Analisis Finansial Revegetasi Lahan Pasca Tambang Pt. Antam Tbk Ubpe Pongkor Dalam Perspektif Perdagangan Karbon

(1)

ANALISIS FINANSIAL REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG

PT. ANTAM Tbk UBPE PONGKOR DALAM PERSPEKTIF

PERDAGANGAN KARBON

BAMBANG SUBANGKIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

Lahan Pasca Tambang PT. Antam Tbk UBPE Pongkor Dalam Perspektif Perdagangan Karbon” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015 Bambang Subangkit NIM P052110101


(3)

Antam Tbk UBPE Pongkor dalam Perspektif Perdagangan Karbon. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan SRI MULATSIH.

Perubahan Iklim diketahui sebagai ancaman lingkungan utama yang harus dihadapi oleh umat manusia. Berubahnya iklim disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia, melalui perubahan komposisi atmosfer global. Kontribusi utama pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) hasil dari aktivitas manusia. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang telah dirasakan hingga saat ini, maka upaya yang dapat dilakukan adalah menurunkan emisi karbon dan atau meningkatkan penyerapan cadangan karbon. Kegiatan peningkatan penyerapan cadangan karbon secara tidak langsung juga dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dalam bentuk pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang. Tingkat keberhasilan kegiatan reklamasi ini dapat dilihat dari kualitas pertumbuhan jenis-jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut yang berbanding lurus dengan potensi penyerapan cadangan karbon dari lahan tersebut. Salah satu aspek penelitian yang penting adalah mengetahui potensi karbon yang tersimpan pada areal revegetasi. Dengan mengetahui potensi karbon yang tersimpan di lokasi areal revegetasi, maka sekaligus bisa menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan revegetasi yang dilakukan oleh PT Antam Tbk UBPE Pongkor.

Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada Pasal 96 bagian C disebutkan Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang. Juga pada pasal 99 yang menyebutkan bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan pemohonan IUP Operasi Produksi dan atau IUPK Operasi Produksi (ayat 1), Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang (ayat 2) juga pada Pasal 100 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan rreklamasi dan dana jaminan pascatambang.

Tambang Emas Pongkor adalah tambang Bangsa Indonesia yang ditemukan oleh putra-putra terbaik bangsa Indonesia dan dikelola oleh putra-putri bangsa Indonesia. Proyek PT. Antam Tbk UBPE pongkor mulai dibuka tahun 1991-1992 dan mulai produksi pada tahun 1994. Wilayah kuasa pertambangan PT Antam Tbk UBPE Pongkor dikelola sesuai SK Menteri Pertambangan N0. 375. K/7401/078/2000, tanggal satu Agustus 2000 dan berlaku sampai dengan tahun 2020, dengan luas wilayah eksplorasi 6 047 Hektar, yang di dalamnya terdapat kawasan ; Taman Nasional seluas 1 995 Hektar atau 32.99 %, Perhutani seluas 2 025 ha atau 33.48 %, Perkebunan Teh Nirmala seluas 375 ha atau 6.20 %, dan Masyarakat seluas 1 652 ha atau 27.33 %.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi kandungan karbon di areal revegetasi lahan pasca tambang serta menganalisis kelayakan finansial kegiatan revegetasi lahan pasca tambang PT Antam Tbk UBPE Pongkor dalam mekanisme

Carbon Trade. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode non destruktif, yaitu pendugaan kandungan karbon tanpa melakukan penebangan dengan menggunakan parameter yang berupa diameter setinggi dada dan tinggi pohon.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada areal revegetasi PT. Antam Tbk UBPE pongkor terdapat 18 jenis pohon yaitu: Akasia (Acacia mangium), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Eukaliptus (Eucaliptus pelita, Eucaliptus deglupta dan Eucaliptus urophilla), Gmelina (Gmelina arborea), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Kisireum (Eugenia cymosa), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Nangka (Artocarpus heterophylus), Malotus, Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Rambutan (Nephelium lappaceum), Macaranga (Macaranga gigantea)dan Waru (Hibiscus sp.).


(4)

dan nekromassa. Sedangkan kandungan karbon menurut IPCC 2006, merupakan hampir setengah dari jumlah biomassa, dimana 46% dari biomassa pada vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dan diperoleh hasil kandungan karbon sebesar 32 ton/ha.

Biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan revegetasi merupakan biaya total yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ketika akan melakukan kegiatan revegetasi. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan ini antara lain Biaya-biaya kegiatan pemindahan tanah, persiapan lahan dan penanaman, pemeliharaan juga perlindungan tanaman sampai ke tahap pemanenan. Diasumsikan semua plot biaya untuk pemindahan tanah didalamnya termasuk kegiatan sewa alat dan upah operator alat, persiapan lahan dan penanaman, pemeliharaan tahun pertama sampai tahun keempat, perlindungan tanaman pada tahun ketiga sampai keenam serta pemanenan pada tahun ke sepuluh adalah sama per hektarnya, juga untuk biaya verifikasi dalam perdagangan karbon. Dari 13 plot, luasan seluruhnya adalah 45 ha, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan revegetasi ini adalah sebesar Rp.3.608.888.250

Penjualan carbonstock diasumsikan harganya adalah US $12/ton per ha dan diasumsikan harga US $1 adalah Rp.12 000, dengan menggunakan CCB (carbon, community and biodiversity) sebagai skemanya. Penerimaan dari hasil penjualan

carbonstock diperoleh sebesar Rp.55 105 093 pada tahun ke lima dan Rp.132 940 815 pada tahun ke sepuluh, jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya untuk kegiatan revegetasi sangatlah jauh untuk menutupi biayanya. Untuk menambah kekurangan biaya operasional kegiatan revegetasi, maka dilakukan kegiatan pemanenan pada tahun ke sepuluh, dan hasil perhitungan diperoleh sebesar Rp.6 457 840 007 hasil dari penjualan kayu ini bisa menutupi biaya kegiatan revegetasi dan perusahaan masih mendapatkan keuntungan dari penjualan kayu tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai simpanan karbon di setiap lokasi areal revegetasi di PT Antam Tbk UBPE Pongkor dan diharapkan menjadi menjadi referensi bagi pihak pengelola pertambangan dalam melakukan evaluasi kegiatan revegetasi.


(5)

Antam Tbk UBPE Pongkor in the perspective of carbon trading. Supervised by LAILAN SYAUFINA and SRI MULATSIH

Climate change has been known as a major threat of environment faced by humanbeing. Climate change may affect human activities directly or indirectly by transforming the composition of global atmospheric. Global warming is likely caused by emission of greenhouse gases emission (GHG) produced by human activities. To mitigate the climate change process, efforts need to be done either by lowering carbon emissions and or increasing carbon sequestration which is related to carbon stock. Activities of increasing carbon stock has been indirectly implemented by mining companies in the form of post mining revegetation land. The succes of this revegetation activities can be seen from the quality of the growth of plants in the land that is directly proporsional to the potential absorption of carbon. One important aspect of the study was to find out the potential of carbon stored in the area of revegetation.by knowing the potential of the carbon stored in the location area of revegetation then could be a benchmark for the success of revegetation activities carried out by PT Antam Tbk UBPE Pongkor.

The main legal basis for reclamation activities is Law of the Republik of Indonesia Number 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining. At the article 96 Letter C mentioned in the application of the proper mining technique rules, the holder of an IUP and an IUPK is obligated to implement mining environment management and monitoring, including reclamation and post mining activities. Also in article 99 which states that every holder of an IUP and an IUPK is obligated to submit a reclamation plan and post mining plat at the time they submit a production operations IUP application or a Production Operations IUPK (paragraph 1) The implementation of reclamation and post mining activities are to be carried out pursuant to the purposes of land post-mining. Also on article 100 paragraph 1 which states that the holder of an IUP and an IUPK is obligated to prepare a guaranteed fund and a guaranteed post-mining fund.

Pongkor Gold Mine is a mine of Indonesian people who are found by the best sons of the Indonesian nation and managed by the sons and daughters of Indonesia. PT. Antam Tbk UBPE Pongkor was opened in 1991-1992 and began production in 1994. The area of mining rights to PT Antam Tbk UBPE Pongkor managed according to Minister of Mining Decree N0. 375.K/7401/078/2000, dated the August 2000 and is valid until 2020, with an area of 6047 hectares of exploration, in which there are regional; National Park covering an area of 1995 hectares, or 32.99%, the forestry area of 2025 ha, or 33.48%, Nirmala tea plantation area of 375 ha or 6:20%, and the Community area of 1652 ha or 27.33%.

The purpose of this study was to estimate the carbon stock of in the post-mining revegetation land and to analyze the financial feasibility of post-mining revegetation land activities of PT Antam Tbk UBPE Pongkor in Carbon Trade mechanism. The study was carried out by using non-destructive methods, which estimate the carbon stock without cutting the trees but by using allometric equation of diameter at breast height and tree height parameters.

Based on the analysis of tree vegetation in the area of revegetation PT. Antam Tbk UBPE Pongkor there are 18 tree species are: Acacia (Acacia mangium), Kayu Africa (Maesopsis eminii), Eucalyptus (Eucalyptus lamp, Eucaliptus deglupta and Eucaliptus urophilla), Gmelina (Gmelina arborea), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Kisireum (Eugenia cymosa), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Nangka (Artocarpus heterophylus), Malotus, pine (Pinus), Puspa (Schima wallichii), Rambutan (Nephelium lappaceum), Macaranga (Macaranga gigantea) and Waru (Hibiscus sp.).


(6)

according to IPCC 2006, representing almost half of the amount of biomass, in which 46% of the biomass on forest vegetation is composed of the elements carbon. Therefore, the carbon stock of the study obtained of about 32 tons / ha.

Costs incurred in revegetation activities are the total costs to be incurred by the company when it will conduct revegetation. The costs incurred in these activities include the cost of land removal activities, land preparation and planting, maintenance also crop protection to harvesting stage. Assumed all plots charges for removal of land could include activities equipment rental and hire equipment operators, land preparation and planting, maintenance of the first to the fourth year, plant protection in the third to sixth and harvesting in the year to ten are the same per hectare, also for a fee verification of carbon trading. Of the 13 plots, the whole area is 45 ha, the cost incurred for these revegetation activities amounted Rp.3.608.888.250.

Carbon stock assumed sales price is US $ 12/ton per hectare with the assumed price of US $ 1 equal to Rp.12 000, using the CCB (Carbon, community and biodiversity) as its scheme. By comparing of sale of carbonstock obtained of Rp.55 105 093 in year five and Rp.132 940 815 in year ten with the expenditure for revegetation activities indicated that the gain is far to cover the costs. To cover the shortfall operational costs revegetation activities, then the harvesting activities in the year ten need to be included, as the calculations of Rp.6 457 840 007 resulted from the sale of the timber can cover the costs of revegetation activities and companies still benefit from the sale of the wood. However, some environmental issues need to be considered, such as land area status and land management condition.

Results of this study are expected to provide an overview of the carbon stored in each location area revegetation PT Antam Tbk UBPE Pongkor and is expected to be a reference for the manager in evaluating mining revegetation activities.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

ANALISIS FINANSIAL REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG PT. ANTAM Tbk. UBPE PONGKOR DALAM PERSPEKTIF

PERDAGANGAN KARBON

BAMBANG SUBANGKIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(9)

(10)

Hidayah, serta Rizki-Nya, dimana penulis telah menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Finansial Revegetasi Lahan Pasca Tambang PT. Antam Tbk UBPE Pongkor Dalam Perpspektif Perdagangan Karbon”. Dimana kegiatan penelitian ini sudah dilaksanakan mulai dari bulan Januari 2013 sampai dengan bulan April 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih MSc.Agr, selaku pembimbing. Serta tim yang sudah membantu

dalam kegiatan dilapangan. Terima kasih juga disampaikan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas Beasiswa yang diberikan kepada penulis, juga waktu yang telah diberikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anakku, juga mamah dan bapak atas doa dan kasih sayangnya. Untuk mas Lutfy Abdulah atas sumbang saran dan bantuannya selama ini, serta seluruh teman PSL 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga hasil tesis ini bermanfaat


(11)

Halaman

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

I PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Kerangka Pemikiran 5

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

2 ANALISIS CADANGAN KARBON

Pendahuluan 7

Bahan dan Metode 10

Hasil dan Pembahasan 15

Simpulan 27

3 KELAYAKAN FINANSIAL REVEGETASI DI PT. ANTAM Tbk UBPE PONGKOR

Pendahuluan 28

Bahan dan Metode 29

21

Hasil 30

Pembahasan 32

Simpulan 33

4 PEMBAHASAN UMUM 34

5 SIMP

SIMPULAN DAN SARAN 35

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sumber karbon berdasakan IPCC Guidelines (2006) 9

2 Sumber karbon penting disesuaikan dengan tipe project 10 3 Komposisi jenis tumbuhan di setiap lokasi areal revegetasi PT. Antam Tbk

UBPE Pongkor

18 4 Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di areal revegetasi PT. Antam Tbk UBPE

Pongkor

19 5 Hasil analisis indeks biodiversitas tingkat pohon, pancang dan tiang di areal

revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor

20

6 Kerapatan tegakan di areal revegetasi 21

7 Kandungan biomassa diatas permukaan tanah 22

8 Produksi/kandungan Biomassa pada berbagai jenis tipe hutan 24

9 Kandungan karbon diatas permukaan tanah 25

10 Produksi/kandungan Karbon pada berbagai jenis tipe hutan 26

11 Biaya revegetasi 45 Ha 30

12 Penerimaan revegetasi total 31

13 Analisis kelayakan Revegetasi 31

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Lay out lokasi penelitian 10

3 Model Plot 12

4 Plot FHM 13

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman


(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim, menurut Artikel “United Nations Framework Convention on Climate Change” (UNFCC) adalah berubahnya iklim yang diakibatkan baik

secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia. Bersamaan dengan variabilitas iklim alami, aktivitas manusia tersebut merubah komposisi atmosfer global. Sistem iklim sendiri sangat kompleks dan bersifat interaktif, terdiri dari atmosfer, permukaan tanah, salju (dan es), lautan (dan badan air lainnya), serta makhluk hidup. Iklim sering didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata”; dan biasanya dijelaskan dengan suhu rata-rata, variabilitas suhu, presipitasi dan angin selama suatu periode waktu biasanya 30 tahun. Energi pada sistem iklim diperoleh dari radiasi sinar matahari (Sutamihardja 2009).

Perubahan iklim diketahui sebagai ancaman lingkungan utama yang harus dihadapi oleh umat manusia. Menurut laporan IPCC (2007) pemanasan global kemungkinan besar disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) hasil dari aktivitas manusia. Konsentrasi atmosfer gas rumah kaca semakin meningkat selama 650 000 tahun terakhir. Penggunaan bahan bakar fosil (untuk energi, transportasi, industri dan kebutuhan rumah tangga) mendominasi emisi gas rumah kaca global. Perubahan penggunaan lahan, termasuk pertanian dan kehutanan, memberikan kontribusi 31% emisi gas rumah kaca, meskipun penggunaan lahan tersebut juga menyerap 16% emisi melalui proses asimilasi membentuk biomassa (IPCC 2007).

Isu kehutanan dan REDD+ merupakan topik penting dalam negosiasi dan implementasi Konvensi Perubahan Iklim. Konvensi Perubahan Iklim disahkan Majelis Umum PBB pada 1992 dalam KTT Bumi di Rio de Jeneiro. Tujuan utama konvensi perubahan iklim adalah stabilisasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir untuk mencegah pengaruh buruk GRK pada sistem iklim muka bumi. Keadaan tersebut harus dicapai dalam jangka waktu yang cukup sehingga memberikan kesempatan bagi sistem iklim untuk beradaptasi secara alamiah terhadap perubahan iklim (Murdiyarso 2003b). Saat ini terdapat 195 negara yang meratifikasi UNFCCC dan merupakan instrumen internasional kedua yang paling banyak diratifikasi oleh negara-negara di dunia, setelah Konvensi Vienna tentang lapisan ozon (UN 2012).

Salah satu hasil Konvensi Perubahan Iklim yang berlaku mengikat adalah Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol ini menyepakati tiga mekanisme yang disebut dengan mekanisme fleksibel untuk mencapai target konvensi perubahan iklim, yakni perdagangan emisi (Emission Trading – ET), implementasi bersama (Joint Implementation–JI) dan mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism – CDM). Tiga mekanisme ditujukan bagi negara maju yang secara historis mempunyai tanggung jawab emisi lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Protokol Kyoto mulai berlaku efektif dalam 5 tahun pertama, yakni 2008 – 2012.

Pada tahun 2010, Presiden RI dalam pertemuan G-20 di Pittsburg berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 % pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau sebesar 41% dengan bantuan pihak lain. Komitmen ini diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang


(15)

Moratorium/Penundaan Ijin Baru dan Perbaikan Pengelolaan Hutan Primer dan Lahan Gambut. Lebih lanjut, fokus penurunan GRK dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional penurunan emisi GRK (RAN GRK) dimana sektor kehutanan dan lahan gambut merupakan 87.6% dari total target.

Pasca 2012, COP telah menyepakati kelanjutan pemberlakuan Protokol Kyoto namun dengan kesadaran bahwa Protokol ini tidak cukup untuk menjawab dampak perubahan iklim. Karena itulah, pembicaraan solusi jangka panjang yang lebih meyakinkan masih terus menerus dilakukan hingga saat ini (Pustanling 2013). Sejak Konvensi Bali hingga COP 19 di Warsawa, telah menghasilkan 14 Keputusan COP tentang REDD+. Tujuh Keputusan telah memberikan arahan untuk membangun kesiapan (readiness) dan transisi. Tujuh lainnya adalah Keputusan yang dikeluarkan di Warsaw untuk memberikan arahan bagi negara berkembang yang berkomitmen melaksanakan REDD+ secara penuh (full implementation) (Masripatin 2013).

UNFCCC mempunyai struktur dasar pengambilan keputusan. Dalam upaya mencapai kesepakatan yang lebih berjangka panjang berdasarkan rekomendasi temuan ilmiah terbaru IPCC maka COP 13 di Bali menyepakati peta jalan (road map) dalam mengatasi perubahan iklim atau yang disebut dengan Bali

Road Map. Kesepakatan ini memberikan beban yang proporsional antara negara maju dan negara berkembang. Bali Road Map juga memberikan kontribusi penting menuju penyelesaian masalah perubahan iklim secara menyeluruh.

Komponen utamanya adalah “shared vision” atau visi bersama dalam menangani

isu perubahan iklim, yang pada intinya mengandung empat pilar utama kegiatan penanganan perubahan iklim atau sering disebut dengan “the four building blocks of BAP”, yaitu mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan. Keempat

pilar ini kemudian diperkuat dengan “capacity building” (Sukadri 2012).

REDD+ akan membutuhkan dana besar untuk memenuhi target pengurangan emisi. Pendanaan non-swasta, termasuk bantuan luar negeri sangat dibutuhkan untuk membangun kapasitas (kesiapan) demonstrasi, reformasi kebijakan dan kegiatan di wilayah beresiko tinggi dengan sistem pemerintah yang lemah. Tetapi, dengan adanya pasar karbon memungkinkan akses ke dana yang lebih besar. Dana ini bisa berasal dari penjualan kredit karbon secara langsung di pasar karbon wajib, atau dari dana yang dihasilkan melalui pelelangan izin emisi karbon, atau dari pajak atas perdagangan karbon (Angelsen dan Atmadja 2010).

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang memungkinkan terjadinya negosiasi antara penjual dan pembeli, namun mekanisme perdagangannya mengikuti peraturan yang ada dalam Protokol Kyoto. Penjual merupakan pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian, dimana karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan yang dikelola secara baik. Sedangkan pembeli adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer yang memiliki ketertarikan ataupun diwajibkan oleh hukum untuk meyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan (Wikipedia).

Dalam rangka mencapai target pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tersebut maka dibuatlah Strategi Nasional REDD+, yang cakupannya antara lain adalah: (1) penurunan laju deforestasi, (2) penurunan laju degradasi hutan, (3) peningkatan konservasi, dan (4) peningkatan cadangan karbon melalui pengelolaan hutan lestari dan pengayaan simpanan karbon.


(16)

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al. 2004).

Tiga kontribusi sektor kehutanan untuk mitigasi perubahan iklim, yaitu: (1) penyimpanan karbon dalam biomasa, (2) penyimpanan karbon dalam produk kayu, dan (3) sektor dimana kayu dapat mengurangi emisi CO2 (Pajot 2011).

Pengelola lahan hutan dapat menyerap lebih banyak karbon melalui pengelolaan hutan yang lebih intensif. Jika kita menganggap hutan sebagai pabrik yang memproduksi karbon maka tarif penyerapan lebih tinggi lebih baik. Kegiatan pengelolaan hutan seperti kontrol vegetatif dan perbaikan bibit akan meningkatkan produktivitas melalui peningkatan pertumbuhan (Lippke dan Perez-Garcia 2008)

Kegiatan penyerapan emisi GRK juga dilakukan oleh perusahaan tambang, melalui kegiatan revegetasi lahan pasca tambang dengan penanaman tanaman hutan. Revegetasi lahan pasca tambang secara umum bertujuan untuk memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak akibat kegiatan penambangan. Keberhasilan revegetasi ini sangat berhubungan dengan peningkatkan penyerapan cadangan karbon.

Dalam UU No.4 2009 dijelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Sedangkan, usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

PT. Aneka Tambang (ANTAM) merupakan salah satu perusahaan tambang besar yang ada di Indonesia. Salah satu anak perusahaannya yaitu Unit Bisnis Penambangan Emas (UBPE) Pongkor yang berada di Kabupaten Bogor, yang melaksanakan penambangan emas. Lokasi penambangan berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, maka PT. Antam Tbk UBPE Pongkor menggunakan sistem penambangan bawah tanah (underground mining), sehingga memperkecil kerusakan lahan permukaan.

Dalam pengelolaannya, PT ANTAM melakukan kegiatan pascatambang sesuai dengan UU No.4 tahun 2009 yang merupakan kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

PT. Antam Tbk UBPE Pongkor telah melaksanakan revegetasi di beberapa lokasi lahan pasca tambang di daerah Pongkor sejak tahun 2005. Kegiatan revegetasi yang dilakukan oleh PT. Antam Tbk UBPE dapat mengurangi dampak perubahan iklim dengan meningkatkan penyerapan karbon. Peningkatan


(17)

penyerapan cadangan karbon harus didukung oleh kepedulian semua pihak agar program ini mencapai keberhasilan.

Evaluasi kegiatan revegetasi lahan pasca tambang dalam hal penyerapan karbon masih belum banyak dilakukan, terutama kegiatan revegetasi yang dikaitkan dengan peluang perdagangan karbon. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk melihat berapa besar cadangan karbon sebagai bentuk penyerapan karbon dari hasil revegetasi lahan pasca tambang dan peluangnya dalam perdangan karbon yang dilakukan oleh PT ANTAM.

Perumusan Masalah

Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling berperan sebagai perangkap panas di atmosfer, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat drastis sejak dimulainya revolusi industri. Berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, CO2 di atmosfer meningkat sekitar 35% dari 284 ppm pada masa pra-revolusi industri (tahun 1832) menjadi 384 ppm pada tahun 2007 (National Oceanic and Atmospheric Administration 2007). Sekitar 67% dari peningkatan CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan 33% dari kegiatan penggunaan lahan, alih guna lahan dan hutan (land use, land use change and forestry, LULUCF).

Upaya menurunkan emisi BAU (business as usual) dengan skema REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan

stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan berdampak positif maupun negatif baik terhadap tutupan lahan, ekomoni masyarakat, pendapatan negara maupun pendapatan daerah.

Bentuk tanggung jawab PT. Antam Tbk UBPE Pongkor sebagai salah satu pihak yang terkait dengan pembukaan hutan untuk pertambangan, adalah dengan melakukan revegetasi lahan pasca tambang. Revegetasi merupakan kegiatan menanam kembali lahan pasca tambang (Dephut 1997). Menurut Setiadi (1993), tujuan dari revegetasi adalah mengembalikan komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan adalah:

1. Berapa jumlah biomassa dan stok karbon di kawasan revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor?

2. Bagaimana kelayakan finansial kegiatan revegetasi di PT. Antam Tbk UBPE Pongkor dalam mekanisme carbon trade?


(18)

Kerangka Pemikiran

Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada Pasal 96 bagian C disebutkan Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang. Juga pada pasal 99 yang menyebutkan bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan pemohonan IUP Operasi Produksi dan atau IUPK Operasi Produksi

(ayat 1), Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang (ayat 2) juga pada Pasal 100 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan rreklamasi dan dana jaminan pascatambang.

Reklamasi lahan pasca tambang bertujuan untuk mengembalikan potensi kayu yang dulu pernah ada. Untuk mengembalikan lahan pasca tambang dibutuhkan biaya, karena ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan dari mulai biaya pemindahan tanah, biaya persemaian dan penanaman serta biaya pemeliharaan.

Kelayakan finansial usaha lahan pasca tambang dalam pembangunan kembali lahan dapat dilihat dari nilai NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), apakah bersifat positif atau negatif. Dalam hal kelayakan finansial disini bisa dihitung dari pemanfaatan jasa carbon stock yang bertujuan untuk meningkatkan income atau mengganti biaya yang dikeluarkan pada kegiatan pembangunan lahan pasca tambang. Pada perhitungan carbon stock, penting untuk menentukan skema perdagangan carbon stock yang diterapkan, karena akan bergantung pada harga dan nilai pendapatan yang akan menentukan dalam kelayakan finansial usaha pada lahan pasca tambang. Jika dalam kenyataannya biaya dari hasil pemanfaatan jasa carbon stock belum memenuhi kelayakan finansial secara signifikan, maka pemanfaatan kayu di areal lahan pasca tambang bisa dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan status kawasan yang ada. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana kegiatan revegetasi lahan pasca tambang yang dilaksanakan PT. Antam Tbk UBPE Pongkor ini berjalan baik dan dengan biaya yang seminimal mungkin, untuk mencapai tujuan utama maka dilaksanakan tujuan-tujuan dibawah ini:

1. Mengestimasi kandungan karbon di areal lahan revegetasi pasca tambang PT. Antam Tbk UBPE Pongkor.

2. Menganalisis kelayakan finansial revegetasi lahan pasca tambang di PT. Antam Tbk UBPE Pongkor dalam mekanisme Carbon Trade.


(19)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai potensi biomassa dan karbon pada areal revegetasi lahan pasca tambang PT. Antam

Tbk UBPE Pongkor, menjadikan contoh revegetasi lahan pasca tambang sebagai salah satu produk unggulan pengelolaan lingkungan, serta sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan carbon trade.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Reklamasi Lahan pasca tambang

Potensi kayu per/Ha

Kelayakan Finansial Usaha Lahan pasca

tambang

Harga Kayu Riap

pertumbuhan

Pemanfaatan Kayu Lahan Pasca

tambang

Pemanfaatan jasa C-stock untuk meningkatkan income Lahan reklamasi

Biaya pembangunan

Penambahan Nilai Fungsi Penentuan

baseline C-stock

Skema Perdagangan C yg

diterapkan

Harga C Rp/ton yg sesuai agar NPV,

IRR, Lahan Reklamasi bernilai


(20)

2 ANALISIS CADANGAN KARBON

Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang diantaranya disebabkan oleh kegiatan manusia dari penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan lainnya yang bisa menjadi sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2), kontribusi terbesar berasal dari negara-negara industri. Secara umum, iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 30 sampai 100 tahun. Jadi berbeda dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam waktu yang sangat panjang.

Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam kurun waktu yang cukup panjang antara 30 sampai 100 tahun. Gas-gas yang menghasilkan efek rumah kaca disebut gas rumah kaca/GRK, diantaranya karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methane (CH4), sulfurheksaflrourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan (Panjiwibowo et al. 2003).

Beberapa penyebab timbulnya perubahan iklim global yang dianggap sangat serius saat ini adalah naiknya kadar karbon dioksida (CO2) dan CFC (Chlorofluorocarbon) yang berasal dari bahan penyemprot, bahan alat pendingin, asap knalpot mesin, industri, pembakaran kayu/hutan, perubahan tataguna lahan (land use change), dan berbagai aktivitas manusia di bumi yang kesemuanya dapat berakibat terbentuknya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang dapat berperan sebagai perangkap panas di atmosfer, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim (Heriansyah 2005).

Biomassa atau standing crop adalah berat bahan organik per unit area yang ada dalam ekosistem pada paruh waktu tertentu. Biomassa umumnya dinyatakan dalam satuan berat kering (dry weight) dan kadang dinyatakan dalam

ash free dry weight (Chapman 1976). Sementara Brown (1997) menyatakan bahwa biomassa adalah jumlah total materi organik pohon yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal. Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas tanah (above ground biomass) dan biomassa bawah tanah (below ground biomass) (Kusmana 1993).

Karbon merupakan komponen penting dalam penyusunan biomassa tanaman yang dilakukan di dalam proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% dari biomassa tumbuhan sehingga karbon dapat diduga dari setengah jumlah biomassa (Brown dan Gaston dalam Salim 2005). Meningkatnya jumlah karbon di atmosfer menyebabkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon,


(21)

sehingga para ilmuwan meneliti kandungan karbon yang tersimpan di dalam hutan (Salim 2005).

Dari perspektif manajemen hutan, ada kebutuhan untuk mempertimbangkan sektor kehutanan secara keseluruhan dan interaksi antara agen, dari pengelola hutan untuk melihat pabrik dan pengguna akhir. Hutan harus dianggap sebagai pabrik karbon memberikan dengan cara tercepat jumlah terbesar karbon untuk gergaji miller, seperti yang dijelaskan dalam Lippke dan Perez-Garcia (2008). Kayu akan harus diproduksi sedemikian rupa bahwa karbon dapat disimpan untuk waktu yang lama, dan digunakan dalam sektor mana itu bisa menggantikan emisi karbon. Ini adalah bagaimana hutan dapat memaksimalkan kontribusi mereka untuk perlindungan iklim (Pajot 2011).

Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam yang didominasi oleh vegetasi tumbuhan berkayu yang menempati areal yang cukup luas sehingga dapat bertindak sebagai pembersih udara dengan menyerap CO2 di atmosfer melalui proses fotosintesis. Pohon (dan organisme fototrof lainnya) melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun akar, umbi buah dan lain-lain (Pambudi 2011).

Proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh tanaman hidup disebut proses sekuestrasi (C-sequestration) (Hairiah dan Rahayu 2007). Energi yang diubah oleh fotosintesis tidak seluruhnya dikonversi ke biomassa, namun sebagian dibebaskan oleh proses respirasi untuk menyuplai energi yang digunakan sebagai aktivitas metabolisme. Jumlah energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia (senyawa organik) oleh organisme autotrof suatu ekosistem selama satu periode waktu tertentu disebut produktivitas primer. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua produktivitas tersebut disimpan sebagai bahan organik pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena tumbuhan menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar dalam respirasi selulernya. Dengan demikian, produktivitas primer kotor (GPP) adalah produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) ditambah dengan jumlah respirasi oleh tumbuhan (∑ R). Jumlah respirasi terdiri dari respirasi dari batang, akar, dan daun yang kemudian disusun dalam persamaan sebagai berikut (Pretzsh 2009): GPP = NPP + ∑ R

Penyimpanan karbon pada vegetasi hutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu diantaranya iklim, topografi, karakteristik lahan, komposisi dan jenis tanaman dan perbedaan siklus pertumbuhan tanaman. Sedangkan proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya intensitas pemanenan hutan serta proses dekomposisi (Rusolono 2006).

Tempat penyimpanan karbon adalah biomassa (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (necromass) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di udara dan di air diubah menjadi molekul C6H12O6 dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energi (Gardner et al. 1991).


(22)

Sumber karbon (Carbon Pool) dikelompokkan menjadi 3 kategori utama, yaitu biomasa hidup, bahan organik mati dan karbon tanah IPCC (2006). Biomasa hidup dipilah menjadi 2 bagian yaitu Biomasa Atas Permukaan (BAP) dan Biomasa Bawah Permukaan (BBP). Sedangkan bahan organik mati dikelompokkan menjadi 2 yaitu: kayu mati dan serasah. Sehingga, secara keseluruhan IPCC menetapkan 5 sumber karbon hutan yang perlu dihitung dalam upaya penurunan emisi akibat perubahan tutupan lahan. Seperti disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sumber karbon berdasarkan IPCC Guidelines (2006)

Sumber Penjelasan

Biomasa Atas

Permukaan

Semua biomasa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal. Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan.

Bawah Tanah Semua biomasa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan serasah.

Bahan Organik Mati atau Nekromasa

Kayu mati Semua biomasa kayu mati, baik yang masih tegak, rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm.

Serasah Semua biomasa mati dengan ukuran > 2 mm dan diameter kurang dari sama dengan 10 cm. rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi

Tanah Bahan

Organik Tanah

Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah mineral). Termasuk akar dan serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm. karena sulit dibedakan.

Dalam penelitian ini, hanya dilaksanakan pada sumber biomassa diatas perrmukaan tanah atau above ground, karena kawasan PT. Antam Tbk UPBPE tidak memperbolehkan adanya penebangan. Untuk pendugaan karbon bagi proyek penghindaran deforestasi, biomasa atas-permukaan merupakan sumber karbon (carbon pool) penting yang harus diukur. Tingginya laju perubahan kandungan karbon juga menjadi kriteria penting di dalam menentukan sumber karbon yang harus diukur. Sumber karbon menurut kepentingan dari tipe project seperti pada Tabel 2.


(23)

Tabel 2. Sumber karbon penting disesuaikan dengan tipe project

Tipe Project

Sumber Karbon Biomasa

Atas

Biomasa

Bawah Serasah

Kayu

Mati Tanah Penghindaran

Deforestasi

*** *** *** *** ***

Aforestasi dan Reforestasi

*** ** * * ***

Lahan Bioenergi

*** *** * - ***

Pengelolaan Hutan Lestari

*** * * * *

Hutan

Kemasyarakatan

*** - - - **

Agroforestry *** * - - *

Sumber: Ravrindranath and Ostwald 2008.

Ket: * = penting (semakin banyak bintang semakin penting) - = tidak penting

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di PT. Antam Tbk UBPE Pongkor, yang terletak di Gunung Pongkor, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada lahan revegetasi PT. ANTAM. Kegiatan dilakukan selama 4 bulan (Januari - April 2013). Lokasi kegiatan PT. Antam Tbk UBPE Pongkor bisa dilihat pada Gambar 2.


(24)

Bahan dan alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa tegakan pohon, serasah, nekromasa dan tumbuhan bawah, yang ada di areal revegetasi lahan pasca tambang PT. Antam Tbk UBPE Pongkor. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penanaman, Global Positioning System (GPS), kompas, meteran, haga hypsometer, tongkat, kantong plastik, kertas label, dan timbangan.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pengukuran di lapangan, terhadap parameter sebagai berikut:

1. Diameter tegakan diukur setinggi dada (130 cm). 2. Tinggi pohon.

3. Tumbuhan bawah (kg). 4. Serasah (kg).

5. Nekromasa (kg). Data sekunder meliputi :

1. Keadaan umum lokasi penelitian.

2. Data mengenai analisis cadangan karbon disertai analisis biaya mengenai kegiatan reklamasi pada lahan pasca tambang.

3. Wood Density Database.

Cara untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, yaitu melalui:

1. Pengukuran dan pengamatan langsung/observasi lapangan.

2. Studi pustaka, yaitu pengumpulan data berdasarkan literatur, laporan, hasil penelitian terdahulu, serta media elektronik yang membahas topik penelitian.

Metode Kerja Tahap persiapan

Kegiatan persiapan merupakan kegiatan untuk mempersiapkan pelaksanaan kegiatan penghitungan biomassa dan karbon, yaitu: 1) penyiapan data penunjang, meliputi data awal lokasi yang telah ditetapkan oleh PT. Antam Tbk UBPE pongkor, data penunjang seperti peta lokasi penanaman, topografi, peta umur tanaman revegetasi dan penunjang lainnya, dan 2) penyiapan peralatan yang diperlukan untuk pengukuran diameter dan tinggi untuk membantu perhitungan biomassa dan karbon, baik data sekunder maupun primer hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan.

Identifikasilokasi

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh pada tahap persiapan, maka dilakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi di lokasi penelitian. Jenis


(25)

data yang diidentifikasi dan diinventarisir meliputi data topografi, jenis dan umur tanaman.

Pembuatan plot penelitian

Bentuk plot yang digunakan dalam penelitian ini adalah bujur sangkar dan persegi panjang, bentuk plot disesuaikan pada keadaan lapangan. Pembuatan plot dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) pembuatan plot berbentuk bujur sangkar berukuran 20 m x 20 m = 400 m untuk lokasi revegetasi yang berbentuk hamparan dan berbentuk persegi panjang 5 m x 80 m atau 10 m x 40 m untuk areal revegetasi dengan kondisi lebar luasan yang jauh lebih kecil daripada panjang luasan, 2) pada setiap sudut plot dibuat sub plot dengan ukuran 1 m x 1 m untuk mengukur biomassa serasah dan nekromassa (Gambar 3).

Cluster plot Forest Health Monitoring (FHM) pada dasarnya digunakan sebagai plot pemantauan kesehatan dari suatu tegakan. Tetapi selain itu, cluster

plot FHM juga bisa digunakan dalam penghitungan biomassa dan karbon dari suatu tegakan. Satu plot cluster terdiri dari empat buah sub plot/annular. Setiap plot memiliki jari-jari 7.32 m untuk sub plot dan 17.95 m untuk plot annular. Keunggulan plot ini adalah pemantauan biomassa dan karbon tanaman dapat terpantau secara berkelanjutan. Hal ini dikarenakan plot FHM dapat dijadikan sebagai plot pengamatan permanen. Plot FHM ini hanya dibuat pada areal Arboretum, seperti kita ketahui Arboretum adalah suatu tempat yang digunakan untuk mengumpulkan atau mengoleksi tanaman atau tumbuhan atau disebut juga

Botanical Garden (kebun botani) atau hutan buatan yang ditujukan untuk tempat pelestarian dan penelitian. Seperti pada Gambar 4.

Perhitungan analisis vegetasi 1. Indeks Nilai Penting (INP)

Analisis vegetasi adalah cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi di dalam suatu ekosistem (Soerianegara dan Indrawan 1998). Di dalam analisis vegetasi dilakukan penghitungan Indeks Nilai Penting (INP).

Menurut Odum (1971), INP merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi Relatif (DR).

(a) (b)

20 m 20 m

40 atau 80 m 5 atau 10 m

1 m 1 m


(26)

INP = KR + FR + DR

INP untuk pohon dan tiang = KR + FR + DR

INP untuk semai, pancang dan tumbuhan bawah = KR + FR Dimana,

Kerapatan suatu species (K):

= Jumlah individu suatu species/Luas petak contoh Kerapatan relatif (KR):

= Kerapatan suatu species/Kerapatan seluruh species x 100 % Frekuensi suatu species (F):

= Jumlah petak ditemukan suatu jenis/luas seluruh petak contoh Frekuensi relatif (FR):

= Jumlah petak ditemukan suatu jenis/luas seluruh petak contoh x 100 % Dominasi suatu species (D):

= Luas bidang dasar suatu species/luas petak contoh Dominasi relatif (DR)

= Dominasi suatu species/Dominasi seluruh species x 100 %

2. Kekayaan jenis (Species Richness)

Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Untuk mengukur kekayaan jenis digunakan rumus Margalef (Ludwig dan Reynolds 1988), yaitu: R = (S-1)/(ln(n))

Dimana, R = Indeks kekayaan

S = Jumlah jenis yang ditemukan n = Jumlah total individu

Jarak antara tiap titik pusat plot :

120’ (36.6 m)

Microplot (Jari-jari 6.8’ (2.07 m)

azimuth 900

dari titik pusat subplot (3.66 m))

Annular Plot (Jari-jari 58.9’ (17.95

m)) Subplot

(Jari-jari 24.0’

(7.32 m))

Azimuth 1-2 3600

Azimuth 1-3 1200

Azimuth 1-4 2400

1

3 4

2

Titik sampling tanah 1

Titik sampling tanah 2 Titik sampling

tanah 3


(27)

3. Keanekaragaman jenis (H’)

Keanekaragaman jenis digunakan untuk membandingkan dua komunitas, mempelajari pengaruh gangguan biotik dan mengetahui tingkat suksesi. Perubahan keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Weiner (Ludwig dan Reynolds 1988), yaitu:

H’ = - ∑ (ni/N) x log (ni/N)

Dimana, H’= Indeks keragaman N= Jumlah seluruh individu

ni= Jumlah individu dalam suatu jenis dalam petak contoh 4. Kemerataan (evenness)

Konsep kemerataan menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar setiap species. Ukuran kemerataan merupakan indikator gejala dominansi antar jenis dalam komunitas. Jika tiap jenis mempunyai jumlah individu sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai maksimum, sedangkan jika dalam suatu komunitas terdapat species dominan atau sub dominan, maka nilai kemerataan mempunyai nilai minimal. Rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Evenness (Ludwig dan Reynolds 1988), yaitu: E= H’/(ln (S))

Dimana, E = Nilai evenness (0-1)

H ’ = Indeks keragaman Shannon-Weiner S = ∑ seluruh species dalam suatu komunitas

Perhitungan biomassa tegakan

Perhitungan biomassa tegakan dilakukan dengan cara mengumpulkan data dasar (diameter dan tinggi total) dari pohon yang berdiameter (DBH > 2 cm) pada setiap pohon di setiap plot. Selanjutnya dilakukan penghitungan biomassa dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Biomassa

62 , 2 11

.

0 p D

w  

Dimana :

W = Biomassa (kg/pohon),

p = massa jenis pohon (g/cm3) yang didapat dari literatur D = diameter setinggi dada (130 cm).

Perhitungan biomassa tumbuhan bawah

Menurut Hairiah et al. (2011), perhitungan biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Perhitungan biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) pembuatan empat plot berukuran 1 m x 1 m untuk perhitungan biomassa tumbuhan bawah, 2) Seluruh tumbuhan bawah yang terdapat di dalam plot diambil kemudian dipisahkan antara daun dan batang, dimasukkan ke dalam kantong dan diberi label sesuai kode sub plotnya 3) masing-masing bagian ditimbang untuk menentukan berat basahnya, dan 4) contoh masing-masing bagian tumbuhan seberat 200 gram dari setiap lokasi diambil untuk dioven selama


(28)

24 jam dengan suhu 105 °C. Hasil pengukuran bobot contoh yang telah dioven merupakan Berat Kering Tanur/biomassa.

Perhitungan biomassa serasah dan nekromassa

Perhitungan biomassa serasah dan nekromassa dilakukan dengan dengan cara sebagai berikut: 1) semua serasah dan nekromassa yang terdapat di dalam subplot 1 m x 1 m dikumpulkan dan ditimbang, 2) contoh serasah dan nekromassa masing-masing diambil sebanyak 200 gram dan kemudian ditempatkan di dalam kantong plastik yang sudah diberi label berdasarkan lokasi pengambilan, 3) jika ditemukan bagian dari pohon yang telah jatuh dalam subplot 1 m x 1 m, maka bagian tersebut ditimbang dan diambil 200 gram, dan 4) contoh yang telah diambil tersebut dioven selama 24 jam dengan suhu 105°C untuk memperoleh nilai biomassa (Hairiah et al. 2011).

Total berat kering tumbuhan bawah dihitung dengan rumus sebagai berikut:

BK subcontoh (g)

Total BK (g) = --- X Total BB (g) BB subcontoh (g)

dimana, BK = berat kering dan BB = berat basah (Hairiah et al. 2011).

Perhitungan Potensi karbon

Jumlah karbon yang tersimpan dari tegakan, tumbuhan bawah, serasah maupun nekromassa dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

C = biomassa (kg/ha) x 0.46 (IPCC 2006) Klasifikasi semai, pancang, tiang dan pohon:

1. Semai, tinggi sampai 1.5 m

2. Pancang, diameter <10 cm, tinggi > 1.5 m 3. Tiang, diameter diameter 10-<20 cm 4. Pohon, diameter ≥20 cm

Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum PT. Antam Tbk UBPE Pongkor

Hampir sebagian besar wilayah eksplorasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor termasuk ke dalam Kelurahan Nanggung, Desa Kalong Liud, Desa Pangkal Jaya, Desa Bantar Karet, Desa Cisarua, Desa Malasari, Kecamatan Leuwiliang. Sebagian kecil wilayah eksplorasi yaitu di Kecamatan Sukajaya, Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten Sukabumi.


(29)

Letak Wilayah

PT. Antam Tbk UBPE Pongkor adalah sebuah perusahaan pertambangan yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi mineral logam di Indonesia. Saham terbesar dimiliki oleh Negara, yaitu 65% dan 35% dimiliki oleh Publik. Salah satu komoditas Andalan PT Antam Tbk UBPE Pongkor adalah emas. Proses produksi dan pengolahan emas terletak di Cikotok, Jawa Barat dan di Gunung Pongkor Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Namun cadangan emas di Cikotok telah habis, sehingga kini Cikotok dijadikan tempat pengolahan bijih emas saja dan PT Antam Tbk lebih memfokuskan proses produksi dan pengolahan emas di Gunung Pongkor. Tambang Emas Pongkor ini adalah tambang emas kedua setelah Cikotok yang dimiliki oleh PT Antam.

Tambang Emas Pongkor adalah tambang Bangsa Indonesia yang ditemukan oleh putra-putra terbaik bangsa Indonesia dan dikelola oleh putra-putri bangsa Indonesia. Proyek PT Antam Tbk UBPE Pongkor mulai dibuka tahun 1991-1992 dan mulai produksi pada tahun 1994. Wilayah kuasa pertambangan PT Antam Tbk UBPE Pongkor dikelola sesuai SK Menteri Pertambangan N0. 375. K/7401/078/2000, tanggal satu Agustus tahun 2000 dan berlaku sampai dengan tahun 2020, dengan luas wilayah eksplorasi 6 047 ha, yang didalamnya terdapat kawasan; Taman Nasional seluas 1 995 Hektar atau 32.99 %, Perhutani seluas 2 025 ha atau 33.48 %, Perkebunan Teh Nirmala seluas 375 ha atau 6.20 %, dan Masyarakat seluas 1 652 ha atau 27.33 %.

PT Aneka Tambang Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Pongkor terletak di salah satu kawasan yang dikenal dengan Gunung Pongkor, Desa Nunggul, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Daerah ini memiliki jarak sekitar 54 Km ke arah barat daya dari kota Bogor. Secara geografis, PT. Antam Tbk UBPE Pongkor terletak pada 6°36’37,2” - 6°48’11,0” LS dan 106°30’01,0” - 106°35’38,0” BT dengan ketinggian antara 400 – 1 800 mdpl serta memiliki suhu maksimum 33 °C dan suhu minimum 22 °C dengan curah hujan tahunan yang mencapai rata-rata 3 000 – 3 500 mm. Ditinjau dari segi topografi, wilayah PT. Antam Tbk UBPE Pongkor berupa daerah pegunungan di sebelah selatan dan dataran rendah di sebelah barat.

Topografi Desa Bantar Karet berupa wilayah berbukit-bukit terjal, dengan batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara: Desa Pangkal Jaya

 Sebelah Selatan: Desa Pasir Peuteuy, Kabupaten Sukabumi  Sebelah Barat: Desa Cisarua

 Sebelah Timur: Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang Kegiatan Pertambangan

Kegiatan dalam usaha pertambangan PT. Antam Tbk UBPE pongkor

mencakup penambangan dan pengolahan, termasuk didalamnya adalah pengelolaan limbah. Misi utama PT Antam Tbk UBPE Pongkor adalah :

1. Menghasilkan produk berkualitas, mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja serta memperhatikan lingkungan.


(30)

2. Beroperasi secara efisien, dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. PT. Antam Tbk UBPE Pongkor telah mengantongi beberapa penghargaan dalam kegiatan bisnisnya, antara lain yaitu dalam aktivitas untuk profesionalismenya PT. Antam Tbk UBPE pongkor memperoleh penghargaan mutu kerja ISO 9 000, dan untuk pengendalian lingkungan, PT. Antam Tbk UBPE Pongkor mendapatkan ISO 14 000, serta berkenaan dengan pengelolaan lingkungan dan pengembangan masyarakat, oleh kementrian Lingkungan hidup, Proper PT. Antam Tbk UBPE Pongkor yang semula Biru naik menjadi Proper Hijau (Dokumentasi PT. Antam).

Analisa Vegetasi pada Areal Revegetasi Lahan Pasca Tambang 1. Vegetasi tingkat pohon

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada areal revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor terdapat 18 jenis pohon yaitu: Akasia (Acacia mangium), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Eukaliptus (Eucaliptus pelita, Eucaliptus deglupta dan Eucaliptus urophilla), Gmelina (Gmelina arborea), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Kisireum (Eugenia cymosa), Sonokeling (Dalbergia latifolia), Nangka (Artocarpus heterophylus), Malotus, Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima wallichii), Rambutan (Nephelium lappaceum),

Macaranga (Macaranga gigantea)dan Waru (Hibiscus sp.). Hasil analisa vegetasi tingkat pohon diperoleh kerapatan sebesar 1.79 – 48.21 Individu/ha; kerapatan relatif berkisar antara 0.99 – 26.73 %; frekuensi sebesar 0.07- 0.29; frekuensi relatif sebesar 3.70 – 14.81; dominasi sebesar 0.07 – 4.19 individu/ha; dominasi relatif sebesar 0.47 – 34.74 % dan INP sebesar 5.16 – 76.29 %. Untuk komposisi jenis di setiap lokasi areal revegetasi bisa dilihat pada Tabel 3. Di antara jenis vegetasi yang ditanam di areal revegetasi, terdapat jenis eksotik, yaitu: Sonokeling (Dalbergia latifolia) dan Kayu Afrika (Maesopsis eminii), dan jenis lokal, yaitu: Gmelina (Gmelina arborea), Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Puspa (Schima wallichii).

Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa jenis dominan untuk tingkat pohon adalah Acacia mangium dengan INP 76.29%; dan Gmelina arborea dengan INP 51.38%. Keduanya merupakan jenis eksotik. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis vegetasi tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 4.

Penggunaan jenis eksotik dalam kegiatan revegetasi lahan pasca tambang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Beberapa jenis eksotik dapat mengokupasi dan menginvasi lahan karena kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi, seperti jenis Acacia mangium dan Maesopsis eminii. Oleh karena itu, penggunaan jenis lokal, seperti Schima Walichii akan lebih baik dalam menjaga keseimbangan lingkungan setempat.

Kekayaan jenis pohon yang diukur dengan indeks kekayaan (Margalef dalam Ludwig dan Reinolds 1988) menunjukkan angka sebesar 3.46 masuk kategori rendah; Keanekaragaman jenis pohon ditentukan dengan rumus Shannon-Wiener didapatkan sebesar 2.06 termasuk kategori sedang dan kemerataan (evenness) pohon didapatkan nilai kemerataan sebesar 0.86 masuk kategori tinggi.


(31)

(32)

si j enis tum buha n di seti

ap lokasi ar

ea l r eve ge tasi P T. A nta m Tbk U B P E pon g kor . Luasan (Ha) Acacia mangium Artocarpus heterophylus Alseodaphne spp Adenanthera sp Agathis dammara Actinodaphne procera Albasia falcataria Alstonia scholaris Altingea excelsa Anthocepphalus chinensis Calliandra calothyrsus Callophyllum sp Cassia siamea Cinnamomum parthenoxylon Cinnamomum zeylanicum Dalbergia latifolia Dillenia obovata Durio zibethinus Elaeocarpus sphaericus Eucaliptus deglupta Eucaliptus pelita Eucaliptus urophylla Ficus annulata Ficus benjamina Ficus sp Ficus variegata Gmelina arborea Hibiscus sp Lithocarpus sundaicus Litsea resinosa Litsea umbellata Macaranga gigantea Macaranga rhizionoides Maesopsis eminii Mallotus barbatus Mallotus blumeanus Melastoma Melastoma malabathtricum Michelia montana Nephelium lappaceum Pakis purba Paraserienthes falcataria Persea odoratissima Pinus merkusii Podocarpus nerifolius Schima waliichii Shorea stenoptera Shorea leprosula Syzigium gracile Trema orientalis 4.6 8 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3.3 3 √ √ √ √ 2.2 3 √ √ 2.4 0 √ √ √ 2.1 2 √ √ √ 2.9 2 √ √ √ √ √ √ √ 0.8 0 √ √ √ √ 1.0 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1.7 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3.9 8 √ √ 9.7 2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 7.3 7 √ √ √ √ √ √ √ 2.9 4 √ √


(33)

Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di areal revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor

Nama Jenis Nama Ilmiah K

(ind/ha) KR

(%) F

FR (%)

D

(m2/ha)

DR (%) INP % Akasia Acacia

mangium 48.21 26.73 0.29 14.81 4.19 34.74 76.29

Eukaliptus

Eucalyptus

deglupta 10.71 5.94 0.07 3.70 0.48 3.99 13.63

Eukaliptus

Eucalyptus

pelita 12.50 6.93 0.07 3.70 0.55 4.53 15.16

Eukaliptus

Eucalyptus

urophylla 14.29 7.92 0.07 3.70 0.76 6.32 17.94

Gmelina

Gmelina

arborea 35.71 19.80 0.21 11.11 2.47 20.47 51.38

Kayuafrika

Maesopsis

eminii 1.79 0.99 0.07 3.70 0.06 0.48 5.18

Kaliandra

Calliandra

calothyrsus 8.93 4.95 0.21 11.11 0.40 3.29 19.35

Ki sireum Eugenia cymosa 1.79 0.99 0.07 3.70 0.06 0.47 5.16

Macaranga

Macaranga

gigantea 1.79 0.99 0.07 3.70 0.07 0.61 5.30

Malotus

Mallotus

tiliifolius 1.79 0.99 0.07 3.70 0.08 0.66 5.35

Nangka

Artocarpus

heterophyllus 1.79 0.99 0.07 3.70 0.13 1.04 5.73

Pinus Pinus merkusii 3.57 1.98 0.07 3.70 0.15 1.27 6.95

Puspa Schima waliichii 1.79 0.99 0.07 3.70 0.07 0.54 5.24

Rambutan

Nephelium

lappaceum 1.79 0.99 0.07 3.70 0.22 1.84 6.53

Sengon

Paraserianthes

falcataria 17.86 9.90 0.21 11.11 1.57 13.03 34.04

Sonokeling

Dalbergia

latifolia 8.93 4.95 0.07 3.70 0.40 3.32 11.98

Trema Trema orientalis 1.79 0.99 0.07 3.70 0.20 1.64 6.33

Waru Hibiscus sp. 5.36 2.97 0.07 3.70 0.21 1.77 8.44

Jumlah 180.36 100.00 1.93 100.00 12.07 100.00 300.00

Keterangan : K:Kerapatan, KR:Kerapatan Relatif, F:Frekuensi, FR:Frekuensi relatif, D:Dominansi, INP:Indeks Nilai Penting

Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto 1994). Konsep ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang timbul. Secara garis besar keanekaragaman jenis dapat diukur berdasarkan indeks kekayaan, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan yang menandakan pembagian individu yang merata.

Indeks kemerataan merupakan ukuran keseimbangan antara suatu komunitas satu dengan lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah jenis yang ada dalam komunitas tersebut (Ludwig dan Reynolds 1988) semakin tinggi nilai keanekaragaman jenis dia suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya akan semakin tinggi, seperti ditunjukkan Tabel 5.


(34)

Tabel 5. Hasil analisis indeks biodiversitas tingkat pohon, pancang dan tiang di areal revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor

Tingkat Vegetasi

Indeks Biodiversitas Indeks keanekaragaman

Shannon-Wiener (H')

Indeks Kekayaan Margalef (R)

indeks kemerataan

(E)

Pancang 1.01 1.12 0.92

Tiang 1.50 2.17 0.84

Pohon 2.06 3.46 0.86

2. Vegetasi Tingkat Tiang

Berdasarkan hasil analisa vegetasi tingkat tiang diperoleh kerapatan sebesar 1.79–60.71 Individu/ha dengan rata-rata sebesar 12.57 individu/ha; kerapatan relatif sebesar 0.53 – 17.89 %; frekuensi sebesar 0.07 – 0.43; frekuensi relatif sebesar 2.38 % - 14.29; dominasi sebesar 0.01 – 1.05 individu/ha; dominasi relatif sebesar 0.31 – 18.92 % dan INP sebesar 3.18 – 39.19 %. Berdasarkan hasil analisis vegetasi hutan sekunder diketahui bahwa jenis dominan antara lain untuk tingkat tiang adalah sonokeling dengan INP 39.19 %; dan kaliandra dengan INP 38.16 %.

Kekayaan jenis tingkat tiang pada hutan sekunder diukur dengan indeks kekayaan (Margalef dalam Ludwig dan Reinolds 1988) menunjukkan angka sebesar 2.17 masuk kategori rendah; Keanekaragaman jenis tingkat tiang yang ditentukan dengan rumus Shannon-Wiener didapatkan sebesar 1.5 masuk kategori rendah dan kemerataan (evenness) pohon hutan sekunder didapatkan nilai kemerataan sebesar 0.84 masuk kategori tinggi.

3. Vegetasi Tingkat Pancang

Berdasarkan hasil analisis vegetasi untuk tingkat pancang, nilai analisa vegetasi diperoleh kerapatan sebesar 1.79 – 500 Individu/ha dengan rata-rata sebesar 21.86 individu/ha; kerapatan relatif sebesar 0.18 – 49.73 %; frekuensi sebesar 0.07 - 0.21 ; frekuensi relatif sebesar 1.39 – 59.46 %; dan INP sebesar 1.57 – 59.46 %. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pancang diketahui bahwa jenis dominan antara lain untuk tingkat pancang adalah kaliandra dengan INP 59.46 %; huu dengan INP 4.0 % dan yang paling kecil adalah kopi 1.57.

Kekayaan jenis tingkat pancang pada areal revegetasi yang diukur dengan indeks kekayaan (Margalef dalam Ludwig dan Reinolds 1988) menunjukkan angka sebesar 1.12 termasuk kategori rendah; Keanekaragaman jenis pohon hutan alam yang ditentukan dengan rumus Shannon-Wiener didapatkan sebesar 1.01 termasuk kategori rendah dan kemerataan (evenness) pohon hutan sekunder didapatkan nilai kemerataan sebesar 0.92 termasuk kategori tinggi.

4. Kerapatan Tegakan

Kondisi kerapatan pada setiap tingkat tegakan menunjukkan bahwa secara umum komposisi vegetasi di areal reklamasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor telah menunjukkan arah suksesi yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah


(35)

pancang yang cukup besar dengan komposisi yang baik antara pancang, tiang dan pohon. Komposisi pancang yang kurang dari tiang dan pohon hanya ditemukan di Cikabayan yang didominasi oleh tegakan berusia tua. Jumlah individu tegakan atau kerapatan tegakan pada tingkat pancang, tiang dan pohon di areal reklamasi yang diamati disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kerapatan tegakan di areal revegetasi

Lokasi N/ha

Pohon Tiang Pancang

Arboretum 63 500 1 175

Brantas 525 400 50

Cikabayan 450 50 0

Cimahpar 50 175 100

Ciurug Level 600 200 125 275

Ciurug Level 700 200 175 650

Dam Fatmawati 125 275 2 150

Bawah Conveyor 50 13 25

Gudang Handak 100 800 2 700

Kubang Cicau 0 338 325

Pasir jawa 175 450 800

Pondok batu 325 375 1 700

Pongkor Ciurug 74 519 1 901

Biomassa dan Stok Karbon di Kawasan Revegetasi a. Kandungan Biomassa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biomassa pada setiap lokasi areal revegetasi adalah sebesar 70 ton/ha.Biomassa yang diukur dalam penelitian ini adalah biomassa yang terdapat di atas permukaan tanah, yaitu tegakan, tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa. Kandungan biomassa di atas permukaan dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan data yang disajikan Tabel 7, dapat dilihat bahwa lokasi areal revegetasi Bawah Conveyor memiliki nilai rata-rata biomassa tegakan yang paling besar, yaitu 243.70 ton/ha. Sedangkan lokasi dengan kandungan biomassa terkecil terdapat di Pondok Batu dengan nilai rata-rata biomassa sebesar 8.05 ton/ha. Menurut Satoo dan Madgwick (1982), umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas tempat tumbuh juga mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan. Pernyataan ini terbukti dengan melihat komposisi dan struktur tegakan dari setiap lokasi pengambilan contoh. Komposisi tegakan di areal revegetasi Bawah Conveyor mempunyai diameter yang tergolong besar, sehingga mempunyai kandungan biomasa yang tinggi, didalamnya terdapat vegetasi dengan tipe pohon, tipe pancang dan tipe tiang. Areal Bawah Conveyor didominasi oleh jenis Anthocephalus chinensis, Ficus variegata, Altingea excelsa, dan Maesopsis eminii yang memang memiliki nilai kerapatan jenis cukup besar sehingga sangat mempengaruhi jumlah kandungan biomassa yang dimiliki oleh masing-masing vegetasi. Sedangkan lokasi areal revegetasi Pondok Batu


(36)

didominasi oleh vegetasi tingkat tiang, pancang dan pohon. Lokasi tersebut ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan, yaitu Acacia mangium, Paraserienthes falcataria, Calliandra calothyrsus dan Homalanthus populnaeus.

Tabel 7. Kandungan biomassa diatas permukaan tanah Lokasi

Biomassa (ton/ha) Serasah Nekromassa Tumbuhan

Bawah Tegakan Total

Arboretum 3.51 0.68 0.68 24.16 29

Brantas 1.52 1.63 2.91 33.55 40

Cikabayan 1.52 1.01 0.33 219.60 222

Cimahpar 1.61 1.35 0.90 30.59 34

Ciurug Level 600 3.07 1.80 0.33 68.30 74

Ciurug Level 700 1.17 3.55 1.69 34.61 41

Dam Fatmawati 1.45 1.33 0.81 46.76 50

Bawah Conveyor 0.21 1.85 5.15 243.70 251

Gudang Handak 3.17 2.77 1.19 13.22 20

Kubang Cicau 3.46 0.51 2.06 28.07 34

Pasir Jawa 7.65 0.49 0.80 67.09 76

Pondok Batu 1.42 1.49 0.26 8.05 11

Pongkor Ciurug 3.00 0.33 0.21 20.35 24

Rata-rata 2.52 1.44 1.33 64.47 70

Untuk biomasa tumbuhan bawah, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biomassa tumbuhan bawah untuk setiap lokasi areal revegetasi adalah sebesar 1.33 ton/ha. Lokasi Bawah Conveyor memiliki kandungan biomassa tumbuhan bawah yang paling besar diantara ketiga belas lokasi lainnya, yaitu sebesar 5.15 ton/ha. Hal ini disebabkan pada lokasi ini hanya ditemukan sedikit sekali vegetasi tingkat pohon sehingga tumbuhan bawah tumbuh subur di kawasan terbuka ini. Sedangkan Pongkor Ciurug memiliki kandungan biomassa tumbuhan bawah terkecil, yaitu sebesar 0.21 ton/ha. Hal tersebut terjadi karena lokasi ini memiliki vegetasi tingkat pancang yang cukup banyak dan rapat, sehingga tumbuhan bawah lainnya sedikit bersaing dalam mencari bahan makanan. Mayoritas kandungan biomassa tumbuhan bawah dari lokasi-lokasi areal revegetasi kurang dari 1 ton/ha. Hanya lokasi Brantas (2.91 ton/ha). Ciurug Level 700 (1.69 ton/ha), Gudang Handak (1.19 ton/ha) dan Kubang Cicau (2.06 ton/ha) yang memiliki kandungan biomassa tumbuhan bawah lebih dari 1 ton/ha.

Selain tegakan dan tumbuhan bawah, potensi simpanan karbon di atas permukaan tanah juga terdapat pada serasah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biomassa serasah untuk setiap lokasi areal revegetasi adalah sebesar 2.52 ton/ha. Lokasi Pasir Jawa memiliki kandungan biomassa serasah yang paling besar diantara ketiga belas lokasi lainnya, yaitu sebesar 7.65 ton/ha, hal ini karena untuk lokasi pasir jawa banyak didominasi oleh pakis-pakisan dan semak belukar. Sedangkan Bawah Conveyor memiliki kandungan biomassa serasah terkecil, yaitu sebesar 0.21 ton/ha, hal ini disebabkan kurangnya vegetasi pepohonan, juga arealnya yang cenderung miring sehingga ketika terjadi hujan, serasah yang ada


(1)

karbon US $12/ton diperoleh nilai NPV sebesar Rp.237 077 075, angka tersebut menunjukkan besarnya nilai penerimaan bersih yang diterima perusahaan setelah 10 tahun.

Kesimpulan yang bisa diambil dari kegiatan revegetasi yang dilaksanakan oleh PT. Antam Tbk, Apabila dipandang dari kriteria kelayakan usaha yang ada pada harga karbon US $12/ton dengan tingkat suku bunga 7.5%, dikatakan layak karena nilai NPV yang diperoleh bernilai positif (NPV>0).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis hasil penjumlahan biomassa yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri dari tumbuhan bawah, serasah, nekromassa dan tegakan menunjukkan bahwa rata-rata potensi biomassa total di areal revegetasi lahan pasca tambang PT. Antam Tbk UBPE Pongkor adalah 70 ton/ha dan hasil perhitungan potensi simpanan karbon berupa simpanan karbon pada tegakan, serasah, tumbuhan bawah dan nekromassa potensi simpanan karbon total di atas permukaan tanah (above ground) adalah 32 ton/ha.

Berdasarkan perhitungan NPV yang dilakukan pada kegiatan revegetasi PT. Antam Tbk UBPE Pongkor dengan tingkat suku bunga 7.5% dan harga karbon US $12/ton diperoleh nilai NPV sebesar Rp.237 077 075, dan kegiatan revegetasi layak dilaksanakan karena nilai NPV yang diperoleh bernilai positif (NPV>0). Namun ketika suku bunga komersial >8% maka kegiatan revegetasi menjadi bernilai negatif.

Jika lahan revegetasi ditanami dan dipelihara dengan baik maka peluang pendapatan perhektar mencapai Rp.57 278 069, yaitu jika dilakukan pemanenan kayu secara tebang pilih pada tahun ke 10. Namun, jika lahan tersebut dijual hanya jasa karbon saja ketika tahun ke 5 dan tahun ke 10, maka perusahaan hanya memperoleh keuntungan sebanyak Rp.55 105 093,- dan Rp.132 940 815,-.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai estimasi biomassa dan karbon, melakukan pengayaan jenis pada areal-areal revegetasi yang masih terbuka. Serta melakukan kegiatan pemeliharaan tanaman agar biomassa semakin meningkat, sehingga jumlah karbon semakin tinggi.

Kewajiban untuk melakukan reklamasi areal pasca tambang merupakan kewajiban pemegang ijin, meskipun tidak layak karena keuntungan sudah didapat dari emas dan mineral lainnya. Lahan yang telah direklamasi haruslah dapat tumbuh kembali menjadi hutan seperti sebelumnya. Agar produktivitas hutan terjaga dengan baik terkait masalah kesesuaian tempat tumbuh dan tindakan perambahan masyarakat, maka diperlukan pengelolaan yang baik oleh manajemen.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC, Syahbani I, Rengku MT, Arifin Z, Mukhaidil. 2006. Teknik Estimasi kandungan karbon hutan sekunder bekas kebakaran 1997/1998 di PT. Inhutani I, Batu Ampat. Kalimantan Timur. Samboja: Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa primata.

Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta Kanisius..

Angelsen, A. dan Atmadja, S. (eds) 2010. Melangkah maju dengan REDD; Isu, pilihan dan implikasi. Bogor. Center for International Forestry Research. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Widayanti WT, dan Affianto A. 2002.

Hutan Rakyat Sosial, Ekonomi dan Pemasaran. Yogyakarta.BPFE.

Brown S dan Gaston G. 1996. Estimates of Biomass Density for Tropical Forest.

In: Levine JS (ED). Biomass Burning and Global Change. Vol 1:133-139. Cambridge: MIT Press.

Brown S. 1997. Estimating Biomassa and Biomass Change of Tropical Forest. USA: FAO.

Chapman SB. 1976. Production Ecology and Nutrient Budget. in S.B. Chapman [Editor]. Methods in Plant Ecology Second Edition. Oxford Blackwell Scientific Publisher..

[Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 1997. Pedoman Reklamasi Lahan Tambang. Jakarta: Dephut.

Pedoman Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Forseth IN dan Norman JM. 1993.

Modeling of Solar Irradiance, Leaf Energy Budget and Canopy Photosynthesis. In D.O. Hall, J.M.O. Scurlock, H.R. Bolhilr-Nordenkampf, R.C. Leegood, and S.P. Long [Editors]. Photosynthesis and Productivity in a Changing Environment. pp.207-219. London. Chapman & Hall.

Gardner FP, Pearce dan Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo (penerjemah). Jakarta. UI-Press.

Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi proyek-proyek pertanian. Jakarta. Univeritas Indonesia-Press.

Hairiah K., Ekadinata, A., Sari, RR. Dan Rahayu, S. 2011. Pengukuran cadangan karbon: dari tingkat lahan ke bentang lahan. Petunjuk Praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya (UB), Malang Indonesia xx p.

Hairiah K dan Rahayu, S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan

di Berbagai macam Penggunaan Lahan. World agroforestry Centre. Bogor.

ICRAF.

Hamburg SP. 2000. Effect of site management in Acacia mangium plantation at PT Musi Hutan Persada, South Sumatera Indonesia In Nambiar EKS, Triaks A, Cossalter C, Ranger J. (Editors). Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest. A Progress Report. Bogor. CIFOR.

Haygreen, J.G., dan J.L. Bowyer. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (Suatu Pengantar). Edisi ke-4. Yogyakarta. Gajah Mada university Press.

Heriansyah, I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester karbon, Studi kasus Hutan tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi (3): 43-46. Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.


(3)

IPCC, 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Volume 4: Agriculture, Forestry and Other Land use.

IPCC, 2007. Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change In: B. Metz, O.R. Davidson, P.R. Bosch, R. Dave, L.A. Meyer (Eds.), USA. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY.

Kadariah, Karlina. L, Gray C. 1999. Pengantar evaluasi proyek Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Jakarta. Universitas Indonesia.

Kemenhut. 2007. Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Permenhut 34/2007.

Ketterings MQ, Coe R, Van Noordwijk M, Ambagau Y dan Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomassa equation for predicting above-ground tree biomassa in mixed secondary forest. For. Ecol. & Manage. 146: 199-209.

Kusmana C. 1993. A Study on Mangrove Forest Management Base on Ecologycal Date in East Sumatera Indonesia (Disertasi). Kyoto. Kyoto University.

Lippke B dan Perez-Garcia J. 2008. Will either cap and trade or a carbon emissions tax be effective in monetizing carbon as an ecosystem service.

Forest Ecology and Management Journal. 256, 2160–2165.

Ludwig, John A. and James F. Reynolds. 1988. Statistical eology: a primer of methods and computing. Wiley press, New York, New York. 337 pp.

MacDicken KG. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry. Projects. Arlington.Winrock International Institute for Agricultural Development.

Masripatin, N. 2007. Apa itu REDD. Jakarta. Gramedia

Masripatin, N., Rusli, Y dan Ginoga, K. 2013. COP19/CMP9 tahun 2013 Tersukses untuk REDD+: Citius, Altius, Fortius. Jakarta. Kementerian Kehutanan.

Mulyanto 2008. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang. Makalah Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Pasca Penutupan Tambang. Bogor. Pusdi Reklatan, Bogor 22 Mei 2008.

Murdiyarso D. 2003a. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Murdiyarso D. 2003b. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Nascimento HEM, dan Laurance WF. 2002. Total above ground biomass in central Amazonian forest: a landscape-scale study. For. Ecol & Manage. 168: 311-321.

National oceanic and atmospheric administration. 2007. NOAA: 2007 a Top Ten warm year for US and Globe. (online) pada

www.noaanews.noaa.gov/stories2007/20071213_climateupdate.html. [diakses pada Agustus 2014]

Ogawa H, Yoda K, Ogino K, dan Kira T. 1965. Comparative ecological studies on Three main types of forest vegetation in Thailand II Plant biomassa. Nat Life Southeast Asia 4:49-80.


(4)

Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. (tesis) Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pajot G. 2011. Rewarding Carbon sequestration in South-Western French forests: A costly operation. Journal of Forest Economics 17 (10), 363-377.

Pambudi H. 2011. Pengukuran Biomassa dan Karbon Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis, L.f) di KPH Randublatung, Perum Perhutani Unit I Jawa tengah. Tesis. Yogyakarta. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia. Jakarta.Yayasan Pelangi. Purwitasari. H. 2011. Model Persamaan alometrik biomassa dan massa karbon

pohon Akasia mangium (Acasia mangium Willd,). Studi kasus pada HTI Akasia mangium di BKPH Parung Panjang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Bogor. Program Manajemen hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pustanling. 2013. Berita kegiatan Workshop dalam rangka Penyiapan Submisi REDD+ dan LULUCCF, 27 Desember 2013. (online) dalam www. Staneclime.org/index.php/berita/detail/57. [diakses Agustus 2015]

Pretzsh H. 2009. Forest Dynamic, Growth and Yield from Measurement to model. Berlin Heidelberg. Springer-Verlag.

Rahayu S, Lusiana B, dan Van Noordwijk M. 2004. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. (online) dalam [www.worldagroforestry.org/sea/publications/files/book/BK0089-

05/BK0089-05-2.PDF] [diakses 21 Oktober 2008].

Rahma A. 2008. Estimasi potensi simpanan karbon pada tegakan puspa (Schima waliichii korth) di hutan sekunder yang terganggu akibat dua kali pembakaran di Jasinga, Bogor. Skripsi. Bogor. Jurusan silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Ravindranath N.H. and M. Ostwald. 2008. Carbon Inventory Methods: handbook for Greenhouse Gas inventory, carbon mitigation and roundwood production projects.

Resosoedarmo RS, Kartawijaya K, dan Soegianto A. 1986. Pengantar Ekologi. Bandung. Penerbit Remadja Karya.

Rumindah. E.S. 2012. Pendugaan karbon tersimpan pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar di areal reklamasi tambang batubara PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Skripsi. Bogor. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Rusolono T. 2006. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. (Disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Salim. 2005. Profil Kandungan Karboon Pada Tegakan Puspa (Schima wallichii korth) (Tesis). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Satoo T dan Madgwick HAI. 1982. Forest Biomass. W. Junk Publisher. The

Hague. 151 pp.

Setiadi Y. 1993. Aplikasi Silvikultur Lahan Kering di Proyek Pekan Penghijauan


(5)

Setiawan AI. 1993. Penghijauan Dengan Tanaman Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya

Sirait EE. 1997. Evaluasi Keberhasilan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel PT International Nikel Indonesia, Soroako Sulawesi Selatan. (Skripsi). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode analisis Populasi dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.

Soemarwoto O. 2001. Ekologi, Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Soerianegara, I dan Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Sukadri, D.S. 2012. Masukan untuk REDD dan LULUCF. Kerjasama antara Kementerian Kehutanan, DNPI dan REDD Indonesia. Jakarta. UN-REDD Programme.

Sutamihardja RTM. 2009. Perubahan Lingkungan Global. Bogor: Yayasan Pasir Luhur.

United Nations Framework Convention on Climate Change. 2012. (online) dalam www.unfcccc.int. Official site for UN Climate Secretaria. [diakses Agustus 2014]

Van Noordwijk M, Subekti R, Kurniatun H, Wulan YC, Farida A, dan Verbist B. 2002. Carbon Stock Assessment for a forest-to-coffee conversion landscape in Sumber-Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric equations to land use change analysis. Science in China Series C (45): 75-86.

Watson RT, Noble IR, dan Bolin B. 2000. Land Use, Land-use Change, and Forestry. Published for the lntergovermental Panel for Climate Change, Cambridge. Cambridge University Press.

White PL, dan Plashett GL. 1981. Biomass as Fuel. London. A Subsidiary of Harcourt Brace Jovanovick Publisher.

Whitmore TC. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. 2nd ed. London.


(6)

Lampiran 1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I BIAYA (COST)

1,614,377,680

742,315,360

197,785,000

186,256,960

335,420,600

45,208,000 62,161,000 62,161,000 62,161,000 62,161,000

226,040,000

1,913,371 4,616,001

JUMLAH BIAYA 1,614,377,680 742,315,360 259,946,000 248,417,960 399,494,971 107,369,000 - - - 230,656,001

1,614,377,680 2,356,693,040 2,616,639,040 2,865,057,000 3,264,551,971 3,371,920,971 3,371,920,971 3,371,920,971 3,371,920,971 3,602,576,972

II PENDAPATAN (BENEFIT)

Pendapatan C 55,105,093 132,940,815

Pendapatan kayu - 6,457,840,007

JUMLAH PENDAPATAN - - - - 55,105,093 - - - - 6,590,780,822

III KEUNTUNGAN -1,614,377,680 -742,315,360 -259,946,000 -248,417,960 -344,389,879 -107,369,000 0 0 0 6,360,124,821

NPV 237,077,075

NPV/Ha 80,693,354.15

IRR 0.086

Ket: Standar biaya perdagangan karbon menggunakan standar CCB

Analisis Finansial Skenario kayu + karbon Total 45 ha

NO KOMPONEN BIAYA Nilai Tahun ke-... (Rp)

A. Pemindahan Tanah

B. Persiapan Lahan dan penanaman C. Pemeliharaan tahun I

D. Pemeliharaan tahun II E. Pemeliharaan tahun III F. Pemeliharaan tahun IV

G. Perlindungan tanaman (tahun 3,4,5,6) H. Pemanenan (Tahun ke 10)

I. Biaya perdagangan karbon '-. Validasi

'-. Verifikasi 5000/ton '-. Sertifikasi