relations with

the amending parties.4

Dari pendapat Ellias diatas dapat dipahami definisi dari amandemen bila
kita bandingkan dengan Art. 39 VCLT bahwa amandemen melibatkan semua
pihak dari perjanjian dan harus melalui persetujuan diantara semua negara
anggota. Selain itu, ada formalitas dalam amandemen perjanjian sebagaimana
merujuk pada VCLT Chapter I-III yang bertujuan agar tidak ada hak dan
kewajiban negara lain yang dilanggar dalam hal pengajuan proposal amandemen
sampai conclusion sehingga hubungan hukum antara semua negara anggota harus
dipikirkan dan juga hubungan negara lain dengan pihak ketiga yang juga timbul
akibat pacta sunt servanda tidak boleh diderogasi karena tidak ketidak jelasan
prosedur amandemen. Hasil dari amandemen dapat berupa instrumen hukum
internasional yang serupa dengan original treaty bisa juga tidak. Misalnya,
konvensi diamandemen dengan konvensi (contoh: UNCLOS). Atau, bisa juga
konvensi diamandemen dengan Protokol contohnya Convention for the Protection
of Human Rights and Fundamental Freedoms diamandemen dengan Protocol No.
4 T.O. Ellias, The Modern Law of Treaties, (Leiden: Oceana Publications Inc.,
1974), hlm. 88-89.

3


11 and No. 14.5
Dasar hukum amandemen terhadap perjanjian [multilateral] diatur dalam
Art. 40 para. (1) s.d. (5) VCLT 1969. Berdasar Art. 40 (1), aturan Art. 40 VCLT
tentang prosedur amandemen selanjutnya dapat digunakan apabila perjanjian yang
ingin diamandemen oleh negara peserta tidak memberikan provisional
requirement(s) untuk mengamandemen perjanjian yang dimaksud.
Prosedur baku sebagai syarat formil amandemen adalah sebagai berikut:


Tahap penyerahan proposal: Diatur Art. 40 para. (2) bahwa ada
mekanisme penyerahan proposal. Setiap proposal yang digunakan
untuk mengamandemen perjanjian antara semua negara peserta
(State Party) harus dinotifikasikan ke semua Contracting States.
Menurut pemahaman saya, ada beberapa hal penting dari norma ini.
Pertama, bahwa subyek hukum dalam amandemen perjanjian ada
dua yaitu State Party(s)6 dan Contracting Party(s)7. Kedua,
mengatur mengenai kewajiban-kewajiban negara (State Duties) dari
pihak State Party untuk: 1). Menyerahkan proposal untuk
mengamandemen perjanjian diantara mereka semuanya (duty


5 "Convention as amended by its Protocol No. 14 (CETS No. 194) as from the
date of its entry into force on 1 June 2010...The text of the Convention had been
previously amended according to the provisions of Protocol No. 3 (ETS No. 45), which
entered into force on 21 September 1970, of Protocol No. 5 (ETS No. 55), which entered
into force on 20 December 1971 and of Protocol No. 8 (ETS No. 118), which entered into
force on 1 January 1990, and comprised also the text of Protocol No. 2 (ETS No. 44)
which, in accordance with Article 5, paragraph 3 thereof, had been an integral part of the
Convention since its entry into force on 21 September 1970. All provisions which had
been amended or added by these Protocols were replaced by Protocol No. 11 (ETS No.
155), as from the date of its entry into force on 1 November 1998. As from that date,
Protocol No. 9 (ETS No. 140), which entered into force on 1 October 1994, was repealed
and Protocol No. 10 (ETS no. 146) had lost its purpose." CDDH European Court of
Human RIghts, "Amended Protocol of EU Convention for the Protection of Human
Rights", http://conventions.coe.int/treaty/en/treaties/html/005.htm, diakses 14 April 2015.
6 Di Art. 2 para 1 huruf g VCLT 1969 diatur bahwa negara peserta perjanjian
internasional (State Party) adalah sebuah negara yang sudah ingin mengikatkan diri
terhadap perjanjian (...has consented to be bound by treaty), yang mana perjanjiannya
telah berlaku mengikat perbuatan hukumnya (entry into force).
7 Di Art. 2 para 1 huruf f VCLT 1969 diatur bahwa Contracting Party perjanjian

internasional adalah sebuah negara yang sudah ingin mengikatkan diri terhadap perjanjian
(...has consented to be bound by treaty), terlepas dari apakah perjanjian itu sudah berlaku
(entry into force) atau belum.

4

between all the parties), dan 2). Memberi notifikasi8 pada seluruh
Contracting Parties (duty of State Party to Contracting Party). State
duties tentu tidak berdiri sendiri karena diikuti pula dengan hak. Para
pihak punya hak antara lain ikut serta:
1) memutuskan langkah yang diambil

terhadap

proposal

amandemen yang diterimanya;
2) merundingkan dan menyimpulkan setiap persetujuan untuk
mengamandemen.
Hal ketiga adalah adanya hubungan hukum antara yakni adanya

hubungan hak dan kewajiban diantara para subyek hukum baik
hubungan antara sesama negara peserta ataupun hubungan antara
negara peserta dengan Contracting Parties.


Status hukum negara-negara Party: Art. 40 para. 3 yang mengatur
tentang status hukum negara anggota yang bersedia untuk ikut
perjanjian yang diamandemen. Diatur bahwa setiap negara peserta
sebuah perjanjian yang original treatynya akan diamandemen juga
berhak diberikan 'title' negara anggota dari perjanjian yang nantinya
diamandemen dan mereka harus langsung menjadi Party perjanjian
baru bila ada keinginan. Sebaliknya, Art. 40 para. 4 mengatur
tentang status hukum keanggotaan perjanjian internasional bagi
mereka yang disebut dalam Art. 30 para. 4(b). Dijelaskan bahwa
kesepakatan atau persetujuan (agreement) untuk mengamandemen
sebuah perjanjian tidak akan mengikat setiap negara yang menolak
mengikatkan diri menjadi bagian dari perjanjian yang diamandemen.
Sehingga bagi mereka tetap berlaku original treaty sebelum
amandemen. Selain kedua tipe negara diatas, diatur juga status
hukum negara yang menjadi anggota perjanjian melalui jalur aksesi

(ikutnya setelah perjanjian yang diamandemen itu entry into force).

8 Art. 16 huruf C, Art. 78, dll. dalam VCLT 1969. Notifikasi artinya formalitas
dimana sebuah negara atau organisasi internasional mengkomunikasikan beberapa fakta
atau peristiwa hukum yang penting. Notifikasi bertujuan untuk mengekspresikan final
consent yang biasanya dilakukan dengan pertukaran dokumen-dokumen antar negara atau
mendepositkan dokumen itu ke sekretariat yang ditunjuk. Meskipun demikian, tidak ada
sesuatu hal baku tentang notifikasi yang penting setiap tindakan atau instrumen yang
berkaitan dengan keberlangsungan sebuah perjanjian itu dapat disebut notifikasi.

5

Dasar hukumnya ada di Art. 40 para. 5, disebutkan bahwa negaranegara tadi harus: 1). dipertimbangkan sebagai (pihak) peserta dari
perjanjian yang diamandemen dan 2). dipertimbangkan sebagai
peserta dari perjanjian yang tidak diamandemen (original treaty-nya)
terkait hubungan hukumnya dengan negara manapun yang tidak
mengikatkan dirinya dengan perjanjian yang diamandemen.
Pada VCLT Untuk memperjelas tahapan amandemen mari bandingkan
dengan pendapat para sarjana. Menurut Jan Klabbers:
...A first is that an amandment must actually be proposed. Typically, a
meeting of the parties is then convened, at which the amandment may be
adopted by majority rule, and if so, the typical final stage is the
ratification of the amendments adopted. Hence, states are asked twice for
their opinion, once while adopting the amendment, and once while deciding
to approve ratification of the amendment.9
Dari pendapat Klabbers diatas, tepat digambarkan proses amandemen
perjanjian sesuai Art. 39 jo. 40 para. 2 VCLT 1969 bahwa ada mekanisme
amandemen yang sama seperti proses conclusion of the treaty. Ellias
menambahkan bahwa di dalam upaya pengajuan proposal amandemen itu
diperlukan good faith dari para pihak yang mengajukan dan merundingkan
amandemen, sebagaimana dikatakan demikian "...There is obligations to perform
treaties in good faith, implies a duty imposed on all to bring every party fully into
the picture of what is happening about any proposed amendment".10
Akan ada pertanyaan hukum prinsipiil yang timbul kemudian dari
dirumuskannya norma yang masih terlalu umum tadi yakni apa yang akan terjadi
bilamana tidak semua negara mau meratifikasi amandemen perjanjian itu. Hal ini
telah diwaspadai oleh Art. 40 para. 4. Bagi mereka tetap berlaku original treaty
sebelum amandemen. Namun, situasi ternyata berbeda antara perjanjian satu
dengan lainnya terlepas dari norma hukum umum yang diatur oleh VCLT tadi.
Ada dua kondisi yang tercipta dari dua tipe perjanjian terkait keberlakuan
9 Ralph Zacklin dikutip oleh Jan Klabbers. Ralph Zaklin, The Amendment of the
Constitutive Instruments of the United Nations and Specialized Agencies, (Leiden: Brill,
2008).
10 T.O. Ellias, Loc. Cit., hlm. 92.

6

perjanjian yang telah diamandemen. Pertama, kondisi dimana Art. 40 para. 4
VCLT berlaku bagi negara-negara itu. Kedua, kondisi dimana negara-negara yang
tidak meratifikasi amandemennya juga ikut 'terseret' secara hukum karena tipe
perjanjiannya mengatur bahwa amandemen langsung enter into force pada semua
negara peserta bilamana telah memenuhi persetujuan oleh mayoritas (contohnya
kasus UN Charter). Bagi kondisi kedua menurut saya tidak akan menjadi masalah
karena rasio konflik sangat rendah. Namun, kondisi pertamalah yang
menimbulkan resiko konflik dalam pelaksanaannya yakni dimana ada negara yang
menjadi Party pada perjanjian old-version (original version of treaty) dan ada
juga negara lain yang menjadi Party pada new-version (amended treaty).
Mengutip pendapat Klabbers dalam perkara yang sama, "...Needless to say, this is
not always very practicable as it creates two regimes within one."11
Pendapat Klabbers sebelumnya juga saya temukan dalam tulisan Ellias,
...These remains a final problem...where only some or even all the parties also
become parties to an amending agreement. The problem is to determine the legal
position of a State which becomes a party to the original treaty only after amending
agreement has entered into force.12

Menurut saya, hal ini menjadi masalah karena terkadang saya (mungkin
para sarjana sekalipun) sulit menentukan kejelasan hukum dari perjanjian mana
yang diterapkan terhadap negara dalam kasus ini mengingat mereka terikat pada
dua perjanjian yang sama. Jawaban dari masalah ini selanjutnya dipaparkan Ellias:
...in the absence of an ex pression of intention to the contrary or by the State Party
in question, a State which becomes a party after the coming into force of the
amending agreement is to be considered (a). to choose wheter to become a party to
the original treaty only, to the treaty as well as the amending agreement, or only to
the amended treaty, and (b) it is appropriate to affirm as a principle the widest
possible participation in a multilateral treaty.13

Dalam beberapa perjanjian, norma yang mengatur amandemen berikut
dengan prosedurnya telah diakomodir. Contohnya adalah UNECE Convention on
Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to
Justice in Environmental Matters atau Aarhus Convention. Art. 14 para. 1 Aarhus
11 Ralph Zacklin, Loc. Cit.
12 T.O. Ellias, Loc. Cit., hlm. 93.
13 Ibid, hlm. 94.

7

Convention mengatur siapa yang dapat mengajukan proposal amandemen, para. 2
mengatur proses submission proposal, para. 3 dan 7 mengatur bagaimana
amandemen diadopsi oleh negara-negara ybs., dan para. 4,5, dan 6 mengatur
bagaimana amandemennya enter into force.14
Contoh pengaturan yang sifatnya self-explanatory perihal amandemen
perjanjian internasional dalam Aarhus Convention 1998:



Art 14 para. 1: " Any Party may propose amendments to this Convention."
Art 14 para. 2: "The text of any proposed amendment to this Convention
shall be submitted in writing to the Executive Secretary of the Economic
Commission for Europe, who shall communicate it to all Parties at least
ninety days before the meeting of the Parties at which it is proposed for
adoption."
Klausul ini memberikan prosedur bagi para Parties dalam
mengupayakan amandemen. Ada mekanisme pengajuan berkas proposal
melalui lembaga Executive Secretary of ECE dimana sekretariat yang
ditunjuk ini bertanggungjawab baik atas penerimaan proposal amandemen
dan menyebarkannya ke semua negara anggota dalam waktu tertentu (90
hari). Lewat cara inilah proposal amandemen dapat dikaji dan
dipertimbangkan sebelum para anggota bertemu dan tahap adopsi
perubahannya. Disini juga dijelaskan bahwa proposal yang diserahkan
harus dalam bentuk tertulis. Prosedur ini menurut Stephen Stec dan Susan
Lefkowitz diterima sebagai praktek dalam hukum internasional (telah jadi
kebiasaan internasional)15.



Art 14 para. 3: "The Parties shall make every effort to reach agreement on
any proposed amendment to this Convention by consensus. If all efforts at
consensus have been exhausted, and no agreement reached, the
amendment shall as a last resort be adopted by a three-fourths majority
vote of the Parties present and voting at the meeting..." dst.
Aarhus Convention ini diamandemen pada pertemuan kedua negara-negara

anggotanya pada 27 Mei 2005 di Almaty, Kazakhastan dan hingga Agustus 2009
14 UNECE, The Aarhus Convention: an Implementation Guide, (Geneva: UN,
2000), hlm. 148.
15 Ibid.

8

telah diratifikasi oleh 21 negara anggota.
Modifikasi
Terminologi "modifikasi" dalam Art. 41 VCLT 1969 merujuk pada upaya
membuat variasi (berbeda) dari ketentuan dalam perjanjian internasional yang
berlaku hanya antara pihak-pihak tertentu. Ketentuan pasal yang dimodifikasi
tidak berlaku antara pihak yang melakukan modifikasi terhadap klausul pasal
dalam perjanjian internasional dengan negara peserta lainnya. Bagi negara peserta
lainnya tetap berlaku ketentuan asli. Jika perjanjian tidak mengatur ketentuan atau
prosedur modifikasinya baik secara formil atau materil maka mereka hanya boleh
memodifikasinya tanpa mempengaruhi hak-hak dan obligasi-obligasi dari negara
peserta lainnya terhadap perjanjian itu dan tidak bertentangan (contravene)
dengan object and the purpose perjanjian.16 Dari pengertian resmi PBB diatas
masih belum jelas mengenai definisi modifikasi. Selanjutnya bisa ditarik definisi
dari International Law Commission yang sekurang-kurangnya menyatakan,
The modification by certain parties of a treaty inter se, a particular form of
“contracting out” from the original agreement, is well established in international law, the technique being employed, inter alia, to adjust a treaty to
changing requirements or to ensure particular (e.g., higher) standards
among some of the parties.17
Mari bandingkan dengan pendapat Mark E. Villiger yang melihat
modifikasi dari segi hukum kebiasaan internasional:
Modification of a treaty rule by means of customary law implies the
development of new, non-identical customary rules with regard to a subjectmatter originally covered by treaty rules. The written rule may, accordingly,
undergo amendment or modification or even pass out of use completely.18
Pengertian modifikasi akan jelas bila melihat makna implisit Art. 41 para. 1
VCLT 1969. Menurut pemahaman saya, modifikasi adalah perbuatan hukum
16
Ibid.
https://treaties.un.org/pages/Overview.aspx?
path=overview/glossary/page1_en.xml#modification, diakses 14 April 2015.
17 Pernyataan Jiménez de Aréchaga dalam ILC Report 1966, YBILC 1964 I 150,
para. 35.
18 Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention, hlm. 550.

9

internasional berupa pengubahan terhadap muatan norma dalam perjanjian
internasional baik perjanjian utamanya dan aturan pelaksana/pelengkapnya
dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan yang dilakukan oleh dua atau
lebih negara dan aturan yang dimodifikasi itu akan mengikat diantara mereka saja.
Art. 41 para. 1 pada dasarnya mengatur kebolehan bagi dua atau lebih negara yang
ingin membuat kesepakatan untuk memodifikasi perjanjian internasional. Ada
beberapa syarat agar modifikasi dapat sah dilakukan, antara lain:
a) Perjanjiannya

secara

tersendiri

memberikan

kesempatan/kemungkinan bagi negara anggota untuk memodifikasi
isi perjanjian

(bila tidak diatur secara khusus, maka mengikuti

ketentuan VCLT); atau
b) Modifikasi tidak dilarang dan tidak mengganggu negara peserta
lainnya dalam menikmati haknya dan melakukan kewajiban mereka.
Selain itu, bila modifikasi juga boleh dilakukan selama tidak
menderogasi efektifitas perjanjian itu sendiri dan incompatible
dengan object and purpose secara keseluruhan. Jadi, apabila sudah
dilarang maka ketentuan umum

VCLT yang memperbolehkan

modifikasi pun tidak dapat dipakai.
Mark menjelaskan ada beberapa kondisi dalam memodifikasi perjanjian
internasional, antara lain19:
1) Stipulations in the Treaty : The possibility of such a modification
may be provided for by the treaty. On the other hand, if no such
statement is made, at least the modification in question shall not be
prohibited by treaty (Art. 41 para. 1b VCLT).
2) Substantive Conditions :If the treaty doesn't express itself on the
matter of modification inter se and in particular if it doesn't
expressly prohibit it, the two further conditions apply cumulatively.
3) Modification in question shall not affect the enjoyment by the other
parties of their rights under the treaty or the performance of their
obligation.
4) Modification shall not relate to a provision, derogation from which
is incompatible with the effective execution of the object and
purpose of the treaty as a whole.
19 Mark E. Veilliger, Op. Cit., hlm. 535-536.

10

5) Notification of Other Parties : There is a principle of open
diplomacy, lists stringent procedural conditions as to notification of
modification (Statement Bartos). Their purpose is to protect other
States against a fait acoompli and, possibly, an encroachment of
their

rights (Statement dari Castrén). Mereka juga wajib

menotifikasi negara anggota lainnya terkait intensinya membuat
perjanjian untuk memodifikasi.
6) All parties of the original treaty must be notified.
7) Good faith governs the procedures.
Akibat hukum dari dimodifikasinya perjanjian adalah berlakunya lex
posterior dan aturan pacta tertiis nec nocent nec prosunt bagi tiap negara yang
memodifikasinya20.
Contoh ketentuan modifikasi bisa ditemukan di Art. 19 para. 1 Havana
Convention on Treaties 1982 yang berbunyi: "two or more States may agree that
their relations are to be governed by rules other than those established in general
conventions celebrated by them with othe States".21 Harvard Draft memberikan
paparan mengenai asas kebolehan bagi negara untuk memodifikasi tadi, "if this
[was] not forbidden by the proviesions of the earlier treaty and if the later treaty
[was] not inconsistent with the general purpose of the earlier treaty as to be likely
to frustate that purpose"22. Contohnya aturan modifikasi lainnya dapat dilihat dari
klausul Art. 4 Konvensi Den Haag 1907 (The IV Hague Convention on the Laws
and Customs of War) yang berbunyi:
"(1)   The   present   Convention,   duly   ratified,   shall   as   between   the

Contracting   Powers,   be  substituted   for   the   Convention   of   29   July
1899,   respecting   the   laws   and   customs   of   war   on   land.   (2)   The
Convention of 1899 remains in force as between the Powers which
signed it, and which do not also ratify the present Convention”.
20 Ibid. Artinya "a treaty binds the parties and only the parties; it does not create
obligations for a third state". Graham Gooch dan Michael Williams, A Dictionary of Law
Enforcement, ed. 1.m (Oxford University Press, 2007) tersedia dalam situs online,
http://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780192807021.001.0001/acref9780192807021-e-2239, diakses 14 April 2015.
21 Harvard, "Harvard Draft", AJIL 29 (1935) Supplement 1203 ff. Dikutip dari
tulisan Mark. E. Villiger, Loc. Cit., hlm. 532.
22 Ibid, Supplement 1016.

11

Selain itu lihat juga ada di  Art. 20 para. 1 Konvenan Liga Bangsa-Bangsa
dan Art. 73 para. 2 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.
Dari ketentuan VCLT diatas saya merasa masih belum ada batasan jelas
pada praktek modifikasi yang mungkin terjadi. International Law Commission
telah memberikan gambaran jelas antara amandemen dan modifikasi dari Art. 3941 yang kemudian dikritisi oleh I.M. Sinclair demikian,
...Amendment was waid to denote a formal amendment of treaty intended to
alter its provisions with respect to all the parties, while modification was
used in connection with an inter se agreement concluded between certain of
the parties only, and intended to vary provisions of the treaty between
themselves alone. Although, the position is not quite so clear cut in
practice.23
Dari pendapat Sinclair saya mengetahui bahwa ternyata di prakteknya ada
kemungkinan modifikasi itu dapat memiliki formalitas seperti amandemen. Ini
terjadi ketika ada kasus konversi dimana dua atau lebih negara anggota sebuah
perjanjian melakukan negosiasi untuk modifikasi namun modifikasinya itu dapat
terbuka untuk penerimaan oleh negara-negara anggota lainnya dan bila negara
anggota lain menerima maka itu eventually operate sebagai amandemen formal.
Secara formalitas, modifikasi tidak serigid amandemen yang melewati proses
negosiasi dan adopsi. Sebagaimana informalitas yang dipaparkan oleh Sinclair ini
disadari pula Ulf Lindefalk ketika ia menyatakan, " However, a modification of a
treaty can also be effected in more informal ways – by a subsequent practice in
the application of the treaty, which establishes an agreement of the parties to a
modification of said treaty.38  Clearly, there is a very close kinship between a
subsequent   practice   in   the   application   of   a   treaty,   which   estab­   lishes   an
agreement of the parties to a modification of the treaty on the one hand, and on
the other a “subsequent practice which establishes agreement between the parties
regarding its interpretation”.24
23 I. M. Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties, (Manchester:
Oceana Publication Inc., 1973), hlm. 80.
24 Ulf Linderfalk, On the Interpretation of Treaties: The Modern International
Law as Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, (Dordrecht:
Springer, 2007), hlm. 168.

12

Selain  itu,  perjanjian  (agreement)  yang  dihasilkan  dari  proses  modifikasi
perjanjian itu dilihat sebagai  'an integral part' dari perjanjian. Inilah perbedaan
penting dari hasil modifikasi denagan amandemen yang mana telah kita ketahui
bahwa   amandemen   tidak   merupakan   bagian   integral   dari   perjanjian   melainkan
suatu instrumen baru yang setara dan mengatur hal yang sama dengan beberapa
ketentuan berbeda. 

13