PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL PRE SIRKUMSISI DENGAN IBUPROFEN POST SIRKUMSISI TERHADAP RASA NYERI SETELAH SIRKUMSISI

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL PRE SIRKUMSISI DENGAN IBUPROFEN POST SIRKUMSISI

TERHADAP RASA NYERI SETELAH SIRKUMSISI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : CORNEL ANGGARA

20120310212

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

TERHADAP RASA NYERI SETELAH SIRKUMSISI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : CORNEL ANGGARA

20120310212

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Cornel Anggara NIM : 20120310212

Program studi : S1 Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 4 Mei 2016 Yang membuat pernyataan,


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Sempurna, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Kita Muhammad SAW beserta keluarga serta sahabat.

Naskah Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Perbandingan Efektivitas Pemberian Parasetamol Pre Sirkumsisi Terhadap Rasa Nyeri Setelah Sirkumsisi” ini diajukan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, ijinkan penulis untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan serta dalam membantu penyelesaian naskah Karya Tulis Ilmiah ini. Ucapan terima kasih ini diberikan kepada:

1. dr. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. 2. dr. Farindira Vesti Rahmasari, MSc. selaku Penguji Sidang Hasil Karya Tulis

Ilmiah yang dengan penuh ketelitian mengoreksi dan memberikan masukan. 3. Kedua orang tua saya, Papa T. Simanjutak dan Mama Aini serta kakak saya

Corry Rossa Molina yang selalu memberikan dukungan dan senantiasa mendoakan.

4. Partner saya, teman satu kelompok penelitian, Andhika Putra Baghaskara, Gibran Raka Pramodya dan Renato Naufal Zakarya yang banyak memberikan pencerahan, dukungan, semangat dan doa.

5. Serta semua pihak yang ikut serta dalam mendukung terlaksananya penelitian dan pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.


(5)

v

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dikemudian hari penulis dapat mempersembahkan suatu hasil yang memenuhi syarat dan lebih baik. Akhir kata, penulis mengharapkan naskah Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan terutama ilmu kedokteran. Terimakasih.

Yogyakarta, 4 Mei 2016


(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat penelitian ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Sirkumsisi ... 7

2. Nyeri ... 13

3. Inflamasi ... 18

4. Analgesik, Antipiretik dan Antiinflamasi ... 19

5. Parasetamol ... 21

6. Ibuprofen ... 23

7. Lidokain ... 26

B. Kerangka Konsep ... 27

C. Hipotesis Penelitian ... 27

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 28

B. Populasi dan Subjek Penelitian ... 28

C. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ... 31

D. Variabel Penelitian ... 31

E. Definisi Operasional... 32

F. Alat dan Bahan Penelitian ... 33

G. Jalannya Penelitian ... 33

H. Analisis Data ... 32

I. Cara Kerja ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 37


(7)

vii BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 44 B. Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Visual Analogue Scale ... 18

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 27

Gambar 3. Cara Kerja ... 35


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Descriptive Statistics ... 38 Tabel 2. Test of Normality ... 38 Tabel 3. Independent Sample Test ... 39


(10)

(11)

x INTISARI

Sirkumsisi merupakan tindakan bedah minor pada anak-anak yang paling sering dilakukan diseluruh dunia. Sirkumsisi bertujuan untuk menghilangkan preputium dan menghilangkan kotoran (smegma) sebagai alasan kebersihan untuk melaksanakan ibadah (muslim) dan juga alasan sosial budaya serta kesehatan. Manajemen nyeri yang baik dapat berguna untuk membantu melakukan proses sirkumsisi. Parasetamol merupakan obat golongan acetaminofen yang menghambat pembentukan prostaglandin dalam jaringan perifer dan tidak memiliki efek inflamasai yang signifikan sehingga dapat digunakan dalam penatalaksanaan nyeri pada sirkumsisi. Ibuprofen merupakan obat golongan anti inflamasi nonsteroid (AINS). Ibuprofen bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin yang menyebabkan peradangan dan nyeri pada tubuh.

Desain penelitian ini adalah penelitian quasi experimental untuk menguji keefektivitasan pemberian paracetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen pasca sirkumsisi. Suby

Subjek dari penelitian ini sebanyak 36 anak, terbagi dalam 2 kelompok perlakuan yang melakukan sirkumsisi menggunakan teknik dorsumsisi pada khitanan massal yang diadakan di RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta.

Hasil dari olah data menggunakan Independent Sample Test didapatkan didapatkan hasil Sig. (2-tailed) sebesar 0,005 (P value < 0,05), terdapat perbedaan yang signifikan antara pemberian parasetamol pre dan ibuprofen post berarti pemberian ibuprofen post sirkumsisi lebih efektif mengurangi rasa nyeri dibandingkan paracetamol pre sirkumsisi.


(12)

xi ABSTRACT

Circumcision is a minor surgery for Childs that mostly done around the world. Circumcision have aims for deleting the preputium area and cleaning up the of waste product (smegma) for the reason due to completely do a praying (moslem) and other reasons like social, culture, and health. Good Pain management is really help to do circumcision. Paracetamole is a drug from acetaminophen categories, could inhibit the production of prostaglandin in peripheral tissue and it is not significantly has inflammation effect, then it could use for pain management in circumcision. Paracetamol is is a drug from acetaminophen categories, could inhibit the production of prostaglandin in peripheral tissue and it is not significantly has inflammation effect, then it coud us for pain management in circumcision. Ibuprofen is a anti inflammantory non streroid (AINS), it works by reduce prostaglandin biosynthesis that causes inflammation and pain in the body.

This research was performed by using quasi experimental aims to know affectivity of given paracetamol before and ibuprofen after circumcision. The subjects of this research were 38 children, divided into two treatment groups who perform circumcision using techniques dorsumsisi on a “Khitanan Massal” held in RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta.

The Independent Sample Test analysis show that the score Sig. (2-Tailed) is 0.005 (p-value < 0.05), therefore there is significantly the deifferences between paracetamol pre and ibuprofen post. It can be conclude that Ibuprofen post circumcision is more effective as an analgesic effect than paracetamol pre circumcision.


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sirkumsisi atau yang dikenal pula dengan khitan sering dilakukan oleh masyarakat bukan hanya alasan agama, tetapi pula alasan kesehatan. Secara medispun dikatakan bahwa sunat sangat menguntungkan bagi kesehatan. Banyak penyakit yang dapat dihindarkan dengan sirkumsisi, misalnya phimosis, paraphimosis, candidiasis, tumor ganas dan praganas pada daerah kelamin pria. Pria yang disunat lebih higienis, pada masa tua lebih mudah merawat bagian tersebut dan secara seksualitas lebih menguntungkan (lebih bersih, tidak mudah lecet/iritasi, terhindar dari ejakulasi dini) (Harsono , et al., 2011).

Secara medis, tidak ada batasan usia berapa harus berkhitan. Beberapa dokter yang lain berpendapat khitan sebaiknya dilakukan saat anak berusia 1-12 tahun sebab pada usia tersebut anak umumnya belum ereksi sehingga risiko perdarahannya juga minimal (Seno, 2009).

Ditinjau dari segi agama, mayoritas ulama Muslim berpendapat bahwa hukum sirkumsisi bagi laki-laki adalah wajib dan merupakan syariat agama Islam (Ridho, 2010). Sebagaimana dalam Al Quran surat An Nahl 123 :


(14)

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), Ikutilah agama (termasuk khitan di dalamnya) Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS: An-Nahl Ayat: 123)

Terdapat juga hadits tentang sirkumsisi yang disebutkan di bawah ini:

“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (H.R Abu Dawud 356, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 79)

Seluruh tenaga kesehatan di Amerika harus menyediakan penanganan nyeri yang optimal pada seluruh sirkumsisi pada pria. Orang tua harus dipersiapkan untuk edukasi tentang prosedur nyeri pada anaknya. Mereka juga harus diinformasikan tentang farmakologis dan terapi nyeri yang terintegrasi (O'Conner, 2011).

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2006).

Istilah anesthesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilangnya kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada didalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau efek anesthesia yaitu analgesia yang


(15)

3

disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya dapat menimbulkan efek analgesia. Anestetik umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada serabut saraf di perifer (Farmakologi UI, 2013).

Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Katzung, 1997).

Ibuprofen merupakan turunan sederhana asam fenilpropionat. Pada dosis sekitar 2400 mg per hari, efek anti-inflamasi ibuprofen setara dengan 4g aspirin. Obat ini sering diresepkan dalam dosis rendah, yang bersifat analgesik tetapi mempunyai efek anti-inflamasi rendah. Ibuprofen tersedia sebagai obat bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang. Ibuprofen dimetabolisme secara luas di hati, sedikit dieksresikan dalam bentuk tidak berubah. Iritasi saluran cerna dan pendarahan dapat terjadi, walaupun kurang sering dibandingkan aspirin. Penggunaan ibuprofen bersamaan dengan aspirin dapat menurunkan efek total anti-inflamasi. Efek hematologic yang berat


(16)

meliputi agranulositosis dan anemia aplastik; efek terhadap ginjal (sama dengan semua obat AINS) meliputi gagal ginjal akut, nefritis interstisialis, dan sindrom nefrotik (Katzung, 1997).

Berkaitan dengan uraian di atas, mendorong peneliti untuk mengetahui apakah terdapat perbandingan efektifitas pemberian parasetamol pre sirkumsisi dengan pemberian ibuprofen post sirkumsisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah “apakah terdapat perbandingan efektivitas pemberian parasetamol pre sirkumsisi dengan pemberian ibuprofen post sirkumsisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk menjelaskan perbandingan efektifitas pemberian parasetamol pre sirkumsisi dengan pemberian ibuprofen post sirkumsisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi.

Tujuan khusus penelitian yaitu :

1. Mengetahui pengaruh pemberian parasetamol pre sirkumsisi pada responden terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi

2. Mengetahui pengaruh pemberian ibuprofen post sirkumsisi pada responden terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi


(17)

5

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Subjek penelitian dan masyarakat

2. Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang perbandingan efektivitas pemberian parasetamol pre sirkumsisi dengan pemberian ibuprofen post sirkumsisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi

3. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Kodekteran E. Keaslian Penelitian

Hingga saat ini, belum ada penelitian yang membahas dan meneliti perbandingan efektivitas pemberian parasetamol pre sirkumsisi dengan pemberian ibuprofen post sirkumsisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi, namun ada beberapa penelitian yang serupa diantaranya sebagai berikut : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Mahgoobifard, et al. di Zahedan Khatam

Hospital pada tahun 2011 tentang “The Analgesic Efficacy of Preoperative Oral Ibuprofen and Acetaminophen in Children Undergoing Adenotonsillectomy”: A Randomized Clinical Trial”. Penelitian ini dilakukan dengan studi randomized clinical trial. Sebuah percobaan double-blinded dengan menggunakan placebo acak terkontrol sebanyak 60 responden berusia 4-12 tahun dikelompokkan menjadi anak ASA I atau ASA II yang dijadwalkan untuk operasi adenotonsillectomy yang akan diberikan acetaminophen 15 mg/kgBB, ibuprofen 10mg/kgBB atau placebo 30 menit sebelum operasi. Nyeri pasca operasi dinilai menggunakan Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale


(18)

(CHEOPS) ketika tiba di unit perawatan pasca operasi. Temuan dianalisis dengan SPSS versi 17 dengan menggunakan analisis varians dan uji Tukey. Studi ini menunjukkan bahwa pemberian acetaminophen oral 30 menit sebelum operasi, mengakibatkan intensitas nyeri secara signifikan lebih rendah pada anak-anak yang menjalani adenotonsilektomi di unit perawatan pasca operasi dan lingkungan, dibandingkan dengan ibuprofen dan placebo. Perbedaan penelitian kali ini adalah perlakuan terhadap responden yang akan melakukan adenotonsillectomy dengan menggunakan metode double-blinded Randomized Clinical Trial.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dang, et al. di First Hospital of Jilin University pada tahun 2013 tentang “Comparison of Oral Paracetamol versus Ibuprofen in Premature Infants wint Patent Ductus Arteriosus: A Randomized Controlled Trial”. Penelitian ini dilakukan dengan studi randomized clinical trial. 160 bayi dengan usia kehamilan 34 minggu dengan Patent Ductus Arteriosus yang dikonfirmasi dengan echocardiography diberikan secara acak paracetamol oral atau ibuprofen. Setelah pengobatan awal pada kedua kelompok kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan kedua diputuskan dari hasil evaluasi echocardiography. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan metode double-blinded Randomized Clinical Trial dan hasil yang diinginkan adalah penutupan dari Patent Ductus Arteriosus oleh paracetamol dan ibuprofen.


(19)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Sirkumsisi

a. Definisi Sirkumsisi

Di Indonesia sirkumsisi lebih dikenal dengan istilah khitan atau masyarakat sering menyebutnya dengan kata sunat. Khitan ini menjadi suatu kewajiban bagi sebagian besar pria. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa khitan memiliki banyak manfaat untuk kesehatan mulai dari mencegah penyakit mematikan seperti AIDS hingga kanker. Masyarakat mengkhitan anaknya umumnya pada usia antara 5-12 tahun. Namun sebagian besar dokter setuju bahwa khitan dilakukan terbaik pada pertengahan usia 15 tahun, hal ini dimaksudkan untuk memberikan waktu kepada jaringan penis agar lebih kuat (Purnomo, 2011).

Menurut Mansjoer (2000), sirkumsisi adalah tindakan pengangkatan sebagian / seluruh preputium penis dengan tujuan tertentu. Tindakan ini merupakan tindakan bedah minor yang paling banyak dikerjakan di seluruh dunia, baik dikerjakan oleh dokter, paramedis, ataupun oleh dukun sunat (Purnomo, 2011)

Beberapa suku bangsa beranggapan hal ini merupakan bagian dari budaya sedangkan dari sisi medis sirkumsisi sangat bermanfaat karena kebersihan penis menjadi lebih terjaga.


(20)

Preputium dapat menjadi tempat berkumpulnya sisa–sisa air seni dan kotoran lain yang membentuk zat berwarna putih disebut smegma, dimana sangat potensial sebagai sumber infeksi, dengan membuang kulit / preputium maka resiko terkena infeksi dan penyakit lain menjadi lebih kecil (Miller, 2007).

b. Indikasi Sirkumsisi 1) Agama

Sirkumsisi merupakan tuntunan syariat Islam yang sangat mulia dan disyariatkan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Bahkan tidak hanya orang islam, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun juga melakukannya (Flinn, 2012).

2) Medis a) Fimosis

Fimosis adalah keadaan dimana preputium tidak dapat ditarik ke belakang (proksimal) atau membuka. Pada 95% bayi, kulup masih melekat pada glans penis sehingga tidak dapat ditarik kebelakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada umur 3 tahun, anak-anak yang menderita fimosis terdapat sebanyak 10% (Purnomo, 2011).

b) Parafimosis

Suatu keadaan ketika preputium penis tertarik kearah pangkal penis tetapi preputium tidak dapat kembali pada


(21)

9

kedudukan semula sehingga lama kelamaan preputium menjadi edema dan menekan urethra sehingga buang air kecil menjadi susah dan terasa sakit (Syamsir, 2014).

c) Kondiloma Akuminata

Suatu penyakit kulit ketika terjadi vegetasi seperti jengger ayam (Syamsir, 2014).

d) Pencegahan Tumor Ganas

Pada penelitian didapatkan bahwa khitan dapat mencegah terjadinya akumulasi smegma yang mempunyai hubungan dengan terjadinya tumor ganas penis, jenis tumor ganas terbanyak squamous cell carcinoma (Hermana, 2000).

c. Kontraindikasi Sirkumsisi 1) Kontraindikasi Mutlak

a) Hipospadia

Pada hipospadia, ostium urethrae externum terletak lebih proximal daripada normal dan terletak di ventral penis. Hipospadia dijumpai pada 22 dari 5882 kelahiran dan kelainan ini terjadi pada 1 dari 300 kelahiran bayi laki-laki (Syamsir, 2014).

b) Epispadia

Epispadia merupakan kelainan kongenital berupa tidak adanya dinding uretra bagian atas. Kelainan ini terjadi pada


(22)

laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering pada laki-laki. Kelainan ini ditandai dengan terdapatnya lubang uretra di suatu tempat pada permukaan dorsum penis (Patricia, 2011).

2) Kontraindikasi Relatif

a) Diabetes mellitus karena akan mudah terinfeksi dan memperlambat penyembuhan

b) Penyakit pendarahan seperti hemofilia (Syamsir, 2014). d. Metode Sirkumsisi

Ada beberapa metode sirkumsisi menurut Purnomo (2011), antara lain :

1) Metode Klasik dan Dorsumsisi

Metode klasik sudah banyak ditinggalkan tetapi masih bisa kita temui di daerah pedalaman. Alat yang digunakan adalah sebilah bamboo tajam / pusau / silet. Para bong supit alias mantri sunat langsung memotong kulup dengan bambu tajam tersebut tanpa pembiusan. Bekas luka tidak dijahit dan langsung tanpa pembiusan. Bekas luka tidak dijahit dan langsung dibungkus dengan kassa / perban sehingga metode ini paling cepat dibandingkan metode lain. Cara ini memiliki resiko terjadinya pendarahan dan infeksi, bila tidak dilakukan dengan benar dan steril. Metode klasik kemudian disempurnakan dengan metode dorsumsisi, khitan metode ini sudah digunakan dengan metode dorsumsisi, khitan metode ini sudah menggunakan peralatan medis


(23)

11

standar dan merupakan khitan klasik yang masih banyak dipakai sampai saat ini, umumnya bekas luka tidak dijahit walaupun beberapa ahli sunat sudah memodifikasi dengan melakukan pembiusan lokal dan jahitan minimal untuk mengurangi risiko perdarahan.

2) Metode Standar Sirkumsisi Konvensional

Metode ini adalah metode yang paling banyak digunakan hingga saat ini, cara ini merupakan penyempurnaan dari metode dorsumsisi dan metode standar yang digunakan oleh banyak tenaga dokter maupun mantri (perawat). Alat yang digunakan semuanya sesuai dengan standar medis dan membutuhkan keahlian khusus untuk melakukan metode ini.

3) Metode Lonceng

Metode ini tidak dilakukan pemotongan kulup, ujung penis hanya diikat erat sehingga bentuknya mirip lonceng, akibatnya peredaran darah tersumbat yang mengakibatkan ujung kulit ini tidak mendapatkan suplai darah, sehingga menimbulkan nekrotik jaringan dan nantinya terlepas sendiri. Metode ini memerlukan waktu yang cukup lama, sekitar dua minggu.


(24)

4) Metode Klamp

Metode klamp prinsipnya yakni kulup (preputium) dijepit dengan suatu alat (umumnya sekali pakai) kemudian dipotong dengan pisau bedah tanpa harus dilakukan penjahitan.

5) Metode Laser Elektrokautery

Metode ini lebih dikenal dengan sebutan “Khitan Laser”. Penamaan ini sesungguhnya kurang tepat karena alat yang digunakan sama sekali tidak menggunakan laser akan tetapi menggunakan “elemen” yang dipanaskan. Alatnya berbentuk seperti pistol dengan dua buah lempeng kawat di ujungnya yang saling berhubungan. Jika dialiri listrik, ujung logam akan panas dan memerah. Elemen yang memerah tersebut digunakan untuk memotong kulup. Khitan dengan solder panas ini kelebihannya adalah cepat, mudah menghentikan perdarahan yang ringan, dan cocok untuk anak dibawah usia 3 tahun dimana pembuluh darahnya kecil. Setelah preputium dipotong dilakukan penjahitan dan difiksasi dengan kasa steril. Untuk proses penyembuhan dibandingkan dengan cara konvensional sifatnya relatif, karena tergantung dari sterilisasi alat yang dipakai, proses pengerjaanya, dan kebersihan individu yang disunat.

6) Metode Flashcutter


(25)

13

elektrokautery. Bedanya terletak pada pisaunya yang terbuat dari logam yang lurus (kencang) dan tajam. Setelah preputium dipotong dilakukan penjahitan dan difiksasi dengan kasa steril.

2. Nyeri

a. Definisi Nyeri

Menurut The International Association For The Study Of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo, et al., 2009). Persepsi yang disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan adalah nosisepsion. Nosisepsion merupakan langkah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsang nyeri dengan rangsang lain adalah nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas. Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur atau fungsi anatomik, fisiologik, maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment, yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas normal. Nosisepsi merupakan tahap awal proses terjadinya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius dan non-noksius adalah nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor merupakan terminal yang tidak terdiferensiasi serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh mielin tipis dan berperan


(26)

menerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan, dan disebut juga high-threshold mechanoreceptors. Sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak dilapisi mielin.

Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih dari 50° C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeri tertinggi yang dapat diterima seseorang. Toleransi nyeri berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan dengan ambang nyeri.

b. Mekanisme Nyeri

Proses nyeri dimulai dengan stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya pengalaman subjektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi (Sudoyo, et al., 2009).

Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious pada jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi potensial aksi. Proses ini disebut dengan transduksi atau aktivasi reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang


(27)

15

berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari neuron ke aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinaps dengan neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan akan naik keatas di medulla spinalis menuju batang otak dan talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara thalamus dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptif. Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah kornu dorsalis medulla spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan (Sudoyo, et al., 2009).

c. Klasifikasi Nyeri

Menurut Smeltzer (2001), berdasarkan lokasi, durasi, kualitas, dan karakternya nyeri ada beberapa macam nyeri yaitu :

1) Nyeri Akut

Nyeri akut dalah suatu reaksi sensoris dari nosiseptif yang mendadak dan merupakan sinyal alarm untuk mekanisme proteksi tubuh. Nyeri akut hampir selalu terjadi oleh adanya picu kerusakan jaringan somatik maupun viseral, yang lama berlangsungnya


(28)

hampir bersamaan dengan lama sembuhnya perlukaan yang tidak disertai penyulit. Rasa nyeri akan hilang pada saat perlukaan sembuh. Berdasarkan sifatnya nyeri akut ada 2 macam :

a) Nyeri Fisiologis

Nyeri fisiologis terjadi apabila intensitas rangsang mencapai ambang nosiseptor dan mengakibatkan timbulnya refleks menghindar. Nyeri ini sifatnya sementara, hanya selama ada rangsang nyeri, dan dapat dilokalisir.

b) Nyeri Klinis

Nyeri klinis timbul karena terjadinya perubahan kepekaan sistem syaraf terhadap rangsang nyeri sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang disertai proses inflamasi. Nyeri ini sifatnya terlokalisir dan baru hilang bila penyebabnya hilang / sembuh.

2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung satu bulan di luar lamanya perjalanan penyakit akut atau nyeri yang tetap berlangsung walaupun perlukaan sudah sembuh.

3) Nyeri Somatik

Nyeri somatik adalah nyeri yang dipicu oleh adanya kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian permukaan tubuh (soma), meliputi kulit dan jaringan muskulo skeleta atau deep somatik, yaitu otot sendi, ligamentum, dan tulang. Kualitas


(29)

17

nyerinya tajam dengan lokalisasi berbatas tegas. 4) Nyeri Visceral

Nyeri visceral adalah nyeri yang di picu oleh kerusakan pada bagian dalam tubuh, terutama organ visceral yang disebabkan karena trauma atau nyeri punggung bawah karena jepitan / benturan. Cirinya adalah sifat umumnya tumpul, sifat nyerinya difus, lokasinya tidak jelas, dan selalu disertai reflek motorik dan otonom.

5) Nyeri Psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak ditimbulkan oleh stimulus, gangguan fungsi tranmisi nyeri, atau gangguan modulasi neuron. Mekanisme nyeri psikogenik lebih mirip dengan mimpi, halusinasi atau memori, dan sama sekali berbeda dengan nyeri atau sensasi yang datang dari nosiseptor.

6) Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik disebut juga sebagai nyeri patologis dan disebabkan oleh kerusakan serabut saraf perifer atau saraf sentral sendiri.

7) Nyeri Sentral

Nyeri sentral adalah nyeri yang dirasakan akibat adanya rangsangan dari sitem-sistem saraf pusat nyeri yang disebabkan oleh karena rusaknya serabut perifer pada nyeri sentral yang rusak adalah sistem saraf pusat sendiri (otak).


(30)

d. Visual Analogue Scale (VAS)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat. Walaupun VAS merupakan skala penentuan yang bersifat subjektif, VAS telah banyak diselidiki dan dianggap sebagai salah satu suatu metode yang paling akurat untuk mengukur rasa nyeri (Benzon, 2005)

Gambar 1. Visual Analogue Scale

3. Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cidera yang melibatkan banyak mediator. Inflamasi merupakan respon fisiologis dan sebagai salah satu respon imun non-spesifik. Inflamasi disebabkan oleh pelepasan berbagai mediator yang berasal dari jaringan rusak, sel


(31)

19

mast, leukosit, dan komplemen. Mediator-mediator tersebut menyebabkan munculnya tanda-tanda fisik inflamasi yaitu kalor, dolor, rubor, tumor, dan fungsiolisa (Patricia, 2011).

4. Analgesik, Antipiretik dan Antiinflamasi a. Definisi Analgesik

Analgesik adalah bahan yang mengurangi nyeri tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran (Patricia, 2011). Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita (Tjay, 2007).

Berdasarkan aksinya, menurut Gilang (2010) obat-abat analgesik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

1) Analgesik Opioid

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktura dan kanker.

2) Analgesik Nonopioid

Analgesik perifer / non-narkotik / nonopioid, terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan obat analgesik nonopioid atau obat analgesik perifer mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga


(32)

efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat nonopioid tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna, berbeda halnya dengan penggunanaan obat analgetika jenis analgesik opioid.

Obat ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). Siklooksigenase berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgesik jenis ini adalah memblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX, pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri.

b. Antipiretik

Antipiretik adalah golongan obat yang dipergunakan untuk menurunkan suhu tubuh bila demam. Cara kerja antipiretik antara lain dengan melebarkan pembuluh darah di kulit dan merangsang berkeringat (Latief , et al., 2001).

c. Antiinflamasi

Anti inflamasi adalah respon kompleks dari tubuh terhadap suatu yang tidak menyenangkan atau merupakan respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, termal, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik penyebab infeksi (Latief, et al., 2001).


(33)

21

5. Parasetamol a. Definisi

Parasetamol adalah golongan analgesik non-narkotik. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer atau efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas anti-inflamasi (Mary, et al., 2001).

b. Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu, obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi dan menimbulkan methamoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresikan melalui ginjal sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Sardjono , et al., 2007).

c. Farmakodinamik

Parasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi / anti-radang. Hambatan biosintesis prostaglandin (PG) hanya terjadi


(34)

bila lingkungan yang rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus sedangkan lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit, hal ini yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada (Sardjono , et al., 2007).

d. Efek Parasetamol

Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer yang mengakibatkan aktivitas antiinflamasinya lemah (Mary, et al.., 2001). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin (Sardjon , et al., 2007).

e. Dosis

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5 mL. selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300mg-1 g per kali, dengan maksimum 4g per hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali dengan maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali


(35)

23

dan bayi di bawah 1 tahun : 60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Sardjono, et al., 2007).

6. Ibuprofen a. Definisi

Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) dan turunan sederhana asam fenil propionat. Pada dosis sekitar 2400 mg per hari, efek anti inflamasi ibuprofen setara dengan 4 g aspirin. Obat-obat AINS termasuk ibuprofen mempunyai 3 efek terapi utama, yaitu anti inflamasi, analgesik dan antipiretik (Mary, et al. 2001).

b. Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan, dari lambung dan usus halus bagian atas. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein plasma (Anderson & Truoutman, 2002). Sedangkan absorpsi ibuprofen berlangsung selama 1-2 jam dan waktu paruhnya 2 jam.

c. Farmakodinamik

Efektivitas ibuprofen terutama disebabkan oleh kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim sikloolsigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang mengkatalis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida (Katzung, 2002). Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan menghambat siklooksigenase-I


(36)

(COX-I) dan siklooksigenase-II (COX-II). Namun tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet (Stoelting & Hillier, 2006).

d. Efek Ibuprofen

Ibuprofen termasuk salah satu dari golongan obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik (Abraham, 2005). Ibuprofen menimbulkan efek analgesik dengan menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen, dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono & Soekardjo, 2000).

Ibuprofen mempunyai tiga efek terapi utama menurut Mary, et al., (2001), yaitu antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik berikut penjelasannya:


(37)

25

1) Efek Antiinflamasi

Ibuprofen menghambat aktivitas siklooksigenase, maka akan mengurangi pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi dan prostaglandin bertindak sebagai mediator.

2) Efek Analgesik

Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitasi ujung saraf terhadap efek bradikinin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. Jadi, dengan menurunkan sintesis PGE2, ibuprofen akan menekan sensasi rasa sakit. Ibuprofen digunakan terutama untuk menanggulangi rasa sakit intensitas ringan sampai sedang yang timbul dari struktur integumen daripada yang berasal dari visera. Obat-obat AINS lebih superior daripada opioid dalam menanggulangi rasa sakit yang melibatkan inflamasi.

3) Efek Antipiretik

Demam terjadi jika “set-point” pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PGE2, yang dirangsang bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi, hipersensitivitas, keganasan, atau inflamasi. Ibuprofen menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PGE2. Ibuprofen mengembalikan “termostat”


(38)

kembali ke normal dan cepat menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pengeluaran panas sebagai akibat vasodilatasi perifer dan berkeringat.

Ibuprofen sangat efektif untuk meredakan nyeri. Ibuprofen menghilangkan nyeri dari berbagai penyebab seperti yang berasal dari otot, pembuluh darah, gigi, keadaan pasca peralinan, arthritis, dan bursitis. Ibuprofen bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap peradangan, tetapi juga menekan rangsang nyeri di tingkat subkorteks (Katzung, 2002).

e. Dosis

Dosis antiinflamasi rata-rata 1,2–1,8 g per hari dapat ditoleransi oleh kebanyakan orang dewasa. Dosis maksimalnya adalah 2,4 g per hari terbagi dalam 3-4 dosis. Untuk analgesik pada dewasa diberikan 0,6 – 1,2 g per hari yang terbagi dalam 3-4 dosis. Pada anak-anak dosis yang digunakan adalah 15 mg/kgBB/hari. Ibuprofen tidak dianjurkan diberikan pada anak dengan berat badan kurang dari 7 kg (Katzung, 2002). Dosis maksimal ibuprofen adalah 1200 mg/hari. Dosis maksimal pada anak dengan berat badan <30 kg adalah 500 mg/hari. Ibuprofen lebih baik diminum segera setelah makan.

7. Lidokain

Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk anestesi permukaan maupun infiltrasi dan merupakan anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal


(39)

27

dan suntikan. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara cepat dari tempat injeksi. Lidokain di dalam hepar diubah menjadi metabolit yang lebih larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor, ikatan obat – jaringan, dan karakter fisikokimianya (Ganiswarna, 2005).

B. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan efektifitas dengan memberikan parasetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post sirkumsisi terhadap nyeri setelah sirkumsisi, dimana pemberian ibuprofen setelah sirkumsisi lebih efektif dibandingkan pemberian parasetamol sebelum sirkumsisi.

Pengurangan Rasa Nyeri

Sirkumsisi Pemberian ParasetamolC

Pemberian IbuprofenC


(40)

28 A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimental untuk mengetahui pengaruh perbedaan nyeri pemberian parasetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post sirkumsisi. Menurut Solso & Maclin (2002), penelitian quasi eksperimental adalah suatu penelitian yang di dalamnya ditemukan minimal satu variabel yang dimanipulasi untuk mempelajari hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, penelitian eksperimental erat kaitanya dalam menguji suatu hipotesis dalam rangka mencari pengaruh, hubungan, maupun perbedaan perubahan terhadap kelompok yang dikenakan perlakuan.

B. Populasi dan Subjek Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek (manusia, binatang percobaan, data laboratorium) yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang telah ditentukan. Populasi terbagi menjadi dua macam, yaitu populasi target dan populasi terjangkau (Riyanto, 2011).

a. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah anak laki-laki kegiatan khitanan massal yang diadakan di RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta.


(41)

29

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien khitanan massal yang diadakan di RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta.

2. Subjek Penelitian

Subjek adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti, yang ciri-ciri dan keberadaannya diharapkan mampu mewakili atau menggambarkan ciri-ciri dan keberadaan populasi yang sebenarnya. Suatu subjek yang baik akan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang populasi (Sugiarto, 2001).

Pengambilan subjek dalam penelitian ini mengunakan teknik purposive sampling yaitu dengan cara memilih subjek diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga subjek bisa mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2009).

Subjek diambil dari pasien kegiatan khitanan massal yang memiliki kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien yang melakukan sirkumsisi menggunakan teknik dorsumsisi pada khitanan massal yang diadakan di RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta

2) Pasien telah diindikasi berdasarkan kepentingan agama, social, dan medis untuk melakukan sirkumsisi yang dinilai dari usia 5-12 tahun dan menurut pemeriksaan dokter kondisi pasien di perbolehkan melakukan sirkumsisi.


(42)

4) Harus dengan izin orang tua / wali

5) Pada hasil status lokalis pasien sirkumsisi sebaiknya penis harus dalam keadaan normal dan tanpa kelainan

b. Kriteria Eksklusi 1) Ada infeksi lokal 2) Mengalami hemophilia 3) Ada riwayat alergi obat

4) Pasien tidak mampu bekerjasama dengan baik 5) Pasien dengan kelainan penis

Menurut Supranto J. (2000) untuk penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap, acak kelompok atau factorial, secara sederhana dapat dirumuskan :

(t-1) (r-1) ≥ 15

Keterangan : t =banyaknya kelompok perlakuan, r = jumlah replikasi Jika jumlah perlakuan ada 2 buah, maka jumlah ulangan untuk tiap perlakuan dapat dihitung:

(2-1) (r-1) ≥ 15 1 (r-1) ≥ 15 (r-1) ≥ 15 (r) ≥ 15 + 1 (r) ≥ 16

Karena hasil yang didapat adalah 16, maka jumlah subjek minimal yang harus didapatkan oleh peneliti adalah 16 subjek. Untuk


(43)

31

mengatasi responden yang mengalami drop out, maka jumlah subjek ditambah 10 %.

Total subjek = n + (10%n) = 16 + (10% x 16) = 16 + (1,6) = 16 + 2 = 18 orang.

c. Kriteria Drop Out

Pasien tidak mau minum obat C. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

1. Lokasi Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilakukan di RSKIA Sadewa, Sleman Yogyakarta. 2. Waktu Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan pada minggu pertama bulan Juli 2015 D. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu : 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian parasetamol sebelum dan ibuprofen setelah sirkumsisi.


(44)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah skala nyeri responden setelah sirkumsisi

E. Definisi Operasional 1. Parasetamol

Parasetamol adalah golongan analgesik non-narkotik. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer atau efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas anti-inflamasi (Mary, et al., 2001).

2. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) dan turunan sederhana asam fenil propionat. Pada dosis sekitar 2400 mg per hari, efek anti inflamasi ibuprofen setara dengan 4 g aspirin. Obat-obat AINS termasuk ibuprofen mempunyai 3 efek terapi utama, yaitu anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik (Mary, et al. 2001).

3. VAS

Visual Analog Scale adalah instrument pengukuran nyeri paling banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan terhadap berbagai jenis nyeri. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang 10 cm. Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama sekali, sedangkan garis paling kanan menunjukkan rasa nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk menunjukkan nyeri yang dirasakan. Pengukuran dengan VAS pada nilai dibawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai antara 4-7 dinyatakan sebagai nyeri sedang, dan nilai diatas 7 dianggap sebagai nyeri


(45)

33

hebat (Sudoyo, et al., 2009). F. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar informed consent sebagai lembar persetujuan bahwa pasien sirkumsisi bersedia menjadi subjek dalam penelitian. Lembar informed consent juga mengikutsertakan lembaran identitas pasien dan beberapa data lain yang diambil dengan metode wawancara dengan tujuan untuk mengindentifikasi apakah pasien masuk dalam kriteria subjek atau tidak. Adapun alat dan bahan lain yang digunakan diantaranya:

1. Alat : Minor set, Kasa steril, Kapas, Jarum suntik, Kain steril untuk mempersempit daerah operasi.

2. Bahan : Cairan desinfektan seperti betadyne, lidokain 2%, parasetamol sirup 10 mg/kgBB, ibuprofen sirup 10 mg/kgBB.

3. Penelitian ini juga menggunakan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengukuran langsung terhadap anak yang diberikan parasetamol sebelum dan ibuprofen sesudah sirkumsisi.

G. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahan sebagai berikut : 1. Tahap persiapan

a. Mengurus izin penelitian di tempat pelaksanaan khitanan massal. b. Membuat lembar informed consent agar menyatakan responden


(46)

bekerja sama selama proses pengambilan data.

c. Menetapkan pelaksanaan dan menyiapkan alat dan bahan penelitian seperti parasetamol sirup, ibuprofen sirup, alat tulis, form pengambilan data, serta alat dokumentasi.

2. Tahap pelaksanaan

a. Pengambilan data primer pada responden dengan menggunakan form pengambilan data meliputi identitas responden, parameter nyeri, data lain yang terkait dengan variabel penelitian.

b. Pengumpulan data dengan observasi setelah responden dinyatakan lulus seleksi dan selesai dengan semua prosedur penelitian dilokasi sunatan massal berlangsung

3. Tahap akhir

Pengolaan data, analisis data dan presentasi hasil serta pembuatan laporan dan publikasi laporan.

H. Analisis Data

Data yang diambil berupa rasa nyeri (VAS) dari efek analgesik obat yakni parasetamol dan ibuprofen yang diperoleh dari data quasi eksperimental selama sirkumsisi dan setelah sirkumsisi. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS untuk melihat pengaruh antara kedua variabel. Selanjutnya dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui distribusi normal atau tidak. Apabila distribusi data normal maka dilakukan uji hipotesis dengan Independent Sampel t Test, sedangkan jika distribusi data tidak normal maka digunakan metode Mann Whitney.


(47)

35

I. Cara Kerja

Gambar 1. Cara Kerja Keterangan:

Cara kerja dalam penelitian ini dimulai dengan memilih subjek sebanyak 36 anak dengan memperhatikan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Anak laki-laki usia 5-12 tahun sebanyak 36 anak kemudian dikumpulkan bersama orang tua/wali untuk melakukan persetujuan dengan mengisi lembar informed consent. Penjelasan tentang prosedur penelitian dilakukan setelah orang tua/ wali menandatangani lembar informed consent, dimana subjek penelitian dijelaskan bahwa pemberian obat yang akan dilakukan dalam 2 kelompok: 1. Kelompok 1 (pemberian parasetamol sebelum sirkumsisi) akan langsung

Informed Consent

Observasi VAS setelah 60 menit pemberian obat Pemilihan subjek

penelitian : 36 anak

C

Menjelaskan prosedur penelitian

Dibagi menjadi 2 Kelompok

perlakuan Kelompok 1 :

Parasetamol Tindakan

Sirkumsisi

Kelompok 2 : Tindakan Sirkumsisi


(48)

diberikan parasetamol sirup dan ditunggu sampai 15 menit sebelum diberikan anastesi lokal. Kemudian dilanjutkan dengan proses sirkumsisi sampai akhirnya setelah 60 menit dari waktu pemberian parasetamol kemudian dilakukan pencatatan nyeri dengan metode VAS.

2. Kelompok 2 (pemberian ibuprofen setelah sirkumsisi), responden langsung mengikuti proses sirkumsisi dengan dimulai dari pemberian anastesi lokal yang dilanjutkan dengan tindakan sirkumsisi. Ketika preputium responden telah terpotong sempurna, barulah diberikan pemberian parasetamol sirup dan ditunggu sampai 60 menit untuk pencatatan dengan metode VAS.


(49)

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental untuk mengetahui perbandingan efektivitas pemberian Parasetamol pre sirkumsisi dengan Ibuprofen post sirkmusisi terhadap rasa nyeri setelah sirkumsisi. Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok perlakuan yang dimana masing-masing perlakuan melibatkan 18 anak. Kelompok I sebagai kelompok perlakuan dengan pemberian Parasetamol pre sirkumsisi dan kelompok II sebagai kelompok perlakuan dengan pemberian Ibuporfen post sirkumsisi. Pengamatan terhadap intensitas nyeri yang dirasakan responden dilakukan setelah dilakukannya tindakan sirkumsisi pada setiap kelompok perlakuan dengan menggunakan VAS.

Gambar 1. Rerata VAS

Berdasarkan data rata-rata VAS yang tertera dalam gambar 4 diketahui bahwa kelompok pemberian Ibuprofen post sirkumsisi memiliki nilai VAS


(50)

yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok pemberian Parasetamol sebelum, dengan nilai rata-rata VAS sebesar 4,3333 untuk kelompok Ibuprofen dan 6 untuk kelompok Paracetamol.

Tabel 1. Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std.

Deviation

Parasetamol_Presirkumsisi 18 2 9 6.00 1.970

Ibuprofen_Postsirkumsisi 18 2 7 4.33 1.414

Valid N (listwise) 18

Pada pemberian parasetamol pre sirkumsisi memiliki nilai minimum 2, maximum 9, mean 6, std. deviation 1.970 sedangkan untuk ibuprofen post sirkumsisi nilai minimum 2, maksimum 7, mean 4,33; standar deviasi 1,414.

Tabel 2. Test of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Parasetamol_Presirkumsisi .194 18 .071 .931 18 .203 Ibuprofen_Postsirkumsisi .204 18 .045 .920 18 .127

Data terlebih dahulu harus diuji untuk membuktikan apakah pemberian ibuprofen post sirkumsisi lebih efektif dalam mengurangi nyeri dibandingkan dengan pemberian parasetamol pre sirkumsisi, karena data yang diperoleh adalah data numerik maka terlebih dahulu harus diuji distribusinya dengan uji normalitas (Test of Normality). Jumlah data yang akan diuji kurang dari 50 maka data diuji dengan Shapiro-Wilk. Distribusi data normal, karena didapatkan skor parasetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post sirkumsisi masing-masing 0,203 dan 0,127 yang berarti score > 0,05, dimana jika didapatkan score > 0,05 maka distribusi data dikatakan normal, sedangkan jika


(51)

39

didapatkan score < 0.05 maka distribusi data dikatakan tidak normal. Data yang didapatkan terdistribusi normal, maka digunakan uji Independent Sample t Test.

Tabel 3. Independent Sample Test

Dari hasil uji dengan menggunakan Independent Sample t Test, didapatkan nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,005 (P value < 0,05) sehingga dapat disimpulkan H1 dan H0 ditolak. Hal ini menandakan bahwa adanya perbedaan

efektifitas antara pemberian Parasetamol dan Ibuprofen, pada setiap perlakuan yang diberikan sebelum sirkumsisi, dengan pemberian Ibuprofen post sirkumsisi lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Parasetamol pre sirkumsisi.

B. Pembahasan

Visual Analog Scale (VAS) merupakan metode yang paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya


(52)

adalah sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat. Walaupun VAS merupakan skala penentuan yang bersifat subjektif, VAS telah banyak diselidiki dan dianggap sebagai salah satu suatu metode yang paling akurat untuk mengukur rasa nyeri (Benzon, 2005).

Luka pasca sirkumsisi menyebabkan sel mengalami kerusakan. Apabila terdapat luka maka reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, akan menerima rangsangan nyeri yang kemudian dibawa ke spinal cord yang dilanjutkan ke traktus spinothalamus selanjutnya ke korteks serebri. Dinding sel terdiri atas komponen fosfolipid (fosfat dan lemak), adanya luka sel akan menyebabkan lepasnya enzim fosfolipase A2. Enzim ini menyebabkan diproduksinya asam arakidonat (ARA) oleh sel yang akan dilepaskan dalam darah. Asam arakidonat nantinya bercabang menjadi 2 yaitu jalur siklooksigenase (COX) dan jalur lipooksigenase. Pada jalur COX ini terbentuk prostaglandin (PG), prosasiklin (PGI), dan tromboksan A2 (TX), sedangkan pada jalur lipooksigenase terbentuk leukotrin (LTI). Alur nyeri pada bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan zat kimia bradikinin, prostaglandin, kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian membantu transmisi nyeri ke otak. Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spinal cord. Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak. Impuls dikirim ke korteks, dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan. Prostaglandin (PG) berperan sebagai mediator inflamasi dan nyeri, juga menyebabkan vasodilator dan edema atau pembengkakan (Sinatra R., 2002). Enzim cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis


(53)

41

sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan agregasi platelet. Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2 (Meyer, 2000).

Parasetamol adalah golongan analgesik non-narkotik. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer atau efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas anti-inflamasi (Mary, , et al.., 2001). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin (Sardjono, dkk., 2007).

Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Mekanisme kerja parasetamol yang bersifat lemah sebagai analgesik, bekerja menghambat biosintesis prostaglandin dengan menghambat pelepasan COX yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek antiinflamasi parasetamol tidak ada. Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3, suatu variant dari COX-1. COX-3 ini hanya terdapat di otak atau susunan saraf pusat (Deglin & Judith, 2005).


(54)

Siklooksigenase 3 (COX-3) dapat menjelaskan mekanisme kerja dari beberapa analgetik antipiretik NSAID yang memiliki efektifitas kerja lemah dalam menginhibisi COX-1 dan COX-2 tetapi dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke otak. Pengetahuan mengenai mekanisme kerja COX 3 sangat diperlukan dalam menerangkan mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini masih sangat sulit untuk dipahami (Regina, 2006).

Ibuprofen adalah obat yang termasuk dalam golongan AINS (Anti inflamasi Non Steroid). Ibuprofen bekerja dengan mengurangi hormon yang menyebabkan inflamasi dan nyeri tubuh. Aktivitas analgesik (penahan rasa sakit) ibuprofen bekerja dengan cara menghambat kerja enzim siklooksigenase yang berimbas pada terhambatnya sintesis prostaglandin yaitu suatu zat yang bekerja pada ujung-ujung saraf yang sakit. Prostaglandin (PG) berperan sebagai mediator inflamasi dan nyeri, juga menyebabkan vasodilator dan edema (pembengkakan). Aktivitas antipiretik (penurun panas) ibuprofen bekerja di hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi dan aliran darah. Anti inflamasi pada umunya bekerja pada enzim yang membantu terjadinya inflamasi. Namun pada umunya obat anti inflamasi bekerja pada enzim siklooksigenase (COX) baik COX-1 maupun COX-2. Ibuprofen menghambat enzim COX-1 dan COX-2 sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. COX-1 berfungsi menghasilkan prostaglandin yang esensial bagi tubuh, misal di lambung dan ginjal. Sedangkan COX-2 baru terdapat ketika ada reaksi inflamasi (Widodo, , et al.., 2001).


(55)

43

langsung dan selektif enzim-enzim pada system saraf pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Rabia dan Nousheen (2010) dari Perguruan Tinggi Farmasi di Ziauddin-Pakistan, dalam penelitiannya yang berjudul “An Overview of Clinical Pharmacology of Ibuprofen” mengemukakan bahwa dosis rendah pada ibuprofen setara dengan aspirin dan parasetamol yang biasanya diberikan sebagai terapi dengan dosis normal .


(56)

44 A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada perbedaan yang signifikan efektifitas memberikan parasetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post sirkumsisi terhadap nyeri setelah sirkumsisi. 2. Pemberian Ibuprofen pasca sirkumsisi lebih efektif mengurangi rasa nyeri

setelah sirkumsisi. B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Saran bagi dokter

Sebaiknya dokter memberikan obat yang lebih baik dan benar terhadap anak yang habis sirkumsisi, dengan memperhitungkan efek samping dari obat.

2. Saran bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan taraf kuantitas dan kualitasnya. Secara kuantitas, dengan memperluas daerah penelitian atau menambah jumlah responden, sedangkan secara kualitas dengan memberikan perlakuan lain yang memungkinkan lebih efektif dari kedua perlakuan pada penelitian ini.


(57)

45

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, P. (2005). Nitro-Arginine Methyl Ester, A Non-Selective Inhibitor of Nitric Oxide Synthase Reduce Ibuprofen. Digestive Riseases and Sciences. Anas, T. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.

Anderson, J, K. E., & Troutman. (2002). Clinical Drug Data. New York: McGraw-Hill.

Benzon. (2005). The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

Farmakologi Dasar Dan Klinik / Bertram G. Katzung; alih bahasa, Staf dosen farmakologi Fakultas Kedokteran Unsri; editor, H.Azwar Agoes. – Ed. 6. – Jakarta: EGC, 1997

Flinn, K. (2012). Male Circumcision. American Academy of Pediatric.

Ganiswarna. S. A. (2005). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.332 Gilang. (2010). Analgesik Non-Opioid atau NSAID/OAINS.

Harsono, Anik, , et al. (2011). Perbedaan Penyembuhan Luka Post Sirkumsisi Dengan Metode Eletro Couter Dan Metode Konvensional Pada Pasien Sirkumsisi Di Poliklinik Morodadi Boyolali Februari 2011 Diakses 25

Februari 2015, dari

jurnal.usahidsolo.ac.id/index.php/Jiki/article/view/45/36

Hermana, A. (2000). Teknik Khitan Panduan Lengkap, Sistematis dan Praktis (1th Ed.). Jakarta : Widya Medika, 2000

Hidayat, A.A.A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Katzung, G.B. (2002). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Penterjemah: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. hal. 457-458.

Latief. S. A., Suryadi K. A., dan Dachlan M. R. (2001). Petunjuk Praktis Anestesiologi (2nd Ed). Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.


(58)

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medica Aesculapius FKUI.

Mary J. Mycek, Richard A. Harvey, Pamela C. Champe, & Bruce D. Fisher. (2001). Farmakologi (Ed 2.). Jakarta : Widya Medika.

Meyer-Kirchrath, & J., K. Schrör. (2000). Cyclooxygenase-2 Inhibition and Side- Effects of Non-steroidal Anti-inflammatory Drugs in the Gastrointestinal Tract. Curr. Med.

Miller, G. (2007). The Circumcision Reference Library (Vol. 9). Virginia Journal Of Social Policy and The Law.

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

O'Conner-Von S , et al.. (2013). Male infant circumcision pain management oleh American society for pain management nursing

Patricia D. Novak. (2011). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC .

Purnomo, B. (2011). Dasar-dasar urologi (3th ed.). Jakarta: Sagung Seto.

Rabia, B., & Nousheen, A. (2010). An Overview of Clinical Pharmacology of Ibuprofen. Journal of Oman Medical Journal. Volume 25, Issue 3.

Regina, Botting. COX-1 and COX-3 inhibitors. The William Harvey Research Institute, St. Bartholomew's and the Royal London School of Medicine, Charterhouse Square.London. 2006.

Riyanto, A. (2011). Aplikasi Metode Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sardjono, Santoso, dan Hadi Rosmiati D. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian farmakologi FK-UI.

Siswandono dan Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press. hal. 291.303.

Smeltzer, & C, S. (2001). Keperawatan Medical Bedah Brunner dan Suddart (8 ed.). Jakarta: Buku kedokteran.

Solso, & Maclin, R. L. (2002). Cognitive Psychologi. New York: Pearson.

Stoelting, & Hillier. (2006). Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Philadelpia : Lippincott.


(59)

47

Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, & S. Setiati. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Vol III. Jakarta. Interna Publishing.

Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, & S. Setiati. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Vol III. Jakarta. Interna Publishing.

Sugiarto. (2001). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Supranto, J. (2000). Statistik (6th ed.). Jakarta: Erlangga.

Syamsir, H. M. (2014). Sirkumsisi Berbasis Kompetensi (2thed.). Jakarta: EGC, 2014.

Tjay, Hoan, T., & Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia. Widodo, Samekto, dan Abdul Gofir. (2001). Farmakologi dalam Neurologi.


(60)

(61)

FORMULIR INFORMED CONSENT (KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN)

Dengan ini saya

Nama :___________________________________________________ Jenis Kelamin : ___________________________________________________ Umur : ___________________________________________________ Alamat : _________________________________________________ Telepon/HP : __________________________________________________

Menyatakan bersedia mengikuti kegiatan penelitian/survey yang berjudul: “PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL PRE SIRKUMSISI DENGAN IBUPROFEN POST SIRKUMSISI TERHADAP

RASA NYERI SETELAH SIRKUMSISI” dengan ketentuan apabila ada hal-hal

yang tidak berkenan pada saya, maka saya berhak mengajukan pengunduran diri dari kegiatan penelitian/survey ini.

___________,____________________

Peneliti Responden

_______________________ _______________________ Saksi

_______________________ _______________________

Alamat: Alamat:


(1)

44 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada perbedaan yang signifikan efektifitas memberikan parasetamol pre sirkumsisi dan ibuprofen post sirkumsisi terhadap nyeri setelah sirkumsisi. 2. Pemberian Ibuprofen pasca sirkumsisi lebih efektif mengurangi rasa nyeri

setelah sirkumsisi. B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian, maka peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Saran bagi dokter

Sebaiknya dokter memberikan obat yang lebih baik dan benar terhadap anak yang habis sirkumsisi, dengan memperhitungkan efek samping dari obat.

2. Saran bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan taraf kuantitas dan kualitasnya. Secara kuantitas, dengan memperluas daerah penelitian atau menambah jumlah responden, sedangkan secara kualitas dengan memberikan perlakuan lain yang memungkinkan lebih efektif dari kedua perlakuan pada penelitian ini.


(2)

45

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, P. (2005). Nitro-Arginine Methyl Ester, A Non-Selective Inhibitor of Nitric Oxide Synthase Reduce Ibuprofen. Digestive Riseases and Sciences. Anas, T. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.

Anderson, J, K. E., & Troutman. (2002). Clinical Drug Data. New York: McGraw-Hill.

Benzon. (2005). The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

Farmakologi Dasar Dan Klinik / Bertram G. Katzung; alih bahasa, Staf dosen farmakologi Fakultas Kedokteran Unsri; editor, H.Azwar Agoes. – Ed. 6.

– Jakarta: EGC, 1997

Flinn, K. (2012). Male Circumcision. American Academy of Pediatric.

Ganiswarna. S. A. (2005). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.332 Gilang. (2010). Analgesik Non-Opioid atau NSAID/OAINS.

Harsono, Anik, , et al. (2011). Perbedaan Penyembuhan Luka Post Sirkumsisi Dengan Metode Eletro Couter Dan Metode Konvensional Pada Pasien Sirkumsisi Di Poliklinik Morodadi Boyolali Februari 2011 Diakses 25

Februari 2015, dari

jurnal.usahidsolo.ac.id/index.php/Jiki/article/view/45/36

Hermana, A. (2000). Teknik Khitan Panduan Lengkap, Sistematis dan Praktis (1th Ed.). Jakarta : Widya Medika, 2000

Hidayat, A.A.A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Katzung, G.B. (2002). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Penterjemah: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. hal. 457-458.

Latief. S. A., Suryadi K. A., dan Dachlan M. R. (2001). Petunjuk Praktis Anestesiologi (2nd Ed). Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.


(3)

46

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medica Aesculapius FKUI.

Mary J. Mycek, Richard A. Harvey, Pamela C. Champe, & Bruce D. Fisher. (2001). Farmakologi (Ed 2.). Jakarta : Widya Medika.

Meyer-Kirchrath, & J., K. Schrör. (2000). Cyclooxygenase-2 Inhibition and Side- Effects of Non-steroidal Anti-inflammatory Drugs in the Gastrointestinal Tract. Curr. Med.

Miller, G. (2007). The Circumcision Reference Library (Vol. 9). Virginia Journal Of Social Policy and The Law.

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

O'Conner-Von S , et al.. (2013). Male infant circumcision pain management oleh American society for pain management nursing

Patricia D. Novak. (2011). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC .

Purnomo, B. (2011). Dasar-dasar urologi (3th ed.). Jakarta: Sagung Seto.

Rabia, B., & Nousheen, A. (2010). An Overview of Clinical Pharmacology of Ibuprofen. Journal of Oman Medical Journal. Volume 25, Issue 3.

Regina, Botting. COX-1 and COX-3 inhibitors. The William Harvey Research Institute, St. Bartholomew's and the Royal London School of Medicine, Charterhouse Square.London. 2006.

Riyanto, A. (2011). Aplikasi Metode Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sardjono, Santoso, dan Hadi Rosmiati D. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian farmakologi FK-UI.

Siswandono dan Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press. hal. 291.303.

Smeltzer, & C, S. (2001). Keperawatan Medical Bedah Brunner dan Suddart (8 ed.). Jakarta: Buku kedokteran.

Solso, & Maclin, R. L. (2002). Cognitive Psychologi. New York: Pearson.

Stoelting, & Hillier. (2006). Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Philadelpia : Lippincott.


(4)

47

Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, & S. Setiati. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Vol III. Jakarta. Interna Publishing.

Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, & S. Setiati. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Vol III. Jakarta. Interna Publishing.

Sugiarto. (2001). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Supranto, J. (2000). Statistik (6th ed.). Jakarta: Erlangga.

Syamsir, H. M. (2014). Sirkumsisi Berbasis Kompetensi (2thed.). Jakarta: EGC, 2014.

Tjay, Hoan, T., & Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia. Widodo, Samekto, dan Abdul Gofir. (2001). Farmakologi dalam Neurologi.


(5)

(6)

FORMULIR INFORMED CONSENT (KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN)

Dengan ini saya

Nama :___________________________________________________ Jenis Kelamin : ___________________________________________________ Umur : ___________________________________________________ Alamat : _________________________________________________ Telepon/HP : __________________________________________________

Menyatakan bersedia mengikuti kegiatan penelitian/survey yang berjudul:

“PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL PRE

SIRKUMSISI DENGAN IBUPROFEN POST SIRKUMSISI TERHADAP

RASA NYERI SETELAH SIRKUMSISI” dengan ketentuan apabila ada hal-hal

yang tidak berkenan pada saya, maka saya berhak mengajukan pengunduran diri dari kegiatan penelitian/survey ini.

___________,____________________

Peneliti Responden

_______________________ _______________________ Saksi

_______________________ _______________________

Alamat: Alamat: