Memahami Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Sebagai organisasi berbasis kemasyarakatan yang merupakan mitra pemeritah desa kehadiran karang taruna memiliki peranan dalam memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan yang berdasarkan swadaya, kegotongroyongan dan kekeluargaan dalam rangka menghadirkan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Karang taruna yang merupakan bagian dari organisasi tentunya harus memiliki susunan pengurus dan anggota yang lengkap dan masing-masing anggota dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan bidang tugasnya serta dapat dapat bekerja sama dengan didukung oleh administrasi yang tertib dan teratur. Memiliki program kegiatatan yang jelas sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada disekitarnya program kegiatan karang taruna berlangsung secara melembaga terarah dan berkesinambungan serta melibatkan seluruh unsur generasi muda yang ada.

2.3. Memahami Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk memahami desa. Secara etimologis merujuk pendapat Soeparmo 1977 istilah atau perkataan “desa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Selain itu, oleh Kartohadikoesoemo 1984 desa didefinisikan sebagai suatu kesatuan hukum, di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten Wijaya, 2002. Dalam pengertian yang lebih umum desa dianggap sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di mana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal secara menetap maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor pertanian. Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil.Sementara itu Koentjaraningrat 1977 memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar seperti: kota, negara bagian, negara dan komunitas kecil seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya. Dalam hal ini Koentjaraningrat 1977 mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”. Koentjaraningrat melalui tulisannya tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri­ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja. Desa pada mulanya terbentuk karena adanya kearifan lokal dan adat lokal dalam suatu kelompok masyarakat untuk mengatur serta mengurus pengelolaan sumberdaya lokal seperti kebun, sungai, tanah, hutan, dan sebagainya yang diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat komunal. Atas dasar inilah kemudian konstitusi dan regulasi negara memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat atau desa. Pada dasarnya, desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara modern ini terbentuk, kesatuan sosial sejenis desa atau masyarakat adat telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat serta relatif mandiri dari campur tangan kekuasaan dari luar Santoso, 2003. Lebih lanjut, Sapari 1977 melalui sebuah tulisannya mengatakan bahwa filosofi otonomi desa dianggap sebagai kewenangan yang telah ada, tumbuh mengakar dalam adat istiadat desa bukan juga berarti pemberian atau desentralisasi. Otonomi desa berarti juga kemampuan masyarakat dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan secara legal formal diatur oleh pemerintah pusat melalui undang­undang. Selanjutnya, menurut Landis dalam Endrizal, 1997 seorang sarjana sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat, mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisisi sosial­psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal di antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian. Dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini desa dipilah dalam beberapa unsur penting: 1. Adanya orang­orang atau kelompok orang. 2. Adanya pihak­pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin. 3. Adanya organisasi badan penyelenggara kekuasaan. 4. Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggara kekuasaan. 5. Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan Pambudi dkk, 2003. Setidaknya terdapat tiga posisi politik desa di Indonesia: 1. Desa sebagai organisasi komunitas lokal yang memiliki pemerintahan sendiri atau disebut sebagai self governing community, komunitas lokal membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom. 2. Local self government merupakan bentuk pemerintahan lokal yang otonom, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik devolusi. 3. Local state government, merupakan bentuk lain dari pemerintahan yang sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan dekonsentrasi Eko, 2007. Setelah PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa berubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2014, eksistensi desa tampak memperoleh derajat keningratan sebahu dengan entitas pemerintahan daerah. Secara historis, posisi desa sebenarnya pernah sederajat lewat UU No. 5 Tahun 1979, bahkan UU No. 19 Tahun 1965 yang segera layu sebelum berkembang. Pasca reformasi 1998, pengaturan soal desa seakan turun ranjang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang ditindaklanjuti lewat peraturan daerah masing-masing. Dengan harapan besar yang disandarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa dibayangkan tumbuh kembali sebagaimana masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli. Otonomi desa yang awalnya asli ketika itu berubah menjadi palsu. Harus diakui bahwa pemalsuan otonomi desa sebenarnya telah terjadi sejak diterapkannya UU 51979. Orde Baru praktis memalsukan semua kumpulan warga dalam bentuk apapun ke dalam identitas bernama desa. Kebijakan uniformitas mengakibatkan musnahnya sistem sosial mikro yang menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah sosial secara fungsional. Desa dan semua perangkatnya berubah menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim berkuasa secara top down. Dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan pemerintah. UU Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah dirampas orde baru, serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 221999 dan UU 322004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat 2 UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat di luar desa administratif. Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori- pori desa. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesa. Persoalannya adalah apakah pengaturan soal desa ke depan akan memberi peluang atau menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? Tulisan ini akan melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang berpotensi menjadi ancaman di kemudian hari. Sampai saat ini pengetahuan tentang kronologis tumbuh kembangnya desa secara ilmiah belum pernah dipublikasi dan memang sepanjang yang diketahui belum pernah dikaji. Namun demikian proses perkembangan desa tentu dimulai dari kumpulan individu yang terikat menurut kekerabatan keluarga. Perluasan keluarga melalui proses biologis, tuntutan ekonomi dan insting politik kemudian membentuk marga yang semakin bersifat eksklusif dengan ciri tertentu. Dalam perspektif sosiologi pemerintahan, entitas pemerintahan terendah semacam desa diakui merupakan basis tumbuhnya pemerintahan yang lebih luas dan kompleks sebagaimana pemerintahan modern dewasa ini Ever, 1999. Desa-desa yang telah ada jauh sebelum negara hadir juga memiliki ciri dengan konstruksi organisasi paling minimalis di mana kepala desa merupakan simbol dalam semua entitas pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan politik. Integrasi semua fungsi dalam personifikasi kepala desa merupakan konstruksi sistem politik totaliter klasik yang cenderung memberi diskresi bagi kepala desa dalam memainkan peran dominan bagi kehidupan kelompok. Secara kelembagaan kepala desa menjadi representasi politik sebab ia secara traditional dilahirkan untuk memimpin kelompok masyarakat dalam sebutan yang tertua tetua Suroyo dalam Nurcholis, 2013. Sekalipun terjadi diferensiasi semacam lembaga ekonomi desa yang berfungsi mengelola kekayaan desa, lembaga sosial mengatur perilaku masyarakat desa, serta lembaga keamanan yang bertanggungjawab terhadap ancaman pihak luar, namun secara keseluruhan semua keputusan menjadi otoritas tunggal kepala desa. Keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya bagi kepentingan orang banyak, pemberian hukuman yang setimpal bagi pelanggar sistem sosial, serta keputusan strategis dengan alasan keselamatan anggota keluarga tetap saja ditentukan secara sentralistik kepala desa. Oleh karena desa berada dalam cakupan pemerintahan yang lebih luas, maka peranan kepala desa dalam aspek budaya seringkali menjadi simbol bagi integrasi kepentingan makro-kosmos alam atas, supradesa, dan mikro-kosmos alam bawah, infradesa. Dalam hubungan itu Smith dalam Labolo, 2014 menegaskan bahwa kepala desa di Indonesia pada hakekatnya memiliki dua aspek penting yaitu pengakuan secara tradisional masyarakat sekaligus mewakili pemerintah di desa. Penting dipahami bahwa aspek terakhir menjadi titik tumbuhnya otonomi desa, dimana pengakuan masyarakat secara de facto adalah spirit utama bagi pemimpin di desa untuk mengembangkannya kedalam urusan pemerintahan yang semakin kompleks sebagai tuntutan yang terus berkembang baik internal maupun eksternal. Pada titik tertinggi entitas semacam itu berubah menjadi pemerintahan yang lebih kompleks seperti negara. Oleh karena negara merupakan refleksi paling sempurna yang lahir dari rahim desa, maka tidaklah salah jika negara penting mengakui dan menghormati eksistensi desa atau semacamnya sebagai akar- akar pemerintahan. Pemahaman lainnya tentang desa diungkap oleh Beratha 1982:26, yang memberi batasan bahwa desa dimaknai sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial. Apa yang dijelaskan oleh Beratha tersebut setidaknya sejalan dengan gambaran karakteristik desa yang menurut Ferdinand Tonies yang kemudian dikenal dengan karakteristik kelompok sosial yang berupa gemenschaft berbanding gesselschaft. Melihat rekaman sejarah penggunaan terminologi kampung setidaknya dapat dilihat dari catatan Muntinghe kepada Raffles 1811-1817 dalam Tahir, 2013. Sekalipun demikian, ada banyak dugaan bahwa penggunaan istilah Dusun, Marga, Kampung, Gampong, Dati, Nagari dan Wanua yang tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa sudah banyak dipergunakan jauah sebelum catatan Raffles dibuat baca Ndraha, 2010. Dalam perkembangan selanjutnya, kewenangan mengatasi atau ikut memutuskan perkara menyangkut perselisihan yang diberikan kepada kepala atau pimpinan desa bersama dengan lembaga lainnya yang di banyak tempat sering dianggap sebagai hal yang dapat menjadi indikator dari subtansi demokrasi. Dalam proses semacam itu desa tampak memperlihatkan bibit demokrasi, di mana pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif, bersifat kelembagaan adhoc, melibatkan beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta dalam suatu wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian meskipun pelembagaan politik memperlihatkan perubahan ke arah diferensiasi, namun kebiasaan pemilihan kepala desa yang awalnya bersifat turun-temurun tradisionalistik di kemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak langsung yang diwakili oleh sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik dalam pandangan Raffles 1811, sehingga pola demokrasi representatif oleh sekelompok pengurus desa yang memilih kepala desa kemudian diubah menjadi mekanisme demokrasi langsung di mana kepala desa dipilih oleh masyarakat dari beberapa orang yang dipandang mampu Nurcholis, 2013. Dinamika perkembangan desa terus terjadi hingga 1854, desa kemudian memperoleh dasar hukum lewat Regeringsreglement RR yang kemudian melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk Inlandse Gemeente Ordonantie IGO dan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen IGOB  . Pola kepemimpinan desa dari waktu ke waktu terus mengalami dinamika. Namun demikian, pada era pasca kemerdekaan Indonesia 1945, pengaturan soal desa sebenarnya tak memperoleh landasan konstitusional yang bersifat eksplisit, kecuali kesatuan masyarakat hukum adat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Satuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati   IGO 1960, pada dasarnya bukanlah dasar dalam pembentukan desa otonom, kecuali bentuk pengakuan atas entitas khas yang telah ada sebelumnya.Pengaturan inipun bersifat terbatas bagi wilayah Jawa dan Madura.Pengaturan ini mengalami revisi dengan terbentuknya Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen IGOB yang meliputi pengaturan desa-desa di luar Jawa dan Madura pada tahun 1938. Inilah yang kemudian menjadi dasar dalam konstitusi dimana negara pada akhirnya mengakui dan menghormati satuan-satuan khusus yang telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk. sebagaimana terlihat dalam pengaturan pasal 18B ayat 4 hingga amandemen terakhir pasal 18B ayat 2. Hal ini menyiratkan bahwa hanya satuan masyarakat hukum adat sajalah yang diakui dan dihormati negara, selain satuan daerah yang bersifat khususistimewa sebagaimana diatur pula dalam pasal 18B ayat 1. Oleh karena konstitusi tak menyebut jelas eksistensi desa-desa bentukan yang bersifat administratif desa dinas setelah kemerdekaan Indonesia, maka sejauh ini harus diakui bahwa logika konstitusi hanya memberi landasan kuat bagi satuan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini di sebut desa adat sesuai penjelasan konstitusi awal baca Wasistiono, 2013. Konsekuensi dari hal itu maka pengaturan selanjutnya oleh UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 menempatkan desa sebagai lokus otonomi tingkat tiga. Dengan alasan desa dan semua entitas semacamnya adalah sendi-sendi negara maka perluasan dan dinamisasi desa dibutuhkan untuk mendorong kemajuan negara secara umum. Sekalipun keinginan untuk meningkatkan desa memperoleh pijakan yang cukup, namun keadaan negara yang tak begitu stabil mengakibatkan upaya mewujudkan desa sebagai entitas otonom selain daerah otonom tingkat satu dan dua tak dapat direalisasikan. Memasuki tahun 1979, desa mengalami degradasi dari desain awal sebagai daerah otonom tingkat tiga. Rezim Orde Baru lewat UU Nomor 51979 meletakkan desa sebagai instrumen birokrasi melalui kebijakan uniformitas terhadap semua entitas mikro di level bawah dengan istilah desa. Sepanjang kebijakan ini diterapkan, desa-desa adat mengalami proses transisi dari suatu sistem nilai lama yang bertumpu pada kepentingan sosial mikro menjadi satu sistem nilai yang bertumpu bagi kepentingan penguasa dan birokrasi. Akibatnya seluruh tatanan desa asli berangsur- angsur mengubah diri secara sistemik atau terpaksa menjadi desa bergaya administratif. Dalam kondisi semacam itu sekalipun tetap bernama desa, namun secara cepat kehilangan otonomi, berorientasi ke atas, serta praktis tak tumbuh sebagai entitas yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah desa secara fungsional. Sebenarnya, hancurnya sistem nilai desa dalam 30 tahun terakhir pasca kejatuhan Orde Baru disadari oleh rezim Orde Reformasi yang kemudian mencoba memulihkan realitas desa melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya, upaya menghadirkan wajah desa yang lebih merdeka dalam aspek otonomi aslinya tak juga memperlihatkan hasil yang maksimal. Hal ini justru disebabkan oleh kuatnya ekspansi otonomi daerah yang memasuki pori-pori desa. Desa dan atau nama lain semestinya dapat ditumbuh- kembangkan oleh pemerintah daerah melalui kebijakan yang sesuai dengan karakternya masing-masing. Faktanya, semua kebijakan pemerintah daerah relatif melalui peraturan daerah semakin membatasi otonomi desa, bahkan melenyapkan peluang otonomi yang diakui dan dihormati negara dalam konstitusi. Penempatan sekretaris desa dari pegawai negeri sipil serta longgarnya konsistensi daerah dalam alokasi dana desa membuat desa semakin terpojok dalam kemiskinan otonomi. Akhirnya desa tampak seperti keluar dari himpitan negara selama 30 tahun dalam kerangka local state government, tiba-tiba berada di bawah ketiak pemerintah daerah dalam pendekatan yang lebih interventif atas nama otonomi daerah local self government. Harus dikatakan bahwa episode desa dalam kurun waktu otonomi daerah dilaksanakan tak memberi perubahan signifikan, kecuali sejumlah daerah yang secara politis mencoba mengintrodusir desa lewat bantuan di atas Rp1 miliar.

2.4 Kerangka Berfikir