BAB VI KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN

(1)

DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI DESA SANGSIT, JAGARAGA DAN SAWAN

Sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang disampaikan oleh Richardson dan Fluker (2004) dalam Pitana at al., (2005) motivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan ditentukan oleh faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors). Faktor-faktor pendorong berasal dari diri wisatawan dan faktor penarik berasal dari daerah tujuan wisata.

Faktor-faktor penarik baik produk (tangible) maupun jasa (intangible) Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan memiliki beberapa kelemahan sehingga mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung. Analisa terhadap faktor-faktor kelemahan perlu dilakukan guna mendapatkan strategi pengembangan yang tepat. Berikut adalah analisa terhadap kelemahan-kelemahan atau kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan sesuai dengan konsep 4 A (Attraction, Accessibility, Amenities dan Ancillary Services).

6.1 Attraction (Atraksi)

Sesuai pernyataan Perbekel Desa Jagaraga, Made Sumendra Nurjaya, wisatawan yang berkunjung ke Pura Dalem Segara Madu hanya sebatas melihat-lihat relief pura dan setelah itu mereka pergi ke tempat lain (Hasil wawancara tanggal 15 Februari 2010).


(2)

Hal yang sama juga disampaikan oleh staf penjaga Pura Beji Sangsit, Nyoman Mustika, bahwa wisatawan hanya melihat-lihat dan memfoto ukiran Pura Beji, dan setelah itu pergi ke Lovina atau Denpasar (Hasil wawancara tanggal 10 April 2010).

Berdasarkan dua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa atraksi wisata Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan masih terbatas karena hanya mengandalkan Pura Beji Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga sebagai daya tarik wisata. Padahal masih banyak potensi budaya yang lain (sesuai Bab V) yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata budaya sehingga jumlah dan lama tinggal wisatawan bisa lebih ditingkatkan. Selain itu, kurangnya penjelasan (interpretasi) yang diberikan pramuwisata terhadap daya tarik wisata yang terdapat di tiga desa tersebut juga sebagai penyebab rendahnya jumlah dan kunjungan wisatawan.

6.2 Aksesibilitas (Accessibility)

Prasarana jalan di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan telah menggunakan jalan aspal. Desa Sangsit berada pada jalur jalan provinsi dengan lebar 8 meter, jalan menuju Desa Jagaraga dan Sawan dengan lebar jalan 4,5 meter dengan kondisi baik. Aksesebilitas menuju Desa Jagaraga dan Sawan dilihat dari kondisi jalan raya dan moda angkutannya, tergolong memadai, kecuali jalur alternatif dari Desa Pegayaman melalui Desa Lemukih-Sekumpul dalam keadaan rusak (Gambar 6.1).

Seorang warga Desa Sawan yang tinggal di Denpasar, Made Sudirma, mengatakan sebagai berikut.


(3)

”Jalur Desa Sawan-Bebetin-Lemukih-Desa Pegayaman dalam kondisi rusak dan sudah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Padahal kalau jalan tersebut dalam kondisi bagus akan dapat menghemat waktu terutama bagi masyarakat dan wisatawan yang ingin berkunjung ke Desa Lemukih, Galungan, Sekumpul, Bebetin, Sawan, Menyali dan Jagaraga. Kalau menuju Desa Sawan melalui Kota Singaraja jaraknya kurang lebih 45 Km, sedangkan kalau melalui Desa Lemukih-Sekumpul-Bebetin jaraknya hanya 22 Km. Selain jarak yang lebih dekat, wisatawan juga dapat menikmati pemandangan alam berupa hutan dan perkebunan kopi, cengkeh, dan persawahan yang sangat indah dengan hawa yang sejuk sepanjang jalur tersebut” (Hasil wawancara tanggal 12 Juni 2010).

Gambar 6.1 Jalan Desa Sawan-Lemukih-Desa Pegayaman yang rusak Sumber: Budiarta, 2010

Commercial Analysis Bali Hai Cruise, Gede Buda Nataran, (42 tahun) mengatakan sebagai berikut.

“Faktor utama yang menyebabkan Kecamatan Sawan, termasuk Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan kurang berkembang secara maksimal karena kurangnya prasarana transportasi seperti airport dan pelabuhan laut, serta letak geografis yang cukup jauh (2-3 jam perjalanan). Ditambah lagi dengan medan yang berliku-liku dapat mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung ke desa-desa tersebut. Walaupun Kabupaten Buleleng sudah memiliki airport perintis Letkol Wisnu, namun airport tersebut hanya mampu menampung jenis pesawat kecil dengan kapasitas 2 - 4 penumpang


(4)

sehingga harga tiket akan menjadi sangat mahal” (Hasil wawancara tanggal 2 Juni 2010)

Hal yang senada juga disampaikan oleh bagian penjualan Pacto Tours and Travel di airport , Aswina. Dalam wawancara dikatakan sebagai berikut.

“Rute tour ke Bali Utara biasanya waktunya panjang. Bagi wisatawan yang tinggal di wilayah Denpasar mereka harus menempuh waktu 9-10 jam. Bahkan bagi wisatawan yang harus melihat Tanah Lot dalam Singaraja Tour bisa balik sekitar jam 7 malam yang berarti waktu perjalanan 12 jam. Kalau rute tour di Bali Selatan waktunya pendek, cukup 3-4 jam sudah selesai. Juga jarak antara destinasi di Bali Utara jaraknya cukup jauh. Misalnya dari Pura Beji menuju air panas Banjar memakan waktu 1 jam lebih. Selain itu, tour ke Bali Utara cukup melelahkan. Berbeda dengan tour di Bali Selatan, jarak destinasi satu dengan yang lainnya pendek sehingga tidak perlu waktu yang lama” (Hasil wawancara tgl 16 Juni 2010).

Pemilik hotel Berdikari and Restaurant di Desa Sangsit Dangin Yeh, Made Pasek Sudarsana, menyatakan sebagai berikut:

”... jarak bandara Wisnu yang sangat jauh dari kota Singaraja menjadikan bandara ini sulit untuk berkembang. Para penumpang dari Buleleng akan lebih efektif dan efesien apabila mereka berangkat dari Denpasar daripada dari bandara Letkol. Wisnu di Desa Pemuteran yang sangat jauh dari Kota Singaraja. Selain itu posisi bandara Wisnu yang terletak diantara laut dan gunung sangat sulit untuk dikembangkan. Kendatipun landasan pacunya dikembangkan ke tengah laut agar pesawat yang lebih besar bisa mendarat, namun hal ini akan mengganggu keramba-keramba/tempat pemeliharaan ikan kerapu di Desa Pegametan” (Hasil wawancara tanggal 22 April 2010).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa unsur aksesibilitas Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan kurang. Jarak yang jauh dari airport Ngurah Rai dan dari sentral-sentral pariwisata di Bali Selatan seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua dan Kabupaten Gianyar. Selain jarak yang jauh dan medan yang berliku-liku juga rusaknya jalur alternatif lewat Desa Lemukih, jarak antara daya tarik wisata yang satu dengan yang lain berjauhan (misalnya antara Pura Beji ke Air Panas


(5)

Banjar bisa memakan waktu sampai 1 jam lebih) dapat mengurangi minat wisatawan ke Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

6.3 Fasilitas (Amenities)

Sesuai dengan Data Pokok Kecamatan Sawan Tahun 2006, di Kecamatan Sawan terdapat sebuah hotel (Hotel & Restaurant Berdikari) di Desa Sangsit Dangin Yeh (sekarang Desa Giri Mas) dan sebuah bungalow di Desa Kerobokan. Hotel Berdikari and Restaurant memiliki 14 kamar tidur, 9 villa, sebuah restoran dan tempat parkir yang cukup luas. Bungalow di Desa Kerobokan memiliki 2 kamar tidur yang dilengkapi kamar mandi/toilet.

Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan belum memiliki fasilitas akomodasi dan restoran yang merupakan sarana sangat penting untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang berkunjung dan tinggal sementara (menginap) di desa-desa tersebut.

Berdasarkan pengamatan peneliti, fasilitas tempat parkir dan toilet umum juga tidak ditemukan di beberapa daya tarik wisata di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan seperti di Pura Dalem Kelod Sangsit, Pura Dalem Segara Madu dan Pura Subak Beraban Jagaraga. Selama ini parkir masih dilakukan di pinggir jalan, sehingga membuat para pengguna jalan merasa tidak nyaman dalam berkendaraan. Begitu pula fasilitas toilet yang belum dimiliki oleh banyak warga menjadi kendala bagi wisatawan yang sedang berkunjung.

Dari pengamatan peneliti Pura Beji Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga sudah memiliki kamar mandi/toilet, namun kebersihannya kurang terawat. Tempat permandian umum di Pura Batu Bolong yang belum dilengkapi


(6)

fasilitas toilet membuat masyarakat membuang hajat pada kali yang berada di samping permandian yang dekat dengan pura. Hal ini tentu dapat menyebabkan pemandangan dan bau yang kurang sedap bagi masyarakat dan wisatawan yang mengunjungi pura tersebut.

Beberapa wisatawan yang berkunjung ke Pura Dalem Segara Madu menyatakan bahwa fasilitas tempat parkir dan toilet sangat kurang. Petikan wawancara yang dilakukan tanggal 4 April 2010 kepada beberapa wisatawan yang sedang berkunjung ke Pura Dalem Segara Madu adalah sebagai berikut.

Wisatawan dari Inggris, L. Davies, mengatakan,

”the road is good, poor parking”. Artinya jalan bagus, tetapi tempat parkirnya jelek.

Wisatawan dari Belgia, Steven Costernicus, mengatakan,

”toilet and parking are urgently developed”. Artinya WC dan tempat parkir perlu segera dibangun.

Perbekel Desa Jagaraga, I Made Sumendra Nurjaya (38 tahun) memiliki pandangan yang sama terhadap fasilitas Pura Dalem Segara Madu. Petikan wawancaranya sebagai berikut.

”... tempat parkir dan kamar mandi/toilet di Pura Dalem Segara Madu masih sangat kurang. Selain itu, Desa Jagaraga tidak memiliki tempat-tempat pertunjukan kesenian seperti tempat-tempat pertunjukan tari legong dan sebagainya padahal desa ini sangat potensial dengan kesenian daerahnya. Sehingga wisatawan yang berkunjung ke Pura Dalem Segara Madu hanya sebatas melihat-lihat relief pura dan setelah itu mereka pergi ke tempat lain” (Hasil wawancara tanggal 15 Pebruari 2010).

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa fasilitas tempat parkir, kamar mandi/toilet, akomodasi, restoran, tempat penjualan hasil


(7)

kerajinan masyarakat, dan tempat-tempat pertunjukan kesenian, seperti tari legong, di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan masih sangat kurang sehingga mengurangi keinginan wisatawan untuk tinggal lebih lama di daerah tersebut. 6.4 Layanan Pendukung (Ancillary Services)

1. Pengelolaan

Lembaga yang mengelola kepariwisataan Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan secara kolektif belum ada. Mantan ketua BPPS (Badan Pengembangan Pariwisata Kecamatan Sawan), Made Pasek Sudarsana, mengatakan sekitar tahun 2005 pernah berdiri sebuah organisasi informal, BPPS, yang bertugas menginventarisasi dan mengembangkan pariwisata Kecamatan Sawan, namun saat ini keberadaannya sudah mati suri. (Wawancara tanggal 22 April 2010).

Pura Beji Sangsit saat ini dikelola oleh Subak Beji dengan sistem bagi hasil antara subak Beji dengan dua orang penjaga pura. Berdasarkan wawancara dengan penjaga Pura Beji, Nyoman Mustika, pengelolaan Pura Beji adalah sebagai berikut.

“Pura Beji tidak menggunakan tiket atau karcis masuk, tetapi berdasarkan donasi (sumbangan) yang bersifat sukarela, dimana wisatawan diberi kebebasan untuk menyumbang berapa pun jumlahnya. Ketika wisatawan tiba di pintu masuk pura, langsung diberikan kain dan selendang sebagai persyaratan masuk pura, kemudian wisatawan dipersilahkan untuk menulis nama, negara asal dan sumbangan secara sukarela pada buku tamu. Jumlah sumbangan wisatawan sangat bervariasi mulai dari Rp 2.000, Rp 3000, Rp 4.000, Rp 5.000 dan beberapa wisatawan ada yang menyumbang sampai Rp 50.000. Hasil donasi tersebut setiap bulan dibagi dengan sistem persentase antara penjaga pura dengan subak Beji. Ada dua orang yang bertugas sebagai penyambut wisatawan di Pura Beji” (Hasil wawancara tanggal 10 April 2010).

Selanjutnya, Pura Dalem Segara Madu dikelola dengan cara yang sedikit berbeda dengan Pura Beji Sangsit. Pura Dalem Segara Madu dikelola oleh salah


(8)

seorang warga setempat, Made Mena. Biaya karcis masuk sebesar Rp. 10.000 per orang. Perbekel Desa Jagaraga menjelaskan sebagai berikut.

“Pengelolaan Pura Dalem Segara Madu dengan sistem tender. Setiap tahun Kelian Desa Pakraman Jagaraga memberikan kesempatan kepada semua anggota masyarakat yang mau mengelola Pura Dalem tersebut. Peserta tender yang memiliki angka tender paling tinggi akan diberikan hak untuk mengelola pura tersebut” (Hasil wawancara tanggal 15 April 2010).

Cara atau sistem tender yang diterapkan pada pura Dalem Segara Madu bisa saja menyebabkan kesewenangan pengelola dalam menentukan donasi/tiket masuk sehingga biaya/tiket masuk menjadi lebih mahal dibandingkan dengan tempat lain. Sesuai dengan prinsip ekonomi, pengelola akan berusaha untuk melakukan pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa cara pengelolaan pura-pura di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan belum seragam. Ketidakseragaman jumlah pungutan antara pura Beji Sangsit dengan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga dapat menimbulkan rasa kekurangpuasan wisatawan dan menimbulkan persaingan diantara pura-pura tersebut. Sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang dikemukakan oleh Tasman dan Aima (2005:12), bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk yang dibeli oleh konsumen. Dengan demikian wisatawan pasti akan mengunjungi daya tarik wisata yang harganya paling murah (Pura Beji Sangsit) dan menghindari harga yang lebih mahal (Pura Dalem Segara Madu Jagaraga).

Selain Pura Beji Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga, pura-pura yang lain di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan tidak ada orang yang menjaga


(9)

sehingga menjadi kendala bagi para wisatawan yang ingin berkunjung. Kecuali bagi mereka yang ingin melakukan persembahyangan dapat menghubungi pemangku pura tersebut sebelumnya.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan unsur yang sangat penting dalam industri pariwisata. SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pariwisata akan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada wisatawan. Namun dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali Selatan (Kabupaten Badung, Kota Denpasar) dan Ubud telah mendorong masyarakat Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan urbanisasi ke daerah–daerah tersebut untuk bekerja di bidang pariwisata seperti hotel, restoran, Biro Perjalanan Wisata, artshop, laundry dan sebagainya. Akibatnya, Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan kekurangan SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pariwisata. Artinya, sangat sedikit tenaga kerja yang mau mengelola dan berperan dalam pengembangan pariwisata di wilayah mereka sendiri.

Perbekel Desa Sawan, Ketut Pande, menyatakan bahwa banyak tenaga kerja dari Desa Sawan yang berpotensi untuk dilibatkan dalam pengembangan pariwisata, namun mereka tidak berada di desa karena banyak yang merantau. Petikan wawancaranya adalah sebagai berikut.

“………..tenaga kerja pariwisata dari Desa Sawan cukup banyak, tetapi sebagian besar dari mereka yang bekerja di Denpasar. Ada yang sebagai sopir pariwisata, guide, pengusaha kue, karyawan hotel, restoran, artshop, pengerajin dan bahkan banyak pula yang bekerja di kapal pesiar. Mereka lebih mementingkan bekerja di luar Kabupaten Buleleng karena tempat tersebut lebih menjanjikan dari segi ekonomi” (Hasil wawancara tanggal 2 Maret 2010).


(10)

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Perbekel Desa Jagaraga, Made Sumendra Nurjaya, sebagai berikut:

“Perkembangan pariwisata di Bali Selatan dan Gianyar telah membuka banyak lowongan pekerjaan mulai dari tenaga kerja kasar sampai yang berpendidikan tinggi. Banyak warga kami yang merantau ke Depasar dan Gianyar, ada yang menjadi pembantu, buruh bangunan, tukang amplas dan cat, karyawan hotel dan restoran, dan ada juga yang di kapal pesiar. Saat sekarang sulit mencari pengangguran di desa kami, asalkan mereka mau merantau pasti ada pekerjaan” (Hasil wawancara tanggal 15 Februari 2010).

Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara, guide lokal Pura Dalem Segara Madu adalah pensiunan pesuruh Sekolah Dasar Jagaraga yang hanya lulusan SMP. Guide tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan dan latihan kepariwisataan khususnya guiding, sehingga sampai saat sekarang guide tersebut tidak memiliki lisensi atau sertifikat guide. (Wawancara tanggal 15 Februari 2010).

Berdasarkan pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara legal formal guide local Pura Dalem Segara Madu Jagaraga tidak memiliki ijin untuk memandu wisatawan. Dari segi pendidikan, pengetahuan guide yang lulusan SMP dan tidak pernah mengikuti pelatihan guiding akan dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan informasi sehingga dapat menimbulkan ketidakpuasan bagi wisatawan.

Dari pernyataan Kepala Desa Sawan dan Jagaraga tersebut dapat diketahui bahwa permasalahan bukan terletak pada kurangnya SDM, namun minimnya minat masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pariwisata untuk


(11)

bekerja dan mengembangkan kampung halamannya sendiri. Dengan alasan ekonomi mereka lebih memilih bekerja di Denpasar, Gianyar dan luar negeri. 3. Promosi dan Kerjasama

Kerjasama yang baik antara pengelola daya tarik wisata dengan Biro Perjalanan Wisata mutlak diperlukan. Pengelola daya tarik wisata budaya di Kecamatan Sawan belum terbiasa memberlakukan sistem komisi kepada para guide atau BPW yang membawa wisatawan ke tempat itu sehingga hal tersebut dapat mengurangi minat guide untuk membawa wisatawan ke Kecamatan Sawan.

Selama ini wisatawan yang tinggal pada hotel-hotel di Kawasan Lovina yang ingin melihat atraksi wisata seperti tari-tarian dan karapan sapi yang terdapat di desa-desa di Kecamatan Sawan dipertunjukkan pada hotel-hotel di wilayah Lovina sehingga warga masyarakat yang lain tidak kecipratan ekonomi dari atraksi tersebut.

Hal yang senada juga disampaikan oleh bagian penjualan Pacto Tours and Travel di airport , Aswina, sebagai berikut.

“Dari penjualan tour, Pacto lebih banyak dari tour yang jaraknya pendek. Seandainya wisatawan ingin melihat keindahan alam akan diarahkan ke Bali Utara, tetapi kalau wisatawan ingin tour yang waktunya pendek akan diarahkan ke Bali Selatan. Khusus untuk wisatawan yang baru kali pertama mengunjungi Bali biasanya diarahkan untuk membeli produk tour terbaik Pacto yaitu Barong-Kintamani tour, karena tour ini sudah sangat lengkap mencakup keindahan alam pegunungan, danau, dan budaya Bali seperti melihat kerajinan perak, kayu dan lukisan serta artshop. Bagi para guide, Kintamani tour merupakan tour yang basah karena dalam tour ini terdapat beberapa kunjungan ke artshop. Kalau tamu berbelanja di artshop guide bisa mendapatkan komisi yang lumayan, sedangkan tour Bali Utara adalah tour yang kering karena tidak ada shopping, sehingga para guide hanya mengandalkan dari tipping dan susuk (komisi) dari restoran. Beberapa guide yang nakal ada yang menghindar dari tour Bali Utara” (Hasil wawancara tgl 16 Juni 2010).


(12)

Dari pihak industri pariwisata, paket wisata Bali Utara termasuk tour yang kering, artinya tour yang tidak memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi Biro Perjalanan Wisata, khususnya bagi para guide dan sopir, sehingga banyak yang menghindar dari tour tersebut. Tour Bali Selatan, selain jaraknya yang lebih pendek juga terdapat banyak kunjungan ke tempat-tempat belanja/artshop yang dapat memberikan penghasilan lebih bagi para guide dan sopir berupa susuk/komisi yang diberikan artshop dan restoran

Menurut informasi dari Disbudpar Kabupaten Buleleng melalui Kepala Bidang Pemasaran Wisata, Nyoman Suma Argawa, SH, MM, promosi pariwisata Buleleng termasuk Kecamatan Sawan, selama ini hanya dilakukan Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sedangkan masyarakat khususnya pengelola daya tarik wisata Pura Beji dan Pura Dalem Segara Madu belum mampu melakukan kegiatan promosi. Untuk itu partisipasi pihak swasta khususnya pelaku pariwisata sangat diharapkan untuk ikut mempromosikan keberadaan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan (Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2010).

4. Dana

Keterbatasan dana juga merupakan penghambat pengembangan pariwisata Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Kepala Bidang Pengembangan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng, Dodik, mengatakan sebagai berikut:

”...dengan keterbatasan dana pengembangan sarana pendukung pariwisata pada tempat-tempat wisata mengharuskan Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng melakukan pengembangan dengan berbagai skala


(13)

prioritas. Pemerintah tidak bisa melakukan pengembangan secara serentak pada semua daya tarik wisata yang ada sehingga peran aktif masyarakat dan pengelola daya tarik wisata sangat diperlukan untuk ikut mengembangkan pariwisata” (Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2010). 5. Kebersihan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, dari segi kebersihan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan nampak kotor dan kurang tertata. Warung-warung yang kurang tertata serta sampah-sampah yang berserakan dapat mengurangi keindahan daya tarik wisata. Kebiasaan masyarakat membuang sampah secara sembarangan masih menjadi pemandangan yang biasa di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Masyarakat di sekitar Pelabuhan Sangsit (Gambar 6.2) belum menyadari betul akan pentingnya kebersihan dalam pariwisata.

Gambar 6.2 Lingkungan Pelabuhan Sangsit yang kotor Sumber: Budiarta, 2010

Perbekel Desa Jagaraga, Made Sumendra Nurjaya, mengatakan bahwa banyak masyarakat yang belum menyadari batas-batas wilayah daya tarik wisata


(14)

yang boleh dijadikan sebagai tempat berjualan atau tempat tinggal sehingga beberapa bangunan tidak permanen di sekitar Pura Dalem Segara Madu menimbulkan kesan kumuh (Hasil wawancara tanggal 15 April 2010).


(1)

sehingga menjadi kendala bagi para wisatawan yang ingin berkunjung. Kecuali bagi mereka yang ingin melakukan persembahyangan dapat menghubungi pemangku pura tersebut sebelumnya.

2. Sumber Daya Manusia (SDM)

Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan unsur yang sangat penting dalam industri pariwisata. SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pariwisata akan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada wisatawan. Namun dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali Selatan (Kabupaten Badung, Kota Denpasar) dan Ubud telah mendorong masyarakat Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan urbanisasi ke daerah–daerah tersebut untuk bekerja di bidang pariwisata seperti hotel, restoran, Biro Perjalanan Wisata, artshop, laundry dan sebagainya. Akibatnya, Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan kekurangan SDM yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang pariwisata. Artinya, sangat sedikit tenaga kerja yang mau mengelola dan berperan dalam pengembangan pariwisata di wilayah mereka sendiri.

Perbekel Desa Sawan, Ketut Pande, menyatakan bahwa banyak tenaga kerja dari Desa Sawan yang berpotensi untuk dilibatkan dalam pengembangan pariwisata, namun mereka tidak berada di desa karena banyak yang merantau. Petikan wawancaranya adalah sebagai berikut.

“………..tenaga kerja pariwisata dari Desa Sawan cukup banyak, tetapi sebagian besar dari mereka yang bekerja di Denpasar. Ada yang sebagai sopir pariwisata, guide, pengusaha kue, karyawan hotel, restoran, artshop, pengerajin dan bahkan banyak pula yang bekerja di kapal pesiar. Mereka lebih mementingkan bekerja di luar Kabupaten Buleleng karena tempat tersebut lebih menjanjikan dari segi ekonomi” (Hasil wawancara tanggal 2 Maret 2010).


(2)

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Perbekel Desa Jagaraga, Made Sumendra Nurjaya, sebagai berikut:

“Perkembangan pariwisata di Bali Selatan dan Gianyar telah membuka banyak lowongan pekerjaan mulai dari tenaga kerja kasar sampai yang berpendidikan tinggi. Banyak warga kami yang merantau ke Depasar dan Gianyar, ada yang menjadi pembantu, buruh bangunan, tukang amplas dan cat, karyawan hotel dan restoran, dan ada juga yang di kapal pesiar. Saat sekarang sulit mencari pengangguran di desa kami, asalkan mereka mau merantau pasti ada pekerjaan” (Hasil wawancara tanggal 15 Februari 2010).

Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara, guide lokal Pura Dalem Segara Madu adalah pensiunan pesuruh Sekolah Dasar Jagaraga yang hanya lulusan SMP. Guide tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan dan latihan kepariwisataan khususnya guiding, sehingga sampai saat sekarang guide tersebut tidak memiliki lisensi atau sertifikat guide. (Wawancara tanggal 15 Februari 2010).

Berdasarkan pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara legal formal guide local Pura Dalem Segara Madu Jagaraga tidak memiliki ijin untuk memandu wisatawan. Dari segi pendidikan, pengetahuan guide yang lulusan SMP dan tidak pernah mengikuti pelatihan guiding akan dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan informasi sehingga dapat menimbulkan ketidakpuasan bagi wisatawan.

Dari pernyataan Kepala Desa Sawan dan Jagaraga tersebut dapat diketahui bahwa permasalahan bukan terletak pada kurangnya SDM, namun minimnya minat masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pariwisata untuk


(3)

bekerja dan mengembangkan kampung halamannya sendiri. Dengan alasan ekonomi mereka lebih memilih bekerja di Denpasar, Gianyar dan luar negeri. 3. Promosi dan Kerjasama

Kerjasama yang baik antara pengelola daya tarik wisata dengan Biro Perjalanan Wisata mutlak diperlukan. Pengelola daya tarik wisata budaya di Kecamatan Sawan belum terbiasa memberlakukan sistem komisi kepada para guide atau BPW yang membawa wisatawan ke tempat itu sehingga hal tersebut dapat mengurangi minat guide untuk membawa wisatawan ke Kecamatan Sawan.

Selama ini wisatawan yang tinggal pada hotel-hotel di Kawasan Lovina yang ingin melihat atraksi wisata seperti tari-tarian dan karapan sapi yang terdapat di desa-desa di Kecamatan Sawan dipertunjukkan pada hotel-hotel di wilayah Lovina sehingga warga masyarakat yang lain tidak kecipratan ekonomi dari atraksi tersebut.

Hal yang senada juga disampaikan oleh bagian penjualan Pacto Tours and Travel di airport , Aswina, sebagai berikut.

“Dari penjualan tour, Pacto lebih banyak dari tour yang jaraknya pendek. Seandainya wisatawan ingin melihat keindahan alam akan diarahkan ke Bali Utara, tetapi kalau wisatawan ingin tour yang waktunya pendek akan diarahkan ke Bali Selatan. Khusus untuk wisatawan yang baru kali pertama mengunjungi Bali biasanya diarahkan untuk membeli produk tour terbaik Pacto yaitu Barong-Kintamani tour, karena tour ini sudah sangat lengkap mencakup keindahan alam pegunungan, danau, dan budaya Bali seperti melihat kerajinan perak, kayu dan lukisan serta artshop. Bagi para guide, Kintamani tour merupakan tour yang basah karena dalam tour ini terdapat beberapa kunjungan ke artshop. Kalau tamu berbelanja di artshop guide bisa mendapatkan komisi yang lumayan, sedangkan tour Bali Utara adalah tour yang kering karena tidak ada shopping, sehingga para guide hanya mengandalkan dari tipping dan susuk (komisi) dari restoran. Beberapa guide yang nakal ada yang menghindar dari tour Bali Utara” (Hasil wawancara tgl 16 Juni 2010).


(4)

Dari pihak industri pariwisata, paket wisata Bali Utara termasuk tour yang kering, artinya tour yang tidak memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi Biro Perjalanan Wisata, khususnya bagi para guide dan sopir, sehingga banyak yang menghindar dari tour tersebut. Tour Bali Selatan, selain jaraknya yang lebih pendek juga terdapat banyak kunjungan ke tempat-tempat belanja/artshop yang dapat memberikan penghasilan lebih bagi para guide dan sopir berupa susuk/komisi yang diberikan artshop dan restoran

Menurut informasi dari Disbudpar Kabupaten Buleleng melalui Kepala Bidang Pemasaran Wisata, Nyoman Suma Argawa, SH, MM, promosi pariwisata Buleleng termasuk Kecamatan Sawan, selama ini hanya dilakukan Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sedangkan masyarakat khususnya pengelola daya tarik wisata Pura Beji dan Pura Dalem Segara Madu belum mampu melakukan kegiatan promosi. Untuk itu partisipasi pihak swasta khususnya pelaku pariwisata sangat diharapkan untuk ikut mempromosikan keberadaan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan (Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2010).

4. Dana

Keterbatasan dana juga merupakan penghambat pengembangan pariwisata Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Kepala Bidang Pengembangan Daya Tarik Wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng, Dodik, mengatakan sebagai berikut:

”...dengan keterbatasan dana pengembangan sarana pendukung pariwisata pada tempat-tempat wisata mengharuskan Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng melakukan pengembangan dengan berbagai skala


(5)

prioritas. Pemerintah tidak bisa melakukan pengembangan secara serentak pada semua daya tarik wisata yang ada sehingga peran aktif masyarakat dan pengelola daya tarik wisata sangat diperlukan untuk ikut mengembangkan pariwisata” (Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2010). 5. Kebersihan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, dari segi kebersihan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan nampak kotor dan kurang tertata. Warung-warung yang kurang tertata serta sampah-sampah yang berserakan dapat mengurangi keindahan daya tarik wisata. Kebiasaan masyarakat membuang sampah secara sembarangan masih menjadi pemandangan yang biasa di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Masyarakat di sekitar Pelabuhan Sangsit (Gambar 6.2) belum menyadari betul akan pentingnya kebersihan dalam pariwisata.

Gambar 6.2 Lingkungan Pelabuhan Sangsit yang kotor Sumber: Budiarta, 2010

Perbekel Desa Jagaraga, Made Sumendra Nurjaya, mengatakan bahwa banyak masyarakat yang belum menyadari batas-batas wilayah daya tarik wisata


(6)

yang boleh dijadikan sebagai tempat berjualan atau tempat tinggal sehingga beberapa bangunan tidak permanen di sekitar Pura Dalem Segara Madu menimbulkan kesan kumuh (Hasil wawancara tanggal 15 April 2010).