Perubahan Karakteristik Kimia Tanah pada Model Reklamasi Lahan Bekas Tambang PT. Antam UBPE Pongkor

PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TANAH
PADA MODEL REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
PT. ANTAM UBPE PONGKOR

JUMADIN SIDABUTAR

DEPARTEMEN SILVIKULTR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perubahan
Karakteristik Kimia Tanah pada Model Reklamasi Lahan Bekas Tambang PT.
Antam UBPE Pongkor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Jumadin Sidabutar
NIM E44080031

ABSTRAK
JUMADIN SIDABUTAR. Perubahan Karakteristik Kimia Tanah pada Model
Reklamasi Lahan Bekas Tambang PT. Antam UBPE Pongkor. Dibimbing oleh
ULFAH JUNIARTI SIREGAR
Tingginya aktivitas penambangan dalam kawasan hutan menyebabkan
kerusakan hutan, sehingga sangat diperlukan reklamasi untuk mengembalikan
kondisi hutan seperti semula. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan karakteristik kimia tanah serta kandungan Pb dan Fe pada tanah,
tanaman sonobrit, pinus, dan kenari umur 10 tahun yang ditanam pada model
reklamasi lahan bekas tambang emas PT. Antam UBPE Pongkor. Hasil analisis
tanah pada kedalaman 0–5 cm, 5–15 cm, dan 15–30 cm menunjukkan adanya
peningkatan kualitas tanah, terutama kandungan C-organik pada kedalaman 0–5
cm, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan di bawahnya. Kandungan
C-organik pada tegakan sonobrit sebesar 2.08%, pinus sebesar 1.04%, dan kenari
sebesar 0.95%. Pada umur 10 tahun tanaman telah menyerap Pb dan Fe,

kandungan Pb terbesar terdapat pada akar tanaman kenari sebesar 13 ppm,
sedangkan kandungan Fe terbesar terdapat pada akar tanaman pinus sebesar 4933
ppm.
Kata kunci: C-organik, Fe, kimia tanah, Pb, reklamasi

ABSTRACT
JUMADIN SIDABUTAR. Changes on Soil Chemical Characteristics of the
Reclamation Ex-mining Land as A Model at the PT. Antam, UBPE Pongkor.
Supervised by ULFAH JUNIARTI SIREGAR.
High mining activity in the forested land had damaged the forest, that
reclamation is necessary to restore the forest conditions as before. This research
aims at finding out changes on soil chemistry, and the concentration of Pb and Fe
in the soil, and the 10 years old planted rosewood, pine, and walnut trees at the
reclamation ex-gold mining land as a model of PT. Antam UBPE Pongkor. Soil
analysis at 0–5 cm, 5–15 cm and 15–30 cm depth showed increase soil quality,
especially in C-organic content at 0–5 cm, which is much higher than the deeper
depth. C-organic content of rosewood stand was 2.08%, pine was 1.04% and
walnut was 0.95%. The 10 years old planted trees had absorbed Pb and Fe, of
which the highest Pb content was found in walnut roots at 13 ppm, while the
highest Fe content was in pine roots at 4933 ppm.

Keywords: C-organic, Fe, Pb, reclamation, soil chemistry

PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TANAH
PADA MODEL REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
PT. ANTAM UBPE PONGKOR

JUMADIN SIDABUTAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Perubahan Karakteristik Kimia Tanah pada Model Reklamasi
Lahan Bekas Tambang PT. Antam UBPE Pongkor
Nama
: Jumadin Sidabutar
NIM
: E44080031

Disetujui oleh

Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan bulan
November 2012 ini ialah perubahan sifat kimia tanah, Perubahan Karakteristik
Kimia Tanah pada Model Reklamasi Lahan Bekas Tambang dengan Tegakan
sonobrit, pinus, dan kenari Berumur 10 Tahun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, MAgr
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis. Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih secara khusus kepada Dr Ir
Chairil Anwar Siregar, MSc yang telah memberikan ide dan masukan kepada
penulis dalam pemilihan topik penelitian ini. Penulis juga sangat berterimakasih
kepada kedua orang tua penulis Judiman Sidabutar dan Tiodorman Sinaga serta
saudara dan saudari penulis, Putrina Sidabutar, Jaitun Sidabutar, dan Pasulina
Sidabutar atas segala doa dan kasih sayangnya kepada penulis. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Haris Herman Siringoringo MSi peneliti
dari Badan Penelitian Kehutanan Bogor, bapak Iskandar staf dari Laboratorium
Pengaruh Hutan Badan Penelitian Kehutanan Bogor, serta bapak Asep dan bapak
Otang staf Bagian Lingkungan dari PT. Antam UBPE Pongkor yang telah banyak
membantu penulis selama pengumpulan data. Penulis tidak lupa juga akan temanteman seperjuangan penulis, mahasiswa Silvikultur angkatan 45 serta seluruh
pihak yang telah memberikan dukungan dan segala bantuan kepada penulis

selama masa perkuliahan penulis di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013
Jumadin Sidabutar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Lumpur Tailing
Bahan Organik Tanah
Karakteristik Lumpur Tailing UBPE Pongkor
Sonobrit (Dalbergia latifolia)

Pinus (Pinus merkusii)
Kenari (Canarium commune)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode Kerja
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Awal Tanah Sebelum Penanaman
Perubahan Sifat Kimia Tanah
Kandungan Logam Pb dan Fe Tanah
Kandungan Logam Pb dan Fe Pada Tanaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi

vi
1
1
2
2
2
3
3
3
4
5
5
6
6
6
7
7
13
13
14

19
21
23
23
24
24
27
29

DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis kimia tanah sebelum dilakukan penanaman
2 Hasil analisis sifat kimia tanah tahun 2012 sesudah penanaman sonobrit
pada kedalaman 0–30 cm
3 Hasil analisis sifat kimia tanah tahun 2012 sesudah penanaman pinus
pada kedalaman 0–30 cm
4 Hasil analisis sifat kimia tanah tahun 2012 sesudah penanaman kenari
pada kedalaman 0–30 cm
5 Kandungan logam Pb dan Fe tersedia dalam tanah pada tegakan sonobrit,
pinus, dan kenari
6 Kandungan logam Pb dan Fe dalam organ tanaman berumur 10 tahun.

7 Diameter dan tinggi rata-rata tanaman sonobrit, pinus, dan kenari
berumur 10 tahun

13
14
16
18
20
21
23

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian (Citra satelit dengan menggunakan Google earth)
2 Bagan plot pengambilan contoh tanah ( ) tunggak tanaman ( ) plot
pengambilan contoh tanah. (A) pada lahan berkontur miring (B) pada
lahan berkontur datar
3 Irisan tanah secara vertikal pada tegakan sonobrit dengan kedalaman 0–
40 cm (lingkaran merah menunjukkan peningkatan bahan organik pada
tanah)
4 Irisan tanah secara vertikal pada kedalaman 0–40 cm, pada tegakan pinus

(lingkaran merah menunjukkan peningkatan bahan organik pada tanah)
5 Irisan tanah secara vertikal pada kedalaman 0–40 cm, pada tegakan
kenari (lingkaran merah menunjukkan peningkatan bahan organik pada
tanah)
6 Keragaan tanaman di lapangan. (A) batang sonobrit; (B) tegakan
sonobrit; (C) tegakan pinus; (D) tegakan kenari

7

8

15
17

19
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan penambangan semakin banyak dilakukan dan tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Umumnya kegiatan penambangan ini dilakukan di areal
hutan sehingga harus membuka areal hutan terlebih dahulu dan telah menjadi
salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan di Indonesia. Oleh sebab
itu, kegiatan reklamasi setelah kegiatan penambangan harus dilakukan agar
kondisi hutan yang baik dan aman terhadap makhluk hidup dapat diperoleh
kembali dan dimanfaatkan seperti semula.
Selain terbukanya areal hutan, kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh
adanya kandungan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang dihasilkan
dari kegiatan lanjutan penambangan. Dalam PP No. 85 Tahun 1999 tentang:
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, disebutkan bahwa kegiatan penambangan
seperti penambangan logam, emas, dan batu bara akan menghasilkan limbah B3
yang mengandung logam berat, bahan pelarut, dan sianida yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
pengelolaan limbah-limbah hasil dari pertambangan untuk memperkecil terjadinya
kerusakan pada lingkungan.
PT. Antam UBPE Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat merupakan
sebuah perusahaan penambangan emas yang sudah mulai beroperasi sejak tahun
1974. Dari kegiatan penambangan ini dihasilkan limbah-limbah berupa batuan
bekas penambangan (rock-dump) dan lumpur tanah sisa penambangan (tailing)
yang semakin hari jumlahnya semakin banyak, sehingga dibutuhkan alokasi
tempat khusus untuk penampungan limbah (tailing dam). Sisa-sisa penambangan
ini banyak mengandung zat-zat berbahaya bagi mahkluk hidup seperti Pb, Fe, Cu,
dan Zn yang jika berada dalam jumlah tinggi dan terakumulasi dalam tubuh akan
menjadi racun.
Sebagai salah satu upaya pengelolaan limbah penambangan, lumpur tailing
dapat dimanfaatkan sebagai media tanam dalam kegiatan reklamasi di lapangan.
Cara ini dapat mengatasi masalah jumlah lumpur tailing yang semakin hari
semakin banyak sehingga tidak mengharuskan untuk membuka lokasi baru
sebagai penampungan lumpur tailing. Tantangannya adalah, di dalam lumpur
taling terdapat zat-zat B3 berupa logam berat seperti Pb, Fe, Cu, dan Zn yang
dapat menghambat pertumbuhan tanaman, meskipun dalam lumpur tailing masih
terdapat unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas maka dibutuhkan
teknik dan perlakuan-perlakuan khusus terhadap lumpur tailing sebelum dijadikan
sebagai media tanam di lapangan. Perlakuan yang harus dilakukan untuk
mengurangi kadar zat B3 di antaranya adalah melakukan pemilihan jenis yang
mampu tumbuh di lahan kritis seperti lumpur tailing dan memberikan tambahan
bahan campuran seperti bio-aktivator, kompos, dan top soil yang dapat
meningkatkan kesuburan lumpur tailing.
Penelitian yang dilakukan ini merupakan lanjutan dari penelitian yang
sebelumnya telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

2
Konservasi Alam Bogor, di areal modifikasi reklamasi lahan bekas tambang emas
PT. Antam UBPE Pongkor dengan melakukan penanaman sonobrit, pinus, dan
kenari selama 10 tahun. Fokus utama yang menjadi topik penelitian ini adalah
melihat perubahan sifat kimia tanah setelah ditanam dengan tanaman sonobrit,
pinus, dan kenari berumur 10 tahun. Perubahan sifat kimia tanah setelah
penanaman perlu diteliti agar nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
dalam menentukan tingkat keberhasilan perusahaan dalam melakukan reklamasi.

Perumusan Masalah
Semakin luasnya areal hutan yang terbuka dan rusak akibat kegiatan
penambangan memerlukan teknologi-teknologi baru untuk melakukan kegiatan
reklamasi pada areal bekas tambang tersebut. Kegiatan reklamasi pada areal yang
rusak akibat pertambangan telah cukup banyak dilakukan, namun evaluasi
keberhasilan kegiatan tersebut belum banyak didokumentasikan. Oleh sebab itu,
perlu dikaji keberhasilan upaya terdahulu untuk mengetahui dan memperbaiki
teknologi reklamasi areal bekas tambang yang telah dilakukan.

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perubahan karakteristik kimia dan tingkat kesuburan tanah pada
model reklamasi lahan bekas tambang emas PT. Antam UBPE Pongkor setelah
ditanam dengan tanamn sonobrit, pinus, dan kenari berumur 10 tahun.
2. Mengetahui kandungan logam berat yang terdapat pada tanaman sonobrit,
pinus, dan kenari berumur 10 tahun yang ditanam di model reklamasi tambang
emas PT. Antam UBPE Pongkor.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang peran
reklamasi dalam memperbaiki sifat kimia tanah dan meningkatkan kesuburan
tanah yang berasal dari lumpur tailing. Selain itu, didapat informasi tentang
tingkat keamanan lumpur tailing sebagai media tanam dalam kegiatan reklamasi
lahan bekas tambang emas. Penelitian ini juga akan memberikan informasi apakah
tanaman jenis sonobrit, pinus, dan kenari dapat dijadikan sebagai tanaman
fitoremediasi pada lahan yang terkontaminasi logam berat seperti Pb dan Fe. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua kalangan
yang berkecimpung dalam bidang kegiatan reklamasi lahan bekas tambang,
khususnya lahan bekas tambang emas.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Lumpur Tailing
Tailing merupakan limbah sisa pertambangan yang mengandung zat-zat
berbahaya dan beracun yang dapat mengakibatkan kerusakan pada lingkungan (PP
No. 85 Tahun 1999). Limbah penambangan tersebut terdiri dari gabungan bahan
padat dengan butiran halus yang bercampur dengan air sisa hasil pengolahan,
setelah logam-logam dan mineral-mineral diekstraksi dari bijih yang ditambang,
umumnya berukuran debu berkisar antara 0,001 mm hingga 0,6 mm (Departemen
of Industry, Tourism, and Resources, Australian Government 2007). Pemanfaatan
lumpur tailing dapat dilakukan dengan menggunakan tailing sebagai bahan
campuran semen untuk bahan dasar bangunan dan berbagai infrastruktur lainnya
(Saing 2008; Riogilang & Masloman 2009). Tailing juga dapat dimanfaatkan
secara langsung sebagai media tanam, baik di lapangan maupun di persemaian
dengan terlebih dahulu memberikan perlakuan khusus seperti penambahan top soil,
pemberian kompos, bio organik (asam hummat) dan pemberian pupuk (Siregar
dan Siringoringo 2002; Sembiring 2007; Fauziah 2009).

Bahan Organik Tanah
Besar kecilnya kandungan bahan organik di dalam tanah dapat dijadikan
salah satu parameter untuk melihat tingkat kesuburan suatu tapak. Bahan organik
yang ada di dalam tanah ± 85% berasal dari lapukan tanaman dan hewan yang
mati, sedangkan selebihnya berasal dari organisme tanah lainnya termasuk jasad
renik. Umumnya kandungan bahan organik yang ada di dalam tanah hanya
mencapai 5% sampai 10% dan selebihnya adalah bahan anorganik, air dan udara.
Bahan organik di dalam tanah berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Dalam hal ini peran bahan organik tanah dapat dibedakan menjadi dua kategori,
(i) bahan organik berperan sebagai penyimpan dan pemasok unsur-unsur hara
esensial bagi tanaman, (ii) bahan organik tanah dapat memperbaiki sifat-sifat
tanah yaitu sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biotik tanah (Munawar 2011).
Peran bahan organik tanah dalam memperbaiki sifat fisik tanah yaitu dapat
meningkatkan konsistensi tanah dan memperbaiki struktur tanah sehingga
permeabilitasi tanah, aerasi tanah, dan daya tahan tanah untuk menyimpan air
tanah akan menjadi lebih baik. Bahan organik tanah juga berperan dalam
memperbaiki sifat kimia tanah, yaitu dapat mengurangi sifat racun logam-logam
di dalam tanah, meningkatkan KTK tanah, dan meningkatkan unsur hara tanah
terutama unsur N, P, dan S. Bersamaan dengan sifat bahan organik tanah yang
berperan dalam memperbaiki sifat kimia tanah, bahan organik tanah juga
sekaligus menjalankan perannya dalam meningkatkan bioaktivitas mikro biologi
tanah yang terjadi di dalam tanah, karena adanya bahan organik tanah akan
menjadi sumber energi bagi biota tanah. Bioaktivitas yang terjadi di dalam tanah
dapat berupa biodegradasi tanaman maupun hewan yang sudah mati dan
biodegradasi terhadap kontaminan-kontaminan yang masuk ke dalam tanah
seperti zat-zat berbahaya yang terdapat dalam pestisida (Notohadiprawiro 1999).

4

Karakteristik Lumpur Tailing UBPE Pongkor
Tailing yang dihasilkan oleh UBPE Pongkor umumnya didominasi oleh
fraksi debu dan pasir dengan sedikit fraksi liat. Fraksi liat pada lumpur tailing
yang dihasilkan oleh UBPE Pongkor kurang-lebih hanya ada sekitar 9%,
selebihnya adalah fraksi debu dan pasir yaitu sekitar 16% dan 75% (Siregar dan
Siringoringo 2002). Pada umumnya lumpur tailing memiliki nilai KTK (Kapasitas
Tukar Kation) yang sangat rendah. Hasil analisis laboratorium yang dilakukan
oleh Fauziah (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai KTK lumpur
tailing hasil penambangan emas UBPE Pongkor cukup rendah, yaitu sebesar 8.90
me/100 g. Sama halnya dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Siregar dan Siringoringo (2002), yaitu sebesar 4.82 me/100 g. Berdasarkan
kriteria penilaian sifat kimia tanah yang dibuat oleh Blai Penelitian Tanah (2005)
menggolongkan KTK tailing yang dihasilkan UBPE-Pongkor tersebut masuk
dalam kategori rendah dan sangat rendah.
Tailing adalah jenis lumpur dengan derajat masam yang tinggi atau bersifat
basa (Siregar UJ dan Siregar CA 2010). Hasil pengukuran pH lumpur tailing
penambangan emas Pongkor yang dilakukan pada tahun 2002 dengan
menggunakan pelarut H2O adalah sebesar 7.7, sedangkan dengan menggunakan
pelarut KCl nilai pH-nya adalah sebesar 7.6 (Siregar dan Siringoringo 2002).
Hasil analisis laboratorium yang dilakukan oleh Siregar dan Siringoringo
(2002) lumpur tailing hasil penambangan emas di Pongkor mengandung unsurunsur hara N sebesar 0.06%, P2O5: 41 mg/100 g, K2O5: 19 mg/100 g, Ca: 26.28
mg/100 g, Mg: 0.07 mg/100 g, K: 0.12 mg/100 g dan Na: 0.22 mg/100 g.
Beberapa kandungan hara tersebut tergolong cukup bagi tanaman (Balai
Penelitian Tanah 2005), namun karena lumpur tailing mengandung mineralmineral lain seperti logam Pb, Fe, Cu, dan Zn yang bereaksi dengan unsur-unsur
hara tersebut, mengakibatkan beberapa dari unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman menjadi tidak tersedia lagi bagi tanaman.
Logam Pb merupakan kontaminan utama yang ada pada lumpur tailing
sehingga tailing digolongkan dalam limbah B3. Logam Pb merupakan unsur yang
tidak dibutuhkan oleh manusia karena akan menjadi racun jika terdapat di dalam
tubuh (Hardiani et al. 2011). Bahaya akan keracunan logam Pb ada apabila di
lingkungan (tanah, air, dan udara) terdapat kandungan logam Pb dalam jumlah
banyak dan masuk dalam aliran rantai makanan. Menurut Alloway (1995)
tanaman masih toleran terhadap logam Pb jika kadar logam Pb di dalam tanah di
bawah 20 ppm. Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
masalah kontaminasi logam Pb di dalam tanah adalah bioremediasi dengan
mikroba (Suhendrayatna 2001) dan fitoremediasi dengan tanaman
pengikat/penambat logam-logam berat (Siregar UJ dan Siregar CA 2010).
Unsur Fe merupakan salah satu unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
pada proses fisiologis tanaman itu sendiri, seperti proses respirasi dan fotosintesis
(AgroMedia 2007). Kandungan Fe yang terlalu tinggi di dalam tanah akan
mengakibatkan keracunan logam Fe pada tanaman (Tan 1994).

5
Sonobrit (Dalbergia latifolia)
Sonobrit atau sering disebut dengan nama sonokeling tumbuh secara alami
di Pulau Jawa. Pohon jenis ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran
rendah hingga pada ketinggian 1 500 m dpl dengan kisaran curah hujan 700
mm/tahun sampai dengan 5 000 mm/tahun. Tanaman ini mampu tumbuh di bawah
naungan namun sangat sensitif terhadap kekeringan dan api. Pertumbuhan
maksimum dari pohon jenis ini akan diperoleh jika ditanam pada daerah dengan
kisaran suhu rata-rata 37 °C sampai dengan 57 °C. Meskipun demikian, sonobrit
juga dapat tumbuh pada daerah dingin dengan suhu minimum 15 °C. Sonobrit
mampu tumbuh di daerah dengan kelembapan udara relatif kering hingga sangat
lembab yaitu berkisar antara 40% sampai 100% (Nurhasybi 2000).
Secara taksonomi, sonobrit dikelompokkan ke dalam famili Papilionaceae.
Untuk lebih lengkapnya berikut adalah urutan taksonomi dari sonobrit (Plantamor
2012a):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili
: Papilionaceae
Genus
: Dalbergia
Spesies
: D. latifolia Roxb.

Pinus (Pinus merkusii)
Pinus merupakan jenis pohon yang masuk dalam kelompok pohon daun
jarum. Berikut adalah pengelompokan P. merkusii secara taksonomi (Plantamor
2012b):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Coniferophyta
Kelas
: Pinopsida
Ordo
: Pinales
Famili
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Spesies
: P. merkusii Jungh et de Vriest.
Jenis P. merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang mampu tumbuh
alami dan tersebar hingga di bagian selatan garis khatulistiwa. Di kawasan Asia
Tenggara, jenis pinus ini menyebar mulai dari 23 °LU sampai 2 °LS. Penyebaran
alami P. merkusii di kawasan Asia Tenggara meliputi negara Indonesia
(Sumatera), Laos, Filipina (P. Luzon dan Mindoro), Burma, Kamboja, Vietnam,
dan Thailand, sedangkan tegakan P. merkusii yang terdapat di Pulau Jawa dan
Pulau Sulawesi umumnya merupakan tegakan pinus dari hasil penanaman. P.
merkusii mampu tumbuh pada ketinggian 30 m sampai 1 800 mdpl (Hidayat dan
Hansen 2001). Tanaman ini mampu tumbuh pada tanah yang kurang bagus
(kurang subur) dengan tipe tanah yang berpasir dan berbatu, tetapi tanaman ini
tidak akan tumbuh bagus pada tanah yang becek. Selain itu jenis pinus ini juga

6
mampu tumbuh baik pada lahan dengan kondisi iklim basah sampai agak kering
( Martawijaya et al. 1989).

Kenari (Canarium commune)
Kenari (C. commune) adalah salah satu jenis pohon dari famili Burseraceae,
umumnya ditemukan di hutan hujan tropis. C. commune. Jenis pohon ini tersebar
alami di hutan alam pulau Sumatera, Jawa (Jawa Barat), Kalimantan, Filippina,
New Guinea, dan Pulau Solomon. Secara alami C. commune tumbuh di hutan
dataran rendah hingga mencapai ketinggian 600 mdpl bercampur dengan tegakan
Dipterocarpa. Umumnya kenari tumbuh di lereng bukit atau pegunungan dan
kadang juga ditemukan di daerah pantai dengan tipe tanah berpasir dan berbatu
(Asianplant 2012).
Adapun taksonomi secara lengkap dari tanaman kenari adalah sebagai
berikut (Plantamor 2012c):
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Sapindales
Famili
: Burseraceae
Genus
: Canarium
Spesies
: C. commune L.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Mei sampai
November 2012. Pengambilan contoh tanah dan tanaman dilakukan di Arboretum
Percobaan PT. Antam UBPE Pongkor, Jawa Barat (Gambar 1), sedangkan
persiapan contoh tanah dan tanaman sebelum dianalisis dilakukan di
Laboratorium Pengaruh Hutan Litbang Kehutanan, Bogor. Untuk analisis kimia
tanah dan analisis kandungan logam berat pada tanaman dilakukan di
Laboratorium Balai Penelitian Tanah yang berada di Jl. Juanda, No. 98, Bogor.
Pada awalnya arboretum yang dijadikan sebagai lokasi pengambilan contoh
tanah dan tanaman pada penelitian ini merupakan areal penimbunan lumpur
tailing yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa dengan menambahkan
timbunan top soil di atas timbunan lumpur tailing untuk ditanam dengan berbagai
tanaman revegetasi (Siregar dan Siringoringo 2002). Luas areal hasil modifikasi
tersebut kurang-lebih sekitar 2 ha yang kemudian dibagi dalam beberapa blok
untuk dilakukan penanaman tanaman rehabilitasi dengan jarak tanam 2 m x 2 m
dan ukuran lobang tanam 50 cm x 50 cm x 50 cm. Komposisi media yang terdapat
dalam lobang tanam adalah top soil sebanyak 2/3 bagian, bahan organik (kotoran
sapi) sebanyak 1/3 bagian, dan pupuk NPK sebanyak 200 gr yang dicampur
merata di dalam lobang tanam. Model rehabilitasi ini ditanam dengan beberapa
jenis tanaman seperti sonobrit, eucalyptus, kiputri, salam, kisireum, kayu manis,

7
agathis, suren, nimba, matoa, burahol, puspa, kenari, pinus, dan beberapa jenis
bambu. Masing-masing blok ditanam dengan satu jenis tanaman yang berbeda
dengan blok lainnya seperti terlihat pada Lampiran 1. Ukuran blok yang
digunakan pada jenis sonobrit, eucalyptus, salam, kisireum, kayu manis, dan
agathis adalah 40 m x 18 m, pada jenis suren, nimba, matoa, dan burahol adalah
32 m x 18 m, puspa dan kenari 36 m x16 m, pinus 40 m x 24 m, dan kiputri 40 m
x 36 m. Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sonobrit, pinus dan
kenari berumur 10 tahun.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian (Citra satelit dengan menggunakan Google
Earth)

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah golok, cangkul, tally sheet,
phiband, ring tanah, kantong plastik, alat tulis, GPS, dan kamera digital. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan sonobrit, pinus, dan kenari,
pada lokasi Arboretum Percobaan PT. Antam UBPE-Pongkor, tanah dari masingmasing tegakan dan contoh bagian akar, kulit, dan daun tanaman dari masingmasing jenis.

Metode Kerja
Metode Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data awal hasil
analisis tanah sebelum penanaman. Data ini diperoleh dari data-data penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya di lokasi yang sama dengan lokasi penelitian ini,
seperti laporan penelitian dan arsip-arsip penelitian sebelumnya. Data awal yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan data hasil analisis tanah sebelum
dilakukan penanaman oleh Siregar dan Siringoringo (2002).

8

Pembuatan Plot Pengambilan Contoh Tanah
Jumlah plot yang dibuat dalam penelitian ini sebanyak tiga buah untuk
masing-masing tegakan, dengan tujuan agar diperoleh contoh tanah yang dapat
mewakili kondisi tanah pada masing-masing blok tanaman yang diamati.
Penentuan plot pengambilan contoh tanah di lapangan dilakukan dengan
menetapkan pusat (bagian tengah blok) sebagai salah satu titik tetap dalam
pengambilan contoh tanah pada masing-masing blok tanaman, sedangkan dua plot
lainnya ditentukan berdasarkan bentuk kontur tanah. Pada areal yang berkontur
miring, dua plot pengambilan contoh tanah lainnya diletakkan pada bagian
permukaan tanah yang lebih tinggi dan bagian permukaan tanah yang lebih rendah
dari plot pada bagian pusat blok tanaman dengan jarak minimal 5 m. Pada areal
berkontur datar, penentuan plot diletakkan secara sembarang dengan jarak
minimal 5 m dari plot yang ada pada pusat blok tanaman, hal ini dilakukan karena
pada permukaan tanah yang datar sifat tanahnya relatif tidak berbeda dalam satu
hamparan yang homogen (Balit Tanah 2006). Contoh tanah yang dianalisis dalam
penelitian ini merupakan contoh tanah komposit hasil gabungan dari ketiga plot
pengambilan contoh tanah. Plot pengambilan contoh tanah dibuat dekat dengan
tunggak tanaman dengan jarak 50 cm dari tunggak tanaman seperti disajikan pada
Gambar 2.

Gambar 2 Bagan plot pengambilan contoh tanah ( ) tunggak tanaman ( )
plot pengambilan contoh tanah. (A) pada lahan berkontur miring
(B) pada lahan berkontur datar
Pengambilan Contoh Tanah dan Contoh Tanaman
Mekanisme pengambilan contoh tanah dilakukan dengan metode yang
dikembangkan oleh Balit Tanah (2006). Pengambilan contoh tanah di lapangan
dilakukan dengan cara sebagai berikut, permukaan tanah dibersihkan dari serasah
dan kotoran-kotoran lainnya, kemudian ring (tinggi = 5cm) diletakkan tegak lurus
dengan permukaan tanah (bagian ring yang tajam berada di bawah). Setelah itu,
ring tanah ditekan ke dalam tanah hingga tertanam keseluruhan dan bagian paling
atas ring rata dengan permukaan tanah kemudian permukaan ring bagian atas
ditutup untuk menghindari masuknya serpihan-serpihan tanah atau kotorankotoran lainnya ke dalam ring. Ring yang sudah tertanam dicongkel untuk
mengeluarkan ring yang telah berisi contoh tanah dari dalam tanah, kemudian

9
tanah bagian bawahnya diiris menggunakan golok untuk meratakan permukaan
bagian bawahnya. Setelah itu, contoh tanah yang ada di dalam ring dikeluarkan
dari ring dan dimasukkan dalam kantong pastik. Cara di atas dilakukan lagi untuk
mendapatkan contoh tanah pada kedalaman 5–15 cm dan 15–30 cm.
Adapun cara pengambilan contoh tanaman pada masing-masing jenis
tanaman adalah sebagai berikut, tanaman yang berada dekat dengan plot
pengambilan contoh tanah langsung dijadikan sebagai tanaman yang akan diambil
bagian tanamannya untuk dianalisis. Bagian tanaman yang diambil untuk
dianalisis adalah akar, kulit, dan daun tanaman. Pengambilan akar tanaman
sekaligus dilakukan pada saat pengambilan contoh tanah. Pengambilan kulit
tanaman dilakukan pada bagian daerah pangkal batang, batang bagian tengah, dan
batang bagian pucuk, sementara pengambilan daun tanaman dilakukan pada
bagian dasar tajuk, tengah tajuk dan ujung tajuk.
Analisis Tanah dan Tanaman
Analisis tanah dan tanaman di laboratorium dilakukan dengan menggunakan
metode yang digunakan oleh Balit Tanah (2005).
a. Persiapan contoh tanah dan tanaman di laboratorium
Contoh tanah dan tanaman yang telah diambil dari lapangan segera
dikeringkan agar tidak terjadi kerusakan pada contoh tanah dan tanaman yang
akan di analisis. Pengeringan dilakukan pada ruangan tertutup tanpa ada sinar
matahari atau dimasukkan dalam oven dengan suhu 40 °C. Contoh tanah dan
tanaman dibersihkan dari semua kotoran yang dapat merusak data hasil analisis.
Kemudian contoh tanah dan tanaman dihaluskan hingga ukuran partikelnya
mencapai kurang dari 2 mm.
b. Penentuan pH tanah
Sebanyak 10 g contoh tanah ditimbang dua kali, masing-masing
dimasukkan ke dalam botol kocok yang berbeda, kemudian ditambah dengan
50 mL air bebas ion ke botol yang satu (pH H2O) dan 50 mL KCl 1 M ke dalam
botol lainnya (pH KCl), dan dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit.
Suspensi tanah diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan
larutan buffer pH 7 dan pH 4.
c. Penetapan kandungan C-organik tanah
Sebanyak 0.5 g contoh tanah dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL,
ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok. Sesudah itu ditambahkan 7.5 mL
H2SO4 pekat, dikocok lalu diamkan selama 30 menit. Kemudian diencerkan
dengan air bebas ion, dibiarkan dingin dan diimpitkan. Sehari kemudian diukur
absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
561 nm. Sebagai pembanding dibuat standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet
0 dan 5 ml larutan standar 5 000 ppm ke dalam labu ukur 100 mL dengan
perlakuan yang sama dengan pengerjaan contoh.
Perhitungan:
Kadar C-organik = ppm kurva x 10 500-1 x fk
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya.
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
d. Penetapan N-total (%)

10
Sebanyak 0.5 g contoh tanah, dimasukan ke dalam tabung digest, kemudian
dioksidasi dengan menambahkan 3 mL asam sulfat pekat dan 1 g katalis
campuran selen membentuk (NH4)2SO4, setelah itu didestruksi hingga suhu
350 °C (3–4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak
jernih (sekitar 4 jam). Tabung diangkat dan didinginkan, kemudian ekstrak
diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 mL. Suspensi dikocok sampai
homogen, dibiarkan semalam agar partikel mengendap. Untuk mengetahui
kandungan N-total, ekstrak dan deret standar dipipet ke dalam tabung reaksi yang
berbeda, masing-masing 2 mL, kemudian ditambahkan larutan sangga tatrat dan
Na-fenat masing-masing sebanyak 4 mL, dikocok dan dibiarkan 10 menit. Setelah
itu, ditambahkan 4 mL NaOCl 5%, lalu dikocok dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit sejak
pemberian pereaksi ini.
Perhitungan:
Kadar nitogen (%) = (Vc - Vb) x N x 2,8 x fk
V c,b = ml titar contoh dan blanko
N
= normalitas larutan baku H2SO4
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
e. Penentuan Kadar P2O5 tanah
Sebanyak 2.5 g contoh tanah ditambah dengan pengekstrak Bray dan Kurt I
sebanyak 25 mL, kemudian dikocok selama 5 menit, lalu disaring. Ekstrak yang
sudah jernih dipipet sebanyak 2 mL ke dalam tabung reaksi. Contoh dan deret
standar masing-masing ditambah pereaksi pewarna fosfat sebanyak 10 mL,
dikocok dan dibiarkan 30 menit. Absorbansinya diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 693 nm.
Perhitungan:
Kadar P2O5 tersedia (ppm) = ppm kurva x 10 x fp x 142/190 x fk
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
fp
= faktor pengenceran (bila ada)
142/190
= faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
f. Penetapan Kadar K2O
Sebanyak 20 g contoh tanah halus, dimasukkan dalam botol kocok 100 mL,
kemudian ditambahkan 1 mL karbon aktif dan 40 mL pengekstrak Morgan Wolf.
Campuran dikocok selama 5 menit dengan mesin pengocok dengan kecepatan
minimum 180 rpm. Setelah itu ekstark disaring dengan kertas saring Whatman
No.1 untuk mendapatkan ekstrak yang jernih. Ekstrak dan deret standar dipipet
masing-masing 1 mL ke dalam tabung kimia dan ditambahkan 9 mL larutan LaCl3
0.25%, kandungan unsur K diukur dengan menggunakan alat Flamephotometer
dengan deret standar sebagai pembanding.
Perhitungan:
Kadar K2O (ppm) = ppm kurva x 2 x fp x fk x 94/78
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
fp
= faktor pengenceran (bila ada).
fk
= aktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air).
94/78
= konfersi K menjadi K2O.

11
g. Penetapan susunan kation, KTK tanah dan kejenuhan basa (KB)
Sebanyak 2.5 g contoh tanah, dicampur dengan lebih kurang 5 g pasir
kuarsa dimasukkan ke dalam tabung perkolasi yang telah dilapisi berturut-turut
dengan filter flock dan pasir terlebih dahulu (filter pulp digunakan seperlunya
untuk menutup lubang pada dasar tabung, sedangkan pasir kuarsa sekitar 2.5 g)
dan lapisan atas ditutup dengan penambahan 2.5 g pasir. Ketebalan setiap lapisan
pada sekeliling tabung diupayakan supaya sama. Kemudian blanko disiapkan
dengan pengerjaan seperti contoh tapi tanpa contoh tanah. Setelah itu diperkolasi
dengan amonium asetat pH 7 sebanyak 2 kali 25 mL dengan selang waktu 30
menit. Filtrat ditampung dalam labu ukur 50 mL, diimpitkan dengan amonium
asetat pH 7 untuk pengukuran kation: Ca, Mg, K dan Na (S). Tabung perkolasi
yang masih berisi contoh diperkolasi dengan 100 mL etanol 96% untuk
menghilangkan kelebihan amonium dan perkolat ini dibuang.
Sisa etanol dalam tabung perkolasi dibuang dengan pompa isap dari bawah
tabung perkolasi atau pompa tekan dari atas tabung perkolasi. Selanjutnya
diperkolasi dengan NaCl 10% sebanyak 50 mL, filtrat ditampung dalam labu ukur
50 mL dan diimpitkan dengan larutan NaCl 10%. Filtrat ini digunakan untuk
pengukuran KTK dengan cara destilasi atau kolorimetri.
Pengukuran kation (Ca, Mg, K, Na):
Perkolat NH4-Asetat (S) dan deret standar K, Na, Ca, Mg masing-masing
dipipet 1 mL ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 9 mL larutan LaCl3
0.25%. Kation Ca dan Mg diukur dengan AAS dan flamefotometer, sedangkan
kation K dan Na diukur dengan menggunakan deret standar sebagai pembanding.
Pengukuran KTK:
Pengukuran KTK dapat dilakukan dengan cara kalorimeter perkolat NaCl.
Sebanyak 0.5 mL perkolat NaCl dan deret standar NH4+ (0, 2.5, 5, 10, 15, 20, dan
25 me l-1) dipipet ke dalam tabung reaksi. Ke dalam setiap tabung ditambahkan
9.5 mL air bebas ion (pengenceran 20 kali). Kemudian ekstrak encer dan deret
standar dipipet ke dalam tabung reaksi yang berlainan, masing-masing sebanyak 2
mL, lalu ditambahkan dengan larutan sangga Tartrat dan Na-fenat secara berturutturut sebanyak 4 mL, dikocok dan biarkan 10 menit. Sebanyak 4 mL NaOCl 5%,
ditambahkan ke dalam campuran, kemudian dikocok dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit sejak
pemberian pereaksi ini.
Perhitungan:
S = (ppm kurva/bst kation) x 2 x fp1 x fk
T = me kurva x 50 mL 1.000 mL-1 x 1.000 g 2.5 g-1 x 0,1 x fp2 x fk = me
kurva x 2 x fp2 x fk
KB = jumlah kation (S)/KTK (T) x 100%
ppm kurv = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
0,1
= faktor konversi dari mmol ke cmol.
bst kation = bobot setara: Ca: 20, Mg: 12.15, K: 39, dan Na: 23.
fp1
= faktor pengenceran (10).
fp2
= faktor pengenceran (20).
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air).
S
= jumlah basa-basa tukar (mol/kg).
T
= kapasitas tukar kation (mol/kg).

12
me kurfa = skala hasil pembacaan pada kurfa dengan satuan miliequifalen (me).
KB
= kejenuhan basa (mol/kg).
h. Penetapan kandungan logam Pb tanah dan tanaman
Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam tabung digest kemudian
ditambahkan 1 mL asam perklorat dan 5 mL asam nitrat dan didiamkan satu
malam. Esoknya dipanaskan pada suhu 100 °C selama 1 jam 30 menit, setelah itu
suhu ditingkatkan menjadi 130 °C selama 1 jam, kemudian ditingkatkan lagi
menjadi 150 °C selama 2 jam 30 menit (sampai uap kuning habis, bila masih ada
uap kuning waktu pemanasan ditambah lagi), setelah uap kuning habis suhu
ditingkatkan lagi menjadi 170 °C selama 1 jam kemudian suhu ditingkatkan
menjadi 200 °C selama 1 jam (terbentuk uap putih). Destruksi selesai dengan
terbentuknya endapan putih atau sisa larutan jernih sekitar 1 mL. Ekstrak
didinginkan kemudian diencerkan dengan air bebas ion menjadi 10 mL, lalu
dikocok. Ekstrak jernih diukur dengan alat AAS menggunakan deret standar
masingmasing logam berat sebagai pembanding.
Perhitungan:
Kadar Pb (ppm) = ppm kurva x 10 x fk
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
i. Penetapan kandungan logam Fe tanah dan tanaman
Sebanyak 20 g contoh tanah halus ditambahkan 1 mL karbon aktif dan
40 mL pengekstrak Morgan Wolf dimasukkan ke dalam botol kocok 100 mL
kemudian dikocok selama 5 menit menggunakan mesin pengocok kecepatan
minimum 180 rpm. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman
No.1 untuk mendapatkan ekstrak yang jernih. Ekstrak contoh dan deret standar
campuran Fe dipipet masing-masing 1 mL kedalam tabung kimia, kemudian
ditambahkan 9 mL air bebas ion lalu dikocok (pengenceran 10x). Fe diukur
langsung dari ekstrak contoh menggunakan AAS dengan deret standar masingmasing sebagai pembanding.
Perhitungan:
Kadar Fe (ppm) = ppm kurva x 2 x fp x fk
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.
fp
= faktor pengenceran (bila ada).
fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)
Metoda Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
penjelasan secara deskriptif tanpa melakukan uji statistik. Semua data akan
dibahas dengan cara menjelaskan dan membandingkan nilai parameter-parameter
yang diamati setelah dilakukan analisis laboratorium pada contoh tanah dan
contoh tanaman.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Awal Tanah Sebelum Penanaman
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi tanah pada blok tanaman pinus
dan kenari jauh lebih baik dibandingkan kondisi tanah pada blok tanaman sonobrit.
Dilihat dari teksturnya, tanah pada blok pinus dan kenari didominasi oleh fraksi
liat sebesar 72%, sedangkan kandungan fraksi pasir dan debu hanya sebesar 28%.
Sementara pada blok tanaman sonobrit, fraksi liat jauh lebih sedikit yaitu hanya
sebesar 34% jika dibandingkan dengan fraksi liat pada tanah yang ada pada blok
tanaman pinus dan kenari. Hal ini diduga karena top soil yang ditaburkan pada
blok tanaman pinus dan kenari berasal dari sumber yang berbeda dengan top soil
yang ditaburkan pada blok Sonobrit. Menurut Coleman et al. (2004) fraksi liat
sangat berperan penting dalam hal ketersediaan nutrisi dan hara bagi
keberlangsungan aktivitas hidup mikroba tanah dan akar tanaman di dalam tanah.
Hal ini dikarenakan ukuran partikel liat yang sangat kecil sehingga luas
permukaan reaktifnya menjadi semakin luas dan daya ikat akan nutrisi jadi
semakin besar (Jury dan Horton 1946).
Tabel 1 Hasil analisis kimia tanah sebelum dilakukan
penanaman
Kedalaman tanah 0-30 cm
Kandungan
Blok pinus dan
Blok sonobrit
kenari
Pasir (%)
31.00
5.00
Debu (%)
35.00
23.00
Liat (%)
34.00
72.00
5.20
4.70
pH H₂O
pH KCl
4.30
3.80
C-organik (%)
0.16
1.52
N (%)
0.01
0.16
C/N
16.00
10.00
2.70
2.20
P₂O₅ (ppm)
237.50
37.90
K₂O₅ (ppm)
Ca (mol/kg)
9.41
1.96
Mg (mol/kg)
2.46
0.45
K (mol/kg)
0.50
0.08
Na (mol/kg)
0.22
0.12
KTK (mol/kg)
14.51
24.61
KB (mol/kg)
87.00
26.00
Sumber: Siregar dan Siringoringo (2002).

Nilai KTK tanah pada blok tanaman pinus dan kenari jauh lebih tinggi
dibandingkan nilai KTK tanah pada blok tanaman sonobrit. Besarnya nilai KTK
tanah pada blok tanaman pinus dan kenari adalah sebesar 24.61 mol/kg sedangkan
nilai KTK tanah pada blok tanaman sonobrit hanya sebesar 14.51 mol/kg. Nilai
KTK tanah yang lebih tinggi pada blok tanaman pinus dan kenari diduga akibat
tingginya kandungan liat pada blok ini. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia

14
tanah yang dibuat oleh Balit Tanah (2005), KTK tanah pada blok tanaman pinus
dan kenari masuk dalam kategori sedang, sementara KTK tanah pada blok
tanaman sonobrit masuk dalam kategori rendah.
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa pH tanah pada blok tanaman sonobrit
lebih bagus dibandingkan dengan pH tanah pada blok tanaman pinus dan kenari,
hal ini diduga karena sumber pengambilan top soil yang ditaburkan pada blok
pinus dan kenari berbeda dengan sumber pengambilan top soil yang ditaburkan
pada blok sonobrit. Kriteria penilaian sifat kimia tanah yang dibuat oleh Balit
Tanah (2005) menggolongkan pH tanah pada ketiga blok tanaman tersebut dalam
kategori masam, yaitu sebesar 4.7 untuk blok pinus dan kenari, sedangkan blok
tanaman sonobrit sebesar 5.2.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa blok tanaman pinus dan kenari berada
dalam kolom yang sama, sementara blok tanaman sonobrit terpisah pada kolom
yang berbeda. Hal ini dilakukan karena blok pinus dan kenari berada pada
hamparan yang sama dan letaknya bersebelahan sehingga titik pengambilan
contoh tanah untuk blok tanaman pinus dan kenari dilakukan pada titik yang sama.
Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa blok pinus dan kenari merupakan ujung
paling utara dari arboretum, sedangkan blok sonobrit terdapat pada ujung paling
selatan dari arboretum.

Perubahan Sifat Kimia Tanah
Tegakan Sonobrit (Dalbergia latifolia)
Hasil analisis tanah untuk melihat perubahan kondisi sifat kimia tanah pada
tahun 2012 pada tegakan sonobrit disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis sifat kimia tanah tahun 2012
sesudah penanaman sonobrit pada kedalaman 0–
30 cm
Kedalaman
Kandungan
0–5 cm
5–15 cm
15–30 cm
5.40
5.10
5.00
pH H₂O
pH KCl
4.60
4.20
4.10
C-organik (%)
2.08
0.53
0.49
N (%)
0.21
0.05
0.05
C/N
10.00
11.00
10.00
7.10
4.40
2.50
P₂O₅ (ppm)
466.70
244.50
259.90
K₂O₅ (ppm)
Ca (mol/kg)
10.76
8.91
8.15
Mg (mol/kg)
1.74
1.43
1.39
K (mol/kg)
0.24
0.15
0.12
Na (mol/kg)
0.10
0.13
0.20
KTK (mol/kg)
16.09
15.53
13.04
KB (mol/kg)
98.00
66.00
63.00

15
Secara umum semua parameter yang diamati mengalamai peningkatan
kualitas sifat kimia tanah setelah penanaman. Tanah pada kedalaman 0–5 cm
memiliki karakterestik kimia yang lebih bagus dibandingkan dengan tanah pada
kedalaman 5–15 cm dan 15–30 cm. Hal ini dikarenakan oleh adanya vegetasi pada
permukaan tanah sehingga perbaikan kualitas tanah akan lebih cepat terjadi pada
bagian atas tanah.
Kandungan bahan organik tanah yang ditunjukkan oleh kandungan Corganik pada tanah merupakan salah satu parameter yang paling jelas
menunjukkan adanya peningkatan kulitas sifat kimia tanah pada blok tanaman
sonobrit. Bahan organik tanah sebelum dilakukan penanaman pada blok ini hanya
sebesar 0.16% (Tabel 1), setelah penanaman mengalami peningkatan yang sangat
besar yaitu menjadi 2.08% pada kedalaman 0–5 cm, 0.53% pada kedalaman 5–15
cm, dan 0.49% pada kedalaman 15–30 cm (Tabel 2). Kriteria penilaian sifat kimia
tanah yang dibuat oleh Balit Tanah (2005) menggolongkan kandungan bahan
organik tanah hasil analisis tersebut dalam kategori rendah, kecuali bahan organik
pada kedalaman 0–5 cm yang masuk dalam kategori sedang. Peningkatan
kandungan bahan organik tanah pada blok ini diduga berasal dari pelapukan
serasah yang berasal dari tanaman sonobrit yang ditanam pada blok ini.
Peningkatan kandungan bahan organik tanah ini diduga akan sangat
mempengaruhi peningkatan kualitas tanah pada parameter-parameter lainnya
seperti KTK, pH, dan kandungan beberapa unsur hara tanah seperti N, P, K, dan
Ca. Menutut Notohadiprawiro (1999), bahan organik tanah sangat berperan dalam
memperbaikan sifat fisik dan sifat kimia tanah serta meningkatkan bioaktivitas
biota tanah.
Gambar 3 menunjukkan irisan vertikal tanah pada tegakan sonobrit setelah
berumur 10 tahun, yang memperlihatkan lapisan paling atas tanah berwarna coklat
kehitaman. Hal ini diduga terjadi karena adanya pelapukan serasah yang berasal
dari tegakan sonobrit dan tanaman lainnya yang terdapat di atas permukaan tanah
sehingga mengakibatkan perubahan warna tanah menjadi lebih gelap.

Gambar 3 Irisan tanah secara vertikal pada tegakan sonobrit
dengan kedalaman 0–40 cm (lingkaran merah
menunjukkan peningkatan bahan organik pada
tanah)

16
Perbaikan kualitas tanah pada tegakan sonobrit ini juga dapat dilihat dari
nilai KTK tanah yang mengalami peningkatan pada kedalaman 0–5 cm dan 5–15
cm setelah dilakukan penanaman pada 10 tahun yang silam. Nilai KTK tanah
sebelum penanaman hanya sebesar 14.51 mol/kg mengalami peningkatan menjadi
16.09 mol/kg pada kedalaman 0–5 cm dan 15.53 mol/kg pada kedalaman 5–15 cm.
Balit Tanah (2005) menggolongkan hasil analisis KTK tanah sebelum penanaman
dan setelah adanya penanaman pada kedalaman 5–15 cm dan 15–30 cm masuk
dalam kategori rendah, sedangkan KTK tanah pada kedalaman 0–5 cm masuk
dalam kategori sedang.
Tegakan Pinus (Pinus merkusii)
Hasil analisis laboratorium untuk beberapa parameter yang menunjukkan
perubahan kondisi sifat kimia tanah pada blok tanaman pinus berumur 10 tahun
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis sifat kimia tanah tahun 2012
sesudah penanaman pinus pada kedalaman 0–30
cm
Kedalaman
Kandungan
0–5 cm
5–15 cm
15–30 cm
5.00
5.20
4.20
pH H₂O
pH KCl
4.20
4.60
4.00
C (%)
1.04
0.57
0.30
N (%)
0.09
0.06
0.03
C/N
12.00
10.00
10.00
4.80
3.30
2.70
P₂O₅ (ppm)
395.00
489.00
475.00
K₂O₅ (ppm)
Ca (mol/kg)
10.27
11.56
10.03
Mg (mol/kg)
1.55
1.35
1.48
K (mol/kg)
0.46
0.46
0.58
Na (mol/kg)
0.08
0.10
0.16
KTK (mol/kg)
22.96
21.89
23.56
KB (mol/kg)
54.00
62.00
52.00
Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum dan sesudah ditanam dengan
tanaman pinus, terlihat bahwa setelah penanaman terjadi penurunan kandungan
bahan organik tanah walaupun kandungan unsur lainnya meningkat. Kandungan
bahan organik tanah yang dilihat dari besarnya kandungan C-organik mengalami
penurunan dari sebesar 1.52% (Tabel 1) menjadi sebesar 1.04% pada kedalaman
0–5 cm, 0.57% pada kedalaman 5–15 cm, dan 0.3% pada kedalaman 15–30 cm
(Tabel 3). Apabila dilihat dari perbedaan antar kedalaman tanah yang dianalisis
(Tabel 3), kandungan C-organik tanah pada kedalaman 0–5 cm jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kedalaman 5–15 cm dan 15–30 cm. Kandungan Corganik tanah pada kedalaman 0–5 cm kurang lebih dua kali lipat dari kandungan
C-organik tanah pada kedalaman 5–15 cm dan tiga kali lipat dari kandungan Corganik tanah pada kedalaman 15–30 cm. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
telah terjadi peningkatan bahan organik di dalam tanah terutama pada kedalaman
0–5 cm. Peningkatan bahan organik tanah ini diakibatkan oleh adanya vegetasi

17
yang tumbuh dan menutupi permukaan tanah, dengan demkian dapat dipastikan
bahwa terjadi peningkatan kualitas sifat-sifat tanahnya. Menurut Taberima (2009),
vegetasi akan mempercepat proses perbaikan sifat tanah yang berasal dari lumpur
tailing akibat adanya peningkatan kandungan bahan organik di dalam tanah.
Bahan organik tanah sangat berperan dalam memperbaikan sifat fisik dan sifat
kimia tanah serta meningkatkan bioaktivitas biota tanah sehingga akan
meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ada di atasnya (Notohadiprawiro 1999).
Gambar 4 menunjukkan irisan vertikal tanah pada tegakan pinus setelah
berumur 10 tahun, yang memperlihatkan lapisan paling atas tanah berwarna lebih
gelap. Hal ini terjadi karena adanya pelapukan serasah yang berasal dari tanamantanaman yang terdapat di atas permukaan tanah terutama dari tegakan pinus,
sehingga mengakibatkan perubahan warna tanah menjadi lebih gelap.

Gambar 4 Irisan tanah secara vertikal pada kedalaman 0–40 cm,
pada tegakan pinus (lingkaran merah menunjukkan
peningkatan bahan organik pada tanah)
Adanya perbaikan kualitas kimia tanah pada tegakan pinus ini juga dapat
dilihat dari nilai pH tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum
dilakukan penanaman. Meskipun pH tanah sebelum dan sesudah dilakukan
penanaman masih tergolong rendah (Balit Tanah 2005), nilai pH tanah setelah
penanaman masih lebih bagus karena nilainya yang lebih tinggi. Nilai pH tanah
sebelum dilakukan penanaman sebesar 4.7 dan setelah dilakukan penanaman pH
tanah meningkat menjadi 5 pada kedalaman 0–5 cm, 5.2 pada kedalaman 5–15 cm,
dan 4.2 pada kedalaman 15–30.
Kandungan beberapa unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman seperti P, K,
Ca, dan Mg juga menunjukkan bahwa adanya perbaikan kualitas sifat kimia tanah.
Kandungan P2O5 sebelum penanaman hanya sebesar 2.2 ppm sedangkan setelah
penanaman kandungannya meningkat menjadi 4.8 ppm pada kedalaman 0–5 cm,
3.3 ppm pada kedalaman 5–15 cm, dan 2.7 ppm pada kedalaman 15–30 cm.

18
Kandungan K2O5 sebelum penanaman hanya sebesar 37.9 ppm sedangkan setelah
penanaman kandungannya meningkat sangat tinggi menjadi 395 mol/kg pada
kedalaman 0–5 cm, 489 mol/kg pada kedalaman 5–15 cm, dan 475 mol/kg pada
kedalaman 15–30 cm. Kandungan Ca sebelum penanaman hanya sebesar 1.96
mol/kg, sedangkan setelah penanaman kandungannya meningkat sangat tinggi
menjadi 10.27 mol/kg pada kedalaman 0–5 cm, 11,56 mol/kg pada kedalaman
5–15 cm, dan 10.03 mol/kg pada kedalaman 15–30 cm. Kandungan Mg sebelum
penanaman hanya sebesar 0.45 mol/kg sedangkan setelah penanaman
kandungannya meningkat menjadi 1.55 mol/kg pada kedalaman 0.5 cm, 1.35
mol/kg pada kedalaman 5–15 cm, dan 1.48 mol/kg pada kedalaman 15–30 cm.
Tegakan Kenari (Cannarium communee)
Sama seperti blok pinus, blok tanaman kenari menunjukkan sedikit
penurunan kandungan C-organik setelah 10 tahun penanaman tanaman