BAGAIMANA PENDAPAT SAUDARA TENTANG HUKUM DI INDONESIA PADA MASA YANG AKAN DATANG

PAPER
TENTANG
PANDANGAN HUKUM PIDANA PADA MASA YANG AKAN DATANG

SEJARAH HUKUM
Tugas Hukum pada Program Studi Magister Hukum Universitas Indonesia Timur

Oleh :

NAMA

: NIRWAN BAKRI

STAMBUK

: 13.01.01.008

BAGAIMANA PENDAPAT SAUDARA TENTANG HUKUM DI INDONESIA PADA MASA
YANG AKAN DATANG ?
Hmm.. rasanya sulit membayangkan apa yang akan terjadi dengan hukum di Indonesia pada
masa yang akan datang, mengingat masa sekarang saja sudah terlalu banyak aturan hukum yang berlaku

mulai dari turunan para penjajah KUHPidana sampai dengan Lex Specialis yang sudah seperti “polusi”
yang makin hari makin bertambah. Tentu saja membicarakan hukum terkhusus hukum pidana
kedepannya, tidak terlepas dari sejarah hukum Indonesia, dimana seperti yang kita ketahui bersama
bahwa hukum Indonesia diambil mentah-mentah alias “copy,paste” dari Belanda yang sebenarnya
merupakan Undang-Undang yang berasal dari Prancis dan dibawah masuk ke Belanda pada saat
menjajah Belanda dan seterusnya Belanda menjajah Indonesia yang mengakibatkan mayoritas rakyat
Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris (seandainya Indonesia di jajah Inggris kemungkinan kita semua
sudah jago berbahasa Inggris), hehe.. bercanda kok… Kita kembali kepermasalah, akibat dari
diambilnya mentah-mentah KUHPidana dari Belanda sehingga teks (peraturan tertulis) dan konteks
(kondisi/keadaan yang terjadi) tidak sesuai dengan norma maupun perilaku Rakyat Indonesia yang tentu
saja mengakibatkan tidak optimalnya penegakan hukum pidana di Indonesia.
Sebagai contoh salah satu Pasal dalam KUHPidana yakni Pasal 284 Ayat (1) ke 1e yang berbunyi
“Laki-laki yang beristeri, berbuat zina sedang diketahuinya bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku
padanya ; perempuan yang bersuami, berbuat zina”. Dari Unsur Pasal tersebut barulah dikatakan zina
apabila seorang suami atau isteri melakukan hubungan badan dengan yang bukan isteri atau suaminya
dan itupun harus ada pengaduan dari suami atau isteri yang mendapat malu atau dirugikan akibat
perbuatan tersebut (delik aduan). Tentu saja teks ini berbeda dengan prilaku masyarakat Indonesia yang
kental akan hukum adat dan hukum agama yang memiliki persepsi bahwa zina itu tidak harus orang
yang memiliki isteri atau suami yang berhubungan badan melainkan siapaun orangnya yang
berhubungan badan baik perempuan maupun laki-laki yang sama-sama belum menikah sekalipun.

Sehingga tidak ada yang namanya Pasal Perselingkuhan yang ada hanya Pasal Perzinahan, hingga
masyarakat yang memandang hal ini dengan logika bukan dengan “kacamata” hukum bisa menganggap
penegak hukum pilih kasih atau bahkan tidak professional dan tentu saja banyak Pasal-Pasal lain yang
sangat tidak sesuai dengan perilaku, norma, kebiasaan, budaya masyarakat Indonesia yang menjadikan
masyarakat tidak taat hukum.
Belum lagi dengan banyaknya Undang-Undang Khusus (Lex Specialis) yang kadang
bertentangan dengan undang-undang yang lain yang sudah pasti membuat penegak hukum kebingungan
apalagi masyarakat. Itulah anehnya Indonesia dalam satu lembaga/instansi saja tidak bisa bekerja sama
apa lagi mengharapkan kerja sama antar lembaga/instansi yang ada malah seperti menjaga “daerah
kekuasaan” masing-masing dengan membuat Undang-undang yang saling tumpang tindih contohnya
pertanahan, pertambangan, kehutanan. Melihat dari beberapa fenomena tersebut sudah seharusnya
bapak-bapak kita di DPR sana jeli melihat hal ini dan segera mengesahkan KUHPidana yang baru dan
menyatukan Undang-Undang Khusus kedalam KUHPidana tersebut sehingga Undang-Undang di
Indonesia tidak perlu terlalu banyak cukup satu namun mencakup semua aspek dan saya rasa itu bisa
dilakukan dengan belajar dari pengalaman yang saya katakana sudah sangat lama menggunakan polapola jaman Belanda, seharusnya demokrasi di Indonesia di ikuti oleh perubahan Undang-Undang yang
mencerminkan bangsa sendiri sehingga masyarakat bukan sekedar tau hukum namun juga taat hukum
dan tentu saja bila sesuai dengan karasteristik daerah kita masyarakat akan menerima dan menjalankan
hukum yang mengaturnya.

-2–

Kembali ke masalah pengalaman tadi dan terkhusus pada pembuatan KUHPidana yang baru saya
sangat mendukung apabila pembuatan Undang-Undang tersebut di ikut sertakan dari pihak penyidik
Kepolisian, kejaksaan dan Hakim karena merekalah yang nantinya menjalankan amanah sebagai alat
Negara untuk menegakkan undang-undang tersebut apalagi dengan pengalaman terhadap suatu
permasalah yang begitu banyak dan kedekatan dengan masyarakat sehingga mereka tau karasteristik
masyarakat Indonesia seperti apa, apa yang di inginkan masyarakat, lalu tak lupa bahwa Indonesia
kental akan hukum adat dan hukum agama sehingga harusnya dari situlah dasar hukum Indonesia di buat
dan untuk Peraturan-peraturan khusus saya lebih berharap di titik beratkan pada pembuatan PERDA
karena tentu saja tidak mungkin semua rakyat Indonesia bisa menerima KUHPidana yang baru
mengingat Indonesia merupakan Negara kepulauan dan terdapat ratusan suku, ras, budaya yang beredar
dari sabang sampai merauke, sebagai contoh di Papua tidak mungkin ditegakkan aturan
kesusilaan/pornografi karena sudah adatnya orang-orang disana tidak menggunakan pakaian yang pantas
menurut nalar kita sehingga PERDA bisa melegalkan hal tersebut untuk daerah Papua dan begitupun
budaya daerah lain yang tentu saja perilaku masyarakat tersebut tidak merugikan orang lain disekitarnya.
Kembali kepermasalahan, berdasarkan pengalaman saya, melihat semakin hari generasi muda
semakin tidak taat akan hukum sehingga saya setuju dengan salah satu pendapat teman saya bahwa
seharusnya pendidikan tentang hukum harus ditanamkan sejak dini sehingga kelak diharapkan
masyarakat punya budaya “malu” apabila berhadapan dengan kasus hukum dan tentu saja Laporan Polisi
di Kepolisian tidak menumpuk seperti tabungan di Bank, hehe.. Tapi tentu saja yang harusnya
memikirkan hal ini adalah Bapak-bapak kita yang jauh disana karena pada tangan merekalah Negara ini

akan dibawa entah kearah yang lebih baik atau mungkin kearah yang lebih buruk, entahlah sebagai anak
bangsa saya hanya bisa berdoa agar Bapak-bapak kita bisa sadar dan membawa Negara ini kearah yang
lebih baik, amin.
“Bhineka tunggal ika” atau berbeda-beda tapi satu jua, itulah motto Negara kita Indonesia
tercinta, namun apabila dipandang dari kacamata hukum maka moto ini tidak ada artinya bagi rakyat
Indonesia, tiap tahunya Laporan Polisi di kepolisian semakin meningkat, permasalahan/kasus-kasus
yang seharusnya dapat di selesaikan secara kekeluargaan terabaikan akibat dari setitik emosi yang
meluap, maka melaporlah seseorang tentang tindak pidana sebagai contoh katakanlah penganiayaan,
setelah beberapa hari berselang ditanganinya proses pidana tersebut datang pihak pelapor ingin
mencabut laporannya karena telah berdamai dengan keluarga terlapor namun apa daya laporan tidak
dapat dicabut mengingat Penganiayaan bukan merupakan delik aduan, hal ini tentu saja membuat
kecewa masyarakat dan sebagai penyidik juga tidak bisa berbuat apa-apa. Atau ambillah contoh
pencurian tiga buah kakao di Purwokerto, terlapornya merupakan nenek yang usianya sudah sangat
senja, sayapun secara pribadi sangat sedih melihat hal ini. Namun apabila dilihat dari “kacamata” hukum
maka unsur Pencuriannya dapat terpenuhi dan Polisipun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan
kasus karena kasus tersebut juga bukan murapakan delik aduan melainkan delik laporan dan apabila
tidak ditangani oleh Polisi maka Polisi sudah menyalahi aturan dan bertindak tidak professional
walaupun hal ini malah menciderai nama Polisi itu sendiri. Jika demikian kira-kira apa yang akan terjadi
??? tentu saja kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum berkurang, image “tebang, pilih”
akan semakin melekat. Sehingga saya berfikir bahwa sitem peradilan di Indonesia harus di ubah, tidak

mesti harus melalui SPP (sistem peradilan pidana) Kepolisian-Kejaksaan-Pengadilan, namun harus
dititik beratkan pada penyelesaian diluar Pengadilan atau pendekatan Restorative Justice.

-3Apa itu Restorative Justice ?? Menurut Tony F. Marshall restorative justice adalah : “Restorative
Justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal
with the aftermath of the offence and its implications for the future.” Yang artinya Keadilan restoratif
adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang. Jelas bahwa yang
ditawarkan pada system ini adalah penyelesaian permasalahan secara kekeluargaan atau diluar dari
pengadilan dan menurut saya asal tujuan hukum yakni keadilan, manfaat dan kepastian dapat terpenuhi,
kenapa tidak ? tetapi dengan hukum Indonesia yang ada saat ini, penegak hukum di Indonesia malah
lebih menitik beratkan pada kepastian hukum, padahal seharusnya keadilan lah yang harus di utamakan,
seungguh aneh negeri ini. Tetapi munculnya konsep restorative justice bukan berarti meniadakan pidana
penjara, dalam perkara-perkara tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan
berharga nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat dipergunakan. Konsep restorative
justice merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari Asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin terpenuhinya keadilan masyarakat dan
kepastian hukum.
Kedepannya Restorative Justice harusnya dapat dilakukan baik di Kepolisian, Kejaksaan dan
tentu saja Pengadilan sehingga penyelesaian secara kekeluargaan bisa menumbuhkan nilai-nilai

kedekatan dan persaudaraan yang memandang kedepan tidak menimbulkan kebencian. Dan sebagai
penutup haruslah sesegera mungkin di buat peraturan akan Restorative Justice System ini tidak usah di
tunda lagi, masyarakat butuh penyelesaian masalah yang sesuai dengan kondisi mereka sesuai dengan
kondisi bangsa dan inilah yang paling mencerminkan bangsa kita yang berbeda-beda namun tetap satu
jua. Terima kasih