PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN

(1)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut kelak dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;


(2)

3. Ibu Maya Syafira S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan masukan, serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

4. Bapak Gunawan Djatmiko, S.H., M.H., Pembimbing I yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini;

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

6. Ibu Donna Raisa, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu Erna Dewi, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan;

8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas bantuannya selama ini;

9. Mbak Sri, Mbak Yanti,Babe Narto terima kasih atas bantuannya selama ini; 10. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan

sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;

11. Ayah dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang terbaik bagi masa depan;

12. adikku tersayang, atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan; 13. Sahabat dan Someone special dikampus dan Rumah Suci Srs, Seto Portal,


(3)

Mamen, Agung, Erwin SH, Ibror SH, Puji SH, Veno SH.Edwin,Arif,Lukman,Vina,Indra,Okto dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih buat segala bantuan, semangat, dan kegalauan nya selama beberapa tahun ini, tetap semangat kawan semoga kita semua bisa sukses kedepannya.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Bandar Lampung, 16 Mei 2012 Penulis


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Januari 1990, yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Sujana dan Salmalinda.

Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Aisyiah tahun 1995, pendidikan dasar di SD Negeri 2 Talang Teluk betung pada tahun 2001, pendidikan lanjutan di SMP Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2004, dan pendidikan menengah atas di SMA Xaverius Pahoman pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan kemudian mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan mahasiswa seperti PAMA FH, Selain itu, pada Tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) program Studi Banding yang dilaksanakan di Malang-Jogja-Bali.


(5)

PERSEMBAHAN

Puji syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT atas semua nikmat dan karunia-Nya.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus, kupersembahkan karya ini

teruntuk :

Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk

kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.

Kakak, adik dan kekasihku tersayang yang selalu memberi motivasi dan semangat dalam hidupku.


(6)

MOTTO

“Bacalah”

(QS: Al-Alaq)

Kehidupan sesungguhnya adalah detik ketika kamu dapat melihat mendengar dan merasakan,

Born To Be Wealth n’ Health


(7)

Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)

Nama Mahasiswa :SATRIA PARANDAY

No. Pokok Mahasiswa : 0742011306

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Gunawan Djatmiko, S.H., M.H. Maya Syafira, S.H., M.H.

NIP 196004061989031003 NIP 19776012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Gunawan Djatmiko, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maya Syafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Eko Rahardjo, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM UI, Jakarta.

Moeljatno. 2005.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta.

Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Gema Insani Press. Jakarta.

Soedarto. 1981. Suatu Dalam Pembaharuan System Pidana Indonesia, Dalam Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum Dan Pendidikan Hukum, Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan. Alumni. Bandung.

_______. 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Soekanto, Soerjono. 1984.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Surayin. 2007.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yrama Widya. Bandung.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Daliyo, J.B. 2001.Pengantar Hukum Indonesia. Prenhallindo. Jakarta.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM UI, Jakarta.

Hull, Terence H, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1997. Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan The Ford Foundation, Jakarta.

Kansil, C.S.T. 2004.Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya

Bakti. Bandung.

Moeljatno. 2005.Asas-asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Poernomo, Bambang. 1997. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soejono. 1984.Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press. Jakarta. Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif Suatu


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 14

B. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana... 17

C. Pengertian Mucikari atau Germo ... 21

D. Pengertian Perdagangan Orang ... 24

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 30

B. Jenis dan Sumber Data ... 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisa Data ... 35

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 36

B. Pertanggungjawaban Pidana Mucikari dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 37


(13)

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap

Mucikari dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang... 49 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58 B. Saran... 59


(14)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No 470/Pidsus/2011/PN.TK)

( Skripsi )

Oleh :

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2012 Satria Paranday


(15)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)

Oleh: Satria Paranday

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapi Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(16)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan berdasarkan perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah didakwa dalam dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 296 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam), selanjutnya diputus oleh Majelis Hakim dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari. Terdakwa sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan tersebut, karena sudah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana yaitu perbuatan terdakwa telah mempunyai unsur-unsur perbuatan manusia, diancam atau dilarang oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu mempertanggungjawabkannya. Oleh sebab itu, terdakwa Andre bin Herman secara sah dan meyakinkan bersalah terbukti melakukan tindak pidana yaitu orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul dengan menjadi perantara/makelar atau germo.


(17)

59 2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Mucikari dalam dalam perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah telah terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 296 KUHP, unsur tersebut yaitu unsur barangsiapa, unsur dengan sengaja, unsur menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan orang lain serta unsur sebagai pekerjaan atau kebiasaan. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan norrma agama dan norma kesusilaan, terdakwa secara sadar melakukan perbuatannya tersebut, Perbuatan terdakwa telah merugikan saksi korban. Dan juga terdapat hal yang meringankan diantaranya terdakwa bersikap sopan dan mengakui terus terang atas perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya, Terdakwa dalam melakukan perbuatannya tidak menggunakan paksaan, terdakwa belum pernah dihukum.

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai alternatif pemecahan masalah tindak pidana mucikari di masa yang akan datang sebagai berikut :

1. Mengenai pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan hendaknya pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi hukuman yang lebih maksimal lagi karena tindak pidana kesusilaan dalam bisnis prostitusi


(18)

60 merupakan salah satu kejahatan dan penyakit masyarakat yang begitu

complicated yang di dalamnya terdapat bentuk pelecehan terhadap kaum perempuan terutama anak-anak.

2. Hendaknya hakim dalam mempertimbangkan putusan pidana bagi pelaku mucikari dalam tindak pidana kesusilaan tidak hanya berpedoman pada hukum positif saja, tetapi menggunakan pertimbangan hati nurani karena dampak dari perbuatan terdakwa nyata-nyata dapat merugikan masa depan kaum perempuan dan merusak moral serta martabat penerus bangsa apabila korbannya masih anak-anak.


(19)

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan mucikari dalam tindak pidana kesusilaan. Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan ilmiah (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986: 15).

Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa


(20)

31 pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum dan efektifitas hukum.

B. Jenis dan Sumber Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1984:12). Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan permasalahan penelitian.

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.


(21)

32 a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

4) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diartikan Perdagangan Orang.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu terdiri dari :

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2) Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung.

3) Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 470/Pidsus/2011/ PN.TK.


(22)

33 c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari literatur-literatur, mass media dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1987: 152). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang dan Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel (Irawan Suhartono, 1999: 89). Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar

Lampung = 2 orang

b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang = 1 orang Jumlah = 3 orang


(23)

34 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari bahan hukum skunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur maupun pendapat para sarjana atau ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini. b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.


(24)

35 c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah pembahasan.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Van Hammel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :

a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.

b. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.

(P.A.F. Lamintang, 1997: 108)

Menurut Moeljatno (2005 : 37) menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).

Selanjutnya, dalam hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan


(26)

15 keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44, 48 dan 49 ayat (2) KUHP.

Selain hal di atas, juga alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 48, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.

Pasal 44 KUHP :

a. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

b. Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

c. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Pasal 48 KUHP :

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Pasal 49 ayat (1) KUHP :

a. Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP :

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.


(27)

16 Pasal 51 KUHP :

a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

b. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Menurut Van Hamel, pada delik-delik yang oleh Undang-Undang telah disyaratkan bahwa delik-delik itu harus dilakukan dengan sengaja,opzetitu hanya dapat ditujukan kepada :

a. Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu.

b. Tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. c. Dipenuhi unsur-unsur selebihnya dari delik yang bersangkutan.

(P.A.F. Lamintang, 1997: 284).

Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa untuk dapat dipertanggungjawabakan secara pidana, tidak ada alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, 48 dan 49 (2) KUHP dan tidak ada alasan pembenar sebagaimana dimaksud pada Pasal 48, 49 (1), 50, dan 51 KUHP. Penegasan tentang pertanggungjawaban adalah suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Sehingga hubungan


(28)

17 keduanya diadakan oleh aturan hukum, jadi pertanggungjawaban tersebut adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

B. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana menurut Bambang Poernomo (1997: 86), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.

Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo (1997: 87), tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman) (J.B. Daliyo, 2001: 93).

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang


(29)

18 siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. (Moeljatno, 2005: 54)

Menurut D. Simons dalam C.S.T. Kansil (2004: 37), Peristiwa pidana itu adalah

“Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande

handeling Van een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah

perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut Simons, unsur-unsur peristiwa pidana adalah: a. Perbuatan manusia(handeling)

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum(wederrechtelijk)

c. Perbuatan itu diancam dengan pidana(Strafbaar gesteld)oleh Undang-undang d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

(Toerekeningsvatbaar)

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan(Schuld)si pembuat. (C.S.T. Kansil, 2004: 37-38)


(30)

19 Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.

(J.B. Daliyo, 2001: 93)

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang

(wettelijke omschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.


(31)

20 2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.

d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.

f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.

(J.B. Daliyo (2001: 94)

Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu:

1. Kejahatan(Crimes)

2. Perbuatan buruk(Delict)

3. Pelanggaran(Contravention)

Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dua jenis yaitu“Misdrijf”(kejahatan) dan“Overtreding”(pelanggaran).

(Moeljatno, 2005: 40)

Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

a. Delik CommissionisdanDelikta Commissionis.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.


(32)

21 (berbuat sesuatu) pernuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.

Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

b. Ada pula yang dinamakan delikta Commissionis Peromissionem Commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pulaDelik DolusdanDelik Culpa

Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP.

dilakukan dengan tidak berbuat.

c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan) d. Delik menerus dan tidak Menerus.

(Moeljatno, 2005: 75-77)

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat diketahui ada beberapa pengertian tindak pidana maupun perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya memmpunyai pengertian, maksud yang sama yaitu perbuatan yang melawan hukum pidana dan diancam dengan hukuman/sanksi pidana yang tegas.

C. Pengertian Mucikari atau Germo

Germo-germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, cab-cab dan anggota-anggota organisasi gelap penjual wanita dan pengusaha bordir melakukan pemaksaan terhadap para pelacur dengan cara ditawan atau dijebak dan dipaksa. Dengan bujukan dan janji-janji manis, ratusan bahkan ribuan gadis-gadis cantik dipikat dengan janji akan mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar. Namun pada akhimya mereka dijebloskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang dijaga dengan ketat. Dengan paksa, kejam dan sadis dengan pukulan dan hantaman mereka itu harus melayani buaya-buaya seks yang tidak berperikemanusiaan. Jika para gadis itu tampak ragu-ragu dan enggan melakukan relasi seks maka mereka itu dihajar dengan pukulan-pukulan dan diberi obat-obat perangsang nafsu seks


(33)

22 sehingga mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Gadis-gadis yang dieksksploitir oleh para germo-germo akan diancam dengan pembunuhan apabila mereka itu mencoba melarikan diri atau mengadukan nasib kepada polisi.

Lokalisasi yang pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah. dikelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias juga tersedia macam-macam gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Disiplin di tempat-tempat lokalisasi tersebut diterapkan dengan ketat, misalnya tidak boleh mencuri uang langganan, dilarang merebut langganan orang lain, tidak boleh mengadakan janji di luar, dilarang memonopoli seorang pelanggan dan lain-lain. Wanita-wanita pelacur itu harus membayar pajak rumah dan pajak obat-obatan sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya. Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dan pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus diberikan kepada germo, cab-cab, centeng-centeng, pelindung dan lain-lain. Dengan kata lain, ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur ini.

Pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap mucikari/germo di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada Buku II Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan dan Buku III Bab II tentang pelanggaran ketertiban umum. Pada Kejahatan terhadap kesusilaan diatur di dalam Pasal 296 KUHP yang menjelaskan mengenai praktek mucikari atau germo sedangkan pelanggaran


(34)

23 terhadap ketertiban umum diatur di dalam Pasal 506 KUHP yang menjelaskan tentang mucikari atau germo.

Pasal 296 KUHP menjelaskan:

“Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah”.

Selanjutnya Pasal 506 KUHP:

“Barangsiapa menarik keuntungan dan perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun”.

Namun dalam praktek sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari mi selalu ditolerir secara inkonvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi. Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP tentang praktik mucikari/germo dan mucikari terdapat unsur-unsur pidana antara lain:

1. Dilakukan dengan sengaja.

2. Dengan menarik keuntungan dan perbuatan tersebut. 3. Adanya pencarian: jika dalam hal tersebut ada pembayaran.


(35)

24 D. Pengertian Perdagangan Orang

Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan keluarga istana. Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang (Hull, Sulistyaningsih dan Jones, 1997 : 74).


(36)

25 Masalah perbudakan atau penghambaan di era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, tidak ditolerir lebih jauh keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal 324-337 KUHP).

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: (a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of


(37)

26

payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang, yaitu :

a. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

b. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

c. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.


(38)

27 Berdasarkan ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang.

Perdagangan Orang menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.


(39)

28 Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menentukan bahwa tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Kemudian, dijelaskan secara lengkap mengenai unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 sebagai berikut :

Pasal 2

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


(40)

29 Pasal 5

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


(41)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan, pengangkutan antar daerah dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan orang, terutama perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk tujuan mengeksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili) buruh imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril. (Harkristuti, 2003 : 45)

Kejahatan Perdagangan orang (trafficking) pada masa sekarang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, bahkan dilakukan dengan


(42)

2 cara profesional dan sifatnya telah melampaui lintas negara sebagai salah satu bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok yang terorganisasi maupun sebuah korporasi. Permintaan pasar yang cukup besar karena maraknya bisnis hiburan di kota-kota besar, sehingga membuat sebagian perempuan dan anak termasuk orang tua, menjadi korban penipuan oleh para calo atau perantara yang keluar masuk desa atau kelurahan. Kondisi ini didorong pula oleh latar belakang keluarga di bidang ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya lapangan kerja di daerah.

Perdagangan orang menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diartikan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Selanjutnya bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan sanksi yang cukup berat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima


(43)

3 belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Tabel 1. Data Korban Perdagangan Orang Mulai dari Maret 2005-April 2008

No Provinsi Jumlah

1 Kalimantan Barat 707

2 Jawa Barat 650

3 Jawa Timur 384

4 Jawa Tengah 340

5 Nusa Tenggara Barat 217

6 Sumatera Utara 211

7 Lampung 157

8 Nusa Tenggara Timur 122

9 Sumatera Selatan 65

10 Banten 64

11 Sulawesi Selatan 55

12 DKI Jakarta 42

Total 3014

Sumber :http://www.detikNew.com, diakses tanggal 13 Oktober 2011.

Berdasarkan daerah asal, maka para korban sebagian besar berasal Kalimantan Barat (707), Jawa Barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340), Nusa Tenggara Barat (217), Sumatera Utara (211), Lampung (157), Nusa Tenggara Timur (122), Sumatera Selatan (65), Banten (64), Sulawesi Selatan (55), dan DKI Jakarta (42). Sementara dilihat dari daerah atau negara tujuan mereka diperdagangkan adalah selain di dalam negeri, sebagian besar ke Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan, Iraq.

Perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri. Biasanya, perdagangan perempuan lebih kearah praktek-praktek prostitusi dan tunasusila yang dilakukan oleh germo/mucikari. Pengertian germo/mucikari menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Bandar


(44)

4 Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, adalah orang laki-laki atau perempuan yang menyelenggarakan pengusahaan rumah atau tempat pelacuran dengan memelihara pelacur wanita.

Salah satu kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh seorang mucikari atas nama Andre bin Herman dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 470/Pidsus/2011/ PN.TK. Dimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara alternatif yaitu dengan dakwaan pertama melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP Jo. 506 KUHP dan dakwaan kedua melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Setelah proses persidangan, ternyata terdakwa didakwa dengan dakwaan pertama dan dijatuhi pidana penjara selama 4 bulan 15 hari. Apabila dibandingkan dengan ancaman pada dakwaan kedua tentunya masih belum efektif dan belum mampu menimbulkan efek jera bagi pelaku yang lain, maksudnya dengan adanya sanksi yang ringan menyebabkan seseorang tidak mengurungkan niatnya untuk melakukan perbuatan serupa. Sedangkan ancaman tersebut masih sangat jauh dibandingkan dengan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

Ancaman pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan dalam kasus di atas mengisyaratkan masih lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia,


(45)

5 dimana penegakan hukum pada dasarnya sebagai instrumen untuk memperoleh rasa keadilan ternyata belum maksimal. Penderitaan yang dialami oleh korban di mata hukum ternyata belum mampu dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum terutama penjatuhan pidana penjara bagi pelaku tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Pertanggungjawaban Pidana Mucikari dalam Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 470/Pidsus/2011/ PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK?

2. Ruang Lingkup

Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan


(46)

6 Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/ 2011/PN.TK. Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian yaitu pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang :

a. Pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam rangka penjatuhan pidana terhadap pelaku mucikari dalam tindak pidana kesusilaan.


(47)

7 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto (1984:125, kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.

Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada yaitu menggunakan pendapat ahli hukum tentang pertanggungjawaban pidana pelaku mucikari dalam tindak pidana perdagangan orang serta dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

Moeljatno (2005: 73) menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine straf).

Roeslan Saleh (1981 : 126), mengemukakan bahwa pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan


(48)

8 berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana.

Barda Nawawi Arief (1995:106) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat, melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat dan saling terkait.

Menurut Harkristuti (2003 : 45), Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan, pengangkutan antar daerah dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan orang, terutama perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk tujuan mengeksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili) buruh


(49)

9 imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril.

Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menentukan bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi

Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, yaitu kebebasan terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (strafmodus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding).

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo.


(50)

10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Soedarto (1990 : 74) menyatakan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;

b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya;

c. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.

Bismar Siregar (1995 : 36) berpendapat bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(51)

11 2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 2003: 71).

b. Pelaku yaitu orang yang melakukan dan menjadi penanggung jawab mandiri (Wirjono Projodikoro, 2003 : 89).

c. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat (Mulyana W. Kusumah, 1984: 58)

d. Mucikari adalah orang yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP).


(52)

12 e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

f. Tuna susila adalah seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dengan bergantian pasangan di luar perkawinan yang sah dengan mendapat uang, materi atau jasa (Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana, pengertian mucikari atau germo, serta pengertian perdagangan orang.


(53)

13 III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(54)

ABSTRAK

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN

Oleh

SATRIA PARANDAY

Tindak pidana kesusilaan biasanya dilakukan melalui praktek-praktek prostitusi dan tuna susila yang dilakukan oleh germo atau mucikari. seperti halnya kasus yang yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang tertuang dalam putusan Nomor 470/Pid.Sus/2011/PN.TK. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan? Apakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap mucikari dalam tindak pidana kesusilaan?

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpilan secara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan berdasarkan perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah didakwa dalam dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 296 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam), selanjutnya diputus oleh Majelis Hakim dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Mucikari dalam dalam perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah telah terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 296 KUHP, unsur tersebut yaitu unsur barangsiapa, unsur dengan sengaja, unsur menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan orang lain serta unsur sebagai pekerjaan atau kebiasaan. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan.


(55)

Satria Paranday Hendaknya hakim dalam mempertimbangkan putusan pidana bagi pelaku Mucikari dalam tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berpedoman pada hukum positif saja, tetapi menggunakan pertimbangan hati nurani.


(1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Soedarto (1990 : 74) menyatakan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;

b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya;

c. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.

Bismar Siregar (1995 : 36) berpendapat bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(2)

11 2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 2003: 71).

b. Pelaku yaitu orang yang melakukan dan menjadi penanggung jawab mandiri (Wirjono Projodikoro, 2003 : 89).

c. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat (Mulyana W. Kusumah, 1984: 58)

d. Mucikari adalah orang yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP).


(3)

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

f. Tuna susila adalah seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dengan bergantian pasangan di luar perkawinan yang sah dengan mendapat uang, materi atau jasa (Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung).

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana, pengertian mucikari atau germo, serta pengertian perdagangan orang.


(4)

13 III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(5)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN

Oleh

SATRIA PARANDAY

Tindak pidana kesusilaan biasanya dilakukan melalui praktek-praktek prostitusi dan tuna susila yang dilakukan oleh germo atau mucikari. seperti halnya kasus yang yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang tertuang dalam putusan Nomor 470/Pid.Sus/2011/PN.TK. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan? Apakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap mucikari dalam tindak pidana kesusilaan?

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpilan secara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan berdasarkan perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah didakwa dalam dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 296 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam), selanjutnya diputus oleh Majelis Hakim dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan 15 (lima belas) hari. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Mucikari dalam dalam perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah telah terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 296 KUHP, unsur tersebut yaitu unsur barangsiapa, unsur dengan sengaja, unsur menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan orang lain serta unsur sebagai pekerjaan atau kebiasaan. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan.


(6)

Satria Paranday Hendaknya hakim dalam mempertimbangkan putusan pidana bagi pelaku Mucikari dalam tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berpedoman pada hukum positif saja, tetapi menggunakan pertimbangan hati nurani.