CONTOH FORMAT METODE PENELITIAN HUKUM MP

CONTOH FORMAT METODE PENELITIAN HUKUM (MPH)

A. JUDUL : EKSISTENSI DAN PROSPEK PERATURAN PENGGANTI UNDANGUNDANG (PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM NEGARA REPUBLIK
INDOENSIA
B. LATAR BELAKANG
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang dibuat oleh
Presiden (dengan bantuan Menteri, Pemerintah, tanpa DPR). Pasal 22 ayat
1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Oleh karena perdebatan
dalam DPR memakan waktu yang lama dan dengan demikian tidak dapat
dijalankan suatu Pemerintahan yang efisien maka untuk mengatur
selekas-lekasnya suatu keadaan yang genting, yang darurat, Presiden
diberi kuasa (wewenang) membuat sendiri yaitu tanpa kerjasama dengan
DPR suatu peraturan bertingkatan undang-undang. Perpu lahir dikala
negara, khususnya Indonesia mengalami hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. mengalami hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini juga
menjadi salah satu pembahasan dalam Hukum Tata Negara, yaitu
mengenai Hukum Tata Negara Darurat. Hukum Tata Negara Darurat ialah:
Rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa,
untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan

darurat atau bahaya yang mengancam ke dalam kehidupan kehidupan
biasa atau normal.

Wewenang Presiden menetapkan Perpu adalah kewenangan yang luar
biasa di bidang perundang-undangan, sedangkan wewenang ikut
membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan
Presiden adalah wewenang biasa. Dalam praktik sistem perundangundangan yang berlaku, Perpu merupakan jenis peraturan perundangundangan tersendiri. Secara praktis penggunaan sebagai nama tersendiri
dimaksudkan untuk membedakan dengan PP yang bukan sebagai
pengganti undang-undang atau PP. Menurut UUD 1945, Perpu adalah PP
yang ditetapkan dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.
Pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, pengaturan
mengenai perpu terdapat pada Pasal 7 ayat 1 dengan urutan yang itu
dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Konsep
Perpu sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat

sementara tidak berlaku adagium untuk “menggantikan perpu tersebut
atau untuk menghapus perpu tersebut”, tetapi hanya adagium “dicabut
oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih

tinggi”. Perpu tidak dapat dicabut dengan Perpu serupa karena Perpu
yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. Sedangkan perpu yang ada perlu dicabut atau diubah
bentuknya menjadi undang-undang karena tidak ada lagi hal ihkwal
kegentingan yang memaksa. Perpu yang dicabut harus juga diajukan ke
DPR, yaitu Perpu tentang pencabutan Perpu tersebut.
Undang- Undang Dasar Negara Republok Indonesia Tahun 1945 di dalam
Pasal 22 menegaskan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa
Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah harus dicabut.” Ketentuan dalam Pasal 22 tersebut
mengisyaratkan apabila keadaannya lebih genting dan amat terpaksa dan
memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan lebih
dahulu oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibatakibat yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undangundang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu
keadaan bahaya dan darurat.[1]
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua ciri umum,
yaitu: (1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan (emergency). Suatu
keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan
dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan
(emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan

sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu
permusyawaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan
yang nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness) apabila tidak
diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun
terhadap jalannya pemerintahan.[2]
Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk penetapan Perppu itu ada
tiga, yaitu:[3] Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak
ataureasonable necessity; Waktu yang tersedia terbatas (limited time)
atau terdapat kegentingan waktu; dan Tidak tersedia alternatif lain atau
menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain
diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan
Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut.
Hal ikhwal keadaan yang memaksa itu tidak selalu membahayakan. Segala
sesuatu yang “membahayakan” tentu selalu bersifat “kegentingan yang
memaksa,” tetapi segala hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak
selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya menurut
Pasal 12, Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan, tetapi,
penetapan Perpu oleh Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan
bahaya lebih dulu. Artinya, dalam kondisi negara dalam keadaan normal


pun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja menetapkan
suatu Perpu.[4]
Perkataan “kegentingan yang memaksa” dapat dikatakan berkaitan
dengan kendala ketersediaan waktu yang sangat terbatas untuk
menetapkan suatu undang-undang yang dibutuhkan mendesak sehingga
sebagai jalan keluarnya Presiden diberikan hak dan fasilitas konstitusional
untuk menetapkan Perppu untuksementara waktu. Hal ikhwal kegentingan
yang memaksa ini hanya mengutamakan unsure kebutuhan hukum yang
bersifat mendesak (proporsional legal necessity), sementara waktu yang
tersedia sangat terbatas (limited time) dan tidak memungkinkan untuk
ditetapkannya undang-undang yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hukum itu. Sementara itu, soal ancamannya terhadap
keselamatan jiwa, raga, kekayaan, ataupun lingkungan hidup tidak
dipersoalkan.[5]
Pada hakekatnya Perppu sama dan sederajat dengan Undang-Undang,
hanya syarat pembentukannya yang berbeda. Oleh karena itu, penegasan
dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa materi muatan
Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Menurut Jimly
Asshiddiqie, sebagai konsekuensi telah bergesernya kekuasaan

membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan
Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, maka
kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas. Oleh karena
itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu
kepada Undang-Undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri
seperti Keputusan Presiden di masa lalu. Satu-satunya peraturan yang
dikeluarkan Presiden/Pemerintah yang dapat bersifat mandiri dalam arti
tidak untuk melaksanakan perintah Undang- Undang adalah berbentuk
Perppu yang dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun. Untuk selanjutnya
Perppu tersebut harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika
DPR menolak menyetujui Perppu tersebut, maka menurut ketentuan Pasal
22 ayat (3) UUD 1945 Presiden harus mencabutnya kembali dengan
tindakan pencabutan. Ketentuan pencabutan ini agar lebih tegas,
sebaiknya disempurnakan menjadi ’tidak berlaku lagi demi hukum.
Pembatasan jangka waktu dan persetujuan DPR mengandung berbagai
makna kewenangan membuat Perpu memberikan kekuasaan luar biasa
kepada Presiden.
Menurut Bagir Manan, di sini tidak berlaku adagium “dicabut oleh
peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi.” Perppu
tidak dicabut dengan Perppu (serupa) karena.[6] Perppu yang mencabut

harus memenuhi syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Sedangkan Perppu yang ada perlu dicabut atau diubah bentuknya menjadi
undang-undang karena tidak ada lagi hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. Perppu yang dibuat harus juga diajukan ke DPR, yaitu Perppu
tentang ppencabutan Perppu. Hal ini tidak praktis. Untuk mengatasi

kesulitan di atas, setiap Perppu hendaknya dicabut dengan undangundang. Jadi, apakah Perppu akan disetujui menjadi undang-undang atau
akan dicabut harus diajukan ke DPR dalam bentuk Rancangan UndangUndang dan diberi bentuk undang-undang.[7] Dengan menggunakan
kewenangan itu, Presiden secara sepihak dapat mencabut undang-undang
yang masih berlaku atau mengatur sesuatu hal yang seharusnya
ditetapkan dengan undang-undang. Mengingat bahwa, dalam instansi
pertama, tidak ada jabatan lain yang berwenang menguji apakah betul
terdapat gejala darurat atau tidak sehingga pengeluaran Perppu itu
tergantung sepenuhnya kepada penilaian subjektif Presiden. Artinya
apabila kita melihat upaya penyelamatan Mahkamah Konstitusi dengan
menerbitkan Perpu sepenuhnya penilaian subjektif presiden yang
menganggap hal tersebut merupakan hal yang dianggap ikhwal dan
genting. Berdasarkan dari dari pemikiran yang telah diuraikan diatas,
Penulis kemudian tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai
permasalahan tersebut ke dalam sebuah penulisan tesis hukum yang

berjudul : EKSISTENSI DAN PROSPEK PERATURAN PENGGANTI UNDANGUNDANG (PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM NEGARA REPUBLIK
INDOENSIA.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang diangkat dalam
penulisan tesis ini dirumuskan pada persoalan sebagai berikut :
1.
Bagaimana Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik
Indonesia?
2.
Bagaimana Prosedur Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu)?

D.

TUJUAN

1. Tujuan Teoritik :
a)

Mengetahui dan mendapatkan gambaran yang tentang Eksistensi
dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, yang dijabarkan
dalam sub isu antara lain Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum
Negara Republik Indonesia.
b)
Mengetahui tentang Prosedur Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu), yang dijabarkan dalam sub isu antara lain melui
DPR RI atau menguji melalui Mahkamah Konstitusi.

2. Tujuan Praktik :
a)
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu
pengetahuan bagi para akademisi dan peneliti hukum juga bagi
pengembangan hukum tata negara.
b)
Untuk menambah bahan masukan referensi di dalam pengembangan
ilmu pengetahuan hukum, Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum
Negara Republik Indonesia.
c)
Untuk dijadikan bahan masukan dan acuan bagi para praktisi dan
pengusaha serta masyarakat luas yang menghadapi permasalahan yang
berkaitan dengan masalah ini.
E.
1.

METODE
Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari
studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum
melalui peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahanbahan referensi lainnya yang berhubungan dengan Eksistensi dan Prospek
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem
Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
2. Pendekatan
Penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

aproach) dalam penulisan tesis ini karena ini adalah suatu penulisan
yang didasari pada kekaburan norma disamping menginventarisasi
norma oleh sebab itu penulis memilih menggunakan pendekatan
perundang-undangan selain itu penulis juga menggunakan
pendekatan Konseptual (conceptual
approach) untuk memperoleh kejelasan dan
pembenaran ilmiah mengenai Eksistensi dan Prospek Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma
Hukum Negara Republik Indonesia.

3. Langkah Penulisan
a.
Pemilihan tema atau isu hukum, isu hukum dalam penulisan tesis ini
adalah mengenai Eksistensi dan Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik
Indonesia. Penulis memilih isu hukum tersebut karena
permasalahan Prosedur Penolakan dan bentuk hukum yang
dipergunakan untuk PencabutanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (Perpu), yang dijabarkan dalam sub isu antara lain melalui DPR RI

atau menguji melalui Mahkamah Konstitusi.
b.
Penulis mengkonsultasikan
dengan judul dan isu hukum.

dengan dosen pembimbing berkenaan

c.

Melakukan studi kepustakaan menggunakan metode sistematis.

4.

Jenis Bahan Hukum

Bahan

hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yaitu :

a.

Bahan hukum primer yang terdiri dari :

1.

Undang Undang Dasar 1945.

2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang Undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Literatur-literatur, jurnal hukum, hasil penelitian dan artikel-artikel hukum
yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalampenulisan ini.
c. Bahan Hukum Tersier yang terdiri dari :
- Kamus Hukum
- Kamus Bahasa Indonesia
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini peneliti mengolah dan menganalisis bahan hukum
dengan langkah berpikir sistematis, dimana bahan hukum primer
dianalisis dengan langkah-langkah normatif dan dilanjutkan dengan
pembahasan secara deskriftif analitik, terhadap bahan hukum sekunder
dilakukan dengan penelaahan dengan mengacu terhadap pokok bahasan
permasalahan. Bahan hukum tersier dilakukan penelaahan dengan
mengacu kepada petunjuk yang mampu menjelaskan tentang istilahistilah.
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dibahas dengan
metode analisis isi (content analysis) yaitu menelaah peraturan
perundang-undangan dimaksud.
F.

PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA

Dalam penulisan tesis ini, penulis membagi penelitian kedalam 4
(empat) bab, yang mana setiap bab terdiri dari sub-sub bab
guna memberi penjelasan yang sistematis dan efektif.

Pada Bab I penulis memulainya dengan PENDAHULUAN, di dalam
pendahuluan terdapat latar belakang masalah mengapa penulis menga
ngkat judul tesis ini, rumusan masalah guna membatasi permasalahan
agar tidak melebar, tujuan penulisan yang ingin di capai, metode yang
penulis gunakan dalam meneliti di dalamnya terdapat penjelasan
menganai tipe penelitian, pendekatan, langkah penulisan, dan bahan
hukum. Kemudian di sambung dengan pertanggungjawaban sistematika.
Pada Bab II penulis melakukan PEMBAHASAN I atau pembahasan untuk
permasalahan atau rumusan masalah yang pertama yaitu Eksistensi dan
Prospek Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam
Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia.
Untuk Bab III penulis melakukan PEMBAHASAN II atau pembahasan
untuk permasalahan atau rumusan masalah yang ke dua yaitu Prosedur
Penolakan dan bentuk hukum yang dipergunakan
untukPencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu).
Pada Bab IV adalah PENUTUP yang di dalamnya terdapat kesimpulan
dari penelitian tesis dan untuk menyempurnakannya penulis memberikan
saran.

G. RANCANGAN SUSUNAN BAB

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

B.

Perumusan Masalah

C.

Tujuan Penelitian

D.

Metode Penelitian

E.

Pertanggung Jawaban Sistematika

F.

Rancangan Susunan BAB

G.

Bahan-bahan awal

BAB II.
EKSISTENSI DAN PROSPEK PERATURAN PENGGANTI
UNDANG-UNDANG (PERPU) DALAM SISTEM NORMA HUKUM NEGARA
REPUBLIK INDOENSIA
A. Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
B.
Teori Perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara
Republik Indonesia

BAB III
PROSEDUR PENOLAKAN DAN BENTUK HUKUM YANG
DIPERGUNAKAN UNTUK PENCABUTAN PERATURAN PENGGANTI UNDANGUNDANG (PERPU)
A.

Prosedur Penolakan dan Pencabutan Perpu

B.
Political Review Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) upaya pembatalan
Perpu.
BAB IV

PENUTUP

A.

Kesimpulan

B.

Saran

DAFTAR ISI
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII
Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 140.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama
dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 158-159.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta,
2007, hlm. 282.