MENUJU ISLAM (YANG) BERKEMAJUAN

Menuju Islam (yang) Berkemajuan
Oleh: Muhsin Hariyanto
PAK DIEN (2001), Ketua Umum PP Muhammadiyah, mengajak agar
’kita’ (baca: warga Muhammadiyah) bisa menjadikan ajaran Islam sebagai jalan
untuk menampilkan akhlak yang mulia. Kita harus mampu menampilkan ”Islam
yang Berkemajuan”. Warga Muhammadiyah harus mampu menampilkan -seperti yang diungkapkan oleh Ameer Ali -- ”Api Islam” dan menjelmakannya
dalam kebaikan universal, menampilkan esensi Islam yang sebaik-baiknya,
menuju Islam ”rahmatan lil ’alamin”. Sebuah ungkapan yang menyiratkan
keprihatinan terhadap umat (baca: umat Islam), termasuk di dalamnya warga
Muhammadiyah.
Berkaca dari penyataan di atas, penulis tiba-tiba ingat pada penyataan
seorang psikolog, Sarlito Wirawan Sarwono, guru besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia (2006) yang pernah menyatakan bahwa kondisi mental
dan psikologi umat Islam Indonesia setelah zaman reformasi belum kunjung
berubah.
Perasaan terus terkepung (siege mentality) oleh pelbagai isu, masih saja
terus menghantui. Padahal, Islam tetap terus berkembang dengan wajar, baik di
Indonesia bahkan di banyak belahan dunia. Banyak orang yang merindukan
kembalinya ’puritanisme’ dengan asumsi kembali kepada sunnah Nabi s.a.w.,
dan disi sisi lain ada yang -- dengan sangat percaya diri -- menggagas perlunya
merujuk konsep ‘liberalisme’. Hingga memunculkan dua kelompok (ekstrem)

muslim: ”Puritan dan Liberal”. Dua kutub ekstrem yang kadang-kadang saling
menafikan, yang justeru menenggelamkan umat Islam ke dalam keterpurukan
yang lebih parah. Menjauh dari spirit Islam yang dikenalkan oleh Nabi s.a.w.
sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.
Padahal, masyarakat Islam di Indonesia ini ’mayoritas’ dalam kuantitas,
tetapi mentalnya ’minoritas’, karena kualitasnya. Ada sikap ”ketidakpercayaan
diri”.
Akibatnya, Islam menjadi terkotak-kotak dan menjauh dari porosnya.
Padahal tawaran nilai-nilai Islam dalam al-Quran (dan juga as-Sunnah) sangat
ramah terhadap kemajuan zaman.
Kita (baca: umat Islam) bisa belajar pada umat lain. Misalnya pada
gerakan The Green Peace, LSM yang bekerja untuk penghijauan/pelestarian
alam. Mereka menangapa ’api Islam’ tanpa harus secara formal memeluk Islam.
Meskipun mereka non-Muslim, tetapi gerakan dan tindakan mereka selaras
dengan nilai-nilai Islam. Contoh lain, di Jepang praktik ’anti riba’ sudah

1

diimplemantasikan, sementara kita (uamat Islam) masih berteriak-teriak. Di
Jepang, kalau kita menyimpan uang di bank justeru harus membayar uang jasa.

Kalau di sini (Indonesia), simpanan kita malah yang mendapatkan ’duit’ hadiah,
yang bernama ”bunga”. Di sana uang kita tidak jadi berbunga-bunga seperti di
sini. Nah, mereka yang tidak Islam justeru sudah memraktikkann sesuatu yang
kita anggap ”islami”.
Mereka -- di Jepang -- tidak pernan mengenal jargon-jargon ekonomi
Islam. Mereka menggunakan ekonomi konvensional yang memang kalau
dijalankan dengan benar, dengan jujur, tidak munafik, tidakj akan memamerkan
perilaku double standard. Mereka praktikkan ”semangat keagamaan”, ruh Islam
Umat Islam, meskipun sudah mengucapkan kalimat syahadat berkali-kali
tiap hari, tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
dengannya, perilakunya belum ”bersyahadat”.
Untuk menerjemahkan ”api Islam”, bebenarnya Kita bisa belajar banyak
dari pemikiran dan aksi KHA Dahlan dalam memahami dan memperjuangkan
ajaran Islam sejak merintis berdirinya Muhammadiyah. Kyai Dahlan begitu
mendalam dan luas pandangannya, tidak sempit dan serba menyederhanakan.
Visi Kyai Dahlan sungguh jauh ke depan. Misalnya, ketika menggagas
artipentingnya ”sekolah”, beliau berani mengadopsi gagasan ’Barat’ yang waktu
itu dianggap sebagai sikap ”tasyabbuh”, identik dengan ’Belanda’ (baca: orang
kafir). Dan oleh karenanya bisa dikafir-kafirkan.
Pada saat itu, gagasan-gagasan KHA Dahlan tentang Islam sangatlah

maju, dia menawarkan ”Islam yang berkemajuan”, bukan Islam yang ’jumud’
(mandek). Beliau juga – dengan gagah berani -- mengeritik pemikiran yang tidak
didasarkan pada penulusuran nalar secara mendalam hingga menumbuhkan
sejumlah aksi yang – menurut A. Syafii Ma’arif -- ’kurang cerdas’.
Nostalgiawan Wahyudhi, mahasiswa Postgraduate Studies, Kulliyah of
Political Science International Islamic University Malaysia dalam Republika
(Jumat, 14 September 2007) mengungkapkan bahwa KH Mas Mansur (1937) –
sebagaimana KHA Dahlan -- (dalam sebuah bukunya) juga telah menggagas
'Islam yang Berkemajuan' ini. Secara visioner KH Mas Mansur memiliki ide yang
sama, bahwa Islam akan maju dan berpengaruh jika Islam hadir sebagai
peradaban. Namun secara konseptual, KH. Mas Mansur memiliki ide yang lebih
matang. Dia katakan bahwa untuk mencapai Islam yang berkemajuan, umat
Islam harus maju dalam dalam semua bidang.
Di antara gagasan 'Islam yang Berkemajuan' KH Mas Mansur yang sangat
penting untuk dikaji lebih lanjut – menurut Nostalgiawan Wahyudhi – antara
lain:

2

Pertama, Islam tidak boleh hanya terkonsentrasi pada sisi ekonomi (amal

usaha), namun dengan berani beliau menempatkan aspek ekonomi di bagian
paling belakang pencapaian Islam berkemajuan. Lebih mengakar lagi, beliau
menempatkan porsi keagamaan pada posisi terpenting sebagai fondasi awal
untuk membangun peradaban. Hal ini bisa diartikan bahwa yang diharapkan
beliau bukanlah umat Islam yang menguasai ekonomi kapitalis dunia, tetapi
umat Islam yang menguasai ekonomi Islam yang mempengaruhi dunia.
Kedua, pendidikan yang berkeislaman diperlukan untuk membentuk
sumber daya manusia kompetitif dan religius. Dua karakter kepribadian ini
sangat penting untuk membangun peradaban Islam. Karena itu sangat penting
membangun sebuah institusi pendidikan Islam yang berkualitas internasional
untuk mencapai dua karakter sumber daya manusia tersebut. Disamping itu
pendidikan yang berkeislaman juga berperan untuk menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang maslahat bagi umat.
Ketiga, ekonomi yang berkeislaman sangat diperlukan untuk membangun
karakter bisnis yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak. Bukan hanya
menguasai pasar internasional, tetapi dengan teknologi dan jiwa yang adil, umat
Islam memberikan warna tersendiri bagi perekonomian dunia. Perekonomian
yang berjiwa dan berkarakter sehingga menciptakan sistem yang konstruktif. Ide
besar KH Mas Mansur sebenarnya telah memberikan kesempatan yang lebih
bagi masyarakat Indonesia, utamanya umat Islam, untuk menerjemahkan nilainilai Islam dengan lebih baik.

Penulis tidak tahu, apakah gagasan ”Islam yang Berkemajuan”, yang
pernah dipraktikkan oleh KHA Dahlan dan juga KH Mas Mansur ini sudah
benar-benar dipahami oleh warga Muhammadiyah, utamanya para
pemimpinnya?
Harapan penulis – sebagai warga Muhammadiyah -- tentu saja sama
dengan harapan Pak Dien, semoga kita mampu menangkap ”Api Islam”, seperti
yang digagas dan dipraktikkan oleh KHA, Dahlan KH Mas Mansur, dengan
menghadirkan etos ”Islam yang Berkemajuan” pada setiap pribadi, antarpribadi
dan – tentu saja – “umat Islam”.
Ibda’ bi Nafsik!
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah
Yogyakarta.

3

4