Kerangka Teoritis dan Konseptual
Menurut Roeslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat
melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-
unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya
terdakwa maka terdakwa haruslah : a Melakukan perbuatan pidana;
b Mampu bertanggung jawab; c Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan
d Tidak adanya alasan pemaaf.
7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai perbarengan dalam bab VI Pasal 63 sampai dengan Pasal 71, ketentuan mengenai perbarengan tindak
pidana pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana sistem penjatuhan pidana. Pasal
64 Ayat 1 KUHP menyatakan bahwa “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. ”
7
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua pengertian dasar dalam hukum pidana, 1983, Aksara Baru, Jakarta, hlm 75
Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit karena adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan
diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah. Pada waktu
diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk suatu kasus, maka pada waktu itulah hukum mencapai puncaknya.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi
hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan
pula rasa keadilan masyarakat. Teori tujuan pemidanaan pada umumnya ada 3 tiga teori yang sering digunakan
dalam mengkaji tentang tujuan permidanaan yaitu :
1. Tujuan pemidanaan menurut teori Absolutpembalasan, antara lain :
a. Tujuan pemidanaan hanyalah sebagai pembalasan;
b. pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat; c.
kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pemidanaan; d.
pidana harus sesuai dengan kesalahan si pelanggar; e.
pidana melihat kebelakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi
pelaku.
2. Tujuan pemidanaan menurut teori relativetujuan, antara lain :
a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan;
b. pencegahan bukan sebagai tujuan akhir tapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pemidanaan harus ditetapkan berdasarkan tujuan sebagai alat
pencegahan kejahatan; e.
pemidanaan melihat kedepan, atau bersifat prospektif. 3.
Tujuan pemidanaan menurut teori integratifgabungan, teori ini menganggap pemidanaan sebagai unsur penjeraan dibenarkan tetapi tidak
mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat si pelaku dapat berbuat baik dikemudian hari
8
2 . Konseptual
Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan.
9
Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian
istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penerbitan Faktur Pajak Fiktif Secara Berlanjut
Studi Kasus Putusan Nomor 143Pid.B2012PN.TK. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah:
8
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 15-16.
9
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 132.
a. Pertanggungjawaban pidana adalah dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan
yang terlarang, seseorang akan dipidana atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum, dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipidana.
10
b. Tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan yang dapat dikenakan hukuman
karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
11
c. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena
pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak
12
d. Perbuatan berlanjut adalah Jika beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
13
10
Kanter E.Y S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerpannya, 2002, Storia Grafika, Jakarta, hlm, 249
11
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm 45
12
Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
13
Pasal 64 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
E. Sistematika Penulisan Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka
disajikan penulisan sebagai berikut :