Popularitas Calon yang Dipilih Perilaku Memilih dalam Pemilu

ISSN 2407-9189 The 4 th University Research Coloquium 2016 273

2. KAJIAN LITERATUR

A. Existing Masyarakat

Jika kita menghendaki dapat memahami keadaan masyarakat atau memahami potensi dan permasalahan yang ada di dalam masyarakat maka terlebih dahulu harus melihat secara obyektif keadaan masyarakat secara holistik. Menurut Peter L. Berger masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya Soerjono Soekamto: 2004. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan. Selanjutnya menurut Emile Durkheim bahwa masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggotanya Soerjono Soekamto: 2004 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa existing suatu masyarakat merupakan kenyataan obyektif yang terdiri dari bagian-bagian yang membentuk kesatuan dan diikat oleh sistem adat-istiadat tertentu. Kenyataan-kenyataan obyektif tersebut adalah kondisi apa adanya masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan maksud dari existing masyarakat adalah kenyataan-kenyataan obyektif masyarakat Kota Magelang. Hal ini terkait dengan keadaan masyarakat yang pokok ditinjau dari : jumlah penduduk yang berhak memilih, komposisi penduduk yang berhak memilih tersebut menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan baik formal maupun non formal, matapencahariaan, pendapatan, kepemilikan, pengeluaran, beban anggota keluarga yang ditanggung.

B. Orientasi Politik

Orientasi politik dalam menggunakan hak pilih menurut tipologi Almond dan Verba dalam Rush P.Althoff, 2005 dapat dikategorikan menjadi, 1 orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, 2 orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan 3 orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih terhadap parpolkandidat pilihannya. Orientasi politik bagi pemilih selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan besar kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Timbulnya orientasi tersebut dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian akan membentuk sikap dan pola mereka dalam memandang suatu obyek politik. Selanjutnya membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul mempengaruhi perilaku politik seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap: 1 sistem yaitu sebagai suatu keseluruhan dan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alienansi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa, dan 2 pribadi sebagai aktor politik, isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang. Orientasi politik yang dimiliki seseorang akan mendorong terjadinya perilaku politik tertentu Rush P.Althoff, 2005

C. Popularitas Calon yang Dipilih

Popularitas calonjuga merupakan satu hal yang penting dalam proses pemilu. Terdapat relevansi antara kepopulisan calon yang akan dipilih dengan akseptansi publik. Ketika publik mengenal sosok dan kiprah calon dengan baik, maka akan dapat dipastikan setengah dari kepercayaan telah terbangun, apalagi diikuti pengalaman serta track record yang dianggap baik sehingga akan memberikan daya bius kepada publik. Popularitas calon selain dipengaruhi oleh track record , juga dipengaruhi oleh elemen vital yang ikut mempengaruhi bahkan mendongkrak kepopulerannya. Faktor tersebut adalah visi misi yang selanjutnya dianggap ISSN 2407-9189 The 4 th University Research Coloquium 2016 274 sebagai jargon kampanye. Pardosi: 2013 Hal ini dapat dibuktikan dengan sejauh mana sinergisitas visi misi calon terhadap aspirasi masyarakat. Sang calon dapat melakukan studi konvergensi dengan menganalisa realita sosial yang berkembang di masyarakat. Selain itu juga dapat dilihat dari pengetahuan masyarakat terhadap calon, sampai sejauh mana hubungan antara calon dan masyarakat. Apakah masyarakat mengenal calon jauh sebelum masa kampanye atau hanya pada saat pencalonan saja. Jika calon-calon yang maju dalam pemilu adalah orang-orang yang telah dikenal maka akan timbul keinginan dari masyarakat untuk memenangkan calon yang telah dikenalnya. Selain itu jika pelaksanaan pemilu sesuai dengan apa yang dicita- citakan masyarakat maka partisipasi masyarakat juga akan meningkat pula. Popularitas sangat umum ditemui tanpa harus menunggu suatu even. Agar popularitas sosok calon itu dapat mengesankan orang lain maka kadang ada perilaku khusus yang disampaikan secara khusus kepada masyarakat. Misalnya dengan melakukan promosi dengan diberbagai media, jargon dan kata-kata tertentu yang mudah diingat atau mengesankan masyarakat.

D. Perilaku Memilih dalam Pemilu

Ada beberapa perilaku memilihdalam menyikapi pemilu. Pertama , pemilih yang mengedepankan rasionalitas nilai. Max Weber dalam Banowo; 2008 mengemukakan rasionalitas nilai ialah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Jika dikaitkan pemilu, rasionalitas nilai ini adalah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada calon yang akan dipilih, diyakini memiliki kesamaan nilai terutama nilai yang pokok dengan dirinya, baik itu agama, ras, etnis, dan lain-lain. Pemilih dengan rasionalitas nilai jumlahnya tidaklah sedikit di Indonesia. Di banyak pemilihan kepala daerah pilkada, nilai-nilai primordial sering menguat dan dijadikan sebagai acuan pemilih dalam menentukan pilihan. Faktor suku dan agama lebih dominan ketimbang kapasitas, kredibilitas, dan integritas dari sang kandidat. Kedua , pemilih dengan rasionalitas tujuan. Menurut Weber, rasionalitas tujuan adalah pola pikir yang bertumpu pada apa yang akan diperoleh. Pemilih memutuskan pilihannya pada calon yang dirasa dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya, meski hanya berupa sebagaian kebahagiaan yang sifatnya sementara. Perilaku pemilih yang demikian menilai pemilu bukan lagi sarana untuk mencurahkan harapan kepada calon legislatif caleg. Pemilih menganggap program dan janji yang ditawarkan caleg bukan hal yang menarik dan penting untuk diketahui. Acara hura-hura saat kampanye, pembagian sembako, dan kegiatan “amal” para caleg yang lebih dinanti-nanti. Sehingga dalam memutuskan pilihannya, berlaku hukum: “siapa yang bayar, akan dipilih”. Tetapi, pemilih yang demikian sangat pragmatis.Perilaku ini muncul bukan tanpa sebab. Ini merupakan refleksi kekecewaan yang telah dialami. Keikutsertaan pada pemilu-pemilu lalu ternyata tidak berbuah apa-apa. Ketiga , pemilih yang kritis. Pemilih kritis kecenderungannya ialah memiliki perhatian besar pada pada program kerja dan kebijakan parpol atau kandidat. Ferdiansyah 2014 memaparkan bahwa pemilih kritis akan menjadikan nilai-nilai ideologi sebagai pijakan untuk menentukan parpol mana yang akan dipilih, kemudian mengkritisi kebijakan atau program kerja yang akan atau yang telah dilakukan oleh parpol atau kandidat peserta pemilu.Mereka akan memilah- milah, mana politikus yang hanya berambisi pada kekuasaan, mana juga yang memang memiliki kompetensi. Kapasitas dan kapabilitas dinilai seperinci mungkin sehingga tidak sembarangan lagi memilih. ISSN 2407-9189 The 4 th University Research Coloquium 2016 275 Keempat , pemilih skeptis. Pemilih skeptis tidak memiliki orientasi dengan ideologi, nilai, program kerja, dan kontestan tertentu. Mereka adalah kelompok masyarakat yang skeptis dan tidak yakin terhadap pemilu. Dalam pandangannya, parpol yang memenangkan pemilu tidak akan membawa dampak perubahan yang berarti. Kalaupun berpartisipasi dalam pemilu, pemilih skeptis hanya menganggap pemilu sebagai ritual lima tahunan. Kelima , adalah pemilih yang memilih untuk tidak memilih atau sering disebut golongan putih golput. Memang, di Indonesia memilih merupakan hak, bukan kewajiban. Karena itu, yang memilikinya bisa memilih untuk menggunakan atau mengambil jalan golput. Angka golput di Indonesia terus meningkat. Golput di era reformasi ini kontras dengan era Orde Baru dulu. Di era Orde Baru, golput adalah murni berdasarkan keyakinan ideologis dan analisis politik rasional. Sedangkan di era reformasi, golput disebabkan dua hal, yakni kealpaan sistem administrasi dan pemilih menganggap tidak ada pilihan yang pantas untuk dipilih Banowo; 2008

3. METODE PENELITIAN