Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid Baru dan Jenis Komersial

ABSTRACT
The Growth of Silkworm ( Bombyx mori L. )
New Hybrid and Commersial's Type
Hidayah, N.I., Hotnida, C.H.S. and L. Andadari
Silkworm larvae has a silk gland that produces silk threads. Silk thread
quality is obtained from a qualified cocoon. Clean cocoons with no stains and have a
strong fiber will havea high value. To attain qualified cocoons then the larvae feed
consumption must be taken into account. The feed consumed will affect the growth
performances such as body weight and body weight gain which are the most decisive
indicator of the quality of cocoon. This study aimed to evaluate the growth of new
hybridobtained from reciprocal cross breeding system and commercial type. The
Completely Randomized Design was used as the experimental design with six
hybrids as the treatment, i.e. H1 (Mainland China rase 808♂ X Japan race 108 ♀),
H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race 806 ♀), H3(Japan race 903 ♀ X
Mainland China race 806 ♂), H4 (Mainland China race 808 ♀ X Japan race 108 ♂),
H5 (commercial silkworm C301), and H6 (commercial silkworm BS09). The data
taken from 30 larvae hybrid each were analyzed by ANOVA (95%) and then by
Tukey test. The results showed that H2 (Mainland China race 903 ♂ X Japan race
806 ♀) was superior hybrid than any hybrid based on the variables of feed
consumption, body weight gain, feed conversion, and mortality.
Keywords: Bombyx mori L., growth, hybrid, reciprocal cross breeding system


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulat sutera adalah ngengat yang memiliki kelenjar sutera sehingga dapat
menghasilkan serat sutera. Siklus hidup ulat sutera cepat, hal ini menunjukan bahwa
memproduksi benang sutera tidak membutuhkan waktu lama, dan memiliki nilai
ekonomi tinggi. Harga benang sutera lokal Rp 250.000/kg (Dewan Kerajinan
Nasional, 2009). Produksi benang mentah pada tahun 2007 sebesar 65.194 kg/tahun,
akan tetapi tahun 2009 mengalami penurunan yaitu 19.212 kg/tahun (Ditjen RLPS,
2010). Penurunan dipengaruhi keadaan cuaca dan kualitas bibit. Persilangan
merupakan salah satu penyelesaian untuk mendapatkan bibit yang berkualitas.
Persilangan resiprokal merupakan persilangan untuk mendapatkan bibit
unggul. Persilangan resiprokal adalah persilangan dihibrid, yang terdiri dari bibit
murni. Bibit unggul menghasilkan kokon berkualitas, sehingga memiliki harga jual
tinggi. Pemeliharaan ulat yang intensif menghasilkan kokon yang berkualitas,
pertumbuhan ulat sangat mempengaruhi hasil kokon. Pertumbuhan ulat dengan bobot
badan tinggi akan menghasilkan kokon yang tebal. Kokon ras Jepang memiliki
kokon tebal, produksi kokon tinggi, tetapi rentan terhadap penyakit. Kokon ras Cina
memilik lapisan kokon tipis, produksi kokon rendah, dan tahan penyakit.
Berdasarkan hal tersebut persilangan dari dua ras ulat sutera akan menghasikan

kokon yang berkualitas dari persilangan ras tersebut.
Galur 903 dan 108 dari ras Jepang, 808 dan 806 dari ras Cina, serta C301 dan
BS09. Keunggulan galur tersebut yaitu memiliki persentase kulit kokon yang tinggi
dibandingkan dengan galur lainnya dan bibit yang unggul. Galur ulat sutera berasal
dari koleksi Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi Divisi Persuteraan Alam Ciomas, Bogor.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah mengevaluasi pertumbuhan ulat sutera
Bombyx mori L. persilangan Ras Cina dan Ras Jepang (galur 808, 806, 903, 109,
hibrid komersial C301 dan BSO9). Evaluasi pertumbuhan mencakup konsumsi
pakan, bobot badan, pertambahan bobot badan, mortalitas, dan konversi pakan.

TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutra (Bombyx mori L.)
Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa
sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau
lazim disebut ulat, pupa dan ngengat. Selama metamorfosa, stadia larva adalah satusatunya masa di mana ulat makan, merupakan masa yang sangat penting untuk
sintesa protein sutera dan pembentukan telur. Ulat sutera adalah serangga yang
masuk ke dalam Ordo Lepidoptera yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat
(Atmosoedarjo et al., 2000).

Sistematika ulat sutera adalah sebagai berikut:
Filum

: Arthophoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Lepidoptera

Famili

: Bombycidae

Genus

: Bombyx


Spesies

: Bombyx moriL.

Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak beberapa abad yang
lalu. Leluhurnya adalah ulat sutera liar, Bombyx mandarina, ditemukan dipohon
murbei yang banyak di Cina, Jepang dan Negara lain di Asia Timur. Ulat sutera yang
dikenal sekarang Bombyx mori tidak dapat mandiri dialam bebas, penciumannya
sudah sangat tumpul sehingga tidak dapat mengenal tanaman murbei dalam jarak
beberapa meter, pergerakkannya lambat dalam mendapatkan daun karena
kemampuan merangkaknya sudah lemah. Daya pegang ulat yang sangat lemah,
sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh angin, ulat
tidak dapat melindungi diri melawan musuh dan tidak bisa bergerak cepat
(Atmosoedarjoet al., 2000).
Ras Ulat Sutera
Ulat Sutera ras Jepang memiliki ciri-ciri yaitu umur produksi relatif lebih
panjang dibandingkan dengan Ras Cina, rentan terhadap penyakit,bentuk kokon tebal
seperti kacang tanah dan produksi kokon tinggi dibandingkan dengan Ras Cina
(Guntoro, 1994). Ras Jepang mempunyai varietas univoltin dan bivoltin (Gambar 2).


Banyak galur yang menghasilkan larva dengan ukuran medium dan kokon berbentuk
kacang, ras Jepang ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium (Atmosoedarjo et
al., 2000).

Gambar 1. Ulat Sutera dan Kokon Ras Cina
Sumber: Andadari et al.(1998)

Ras Cina memiliki ciri-ciri yaitu umur produksi lebih pendek atau cepat, ulat
polos, bentuk kokon bulat, lapisan kokon tipis sehingga produksi rendah
dibandingkan dengan Ras Jepang dan daya tahan ulat lebih kuat dibandingkan
dengan Ras Jepang (Guntoro, 1994). Ras Cina terdiri dari univoltin dan bivoltin
iyang mencakup banyak galur yang menghasilkan larva kecil dan kokon oval
(Gambar 1).

Gambar 2. Ulat Sutera dan Kokon Ras Jepang
Sumber: Andadari et al. (1998)

Ras Tropik merupakan jenis polivoltin, mempunyai telur kecil dan ringan,
larvanya kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat. Bentuk kokon seperti kumparan,

mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis, sehingga produksinya
rendah (Atmosoedarjo et al., 2000).

3

Ras Eropa hanya mencakup jenis univoltin, dengan larva yang besar dan
kokon oval. Ras Eropa ini tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat
dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropik.
Banyak galur yang dipelihara pada saat ini merupakan hibrid dari ketiga ras
tersebut di atas, yang telah diperbaiki dengan menghimpun kelebihan-kelebihannya.
Hibrid ini untuk memudahkan pemakaian, diklasifikasikan berdasarkan darah
Jepang, darah Cina dan darah Eropa, dan disebut sebagai ras masing-masing, paling
umum pada saat ini adalah galur dari ras Jepang dan ras Cina. Para petani biasanya
memelihara generasi pertama (F1) dari ras-ras tersebut (Atmosoedarjo et al., 2000).
Generasi Pertahun Ulat Sutera
Monovoltin
Ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam satu tahun karena terjadi
penundaan pematangan embrio selama musim dingin.Ulat sutera ini tidak tahan
dipeliharaan di daerah panas, berukuran besar dan kokon besar (Atmosoedarjo et al.,
2000).

Bivoltin
Ulat sutera dapat menghasilkan dua generasi dalam setahun. Kokon yang
dihasikan berukuran besar dan tahan terhadap lingkungan panas (Atmosoedarjo et
al., 2000)
Polivoltin
Ulat sutera dapat menghasilkan generasi lebih dari tiga generasi atau lebih.
Ulat sutera ini tahan terhadap lingkungan panas, kokon yang dihasilkan sedikit, dan
serat suter sedikit (Atmosoedarjo et al., 2000).
Siklus Hidup
Telur
Bentuk telur ulat bulat pipih, lebar sekitar 1 mm, panjang 1,3 mm dan tebal
0,5 mm serta berat sekitar 0,5 mg. Ukuran dan beratnya dapat

bervariasi,

berdasarkan ras dan lingkungannya dimana induk dipelihara. Telur ras univoltin
menetas pada cuaca menghangat di musim semi, bersama dengan tumbuhnya
murbei. Larva tumbuh dan menjadi ngengat pada awal musim panas, kemudian
4


bertelur. Telur ini dorman atau hibernasi. Setelah melewati musim dingin, embrio
dalam telur berkembang dan menetas. Siklus tersebut disebut satu generasi per tahun
(Atmosoedarjo et al., 2000).

Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Sutera
Sumber : Tazima (1978)

Telur ras bivoltin menetas pada musim semi dan tumbuh menjadi ngengat
awal musim panas untuk bertelur, seperti univoltin. Akan tetapi telur ini tidak
dorman, sehingga akan menetas 10 hari kemudian. Larva generasi kedua ini menetas
dan akan menjadi ngengat pada awal musim gugur untuk bertelur. Telur dorman
selama musim dingin dan akan terputus dormansinya pada saat musim semi
berikutnya tiba. Saat musim tersebut telur akan menetas. Siklus seperti ini disebut
dua generasi per tahun. Warna telur bivoltin, pada saat diletakkan, kuning muda,
akan tetapi dalam 2-3 hari mulai berubah, sesuai dengan rasnya, yang pada umumnya
berwarna abu-abu atau kehijauan (Atmosoedarjo et al., 2000).
Telur polyvoltin dan bivoltin, pada minggu pertama berwarna kuning muda,
akan tetapi tiga hari sebelum menetas, secara bertahap akan berubah menjadi abuabu muda. Satu induk menghasilkan sekitar 500 butir, tergantung dari galur atau
rasnya (Atmosoedarjo et al., 2000).


5

Pupa
Sekitar lima atau enam hari setelah ulat mulai membentuk kokon, ulat sutera
berubah bentuk di dalam kokon dan menjadi pupa. Segera setelah menjadi pupa,
pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap berubah
mengeras. Periode pupa menghabiskan waktu 11 hingga 12 hari (Sinchaisri, 1993).
Ngengat
Ngengat tidak bisa terbang untuk berkopulasi, atau kalau betina untuk
bertelur pada daun murbei. Ngengat yang sudah keluar dari kokon, sebaiknya
ngengat di kopulasi hanya pada saat sayap sudah berkembang dengan sempurna.
Waktu kopulasi selama sekitar satu jam sudah cukup bagi jantan untuk ejakulasi
pertama, akan tetapi untuk kenyamanan serta untuk mengurangi proporsi telur yang
tidak dibuahi, kopulasi dibiarkan sampai lebih dari dua jam. Ngengat jantan yang
akan digunakan kembali maka ngengat disimpan pada suhu 5–10 ºC. Sebaiknya
ngengat jantan yang sudah digunakan maka kemampuan kopulasi sudah berkurang
dan mengakibatkan jumlah telur yang tidak dibuahi akan bertambah (Atmosoedarjoet
al., 2000).
Warna ngengat dewasa berwarna putih susu dengan garis halus melintang
berwarna kecoklatan pada sayap bagian depan dan tubuh dilapisi oleh bulu yang

lebat. Ngengat dewasa tidak memerlukan makanan, tidak dapat terbang dan siklus
hidupnya pendek. Masing-masing betina dapat menghasilkan telur 300-400 butir,
sedangkan pada saat larva tubuhnya tidak berbulu dan makanan utamanya daun
murbei, pertumbuhan sangat cepat dan dapat menghasilkan kokon dalam waktu enam
minggu (Borror et al., 1996).
Ulat atau Larva
Larva yang baru menetas berwarna hitamatau coklat tua dengan panjang
sekitar 3 mm danbobot badan sekitar 0,45 mg. Larva memiliki kepala besar dan
tubuh dilengkapi rambut sehingga kelihatan seperti ulat berbulu. Seluruh tubuh
dilapisi kutikula yang mengandung khitin dan berfungsi sebagai kerangka luar
(exoskeleton). Semakin umur bertambah, warna larva menjadi lebih muda
(Sihombing, 1999).Ulat berhenti makan sekitar 24 jam. Pada saat itu pula ulat
menggantikan kulit lama dengan kulit baru. Peristiwa ini dikenal dengan ganti kulit
6

atau molting. Karena selama masa larva, ganti kulit ini terjadiempat kali, maka
terdapat lima periode makan atau disebut instar.
Pertumbuhan Ulat
Pertumbuhan ulat seluruhnya merupakan masa makan dan masa tumbuh.
Sewaktu baru ditetaskan dari telur, berat tubuh hanya sekitar 0,038 mg dan panjang

badan 0,25 cm, tetapi setelah mencapai umur 23-25 hari berat tubuhnya sekitar 360
mg dengan panjang tubuh mencapai 7,2 cm. Pertumbuhan ini suatu yang
menakjubkan, karena berat tubuh sampai umur 23-25 hari berlipat sekitar 9.500 kali
dan panjang berlipat hampir 30 kali. Waktu ganti kulit (moulting) berat basah akan
menurun (Sihombing, 1999).
Lama istirahat berkisar antara 20-32 jam dan selama pertumbuhannya ulat
istirahat 4 kali, yaitu dari pergantian instar I ke II, instar II ke III, instar III ke IV,
instar IV ke V.Tanda-tanda ulat yang akan istirahat ialah nafsu makan mulai
berkurang, lebih banyak diam dan lama kelamaan akan diam, tidak bergerak sama
sekali (Guntoro, 1994).
Selama pertumbuhan dan selama pergantian kulit dan aktivitas ulat, dalam
tubuh ulat pun terjadi perubahan-perubahan, terutama pada kelenjar sutera.
Perubahan ini terlihat jelas pada stadium V, atau stadium terakhir sebelum mengokon
(Sihombing,1999).
Ulat besar adalah ulat yang telah mencapai instar IV sampai instar V. Umur
ulat besar 13 hari, yaitu instar IV sekitar 4-5 hari dan umur instar V sekitar 6 hari
(Sunanto, 1997). Ulat besar memerlukan kondisi ruangan pemeliharaan dengan suhu
berkisar antara 23-25°C dengan kelembaban 70-75%. Selain itu sirkulasi udara harus
berjalan dengan baik (Guntoro, 1994). Jika suhu dan kelembaban melebihi
kebutuhan, maka nafsu makan ulat besar akan menurun sehingga rentan terhadap
penyakit (Sunanto, 1997). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1978), ulat besar
memerlukan daun murbei yang banyak mengandung protein untuk pertumbuhan
kelenjar suteranya juga tempat hidup yang bersih dari kotoran dan sisa daun.

7

(a)

(b)

Gambar 4. (a) Hibernasi Ulat, (b) Ulat Sutera Siap Mengokon (Warna Bening)
Persilangan
Persilangan dilakukan antara galur yang berasal dari daerah yang berbeda
agar supaya sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki masing-masing galur
dapat bergabung pada hibridnya. Dengan persilangan ini akan muncul heterosis yaitu
nilai peningkatan dari hibrid bila dibandingkan dengan induknya. Nilai heterosis
untuk setiap sifat berbeda dan tingkat heterosis bagi masing-masing sifatpun ternyata
tidak konsisten, atau bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat
dalam persilangan berlainan. Hibrid umumnya mempunyai larva lebih pendek,
mortalitas lebih rendah, jumlah kokon ganda lebih tinggi, sedangkan berat kokon,
berat kulit kokon, panjang serat dan berat serat lebih tinggi dari nilai rata-rata galur
induknya (Atmosoedarjoet al., 2000).
Memperbaiki susunan genetik hewan ternak,

yaitu dengan sistem

perkawinan. Persilangan adalah perkawinan antar individu, yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan biasanya berdampak pada
peningkatan daya hidup. Selain itu, persilangan memiliki tingkat kesuburan, daya
tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut dengan heterosis atau
keunggulan hasil silangan (Minkema, 1993).
Ada tiga macam persilangan yang tergolong silang luar, yaitu persilangan
antar galur (linecrossing), persilangan antara bangsa (cross breeding), dan
persilangan antarspesies (hybridisasi). Persilangan antar galur adalah persilangan
antar ternak dari bangsa yang sama yang tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Persilangan antar bangsa merupakan persilangan antar ternak dari dua bangsa yang
berbeda. Persilangan ini disebut crossbreeding dan merupakan persilangan yang
paling umum dilakukan. Persilangan antarspesies merupakan persilangan yang paling
8

jarang dilakukan, karena ternak dari spesies yang berbeda sering gagal disilangkan
(Noor, 2008).
Pewarisan maternal terdapat apabila faktor yang menentukan sifat keturunan
terdapat diluar inti nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui
sitoplasma. Pengaruh maternal ada apabila genotipe diwariskan dari induk betina
menentukan fenotipe dari keturunan. Faktor-faktor keturunan berupa gen-gen yang
berasal dari inti nukleair dipindahkan oleh kedua jenis kelamin, dan dalam
persilangan-persilangan tertentu sifat-sifat keturunan itu mengalami segregasi
mengikuti pola Mendel. Pengaruh maternal berasal dari sitoplasma sel telur yang
telah dimodifikasi oleh gen-gen yang dipindahkan secara kromosomal (Suryo, 2007).
Cara untuk mengetahui adanya pengaruh maternal, biasanya para pemulia
ulat sutera melakukan perkawinan secara resiprokal untuk menghasilkan hasil
silangan yang paling baik. Menurut Welsh (1991), persilangan resiprokal adalah
persilangan antara dua induk, dimana kedua induk berperan sebagai pejantan dalam
suatu persilangan, dan sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi berulang
resiprokal memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum. Cara
yang ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap dua populasi dalam waktu
bersamaan.

9

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian
dimulai dari Juni 2011 sampai dengan Agustus 2011.
Materi
Ulat Sutera
Ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat sutera (Bombyx
mori L.) yang merupakan persilangan dari ulat sutera ras Jepang dan ras Cina,
dengan kode 108, 808, 806, 903, (kode angka pertama merupakan tempat asal dan
angka ketiga merupakan urutan jenis ulat) dan bibit komersial C301 serta BS09
sebagai kontrol. Telur persilangan ulat sutera diperoleh dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, divisi Persuteraan Alam. Telur bibit
komersial C301 diperoleh dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto, Jawa Tengah
dan BS09 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
rehabilitasi Persuteraan Alam Ciomas. Jumlah ulat yang dipelihara 1800 ekor.
Bahan-Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapur dan kaporit
dengan dosis 5:95 (ulat kecil) dan 10:90 (ulat besar) sebagai desinfektan, cairan
karbol sebagai sanitizer, kapur, formalin dan PK untuk fumigasi, serta daun murbei
(M. chatayana) sebagai pakan ulat sutera.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital,
sasag, rak, stand untuk sasag, tudung saji, keranjang daun, ember, baskom, pinset,
kaca pembesar, bulu angsa (untuk mempermudah menghitung ulat kecil), sapu, alat
tulis, kertas parafin, koran bekas (untuk alas), tali rafia, sapu tangan, kain untuk
penutup daun, triplek dari fiber (untuk penutup tudung saji), ayakan plastik, sikat,
termohigrometer, kamera digital dan seriframe (tempat pengokonan).
Seluruh peralatan sekitar 2-3 hari sebelum digunakan dalam pemeliharaan
ulat seluruh peralatan disucihamakan menggunakan larutan kaporit 0,5% (5 gram

kaporit dilarutkan dalam 5 liter air) kecuali termohigrometer, timbangan digital dan
kamera digital.
Prosedur
Ruang dan Kandang Pemeliharaan
Ruang pemeliharaan ulat berdinding semen, dengan lantai keramik, dan atap
asbes serta ventilasi yang cukup. Rak penempatan tundung saji terbuat dari besi dan
ukuran ruangan 6 x 4 m. Pada siang hari ruangan dikipasi dengan kipas angin untuk
menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban. Ruang pemeliharaan ulat dapat
dilihat pada Gambar 5.

(a)

(b)

Gambar 5. (a) Rak Pemeliharaan Ulat Sutera (b) Lantai Ruang Pemeliharaan
Pembuatan Desinfektan
Desinfektan digunakan sebagai antiseptik untuk menghindari adanya
kontaminasi dari bibit penyakit. Kontaminasi dapat disebabkan karena penyakit pada
saat pemeliharaan. Ruang didesinfektan dengan menggunakan campuran kaporit dan
formalalin. Desinfektan lantai dan alat dibuat dengan mencampurkan 100 gram
kaporit dalam 5 liter air.
Desinfeksi Ruangan dan Peralatan Pemeliharaan
Perlakuan dalam pemberian desinfektan yang ideal untuk ruang dilakukan
sebelum pemeliharaan ulat sutera, selama pemeliharaan, dan setelah kegiatan
pemeliharaan ulat sutera. Disinfektan sebelum pemeliharaan dilakukan dengan cara
fumigasi. Hal ini bertujuan untuk mematikan segala kuman penyakit pada lantai,
dinding ruang pemeliharaan, dan alat pemeliharaan yang akan digunakan dalam
pemeliharaan.
11

Seluruh alat yang digunakan dalam pemeliharaan baik yang bersentuhan
langsung dengan ulat sutera maupun tidak, dimasukkan ke dalam ruang pemeliharaan
saat akan didesinfeksi. Proses desinfeksi ruang pemeliharaan dilakukan setelah
seluruh ruangan bibersihkan, lubang ventilasi udara, jendela, dan pintu ditutup rapat.
Penutupan bertujuan untuk menghindari keluarnya gas formalin desinfektan dari
ruangan. Setiap 10 m2 diperlukan PK 25 gram dan formalin 0,5 liter.
Proses fumigasi yaitu PK (Permanganat Kalicus) dituangkan pada wadah lalu
ditambahkan formalin. Seketika itu juga akan keluar asap dengan bau menyengat.
Penyemprotan desinfektan dilakukan 4 hari sebelum kegiatan pemeliharaan.
Ruang pemeliharaan yang telah difumigasi, lantai dibersihkan kembali
dengan menggunakan larutan campuran 100 gram kaporit dalam 5 liter air. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi bau menyengat yang masih tersisa.
Persiapan Ruang Pemeliharaan
Langkah awal sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera yaitu persiapan
ruang pemeliharaan. Dilakukan desinfeksi sebelum pemeliharaan ulat berlangsung.
Desinfeksi bertujuan untuk mematikan segala kuman-kuman penyakit pada lantai,
dinding ruangan pemeliharaaan dan alat-alat pemeliharaan yang akan dipergunakan.
Desinfeksi menggunakan dengan larutan kaporit atau formalin dengan konsentrasi
0,5%. Seluruh ruangan disemprot dengan larutan kaporit sebanyak 1-2 liter larutan
per meter persegi luas ruangan. Penyemprotan dilakukan sekitar 5 hari sebelum
digunakan untuk pemeliharaan. Fumigasi dilakukan 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari
sebelum ruangan digunakan.
Penetasan dan Pemindahan Ulat
Telur yang akan ditetaskan 10 hari sebelumnya dimasukan ke dalam inkubasi
setelah dikeluarkan dari cold storage. Kelembaban pada saat inkubasi adalah 75% 80% dan suhu penyimpanan 20-25 ºC. Apabila telur terlihat bintik biru (blue body)
sekitar 2-3 hari sebelum menetas, kemudian telur dimasukan ke ruang gelap. Setelah
telur banyak yang sudah menetas kemudian penutup dibuka dan letakan pada ruang
terang serta diberi penerangan secukupnya agar ulat yang belum menetas terangsang
untuk menetas.

12

Setelah telur sudah menetas semua kemudian dipindahkan ke kotak
pemeliharaan, dan sasag dialasi kertas parafin atau kertas minyak. Pemindahan
dilakukan sekitar pukul 08.00-09.00 WIB. Tutup kotak penetasan dibuka, kemudian
diletakan di atas sasag sehingga ulat menyebar pada sasag. Kemudian ulat
didesinfeksi tubuhnya dengan menggunakan kapur halus dan kaporit. Perbandingan
kapur 95% dan kaporit 5%. Beberapa menit kemudian ulat diberi pakan daun murbei
(M. chatayana) yang dipotong-potong antara 0,5 – 1 cm. Pada sasag diberi penutup
dan dibuka saat pemberian pakan untuk menjaga suhu dan kelembaban serta
gangguan binatang lain.
Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Pakan
yang diberikan yaitu daun murbei (M. chatayana). Untuk mempermudah ulat
mengkonsumsinya daun dipotong-potong. Instar I potongan sekitar 0,5 – 1 cm, instar
II antara 1,5 – 2 cm, instar III antara 3 – 4 cm, dan untuk instar IV dan V daun tidak
dipotong-potong langsung diberikan. Instar IV dan instar V pemberian pakan
dilakukan empat kali yaitu pagi, siang, sore dan malam. Setiap setelah pemberian
pakan, sasag tempat pemeliharaan ditutup dengan penutup untuk mencegah
dimangsa oleh binatang dari luar.
Perlakuan Saat Pergantian Kulit
Setiap pergantian instar ulat mengalami tidur dan berganti kulit. Apabila ulat
kurang lebih 90% tidur, kemudian ditaburi kapur dan daun kering agat ulat tidak
makan. Setelah ulat bangun ditaburi desinfektan untuk melindungi kulitnya yang
masih sensitive. Kemudin sekitar 30 menit setelah pemberian desinfektan diberi
pakan (Gambar 6).
Penimbangan Ulat Setiap Awal Instar dan Akhir Instar
Mengetahui pertumbuhan ulat dilakukan penimbangan setiap awal instar dan
akhir instar. Pengukuran bobot tubuh dilakukan dengan cara menimbang 30% dari
ulat sutera yang dipelihara dan diambil secara acak pada setiap pergantian instar
sebelum pemberian pakan pertama.

13

Gambar 6. Pemberian Desinfektan
Penimbangan Sisa Pakan
Penimbangan sisa pakan dilakukan pada pagi hari, untuk mengetahui jumlah
konsumsi ulat setiap harinya. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan
timbangan digital dan timbangan duduk.
Pembersihan Sasag dan Pencegahan Penyakit
Pemeliharaan ulat sutera agar tidak mudah terkena penyakit yaitu dilakukan
pembersihan alas pada sasag. Pada ulat kecil penggantian alas dilakukan pada saat
setelah ulat bangun dan pemberian desinfektan. Sasag dibersihkan dengan mengganti
alas koran. Fase ulat besar penggantian alas dilakukan setiap hari. Ruang
pemeliharaan lantai dibersihkan.
Pengokonan
Ulat mulai memproduksi kokon pada akhir instar V, yakni pada umur 22
hingga 25 atau 26 hari. Tanda-tanda ulat akan mengokon adalah tidak makan,
tubuhnya bening, dan gelisah. Ulat yang sudah memperlihatkan tanda-tanda akan
mengokon kemudian diletakkan di alat pengokonan (seriframe) (Gambar 7). Sekitar
lima hari setelah ulat mengokon, kokon dapat dipanen. Kokon yang sudah dipanen
dibersihkan dari flosnya.

14

Gambar 7. Pengokonan Ulat Sutera
Rancangan Percobaan
Perlakuan
Perlakuan terdiri atas persilangan antara Ras Jepang dengan Ras Cina kode
108, 806, 808, dan 903 beserta resiproknya serta bibit komersial C301 dan BS09.
Penelitian ini terdiri atas enam taraf perlakuan dengan tiga ulangan.
H1

: betina kode 808 disilangkan dengan jantan kode 108

H2

: betina kode 903 disilangkan dengan jantan kode 806

H3

: betina kode 806 disilangkan dengan jantan kode 903

H4

: betina kode 108 disilangkan dengan jantan kode 808

H5

: bibit ulat sutera komersial C301

H6

: bibit ulat sutera komersial BS09

Model
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, model rancangan
menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + εij

15

Keterangan :
Yij

= Nilai pengamatan persilangan ke-i dan kelopok ke-j

µ

= Rataan umum pengamatan persilangan

τi

= Pengaruh persilangan pada taraf ke-i (i = H1, H2, H3, H4, H5, H6)

εij

= Pengaruh galat percobaan persilangan ke-i pada kelopok ke-j

Uji lanjut yang digunakan bila hasil analisis ragam berbeda nyata yaitu Uji banding
Tukey.
Peubah yang Diamati
1.

Peubah yang akan diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bobot badan larva setiap instar, dapat dihitung dengan cara berat badan awal
instar dikurangi berat badan akhir instar.

2.

Pakan yang dikonsumsi ulat, dapat dihitung dengan cara bobot daun awal
dikurangi bobot daun akhir (penimbangan dilakukan setiap hari).

3.

Konversi pakan dihitung dengan cara konsumsi berat kering dibagi pertambahan
bobot badan
Konversi pakan = Konsumsi berat kering
Pertambahan bobot badan

4.

Mortalitas ulat dihitung dengan cara jumlah larva awal instar dikurangi jumlah
larva akhir instar, dibagi jumlah larva awal instar dikali 100%.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban
Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang
hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan
ulat berkisar antara 27-28 ºC dan kelembaban sekitar 62%-64%. Rataan suhu dan
kelembaban ulat kecil dan ulat besar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan Ulat Sutera
UK

Suhu dan
Kelembaban

I I-III

Suhu (ºC)
Kelembaban
(%)

UB

28,12

A
24-30

I IV
27,67

B
24-25

IV
28,21

B
23-34

63,36

70-92

63,50

75

61

70

Keterangan: UK= Ulat Kecil; UB= Ulat Besar; A= Andadari et al. (1998); B= Sihombing (1998)

Suhu pemeliharaan ulat kecil berkisar 28,12 ºC sudah optimum menurut
Andadari et al. (1998), namun kelembaban lebih rendah dari kelembaban optimum.
Kelembaban ruang pemeliharaan dijaga selalu dengan melakukan pemercikan air
secara rutin. Rendahnya kelembaban dikarenakan jendela ventilasi terbuka lebar
angin terlalu kencang sehingga air dilantai cepat menguap.
Suhu maupun kelembaban

pada pemeliharaan ulat besar

lebih rendah

daripada suhu dan kelembaban optimum menurut Sihombing (1999). Sedangkan
suhu dan kelembaban pemeliharaaan ulat besar berkisar 62,25 ºC dan 62,25%,
menurut Sihombing (1999) data tersebut tidak optimum. Hal tersebut dikarenakan
ventilasi pada ruang pemeliharaan ulat sutera terlalu lebar yang mengakibatkan suhu
lingkungan diluar meningkat sehingga kelembaban ruangan pemeliharaan ulat sutera
cepat menurun. Kelembaban ruangan pemeliharaan dijaga dengan melakukan
pemercikan air secara rutin dan ventilasi tidak dibuka terlalu lebar.
Konsumsi
Kosumsi Ulat Kecil
Pakan ulat sutera yang digunakan adalah M. cathayana. Pakan yang
dibutuhkan ulat sutera meningkat dengan pertambahan instar. Rataan konsumsi ulat

kecil sebesar 10,51%. Atmosoedarjo et al. (2000), menyatakan bahwa kebutuhan
pakan untuk larva ulat kecil adalah 10% dari kebutuhan keseluruhan pakan.
Konsumsi pakan ulat kecil berkisar 740,33-858,69 mg/ekor.

Menurut

Wageansyah (2007), konsumsi pakan ulat kecil berkisar 746,10-778,18 mg/ekor
(Tabel 2). Konsumsi ulat kecil hampir sama dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya (Wageansyah, 2007). Hal ini disebabkan oleh kelembabannya tidak
optimum (Tabel 1).
Hasil uji ANOVA menunjukan hibrid ulat kecil tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap konsumsi pakan ulat kecil, yaitu rata-rata 800,96 mg/ekor.
Konsumsi pakan cukup seragam dengan keragaman berkisar 1,79%-9,88%. Ulat H2
dan H5 memiliki koefisien keragaman tinggi (9,88% dan 9,28%), sedangkan H1
memiliki koefisien keragaman rendah (1,79%). Berdasarkan peubah konsumsi H1
merupakan hibrid yang lebih baik dari lainnya karena koefisien keragaman paling
rendah.
Konsumsi Ulat Besar
Ulat besar merupakan larva instar IV dan instar V dengan kebutuhan pakan
paling banyak. Konsumsi ulat instar IV berkisar 1.538,65-2.052,65 mg/ekor.
Berdasarkan uji ANOVA perbedaan hibrid tidak berpengaruh nyata terhadap
konsumsi pakan instar IV, dengan rataan 1.831,73 mg/ekor. Koefisien keragaman
instar IV berkisar 6,69%-26,06%. H5 memiliki koefisien keragaman paling tinggi
(26,06%), sedangkan H4 paling rendah (3,58%). Koefisien keragaman menunjukkan
larva beradaptasi terhadap lingkungan. Galur ulat H4 lebih tahan terhadap cekaman
karena respon konsumsi lebih seragam. Menurut Wageansyah (2007), bahwa
konsumsi ulat instar IV berkisar 2.213,80-2.614,80 mg/ekor. Konsumsi pakan ulat
instar IV lebih rendah dari Wageansyah (2007).
Rataan konsumsi pakan ulat besar pada penelitian ini sebesar 89,49%.
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa larva instar V
mengkonsumsi pakan kira-kira sebanyak 90% dari keperluan seluruh pakan untuk
seluruh instar, hal ini berhubungan dengan cadangan makanan yang akan digunakan
untuk pembentukan kelenjar sutera.
Konsumsi ulat instar V berkisar 5.065,86-8.220,13 mg/ekor. Wageansyah
(2007) menyatakan bahwa konsumsi pakan ulat instar V berkisar 15.669-18.687
18

mg/ekor. Konsumsi pakan ulat instar V pada penelitian sangat rendah

hal ini

dikarenakan suhu dan kelembaban instar V tidak optimal (Tabel 1). Keadaan
lingkungan yang panas menyebabkan ulat mengkonsumsi pakan sedikit.
Uji ANOVA

menunjukan bahwa hibrid berpengaruh nyata terhadap

konsumsi pakan ulat instar V. H2 dan H6 hibrid mengkonsumsi pakan paling tinggi
(8.220,13-8.605,52 mg/ekor). Sedangkan hibrid H1 dan H4 paling rendah (5.065,865.679,83 mg/ekor) (Tabel 2).
Tabel 2. Konsumsi Ulat Kecil dan Ulat Besar
Pakan Ulat Kecil

Pakan Ulat Besar

Instar III Akhir
KK (%)
(mg/ekor)
782,97
1,79
(628,26)

Instar IV
KK (%)
(mg/ekor)
2.023,73
6,69
(1.623,84)

(mg/ekor)
5.065,86 b
(4.064,85)

H2

774,73
(621,64)

9,88

2.052,56
(1.646,97)

8,25

8.605,52 a
(6.905,07)

11,18

H3

740,33
(594,04)

2,63

1.757,13
(1.409,92)

11,52

6.670,12 ab
(5.352,10)

17,27

H4

801,61
(643,21)

2,83

1.924,92
(1.544,56)

3,58

5.679,83 b
(4.557,50)

11,48

H5

858,69
(689,01)

9,28

1.538,65
(1.234,61)

26,06

6.677,98 ab
(5.358,41)

27,39

8,87

8.220,13 a
(6.595,83)

17,76

Hibrid
H1

H6

847,45
(679,99)

5,45

1.693,39
(1.358,78)

Instar V
KK
(%)
30,63

Rataan

800,96
5,31
1.831,73
10,83
19,29
(642,69)
(1.469,78)
Keterangan: Superscript tanda yang berbeda menunjukkan konsumsi berbeda nyata (P