Karakter Fisikokimia dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) Menggunakan Oven

KARAKTER FISIKOKIMIA DAN KADAR PATI
RESISTEN TAPIOKA HASIL PERLAKUAN HEAT
MOISTURE TREATMENT (HMT) MENGGUNAKAN OVEN

TRI FERDIANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
i

ii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakter Fisikokimia
dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil Perlakuan Heat Moisture Treatment
(HMT) Menggunakan Oven adalah benar karya saya dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Tri Ferdiani
NIM F24090025

iii

ABSTRAK
TRI FERDIANI. Karakter Fisikokimia dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil
Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT) Menggunakan Oven. Dibimbing oleh
ELVIRA SYAMSIR.
Tapioka dimodifikasi dengan heat-moisture treatment (HMT) pada suhu
120ºC dan 140ºC selama 16 dan 24 jam dengan kadar air 20% . Selama HMT,
terjadi penurunan kadar air sekitar 73,38 - 85,95 %, sehingga kadar air HMT
aktual hanya 3 - 4 % . Proses HMT menyebabkan hilangnya sifat birefringence di
tengah beberapa granula tapioka, penurunan kristalinitas (kecuali untuk HMT
tapioka 120-24) tetapi tidak mengubah tipe kristalin dari tapioka. Kandungan

amilosa, kapasitas pembengkakan dan kelarutan tapioka HMT lebih rendah dari
tapioka alami. HMT tapioka memiliki kadar RDS dan SDS yang secara signifikan
lebih tinggi dari bentuk alaminya (kecuali tapioka HMT 120-24) sedangkan kadar
RS tidak berbeda nyata . HMT menyebabkan perubahan karakteristik pasta pati .
Viskositas puncak, suhu pasting dan viskositas breakdown relatif pasta dari
tapioka HMT secara signifikan lebih rendah dibandingkan tapioka alami. Secara
umum, perubahan dari semua parameter sangat dipengaruhi oleh kondisi proses .
Kata kunci: tapioka, HMT, karakter fisikokimia, RS, suhu, waktu

ABSTRACT
TRI FERDIANI. Physicochemical Characteristic and Resistant Starch Content of
Tapioca modification from Heat Moisture Treatment (HMT) Using Oven.
Supervised by ELVIRA SYAMSIR;

Tapioca was modified by heat moisture treatment ( HMT ) at temperature of
120 ºC and 140 ºC for 16 and 24 hours with 20 % moisture content. During the
HMT, the moisture content decreased approximately 73,38 - 85,95%, so the
moisture content of HMT actually only 3 - 4%. HMT caused birefringence
properties in the center of some tapioca granules disappear, decreased the
crystallinity (except for the HMT tapioca 120-24) but it did not change the

crystalline type of tapioca. The amylose content, swelling capacity and solubility
of HMT tapioca were lower than the native one. HMT tapioca had significantly
higher RDS and SDS content (except for HMT tapioca 120-24) than those native
tapioca whereas RS content was not significantly different. HMT caused changes
in pasting characteristics of starch. Peak viscosity , pasting temperature and
viscosity breakdown relative of pasta from HMT tapioca were significantly lower
than pasting from its native. In general, the change of all parameters was strongly
influenced by the process conditions.
Keywords: tapioca, HMT, physicochemical characteristic, RS, temperature, time

iv

KARAKTER FISIKOKIMIA DAN KADAR PATI
RESISTEN TAPIOKA HASIL MODIFIKASI HEAT MOISTURE
TREATMENT (HMT) MENGGUNAKAN OVEN

TRI FERDIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
v

Judul Skripsi: Karakt er Fisikokimia dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil
ModifIkasi Heat Moisture Treatment (HMT) Menggunakan Oven
Nama
: Tri Ferdiani
: F24090025
NIM

Disetujui oleh


Dr. El

Tanggal Lulus:

VI

1 7 DEL 2013

Judul Skripsi : Karakter Fisikokimia dan Kadar Pati Resisten Tapioka Hasil
Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) Menggunakan Oven
Nama
: Tri Ferdiani
NIM
: F24090025

Disetujui oleh

Dr. Elvira Syamsir, STP, M.Si
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

vi

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SPT atas segala karunia-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan
penyusunan skripsi. Judul skripsi adalah “Kadar Pati Resisten dan Karakter
Fisikokimia Tapioka Hasil Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT)
Menggunakan Oven”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku
pembimbing akademik, serta Dr Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dr. Fahim M.
Taqi S.TP DEA selaku penguji atas semua bimbingan dan sarannya sehingga
skripsi ini dapat tersusun. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan motivasinya. Di samping

itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh teknisi laboratorium di
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB yang telah
membantu penulis selama penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih kepada,
teman-teman kos Pondok Ihsan, teman-teman lorong 4 A2, TPB B04, temanteman SOSKEMAH BEM F 2011, HRD BEM F 2010, teman-teman satu lab
selama penelitian, teman-teman ITP46, dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya dan
menambah wawasan bagi yang membacanya.

Bogor, Desember 2013
Tri Ferdiani

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR


ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


3

Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Waktu dan Tempat

3

Bahan dan Alat

3

Tahapan Penelitian


3

Metode Analisis

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Karakterisasi Tapioka Alami

8

Kadar Air Proses

8

Karakteristik Morfologi Granula


8

Struktur Kristalin

9

Kadar Amilosa

12

Kapasitas Pembengkakan dan Kelarutan

13

Daya Cerna Pati secara In Vitro

14

Karakteristik Pasting

16

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

46

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Komposisi kimia tapioka alami
Kadar air proses
Kristalinitas dan tipe kristalin tapioka alami dan HMT
Karakteristik pasting tapioka alami dan HMT

8
8
11
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Diagram alir proses pembuatan tapioka HMT
Grafik perubahan kadar ir proses HMT suhu 140 ºC
Perbandingan bentuk granula tapioka alami dan HMT
Difraktogram tapioka alami dan HMT
Kadar amilosa dari tapioka alami dan HMT
Kapasitas pembengkakan dan kelarutan dari tapioka alami dan HMT
Kadar RDS, SDS, dan RS dari tapioka alami dan HMT
Karakteristik pasting tapioka alami dan HMT

5
9
10
12
12
14
15
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Gambar loyang untuk HMT
Metode analisis
Data karakteristik fisikokimia tapioka alami dan HMT
Hasil analisis data statistik metode GLM pada SAS

24
24
26
31

ix

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pola konsumsi masyarakat sekarang telah bergeser ke arah pangan yang
menyehatkan. Masyarakat menyadari bahwa mengonsumsi makanan tidak hanya
untuk mengenyangkan tapi juga harus menyehatkan. Makanan yang berkhasiat
sebagai efek kesehatan tersebut disebut sebagai pangan fungsional. Salah satu
komponen pangan fungsional yang masih perlu dikembangkan adalah pati resisten
(Resistant Starch / RS).
RS merupakan fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan
amilase dan perlakuan pulunase secara in vitro (Sajilata et.al 2006). RS
difermentasi seperti serat di dalam usus besar sehingga meningkatkan jumlah
koloni mikroorganisme baik seperti Bifidobacterium yang akan menghasilkan
Short Chain Fatty Acid (SCFA) terutama propionat dan butirat. Asam butirat
dapat berperan sebagai zat anti-karsinogenik karena mampu menghambat
proliferasi sel-sel kanker, meningkatkan diferensiasi (normalisasi), dan apoptosis
(kematian sel secara terprogram) sel-sel kanker kolorektal pada manusia (Brouns
et.al 2002).
Aplikasi RS pada produk pangan berguna untuk meningkatkan serat pangan.
Keuntungan yang lain adalah dari aspek formulasi yang cocok diaplikasikan pada
cookies, dimana RS sedikit menyerap air sehingga tidak perlu mengubah
formulasi awal seperti penambahan air. Keuntungan juga dapat dilihat dari aspek
sensori. Pemakaian pati lebih membuat tekstur cookies lebih bagus daripada serat
dimana serat memiliki tekstur kurang kompak jika dicampur dengan bahan baku
berupa tepung. Selain itu juga memiliki sifat fungsional lain seperti kapasitas
pembengkakan, viskositas, pembentukan gel, dan kapasitas mengikat air yang
cocok diaplikasikan pada produk-produk tertentu (Syamsir 2010).
Indonesia adalah produsen tapioka nomor dua di Asia setelah Thailand
(Fatchuri dan Wijayatiningrum 2009). Produksi rata-rata tapioka Indonesia naik
dari 19,99 juta ton pada 2009 menjadi 24,04 juta ton pada 2011 (BPS 2012). Akan
tetapi pemanfaatan tapioka sebagai pati modifikasi masih terbatas. Hal itu dapat
ditunjukkan dengan jumlah impor pati modifikasi yang selalu meningkat tiap
tahunnya. Sebagai contoh, pada periode s/d 2012, impor pati modifikasi
meningkat sebesar 227,88% (SPI 2012-diolah).
Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kadar pati resisten (Li et al 2011; Guzel dan Sayar
2010; Chung et al 2009). Menurut Jacobs dan Delcour (1998) yang dikutip oleh
Li et al (2011), HMT didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang dilakukan
dengan memanaskan pati dengan kadar air terbatas (kurang dari 35% air, w/w)
pada suhu di atas suhu transisi gelas tetapi masih di bawah suhu gelatinisasi pati
selama waktu tertentu.
Proses HMT dapat dilakukan dengan berbagai macam metode diantaranya
adalah dengan menggunakan oven (Ahmad 2009; Herawati 2009; Murdiati 2012;
Li et al 2011), retort (Syamsir 2012), mikrowave (Pinasthi 2009), dan autoklave
(Pukkhahuta et al 2008). Metode yang paling mudah untuk diaplikasikan adalah

2
dengan menggunakan oven. Akan tetapi dari penelitian HMT menggunakan oven,
belum pernah dilakukan pemeriksaan kadar air saat proses HMT berlangsung.
Perlakuan HMT dapat mengubah karakteristik fisikokimia pati. Perubahan
tersebut antara lain adalah mengurangi sifat birefringent (Li et al 2011; Syamsir
2012; Chung et al 2009), menurunkan kapasitas pembengkakan (Syamsir 2012,
Adebowale et al 2005; Li et al 2011), menurunkan kelarutan (Guzzel dan Sayar
2010; Oliyanka et al 2008) atau meningkatkan kelarutan (Adebowale et al 2005;
Pukkhata et al 2008; Collado dan Cork 1999), menyebabkan peningkatan suhu
pasting, penurunan viskositas breakdown (VBD), dan menaikkan/menurunkan
viskositas balik (VB) (Pukkhata et al 2008; Singh et al 2005; Herawati 2009),
dapat mengubah struktur kristalin pati (Gunaratne dan Hoover 2002) atau tidak
mengubah tipe kristal tersebut (Pukkhata et al 2008; Collado and Cork 1999;
Syamsir 2012), penurunan kristalinitas (Syamsir 2012; Vermeylen et al 2006;
Gunaratme dan Hoover 2002), dan peningkatan atau penurunan daya cerna oleh
enzim. Ahmad (2009) juga menyebutkan bahwa penggunaan HMT jagung dapat
menghasilkan mi dengan kadar serat dan pati resisten yang lebih tinggi.
Penelitian tentang penerapan HMT untuk mendapatkan pati resisten telah
dilakukan pada beberapa jenis pati dengan perlakuan suhu dan kadar air yang
berbeda. Perlakuan HMT pada pati kacang hijau dan kana (Li et al 2011;
Juansang et al 2012) pada kadar air berbeda meningkatkan RS; dengan nilai
tertinggi pada perlakuan dengan kadar air 20% untuk kacang hijau dan kadar air
25% untuk kana. Sedangkan untuk perbedaan suhu telah dilakukan pada pati
kentang normal dan waxy serta pati jagung, kacang polong dan lentil
(Varatharajan et al 2011; Chung et al 2009) yang menunjukkan penurunan daya
cerna pada suhu 80 ºC dan peningkatan pada suhu 120 ºC dan 130 ºC di pati
kentang normal dan waxy dan meningkatkan SDS dan RS pada suhu 120 ºC
untuk pati jagung, kacang polong dan lentil. Akan tetapi pengaruh kombinasi suhu
dan waktu sedikit ditemukan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu proses
HMT terhadap karakteristik fisikokimia dan dihubungkan dengan kadar RDS,
SDS, dan RS dari tapioka HMT dengan menggunakan oven.

Perumusan Masalah
Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Pengaruh penggunaan oven terhadap perubahan kadar air pati selama proses
HMT belum pernah dilaporkan.
2 Pengaruh HMT dengan oven serta perbedaan suhu dan waktunya terhadap
karakteristik fisikokimia dan kadar RS tapioka belum banyak diteliti

3
Tujuan Penelitian
Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Mengetahui perubahan kadar air bahan selama proses HMT dengan
menggunakan oven
2 Mengetahui pengaruh suhu dan waktu proses HMT dengan oven terhadap
karakteristik fisikokimia dan kadar RDS, SDS, dan RS tapioka.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menjelaskan perubahan kadar air yang
terjadi selama proses HMT dengan menggunakan oven serta pengaruh suhu dan
waktunya terhadap karakteristik fisikokimia dan kadar RS yang dihasilkan.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai April-September
2013. Laboratorium yang digunakan adalah Laboratorium SEAFAST (Pilot Plant,
Laboratorium Mikrobiologi Pangan) dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi
Pangan (Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan,
Laboratorium Kimia Pangan), IPB.

Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah tapioka “Rosebrand” yang diperoleh
dari “Giant” Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan untuk analisis adalah
buffer Na-asetat 0.1 M (pH 5,2), aquades, NaOH, enzim pankreatin SIGMA P7545 (8xUSP), HCl, enzim amiloglukosidase (A9913 Sigma), etanol 10%, etanol
80%, eter, pereaksi fenol-sulfat, maltosa, asam asetat 1 N, larutan iod, larutan
glukosa, serta bahan-bahan kimia untuk uji proksimat.
Alat-alat yang digunakan adalah wadah loyang, oven pengering, pengaduk,
alat pencampur air dan pati, timbangan, inkubator, gelas kaca, gelas plastik,
plastik HDPE, alumunium foil, water bath, kulkas, vortex, sentrifuse, X-Ray
Diffraction, spektrofotometer, mikroskop polarisasi, RVA, termometer,
erlenmeyer, labu takar, pH meter, serta peralatan untuk uji analisis proksimat.
Tahapan Penelitian
Kerangka Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama karakterisasi tapioka
native. Tahap kedua adalah modifikasi tapioka HMT beserta karakterisasinya.

4
Tahap I: Karakterisasi Tapioka Native
Tahap ini bertujuan mengetahui karakteristik tapioka alami yang digunakan.
Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak
dan karbohidrat), bentuk granula, struktur kristalin, kapasitas pembengkakan dan
kelarutan, kadar amilosa, kadar RS, dan karakteristik pasting.
Tahap II: Modifikasi dengan Teknik HMT dan Karakterisasinya
Tahap ini bertujuan mengetahui proses pembuatan HMT beserta
karakteristik yang dihasilkan. Parameter yang diukur adalah kadar air, bentuk
granula, struktur kristalin, kapasitas pembengkakan dan kelarutan, kadar amilosa,
kadar RS, dan karakteristik pasting. Modifikasi HMT dilakukan dengan memakai
oven mengikuti metode Murdiati (2012) yang dimodifikasi pada proses
pencampuran tapioka dan air. Tapioka dihomogenkan dengan waring mixer, lalu
dikemas kembali sebanyak 1 kg dan disimpan dalam toples yang tertutup rapat
sampai saat akan digunakan. Proses pencampuran dilakukan dengan melewatkan
campuran akuades dan tapioka memakai solet pada ayakan dengan wadah
penampung (baskom). Pencampuran dilakukan dalam plastik tertutup yang hanya
bisa dimasuki tangan sehingga tidak ada perubahan kadar air saat pencampuran
(Lampiran 1). Kadar air bahan untuk HMT adalah 20%. Setelah penambahan
akuades, pati ditempatkan dalam wadah plastik HDPE tertutup dan disimpan
dalam refrigerator (suhu 4 ºC) selama semalam untuk menyeragamkan kadar air
(conditioning). Pati diambil sampel untuk diuji kadar air kemudian dimasukkan ke
dalam loyang HMT ukuran 20x10x2,5 cm dan tebal 1 mm. Pengisian dilakukan
dengan ditaburkan secara cepat sampai penuh tanpa pemampatan. Pinggiran
loyang ditutup dengan selotip alumunium foil untuk menutup celah-celah terbuka
(Lampiran 1). Selanjutnya loyang dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120 ºC
dan 140 ºC. Parameter waktu digunakan pada penelitian ini adalah 16 dan 24 jam
dihitung sejak loyang masuk oven. Setelah proses pemanasan selesai, loyang
didinginkan pada suhu ruang sampai suhunya turun mencapai suhu ruang dan
diambil sampel untuk kadar air. Pati lalu dikeringkan pada suhu 50 ºC selama 4
jam dan digiling sampai ukuran 60 mesh dan diambil sampel lagi untuk kadar air.
Diagram proses ditunjukkan pada Gambar 1. Pada tahap ini dilakukan proses
HMT tapioka dengan kadar air 20% dan suhu 120 ºC dan 140 ºC yang
dikombinasikan dengan waktu proses selama 16 dan 24 jam.
Metode Analisis
Analisis Proksimat
Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak dan
karbohidrat. Prosedur analisis kadar air dan abu dari SNI 3451-2011 (BSN 2011).
Kadar protein dari AOAC 1998 dan lemak AOAC 1995. Karbohidrat dihitung
dari selisih 100% dari jumlah kadar air, abu, protein, dan lemak.
Polarized Light Microscopy
Suspensi pati disiapkan dengan mencampurkan pati dan akuades kemudian
dikocok. Suspensi diteteskan di atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup,
kemudian preparat dipasang pada mikroskop ini. Pengamatan dilakukan dengan
meneruskan cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 400 dan 1000 kali.

5
Tapioka 200 g

Diukur kadar air

Ditambahkan akuades (K.A 20%)

Diratakan dalam baskom pencampur
yang kedap udara (Lampiran 1)

Pati lembab

Ditempatkan pada plastik HDPE
tertutup

Didiamkan dalam refrigerator selama
semalam

Pati lembab

Diukur kadar air

Ditempatkan pada loyang (Lampiran 1)

Dimasukkan dalam oven (suhu 120ºC, 140ºC
dengan waktu 16 dan 24 jam)

Didinginkan suhu ruang

Dikeringkan suhu 50 ºC selama 4 jam

Diayak, ditumbuk hingga lolos 60 mesh

Tapioka modifikasi

Diukur kadar air

Diukur kadar air

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tapioka HMT (Modifikasi Murdiati
2012)

6
X-ray Diffraction (XRD) (Li et.al 2010)
Pola sinar-X didapatkan dengan D/Max-2200 difraktometer sinar-X (Rikagu
Denki Co. Tokyo, Japan). Sampel pati didiamkan dalam kondisi kelembaban
relatif jenuh selama 24 jam pada suhu ruang. Kemudian dimasukkan dalam wadah
sampel dan dimasukkan ke dalam alat difraktometer sinar-X. Cu digunakan
sebagai panjang gelombang dengan panjang gelombang 1,54060Å. Sampel diukur
dengan daerah scanning yang berdifraksi 2θ (4-35º) dengan tegangan target 40 kV
dan target arus 30 mA dengan kecepatan scanning rata-rata sebesar 4º/menit.
Kristalinitas relatif dapat dihitung dengan perbandingan atau rasio daerah kristalin
dan daerah amorf dari difraktogram sinar-X.
Kapasitas pembengkakan (Swelling power) dan Kelarutan (solubility) (Wang
et.al., 2010)
Suspensi pati (2% W/V) dipanaskan dalam penangas air suhu 70ºC dan
90ºC selama 30 menit. Sampel pati lalu disentrifugasi pada kecepatan 1509xg
selama 15 menit, selanjutnya supernatan dikeluarkan dan sedimen ditimbang.
Alikuot dari supernatan dikeringkan dalam oven suhu 105 ºC sampai diperoleh
berat konstan. Kapasitas pembengkakan (SP, g/g bk) dan solubilitas (S, %)
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Analisis Kadar Amilosa (Aliawati 2003)
Pengukuran dengan standar amilosa menggunakan iodin kemudian diukur
dengan metode spektrofotometri (Lampiran 2)
Daya Cerna Pati secara in vitro (Modifikasi Guzzel dan Sayar 2010)
Analisis daya cerna pati ini terdiri dari RDS, SDS, dan RS yang diketahui
dari hidrolisis pati dengan enzim pada menit ke 20 dan 120 dan kadar pati diukur
dengan metode fenol-sulfat (Lampiran 2).
Karakteristik pasting (RVA) (Singh et.al 2011)
Karakteristik pasting pati diukur menggunakan Rapid Visco Analyser
(RVA). Pati seberat 3 g (dengan kadar air 14%) dilarutkan pada aquades pada
canister contoh alumunium RVA sehingga beratnya menjadi 28 g. Pengukuran
siklus pemanasan dan pendinginan dilakukan pengadukan konstan. Pengukuran
RVA digunakan standar dua yaitu pada sampel dengan pengukuran awal diatur
pada suhu 50ºC dalam satu menit pertama kemudian dipanaskan sampai suhu
95ºC dalam waktu 3,7 menit dan ditahan selama 2,5 menit sebelum didinginkan
ke suhu 50ºC dalam 3,8 menit dan ditahan selama 2 menit. Parameter yang diukur
adalah viskositas puncak (VP), viskositas pada akhir suhu ditahan 95ºC atau
viskositas pasta panas (VPP), viskositas akhir (VA) pada akhir pendinginan 50ºC,

7
viskositas breakdown (VBD = VP – VPP), viskositas balik (VB = VA – VPP),
suhu pasta pada saat viskositas puncak.
Rancangan dan Analisis Data
Penelitian modifikasi tapioka dengan HMT didesain menggunakan
rancangan faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah suhu (A) terdiri dari 2 taraf
yaitu suhu 120ºC dan 140ºC. Faktor kedua adalah waktu (B) terdiri dari 2 taraf
yaitu 16 dan 24 jam. Analisis dilakukan dengan ulangan sebanyak 2 kali.
Parameter yang dibuat tetap adalah kadar air dengan nilai 20%. Model linier
matematik yang tepat untuk rancangan faktorial A x B menurut Matjik dan
Sumartajaya (2011) adalah:

Yj

Keterangan:
Yij

=

µ+

+ j+

ij+ εijk

respon pengamatan pada faktor karakteristik fisikokimia dan RDS,
SDS, RS yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dari faktor suhu (A),
taraf ke-j dari faktor waktu (B), dan pada ulangan ke-k

µ

=

rataan umum

αi

=

pengaruh utama faktor suhu (120ºC dan140ºC)

βj

=

pengaruh utama faktor waktu pemanasan ( 16 dan 24 jam).

(αβ)ij

=

pengaruh interaksi dari faktor suhu dan waktu pemanasan.

εij

=

galat karena pengaruh suhu pada perlakuan ke-i dan waktu ke-j yang
menyebar normal

Untuk perbandingan dengan tapioka alami, data diolah menggunakan rancangan
acak lengkap. Model rancangannya adalah:

Yij

=

Yj

µ+

+ εij

respon pengamatan pada faktor karakteristik fisikokimia dan RDS,
SDS, RS yang memperoleh perlakuan taraf ke-i dan pada ulangan ke-j

µ

=

rataan umum

αi

=

pengaruh utama dari perlakuan

εij

=

galat karena pengaruh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j yang menyebar
normal

Analisis ststistik dilakukan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan
General Linier Multivariate (GLM) memakai SAS. Perlakuannya adalah alami,
HMT 120-16, HMT 120-24, HMT 140-16, dan HMT 140-24. Perbedaan diantara
sampel atau perlakuan akan dibandingkan dengan menggunakan analisis Duncan
dengan taraf kepercayaan (α) adalah 0,05.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterisasi Tapioka Alami
Komposisi kimia hasil proksimat tapioka alami disajikan dalam Tabel 1.
Kadar air, abu, lemak dan protein tapioka ini masih masuk kisaran hasil
penelitian lain yaitu 9,79%(b/b); 0,12 %(b/k); dan 0,17 %(b/k).
Tabel 1. Komposisi kimia tapioka alami
Komponen

Kadar
(%)
(penelitian)
Air (%bb)
10,85±0,0468
Abu(%bk)
0,12±0,0009
Protein(%bk)
0,17±0,0000
Lemak(%bk)
0,40±0,0007
Karbohidrat (%bk) (by 88,46
different)
a

Literatur
8,10-10,68a; 10-13c; 12,24-15,69b
0,11-0,19b; 0,29-0,46a
0,10-0,15b; 0,10-0,86a
0,33-0,76b; 0,11-0,49a
-

Pinasthi (2009), bSyamsir (2012), cTester (2004)
Kadar Air Proses

Kadar air sampel selama proses HMT mengalami penurunan yang cukup
tajam yaitu 73,38-85,95% seperti terlihat pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan
bahwa peralatan (loyang) belum bisa mempertahankan kadar air selama proses
HMT berlangsung. Wadah atau loyang sampel masih memiliki celah-celah tempat
terjadinya penguapan air. Perubahan kadar air selama proses ditampilkan pada
Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa sebagian besar proses HMT ini
berlangsung pada kadar air sekitar 3-5% saja. Perubahan karakteristik fisikokimia
dan kadar RDS, SDS, maupun RS bisa saja terpengaruh karena perubahan kadar
air proses tersebut.
Tabel 2 Perubahan kadar air selama proses HMT
Perlakuan
Suhu 140 ºC 24 jam
Suhu 140 ºC 16 jam
Suhu 120 ºC 24 jam
Suhu 120 ºC 16 jam

Kadar Air
Proses HMT
Sebelum HMT
Setelah HMT
19,41±1,5231
2,81±0,3313
18,00±0,8436
2,80±0,2156
19,30±0,9897
4,22±1,2456
19,41±0,4994
5,24±0,1262

Setelah pengeringan
4,69±1,0779
4,87±0,4192
5,81±0,4688
5,43±0,0418

Karakteristik Morfologi Granula
Granula tapioka alami berbentuk bulat (Gambar 3). Pengamatan pada
mikroskop polarisasi, kristal granula pati memberikan pola maltose cross (garis
menyilang biru dan merah) yang disebut birefringence (Gambar 3). Pola ini

9
menunjukkan bahwa granula pati masih menunjukkan sifat kristal (belum
mengalami gelatinisasi) (Kusnandar 2010).
21
18
Kadar air (%)

15
12

9
6
3
0
0

5

10

15

20

25

30

Waktu (jam)

Gambar 2. Grafik perubahan kadar air proses HMT suhu 140 ºC
HMT tidak mengubah bentuk dan ukuran granula tetapi menghilangkan sifat
birefringence hanya di bagian tengahnya saja. Kehilangan sifat birefringence di
tengah juga dilaporkan oleh Li et al (2011) pada HMT pati kacang hijau dan oleh
Chung et al (2009) pada pati kacang dan jagung. Bagian tengah granula disusun
oleh sebagian besar daerah amorf dan sebagian kecil daerah kristalin. Hilangnya
sifat birefringence pada pusat disebabkan pusat granula daerah amorf memiliki
susunan molekul lebih renggang sehingga lebih mudah diubah selama HMT.
Perubahan heliks ganda pada daerah kristalin akibat penetrasi panas yang tinggi
menginisiasi perpindahan molekul granula dan memberikan energi panas pada
heliks ganda sehingga dapat mengubah orientasi kristalin dan meningkatkan
derajat ketidakteraturan molekul pada daerah kristalin sehingga birefringence pati
menjadi melemah (Eliasson dan Gudmonsson 2004; Chung et al 2009; Vermeylen
et al 2006). HMT dengan suhu dan waktu yang lebih tinggi (140 ºC- 24 jam)
menunjukkan jumlah kehilangan sifat birefringence yang lebih banyak. Karena
semakin lama waktu pemanasan, semakin besar pula energi panas yang diterima
sehingga sifat birefringence granula semakin melemah (Herawati 2009).
Struktur Kristalin
Struktur kristalin yang diperoleh dari analisis difraksi sinar X dapat dilihat
pada Gambar 4 dan Tabel 3. Tapioka alami menunjukkan tipe kristalit A. Tipe
kristalit A ditunjukkan oleh pati sereal dan sebagian umbi akar. Tipe kristalin A
ditunjukkan dengan adanya puncak di 15º, puncak ganda di 17º dan 18º serta di
23º 2θ (Elliasson dan Gudmonsson 2004). Kristalit tipe A mempunyai susunan
yang teratur mendekati heliks ganda sehingga diperkirakan lebih stabil.

10

N

N

A

A

B

B

C

C

D

D

Gambar 3. Perbandingan bentuk granula pati, N: Alami, A: HMT 120 ºC-16 jam,
B: HMT 120 ºC-24 jam, C: HMT 140 ºC-16 jam, D: HMT 140 ºC-24
jam. Perbesaran 400x (kiri), perbesaran 1000x (kanan)

11
Tabel 3. Kristalinitas dan tipe kristalin tapioka alami dan HMT
Perlakuan
suhu-waktu
Tapioka alami
HMT 120-16
HMT 120-24
HMT 140-16
HMT 140-24

Intensitas pada puncak
tertinggi (CPS)
15
17
18
23
39
65
65
53
43
64
66
55
38
64
64
45
47
66
69
54
42
69
73
52

Kristalinitas
Relatif (%)

Tipe Kristal

37,46
35,30
39,04
33,34
31,40

A
A
A
A
A

Proses HMT ini tidak mengubah tipe kristalit tapioka yang ditunjukkan
dengan tidak berubahnya pergeseran puncak difraktogram. Akan tetapi HMT ini
menurunkan kristalinitas untuk HMT 140ºC-24 jam, HMT 140ºC-16 jam, dan
120ºC-16 jam dari tapioka alami (37,46%) menjadi masing-masing 31,40%;
33,34%; 35,30%. Sedangkan untuk HMT 120ºC-24 meningkat menjadi 39,04%.
Penurunan kristalinitas setelah HMT juga terjadi pada tapioka (Syamsir 2012;
Gunaratne dan Hoover 2002), pati kentang (Vermeylen et al 2006). Pembentukan
kristalit baru selama HMT dapat terjadi karena interaksi amilosa-amilosa,
amilosa-amilopektin, dan interaksi amilosa-lemak (Hoover dan Manuel 1996).
Interaksi amilosa-lemak diperkirakan tidak terjadi karena komposisi lemak
tapioka alami yang sangat kecil dan tidak adanya peningkatan intensitas puncak di
20º 2θ setelah HMT (Khunae et al 2007 didalam Syamsir 2012). Penurunan
kristalinitas ini terkait suhu tinggi dan lama waktu. Makin tinggi suhu dan lama
waktu HMT menyebabkan rusaknya atau hilangnya keteraturan struktur kristalin
akibat berpindahnya heliks ganda selama HMT (Lee et al 2012).
Peningkatan waktu meningkatkan kristalinitas pada HMT 120 ºC,
sedangkan HMT 140 ºC menurunkan kristalinitas. Pemecahan amilopektin yang
tidak sempurna dapat menghasilkan dekstrin. Proses HMT dengan kadar air
terbatas dan suhu tinggi memicu proses dekstrinasi dimana dekstrinasi ini
memakai suhu 135-190 ºC untuk tanpa bantuan asam selama 3-24 jam (Sutanto
2001). Dekstrin memiliki struktur yang sama dengan pati alami sehingga dapat
diukur dengan XRD dan memberikan ketajaman dalam difraktrogram XRD
(Elliasson dan Gudmonsson 2004). Hal itu seharusnya meningkatkan kristalinitas.
Karena menurut Kim dan Lim (2009), dekstrin dapat dihasilkan dari perlakuan
dengan amilase untuk memurnikan nanokristal pati dengan menghilangkan bagian
amorfnya hingga tinggal kristalnya saja. Akan tetapi kristalinitasnya turun diduga
karena struktur kristalin dekstrin merusak ikatan hidrogen yang menghubungkan
heliks ganda (Chung et al 2009). Dekstrin yang strukturnya mirip amilosa
memiliki derajat polimerisasi (DP) yang rendah dari amilosa, mengakibatkan
kompleks kristalinisasi terganggu (Gelders et al 2004). Peningkatan kristalinitas
pada HMT 120-24 jam terjadi karena perpindahan rantai heliks ganda dalam
kristal pati dengan penyusunan yang lebih rapat dan teratur sehingga
meningkatkan ikatan hidrogen pada hubungan antar heliks (Zavareze et al 2011).
Kadar amilosa memberi sedikit pengaruh untuk kristalinitas tipe A,
sedangkan untuk tipe B, makin tinggi kadar amilosa, kristalinitas makin turun.
HMT 120-24 memiliki amilosa yang rendah (Gambar 5) sehingga kristalinitasnya

12
paling tinggi. Hal ini diduga amilosa berkurang akibat terjadinya pengikatan
kembali amilosa-amilosa atau amilosa-amilopektin (Varatharajan et al 2011).

Gambar 4. Difraktogram tapioka alami dan HMT: Alami (N); HMT 120-16 (A);
HMT 120-24 (B); HMT 140-16 (C); HMT 140-24 (D).
Kadar Amilosa
Hasil analisis amilosa dapat dilihat pada Gambar 5. Perlakuan HMT
menurunkan kadar amilosa pada semua perlakuan. Penurunan amilosa juga terjadi
pada HMT pati yam (Adebowale et al 2009) dan pati sagu (Herawati
2009).Analisis statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa suhu dan waktu HMT
tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar amilosa (p>0,05), tetapi perlakuan
interaksi keduanya berpengaruh signifikan, dimana perlakuan dengan suhu 120 ºC
menunjukkan penurunan amilosa seiring dengan meningkatnya waktu proses.
Sedangkan pada suhu 140 ºC mengalami sedikit peningkatan atau hampir sama.
45
40
Kadar amilosa (%)

35
30
25

16 jam

20

24 jam

15
10
5
0
120 C

140 C

Alami

Gambar 5. Kadar amilosa dari tapioka alami dan HMT

13
Menurunnya kadar amilosa setelah HMT diduga disebabkan terjadinya
pengikatan amilosa-amilosa ataupun amilosa-amilopektin. Amilosa yang diikat
dengan iodin adalah amilosa bebas, makin banyak amilosa bebas yang diikat iodin,
makin sedikit amilosa yang bisa berikatan dengan amilosa atau amilopektin
(Varatharajan et al 2011). Kadar amilosa yang rendah diduga makin banyaknya
amilosa yang telah berikatan dengan amilosa lainnya atau amilopektin.
Kristalinitas juga mempengaruhi kadar amilosa, dimana kristalinitas yang
tinggi menyebabkan kadar amilosa turun karena terbentuk ikatan antar amilosaamilosa atau amilosa-amilopektin. Akan tetapi, pada HMT selain 120-24 yang
kristalinitas rendah, amilosanya juga turun. Hal tersebut diduga terjadi karena
terbentuk dekstrin. Di mana dekstrin tidak memberikan warna biru saat berikatan
dengan iodin tapi memberikan warna coklat (Winarno 1999).
Kapasitas pembengkakan (SP) dan Kelarutan (SOL)
Hasil SP dari dua suhu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6. SP
meningkat dengan meningkatnya suhu. Peningkatan suhu meningkatkan penetrasi
air ke granula. Mobilitas termodinamika partikel meningkat dengan seiring
meningkatnya suhu, sehingga memfasilitasi penetrasi air ke granula (Lawal et al
2004). Berdasarkan uji statistik (Lampiran 4), perlakuan suhu, waktu HMT
ataupun interaksi keduanya tidak berpengaruh signifikan (p>0,05) terhadap SP
suhu 70 ºC. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tapioka alami, perlakuan HMT
menurunkan SP secara signifikan. Sedangkan pada pemanasan 90 ºC, perlakuan
suhu HMT berpengaruh signifikan terhadap nilai SP. Dimana suhu HMT yang
lebih tinggi (140 ºC) memberikan SP lebih rendah. Penurunan SP akibat HMT
juga terjadi pada pati sorgum merah (Adebowale et al 2005), singkong (Gunaratne
dan Hoover 2002), serta maizena (Chung et al 2009). Penurunan SP akibat HMT
berhubungan dengan peningkatan suhu pasting (Tabel 4) yang disebabkan oleh
penyusunan kembali molekul pada granula, degradasi molekul amilopektin,
peningkatan interaksi antara rantai amilosa, dan perubahan antara matriks amorf
dan kristalit (Adebowale et al 2005). HMT 140-24 memiliki suhu pasting yang
paling tinggi (Tabel 4) sehingga memiliki nilai SP paling rendah.
Kristalinitas mempengaruhi SP. Perubahan kristalinitas selama HMT
memicu pembentukan kristalit baru pada daerah amorf sehingga meningkatkan
stabilitas granula dan mengurangi kemampuan pembengkakan (Wang et al 2006).
Kristalinitas yang rendah menyebabkan daerah amorf meningkat sehingga air
lebih mudah masuk ke dalam granula, serta kekuatan ikatan antar granula menjadi
lebih rendah sehingga pembengkakan meningkat. Tetapi HMT 140-24, HMT 14016, HMT 120-16 yang mempunyai kristalinitas lebih kecil dari tapioka alami
memiliki SP yang lebih rendah dari tapioka alami. Hal itu disebabkan oleh
pembentukan ikatan-ikatan baru di daerah amorf sehingga interaksi antar rantai
pati meningkat dan SP turun (Syamsir 2012). Lu et al (1996) menyebutkan bahwa
HMT menimbulkan degradasi amilopektin sehingga menurunkan jumlah molekul
besar (amilopektin) dan meningkatkan jumlah molekul kecil (amilosa) sehingga
amilosa-amilosa ini dapat saling berikatan.
Suhu HMT dan interaksi suhu dan waktunya berpengaruh signifikan
(p

Dokumen yang terkait

Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun

0 33 259

Peningkatan Kualitas Mi Instan Sagu Melalui Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT)

0 7 24

Pengaruh Metode Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Kandungan Pati Resisten Tipe III dan Daya Cerna Pati Sagu.

5 17 56

Modifikasi Pati Ganyong dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid

2 26 134

Pengaruh modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan radiasi microwave terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional tapioka dan maizena

25 205 230

Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko- Kimia dan Sifat Fungsionalnya

2 19 158

Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3)

0 3 52

Modifikasi Pati Garut (Maranta Arundinaceae L.) Dengan Metode Debranching, Siklus Autoclaving-Cooling, Dan Heat Moisture Treatment (Hmt) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe Iii (Rs3).

0 9 65

Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun

1 22 128

MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) DALAM UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI PENSUBSTITUSI TERIGU PADA PRODUKSI MIE INSTANT.

0 1 50