Modifikasi Pati Garut (Maranta Arundinaceae L.) Dengan Metode Debranching, Siklus Autoclaving-Cooling, Dan Heat Moisture Treatment (Hmt) Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe Iii (Rs3).

MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN
METODE DEBRANCHING, SIKLUS AUTOCLAVING-COOLING, DAN
HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) UNTUK MENGHASILKAN
PATI RESISTEN TIPE III (RS3)

CHAIRUL ANAND

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Pati Garut
(Maranta arundinaceae L.) dengan Metode Debranching, Siklus AutoclavingCooling, dan Heat Moisture Treatment (HMT) untuk Menghasilkan Pati Resisten
Tipe III (RS3) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Chairul Anand
NIM F24110075

ABSTRAK
CHAIRUL ANAND. Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan
Metode Debranching, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment
(HMT) untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3). Dibimbing oleh DIDAH
NUR FARIDAH.
Pati resisten (RS) merupakan pati yang tidak dapat dicerna di dalam usus
halus manusia tetapi dapat difermentasi oleh mikroflora di dalam usus besar dan
memberikan efek positif bagi kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah
mempelajari efek perlakuan modifikasi dengan metode debranching dan 3 siklus
autoclaving-cooling (D-AC), serta kombinasinya dengan proses Heat Moisture
Treatment (D-AC-HMT) dalam meningkatkan RS tipe 3 (RS3) pada pati garut.
RS3 merupakan tipe pati resisten hasil modifikasi secara fisik (retrogradasi) dan
paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Modifikasi pati

garut pada penelitian sebelumnya telah meningkatkan kadar RS dari 2.15%
(native) menjadi 3.60% (hidrolisis asam/HA), 13.88% (AC), 19.90% (HA-AC).
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah debranching menggunakan
enzim pullulanase (konsentrasi 10.4 U/g pati pada suhu 50 oC selama 24 jam
inkubasi) dikombinasikan siklus autoclaving-cooling pada pati garut (diautoklaf
pada suhu 121 oC selama 15 menit, didinginkan pada suhu 4 oC selama 24 jam)
dengan total sebanyak 3 siklus (D-AC). Pati garut termodifikasi D-AC dilanjutkan
dengan proses HMT selama 15 menit (D-AC-HMT15’) dan 60 menit (D-ACHMT60’). Kombinasi perlakuan modifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini
telah berhasil meningkatkan kadar RS dari 35.47% (D-AC) menjadi 46.53% (DAC-HMT15’) dan 47.91% (D-AC-HMT60’). Jumlah kadar amilosa juga
meningkat dari 50.54% (D-AC) menjadi 55.64% (D-AC-HMT60’). Sementara itu,
daya cerna pati, total pati, dan kadar gula pereduksi menurun secara berturut-turut
dari 45.91%, 65.05%, dan 15.85% (D-AC) menjadi 31.43%, 57.10%, dan 8.90%
(D-AC-HMT60’). Kombinasi dari perlakuan-perlakuan tersebut terbukti dapat
meningkatkan RS3 pada pati garut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
mendukung penelitian selanjutnya untuk membuat produk-produk berbahan dasar
pati termodifikasi sebagai pangan fungsional.
Kata kunci: Autoclaving-Cooling, Daya Cerna Pati, Debranching, Heat Moisture
Treatment, Pati Resisten

ABSTRACT

CHAIRUL ANAND. Arrowroot (Maranta arundinaceae L.) Starch Modification
with Debranching Method, Autoclaving-Cooling Cycle and Heat Moisture
Treatment (HMT) to Produce Resistant Starch Type III (RS3). Supervised by
DIDAH NUR FARIDAH.
Resistant starch (RS) is type of starch that can not be digested in the human
small intestine but can be fermented by microflora in colon and has positive effect
to health. The objective of this research was to study the effect of modification
treatment with debranching method and 3 cycles of autoclaving-cooling (D-AC),
as well as its combination with the Heat Moisture Treatment (D-AC-HMT) in
improving the RS type 3 on arrowroot starch. RS3 is type of resistant starch
resulted from physical modification (retrogradation) and the most widely used as
raw material of functional food. Arrowroot starch modification on previous
research had increased the level of RS from 2.15% (native) to 3.60% (acid
hydrolysis / HA), 13.88% (AC), 19.90% (HA-AC). The method used in this
research was debranching by pullulanase enzyme (concentration of 10.4 U / g
starch at temperature of 50° C for 24 hours incubation) combined with cycle of
autoclaving-cooling in arrowroot starch (autoclaved at 121 ° C for 15 minutes,
cooled to temperature of 4 ° C for 24 hours) with total of 3 cycles (D-AC). D-AC
modified arrowroot starch proceed with HMT for 15 minutes (D-AC-HMT15 ')
and 60 minutes (D-AC-HMT60'). Combination of modification treatment

performed in this research has been successful in increasing the level of RS from
35.47% (D-AC) to 46.53% (D-AC-HMT15 ') and 47.91% (D-AC-HMT60'). The
amylose content also increased from 50.54% (D-AC) to 55.64% (D-AC-HMT60').
Meanwhile, the digestibility of starch, total starch and reducing sugar levels
decreased respectively from 45.91%, 65.05%, and 15.85% (D-AC) to 31.43%,
57.10%, and 8.90% (D-AC- HMT60 '). The combination of these treatments has
been proven to increase RS3 on arrowroot starch. Result of this study is expected
to support further research to make products made from modified starch as a
functional food.
Keywords: Autoclaving-Cooling, Starch Digestibility, Debranching, Heat
Moisture Treatment, Resistant Starch

MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN
METODE DEBRANCHING, SIKLUS AUTOCLAVING-COOLING, DAN
HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) UNTUK MENGHASILKAN
PATI RESISTEN TIPE III (RS3)

CHAIRUL ANAND

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah modifikasi pati
garut, dengan judul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan
Metode Debranching, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment
(HMT) untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk

membimbing penulis dan selalu memberikan ilmu serta masukan yang berharga
kepada penulis selama studi, penyelesaian penelitian, sampai penyusunan skripsi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sukarno, M.Sc dan Faleh
Setia Budi, ST, MT selaku dosen penguji yang telah bersedia dan meluangkan
waktu untuk menguji penulis dalam ujian akhir. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada DIKTI melalui BOPTN 2014-2015 yang telah
memberikan dana pada penelitian ini sehingga penelitian ini dapat berjalan
dengan baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mbak Rini
Kesenja selaku teknisi Laboratorium Biokimia Pangan, Pak Yahya selaku teknisi
Laboratorium Kimia Pangan, dan Mbak Nurul selaku teknisi Laboratorium
Mikrobiologi Pangan atas segala bantuan kepada penulis selama pelaksanaan
penelitian serta rekan Fitria Slameut dan Fathma Syahbanu atas kerjasama dan
bantuan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
mamah, papah, kakak, dan adik serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan
dan kasih sayangnya.Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Kak Ratna
Sari dan Kak Mutiara Pratiwi, serta semua teman-teman ITP 48 tercinta
khususnya sahabat GCS yaitu Steven, Tasha, Luni, Eka, Intan, Nicky, Tassa,
Winda, dan Olivia yang telah banyak membantu dan mendukung penulis
menyelesaikan penelitian.
Semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2015
Chairul Anand

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

4


Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.)

4

Pati Garut

5

Pati Resisten

6

Perlakuan Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving-Cooling)

7

Perlakuan Debranching oleh Enzim Pullulanase

8


Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT)

8

METODE

9

Bahan

9

Alat

9

Metodologi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN


10
18

Efek Modifikasi Pati Garut terhadap Peningkatan Kadar Pati Resisten

18

Efek Modifikasi Pati Garut terhadap Penurunan Daya Cerna Pati

23

Efek Modifikasi Pati Garut terhadap Kadar Gula Pereduksi

24

Efek Modifikasi Pati Garut terhadap Total Pati, Amilosa, dan Amilopektin

25

Hubungan antara Kadar Pati Resisten, Daya Cerna Pati, Gula Pereduksi,
Amilosa, dan Total Pati

28

SIMPULAN DAN SARAN

37

Simpulan

37

Saran

38

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1 Komposisi zat gizi dan kimiawi umbi garut kultivar Creole dan Banana
(per 100 g umbi)
2 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi
3 Peningkatan kadar RS3 pada berbagai jenis pati akibat berbagai
perlakuan modifikasi
4 Daya cerna pati pada pati garut alami dan termodifikasi
5 Kadar gula pereduksi pada pati garut alami dan termodifikasi
6 Kadar total pati pada pati garut alami dan termodifikasi
7 Kadar amilosa pada pati garut alami dan termodifikasi
8 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin serta
penurunan kadar total pati
9 Komposisi kimia pati garut alami (native) dan termodifikasi

5
21
22
24
25
26
28
30
35

DAFTAR GAMBAR
1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas
2 Tahapan penelitian dalam proses modifikasi pati garut dan
karakterisasinya
3 Diagram alir perlakuan modifikasi kombinasi metode debranching dan
3 siklus autoclaving-cooling
4 Diagram alir perlakuan modifikasi kombinasi metode debranching, 3
siklus autoclaving-cooling, dan HMT
5 Histogram kadar pati resisten
6 Histogram daya cerna pati
7 Histogram kadar gula pereduksi
8 Histogram kadar total Pati
9 Histogram kadar amilosa
10 Pemotongan ikatan -1,6 pada titik percabangan molekul amilopektin
oleh enzim pullulanase
11 Struktur granula pati berdasarkan model “Blocklet”
12 Analisis korelasi antara kadar amilosa terhadap kadar pati resisten
13 Analisis korelasi antara kadar pati resisten terhadap kadar total pati dan
daya cerna pati
14 Perubahan warna pati garut termodifikasi D-AC-HMT menjadi
kecoklatan
15 Analisis korelasi antara kadar gula pereduksi terhadap kadar pati
resisten pada pati garut termodifikasi AC, HMT, AC-HMT, dan D-AC
16 Analisis korelasi antara kadar total pati terhadap kadar gula pereduksi
pada pati garut termodifikasi AC, HMT, AC-HMT, dan D-AC

4
10
12
13
20
23
25
26
27
29
31
34
34
36
37
37

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis sidik ragam (ANOVA) kadar pati resisten, daya cerna pati,
kadar gula pereduksi, kadar total pati, dan kadar amilosa pada pati garut
termodifikasi

45

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan fungsional adalah pangan yang memberikan efek yang
menguntungkan bagi kesehatan disamping memenuhi kebutuhan nutrisi dasar.
Pangan fungsional saat ini menjadi sangat populer setelah berbagai penelitian
menunjukkan adanya peranan dari bahan-bahan tertentu yang mempunyai fungsi
fisiologis untuk kesehatan sehingga diet pangan fungsional dapat mencegah
berbagai macam penyakit degeneratif (Marsono 2013; Khalid et al. 2015). Pati
resisten atau Resistant Starch (RS) adalah salah satu ingredien bahan pangan yang
dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan pangan fungsional karena
mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi kesehatan tubuh.
Pati resisten memiliki karakteristik yang hampir sama dengan serat pangan,
yaitu sifatnya yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan dan tidak dapat
tercerna dalam usus halus tetapi dapat terfermentasi oleh mikroflora di dalam
kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek yang bermanfaat bagi kesehatan
(Nugent 2005). Pati resisten dapat mencegah timbulnya berbagai macam penyakit
seperti mencegah kanker kolon serta mempunyai efek hipoglikemik dan
hipokolesterolemik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, menghambat
akumulasi lemak, meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006), serta
berperan sebagai prebiotik. Pati resisten memiliki kalori rendah yaitu sebesar 11.7
KJ/g RS (Bauer et al. 2005) atau secara teori nilai kalorinya sebesar 1.9 Kkal/g
sehingga dapat dijadikan sebagai ingredien untuk fortifikasi pangan rendah kalori
(Taggart 2004).
Pati resisten (RS) dapat dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu pati resisten
yang secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan
(RS1), pati resisten yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh
enzim α-amilase (RS2), pati resisten yang dimodifikasi secara fisik (RS3), pati
resisten yang dimodifikasi secara kimia (RS4) (Champ 2004; Liu 2005) dan pati
resisten yangdiperoleh akibat terjadinya pembentukan kompleks single-helix
antara lipid dan amilosa (RS5) (Ratnayake dan Jackson 2008; Sanz et al. 2009;
Fuentes-Zaragoza et al. 2010; Ai et al. 2013).Di antara kelima jenis pati resisten
tersebut, pati resisten tipe III (RS3) merupakan tipe pati resisten yang paling
banyak digunakan sebagai ingredien dalam bahan pangan (Htoon et al. 2008).
Pati resisten tipe III (RS3) dapat dihasilkan dari proses retrogradasi pati.
Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan proses autoclaving-cooling yaitu
pemanasan pada suhu tinggi dengan autoklaf yang dilanjutkan dengan proses
pendinginan pada refrigerator. Proses autoclaving-cooling merupakan kombinasi
proses gelatinisasi (fraksi amilosa akan keluar dari granula) dan retrogradasi pati
(proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab pada pembentukan RS3)
(Sajilata etal. 2006; Mun dan Shin 2006). Saat proses retrogradasi terjadi
pembentukan kembali ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan atau
amilopektin. Retrogradasi pati menyebabkan perubahan pada sifat gel pati di
antaranya adalah peningkatan resistensi molekul amilosa dan amilopektin
terhadap hidrolisis oleh enzim amilolitik (Faridah 2011). Pati resisten paling besar
terbentuk dari retrogradasi amilosa, meskipun amilopektin juga dapat

2
teretrogradasi akan tetapi memerlukan waktu yang lama. Amilosa memiliki
struktur yang lurus sehingga akan mempermudah proses retrogradasi, sedangkan
amilopektin memiliki banyak rantai cabang sehingga sulit mengalami retrogradasi
karena terhalangi oleh rantai cabangnya (Huang and Rooney 2001).
Pati akan lebih mudah mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul
amilosa rantai pendek dengan derajat polimerisasi (DP) berkisar 10-35. Nilai DP
sekitar 10-35 adalah nilai yang cukup optimal untuk meningkatkan kadar pati
resisten (Schmiedl et al. 2000). Semakin banyak jumlah fraksi amilosa rantai
pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi dan
sebagai akibatnya semakin besar pula kadar resistensinya. Peningkatan fraksi
amilosa rantai pendek yang berperan dalam pembentukan RS3 dapat dihasilkan
melalui proses hidrolisis asam secara lambat (lintnerization) atau proses hidrolisis
secara enzimatis (debranching) sehingga dihasilkan DP (derajat plomerisasi)
antara 10-35 yang cukup optimal untuk meningkatkan kadar RS3 (Lehmann et al.
2003). Hidrolisis secara enzimatis dapat dilakukan secara spesifik dengan
memotong ikatan glikosidik pada titik percabangan ,1-6 pada rantai amilopektin
(debranching), yaitu dengan menggunakan enzim pullulanase.
Pati garut yang diekstrak dari umbi garut, sangat berpotensi sebagai sumber
bahan baku untuk menghasilkan pati resisten tipe III (RS3) dalam jumlah yang
tinggi. Hasil pengamatan dengan menggunakan difraksi sinar X menunjukkan
bahwa pati garut memiliki tipe kristalin A dengan karakteristik rantai amilopektin
pati garut memiliki derajat polimerisasi (DP) berkisar 9-30 dalam jumlah yang
tinggi (96,0%) (Srichuwong 2006; Faridah et al. 2014). Selain itu, jumlah rantai
per klaster pada molekul amilopektin relatif lebih banyak dengan proporsi rantai
cabang yang berukuran pendek lebih tinggi (Hizukuri et al. 1983) bila
dibandingkan dengan tipe kristalin B (Takeda et al. 2003). Struktur pati garut
tersebut sangat mendukung dalam pembentukan RS3 apabila pati garut tersebut
dihidrolisis oleh enzim pullulanase (debranching) sehingga terjadi peningkatan
jumlah fraksi amilosa rantai pendek. Amilosa rantai pendek ini yang kemudian
akan teretrogradasi pada saat dilakukan siklus autoclaving-cooling yang akan
menghasilkan RS3.
Selain dengan perlakuan debranching dan siklus autoclaving-cooling,
peningkatan kadar pati resisten dapat dilakukan menggunakan metode Heat
Moisture Treatment (HMT). HMT merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kadar pati resisten (Li et al 2011; Guzel dan Sayar
2010; Chung et al 2009). Prinsip metodeHMT yaitu menggunakan kombinasi
kandungan air dan suhu tertentu untuk memodifikasi pati. Proses HMT
melibatkan pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam
kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang
disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi (Collado et al. 2001). Sifat
resistensi pati berhubungan dengan pembentukan kristalit pada granula pati.
Metode HMT dapat menyempurnakan kristalinitas pada granula pati sehingga pati
menjadi lebih sulit dicerna sehingga terjadi peningkatan kadar pati resisten
(Chung et al.2009).
Kadar pati resisten pada pati garut alami cukup rendah sehingga diperlukan
perlakuan-perlakuan modifikasi pati garut untuk meningkatkan kadar pati
resistennya. Dalam penelitian ini, peningkatan kadar RS pati garut dilakukan
dengan memodifikasi pati garut berupa : 1) debranching menggunakan enzim

3
pullulanase disertai siklus autoclaving-cooling (D-AC), 2) kombinasi debranching
yang disertai siklus autoclaving-cooling dan proses HMT selama 15 menit (DAC-HMT15’) dan 60 menit (D-AC-HMT60’). Penelitian ini penting untuk
dilakukan melihat potensi pati garut, khususnya yang berhubungan dengan sifat
fungsionalnya serta besarnya potensi peningkatan kadar pati resisten melalui
teknologi kombinasi modifikasi pati garut untuk dijadikan ingredien pangan
fungsional.
Perumusan Masalah
Pati garut berpotensi dijadikan bahan baku untuk menghasilkan RS3. Secara
alami, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk
meningkatkan pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat
menghasilkan RS3. Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan proses pemanasan
suhu tinggi dan pendinginan secara berulang atau disebut siklus autoclavingcooling. Pati lebih mudah teretrogradasi dalam bentuk molekul amilosa dengan
derajat polimerasi (DP) berkisar 10-35. Semakin banyak jumlah fraksi amilosa
rantai pendek maka peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi semakin
meningkat. Dengan kata lain, kadar RS3 secara proporsional berbanding lurus
dengan kandungan amilosa dalam bahan pangan. Peningkatan fraksi amilosa
rantai pendek yang berperan dalam pembentukan RS3 dapat dihasilkan
melaluihidrolisis secara enzimatis. Hidrolisis secara enzimatis dapat dilakukan
secara spesifik dengan memotong ikatan glikosidik pada titik percabangan α-1,6
dari molekul amilopektin (debranching), yaitu dengan menggunakan enzim
pullulanase sehingga dihasilkan amilosa rantai pendek. Perlakuan dengan metode
Heat Moisture Treatment (HMT) juga dapat meningkatkan RS3 karena pada
proses tersebut dapat lebih menyempurnakan pembentukan daerah kristalin pati.
Dengan adanya kombinasi secara enzimatis (debranching), autoclaving-cooling,
dan HMT diharapkan jumlah fraksi amilosa rantai pendek bertambah sehingga
jumlah pati yang mengalami retrogradasi meningkat serta terjadi pembentukan
kristalin yang lebih sempurna, dan sebagai akibatnya terjadi peningkatan kadar
RS3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari perubahan karakteristik
kimiapati garut hasil modifikasi dengan metode debranching, siklus autoclavingcooling, dan HMT (Heat Moisture Treatment) untuk pengembangan RS sebagai
ingredien pangan fungsional.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Melakukan karakterisasi sifat kimia pada pati garut alami dan termodifikasi
yang meliputi kadar air, kadar protein (khusus pati garut termodifikasi D-AC),
kadar pati resisten, daya cerna pati, kadar total pati, kadar gula pereduksi, dan
kadar amilosa.
2. Mengetahui perbedaan waktu pemanasan (autoclaving) pada saat proses
HMT, yaitu selama 15 menit dan 60 menit terhadap kadar pati resisten

4
yang dihasilkan dari perlakuan modifikasi dengan kombinasi debranching,
siklus autoclaving-cooling, dan HMT.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi ilmiah tentang modifikasi pati garut
dengan metode hidrolisis enzimatis (debranching), siklus autoclaving-cooling dan
Heat Moisture Treatment (HMT) yang dapat meningkatkan kadar pati resistennya
(RS3). Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung dilakukannya penelitian
aplikasi RS3 dari pati garut termodifikasi pada berbagai sistem pangan sehingga
hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan pangan fungsional
yang bermanfaat untuk kesehatan.

TINJAUAN PUSTAKA
Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.)
Tanaman garut merupakan tanaman umbi-umbian. Tanaman ini termasuk
dalam famili Marantaceae, genus Maranta dan spesies Marantaarundiacea L.
Garut dikenal dengan nama arrowroot, West Indianarrowroot dan St. Vincent
arrowroot. Garut merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tengah dan
Amerika Selatan yang kemudian menyebar luas ke negara-negara iklim tropis
seperti Indonesia, India,Sri Langka, dan Filipina. Di Indonesia, tanaman garut
banyak ditemukan di Sumatra, Nias, Jawa, Madura dan Bali (Lingga et al. 1986).
Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap
daerah. Di Jawa Tengah, garut disebut dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di
Jawa Barat dikenal dengan nama patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut,
larut, atau selarut. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl dan
tumbuh baik pada ketinggian 60-90 m dpl pada tempat-tempat dengan tanah
lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung (Sastrapradja et al. 1977).
Visualisasi umbi garut dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)

(b)

Gambar 1 Umbi garut sebelum dikupas (a) dan sesudah dikupas (b)
(Faridah 2011)

5
Garut memiliki dua kultivar penting, yaitu Creole dan Banana (Kay 1973;
Villamajor dan Jurkema 1996). Kedua jenis kultivar tersebut memiliki umbi yang
berwarna putih meskipun karakteristiknya berbeda satu dengan yang lain. Creole
memiliki rimpang yang panjang dan langsing, lebih menyebar dan menembus
masuk ke dalam tanah, lebih berserat, tumbuh bergerombol dekat permukaan
tanah, lebih mudah dipanen dan diolah untuk diambil patinya. Setelah dipanen
Creole mempunyai daya tahan selama 3 hari sebelum dilakukan pengolahan.
Umbi kultivar Creole kurus, tetapi kandungan pati dan seratnya lebih tinggi (Kay
1973). Kultivar Banana mempunyai rimpang yang lebih pendek dan gemuk.
Tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah, sehingga 3 lebih mudah
dipanen. Daya tahannya lebih rendah dari Creole, yaitu hanya 48 jam setelah
panen, sehingga harus segera diolah. Umbi kultivar Banana lebih gemuk, pendek
dan memiliki kandungan protein dan air yag lebih tinggi dibandingkan dengan
kultivar Creole (Kay 1973).
Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan zat
gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya
(Lingga et al. 1986). Terdapat perbedaan dalam jumlah pati dan serat diantara dua
kultivar garut, yakni jenis Creole memiliki kadar pati dan serat yang lebih tinggi
dibanding jenis Banana (Kay 1973). Komposisi zat gizi dan kimiawi umbi garut
dapat dilihat pada Tabel 1.
Umbi garut mempunyai kegunaan cukup banyak antara lain sebagai bahan
makanan dan ramuan obat-obatan. Umbi garut yang masih muda dapat digunakan
sebagai makanan kecil dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar terlebih dahulu.
Umbi garut rasanya manis, tetapi bila sudah tua akan banyak seratnya. Umbi garut
yang sudah tua banyak dijadikan tepung atau diambil patinya (Yustiareni 2000).
Tabel 1 Komposisi zat gizi dan kimiawi umbi garut kultivar Creole dan Banana
(per 100 g umbi)
Kadar (%)1
Banana2
Creole3
Pati (g)
69.29
76.66
Karbohidrat (g)
87.14
90.23
Protein (g)
7.86
5.82
Lemak (g)
0.36
1.02
Abu (g)
4.64
2.96
Air (g)
72.00
72.66
1
Keterangan : Kadar dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis
basah; 2Faridah et al. (2008); 3Kay (1973)

Pati Garut
Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati
merupakan salah satu karbohidrat primer dalam makanan dan sumber energi yang
sangat penting bagi manusia (Lehmann dan Robin 2007; Juansang, Puttanlek,
Rungsardthong, Puncha-arnon, dan Uttapap 2012; Xie dan Liu 2004). Secara
umum, pati dapat diklasifikasikan menjadi pati yang dapat dicerna (digestible
starch) dan tidak dapat dicerna (non-digestible starch) atau pati resisten. Pati yang

6
dapat dicerna (digestible starch) adalah pati yang dapat dipecah (dihidrolisis)
menjadi glukosa oleh enzim di dalam saluran pencernaan. Pati yang dapat dicerna
ini dapat dikategorikan lebih lanjut ke dalam kelompok pati yang dapat dicerna
dengan cepat (rapidly digestible starch/RDS) dan pati yang dapat dicerna secara
lambat (slowly digestible starch/SDS)(Liu 2005).Pati yang tidak dapat dicerna
(resisten) merupakan pati yang tidak dapat dipecah atau tahan terhadap hidrolisis
oleh enzim di dalam saluran pencernaan.
Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan
sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati
garut juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga
tablet yang diinginkan bersifat mudah larut (Kay 1973). Pati garut diperoleh dari
rimpang garut yang telah berumur 8-12 bulan (Widowati et al. 2002).
Sebagaimana sumber pati yang lain, pati garut tersimpan dalam bentuk granula
pati yang berperan sebagai cadangan makanan. Tester dan Karkalas (2002)
melaporkan bahwa granula pati garut berbentuk oval seperti granula pati sagu.
Ada juga yang melaporkan bahwa granula pati garut berbentuk bulat (round) dan
poligonal. Ukuran granula pati garut dilaporkan berbeda-beda oleh peneliti, yaitu
5-70.0 µm (Tester dan Karkalas 2002), 5-50.0 µm (Moorthy 2002), 22.3-26.7 µm
(Perez dan Lares 2005), dan 20-42.2 µm (Srichuwong et al. 2005a).
Pati garut didapatkan melalui beberapa tahapan seperti proses pengupasan,
pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan,penggilingan,
pengayakan (Lingga et al. 1986). Pati garut yang diekstraksi dengan cara basah
dari umbi garut kultivar Creole mengandung kadar karbohidrat (by difference)
yang tinggi, yaitu 98,74% (Faridah 2011). Kadar protein, lemak dan abu (mineral)
dari pati garut yang diekstrak dengan cara basah juga relatif rendah dan hal ini
menunjukkan bahwa proses ekstraksi cara basah yang digunakan dapat
menghasilkan kandungan pati yang tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan
sebagai bahan baku RS3. Selain itu, kadar lemak yang rendah juga diharapkan
selama proses pembuatan RS3, karena lemak dapat menghambat proses
pembentukan RS3. Kandungan lemak yang tinggi dapat membentuk kompleks
dengan amilosa sehingga terbentuk kompleks lemak amilosa (Faridah 2011).

Pati Resisten
Pati resisten merupakan jenis pati yang tidak tercerna dalam sistem
pencernaan manusia (tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan amilase dan
perlakuan pullulanase secara in vitro) (Nugent 2005) yang memiliki sifat
fisiologis yang unik yang dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan
dengan sedikit perubahan dari penampakan dan sifat organoleptiknya. Pati
resisten sulit dicerna di usus halus sehingga pati ini memiliki sifat yang mirip
seperti serat makanan yang langsung masuk ke usus besar dan dapat terfermentasi
oleh mikroflora di dalam usus besar (Liu 2005) dan memberikan pengaruh positif
terhadap koloni di dalam usus meningkatkan jumlah produksi bakteri baik
(Fuentes-Zaragoza et al. 2010).
Pati resisten di dalam usus halus dapat menurunkan respon glikemik dan
insulemik pada penderita diabetes, penderita hiperinsulemik, dan penderita
disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Pati resisten akan sampai di usus

7
besar tanpa mengalami perubahan dan berkontribusi sebagai serat pangan. Selain
memiliki efek hipoglikemik, pati resisten juga memiliki efek hipokolesterolemik,
menghambat akumulasi lemak, dan mengurangi pembentukan batu empedu
(Sajilata et al. 2006). Di dalam usus besar, Pati resisten difermentasi oleh
mikloflora pada dinding kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (short
chain fattyacid). Profil SCFA yang diperoleh dari pati resisten banyak
mengandung asam asetat, asam propionat, dan asam butirat (Faridah 2011).
Karakteristik fisik dari pati resisten adalah memiliki daya ikat air yang
rendah, sehingga pati resisten dapat dikatakan sebagai ingredien fungsional
(Baixauli et al. 2008). Hal ini dikarenakan pati resisten tidak dapat berkompetisi
dengan ingredien lain untuk memperoleh air, lebih mudah untuk diolah, dan tidak
menyebabkan lengket (Faridah 2011), serta dapat meningkatkan mutu tekstur
terhadap produk pangan akhir (Baixauli et al. 2008). Goni et al (1996)
mengelompokkan bahan pangan berdasarkan kandungan pati resistennya dalam
berat kering. Bahan pangan dengan kandungan pati resisten 15% termasuk golongan
sangat tinggi.
RS3 memiliki sifat yang stabil terhadap panas pada proses pengolahan
sehingga baik digunakan sebagai bahan (ingridien) pada berbagai macam
makanan konvensional. Produksi RS3 pada dasarnya melalui tiga tahapan proses
yaitu pemutusan cabang (debranching), gelatinisasi, dan retrogradasi pati pada
kondisi yang dioptimalkan yaitu suhu penyimpanan dan konsentrasi pati
(Jacobash et al. 2006). Penelitian Aparicio-Saguillan et al. (2005) menunjukkan
bahwa kadar pati resisten dapat ditingkatkan dengan hidrolisis asam dan atau
penggunaan enzim (debranching) yang dikombinasikan dengan perlakuan siklus
pemanasan-pendinginan.

PerlakuanPemanasan-Pendinginan (Autoclaving-Cooling)
Autoclaving-cooling adalah perlakuan fisik untuk memodifikasi pati alami
menjadi pati resisten tipe III (RS3) (Zabar et al. 2008; Apriyadi 2009). Proses
autoclaving-cooling merupakan kombinasi proses pemanasan menggunakan
autoklaf yang mengakibatkan pati tergelatinisasi secara sempurna (fraksi amilosa
keluar dari granula) dan proses penyimpanan suhu rendah yang mempercepat
terjadinya retrogradasi pati (proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab
pada pembentukan RS3) (Liu 2005; Sajilata et al. 2006; Mun dan Shin 2006).
Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan
metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%.
Proses autoclaving-cooling secara berulang dapat menyebabkan semakin
banyaknya pembentukan fraksi amilosa teretrogradasi atau terkristalisasi. Fraksi
amilosa yang berikatan dengan fraksi amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen
membentuk struktur double helix. Struktur double helix berikatan dengan struktur
double helix lainnya membentuk kristalit sehingga terjadi rekristalisasi fraksi
amilosa yang dikenal dengan proses pembentukan RS3. Rekristalisasi amilosa ini
terjadi selama proses pendinginan (cooling) (Haralampu 2000).

8
Menurut Leong et al. (2007)proses autoclaving-cooling yang berulang
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan penyusunan amilosa-amilosa dan
amilosa-amilopektin dan peningkatan pembentukan kristalin yang lebih sempurna
yang berakibat pada peningkatan kadar RS3. Menurut Faridah (2011) faktor lain
yang berpengaruh terhadap pembentukan RS3 melalui proses autoclaving-cooling
adalah konsentrasi pati dan suhu otoklaf, yaitu pembentukan RS3 yang paling
optimum berlangsung bila konsentrasi suspensi pati dalam air sebesar 20% (b/b)
(Vasanthan dan Bhatty 1998; Lehmann et al. 2002; Lehmann et al. 2003) dengan
suhu otoklaf sebesar 1210C.

Perlakuan Debranching oleh Enzim Pullulanase
Debranching adalah pelepasan atau pemutusan cabang amilopektin oleh
enzim pullulanase sehingga menghasilkan polimer glukosa rantai lurus yang
merupakan amilosa dengan derajat polimerisasi (DP) lebih kecil (Nurhayati 2011).
Pullulanase adalah eksoenzim yang mampu memutus ikatan -1,6 pada
amilopektin. Enzim ini stabil terhadap panas dan bekerja pada rantai sisi cabang
terluar dari dua atau lebih unit glukosa (Liu 2005).Enzim pullulanase (EC
3.2.1.4.1 atau pullulan 6-glucanohydrolase) merupakan enzim mikrobial yang
dihasilkan dari Klebsiella pneumoniae (Faridah 2011). Enzim pullulanase akan
bekerja dengan baik pada kondisi yang sesuai. Enzim ini bekerja secara optimum
pada suhu 50 0C dan pada pH 5.2.
Metode debranching dengan menggunakan enzim pullulanase dapat
mempengaruhi kadar RS3 pada berbagai pati. Kadar RS3 dipengaruhi oleh
konsentrasi enzim pullulanase dan waktu inkubasi selama proses debranching,
serta suhu dan waktu pemanasan (autoclaving) dan pendinginan (cooling) setelah
proses debranching (Faridah 2011). Semakin tinggi konsentrasi enzim dan
semakin lama waktu inkubasi maka proses hidrolisis amilopektin semakin banyak
sehingga dihasilkan amilosa rantai pendek yang dapat memperbanyak peluang
terbentuknya RS3. Untuk menghasilkan pati resisten tipe III (RS3), umumnya
menggunakan enzim pullulanase tipe I. Hal ini disebabkan oleh enzim pullulanase
tipe I bekerja dengan cara memutuskan ikatan ,1-6 di pullulan dan ikatan ,1-6
dalam substrat bercabang dan linier sehingga menghasilkan molekul amilosa
rantai pendek dengan derajat polimerisasi (DP) berkisar 10-35.

Perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT)
Menurut Lorenz dan Kulp (1981), Heat Moisture Treatment (HMT) adalah
proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi
semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang
disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Heat Moisture Treatment (HMT)
termasuk teknik modifikasi secara fisik yang diaplikasikan pada pati (Punchaarnon dan Uttapap 2012). Prinsip metode hydotermal-treatment atau HMT yaitu
menggunakan kombinasi kandungan air dan suhu tertentu untuk memodifikasi
pati. Proses HMT dilakukan dengan menggunakan kandungan air rendah (