Toleransi Beberapa Klon Jeruk Keprok Garut Hasil Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Cekaman Kekeringan Melalui Simulasi Polyethylene Glyco

TOLERANSI BEBERAPA KLON JERUK KEPROK
GARUT (Citrus reticulata L.) HASIL IRADIASI SINAR
GAMMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
MELALUI SIMULASI POLY-ETHYLENE GLYCOL
(PEG)

TENDY WIJIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Toleransi Beberapa Klon
Jeruk Keprok Garut (Citrus reticulata L.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma
terhadap Cekaman Kekeringan Melalui Simulasi Poly-ethylene Glycol (PEG)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Tendy Wijiastuti
NIM A253120231

RINGKASAN

TENDY WIJIASTUTI. Toleransi Beberapa Klon Jeruk Keprok Garut (Citrus
reticulata L.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Kekeringan Melalui
Simulasi Polyethylene Glycol (PEG). Dibimbing oleh AGUS PURWITO, ALI
HUSNI dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN

Jeruk keprok Garut merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan
nasional yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitas maupun
kuantitas produksinya. Jeruk keprok Garut memiliki daging buah yang lunak,
lembut dan banyak mengandung air. Rasanya manis agak masam yang segar, dan

beraroma khas, karena bijinya sedikit, jeruk ini banyak dinikmati oleh masyarakat
sebagai buah segar. Produksi jeruk keprok Garut setelah tahun 1992 mengalami
penurunan drastis akibat serangan penyakit CVPD dan ditambah perubahan iklim
yang tidak menentu seperti anomali iklim El-Nino yang menyebabkan kemarau
yang lebih panjang sehingga tidak selamanya lahan pertanaman ideal untuk
pertumbuhan. Cekaman abiotik seperti cekaman kekeringan yang berkepanjangan
akibat gejala alam El-Nino turut menjadi faktor pembatas dalam produksi jeruk
keprok Garut. Perakitan varietas pengembangan jeruk keprok varietas Garut yang
memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan dapat dilakukan secara
non konvensional melalui induksi mutasi dengan teknik pemaparan radiasi sinar
gamma. Karakterisasi secara molekuler menggunakan marka RAPD dilakukan
untuk melihat keragaman genetik yang terbentuk.
Klon-klon tersebut diharapkan merupakan mutan putatif dan memiliki
karakter morfologi dan fisiologi (toleransi cekaman kekeringan) yang lebih baik
dibandingkan tetuanya. Pengujian toleransi cekaman kekeringan dilakukan
melalui media simulasi polyethylene glycol (PEG). Setelah diperoleh klon-klon
mutan yang memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan makan klonklon tersebut perlu diperbanyak secara klonal in vitro sehingga diperoleh duplikat
dari masing-masing mutan. Klonal in vitro biasanya dilakukan dengan cara
menggandakan tunas baik melalui jalur embriogenesis somatik maupun
organogenesis. Penambahan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin thidiazuron

(TDZ) pada level konsentrasi tertentu mampu menginduksi multiplikasi tunas.
Induksi akar pada tunas-tunas klon mutan putatif hasil multiplikasi tunas
dilakukan untuk mempersiapkan kondisi klon-klon mutan putatif toleran terhadap
cekaman kekeringan saat proses aklimatisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh klon-klon jeruk keprok Garut
mutan putative yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Bahan tanaman yang
digunakan adalah klon-klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma dan
tetuanya. Penelitian ini terdiri dari karakterisasi secara molekuler keragaman
genetik menggunakan penanda RAPD, evaluasi toleransi klon-klon jeruk keprok
Garut terhadap cekaman kekeringan, multiplikasi tunas menggunakan TDZ
kombinasi BAP, dan induksi perakaran menggunakan NAA kombinasi IBA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi mutasi dengan radiasi sinar
gamma menyebabkan terjadinya keragaman genetik antar klon jeruk keprok Garut

mutan dengan jarak genetik berkisar antara 0-38%. Media yang ditambahkan PEG
konsentrasi 20% dapat dijadikan agen seleksi cekaman kekeringan klon-klon
jeruk keprok Garut mutan. Klon KG 13 dan KG 23 merupakan klon yang
memberikan respon cekaman kekeringan yang lebih baik dengan penurunan
karakter jumlah daun, tinggi tanaman, kandungan klorofil, dan ukuran stomata
(panjang dan lebar stomata, jumlah serta kerapatan stomata) lebih rendah

dibandingkan dengan klon lainnya. Multiplikasi tunas menggunakan kombinasi
zat pengatur tumbuh jenis sitokinin BAP dan TDZ pada konsentrasi BAP 0.1 mg
L-1 dan TDZ 0.2 mg L-1 merupakan konsentrasi yang paling optimum dalam
menginduksi tunas klon jeruk keprok Garut mutan. Klon-klon eksplan jeruk
keprok Garut mutan hasil radiasi sinar gamma pada dua dosis 50 Gray dan 150
Gray memberikan respon yang berbeda pada setiap konsentrasi TDZ yang
ditambahkan ke media kultur. Multiplikasi tunas dengan pemarapan eksplan
dalam media kultur yang mengandung TDZ dalam jangka panjang menyebabkan
tunas yang muncul menjadi abnormal. Induksi perakaran dipengaruhi oleh
interaksi antara klon jeruk keprok Garut mutan dengan empat taraf konsentrasi
NAA yang dikombinasikan dengan IBA konsentrasi 3 mg L-1 yang terlihat dari
peubah pengamatan (waktu inisiasi akar, panjang akar, tinggi tanaman, dan
jumlah tunas). Perlakuan NAA 0.5 mg L-1 kombinasi IBA 3 mg L-1 merupakan
konsentrasi yang optimum terhadap induksi perakaran. Hal ini terlihat dari
penampilan terbaik untuk peubah pengamatan waktu inisiasi akar dan jumlah akar
yang merupakan faktor penting dalam induksi perakaran secara in vitro.
Kata kunci : mutan putatif, penanda RAPD, cekaman kekeringan, multiplikasi
tunas, induksi perakaran,

SUMMARY


TENDY WIJIASTUTI. Clones Tolerance Tangerines Garut Citrus (Citrus
reticulata L.) Mutations Induced by Gamma-Ray against Drought Stress Through
Simulation of Polyethylene Glycol (PEG). Supervised by AGUS PURWITO, ALI
HUSNI and KIKIN HAMZAH MUTAQIN
Tangerines Garut citrus is one of national main commodity that need to be
developed and improved to increase quality and quantity of production.
Tangerines Garut citrus characteristic is fleshy, soft and high water content. It
slightly sour sweet with fresh taste, flavorful typical, and less seed. Many fruit
consumer is prefer this citrus because of those good tangerine Garut citrus
characteristics. Garut tangerine production was decreasing dramatically after 1992
due to disease (CVPD or Huanglobngbing/HLB) and abiotic stresses (drought) as
an impact of natural phenomenon El Nino. Those also become a limiting factor in
tangerines Garut citrus production. Developing of Garut tangerine varieties with
drought tolerant characteristics can possibly be achieved by gamma irradiation.
Molecular characterization using RAPD markers was conducted to analyzed the
genetic diversity formed.
Those of irradiated clones that expected to be putative mutant and has
morphological characters and physiological (drought stress tolerant) better than its
wild type. Drought stress tolerance was conducted by simulation in in vitro

condition by using polyethylene glycol (PEG) on the medium. The irradiated
clones which belonging characters of drought stress tolerant were propagated
clonally by in vitro for increasing the planlet number. In vitro micropropagation
was conducted through somatic embryogenesis and organogenesis for producing
shoot multiplication. Thidiazuron (TDZ) on the medium was effective in inducing
shoot multiplication. Root induction of putative mutant clones were conducted to
provide drought stress during acclimatization process.
The objective of this study was to obtain clones with drought tolerant which
resulted from gamma ray irradiation. Bot of irradiated tangerines Garut citrus
clones and the wild type were used separately for molecular characterization to
analyze genetic diversity by using RAPD, evaluation of tangerines Garut citrus to
drought stress, shoot multiplication and root induction by using TDZ + BAP and
NAA + IBA, respectively.
The results showed that gamma irradiation was induced mutation indicated
by genetic diversity of tangerines Garut citrus mutant clones that resulted genetic
distances range between 0-38%. Agar medium were added with PEG 20%
concentration for in vitro selection agent of tangerine Garut citrus mutant clone to
drought stress. Clones of KG 13 and KG 23 showed good response to drought
stress indicated by lower value of decreasing in characters of leaves number, plant
height, chlorophyll and stomata size (length and width of stomata, the number and

density of stomata) compared to other clones. Shoot multiplication by using
combination of 0.1 mg L-1 BAP and 0.2 mg L-1 TDZ were optimum concentration
in inducing bud mutant clone of tangerine Garut citrus. Tangerine Garut citrus

mutant resulted from gamma irradiation at 50 and 150 Gray showed different
response at each TDZ concentration. The use of TDZ for shoot multiplication in
long duration lead to abnormal bud. Root induction was influenced by the
interaction between tangerine Garut citrus mutant clones and four level
concentrations of NAA combined with 3 mg L-1 IBA, as showed from observation
variables (time of initiation root, root length, plant height, and number of buds).
Treatment of 0.5 mg L-1 NAA with combination of 3 mg L-1 IBA was the optimum
concentration for root induction. That combination resulted in high performances
for root initiation time and number of roots which is an important factor in in vitro
root induction.
Keywords: putative mutant, RAPD marker, drought, shoot multiplication, root
induction

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
iuni dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TOLERANSI BEBERAPA KLON JERUK KEPROK
GARUT (Citrus reticulata L.) HASIL IRADIASI SINAR
GAMMA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
MELALUI SIMULASI POLY-ETHYLENE GLYCOL
(PEG)

TENDY WIJIASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Awang Maharijaya, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian dan karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.Penelitian
dengan judul Toleransi Beberapa Klon Jeruk Keprok Garut (Citrus reticulata L.)
Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Kekeringan melalui Simulasi
Poly-Ethylene Glycol (PEG) telah terlaksana dengan baik atas dukungan dari
banyak pihak.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Agus Purwito MSc. Agr, Dr. Ir. Ali Husni, MSi, dan Dr. Ir. Kikin
Hamzah Mutaqin, MSi yang telah banyak memberikan pengarahan serta
bimbingan sejak awal penelitian hingga penulisan tesis.
2. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian
Pertanian RI selaku penyelenggara beasiswa Kementan TA. 2012 yang telah

membiayai selama masa tugas belajar dan membiayai sebagian dana
penelitian.
3. Kepala Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan
dan Hortikultura yang telah memberikan izin tugas belajar dan dukungan
selama penelitian.
4. Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penelitian: Ibu Juariah
selaku teknisi Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman 1, Bapak Joko selaku
teknisi Laboratorium Mikro Teknik, Ibu Sri Budiarti selaku penyelia
Laboratorium Verifikasi Keaslian Varietas Balai Besar Pengembangan
Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, serta rekan-rekan di
laboratorium yaitu Atika, Kawakibi, dan Bu Indriati.
5. Keluarga suami tercinta Trio Witarko dan kedua malaikat kecilku (Ayesha dan
Farrasah) atas pengertian dan dukungannya serta sumber inspirasi bagi
penulis, serta oang tua tercinta Mama Sudarsinah yang selalu mendukung dan
mendoakan penulis.
6. Seluruh teman-teman mahasiswa pascasarjana program studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman tahun 2012 yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui diskusi-diskusi dan masukannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2016

Tendy Wijiastuti

DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
3
Kerangka Pemikiran
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
3 KARAKTERISASI MOLEKULER KERAGAMAN GENETIK KLONKLON JERUK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L.) HASIL
IRADIASI SINAR GAMMA MENGGUNAKAN PENANDA RAPD
(RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA)
Abstrak
12
Pendahuluan
13
Bahan dan Metode
14
Hasil dan Pembahasan
16
Simpulan
22
4 TOLERANSI KLON JERUK KEPROK (Citrus reticulata L.) MUTAN
PUTATIF TOLERAN TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
MELALUI SIMULASI POLY-ETHYLENE GLYCOL (PEG)
Abstrak
23
Pendahuluan
24
Bahan dan Metode
25
Hasil dan Pembahasan
27
Simpulan
36
5 MULTIPLIKASI TUNAS JERUK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L.)
MUTAN PUTATIF MENGGUNAKAN SITOKININ THIDIAZURON (TDZ)
Abstrak
37
Pendahuluan
38
Bahan dan Metode
39
Hasil dan Pembahasan
40
Simpulan
47
6 INDUKSI AKAR JERUK KEPROK GARUT (Citrus reticulata L.)
MUTAN
PUTATIF
MENGGUNAKAN
AUKSIN
α-NAPHTALENAACETIC ACID (NAA), INDOLE-3-BUTYRIC ACID (IBA)
Abstrak
48
Pendahuluan
49
Bahan dan Metode
49
Hasil dan Pembahasan
50
Simpulan
57
PEMBAHASAN UMUM
58
KESIMPULAN UMUM

62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

70

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.
4.
5.

6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

15.

16.

17.

18.

19.

19 klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma
Kode dan sekuen 15 primer acak (10-mer) Operon yang digunakan
dalam studi keragaman genetik klon-klon jeruk keprok Garut mutan
putatif hasil iradiasi sinar gamma
Penampilan PCR 15 primer pada 19 klon jeruk keprok Garut mutan
putatif
Hasil penghitungan jumlah produk amplifikasi 18 klon jeruk keprok
Garut mutan putatif dan wild type menggunakan penanda RAPD
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh klon jeruk keprok Garut mutan
putatif dan konsentrasi PEG terhadap toleransi cekaman kekeringan
pada akhir pengamatan (8 MST)
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan jumlah daun lima
klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada akhir pengamatan
(8 MST)
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas pada
akhir pengamatan (8 MST) jeruk keprok Garut mutan putatif
Kandungan klorofil kelima klon jeruk keprok Garut mutan putatif
pada empat taraf konsentrasi PEG pada media cair
Ukuran stomata kelima klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada
empat taraf konsentrasi PEG
Persentase efisiensi pertunasan tiga klon jeruk keprok Garut mutan
putatif pada empat taraf konsentrasi TDZ
Respon tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif terhadap empat
taraf konsentrasi TDZ kombinasi BAP pada umur 10 MSSK
Rata-rata tinggi tanaman dari setiap klon jeruk keprok Garut mutan
putatif dan konsentrasi TDZ yang diujikan
Pengaruh auksin tunggal (IBA) dan kombinasi (IBA dan NAA)
terhadap persentase perakaran jeruk keprok Garut mutan putatif
Respon interaksi antara tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif
dengan empat taraf konsentrasi NAA kombinasi IBA pada umur 8
MST terhadap waktu inisiasi akar (hari)
Respon interaksi antara tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif
dengan empat taraf konsentrasi NAA kombinasi IBA pada umur 8
MST terhadap panjang akar (cm)
Respon interaksi antara tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif
dengan empat taraf konsentrasi NAA kombinasi IBA pada umur 8
MST terhadap tinggi tunas (cm)
Respon interaksi antara tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif
dengan empat taraf konsentrasi NAA kombinasi IBA pada umur 8
MST terhadap jumlah tunas
Respon tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif terhadap empat
taraf konsentrasi NAA kombinasi IBA pada umur 8 MST terhadap
jumlah akar dan jumlah daun
Nilai korelasi pertumbuhan akar dengan pertumbuhan tunas klon
jeruk keprok Garut mutan putatif

14

16
17
18

27

29
30
32
35
40
42
46
51

52

53

54

55

55
56

DAFTAR GAMBAR
1.

2.

3.

4.

5.
6.
7.
8.
9.
10.

11.

12.

13.

14.

Skema kerangka pemikiran penelitian karakterisasi genetik jeruk
keprok Garut mutan putatif (Citrus reticulata L.) hasil iradiasi sinar
gamma dan toleransi terhadap cekaman kekeringan
Pola pita DNA klon jeruk keprok Garut mutan putatif hasil amplifikasi
DNA menggunakan penanda RAPD primer OPA 02 (A), OPA 13 (B)
dan OPN 14 (C)
Pola pita DNA klon jeruk keprok Garut mutan putatif hasil amplifikasi
DNA menggunakan penanda RAPD OPN 15 (A), OPN 16 (B), OPF 14
(C) dan OPZ 10 (D)
Keragaman genetik 18 klon jeruk keprok Garut mutan putatif dan klon
wild type berdasarkan data gabungan penanda RAPD dengan primer
OPA 13, OPN 14, OPN 15 dan OPZ 10
Kondisi kultur in vitro tunas klon KG 0 perlakuan cekaman kekeringan
empat konsentrasi PEG pada 2 MST
Pertambahan jumlah daun klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada
empat konsentrasi PEG pada akhir pengamatan (8 MST)
Kandungan klorofil klon jeruk keprok Garut KG 0 dan KG 13 pada
empat taraf konsentrasi PEG
Anatomi stomata klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada empat
taraf konsentrasi PEG
Pertumbuhan keempat klon jeruk keprok Garut mutan putatif dan tetua
pada kondisi cekaman kekeringan simulasi PEG 6000 (20% dan 30%)
Multiplikasi tunas klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada media
MW perlakuan TDZ kombinasi BAP 0.1 mg L-1 , a) tanpa TDZ atau
kontrol, b) TDZ 0.1 mg L-1, c) TDZ 0.2 mg L-1, d) TDZ 0.3 mg L-1
Pertumbuhan tunas klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada media
MW perlakuan TDZ kombinasi BAP 0.1 mg L-1 , a) tanpa TDZ atau
kontrol,b) TDZ 0.1 mg L-1, c) TDZ 0.2 mg L-1,d) TDZ 0.3 mg L-1
Penampakan irisan melintang tunas hasil multiplikasi tunas dengan
empat konsentrasi TDZ yang dikombinasikan dengan BAP 0.1 mg L-1
a) tanpa TDZ atau kontrol, b) TDZ 0.1 mg L-1, c) TDZ 0.2 mg L-1,
d) TDZ 0.3 mg L-1 pada tiga klon jeruk keprok Garut mutan putatif
Pembentukan perakaran eksplan jeruk keprok Garut mutan putatif pada
beberapa media yang ditambahkan IBA 3 mg L-1 dan beberapa
konsentrasi NAA
Morfologi pertumbuhan akar dan pertumbuhan tunas klon jeruk keprok
Garut mutan putatif pada beberapa taraf konsentrasi NAA kombinasi
IBA 3 mg L-1

3

19

20

21
27
29
31
34
36

41

44

45

51

57

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Media Dasar Murashige dan Skoog (MS) dengan Vitamin Morel dan
Wetmore (MW)
Deskripsi Varietas Jeruk Keprok Garut

70
71

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jeruk keprok (Citrus reticulata L.) di Indonesia merupakan jeruk yang
paling popular dan banyak dikonsumsi sebagai buah segar dengan rasa manis
asam segar. Indonesia memiliki beragam jeruk keprok varietas unggul lokal yang
berkualitas. Jenis jeruk keprok tersebut antara lain jeruk keprok Batu 55 (Kab.
Malang Jawa Timur), Brastepu (Kab.Karo Sumatera Utara), Soe (NTT), Madura
(Kab. Pamengkasan Madura), Gayo (NAD), Terigas (Kab. Sambas Kalimantan
Barat), Borneo prima (Kalimantan Timur), Selayar (Pulau Selayar Sulawesi
Selatan), Garut (Kab. Garut Jawa Barat), Kacang Solok (Kab. Solok Sumatera
Barat), Siompu (Pulau Buton Sulawesi Tenggara), Tejakula (Kab. Buleleng Bali),
dan Gergo lebong (Kab. Lebong) (Balitbangtan 2012).
Jeruk keprok Garut merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan
nasional yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitas maupun
kuantitas produksinya. Jeruk keprok Garut memiliki daging buah yang lunak,
lembut dan banyak mengandung air. Rasanya manis agak masam yang segar, dan
beraroma khas, karena bijinya sedikit, jeruk ini banyak dinikmati oleh masyarakat
sebagai buah segar (Balitbangtan 2012). Produksi jeruk keprok pada tahun 2014
adalah 1 785 264 ton dan lebih rendah dibandingkan tahun 2010 yaitu 1 937 773
ton atau mengalami penurunan sebanyak 8.54% (BPS 2015). Salah satu penyebab
penurunan adalah kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim atau El Nino
yang menyebabkan terjadinya kemarau panjang sehingga tidak selamanya lahan
pertanaman ideal untuk pertumbuhan. Di Indonesia tanaman ini sangat
memerlukan air yang cukup terutama di bulan Juli-Agustus, dimana pada bulan
tersebut pada umumnya merupakan periode terjadinya perkembangan bunga dan
buah (Balitbangtan 2012). Kekeringan menyebabkan buah jeruk yang telah
terbentuk menjadi keriput, tanaman mati, dan serangan hama penyakit sehingga
menurunkan produksi pertanaman jeruk.
Perakitan varietas pengembangan klon jeruk keprok varietas Garut toleran
terhadap cekaman kekeringan dan dapat dilakukan secara konvensional melalui
persilangan, dan secara non konvensional melalui induksi mutasi dengan teknik
pemaparan radiasi sinar gamma. Pada tahun 2013 telah dilakukan induksi mutasi
dengan teknik iradiasi sinar gamma dengan beberapa dosis yaitu 20-200 Gray
(Karyanti et al. 2015) dan menghasilkan klon-klon yang tetap tumbuh hingga
generasi M1V4 sehingga diperlukan karakterisasi secara molekuler untuk melihat
keragaman genetik yang terbentuk. Penanda molekuler Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) dapat diandalkan untuk mendeteksi sekuen nukleotida
yang polimorfis dengan bantuan mesin PCR (polymerase chain reaction)
menggunakan sebuah primer tunggal (10-mer) RAPD.
Klon-klon tersebut diharapkan merupakan mutan putatif dan memiliki
karakter morfologi dan fisiologi (toleransi cekaman kekeringan) yang lebih baik
dibandingkan tetuanya. Pengujian toleransi cekaman kekeringan dilakukan
melalui media simulasi polyethylene glycol (PEG). Setelah diperoleh klon-klon
mutan yang memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan makan klon-

2

klon tersebut perlu diperbanyak secara klonal in vitro sehingga diperoleh duplikat
dari masing-masing mutan. Klonal in vitro biasanya dilakukan dengan cara
menggandakan tunas baik melalui jalur embriogenesis somatik maupun
organogenesis. Penambahan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin thidiazuron
(TDZ) pada level konsentrasi tertentu mampu menginduksi multiplikasi tunas.
Induksi akar pada tunas-tunas klon mutan putatif hasil multiplikasi tunas
dilakukan untuk mempersiapkan kondisi klon-klon mutan putatif toleran terhadap
cekaman kekeringan saat proses aklimatisasi. Penambahan IBA atau NAA ke
dalam media MS berpengaruh terhadap waktu inisiasi, jumlah, panjang dan
karakteristik akar piretum klon Prau 6 (Rostiana dan Seswita 2007). Penambahan
IBA dengan konsentrasi 3 mgL-1 mampu meningkatkan persentasi pembentukan
akar sekunder sebesar 86% dan tingkat keberhasilan aklimatisasi planlet terbaik
pada eksplan jeruk keprok Batu 55 (Merigo 2011).
Tujuan

1.

2.
3.

4.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendapatkan informasi keragaman genetik klon-klon hasil induksi mutasi
melalui sinar gamma yang dapat dimanfaatkan untuk evaluasi toleransi
kekeringan berdasarkan analisis RAPD.
Mendapatkan mutan jeruk keprok Garut yang memiliki karakter toleran
terhadap cekaman kekeringan.
Mendapatkan konsentrasi TDZ yang dikombinasikan dengan BAP 0.1 mg L-1
dalam media pertumbuhan in vitro optimal untuk multiplikasi tunas mutan
jeruk keprok Garut.
Mendapatkan konsentrasi NAA dikombinasikan dengan IBA yang optimal
dalam media pertumbuhan in vitro untuk menginduksi akar mutan jeruk keprok
Garut.
Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat keragaman genetik klon-klon hasil induksi mutasi melalui sinar
gamma yang dapat dimanfaatkan untuk evaluasi toleransi kekeringan
berdasarkan analisis penanda RAPD.
2. Terdapat mutan jeruk keprok Garut yang memiliki karakter toleran terhadap
cekaman kekeringan
3. Terdapat satu konsentrasi TDZ yang dikombinasikan dengan BAP 0.1 mg L-1
dalam media pertumbuhan in vitro optimal untuk multiplikasi tunas mutan
jeruk keprok Garut.
4. Terdapat satu konsentrasi NAA dikombinasikan dengan IBA yang optimal
dalam media pertumbuhan in vitro untuk menginduksi akar mutan jeruk keprok
Garut.
Kerangka Pemikiran
Faktor pembatas dalam pengembangan jeruk di Indonesia salah satunya
adalah kondisi lingkungan yang mulai mengalami perubahan akibat perambahan

3

hutan secara tidak terkendali menyebabkan ketersediaan air tanah mengalami
penurunan secara drastik dan tanaman jeruk menghadapi cekaman kekeringan
terutama saat musim kemarau menjadi salah satu faktor pembatas terhadap
peningkatan produktivitas jeruk keprok Garut. Penggunaan bibit varietas yang
toleran terhadap cekaman kekeringan merupakan teknik yang efisien dan efektif
dalam mengatasi keterbatasan tersebut. Perakitan varietas jeruk toleran terhadap
cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan induksi mutasi melalui pemaparan
radiasi sinar gamma pada populasi kalus embriogenik sehingga diperoleh mutanmutan putatif.
Karakterisasi secara molekuler keragaman genetik klon jeruk keprok Garut
hasil iradiasi sinar gamma diperlukan untuk melihat keragaman genetik yang
terbentuk. Karakterisasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dilakukan secara
in vitro melalui simulasi poly-ethylene glycol (PEG) 6000 pada beberapa taraf
konsentrasi. Mutan-mutan putatif jeruk keprok Garut yang diperbanyak dengan
teknik kultur jaringan atau secara in vitro melalui embriogenesis somatik
menghasilkan mutan solid. Media perbanyakan secara kultur jaringan dengan
menambahkan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin dan auksin dapat
meningkatkan aktivitas multiplikasi tunas dan induksi perakaran. Skema kerangka
pemikiran tersaji pada Gambar 1.
Klon jeruk keprok Garut mutan putatif in vitro
Karakterisasi secara molekuler keragaman
genetik klon jeruk keprok Garut mutan
generasi M1V4 secara in vitro
menggunakan penanda RAPD
Karakterisasi toleransi cekaman
kekeringan secara in vitro melalui simulasi
PEG 6000
Multiplikasi tunas klon toleran terhadap
cekaman kekeringan secara in vitro
Induksi perakaran klon toleran terhadap
cekaman kekeringan secara in vitro

OUTPUT
Informasi keragaman genetik klon jeruk
keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma
OUTPUT
Jeruk keprok Garut mutan putatif toleran
terhadap cekaman kekeringan
OUTPUT
 Konsentrasi TDZ yang
dikombinasikan BAP optimal untuk
multiplikasi tunas
 Konsentrasi NAA yang
dikombinasikan IBA optimal untuk
menginduksi akar

Klon Jeruk Keprok Garut Mutan Putatif
Toleran Cekaman Kekeringan

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian karakterisasi genetik jeruk
keprok Garut mutan putatif (Citrus reticulata L.) hasil iradiasi sinar
gamma dan toleransi terhadap cekaman kekeringan

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Jeruk Keprok
Buah jeruk menjadi salah satu buah yang sangat diminati oleh masyarakat
Indonesia. Diantaranya yang paling popular adalah jeruk keprok (mandarin) yang
dikonsumsi sebagai buah segar. Jeruk keprok rasanya manis asam, segar,
kandungan vitamin C dan A yang cukup tinggi, harga relatif murah, dan mudah
didapat dimana dan kapan saja diseluruh pelosok negeri.
Menurut Hodgson (1967) tanaman jeruk yang penting secara komersial
dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu orange (jeruk manis),
mandarin (jeruk keprok), pummel (jeruk besar), dan grapefruit, serta kelompok
common acid yang terdiri dari citron, lemon dan lime. Taksonomi tanaman jeruk
keprok menurut Swingle dan Reece (1967) dalam Oritz (2002) adalah sebagai
berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Subfamili
: Aurantiodeae
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus reticulata/nobilis L.
Jeruk keprok (Citrus reticulata L.) di Indonesia merupakan jeruk yang
paling popular dan banyak dikonsumsi sebagai buah segar dengan rasa manis.
Indonesia memiliki beragam jeruk keprok varietas unggul lokal yang berkualitas.
Jenis jeruk keprok tersebut antara lain jeruk keprok Batu 55 (Kab.Malang Jawa
Timur), Brastepu (Kab.Karo Sumatera Utara), Soe (NTT), Madura (Kab.
Pamengkasan Madura), Gayo (NAD), Terigas (Kab. Sambas Kalimantan Barat),
Borneo prima (Kalimantan Timur), Selayar (Pulau Selayar Sulawesi Selatan),
Garut (Kab. Garut Jawa Barat), Kacang Solok (Kab. Solok Sumatera Barat),
Siompu (Pulau Buton Sulawesi Tenggara), Tejakula (Kab. Buleleng Bali), dan
Gergo lebong (Kab. Lebong) (Balitbangtan 2012).
Tanaman jeruk keprok sangat baik diusahakan ditempat-tempat dengan
ketinggian 700-1200 meter di atas permukaan laut. Tanaman jeruk keprok dapat
diperbanyak secara generatif dan vegetatif, namun umumnya diperbanyak secara
vegetative melalui okulasi dan penyambungan (Sunarjono 2009). Tanaman jeruk
keprok rata-rata memiliki tinggi berkisar 2-8 meter, ada yang berduri dan ada
yang tidak. Tajuk pohon tidak beraturan dan rindang, dahan kecil dengan cabang
yang cukup banyak. Daun berbentuk tunggal, kecil dan bertangkai pendek,
warnanya hijau tua mengkilat pada permukaan atas dan hijau muda pada
permukaan bawah, tangkai daun tidak bersayap. Tanaman jeruk keprok berbunga
majemuk, bunga keluar pada ketiak daun atau pada ujung cabang. Bunganya
kecil-kecil dan berbau harum, berbunga pada akhir musim kering atau kemarau.
Buah jeruk keprok memiliki ruang antara 9-19, tangkai buah pendek, kulit buah
mudah dikupas. Buah yang sudah tua warna kulitnya bervariasi antara hijau tua,

5

hijau muda, dan kuning orange. Tekstur kulitnya mengkilat, licin, penuh pori-pori
dan sedikit berbau harum. Daging buahnya berwarna orange, banyak
mengandung air dengan rasa manis sedikit asam. Tiap ruang atau septa buah
mengandung banyak biji, dan mudah dipisah-pisahkan (Sarwono 1994).

Pemuliaan Mutasi Tanaman Jeruk
Pemuliaan tanaman (plant breeding) adalah perpaduan antara seni (art)
dan ilmu (science) dalam merakit keragaman genetik suatu populasi tanaman
tertentu menjadi lebih baik atau unggul dari sebelumnya (Chahal dan Gosal 2003).
Tujuan dari kegiatan pemuliaan tanaman yaitu menghasilkan varietas tanaman
dengan sifat-sifat yang sesuai dengan sistem budidaya yang ada dan tujuan
ekonomi yang diinginkan. Teknik pemuliaan tanaman dalam rangka
meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu
introduksi tanaman dari luar wilayah, persilangan atau hibridisasi dua spesies,
rekayasa genetika dengan memasukkan gen yang diinginkan ke dalam sel
tanaman, dan melalui teknik mutasi dengan menggunakan mutagen
(Syukur et al. 2012). Pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik karakter tertentu pada tanaman
dengan mempertahankan suatu sifat yang kompleks seperti halnya kualitas good
eating dalam suatu varietas yang memerlukan perbaikan hanya pada satu karakter
saja yang diturunkan dan untuk mengembangkan suatu metode dalam
mendapatkan tunas-tunas atau tanaman yang dihasilkan dari hanya satu sel
(Suminar et al. 2009). Pemuliaan mutasi secara nyata dapat meningkatkan
keragaman genetik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau
apomiksis (Sleper dan Poehlman 2006).
Mutasi adalah perubahan pada struktur dan atau komposisi genetik yang
terjadi secara tiba-tiba, tidak terarah atau secara acak, dan terwariskan (heritable)
ke generasi berikutnya. Mutasi dapat terjadi pada setiap fase pertumbuhan
tanaman dan pada setiap bagian tanaman, namun lebih banyak terjadi pada fase
dan bagian yang sedang aktif melakukan pembelahan seperti tunas dan biji
(Soeranto 2012). Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program
pemuliaan mutasi antara lain pemilihan mutagen, metode aplikasi, dosis yang
digunakan, regenerasi atau pertumbuhan tanaman tersebut, bagian tanaman yang
digunakan dan teknik seleksi pada generasi berikutnya (Van Harten 1998).
Aplikasi pemuliaan mutasi menggunakan teknik iradiasi sinar gamma saat ini
telah banyak digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas buah jeruk.
Pemberian iradiasi sinar gamma dosis 20-40 Gray pada tunas aksilar dan jeruk
besar asli Indonesia menghasilkan buah tanpa biji (Sutarto et al. 2009). Pemberian
iradiasi sinar gamma dosis 2o Gray telah menghasilkan tanaman keprok SoE
tanpa biji yang telah berumur 3 tahun (Martasari et al. 2005).

Mekanisme Adaptasi terhadap Cekaman Kekeringan
Cekaman kekeringan adalah suatu kondisi yang ditunjukkan oleh
kekurangan air pada lingkungan tumbuh tanaman. Cekaman kekeringan terjadi

6

ketika akar tidak mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup untuk proses
metabolismenya. Tanaman mengalami kekeringan bila laju penyerapan air tanah
oleh perakaran tidak dapat mengimbangi laju evaptranspirasi (Levitt 1980).
Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang
dengan potensial air tanah -0.03 MPa hingga layu permanen -1.5 MPa.
Ketersediaan air tanah yang dapat diserap tanaman adalah pada potensial air -0.03
sampai -0.5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55 –
65% dari yang tersedia. Pada kondisi potensial air tanah sekitar -0.5 sampai -1.5
MPa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat
mengabsorbsi air.
Gejala kekeringan ditandai oleh adanya gangguan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman diantaranya hambatan dalam penyerapan hara,
pengurangan laju transpirasi dan nilai relative luas daun. . Gangguan pertumbuhan
dan perkembangan juga dipengaruhi oleh penurunan laju fotosintesis, fiksasi
CO2, dan daya hantar stomata seiring dengan peningkatan intensitas cekaman
yang mempengaruhi produksi asimilat untuk pertumbuhan dan produksi tanaman
(Purwanto 2003). Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme fisiologi antara lain
cenderung merusak sistem transport electron sehingga mendorong terbentuknya
radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau ROS) pada organela tempat
terjadinya metabolism yang melibatkan transport electron atau yang melakukan
oksidasi, yaitu kloroplas, mitokondria, dan mikrobodi. ROS pada umumnya
merusak komponen penting dalam sel seperti DNA, protein, dan lipid, serta
mengakibatkan gangguan pada integritas membrane, aktivitas enzim dan struktur
intra seluler (Mundree et al. 2002).
Pengukuran karakter fisiologi seperti kandungan klorofil, merupakan salah
satu pendekatan untuk mempelajari pengaruh kekurangan air terhadap
pertumbuhan dan hasil produksi, karena parameter ini berkaitan erat dengan laju
fotosintesis (Li et al. 2006). Kekurangan air dari tingkat paling ringan sampai
paling berat mempengaruhi proses-proses biokimia yang berlangsung dalam sel.
Kekurangan air mempengaruhi reaksi-reaksi biokimia fotosintesis, sehingga laju
fotosintesis menurun (Fitter dan Hay 1994). Salah satu aspek fotosintesis yang
sangat sensitif terhadap kekurangan air adalah biosintesis klorofil dan
pembentukan protoklorofil terhambat pada potensial air sedikit dibawah 0 atm
(Salisbury dan Ross 1992). Kurangnya ketersediaan air akan menghambat sintesis
klorofil pada daun akibat laju fotosintesis yang menurun dan terjadinya
peningkatan temperatur dan transpirasi yang menyebabkan disentegrasi klorofil
(Hendriyani dan Setiari, 2009). Klorofil merupakan komponen kloroplas yang
utama dan kandungan klorofil relatif berkorelasi positif dengan laju fotosintesis
(Li et al. 2006).
Stomata adalah celah yang berada diantara dua sel penjaga (guard cell),
sedangkan apparatus stomata adalah kedua sel penjaga tersebut. Sel penjaga pada
tumbuhan dikotil umumnya berbentuk seperti sepasang ginjal. Stomata umumnya
terdapat dibawah permukaan daun (Lakitan 2008). Pada penelitian ini terlihat
bahwa kerapatan stomata tertinggi terjadi pada klon yang tumbuh di media PEG
10%, dan mengalami penurunan kerapatan pada setiap peningkatan konsentrasi
PEG yang ditambahkan ke media tanam cair. Menurut Lestari (2006), somaklon
yang mempunyai kerapatan stomata padi lebih rendah dan indeks stomata lebih
rendah dianggap lebih tahan terhadap kekeringan.

7

Menurut Fitter dan Hay (1981), sangat penting bagi tanaman dari seluruh
spesies untuk menghindarkan diri dari cekaman kekeringan atau untuk
mengembangkan adaptasi secara anatomi, morfologi dan fisiologi agar dapat
mentolerir cekaman kekeringan. Tiap varietas tanaman memiliki reaksi yang
sangat kompleks dalam menghadapi cekaman kekeringan yang ditunjukkan oleh
perubahan morfologi dan fisiologi tanaman yang berbeda.
Menurut Fukai dan Cooper (1995) berdasarkan kemampuan genetik
tanaman, terdapat empat mekanisme adaptasi pada kondisi cekaman kekeringan,
yaitu: (1) melepaskan diri dari cekaman kekeringan (drought escape) yaitu
tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami stres berat, dengan
berbunga lebih awal atau daun menggulung, namun mekanisme adaptasi tersebut
memiliki kelemahan yaitu genotipe genjah dengan umur pendek umumnya
berdaya hasil rendah dibandingkan dengan yang berumur panjang; (2) toleransi
dengan potensial air jaringan yang tinggi (dehydration avoidance), yaitu
kemampuan tanaman tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan
penyerapan air atau menekan kehilangan air melalui meningkatkan sistem
perakaran, menurunkan hantaran epidermis untuk regulasi stomata, pengurangan
absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal, dan penurunan
permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan luas daun serta pengguguran
daun tua; (3) toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah (dehydration
tolerance), yaitu kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan
menurunkan potensial airnya melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino
dan prolin; (4) mekanisme penyembuhan (drought recovery), dimana proses
metabolisme berjalan normal kembali setelah mengalami cekaman kekeringan.
Mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan bergantung
pada genetik tanaman, dimana perbedaan morfologi, anatomi dan metabolisme
akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan (Hamim
2004). Pada umumnya tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan
menggunakan lebih dari satu mekanisme tersebut untuk menjaga kelangsungan
hidupnya (Mitra 2001). Tanaman yang tidak mampu beradaptasi pada kondisi
cekaman kekeringan akan mati apabila mengalami cekaman lebih lanjut.
Mekanisme toleransi memiliki kontribusi yang tinggi dalam
mempertahankan hasil dibawah kondisi cekaman. Toleransi terhadap cekaman
kekeringan meliputi aktivitas-aktivitas yanng bertujuan untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar
pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih
rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS
melalui pembentukan protein stress dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga
keseimbangan osmotic, dan (3) proses pertumbuhan dengan menurunkan
kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembesaran sel (Mundree et al. 2002).

Simulasi Cekaman Kekeringan Menggunakan Polyethilene Glycol
(PEG) 6000
Simulasi cekaman kekeringan telah banyak dilakukan dengan menggunakan
larutan osmotikum yang dapat mengontrol potensial air dalam media tanaman.

8

Terdapat tiga jenis bahan osmotikum yang sering digunakan yaitu melibiose,
mannitol dan polietilenaglikol (polyethilene glycol, PEG). Menurut
Verslues et al. 2006 diantara ketiga bahan osmotikum tersebut ternyata PEG
merupakan bahan yang terbaik untuk mengontrol potensial air dan tidak dapat
diserap tanaman. Asay dan Johnson (1983) menyatakan bahwa simulasi cekaman
kekeringan dengan menggunakan larutan PEG dapat mendeteksi dan
membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan serta tidak bersifat
racun bagi tanaman. Menurut Chazen dan Neuman (1994) penggunaan PEG 6000
dalam jangka panjang pada tanaman relatif aman, karena PEG 6000 tidak dapat
masuk ke dalam jaringan akar tanaman atau dinding selulosa hanya dapat dilewati
oleh PEG dengan berat molekul maksimum 3500. Senyawa PEG merupakan
senyawa yang dapat menurunkan potensial osmotik larutan melalui aktivitas
matriks sub-unit etilena oksida yang mampu mengikat molekul air dengan ikatan
hidrogen (Rahayu et al. 2005). Penurunan potensial air tergantung pada
konsentrasi dan bobot molekul PEG yang terlarut. Total massa -CH2-O-CH2atau kekuatan matriks subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan
faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan potensial air. Bila PEG
dilarutkan dalam air maka molekul air (H2O) akan tertarik ke atom oksigen pada
subunit etlien oksida melalui ikatan hidrogen sehingga menyebabkan potensial air
menurun. Semakin pekat kosentrasi PEG semakin banyak zat terlarut yang
menahan masuknya air ke dalam jaringan tanaman akibatnya akar tanaman
semakin sulit untuk menyerap air (Chazen dan Neuman 1994).
PEG merupakan agen penyeleksi yang bersifat osmotikum (menurunkan
potensial air). Potensial air (Ψ) adalah potensial kimia air dalam suatu sistem atau
bagian sistem yang dinyatakan dalam satuan tekanan dan dibandingkan dengan
potensial kimia air murni (pada tekanan atmosfer dan suhu yang sama), potensial
kimia air murni bernilai nol (Salisbury dan Ross 1995). Jika potensial kimia air
tertentu kurang dari potensial kimia air murni, maka potensial airnya akan bernilai
negatif. Cekaman air pada tanaman terjadi saat potensial air bernilai negatif. Air
dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pertumbuhan sel merupakan respon awal ditunjukkan terhadap cekaman air.
Penambahan PEG ke dalam media kultur diharapkan dapat menciptakan kondisi
cekaman karena ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Menurut Short
et al. (1987) menyatakan bahwa kultur in vitro PEG dapat menginduksi cekaman
kekeringan dan berkorelasi positif dengan yang terjadi di lapang atau rumah kaca.
Konsentrasi PEG 10, 20 dan 30% merupakan konsentrasi yang biasa digunakan
untuk simulasi cekaman kekeringan dilapang (Salisbury dan Ross 1995).

Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh tanaman (plant growth substances) atau hormon di
definisikan sebagai senyawa organik yang aktif dalam jumlah kecil yaitu antara
10-6–10-5 mM yang disintesiskan pada bagian tertentu dari tanaman dan pada
umumnya diangkut ke bagian tanaman lain yang memberikan respon secara
biokimia, fisiologis dan morfologis. Zat pengatur tumbuh tersebut mencakup zatzat endogen maupun eksogen atau sintetik (Wattimena 1988).

9

Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman. Perannya antara lain mengatur kecepatan
pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian
tersebut guna menghasilkan bentuk atau jaringan tanaman. Aktivitas zat pengatur
tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi,
genotipe tanaman serta fase fisiologis tanaman. Dalam proses pembentukan
organ seperti tunas atau akar terdapat interaksi zat pengatur tumbuh eksogen yang
ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang
diproduksi oleh jaringan tanaman (Winata 1992). Menurut Wattimena 1988,
bahwa terdapat dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam
teknik kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Peranan auksin dan sitokinin
sangat nyata dalam pengaturan pembelahan sel,pemanjangan sel, diferensiasi sel,
dan pembentukan organ.
Auksin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses
pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Auksin adalah sekelompok
senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spectrum
aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid). Menurut Davies (2004),
auksin pada umumnya meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel,
diferensiasi jaringan pembuluh vaskular, inisiasi akar, merangsang respon
(kelenturan) tunas dan akar terhadap gaya gravitasi dan cahaya, penundaan
penuaan daun, menghambat atau merangsang (melalui etilen) daun dan
pematangan buah, menunda pematangan buah, menstimulasi pertumbuhan bunga.
Zulkarnain (2011) menyatakan bahwa auksin berpengaruh pula untuk
menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya
dalam media kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada
kultur suspensi sel.
Sitokinin adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada
tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemberian
sitokinin ke dalam media kultur jaringan penting untuk menginduksi
perkembangan dan pertumbuhan eksplan yang mencakup meningkatkan
pembelahan sel, proliferasi pucuk, morfogenesis pucuk (inisiasi pembentukan
tunas dan mendorong inisiasi tunas), pertumbuhan tunas lateral, dan menunda
penuaan daun (Davies 2004) . Sitokinin yang paling banyak digunakan pada
kultur in vitro adalah kinetin, benziladenin (BA atau BAP), zeatin, serta 6-[γ,γdimethylallylamino]purine atau 2iP. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis secara
alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik (Zulkarnain 2011).

Multiplikasi Tunas
Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tergantung pada
jenis tanaman yang digunakan serta tujuan kegiatan atau arah pertumbuhan
tanaman yang diinginkan. Pembentukan tunas in vitro sangat menentukan
keberhasilan produksi bibit yang cepat dan banyak. Semakin banyak tunas yang
terbentuk akan berkorelasi positif dengan bibit yang dapat dihasilkan melalui
kultur jaringan. Dengan demikian untuk memacu faktor multiplikasi tunas yang
tinggi diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin. Tunas ganda (tunas

10

majemuk) yang terbentuk secara langsung lebih stabil secara genetik
dibandingkan dengan tunas tidak langsung (Lestari 2011).
Zat pengatur tumbuh sitokinin merupakan senyawa pengganti adenine
yang meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan pertumbuhan.
Sitokinin ditemukan paling banyak didaerah meristem dan area dengan potensi
tumbuh berkesinambungan termasuk akar, daun muda, buah yang berkembang,
dan biji. Sitokinin diduga diproduksi dalam akar dan ditranslokasikan ke pucuk,
karena zat tersebut ditemukan dalam larutan xylem. Peran sitokinin dalam
tumbuhan yaitu mengatur pembelahan sel, pembentukan organ, pembesaran sel
dan organ, pencegahan kerusakan klorofil, pembentukan kloroplas, penundaan
senescens, pembukaan dan penutupan stomata, serta perkembangan mata tunas
dan pucuk (Harjadi 2009).
Zat pengatur tumbuh BA (benzyl adenin) paling banyak digunakan untuk
memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan
dengan kinetin. BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi
lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil (George dan Sherington, l984).
Benzil adenine purine (BAP) merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan
dalam kultur jaringan karena lebih stabil dan memiliki efektifitas yang lebih tinggi
dibanding dengan sitokinin jenis lain. Penambahan BAP pada konsentrasi rendah
2.5-5 µM memungkinkan tumbuhnya tunas-tunas adventif pada jeruk manis
(Agisimanto et al. 2005). Menurut Lestari (2011), disamping BA atau kinetin
penggunaan thidiazuron (TDZ) dapat pula meningkatkan kemampuan multiplikasi
tunas baik pembentukan tunas adventif maupun proliferasi tunas aksilar. Di duga
TDZ mendorong terjadinya perubahan sitokinin ribonukleotida menjadi
ribonukleosida yang secara biologi lebih aktif. Kombinasi BA atau BAP dengan
TDZ bermanfaat meningkatkan kemampuan proliferasi tunas.

Induksi Perakaran
Perakaran dengan kualitas yang baik dalam perbanyakan tanaman secara
in vitro sangat menentukan keberhasilan dalam tahap aklimatisasi. Formulasi
media yang tepat sangat menentukan kualitas akar.. Konsentrasi auksin yang
rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin
konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan
morfogenesis (Smith 1992). Sintesis auksin terjadi di daun, diangkut melalui sel,
pergerakannya sampai ke batang. Pengangkutan dari batang ke akar mungkin juga
melalui jaringan floem (Zong, et al. 2008). Kegunaan dari hormon pengakaran
yaitu secara keseluruhan meningkatkan persentase pengakaran, mempercepat
inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar, dan mendorong
pengakaran yang seragam (Macdonald 2002).
Auksin yang banyak digunakan dalam kultur in vitro adalah indole 3acetic acid (IAA), α-naphtalena acetic acid (α-NAA), indole-3-butyric acid
(IBA), 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), 2,4,5-trichlorophenoxyacetic acid
(2,4,5-T), dan p-chlorophenoxyacetic acid (CPA) (Zulkarnain 2011). IBA sangat
efektif untuk menginduksi perakaran. IAA merupakan auksin yang disintesis
secara alamiah di dalam jaringan tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami
degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. Oleh karena itu,

11

biasanya IAA diberikan pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-30 mgL-1).
Sementara NAA merupakan auksin sintetik, tidak mengalami oksidasi enzimatik
seperti halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan ke media kultur pada
konsentrasi yang lebih rendah yaitu berkisar antara 0,1-2,0 mgL-1.
Zat pengatur tumbuh yang paling baik untuk merangsang akar adalah IBA
dan NAA. IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia bersifat stabil dan
tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah berlangsung
lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya.
NAA memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi namun lebih beracun dari
IBA dengan penggunaan konsentrasi yang tinggi harus dihindari karena dapat
menyebabkan pelukaan pada tanaman (Weaver 1972).

12

3

KARAKTERISASI MOLEKULER KERAGAMAN
GENETIK KLON-KLON JERUK KEPROK GARUT
(Citrus reticulataL.) HASIL IRADIASI SINAR GAMMA
MENGGUNAKAN PENANDA RAPD (RANDOM AMPLIFIED
POLYMORPHIC DNA)

Abstrak
Teknik RAPD telah banyak digunakan untuk mengkarakterisasi keragaman
genetik yang sangat bermanfaat dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Tujuan dari
percobaan ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik klon-klon hasil induksi
mutasi melalui sinar gamma yang dapat dimanfaatkan untuk karakterisasi toleransi
cekaman kekeringan berdasarkan analisis penanda RAPD. Bahan yang digunakan
adalah 18 klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma pada beberapa dosis
dan satu genotipe jeruk keprok Garut sebagai wild type dan 15 primer penanda
RAPD. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tujuh primer RAPD
yang digunakan(OPA 02, OPA 13, OPF 14, OPN 14, OPN 15, OPN 16 dan OPZ
10) mampu