Modifikasi Pati Ganyong dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid

(1)

SKRIPSI

MODIFIKASI PATI GANYONG DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE – TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN

SOHUN DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

Oleh: SITI SRI UTAMI

F24061389

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

MODIFIKASI PATI GANYONG DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE – TREATMENT (HMT) DAN APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN

SOHUN DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: SITI SRI UTAMI

F24061389

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Modifikasi Pati Ganyong dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid

Nama : Siti Sri Utami NRP : F24061389

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, Msi.) (Ir. Siti Mariana Widayanti, Msi.) NIP. 19680809 199702 2 001 NIP. 19682901 199403 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814 199022 1 001 Tanggal Lulus : 01 September 2010


(4)

MODIFICATION of Canna edulis STARCH with HEAT MOISTURE – TREATMENT TECHNIQUE and ITS APPLICATION in STARCH

NOODLE with HYDROCOLLOID as ITS ADDITIVE Siti Sri Utami1, Hanifah Nuryani Lioe1, Siti Mariana Widayanti2 1

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16002, Indonesia

2

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Cimanggu, Bogor, Indonesia

ABSTRACT

Many tuber and root starches from local source are not widely used in food application due to their poor functional properties. Heat Moisture Treatment (HMT) was applied to native starch of Canna edulis to improve its functional characteristics. Canna edulis starch, was extracted from raw roots purchased from Ciamis. Its composition and physicochemical properties were investigated before and after HMT. Native or moistened canna starches at 20%, 25%, and 30% of final moisture were heat treated at 1000C and 1100C for 4, 8, and 16 hours. Optimation process was choosen based on the starch properties that give the relatively high gelatinization temperature, high setback viscosity, high gel strength, and low swelling power. After optimation process of HMT was reached, native and modified starches were applied in starch noodle formulation in order to know Heat-Moisture Treatment effects on noodle quality. The study of physical characteristics on starch noodle produced from 100% native starch or 100% modified starch with and without hydrocolloid showed that the characteristics of starch noodle from 100% native starch had no significant difference with those of 100% modified starch. The same result was found between noodles from 100% modified starch with and without hydrocolloid. Heat-Moisture Treatment gave no effect to the starch intended for noodle production.

Keywords : canna, starch, heat-moisture, noodle


(5)

Siti Sri Utami. F24061389. Modifikasi Pati Ganyong dengan Tenik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, Msi. dan Ir. Siti Mariana Widayanti, Msi.

RINGKASAN

Modifikasi pati ganyong dengan teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) diaplikasikan pada pati ganyong varietas Ciamis. Proses HMT dilakukan dengan metode oven pada dua level suhu pemanasan yaitu 1000C dan 1100C, tiga level waktu modifikasi yaitu 4, 8, dan 16 jam, dan tiga level kadar air yang dikandung oleh pati yaitu 20%, 25%, dan 30% sehingga menghasilkan 18 kombinasi perlakuan. Di antara 18 kombinasi proses HMT tersebut, dipilih satu kondisi optimum yang menghasilkan pati HMT dengan karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada pembuatan sohun.

Pati ganyong alami dan hasil modifikasi HMT diuji karakterisasi sifat fisiko-kimia yang meliputi karakteristik granula pati, swelling power, kekuatan gel, dan profil amilografi. Pati ganyong dengan kadar air 20% dan 25% yang mengalami modifikasi pada suhu 1000C dan 1100C, tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan atau perubahan visualisasi dari pati alaminya, sedangkan pati yang dimodifikasi dengan kadar air 30% telah kehilangan sifat birefringent dan sebagian granulanya mengalami kerusakan karena proses gelatinisasi akibat kadar air yang berlebih. Kemampuan pengembangan pati (swelling power) yang diinginkan adalah pengembangan pati yang terbatas dan dimiliki oleh pati HMT dengan perlakuan 1000 25%, 1100 25%, dan 8 jam 25%, 16 jam 25% dengan nilai pegembangan 7.7034 ml/g, 7.6144 ml/g, 7.4239 ml/g, dan 7.4437 ml/g.

Hampir semua kondisi HMT menghasilkan pati dengan viskositas pasta yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati alami. Pati alami memiliki suhu awal gelatinisasi (SAG) sekitar 71.20C, sedangkan pati HMT sekitar 67.70 - 79.050C. Pati yang diinginkan adalah pati dengan SAG rendah dan dimiliki oleh pati HMT dengan perlakuan 1000 8 jam 25%, 1100 8 jam 30%, 1100 8 jam 25%, dan 1000 16 jam 30% dengan SAG 76.10, 76.80, dan 79.10, dan 79.10C. Viskositas setback

yang diinginkan adalah viskositas setback yang tinggi dan dimiliki oleh pati HMT dengan perlakuan 1100 4 jam, 1000 8 jam, dan 1000 4 jam yaitu 1479.4667 cp, 1594.5667 cp, 1604.0667 cp. Kekuatan gel menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya kadar air. Kekuatan gel pati berkadar air 20% berbeda nyata dengan kekuatan gel pati 30% namun tidak berbeda nyata dengan pati berkadar air 25%. Berdasarkan perubahan karakteristik pada pati HMT, dapat dinyatakan bahwa kombinasi perlakuan pemanasan 1000C selama 8 jam dengan kadar air awal 25% memenuhi kriteria untuk membentuk sohun berkualitas baik. Pembuatan sohun dari pati HMT dibagi menjadi tiga formula yang didasarkan pada perbedaan bahan tambahan (hidrokoloid) yang digunakan yaitu guar gum, CMC, dan gum arab. Pengujian karakteristik fisik dilakukan terhadap sohun dari pati HMT dan sohun pati alaminya serta sohun dari pati HMT tanpa hidrokoloid dan sohun dari pati HMT dengan penambahan hidrokoloid untuk dibandingkan. Selain itu juga dilakukan uji sensori berupa uji rating hedonik dan ranking hedonik pada sohun dari pati HMT untuk mengetahui tingkat kesukaan


(6)

panelis terhadap formula yang diujikan. Sohun yang terbuat dari pati HMT dengan atau tanpa penambahan hidrokoloid memiliki waktu rehidrasi 4-4.5 menit, lebih singkat dibandingkan sohun dari pati alaminya yang memiliki waktu rehidrasi 5.5 menit. Secara umum, sohun yang terbuat dari pati HMT tidak berbeda nyata dengan sohun dari pati alaminya. Sohun dari pati HMT dengan penambahan CMC dan gum arab menghasilkan sohun dengan nilai KPAP, nilai kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan yang lebih besar dibandingkan pati alaminya maupun sohun tanpa penambahan hidrokoloid. Kecenderungan yang agak berbeda terlihat pada pati HMT dengan penambahan guar gum yang menunjukkan karakteristik yang mirip dengan sohun pati HMT tanpa penambahan hidrokoloid.

Hasil analisis data uji rating hedonik menunjukkan bahwa sohun dari pati HMT dengan penambahan guar gum menghasilkan skor paling kecil pada semua parameter yang diujikan yang meliputi parameter warna, kekerasan, kekenyalan, kelengketan, dan over all. Hasil data uji ranking hedonik menunjukkan bahwa sohun dari pati HMT dengan penambahan guar gum memiliki skor ranking paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dua formula penambahan hidrokoloid lainnya.


(7)

BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Jakarta, 25 Januari 1989 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Agus Harsono dan Yarisna. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di SD Kemala Bhayangkari 3, SLTPN 41 Jakarta, dan SMAN 28 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2006 kemudian masuk pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2007.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis dipercaya menjadi asisten praktikum Biokimia Pangan di Departemen ITP pada tahun 2009 dan tergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) sebagai badan pengawas. Penulis pernah terlibat dalam beberapa kepanitiaan di antaranya pada Pelatihan Sistem Manajemen Halal (PLASMA) pada tahun 2008, pelatihan HACCP IV pada tahun 2008, dan kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) bagi mahasiswa ITP 44 pada tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan seperti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2007 dan beberapa seminar.

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Modifikasi Pati Ganyong dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid” di bawah bimbingan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, Msi. dan Ir. Siti Mariana Widayanti, Msi.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT dan juga shalawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Atas kehendak-Nya maka penelitian yang berjudul ” Modifikasi Pati Ganyong dengan Teknik Heat Moisture-Treatment (HMT) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Sohun dengan Penambahan Hidrokoloid” dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan bagian dari tugas ahir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini merupakan salah satu fase penting dalam kehidupan penulis. Fase penting ini dapat diselesaikan karena bimbingan, sumbangan pemikiran, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, Msi. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ir. Siti Mariana Widayanti, Msi selaku dosen pembimbing penelitian yang telah memberi izin serta kepercayaan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Kepercayaan, kesabaran, masukan, dan saran yang diberikan berkontribusi besar dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dian Herawati, STP, Msi selaku dosen penguji yang memberikan bimbingan serta masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan prngertian, kasih sayang, semangat, dan dukungan tiada henti. Kasih sayang dan dukungan tersebut merupakan penyemangat terbesar dan penyembuh tebaik yang penulis miliki.

5. Kakak tercinta Febie Yulianto untuk dukungan, kasih sayang dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga, adik-adik tersayang yang selalu bisa menebarkan suasana ceria yang sangat menyenangkan, dan keluarga besar lainnya yang tak henti memberikan dukungan dan motivasi luar biasa.


(9)

6. Seluruh dosen Departemen ITP yang teah memberikan limpahan ilmu selama perkuliahan dan seluruh staf departemen yang teah banyak membantu penulis.

7. Rina Budiyati sebagai partner penelitian, Nicho Affiandi, dan Manikharda sebagai teman satu pembimbing. Penulis menghaturkan banyak terima kasih atas kerja sama, segala bantuan, masukan, saran, yang telah diberikan selama ini sekaligus permohonan maaf jika terdapat perkataan maupun perbuatan dari penulis yang kurang berkenan.

8. Keluarga besar ITP tercinta, teman-teman ITP 43 untuk kebersamaan yang sangat berharga selama 3 tahun terakhir. Untuk Widya dan Zaki, terima kasih untuk acara sharing yang menyenangkan. Semoga setiap impian, harapan, dan doa yang kita panjatkan bisa menjadi kenyataan. Untuk Ochi, terima kasih untuk sesi ketawa-ketiwi yang sangat menyenangkan dan masukan yang sangat meresap di hati. Terima kasih untuk Risma, Rima Septi, Eri, Tante Dyah, Ebol, Boti, Ovi, Mario yang bersedia bersabar mendengarkan keluh kesah selama penelitian. Untuk Widi, Dhimas ”patiwan”, dan Risma terima kasih untuk masukan dan sarannya yang sangat bermanfaat. Terima kasih untuk semua teman-teman ITP lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang tentunya memberikan kesan tersendiri bagi penulis. Kakak-kakak ITP 42 dan teman-teman ITP 44, untuk semua bantuan dan masukan yang sangat berharga.

9. Teman-teman yang menjadi saudara sekamar dan serumah selama di Bogor, penghuni asrama A1 kamar 128 dan seluruh penghuni Bisma 1 dan Bisma 2.

10. Seluruh teknisi Departemen ITP, SEAFAST, dan BB Pascapanen yang telah bersedia membantu penulis selama menjalankan penelitian.

11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

September 2010 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR………... vi

DAFTAR TABEL………... viii

DAFATAR LAMPIRAN……….... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 3

C. MANFAAT PENELITIAN... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. GANYONG... 5

B. PATI... 9

1. Karakteristik Pati... 9

2. Pati Ganyong... 12

3. Gelatinisasi Pati... 15

C. MODIFIKASI PATI (Heat Moisture-Treatment)... 16

D. STARCH NOODLE (SOHUN)... 18

E. HIDROKOLOID... 20

1. Guar Gum... 21

2. CMC (Carboxymethylcellulose)... 23

3. Gum arab... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN dan ALAT... 26

B. METODE PENELITIAN... 27

1. Modifikasi Pati dengan Metode Heat Moisture-Treatment (HMT)... 28

2. Karakterisasi Fisiko-kimia Pati Ganyong Alami dan Pati Termodifikasi untuk Penentuan Kondisi HMT Optimum………... 28


(11)

C. METODE ANALISIS... 32

1. Analisis Proksimat... 32

a. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)………... 32

b. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)… 33 c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 960.52 dengan Modifikasi)……… 33

d. Kadar Lemak Metode Estraksi Soxhlet (AOAC 1995)… 34 e. Kadar Karbohidrat (By Difference)……….. 35

2. Analisis Fisiko-kimia Pati... 35

a. Morfologi Granula dengan Miroskosop Polarisasi... 35

b. Swelling Power (Leach et al. 1959; Riley et al. 2006 dengan Modifikasi)... 35

c. Profil Gelatinisasi dengan Rapid Visco Analyzer (Wattanachant et al. 2002 Dengan Modifikasi)………. 35

d. Gel strength (Wattanachant et al. 2002 Dengan Modifikasi)……… 36

e. Analisis Kandungan Pati (Nelson-Smogyl)………….. 36

f. Analisis Amilosa dan Amilopektin (AOAC 1984; Riley et al. 2006)……… 37

g. Pengukuran pH pati ganyong……… 37

3. Analisis Karakteristik Sohun (Chen 2003; Purwani et al. 2006; Codex Stan 249-2006)………. 37

a. Kadar Air dengan Metode Oven……… 37

b. Waktu Pemasakan (Waktu Rehidrasi)………... 37

c. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) dan Berat Rehidrasi……….. 38

d. Analisis Tekstur……….. 38

e. Analisis Warna (Hutching 1999)………... 39

f. Uji Organoleptik Sohun……….. 40

4. Analisis Statistik………. 40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODIFIKASI PATI dengan METODE HMT... 41


(12)

B. PENGARUH MODIFIKASI HMT PADA KARAKTERISTIK

PATI... 42

C. PENENTUAN KONDISI HMT OPTIMUM... 56

D. APLIKASI PATI HMT dalam PEMBUATAN SOHUN... 60

1. Pembuatan sohun ganyong... 60

2. Pengujian Karakteristik Sohun………... 62

3. Analisis organoleptik……….. 72

V. KESIMPULAN A. KESIMPULAN ... 74

B. SARAN... 75

VI. DAFTAR PUSTAKA... 76


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman ganyong... 7

2. Bentuk fisik rhizoma ganyong... 8

3. Struktur amilosa... 11

4. Struktur amilopektin... 12

5. Diagram alir ekstraksi pati ganyong... 13

6. Struktur guar gum... 22

7. Struktur CMC... 23

8. Diagram alir penelitian... 27

9. Proses Heat Moisture Treatment………. 29

10. Diagram alir pembuatan sohun ganyong... 32

11. Diagram pengaruh interaksi suhu-waktu-kadar air terhadap swelling power………… 46

12. Diagram pengaruh interaksi suhu-kadar air terhadap swelling power……… 46

13. Diagram pengaruh interaksi waktu-kadar air terhadap swelling power………... 47

14. Profil amilografi pati alami dan hasil modifikasinya……….. 49

15. Diagram pengaruh interaksi suhu-waktu-kadar air terhadap suhu gelatinisasi………... 52

16. Diagram pengaruh interaksi waktu-kadar air terhadap viskositas setback………... 53

17. Diagram pengaruh interaksi suhu-waktu terhadap viskositas setback………. 54

18. Diagram pengaruh interaksi waktu-kadar air terhadap kekuatan gel…..……….. 55

19. Diagram pengaruh kadar air terhadap kekuatan gel……… 56

20. Ekstruder pencetak mie Model MS9……….. 61

21. Sohun ganyong kering………. 62

22. Nilai kekerasan sohun ganyong dengan berbagai penambahan Hidrokoloid……….. 67

23. Nilai kelengketan sohun ganyong dengan berbagai penambahan Hidrokoloid..……… 68 24. Nilai kekenyalan sohun ganyong dengan berbagai penambahan


(14)

Hidrokoloid……….. 70 25. Nilai kekuatan tensil sohun ganyong dengan berbagai penambahan


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nama lain ganyong di berbagai negara... 6

2. Komposisi kimia rata-rata beberapa umbi-umbian dalam 100 gram bahan... 6

3. Rata-rata berat dan jumlah ruas, kadar air, dan kadar pati tiap ruas………... 9

4. Struktur dan komposisi beberapa granula pati... 10

5. Komposisi kimia pati ganyong dari berbagai ruas………... 15

6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati……….. 16

7. Komposisi dari komponen biji guar………...…. 22

8. Desain perlakuan Heat Moisture Treatment………...…. 27

9. Formulasi pembuatan sohun ganyong pati alami-pati HMT……… 31

10. Formulasi pembuatan sohun ganyong dengan kombinasi hidrokoloid………... 31

11. Komposisi Kimia Pati Ganyong Alami……… 42

12. Profil amilografi pati alami dan hasil modifikasinya………... 50

13. Tabulasi data optimasi proses modifikasi HMT pati ganyong…… 59

14. Perbandingan karakteristik pati alami dengan pati termodifikasi terpilih………... 59

15. Kandungan amilosa dan amilopektin pati alami dan pati HMT terpilih... 60

16. Spesifikasi ekstruder pencetak mi……….. 61

17. Nilai KPAP dan berat rehidrasi sohun ganyong……….. 65

18. Hasil pengolahan data analisis warna sohun... 72


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil pengamatan ukuran granula pati hasil modifikasi HMT dan pati

alami………... 82

2. Hasil pengukuran swelling power pada suhu 300C…………..…… 84

3. Hasil pengukuran swelling power pada suhu 600C……….. 86

4. Hasil pengukuran swelling power pada suhu 900C……….. 88

5. Hasil pengukuran kekuatan gel pati alami dan termodifikasi…….. 91

6. Hasil pengukuran kadar air pati selama proses HMT……..……… 92

7. Gambar granula pati ganyong alami dan HMT………... 93

8. Hasil analisis statistik swelling power………. 94

9. Hasil analisis statistik Suhu Awal Gelatinisasi (SAG)……… 95

10. Hasil analisis statistik Viskositas Akhir (VA)………. 97

11. Hasil analisis statistik Viskositas Setback (VS)………….……….. 98

12. Hasil analisis statistik kekuatan gel (gel strength)………... 99

13. Hasil analisis statistik KPAP dan berat rehidrasi sohun………….. 100

14. Hasil analisis statistik kekerasan sohun………... 101

15. Hasil analisis statistik kelengketan sohun……… 103

16. Hasil analisis statistik kekenyalan sohun………. 104

17. Hasil analisis statistik kekuatan tensil sohun………... 105

18. Hasil analisis statistik warna sohun………. 105

19. Kuesioner uji rating hedonik sohun... 107

20. Kuesioner uji ranking hedonik sohun... 108

21. Data uji rating hedonik... 109

22. Data uji ranking hedonik... 111

23. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter warna………. 112

24. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kekerasan…... 113

25. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kelengketan… 114 26. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kekenyalan…. 115 27. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter over all…….... 115


(17)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting karena berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Beraneka ragam bahan pangan diperlukan oleh tubuh manusia untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Karbohidrat sebagai sumber penghasil energi utama bagi tubuh tentunya dikonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak. Saat ini, bahan pangan yang menjadi sumber pemenuhan karbohidrat masyarakat Indonesia didominasi oleh serealia seperti beras dan gandum.

Pertambahan penduduk serta perubahan sosial budaya telah mendiversifikasi pangan serealia mulai dari bentuk nasi, noodle, hingga rerotian. Hal ini berakibat pada meningkatnya kebutuhan bahkan menimbulkan ketergantungan terhadap beras dan gandum. Konsumsi beras nasional mencapai 136 kg/kapita, setara dengan 36 juta ton/tahun (Anonim1). Sebagian besar kebutuhan beras nasional disuplai oleh produksi dalam negeri. Namun, total produksi nasional masih sangat fluktuatif sehingga dalam kurun waktu tertentu masih dilakukan impor beras. Data Badan Ketahanan Pangan Jatim menyebutkan, konsumsi gandum masyarakat Indonesia setiap tahun mencapai 14 kg/kapita sehingga total konsumsi terigu di Indonesia sekitar 4 juta ton/tahun. Sekitar 80% dari total konsumsi tersebut dipasok oleh importir lokal, sedangkan sisanya berasal dari importir asing dan produsen lokal (Anonim2).

Pada dasarnya Indonesia memiliki beraneka ragam jenis umbi-umbian lokal. Umbi-umbian tersebut mengandung karbohidrat dalam jumlah yang tinggi berupa pati. Namun, sayangnya umbi-umbian lokal tersebut masih dianggap sebagai komoditi inferior sehingga pemanfaatannya sebagai pangan olahan sangat minim. Salah satu penyebanya adalah akibat tidak adanya protein gluten yang diperlukan dalam pembuatan mi dan roti yang sangat digemari masyarakat.


(18)

Salah satu umbi-umbian yang menjadi khas Indonesia adalah ganyong. Ganyong (Canna edulis Kerr.) merupakan tanaman umbi yang banyak tumbuh di daerah tropis dan tumbuh liar di pekarangan maupun di hutan. Ganyong merupakan tanaman herba yang berasal dari Amerika Latin yang menyebar ke beberapa wilayah termasuk Indonesia. Tanaman ini telah tersebar dari Sabang sampai Merauke terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali serta telah diusahakan penduduk menjadi tanaman sampingan padi gogo. Pemanfaatan umbi ganyong cukup potensial karena

Ganyong mempunyai peranan baik dalam bidang pangan maupun non-pangan. Sebagai bahan pangan, ganyong biasanya dijadikan makanan selingan yang diolah dengan cara dikukus, digoreng, dibakar, atau sebagai bahan makanan campuran. Sebagai bahan non-pangan, pucuk dan tangkai yang muda dapat diolah menjadi makanan ternak bahkan tanamannya dapat dijadikan tanaman hias (Sastrapraja et al. 1977). Pengolahan yang sederhana ini sangat disayangkan karena umbi ganyong memiliki merupakan sumber karbohidrat yang sangat potensial. Selain itu, umbi ganyong juga memiliki kapasitas produksi yang cukup besar yaitu mencapai 2.5 -2.84 kg/tanaman sehingga satu hektar lahan dapat menghasilkan ±30 ton umbi

Untuk memaksimalkan potensi umbi ganyong, maka dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan nilai guna umbi tersebut. Salah satunya adalah mengolah pati ganyong menjadi aneka makanan olahan seperti mi. Mi berbahan dasar pati (starch noodle) atau yang dikenal dengan nama sohun merupakan salah satu makanan tradisional yang sangat populer dan banyak dikonsumsi di kawasan Asia (Liu dan Shen 2007). Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dikategorikan sebagai komoditi substitusi bahan pangan pokok yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai sarapan maupun makanan selingan.

Sama halnya seperti pati umbi-umbian lainnya seperti singkong, ubi jalar, dan kentang, pati ganyong cenderung memiliki kemampuan pengembangan yang besar. Menurut Chansari et al. (2005), berdasarkan klasifikasi Schoch dan Maywald (1968), ganyong menunjukkan karakteristik amilografi antara pati tipe B atau C. Kedua karakteristik ini dianggap belum


(19)

sesuai dengan kriteria pati yang dibutuhkan dalam pembuatan sohun. Indonesia memiliki variasi ganyong yang cukup banyak salah satunya adalah ganyong yang berasal dari Ciamis. Menurut Damayanti (2002), ganyong Ciamis masih memiliki viskositas puncak gelatinisasi yang mencirikan belum tercapainya profil amilografi tipe C.

Menurut Collado et al. (2001), pati kacang hijau merupakan bahan baku ideal dalam pembuatan sohun karena memiliki kadar amillosa tinggi, kemampuan pengembangan yang terbatas, serta karakteristik amilografi pati tipe C. Sohun yang terbuat dari pati kacang hijau memiliki kekuatan tensil yang baik, warna yang jernih, dan cooking loss yang rendah. Modifikasi pada pati ganyong bertujuan untuk mengubah karakteristik pati alaminya sehingga dapat menghasilkan sohun berkualitas baik. Modifikasi yang dilakukan adalah modifikasi fisik Heat Moisture Treatment (HMT) yang mengkombinasikan kelembaban serta pengaplikasian panas untuk mengubah karakteristik patinya. Pemilihan metode ini didasarkan karena teknik modifikasi ini cukup aman dan juga sesuai dengan tren masyarakat saat ini yang lebih menyukai sesuatu yang berkesan natural karena dianggap lebih aman.

Pengaplikasian pati ganyong dalam pembuatan sohun cukup prospektif karena ganyong lokal seperti varietas Kebumen dan Karang Ganyam memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yaitu sekitar 75.89% - 84.14% dengan kandungan amilosa sekitar 35.43% - 35.74% (Susanto dan Suhardianto 2004). Karakteristik ini sangat diperlukan untuk menghasilkan sohun berkualitas baik. Pada penelitian ini, pembuatan sohun dilakukan dengan menggunakan 100% pati hasil modifikasi. Selain itu, pada proses pembuatannya ditambahkan bahan tambahan berupa hidrokoloid yang berfungsi sebagai pengontrol tekstur dan reologi sehingga dihasilkan sohun dengan karakteristik ideal.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mendapatkan pati ganyong termodifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) dengan karakteristik terbaik yaitu pati yang


(20)

memiliki kemampuan pengembangan rendah, viskositas setback yang tinggi, dan kekuatan gel yang tinggi, serta mengaplikasikannya pada pembuatan sohun sehingga diperoleh sohun dengan karakteristik ideal di antaranya memiliki waktu rehidrasi yang singkat, nilai KPAP yang rendah, berat rehidrasi yang lebih rendah, serta tekstur yang baik.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain :

 Mendapatkan informasi mengenai kondisi HMT optimum yang dapat menghasilkan pati ganyong dengan karakteristik terbaik.

 Mengaplikasikan pati hasil modifikasi menjadi produk sohun yang berkualitas baik.

 Meningkatkan nilai tambah umbi ganyong sehingga dapat meningkatkan pengaplikasiannya dalam pengolahan pangan.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GANYONG

Ganyong merupakan herba perennial yang berasal dari daerah Andes, Amerika Latin. Tanaman ini dikenal sebagai rhizoma penghasil pati yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok masyarakat Andes selama lebih dari 4000 tahun (Thitipraphunkul et al.2003). Menurut Sastrapraja et al. (1977), tanaman ganyong dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 2550 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1120 mm. Ganyong dapat tumbuh hampir pada semua tipe tanah dan optimum pada tanah liat berpasir yang kaya humus. Waktu pemanenan umbi sangat tergantung dari daerah tempat menanamnya. Ganyong yang ditanam di dataran rendah sudah bisa dipanen pada umur 6 - 8 bulan, sedangkan di daerah yang hujannya sepanjang tahun, waktu panennya lebih lama yaitu pada umur 15 - 18 bulan.

Klasifikasi Botani :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Cannaceae

Genus : Canna

Spesies : Canna edulis, Kerr.

Saat ini tanaman ganyong sudah menyebar di seluruh belahan bumi, terutama daerah yang beriklim tropis dan hangat, seperti kawasan Asia Tenggara (Flach dan Rumawas 1996). Tanaman ini juga telah dibudidayakan secara luas untuk keperluan produksi pati pada pabrik skala kecil di Cina, Taiwan, dan Vietnam. Menurut Ropiq (1988) tanaman ganyong telah tumbuh dengan baik di pulau Jawa sejak tahun 1905. Saat ini tanaman ganyong telah tersebar di seluruh Indonesia terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Indonesia ganyong lebih dikenal dengan nama bunga tasbeh atau ubi pikul oleh penduduk Sumatera (Flach dan Rumawas 1996). Di berbagai negara, ganyong dikenal dengan nama yang berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 1.


(22)

Tabel 1. Nama Lain Ganyong di Berbagai Negara

NEGARA NAMA LAIN

Perancis Spanyol Indonesia Malaysia Philiphina Myanmar Camboja Laos Thailand Vietnam Balisier, Canna Achira

Ganyong, bunga tasbeh, ubi pikul Ganjong, daun tasbeh, pisang sebiak Tikas-tikas,kukuwintasan,

balubsaying Adalut, butsarana Che:k te:hs

Kwayz ke : so:n, kwayz ph’utta so:n Phuttharaksa, phuttason

Chu[oos]i hoa, dong rieefing, khoai dao

Sumber : Flach dan Rumawas (1996)

Secara umum, ganyong berbentuk rhizoma bercabang yang tumbuh secara paralel pada permukaan tanah. Menurut Lingga et al. (1986), ganyong sering dimasukkan pada tanaman umbi-umbian karena biasa diambil umbinya yang kaya akan karbohidrat. Ganyong adalah tanaman umbi-umbian yang termasuk dalam tanaman dwi tahunan (2 musim) yang dapat tumbuh sampai beberapa tahun. Tanaman ini mengalami masa istirahat dari satu tahun ke tahun berikutnya yang ditandai dengan daun-daun yang mengering kemudian tanamannya hilang sama sekali dari permukaan tanah.

Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata beberapa umbi-umbian dalam 100 gram bahan

Komponen Satuan Ganyong Kentang Gadung

Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin B1 Vitamin C Air

Bahan dapat

dimakan kal g g g mg mg mg mg mg g % 95.0 1.0 0.1 22.6 21.0 70.0 20.0 0.1 10.0 75.0 65.0 83.0 2.0 0.1 19.1 11.0 56.0 0.7 0.1 17.0 77.8 85.0 101.0 2.1 0.2 23.2 20.0 69.0 0.6 0.1 9.0 73.8 85.0 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)


(23)

Tanaman ganyong berdaun lebar dengan bentuk elips memanjang dengan bagian pangkal dan ujung agak runcing. Daunnya memiliki panjang sekitar 15 - 60 cm dengan lebar 7 - 20 cm dan terdapat tulang daun yang tebal di bagian tengahnya. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau tua, kadang-kadang bergaris ungu atau keseluruhannya ungu. Ganyong yang biasa diambil umbinya memiliki ukuran bunga relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan ganyong hias jenis Canna coccinae, Canna hybrida, dan Canna indica. Bunga ganyong berwarna merah oranye, pangkalnya berwarna kuning dengan benang sari tidak sempurna. Jumlah kelopak bunga ada 3 buah dan masing-masing panjangnya 5 cm.

Gambar 1. Tanaman ganyong (Anonim)

Semua bagian vegetatif yang meliputi bagian batang, daun, dan kelopak bunga memiliki sedikit lapisan lilin. Tinggi tanaman ganyong sangat bervariasi pada tiap wilayah tempat tumbuhnya. Di wilayah Queensland tinggi tanaman ganyong bisa mencapai 2.7 m, sedangkan di daerah Jawa tingginya sekitar 1.35 - 1.8 m. Panjang batang dalam hal ini di ukur mulai dari ujung tanaman sampai ujung rhizoma atau yang sering disebut dengan umbi.

Ganyong memiliki umbi berukuran besar dengan diameter sekitar 5 -8.75 cm dan panjang 10 - 15 cm bahkan bisa mencapai 60 cm. Bentuk umbinya beraneka ragam, begitu juga komposisi kimia dan kandungan gizi dalam umbi. Perbedaan komposisi ini dipengaruhi oleh umur, varietas dan


(24)

tempat tumbuh tanaman. Tanaman ganyong juga berbuah namun tidak sempurna dan tidak berbentuk. Bagian dalam buah terdiri dari 3 ruangan yang berisi biji berwarna hitam sebanyak 5 biji per ruang. Tiap umbi pada tanaman ganyong berasal dari satu segmen disebut ruas induk. Oleh karena itu, satu tanaman ganyong hanya memiliki satu ruas induk selama hidupnya. Pada tanaman yang telah matang atau umbi yang telah dewasa, batang dan daun tanamannya akan menguning serta rhizomanya memiliki beberapa ruas yang tumbuh berderet secara teratur. Setiap ruas yang muncul bervariasi dalam segi ukuran maupun umurnya (Puncha-arnon et al. 2007).

Gambar 2. Bentuk fisik rhizoma ganyong (Puncha-arnon et al. 2007) Empat bulan setelah penanaman, umbi ganyong memiliki kulit berwarna kekuningan dan sisik yang berwarna ungu. Pada periode ini rhizoma ganyong memiliki 3 atau 4 ruas baru yang berkembang dan akan bertambah menjadi 5 atau 6 ruas pada bulan ke tujuh. Penelitian yang dilakukan puncha-arnon et al. (2007) menyatakan bahwa umbi yang dipanen pada bulan ke tujuh beratnya bisa mencapai 5324 g dan rhizomanya dapat dibagi dalam 4 grup yaitu ruas induk, ruas immature, ruas premature, dan ruas mature. Ruas immature sekitar 56% merupakan bagian mayoritas, ruas

mature sekitar 27%, ruas premature 15%, dan ruas induk hanya sekitar 2%. Berdasarkan berat ruasnya, berat umbi didominasi oleh ruas mature (70%), sedangkan ruas immature dan premature menyumbangkan 14% dan 15% dari berat umbi keseluruhan.


(25)

Tabel 3. Rata-rata berat dan jumlah ruas, kadar air, dan kadar pati tiap ruas

Karakteristik Ruas

Immature

Ruas

Premature

Ruas

Mature

Ruas Induk Rata-rata jumlah ruas (%) 51.33 54.79 51.85 5.26 Rata-rata berat ruas per

tanaman (g/%) 53.35 53.13 53.21 55.88

Kadar pati (% bb) 13.7 19.5 18.6 7.9

Total pati per tanaman (g) 102.3 155.4 694.7 3.5

Kadar air (% bb) 74.5 71.5 71.4 82.6

Sumber : Puncha-arnon et al. (2007) B. PATI

1. Karakteristik Pati

Pati merupakan cadangan karbohidrat terbesar pada tanaman seperti serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan tanaman lainnya. Pati ditemukan pada hampir seluruh organ tanaman seperti biji, buah, dan umbi serta biasa digunakan sebagai sumber energi bagi tanaman pada periode dormansi dan pertumbuhan (Jobling 2004). Beberapa organ tanaman yang berperan sebagai tempat penyimpanan pati, seperti biji pada tanaman jagung dan padi atau umbi pada tanaman singkong dan kentang, merupakan makanan pokok yang biasa dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, pati merupakan sumber karbohidrat yang sangat penting dalam konsumsi manusia karena menyumbang sekitar 60-70% karbohidrat yang dapat dicerna (available atau glycaemic carbohydrate) berupa suplai eksogenus glukosa (Roder et al. 2005).

Pati disintesis di daun selama siang hari kemudian dimobilisasi dan diresintesis pada jaringan penyimpanan seperti biji dan umbi pada malam hari. Sebagian besar proses sintesis dilakukan di dalam amiloplastid tetapi dapat juga diproduksi di organel lain seperti kloroplas. Pati tersusun dalam bentuk granula yang terdiri dari komponen poliglukan yang disintesis dengan melibatkan enzim-enzim katalase. Struktur dan komposisi granula pati sangat bervariasi bergantung pada jenis tanaman dan lingkungan tempat tumbuhnya sehingga mempengaruhi karakteristik serta fungsionalitasnya


(26)

Molekul granula pati memiliki sifat birefringent dengan sifat

maltosecross. Sifat birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa pati. Karakteristik ini juga mengindikasikan bahwa molekul pati memiliki pola pengaturan kristalinitas.

Granula pati tersusun atas dua tipe polimer glukosa (alfa glukan) yaitu amilosa dan amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat kering (Tester

et al. 2004). Rasio dari dua polisakarida ini sangat bervariasi bergantung pada jenis tanaman sumber patinya. Berdasarkan rasio kandungan amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu waxy starch mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal mengandung sekitar 20-35% amilosa, dan pati beramilosa tinggi mengandung amilosa lebih dari 40%. Granula pati dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari struktur kristalin dan struktur amorphous. Bagian amorphous terdiri dari molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan amilopektin sedangkan rantai pendek amilopektin akan membentuk untaian heliks yang membentuk kristalin.

Tabel 4. Struktur dan komposisi beberapa granula pati.

Karakteristik pati Jenis pati

Jagung Gandum Kentang Singkong

Tipe Serealia Serealia Umbi

batang Umbi akar Bentuk granula Bulat,

polygonal

Bulat, bimodal

Oval,

spherical

Oval, pepat Ukuran granula

(µm) 2-30 1-45 5-100 4-35

Fosfat (%, b/b) 0.02 0.06 0.08 0.01

Protein (%, b/b) 0.35 0.4 0.06 0.1

Lipid (%, b/b) 0.7 0.8 0.05 0.1

Kapasitas produksi

dunia (ton/thn) 39.4 4.1 2.6 2.5


(27)

Amilosa merupakan polimer linier rantai panjang yang tersusun dari residu glukan yang dihubungan oleh ikatan α-(1,4) dan ikatan α-(1,6) pada setiap 300-1000 residu glukan. Amilosa memiliki bobot molekul sekitar 5x105-1x106 Da dengan derajat polimerisasi 103-104 (Roder et al. 2005). Molekul amilosa bersifat hidrofilik karena mengandung banyak gugus hidroksil pada senyawa polimernya. Struktur dan ukuran amilosa sangat bervariasi bergantung pada sumber patinya. Semakin besar ukurannya, percabangan pada molekul amilosa akan semakin banyak. Untaian heliks amilosa dapat berikatan dengan molekul iodine menghasilkan warna biru gelap yang menjadi dasar dalam mekanisme penentuan jumlah amilosa. Amilosa juga dapat berikatan dengan molekul lipid internal membentuk kompleks amilosa-lipid yang dapat membatasi penyerapan air ke dalam granula pati.

Gambar 3. Struktur amilosa

Amilopektin terdiri dari rantai glukosa yang berbobot molekul lebih besar dan lebih bercabang. Amilopektin tersusun dari unit molekul anhidroglukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dengan percabangan pada ikatan α-(1,6) pada setiap 20 residu glukan. Molekul ini memiliki bobot molekul sekitar 107 Da dengan derajat polimerisasi 5x104-5x105. Rata-rata molekul amilopektin memilliki panjang 200-400 nm dan lebar 15 nm dengan percabangan yang terdistribusi teratur pada interval 7-10 nm (Roder et al. 2005). Adanya titik percabangan pada molekul amilopektin mengakibatkan kuatnya ikatan linier rantai pendek sehingga membentuk dobel heliks yang menjadi dasar bagi terbentuknya struktur semikristalin pada granula pati (Jobling 2004).


(28)

Gambar 4. Struktur amilopektin

Selain berdasarkan rasio amilosa-amilopektin yang terkandung di dalam granulanya, pati juga dapat diklasifikasikan berdasarkan profil gelatinisasinya. Berdasarkan klasifikasi Scoch dan Maywald (1968), terdapat 4 tipe profil amilografi pati. Pati tipe A memiliki kemampuan pengembangan yang besar dan biasanya terdapat pada pati umbi-umbian seperti kentang dan singkong ataupun waxy starch. Pati tipe B banyak ditemukan pada serealia, memiliki kemampuan pengembangan yang besar, dan menunjukkan viskositas pasta yang rendah.. Pati tipe C memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas, tidak menunjukkan viskositas puncak bahkan menunjukkan viskositas konstan ataupun peningkatan viskositas selama pemasakan. Pati jenis ini banyak ditemukan pada jenis leguminaceae dan pati

cross bonded. Pati tipe D merupakan tipe pati dengan pengembangan sangat terbatas yang bahkan tidak bisa cukup mengembang untuk memberikan viskositas pasta selama pemasakan. Jenis pati ini biasanya ditemukan pada pati dengan kadar amilosa lebih besar dari 55%.

2. Pati Ganyong

Ganyong merupakan salah satu umbi yang cukup potensial untuk dimanfaatkan patinya karena memiliki kandungan karbohidrat sekitar 80%. Serupa dengan umbi-umbian lainnya, umbi ganyong memiliki umur simpan yang relatif singkat yaitu sekitar 8 – 9 hari. Oleh karena itu, pengolahan ganyong menjadi pati ganyong merupakan salah satu cara efektif dalam meningkatkan umur simpan serta cakupan pengoalahannya. Umbi ganyong dapat diekstrak patinya untuk dimanfaatkan dalam industri pengolahan pangan ataupun industri lainnya.


(29)

Pati ganyong aman digunakan dalam pengolahan pangan karena umbi ganyong memiliki kadar HCN yang relatif kecil. Sealin itu HCN akan terbuang sebagai limbah saat proses ekstraksi. Pati yang berasal dari umbi ganyong memiliki warna putih kecoklatan dengan tekstur yang halus dan memiliki kadar air bervariasi yang berkisar antara 12 – 18% (Putri dan Sukandar 2008). Berdasarkan penelitian Puncha-arnon et al. (2007), umbi ganyong dapat menghasilkan 17.95% pati ganyong. Rendahnya rendemen pati ganyong disebabkan karena ganyong mengandung serat dalam jumlah yang tinggi sehingga sulit dihaluskan dan juga sulit untuk lolos dalam pengayakan.

Umbi ganyong

Pencucian

Pemarutan

Ekstraksi pati (1 : 3.5) 3x kali

Penyaringan

Cairan pati

Pengendapan (6-12 jam)

Pengeringan dengan oven 500C selama 6 jam

Penggilingan

Penyaringan

Pati ganyong Air

Air

Ampas


(30)

Gambar 5. Diagram alir ekstraksi pati ganyong (Richana dan Sunarti 2004)

Menurut Hoover (2001), ukuran granula pati umbi-umbian berkisar antara 1-110 µm dengan bentuk granula yang sangat bervariasi. Sebagian besar granulanya berbentuk oval, namun juga ditemukan granula berbentuk bulat, spherical, poligonal, dan tak beraturan. Menurut Lim et al.(1994), pati umbi memiliki banyak ikatan fosfat monoester yang terikat secara kovalen. Beberapa contohnya terdapat pada pati ganyong dan pati kentang yang banyak memiliki gugus fosfat pada C3 dan C6 monomer glukosanya.

Granula pati ganyong berbentuk oval-eliptikal berukuran 13 - 57.6 µm. Pati ganyong memiliki karateristik yang khas di antaranya memiliki kadar amilosa tinggi, pasta yang jernih, viskositas yang tinggi, dan memiliki resistensi tinggi terhadap hidrolisis α-amylase (Soni et al. 1990). Jika diamati dengan mikroskop X-ray diffraction pati ganyong memiliki struktur

polymorphic tipe B yang dicirikan dengan susunan heliks alfa glukan yang tidak terlalu rapat. Struktur polymorphic ini yang menyebabkan kecenderungan resistensi terhadap hidrolisis enzim α-amylase.

Pati ganyong memiliki kadar amilosa yang beragam, bergantung pada sumber tanaman ganyongnya. Menurut Susanto dan Suhardianto (2004), ganyong lokal memiliki kandungan amilosa sekitar 35.43 - 35.74%. Kadar amilosa pada pati ganyong jenis Japanese-green, Thai-green dan Thai-purple berkisar antara 19 - 25% Thitipraphunkul et al. (2003), sedangkan pati ganyong dari daerah Andes memiliki kandungan amilosa sekitar 23.8% (Santacruz et al. 2002). Granula pati ganyong terakumulasi pada ruas umbi yang berbeda-beda, meskipun berada dalam rhizoma yang sama. Granula pada setiap ruas baik immature, premature, mature, dan ruas induk memiliki perbedaan dalam komposisi kimia dan fisikokimianya.


(31)

Tabel 5. Komposisi kimia pati ganyong dari berbagai ruas

Komponen Ruas

Immature

Ruas

Premature

Ruas

Mature Ruas Induk

Protein (%) 0.06 0.06 0.06 0.06

Lipid (%) nd* nd nd nd

Abu (%) 0.18 0.19 0.33 1.69

P (ppm) 257.9 250.8 264.2 311.9

Ca (ppm) 195.1 242.5 233.1 421.2

Na (ppm) 81.8 95.2 82.3 84.2

Fe (ppm) 9.3 8.6 10.5 33.0

Amilosa (%) 31.1 31.0 36.2 30.9

Sumber : Puncha-arnon et al. (2007) *

nd : non detected 3. Gelatinisasi Pati

Pati tersusun atas molekul-molekul yang bersifat hidrofilik, namun granula pati justru bersifat hidrofobik. Hal ini disebabkan karena struktur semikristalin di dalam granula dan adanya ikatan hidrogen yang terbentuk di antara gugus hidroksil di dalam polimer pati. Dalam air dingin, granula pati akan sedikit mengembang tetapi tidak larut air. Jumlah air yang diserap sangat bervariasi bergantung pada kadar air keseimbangannya. Pati dengan kadar air keseimbangan lebih tinggi, akan menyerap air lebih banyak. Proses pengembangan ini bersifat reversible karena granula akan kembali ke bentuk semula setelah mengalami proses pengeringan.

Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dalam air berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan mengakibatkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan dobel heliksnya. Kerusakan dobel heliks amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas pati, dan hilangnya sifat birefringent pati yang sifatnya irreversible yang disebut gelatinisasi (Roder 2005).

Menurut Fennema (1985), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat birefringence pati mulai menghilang, menurut Winarno (1997), suhu


(32)

gelatinisasi pati adalah suhu pada saat granula pati pecah, dan menurut Roder

et al. (2005), suhu gelatinisasi pati adalah suhu saat mulai terjadi perubahan

irreversible. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu titik suhu tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik masing-masing pati. Secara umum, kisaran suhu gelatinisasi aneka jenis pati sekitar 10 – 150C.

Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati

Sumber pati Suhu gelatinisasi (C)

Beras 65-73

Ubi jalar 82-83

Tapioka 59-70

Jagung 61-72

Gandum 53-64

Sumber : Fennema (1996)

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi suhu gelatinisasi dan kisaran suhunya. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peristiwa gelatinisasi adalah kadar air yang dikandung pati. Hal ini disebabkan karena air berperan sebagai plasticizer pada struktur kristalinnya. Gelatinisasi pati merupakan aspek yang sangat penting dalam pembuatan sohun. Pati tergelatinisasi digunakan sebagai pembentuk struktur sekaligus sebagai bahan pengikat (binder) karena pati yang tergelatinisasi merupakan bahan pengikat matriks adonan yang cukup baik.

C. MODIFIKASI PATI (Heat Moisture Treatment)

Setiap jenis pati memiliki karakteristik yang khas serta sifat fungsional yang berbeda. Oleh karena itu pengaplikasian pati dalam produk pangan disesuaikan karakteristik pati yang digunakan. Sejak seratus tahun lalu, pati telah diproduksi secara komersial sebagai bahan pangan dan aplikasi industri.


(33)

Oleh karena itu, produsen pangan olahan berbasis pati sering menetapkan beberapa kualifikasi tertentu terhadap pati yang akan digunakan.

Beberapa persyaratan tersebut di antaranya, pati harus tahan terhadap

shear yang tinggi yang terjadi selama pemrosesan dan tahan terhadap pH rendah. Pati juga harus tahan terhadap suhu tinggi agar tahan pada proses sterilisasi ataupun pada suhu rendah agar dapat tahan pada suhu refrigerator sehingga dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Namun, pati alami biasanya tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan karena memiliki sifat fungsional yang terbatas. Hal ini mengakibatkan terbatasnya aplikasi pati alami sebagai bahan baku pangan olahan. Untuk meningkatkan fungsionalitas pati alami, maka dilakukan upaya modifikasi. Pati yang telah termodifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu kimia atau fisiknya sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki.

Secara garis besar, modifikasi pati dapat dilakukan melalui dua metode yaitu modifikasi secara fisik serta modifikasi secara kimia. Modifikasi pati dengan perlakuan kimia antara lain ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi, dekstrinasi, dan konversi asam (Light 1990), sedangkan salah satu bentuk modifikasi secara fisik adalah hydrothermal treatment. Menurut Stute (1992) hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati secara fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta pemanasan yang dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa merubah visualisasi granula pati. Perlakuan fisik untuk modifikasi pati cenderung lebih aman karena tidak merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan perlakuan kimia (Collado 2001).

Berdasarkan kondisi perlakuannya, hydrothermal treatment dibedakan menjadi dua yaitu annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Menurut Genkina et al (2004), annealing merupakan bentuk modifikasi fisik yang melibatkan proses inkubasi pati pada kadar air berlebih dengan suhu pemanasan di antara suhu transisi gelas dan suhu awal gelatinisasi yaitu sekitar 40 - 550C. Perlakuan pemanasan pati dengan metode annealing dapat meningkatkan stabilitas granula (Hoover dan Vasanthan 1994) serta dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi.


(34)

Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (<35% b/b) pada suhu 80 - 1200C, di atas suhu gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit - 16 jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta merubah derajat kristalinitas pati.

Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al. 2006). Pati ubi jalar hasil modifikasi HMT memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengadukan (shear stable), kekerasan dan daya adhesi gel yang lebih tinggi dibandingkan pati alaminya (Collado dan Corke 1999). Proses HMT dapat meningkatkan freeze-thaw stability pada pati singkong (Abraham 1993), membatasi swelling power, dan meningkatkan kualitas gel pada pati beras sehingga lebih dapat diaplikasikan dalam pembuatan mi berbasis pati (Hormdok dan Noomhorm 2007).

D. STARCH NOODLE (SOHUN)

Beraneka ragam jenis pati telah diaplikasikan dalam proses pembuatan mi dan telah dipraktekkan di China sejak berabad-abad lalu serta telah menyebar ke berbagai kawasan. Produk mi berbasis pati disebut dengan

starch noodle atau cellophane noodle karena memiliki sifat transparan dan translusen baik sebelum maupun sesudah pemasakan. Starch noodle

merupakan salah satu makanan tradisional yang sangat populer dan banyak dikonsumsi di negara Asia dan termasuk masakan khas Asia yang banyak disajikan di negara barat (Liu dan Shen 2007).


(35)

Starch noodle dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa parameter di antaranya adalah jenis bahan baku dan ukuran untaian mi (Tan et al.2009). Pati dengan kandungan amilosa tinggi banyak digunakan pada pembuatan

starch noodle karena dapat membentuk tekstur yang baik. Menurut Tan et al. (2009), bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan starch noodle

adalah pati kacang hijau dan bahan-bahan lain yaitu kacang-kacangan seperti kacang polong, kacang merah, kacang tunggak atau umbi-umbian seperti ubi jalar, kentang, dan singkong. Pati kacang hijau dianggap sebagai pati pertama yang digunakan secara komersial dalam pembuatan starch noodle (Hui 2007). Berdasarkan ukuran untaian, starch noodle dapat dibagi menjadi tiga ukuran yaitu mi dengan untaian tipis, untaian tebal, dan untaian datar. Starch noodle

dengan untaian tipis merupakan jenis yang paling umum karena mudah dimasak.

Penamaan dari starch noodle ini sangat beragam karena produk ini sudah sangat meluas, sehingga setiap kawasan memiliki penamaan yang khas. Di Filiphina, starch noodle dibuat dari campuran tepung beras, pati jagung, dan pati kacang hijau yang dikenal dengan sebutan bihon, sedangkan di Korea starch noodle terbuat dari pati ubi jalar yang memiliki karakteristik mirip dengan mi dari pati kacang hijau yang dikenal dengan dang myun. Menurut SNI, mi yang terbuat dari bahan dasar aneka jenis pati dikenal dengan nama sohun. Sohun memiliki warna transparan akibat melelehnya struktur kristalit pada proses gelatinisasi. Sifat transparan sohun sangat khas sehingga membedakannya dengan jenis noodle lainnya seperti bihun dan mi terigu.

Mi pati (sohun) diproduksi dengan mengekstrusi adonan bebas gluten yang telah mengalami pregelatinisasi menjadi seukuran vermicelli. Karakteristik sohun berbeda dari mi terigu karena proses produksi serta kualitas produk yang dihasilkan sangat bergantung pada sifat fungsional pati yang digunakan. Pati kacang hijau merupakan bahan baku ideal dalam pembuatan sohun karena dapat menghasilkan produk dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan. Kualitas yang baik ini dapat dicapai karena tingginya kandungan amilosa, pembengkakan pati yang minimal, memiliki


(36)

kestabilan viskositas yang baik selama pemanasan dan pengadukan pada pengujian dengan Brabender Viscoamilograf, serta memiliki setback tinggi saat pendinginan (Lii dan Chang 1981).

Parameter yang biasa digunakan untuk menilai kualitas starch noodle

adalah keseragaman serta cooking dan eating quality. Galvez dan Resurreccion (1992) melaporkan bahwa untuk sohun kering, konsumen cenderung menyukai mi yang transparan, jernih, dan berkilau. Pada sohun yang sudah dimasak, tekstur dan mouthfeel menjadi karakteristik yang sangat penting untuk diperhatikan. Selain itu mi harus tetap firm, tidak lengket setelah dimasak dan memiliki rasa yang lembut.

E. HIDROKOLOID

Hidrokoloid merupakan suatu polimer larut dalam air, mampu membentuk koloid, dan mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut. Ada beberapa jenis hidrokoloid yang digunakan dalam industri pangan baik yang alami maupun sintetik. Jika ditinjau dari asalnya, hidrokoloid dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid alami termodifikasi, dan hidrokoloid sintetik. Pemilihan jenis hidrokoloid perlu dipertimbangkan karena menyangkut karakteristik hidrokoloid yang digunakan serta produk pangan yang akan dihasilkan (anonim3 2006).

Hidrokoloid alami berasal dari tanaman, hewan, atau mikroba yang umunya terbagi atas beberapa kelas berdasarkan cara mendapatkannya yaitu gum eksudat, gum biji, gum hasil ekstraksi, dan gum hasil fermentasi. Hidrokoloid alami termodifikasi adalah hidrokoloid yang diperoleh dengan cara memodifikasi bahan-bahan alami, baik yang semula telah bersifat sebagai hidrokoloid maupun bukan hidrokoloid sehingga diperoleh hidrokoloid baru dengan sifat-sifat yang diinginkan. Hidrokoloid alami termodifikasi ini biasanya berasal dari turunan pati dan turunan selulosa.

Aplikasi hidrokoloid pada industri pangan sangat luas. Hidrokoloid dapat berperan sebagai thickener, gelling agent, stabilizer, dan sebagai fat replacer dalam pengolahan produk pangan. Beberapa jenis hidrokoloid


(37)

terutama yang berasal dari polisakarida alami maupun termodifikasi menunjukkan karakteristik fungsionalitasnya antara lain mengontrol tekstur dan reologi, mempertahankan kelembaban, dan mempertahankan kualitas produk selama penyimpanan. Penggunaan hidrokoloid dalam produk pangan juga berhubungan langsung dengan karakteristik organoleptik seperti flavor sehingga hidrokoloid diharapkan dapat menjadi tool untuk menghasilkan produk baru dan berbeda.

Telah banyak penelitian yang dilaporkan untuk melihat potensi dan kegunaan hidrokoloid untuk mengontrol reologi dan memodifikasi tekstur pada bahan makanan berbasis pati. Penelitian yang dilakukan meliputi penambahan hidrokoloid untuk meningkatkan atau memodifikasi karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati, meningkatkan water holding capacity, dan freeze-thaw stability pada suspensi pati. Penggunaan gum untuk memodifikasi tekstur dan organoleptik mi pati pada penelitian kali ini akan difokuskan pada tiga jenis hidrokoloid yaitu guar gum, arabic gum, dan

carboxymethylcellulose.

1. Guar Gum

Guar gum atau guaran merupakan hidrokoloid yang diekstrak umumnya dari dua tanaman kelas leguminaceae yaitu Cyamopsis tetragonolobus dan

C.psoraloides yang banyak ditemukan di barat laut India dan Pakistan. Konsumsi guar gum berkembang sangat cepat sejak dikomersilkan pada tahun 1953, bahkan produk ini telah menjadi komoditi dagang penting di Amerika Serikat. Perkembangan yang sangat pesat ini disebabkan karena fungsionalitasnya yang sangat beragam di antaranya meningkatkan viskositas pada sistem suspensi, sebagai hydrogen bonding, dan reagent pada berbagai industri.

Tanaman penghasil guar ini merupakan tanaman tahunan dengan tinggi ± 1 meter yang ditanam pada bulan Juni - Juli dan dipanen pada bulan Desember (Nussinovitch 1997). Tanaman ini tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh di kawasan yang agak gersang. Polongnya dikotil berwarna hijau dengan tiap polongnya terdiri dari enam sampai sembilan biji yang


(38)

berbentuk seperti kacang, memiliki ukuran diameter sekitar 2 - 4 mm dan berat rata-rata 35 mg per biji dengan kandungan galaktomanan sekitar 36% (Herald 1986).

Gambar 6. Struktur Guar Gum

Guar gum merupakan polisakarida yang tersusun dari galaktosa dan manosa (galaktomanan). Backbone guar gum adalah manosa yang dihubungkan dengan ikatan β-(1,4)-glikosida dengan galaktosa sebagai rantai sampingnya yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,6)-glikosida. Rasio manosa dan galaktosa pada guar gum sekitar 1.8 : 1 sampai 2 : 1.

Tabel 7. Komposisi dari komponen biji guar

Bagian biji Protein (%)

Ekstrak eter (%)

Abu (%)

Kadar air (%)

Serat kasar (%)

Tipe karbohidrat Kulit

(14-17%) 5 0.3 4 10 36 D-glukosa

Endosperm

(35-42%) 5 0.6 0.6 10 1.5 Galaktomanan

Germ

(43-47%) 55.3 5.2 4.6 10 18 D-glukosa

Sumber : Nussinovitch (1997)

Penggunaan guar gum diklasifikasikan menjadi dua yaitu aplikasi industri dan aplikasi pada pangan. Guar gum yang digunakan untuk produk pangan mengalami purifikasi sempurna sehingga gum yang didapat hanya berasal dari bagian endospermae. Sebagian besar guar gum yang dipasarkan ke industri pangan memiliki viskositas sekitar 3000 - 5000 cps jika dibuat konsentrasi larutan sebesar 1%. Penggunaan guar gum pada makanan


(39)

biasanya berada pada kisaran kurang dari 1% dan dapat meningkatkan kekenyalan produk pangan. Guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga komponen tersebut tidak lepas ketika dimasak. Penambahan guar gum dengan konsentrai 1% memiliki pengaruh paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah 2005).

2. CMC (Carboxymethylcellulose)

Selulosa merupakan polimer linier dari unit β-anhidroglukosa anionik yang tiap unitnya mengandung tiga gugus hidroksil. (Stelzer dan Klug, 1980). CMC diproduksi dengan memberikan perlakuan basa (NaOH) pada molekul selulosa dan kemudian direaksikan dengan asam kloroasetat berdasarkan reaksi eterifikasi Williamson. CMC memiliki derajat polimerisasi 100 - 3500 unit dengan karakteristik dan jenis yang sangat beragam. Saat ini terdapat 30 produsen yang memproduksi lebih dari 300 jenis CMC.

Gambar 7. Struktur CMC

CMC umumnya dijual dalam bentuk bubuk putih halus yang tidak berwarna dan tidak memiliki rasa. CMC teknik memiliki kemurnian 94 - 99%, sedangkan yang biasa digunakan pada makanan adalah CMC dengan kemurnian 99.5%. CMC bersifat larut air baik air panas maupun air dingin serta juga dapat larut dalam pelarut organik seperti aseton dan etanol sehingga menjadikannya hidrokoloid serba guna. CMC dapat larut pada maksimal 50% etanol atau 40% aseton yang berperan penting pada pembuatan minuman beralkohol.

Salah satu karakteristik penting CMC adalah kemampuannya untuk meningkatkan viskositas (Stelzer dan Klug 1980). Aplikasi CMC yang sangat


(40)

luas pada produk pangan berdampak pada kompatibilitasnya dengan berbagai inggredien pangan. CMC sebagai agen peningkat viskositas dapat diaplikasikan secara tunggal atau dicampur dengan bahan lain. Viskositas yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan melarutkan CMC dalam campuran air-gliserin atau mencampurkan dengan gum lain atau derivat selulosa non-ionik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencampuran tersebut dapat meningkatkan viskositas hingga dua kali lipat. Untuk mendapatkan sifat fungsional sebagai binding, thickening, dan stabilizer, jumlah CMC yang ditambahkan pada bahan pangan berkisar antara 0.1 - 0.5% atau pada umumnya kurang dari 1%. Pada pembuatan produk seperti mi, penambahan CMC dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan.

3. Gum Arab

Gum arab atau gum acacia merupakan gum eksudat alami dari batang dan cabang tanaman acacia terutama Acacia senegal dan Acacia seyal. Tanaman Acacia dapat ditemukan di daerah sahara-Afrika, Australia, India, dan Amerika. Tanaman ini dibudidayakan untuk mengurangi erosi dan sebagai tanaman penghasil gum. Negara yang menjadi penghasil terbesar jenis gum ini antara lain Senegal, Mali, Mauritania, Niger, Chad, dan Sudan (Imeson 1992). Eksudat gum arab dipanen secara manual sebanyak dua kali selama musim kering dengan kapasitas produksi mencapai 60 ribu ton per tahun.

Gum arab merupakan polisakarida kompleks dengan struktur rantai bercabang yang bersifat netral atau sedikit asam. Gum arab banyak ditemukan dalam bentuk percampuran antara garam kalsium, magnesium, dan kalium dengan asam polisakarida (Ali et al. 2009). Backbone gum arab adalah unit β -1,3-D-galaktopiranosil dan rantai sampingnya tersusun dari dua sampai lima unit β-1,3-D-galaktopiranosil yang dihubungkan dengan ikatan 1,6-glikosidik. Idris et al. (1998) melaporkan bahwa gum memiliki kandungan 39 - 42% galaktosa, 24 - 27% arabinosa, 12 - 16% rhamnosa, 15 - 165 asam glukoronat, 1.5 - 2.6% protein, dan 0.22 - 0.39% nitrogen dengan kadar air


(41)

sekitar 12.5-16%. Komposisi kimia gum arab sangat bervariasi tergantung pada sumber, umur tanaman, kondisi iklim, dan kondisi tanah tempat tanaman penghasil gum tumbuh.

Gum arab cukup kompatibel untuk diaplikasikan pada produk pati dan dapat digunakan bersinergi dengan aneka gum lainnya. Gum jenis ini cenderung tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa. Perubahan warna menjadi coklat disebabkan karena adanya proses pemanasan dalam pemurniannya. Pada produk pangan, gum arab yang ditambahkan kurang dari 2% kecuali untuk produk confectionery.


(42)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan serta peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu digunakan dalam preparasi dan analisis sampel serta dalam proses pembuatan sohun. Bahan baku utama yang digunakan adalah pati ganyong yang diperoleh unit koperasi petani di Ciamis. Bahan lain yang digunakan dalam analisis sampel adalah berbagai bahan kimia seperti etanol 95%, NaOH 1N, asam asetat, pereaksi Nelson, methylene blue, I2, HCl pekat, raksaoksida (HgO), bubuk kalium sulfat (K2SO4), larutan asam sulfat (H2SO4) pekat, campuran larutan NaOH-Na2S2O3, larutan asam borat (H3BO3) aquades serta bahan pendukung lain. Pada proses pembuatan sohun diperlukan bahan tambahan berupa sodium tripolyphosphate (STPP) dan beberapa jenis bahan tambahan seperti guar gum, CMC, dan gum arab. Plastik PP digunakan sebagai bahan pengemas produk

Peralatan yang digunakan dalam preparasi dan analisis sampel yaitu berbagai macam alat gelas, mortar, cawan aluminium, cawan porselen, termometer, timbangan analitik, loyang bertutup, oven, desikator, pH meter,

water bath, centrifuge, rapid visco analyzer, ayakan vibrating screen 100 mesh, spektrofotometer, waterbath, dan mikroskop polarisasi. Pada tahapan formulasi dan pembuatan sohun diperlukan peralatan seperti kompor, panci,

multifunctional noodle machine, sealer, saringan, sendok kayu, baskom, dan

tray pengering.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan utama. Tahap pertama yaitu modifikasi pati ganyong dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) untuk memperoleh pati modifikasi terbaik dan tahap kedua adalah aplikasi pati modifikasi terpilih dalam pembuatan sohun. Pada tahap pertama dilakukan proses HMT dengan berbagai kombinasi perlakuan menggunakan tiga faktor perlakuan yaitu suhu, waktu modifikasi, dan kadar air bahan.


(43)

Setelah proses HMT selesai kemudian dilakukan karakterisasi pada pati hasil modifikasi. Karakterisasi yang sama juga dilakukan terhadap pati alaminya.

Karakterisasi pati bertujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi akibat proses HMT sehingga dapat mengetahui perbedaan karakteristik antara pati alami dengan pati HMT ataupun antar kombinasi perlakuan pati HMT. Proses karakterisasi digunakan untuk menentukan kondisi optimum proses HMT sehingga diperoleh pati dengan karakteristik yang diinginkan. Pada tahap kedua yaitu pembuatan sohun, pati hasil modifikasi HMT terpilih digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan sohun dengan penambahan hidrokoloid pada presentase tertentu. Setelah proses pembuatan sohun dilakukan karakterisasi sifat fisik sohun untuk mengetahui perlakuan yang menghasilkan sohun dengan karakteristik ideal.

Gambar 8. Diagram alir penelitian

Karakterisasi sifat fisiko-kimia pati

Karakterisasi sifat fisiko-kimia pati

Informasi perubahan karateristik pati Pati ganyong alami

Modifikasi HMT ( kombinasi perlakuan suhu, waktu, dan kadar air)

Penentuan kondisi HMT optimum

Formulasi sohun dengan penambahan berbagai hidrokoloid pada presentase 1

Karakterisasi sifat fisik sohun Formula yang menghasilkan sohun

dengan kualitas terbaik Pati termodifikasi

terbaik


(44)

1. Modifikasi Pati dengan Metode Heat Moisture Treatment (HMT) Pada tahap ini dilakukan proses modifikasi pati Heat Moisture Treatment (HMT) menggunakan metode oven dengan memanaskan sampel menggunakan oven pada loyang tertutup. Proses HMT dilakukan dengan menggunakan dua level suhu pemanasan yaitu 1000C dan 1100C, tiga level waktu modifikasi yaitu 4, 8, dan 16 jam, dan tiga level kadar air yang dikandung oleh pati yaitu 20%, 25%, dan 30% sehingga menghasilkan 18 kombinasi perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Desain perlakuan Heat Moisture Treatment (Purwani et al. 2006)

Prosedur teknik HMT yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada Adebowale et al. (2005) yang dimodifikasi. Pati ganyong yang akan dimodifikasi dianalisis kadar airnya terlebih dahulu untuk menentukan jumlah air yang harus ditambahkan. Setelah diketahui kadar air awal pati, dilakukan pengaturan kadar air hingga mencapai kadar air yang sesuai dengan kondisi perlakuan. Setelah itu, dilakukan conditioning dengan menyimpan pati selama satu malam di dalam refrigerator untuk menyeragamkan kadar air

Perlakuan Kadar Air Pati (%) Suhu (oC) Waktu (jam) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 20 25 30 20 25 30 20 25 30 20 25 30 20 25 30 20 25 30 100 100 100 110 110 110 100 100 100 110 110 110 100 100 100 110 110 110 4 4 4 4 4 4 8 8 8 8 8 8 16 16 16 16 16 16


(45)

dalam sampel. Setelah dilakukan conditioning, pati dimasukkan ke dalam loyang bertutup berkapasitas 600 - 650 gram kemudian dipanaskan dengan panas dan waktu modifikasi yang telah ditentukan. Pada saat proses pemanasan, sesekali dilakukan pengadukan untuk lebih menyeragamkan distribusi panas pada bahan. Pati yang telah diberi perlakuan HMT kemudian kembali dianalisis kadar air akhirnya. Setelah itu loyang dikelarkan dari dalam oven dan didinginkan selama 15 - 30 menit pada suhu ruang. Pati yang telah mengalami proses modifikasi kemudian digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh.

Gambar 9. Proses Heat Moisture Treatment (Modifikasi Metode Adebowale et al. 2005)

Pati alami

Pengecekan kadar air awal pati

Pengaturan kadar air pati dengan menambahkan sejumlah air (s.d. k.air 20%, 25%, dan 30%)

Pemanasan dalam oven dengan suhu (1000 dan 1100C) dan lama waktu tertentu (4, 8, dan 16 jam)

Conditioning semalam dalam refrigerator

Pendinginan pati HMT pada suhu ruang selama ± 15-30 menit


(46)

Jika diketahui kadar air awal pati adalah 13.8%, maka contoh perhitungan pengaturan kadar air dengan kesetimbangan massa adalah sebagai berikut :

(100% - KA1) x BP1 = (100% - KA2) x BP2 (100% - 13.8%) x 650 g = (100% - 25%) x BP2 86.2% x 650 g = 75% x BP2

560.3 = 0.75 x BP2 BP2 = 747.067 Jumlah aquades yang ditambahkan = 747.067 - 650

= 89.7 mL Keterangan :

KA1 = Kadar air pati native

KA2 = Kadar air pati yang diinginkan BP1 = Bobot pati pada kondisi awal BP2 = Bobot pati setelah mencapai KA2

2. Karakterisasi Fisiko-kimia Pati Ganyong Alami dan Pati Termodifikasi HMT untuk Penentuan Kondisi HMT Optimum

Tahapan karakterisasi dilakukan dengan melakukan serangkaian analisis pada pati alami dan pati termodifikasi. Untuk menentukan kondisi HMT optimum dilakukan analisis penentuan sifat fisiko-kimia pati. Sifat fisikokimia pati ditentukan melalui beberapa analisis meliputi analisis karakteristik granula pati, swelling power, kekuatan gel, dan profil amilografi. Hasil analisis digunakan untuk menentukan kondisi optimum HMT yang menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik yang diinginkan untuk kemudian diaplikasikan dalam pembuatan sohun. Pati hasil modifikasi yang terpilih kembali dianalisis komposisi kimianya dan hasilnya dibandingkan dengan komposisi kimia pati alaminya sehingga dapat dilihat perubahan komposisi kimia yang terjadi pada pati hasil modifikasi.


(47)

3. Aplikasi Pati Ganyong Termodifikasi dalam Pembuatan Sohun

Pembuatan sohun dilakukan dengan menggunakan pati ganyong termodifikasi HMT yang dibuat dalam beberapa komposisi formula adonan. Perlakuan yang diberikan pada tiap formulasi adalah penambahan beberapa hidrokoloid yang dicampurkan ke dalam adonan sehingga menghasilkan tiga formula sohun dari pati HMT. Pada setiap formulasi sohun ganyong juga ditambahkan STPP sebanyak 0.2%. Penambahan ini disebabkan karena menurut Ramadhan (2009), STPP dan hidrokoloid dapat bersinergi menghasilkan mi berkualitas baik yaitu memiliki kelengketan, kekerasan, dan kekenyalan yang ideal serta nilai KPAP yang rendah. Namun, selain membuat sohun dari pati ganyong HMT, juga dilakukan pembuatan sohun dari pati alami dan pati termodifikasi HMT dengan penambahan guar gum dan STPP. Proses ini bertujuan untuk melihat pengaruh proses HMT terhadap kualitas sohun yang dihasilkan. Formulasi pembuatan sohun ganyong disajikan dalam Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9. Formulasi pembuatan sohun ganyong pati alami-pati HMT

Formula Pati STPP (%) Guar gum (%) CMC (%) Gum arab (%) Alami (g) HMT (g)

1 150 - 0.2 1 - -

2 - 150 0.2 1 - -

Tabel 10. Formulasi pembuatan sohun ganyong dengan kombinasi hidrokoloid Formula Pati STPP (%) Guar gum (%) CMC (%) Gum arab (%) Alami (g) HMT (g)

1 - 150 0.2 1 - -

2 - 150 0.2 - 1 -

3 - 150 0.2 - - 1

Proses pembuatan sohun diawali dengan proses steaming pada pati ganyong yang telah dicampurkan dengan air dan bahan tambahan selama 15 menit. Pati yang telah digelatinisasi kemudian dicetak menggunakan


(48)

membentuk untaian sohun. Untaian sohun yang terbentuk kemudian dikeringkan pada oven udara bersuhu 600C selama ± 60 menit sehingga menghasilkan sohun kering. Sohun kering yang telah diperoleh kemudian kembali dianalisis yang meliputi analisis kadar air, analisis waktu pemasakan,

cooking loss, berat rehidrasi, analisis tekstur menggunakan texture analyzer, dan analisis warna. Proses pembuatan sohun ganyong dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Diagram alir pembuatan sohun ganyong (Modifikasi Metode Chansari et al. 2005)

C. METODE ANALISIS 1. Analisis Proksimat

a. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama ±10 menit. Sebanyak 5 gram

150 g pati + 97.5 ml air (1:6.5 (b/v)) + 0.2% STPP + 1%BTP

Steaming selama 15 menit pada suhu ± 850C

Proses ekstrusi screw dengan diameter 2 mm

Pengeringan T = 700C selama ± 60 menit


(49)

pati dimasukkan ke dalam cawan kering yang telah ditimbang sebelumnya. Cawan yang telah berisi sampel kemudian dimasukkan ke dalam oven 100 - 1050C selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel kering dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator untuk didingikan kemudian ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 gram). Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.

% 100 ) ( X contoh awal berat contoh akhir berat contoh awal berat air

Kadar  

b. Analisis Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995) Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan kemudian dibakar di atas pembakar sampai tidak berasap. Sampel yang berada di dalam cawan porselen kemudian diabukan di dalam tanur bersuhu 400-6000C selama 4- 6 jam sampai abu berwarna putih dan beratnya konstan. Setelah mencapai berat konstan, cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang.

% 100 X contoh berat abu berat abu Kadar

c. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 960.52 dengan Modifikasi)

Sebanyak 0.1 - 0.25 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4. Setelah itu contoh dididihkan/didestruksi selama 1 - 1.5 jam sampai cairan jernih. Sampel didinginkan, lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air 5 - 6 kali dengan 1 - 2 ml air. Air cuciannnya dimasukan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8 - 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3.


(50)

Di bawah kondensor diletakan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 3 % dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi Erlemeyer diencerkan sampai 50 ml. Setelah itu dilakukan titrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal yang sama dilakukan pula terhadap blanko.

% N = X100%

% Protein = % N x faktor koreksi

d. Analisis Kadar Lemak Metode Ekstraksi Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven kemudian dikeringkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram pati dibungkus menggunakan kertas saring bebas lemak sebanyak 5 gram. Sampel dalam kertas saring (timbel) diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Refluks dilakukan minimal 5 jam dengan pelarut dietil eter hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (hal ini dilakukan smpai berat konstan). Presentase kadar lemak dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar lemak = X 100%

berat contoh

berat lemak hasil ekstraksi (ml HCl contoh – ml HCl blanko) X N HCl X

14.007 mg


(1)

112

Lampiran 23. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter warna

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: warna

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1695.956(a) 32 52.999 68.242 .000 panelis 90.456 29 3.119 4.016 .000 formula 26.289 2 13.144 16.925 .000 Error 45.044 58 .777

Total 1741.000 90

a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .960)

Post Hoc Tests

Formula

Homogeneous Subsets

warna

Duncan

formula

N Subset

1 2 1

guar gum 30 3.43 gum arab 30 4.47

CMC 30 4.67

Sig. 1.000 .383 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .777. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.


(2)

113

Lampiran 24. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kekerasan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: kekerasan

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1365.689(a) 32 42.678 22.439 .000 panelis 68.889 29 2.375 1.249 .232 formula 12.356 2 6.178 3.248 .046 Error 110.311 58 1.902

Total 1476.000 90

a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .884)

Post Hoc Tests

formula

Homogeneous Subsets

kekerasan

Duncan

formula

N Subset

1 2 1

guar gum 30 3.27 CMC 30 3.93 3.93 gum arab 30 4.13 Sig. .066 .577 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.902. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.


(3)

114

Lampiran 25. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kelengketan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: kelengketan

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1133.422(a) 32 35.419 39.072 .000 panelis 71.289 29 2.458 2.712 .001 formula 8.089 2 4.044 4.462 .016 Error 52.578 58 .907

Total 1186.000 90

a R Squared = .956 (Adjusted R Squared = .931)

Post Hoc Tests

formula

Homogeneous Subsets

kelengketan

Duncan

formula

N Subset

1 2 1

guar gum 30 3.00 gum arab 30 3.60

CMC 30 3.67

Sig. 1.000 .787 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .907. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.


(4)

115

Lampiran 26. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter kekenyalan

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: kekenyalan

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1346.400(a) 32 42.075 26.641 .000 panelis 86.933 29 2.998 1.898 .019 formula 5.067 2 2.533 1.604 .210 Error 91.600 58 1.579

Total 1438.000 90

a R Squared = .936 (Adjusted R Squared = .901)

Lampiran 27. Hasil analisis statistik uji rating hedonik parameter over all

ANOVA

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: over all

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Model 1289.533(a) 32 40.298 32.253 .000 panelis 66.667 29 2.299 1.840 .024 formula 12.867 2 6.433 5.149 .009 Error 72.467 58 1.249

Total 1362.000 90

a R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .917)

Post Hoc Tests

formula

Homogeneous Subsets

over all

Duncan

formula

N Subset

1 2 1

guar gum 30 3.13

CMC 30 3.90

gum arab 30 3.97 Sig. 1.000 .818 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.249. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.


(5)

116

Lampiran 28. Hasil analisis statistik uji ranking hedonik parameter over all

NPar Tests

Friedman Test

Ranks

Mean Rank guar gum 1.40 CMC 2.20 gum arab 2.40

Test Statistics(a)

N 30

Chi-Square 16.800

df 2

Asymp. Sig. .000 a Friedman Test


(6)