Non-Voting Dalam Pemilukada (Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013)

(1)

SKRIPSI

Non-Voting Dalam Pemilukada

(Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA

Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013) DISUSUN

O L E H

Muhammad Tanziel Aziz Harahap 070906062

Dosen Pembimbing : Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si Dosen Pembaca : Indra Fauzan, S.Hi, M.Soc.Sc

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Muhammad Tanziel Aziz Harahap (070906062)

Non-Voting Dalam Pemilukada (Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara Pata Tahun 2013)

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai perilaku tidak memilih pada masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dala Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya perilaku tidak memilih pada masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 yang lalu. Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini, karena dalam Negara demokrasi, pemilu ataupun pemilihan kepala daerah adalah sebuah instrumen dari terselenggaranya demokrasi, tetapi masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaran pesta demokrasi tersebut. Dengan melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi munculnya perilaku tidak memilih pada Masayarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013.

Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut adalah Teori Partisipasi Politik dan Teori Perilaku Politik. Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatf deskriptif dengan sampel 98 orang Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis. Faktor pekerjaan adalah factor utama yang menyebabkan Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis berperilaku tidak memilih. Faktor lain yang menyebabkan Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis antara lain adalah faktor tingkat pendidikan, pengaruh keluarga, isu agama, administratif, psikologis dan pilihan rasional/politik. Kepercayaan masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis kepada “politik” juga semakin berkurang dan menyebabkan ketidakpedulian Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis terhadap penyelenggaraan politik.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”NON-VOTING DALAM PEMILUKADA (Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013).

Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan penulist terhadap perilaku tidak memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Dalam penelitan ini, peneliti tertarik untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk tidak memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 yang lalu.

Dalam skripsi ini penulis mencoba meneliti dengan menggunakan dan menyerahkan kuesioner berisikan beberapa pertanyaan yang bersangkutan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih kepada setiap responden dan kemudian memaparkan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tabel berikut analisisnya. Dengan harapan bahwa hasil penelitian ini akan lebih meningkatkan partisipasi politik Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis sehingga meminimalisir perilaku tidak memilih.


(4)

Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginnya serta ucapan terima kasih:

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen S-1 Ilmu

Politik, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Kepada Bapak P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing I, yang sudah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Kepada Bapak Indra Fauzan, S.Hi, M.Soc.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang sudah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

5. Kepada Bapak/Ibu Dosen Departemen Ilmu Politik S-1 Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya selama penulis menjalani perkuliahan..

6. Kepada saudari Emma Sari Dalimunthe, S.E yang telah banyak membantu penulis dalam urusan perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai

7. Kepada Orang Tua Penulis yaitu, Bapak H. Drs. Masarda Harahap dan Ibu Hj. Drg. Rina Purnama Sari yang telah banyak memberikan


(5)

bantuan baik materil maupun moril serta doa yang selalu menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Saudara Penulis, Drg. Kholidina Imanda Harahap, MDsc, Khoiridha Amalia Harahap, S.E dan Khoirummy Rakhmadiah Harahap. Yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis.

9. Kepada teman-teman penulis di Departemen Ilmu Politik stambuk 2007, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

10.Kepada para Responden yang telah memberikan waktunya untuk mendukung skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Oleh karena itu dengan kerendahan hati mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun intelektualitas untuk perbaikan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2014


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

1. BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 12

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 12

1.4. Kerangka Teori ... 13

1.4.1. Teori Partisipasi Politik ... 13

1.4.1.1. Defenisi Partisipasi Politik ... 13

1.4.1.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik ... 18

1.4.2. Teori Perilaku Politik... 24

1.4.2.1. Defenisi Perilaku Politik ... 24

1.4.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik ... 26

1.4.3. Teori Perilaku memilih (Voting Behavior) ... 28

1.4.3.1. Pendekatan Sosiologis ... 28

1.4.3.2. Pendekatan Psikologis ... 30

1.4.3.3. Pendekatan Pilihan Rasional ... 31

1.4.4. Teori Perilaku Tidak Memilih (Non-Voting Behavior) ... 32

1.5. Metodologi Penelitian ... 37


(7)

1.5.2. Lokasi Penelitian ... 38

1.5.3. Populasi dan Sampel ... 38

1.5.3.1. Populasi ... 38

1.5.3.2. Sampel ... 38

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39

1.5.5. Teknik Analisa Data ... 40

1.6. Sistematika Penulisan ... 41

2. BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 42

2.1. Selayang Pandang Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis ... 42

2.2. Demografi Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis ... 44

2.2.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 45

2.2.2. Jumlah Penduduk Menurut Usia Produktif ... 46

2.2.3. Jumlah Penduduk Menurut Pemeluk Agama ... 46

2.2.4. Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 47

2.2.5. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 48

2.2.6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 49

2.2.7. Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 ... 51

BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA ... 53

3.1. Karakteristik Responden ... 53

3.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golongan Putih pada Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Pada Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. ... 58

3.2.1. Faktor Sosial-Ekonomi ... 58

3.2.2. Faktor Psikologis ... 72


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 87 4.1. Kesimpulan ... 87 4.2. Saran ... 98


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Rekapitulasi Hasi Suara Bagi Pasangan Calon ... 51

Tabel 2 : Karakteristik Responden Berdasarkan Umur... 53

Tabel 3 : Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

Tabel 4 : Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 55

Tabel 5 : Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 56

Tabel 6 : Karakateristik Responden Berdasarkan Status Menikah/Tidak Menikah ... 57

Tabel 7 : Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 58

Tabel 8 : Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan/ Mata Pecaharian ... 60

Tabel 9 : Jawaban Responden Apakah Sudah Terdaftar Sebagai Pemilih Atau Tidak ... 65

Tabel 10 : Jawaban Responden Ikut Memilih atau Tidak ... 65

Tabel 11 : Jawaban Responden Mengapa Tidak Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 66

Tabel 12 : Jawaban Responden Apakah Pihak Keluarga Memberikan Pengaruh Dalam Hal Tidak Ikut Memilih Pada Pemilihan Kepala Daerah ... 68

Tabel 13 : Jawaban Responden Apakah Isu Agama Dari Para Calon Kepala Daerah Mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Ikut Memilih ... 69

Tabel 14 : Jawaban Responden Apakah Isu Ekonomi Dari Calon Kepala Daerah Mempunyai Pengaruh Untuk Tidak Ikut Memilih ... 70

Tabel 15 : Jawaban Responden Apakah Memiliki Harapan-Harapan akan Perubahan Terhadap Pemerintah ... 72

Tabel 16 : Jawaban Responden Apakah Calon Kepala Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah Sudah Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat ... 73

Tabel 17 : Jawaban Responden Apakah Calon Kepala Daerah Sudah Melakukan Sosialisasi/Pendidikan Politik Kepada Masyarakat ... 74


(10)

Tabel 18 : Jawaban Responden Apakah Partai Politik Telah Melakukan

Rekruitmen Politik Untuk Dijadikan Calon Kepala Daerah ... 76 Tabel 19 : Jawaban Responden Apakah Calon Kepala Daerah Sudah Melakukan

Komunikasi Politik Yang Baik Kepada Masyarakat ... 78 Tabel 20 : Jawaban Responden Apakah Visi dan Misi Para Calon Kepala Daerah

Mempengaruhi Perilaku untuk Tidak Memilih ... 80 Tabel 21 : Jawaban Responden Apakah Mempercayai dan/atau Merasa Perlu

untuk Mengikuti Pemilihan Kepala Daerah ... 82 Tabel 22 : Jawaban Responden Apakah Ada Calon Kepala Daerah Menggunakan


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Muhammad Tanziel Aziz Harahap (070906062)

Non-Voting Dalam Pemilukada (Suatu Studi Perilaku Tidak Memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara Pata Tahun 2013)

ABSTRAK

Penelitian ini mengenai perilaku tidak memilih pada masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dala Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya perilaku tidak memilih pada masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 yang lalu. Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini, karena dalam Negara demokrasi, pemilu ataupun pemilihan kepala daerah adalah sebuah instrumen dari terselenggaranya demokrasi, tetapi masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya pada penyelenggaran pesta demokrasi tersebut. Dengan melihat keadaan ini, maka penelitian ini ingin mencoba meneliti faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi munculnya perilaku tidak memilih pada Masayarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013.

Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan tersebut adalah Teori Partisipasi Politik dan Teori Perilaku Politik. Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatf deskriptif dengan sampel 98 orang Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis. Faktor pekerjaan adalah factor utama yang menyebabkan Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis berperilaku tidak memilih. Faktor lain yang menyebabkan Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis antara lain adalah faktor tingkat pendidikan, pengaruh keluarga, isu agama, administratif, psikologis dan pilihan rasional/politik. Kepercayaan masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis kepada “politik” juga semakin berkurang dan menyebabkan ketidakpedulian Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis terhadap penyelenggaraan politik.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi adalah sebuah ideologi yang banyak di terapkan di dunia pada zaman modren ini. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan. Demokrasi adalah ideologi yang warga negaranya bisa berpartisipasi dalam politik baik secara langsung maupun melalui perwakilan untuk mengambil sebuah kebijakan yang akan digunakan oleh negara. Namun dalam perkembangannya, tata cara pengambilan keputusan tidak dilakukan secara langsung oleh warga negara tetapi melalui perwakilan, ini disebut demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka. Dalam sebuah negara yang menyelenggarakan pemilihan umum, warga negara yang majemuk mengakibatkan perilaku yang beragam sehingga perilaku politik oleh warga negara menjadi beragam pula. Dalam negara demokrasi, warga negara dituntut untuk berpartisipasi dalam demokrasi itu sendiri. Warga negara dituntut untuk memberikan suara mereka dalam pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih wakil mereka dipemerintahan.

Indonesia yang menerapkan sistem politik berasaskan demokrasi telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden


(13)

(Pilpres). Perkembangan demokrasi di Indonesia juga terus menjalar hingga kepada wewenang bagi setiap daerah (baik tingkat I ataupun tingkat II) untuk menentukan kepala daerahnya sendiri. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah. Setiap daerah baik tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota berhak menyelenggarakan pemilihan umum tingkat daerah untuk memilih kepala daerahnya secara langsung.

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, tidak dapat dielakkan lagi muncul berbagai macam perilaku politik dari setiap warga negara. Perilaku ini dapat dilihat melalui berbagai macam aspek, pada penelitian ini penulis hanya melihat perilaku politik dari aspek memilih dan tidak memilih saja. Dalam setiap pemilihan umum baik nasional ataupun daerah, sering kali perilaku tidak memilih pada masyarakat menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan.

Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari maraknya perilaku tidak memilih pada masyarakat. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives.“haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi perilaku


(14)

tidak memilih dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi maraknya perilaku tidak memilih yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, hal ini dapat terjadi karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik.

Pada Pemilu tahun 1955 di indonesia. masyarakat dengan perilaku memilih mencapai 91,4 % sedangkan masyarakat dengan perilaku tidak memilih mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat perilaku memilih 96,6% sedangkan perilaku tidak memilih mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat perilaku memilih 96,5% sedangkan jumlah perilaku tidak memilih mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat perilaku memilih mencapai 96,4% sedangkan masyarakat yang tidak memilih mencapai 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat perilaku memilih mencapai 95,1% dan jumlah perilaku tidak memilih mencapai 4,9%. Semenjak Pemilu 1997 tingkat perilaku memilih mencapai 93,6% sedangkan masyarakat dengan perilaku tidak memilih mencapai 6,4%, Pemilu 1999 tingkat perilaku memilih mencapai 92,6% dan jumlah perilaku tidak memilih 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat perilaku memilih mencapai 84,1% dan jumlah perilaku tidak memilih 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat perilaku memilih mencapai 78,2% dan jumlah yang tidak memilih 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua jumlah pemilih mencapai 76,6% dan jumlah tidak memilih 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah tidak memilih


(15)

semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat pemilih mencapai 71,7% dan jumlah tidak memilih mencapai 28,3%.1

Partisipasi warga negara dapat dilihat melalui perilaku politiknya. Perilaku politik itu dapat dilihat dari berbagai jenis yaitu melalui partai politik, kampanye, pemberian suara dan lain-lain. Bentuk perilaku politik ini menjadi alat analisis untuk melihat partisipasi politik masyarakat itu sendiri. Termasuk di dalamnya pada pemillihan presiden tahun 2009 yang lalu. Dimana rakyat ikut berpartisipasi di dalam pemilihan presiden secara langsung untuk memilih siapa yang akan menduduki pemerintahan untuk lima tahun ke depannya.

Bagi pemerintah partisipasi politik dapat dikemukakan dalam berbagai fungsi. Pertama, partisipasi politik masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pembangunan. Kedua, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan. Ketiga, sebagai sarana memberikan masukan, saran, dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Oranisasi- organisasi social kemasyarakatan (ormas) dan organisasi social politik (orsospol) merupakan contoh dari fungsi po litik lain2

1Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal.7

2


(16)

Partisipasi politik dan perilaku memilih adalah paket dalam diskusi pemilu. Partisipasi politik menyoal hubungan antara kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan. Sedang perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Oleh karena itu dapat dilihat hubungan yang erat antara demokrasi, partisipasi politik, pemilihan umum, partai politik dan perilaku memilih.

Banyak pandangan tentang perilaku tidak memilih tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golongan putih (golput). Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, perilaku non-voting juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang tidak memilih. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi masyarakat yang tidak memilih.

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah perilaku tidak memilih yaitu adalah dengan melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan


(17)

semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya tidak memilih. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menimbulkan perilaku tidak memilih dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.

Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena perilaku tidak memilih ini memiliki keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik.3

Pada Pemilu 1971, misalnya, perilaku tidak memilih diproklamasikan sebagai cara protes terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971 tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih Cuma bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial. Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan perilaku tidak memilih telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa

3

Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal.7


(18)

memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka perilaku non-voting tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.

Meskipun tingginya angka perilaku tidak memilih sudah menjadi gejala umum dalam Pemilukada di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena tidak memilih ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai perilaku tidak memilih di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset.

Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya perilaku tidak memilih. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti


(19)

harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih.

Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seirimg dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.

Maka dari penjelasan di atas, masyarakat yang berperilaku tidak memilih (golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilukada Sumatera Utara pada tahun 2013.


(20)

Banyaknya pandangan tentang pilihan Golongan putih dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golput. Mungkin dapat berdampak pada penurunan kualitas calon dari segi kapasitas dan profesionalitas. Berdasarkan itu, menurut hemat peneliti. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik.

Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap Anggaran Pokok Belanja Negara (untuk pemilu) dan Anggaran Pokok Belanja Derah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan.

Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput.

Hal inilah yang menimbulkan masalah di dalam sebuah negara yang menganut demokrasi. Para Golongan Putih dapat mengganggu sistem sebuah negara yang menjalankan demokrasi karena dengan memilih menjadi golongan putih para wakil rakyat yang menjalankan roda negeri ini bukanlah seorang yang secara penuh dikehendaki oleh rakyat, seorang pemimpin atau wakil rakyat yang terpilih bisa saja hanya pilihan dari suara yang minoritas atau suara dari


(21)

kelompok-kelompok tertentu saja. Sejatinya demokrasi adalah siistem permerintahan yang dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Dengan kata lain seorang pemimpin yang ditunjuk menjadi wakil rakyat adalah orang yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat banyak bukan dari kelompok-kelompok tertentu saja. Fenomena ini banyak sekali terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Masalah golput ini seharusnya sudah menjadi masalah nasional karena fenomena golput ini menunjukkan ketidak pedulian masyarakat kepada negaranya sendiri. Seharusnya fenomena ini sudah menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi yang setiap daerahnya melakukan pilkada untuk menentukan pemimpinnya memang selalu banyak menuai masalah dan golput juga menjadi salah satu masalah yang timbul dalam penyelengaraan sebuah pilkada.

Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di luar Pulau Jawa melakukan pemilihan umum kepala daerah pada tahun 2013. Namun dalam pelaksanaannya Pemilukada Sumatera Utara pada tahun 2013 menunjukkan angka perilaku tidak memilih yang cukup tinggi. Satu diantara daerah yang menunjukan angka yang mencolok adalah di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang dengan persentase 62,57%. Dengan sangat tingginya angka tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di daerah ini.


(22)

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini yang kita ambil dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka peneliti membuat perumusan masalah sebagai berikut:

1.Apa yang menyebabkan munculnya golongan non-voting dalam pemilukada.

2.Apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya.

3.Apakah perilaku tidak memilih menjadi bagian dalam sebuah perilaku politik.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan munculnya golongan non-voting dalam pemilukada.

2. Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap tidak menggunakan hak pilihnya.

3. Untuk mengetahui perilaku tidak memilih adalah bagian dari sebuah prilaku politik.


(23)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.

2. Berguna sebagai kontribusi bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Berguna sebagai bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.


(24)

1.4. Kerangka Teori

Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 4

Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini antara lain:

1.4.1. Teori Partisipasi Politik

1.4.1.1 Defenisi Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.

4


(25)

Wahyudi Kumorotomo mengatakan,

“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.”5

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing :

“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”6

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.7 Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak

5

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 6Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice :Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo. 7


(26)

memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan caramengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.

Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,


(27)

sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.

Setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak lepas dari campur tangan warga negara. Dan setiap keputusan yang diambil tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan warga negara. Oleh karena itu, partisipasi dari masyarakat itu sendiri penting adanya. Dalam negara-negara demokratis pada umumnya semakin tinggi partisipasi warga negara nya maka semakin baik pula8, dengan kata lain masyarakat merasa terbeban untuk ikut berpartisipasi. Karena tingkat partisipasi masyarakatnya tinggi. Hal ini berarti masyarakat sebagai pemilik mandate perduli terhadap setiap kebijakan atau peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya apabila tingkat partisipasi masyarakat rendah maka hal ini dianggap kurang baik, karena masyarakatnya tidak perduli terhadap negaranya dan cenderung bersikap apatis, dan lebih mementingkan kepentingan pribadi serta kelompoknya.

8


(28)

Dari defenisi ini dapat ditarik beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik:

1. Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dapat diamati dan bukan sikap atau orientasi. Jadi, partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang bersifat objektif dan bukan subjektif.

2. Kegiatan politik warga negara biasa atau perorangan sebagai warga negara biasa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung (perantara).

3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan penolakan juga terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan pemerintah.

4. Kegiatan tersebut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah tanpa perduli efek yang akan timbul gagal ataupun berhasil.

5. Kegiatan yang dilakukan dapat melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan (konvensional) maupun dengan cara yang diluar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence).

6. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah.


(29)

Kegiatan warga negara biasa dibagi dua yaitu mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan politik.

1.4.1.2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut :

1. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output.Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan public, mengajukan alternative kebijakan public yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain.

2. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.

3. Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem po litik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan.

Orang-orang yang tidak ikut dalam politik karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.


(30)

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.9

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik: 10

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa

9

Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 10


(31)

adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

Para ahli sosiologi politik telah merumuskan berbagai bentuk partisipasi politik. Berikut disajikan bentuk-bentuk partisipasi politik menurut beberapa ahli.

1. Michael Rush dan Philip Althoff

Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh Damsar dalam Pengantar Sosiologi Politik mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administrative. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik11, dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.

11

Rush, Althoff, Pengantar Sosioogi Politik dalam Pengantar Sosioogi Politik oleh Damsar hal. 185.


(32)

Gambar I

Hierarki Partisipasi Politik

Sumber: Rush dan Althoff (2003) dalam Damsar (2010), hal. 185 2. Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelson

Samuel P.Huntington dan Juan M. Nelson12 menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda Adapun bentuk-bentuk-bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi :

1. Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi

seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.

2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. 3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau

pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

12


(33)

4. Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.

5. Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.

3. Gabriel A. Almond

Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas’oed dan MacAndrews dalam Damsar 13, Almond membedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu :

1. Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern.

2. Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

13


(34)

Adapun rincian dari pandagan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada tabel berikut :

BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK

Konvensi Non Konvensional

 Pemberian suara (voting)  Pengajuan Petisi

 Diskusi Politik  Berdemonstrasi

 Membentuk dan bergabung dalam

 Konfrontasi

 Komunikasi individual dengan

 Mogok

 Tindak kekerasan politik terhadap hartabenda(perusakan,pengeboman,pem b k

 Tindakan kekerasan politik terhadp manusia

( likk b h )

Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981) dalam Damsar (2010), hal. 186

1.4.2. Teori Perilaku Politik

1.4.2.1. Defenisi Perilaku Politik

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik30. Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik dapat dijumpai didalam negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan yang diperintah. Pada dasarnya, manusia yang melakuka n kegiatan dibagi menjadi dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi pemerintahan (penjabat pemerintahan), dan warga negara biasa yang tidak memiliki fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang


(35)

yang memiliki fungsi pemerintahan (fungsi politik). Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh fungsi (tugas dan wewenang) yang melekat pada lembaga yang mengeluarkan keputusan (sedangkan fungsi itu sendiri merupakan upaya mencapai tujuan masyarakat, negara atau nilai-nilai politik), tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian (keinginan dan dorongan, persepsi dan motivasi, sikap dan orientasi, harapan dan cita-cita, ketakutan dan pengalaman masa lalu) individu yang membuat keputusan tersebut14.

Perilaku politik berkenaan dengan tujuan masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta system kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan perorangan. Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik. yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terjadap objek lingkungan tertentu suatu penghayatan terhadap objek tersebut15.

Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri tegak sendiri tetapi mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu hal yang penting adalah sikap politik. sikap dan perilaku sangat erat hubungannya, namun keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk berekasi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa suatu kecenderungan.

14

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Sarana, 1992, hal.131

15


(36)

Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Menurut Jack C. Plano dkk dalam Moh. Ridwan16, perilaku politik adalah:

“Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan p roses memerintah.Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal(pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus, kampanye dan demonstrasi)”.

1.4.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik17

Pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang histories. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkab budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa.

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Kondisi ini mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan bangunan, kesenjangan informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian

16

Ridwan, Moh. 1997. Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali ke Khittah 1926. Skripsi

17

Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004, Jurnal Demokrasi dan HAM Jakarta : The Habibie Center,2000, hal. 25


(37)

antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia memepengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik.

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.

Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Semakin tinggi pendiidkan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, factor kepribadian mempengaruhi perilaku politik.

Ketujuh, factor lingkungan social politik. faktor ini mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, ancaman. Lingkungan sosial politik saling memepengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai factor yang berdiri sendiri.


(38)

Selain faktor-faktor diatas ada lima faktor lain yang memainkan peranan penting dalam memnetukan pilihan rakyat, yaitu : standar hidup, kondisi gaji atau tidak digaji, kelompok umur, seks, tingkat pendidikan, agama, simpati terhadap partai politik.

1.4.3. Perilaku Memilih (Voting Behavior)

Studi-studi perilaku memilih (voting behavior studies) dalam suatu pemilu memiliki dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. Dalam penelitian ini saya menggunakan tiga pendekatan yaitu :

1.4.3.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Karakter dan pengelompokan sosial berdasarkan umur (tua- muda), jenis kelamin (laki-perempuan), agama, status-sosial, ekonomi, aspek geografis dan lain sebagainya18. Hal ini dinggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam bentuk perilaku pemilih. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dalam status social

18


(39)

ekonomi terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, atau kekayaan19.

Gerald Pomper20 memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam dua variabel yaitu predisposisi (kecenderungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Sosialisasi politik yang diterima seseorang pada masa kecil sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, terutama pada saat pertama kali menentukan pilihan politik. Apakah preferensi politik ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama merupakan faktor sosiologis paling kuat dalam mempengaruhi sikap pilihan terhadap partai-partai politik. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih sangat

mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir di dalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Hal ini biasanya berhubungan dengan status ekonomi seseorang. Affan Gaffar menunjukka n bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terjadap partai politik atau kandidat.

19

Damsar, op.cit., hal 200

20

Gerald Pomper, Voter’s choice : Varieties of American ElectoralBehavior, New York : Dod, Mead Company,1978, hal 198


(40)

Dalam hal ini agama diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Partai Islam adalah partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam. Dalam hal ini, PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PSII, Partai Masyumi, dan lain-lain, dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Tapi ke dalam partai Islam dapat pula dimasukkan partai-partai yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah walaupun partai-partai tersebut secara eksplisit menyatakan partai terbuka terhadap pemeluk agama-agama lain, dan secara formal tidak menyatakan diri sebagai partai Islam. Dengan karakteristik keagamaan seperti di atas suatu hipotesis tentang pilihan atas partai politik dapat dinyatakan seperti ini: pemilih yang beragama Islam cenderung akan memilih partai-partai Islam (PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PSII, Masyumi, PKB, dan PAN), sementara pemilih non-Islam cenderung akan memilih partai-partai non- Islam (PDI-P, Golkar, dan PKP). Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam. Yang beragama Kristen akan memilih partai Kristen, dan seterusnya21.

1.4.3.2. Pendekatan Psikologis

Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti sebagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas social, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan psikologis lebih menekankan faktor-faktor psikologis dalam

21

Liddle, William dan Saiful Mujani, “ Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan PilihanPartai Politik”, Kompas, 1 September 2000.


(41)

menentukan perilaku politiknya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Pendekatan Psikologis menjelaskan bahwa sikap seseorang (sebagai refleksi kepribadian seseorang) merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Melalui proses sosialisasi individu dalam mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya di dalam pemilihan umum, sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas pemilih.

1.4.3.3. Pendekatan Pilihan Rasional

Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi, pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh


(42)

ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang mempengaruhi perilaku pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik. Artinya pemilih pemula dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional22. Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk kepetingan diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannya yang logis.

1.4.4. Perilaku Tidak Memilih (Non-Voting Behavior)

Perilaku non-voting muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.23 Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu 1971 menurut versi

22

M.Asfar,”Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu-Ilmu Politik, Vo. 16, Jakarta : PT. Gramedia, 1989

23


(43)

pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena tidak memilih adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

Menjelang Pemilu 1992, perilaku tidak memilih marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.24

Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan.

Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi

24


(44)

Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa”.

Sikap orang-orang yang tidak memilih, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum yang tidak memilih ini menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga,tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.25

Jadi berdasarkan hal di atas, masyarakat dengan perilaku tidak memilih (golput) adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis

25


(45)

dikeluarkan dari kategori tidak memilih. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 200426, Indra J. Piliang menyatakan bahwa golongan putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian tidak memilih. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu. Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak

26


(46)

atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.

Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka.

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.27 Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasanpolitik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

27


(47)

1.5. Metodologi Penelitian 1.5.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi,28 metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

1.5.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.

28


(48)

1.5.3. Populasi dan Sampel 1.5.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilukada Sumatera Utara 2013”..

1.5.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakatyang tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pemilukada Sumatera Utara 2013 di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane29,sebagai berikut:

Keterangan:

n: Jumlah sampel N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Populasi adalah masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang yang terdaftar sebagai pemilih dan tidak menggunakan

29


(49)

hak pilihnya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013 sebanyak 5839 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak :

Dengan demikian maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 98. 1.5.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.


(50)

1.5.5 Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

1.6. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

BAB III : Pembahasan

Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan


(51)

BAB II

Deskripsi Lokasi Penelitian

Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincian-rincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai untuk meneliti apa yang menjadi faktor munculnya angka perilaku tidak memlilih dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 pada Masyarakat Desa Tanjung sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Data-data ini nantinya dapat kita jadikan indikator dalam menyusun kuesioner yang diperlukan untuk penyajian data dalam penelitian ini. Data yang disajikan di bab ini diperoleh dari arsip-arsip yang ada di Kantor Camat Batang Kuis dan akan di sajikan dalam tabel-tabel untuk mempermudah memahaminya.

2.1Selayang Pandang Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis

Desa Tanjung Sari adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Desa Tanjung Sari bukanlah kota dari Kecamatan Batang Kuis tetapi Desa Tanjung Sari merupakan desa terpadat penduduknya, desa ini terletak di tengah-tengah kecamatan Batang Kuis. Desa Tanjung Sari juga merupakan desa terluas kedua setelah Desa Sidodadi di kecamatan ini. Desa Tanjung Sari dipimpin oleh seorang kepala desa dan di lingkup legislatif juga mempunyai Badan Permusyawaratan Desa.

Kecamatan Batang Kuis adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang Kuis terdiri atas 11 Desa dan 72 dusun. Sejalan dengan rencana pemindahan Bandara Internasional


(52)

Polonia- Medan ke Bandara Internasional Kuala Namu yang berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis, kecamatan ini terus berbenah diri menjadi Kecamatan Gapura (Gerbang Dan Pintu Utama Menuju Bandara) .Selanjutnya, melalui kebijakan lokal Pemerintah Kabupaten Deli Serdang yang dinamakan Gerakan Deli Serdang Membangun , sampai dengan akhir tahun 2010, kecamatan ini mampu menghimpun partisipasi swadaya masyarakat dan pengusaha senilai Rp.17.735.160.000.

Kecamatan Batang Kuis sendiri juga sering menyebut dirinya sebagai Kota Transit, hal ini dikarenakan Kecamatan Batang Kuis adalah kecamatan yang memisahkan Kota Medan dan Ibukota Kabupaten Deli Serdang yaitu Kota Lubuk Pakam. Kecamatan Batang Kuis juga sebagai jalan alternatif jalur lintas sumatera. Kecamatan Batang Kuis sudah ada sejak tahun 1945 ini dibuktikan dengan camat pertama H. Selat yang memimpin Kecamatan Batang Kuis pada tahun 1945-1947.

Kecamatan Batang Kuis terletak di Pulau Sumatera Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang, pada kordinat 3°35 - 3°41 LU dan 41° - 46° BT. Kecamatan Batang Kuis yang memiliki wilayah dengan luas wilayah ± 40, 34 KM2. ini, terletak pada ketinggian 4 - 30 m di atas permukaan laut dan beriklim tropis. Adapun batas wilayah kecamatan Batang Kuis adalah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu.


(53)

Kecamatan Batang Kuis memiliki 11 desa dan 72 dusun juga memiliki penduduk sejumlah 59.989 Jiwa dan 10.837 Rumah Tangga ( Kepala Keluarga ).

Berdasarkan data di atas, Desa Tanjung Sari merupakan desa yang terpadat populasi penduduknya yaitu 2.335 jumlah rumah tangga dan 10,362 jumlah penduduk. Desa Tanjung Sari merupakan lokasi penelitian penulis.

Desa Tanjung sari memiliki luas 7,34 Km2 juga merupakan desa terluas kedua setelah Sidodadi. Namun kepadatan penduduk di Desa Tanjung Sari lebih besar dari pada Desa Sidodadi yaitu sebesar 1.411 jiwa/Km2.

2.2Demografi Desa Tanjung Sari

Desa Tanjung Sari mempunyai jumlah penduduk 10.362 jiwa dengan luas wilayah 7,34 Km2 dengan berarti Desa Tanjung Sari memiliki kepadatan penduduk 1.411 jiwa/Km2. Dengan kepadatan seperti ini, desa ini bisa digolongkan sebagai sebuah desa yang padat. Desa Tanjung Sari berbatasan dengan Desa Sena di sebelah Selatan, Desa Paya Gambar di sebelah Utara, Desa Batang Kuis Pekan di sebelah Barat dan Desa Baru Di sebelah Timur. Desa Tanjung Sari memiliki bermacam-macam suku bangsa antara lain, Jawa, Batak, Karo, Melayu dan lain-lain. Mata pencaharian penduduknya pun beragam seperti petani, buruh, PNS, ABRI dan lain-lain. Desa Tanjung Sari selain desa yang terluas kedua setelah Desa Sidodadi juga desa yang terpadat penduduknya, disini juga tinggal beberapa Pejabat Daerah Deli Serdang, Anggota DPRD Deli Serdang, desa ini bisa digolongkan sebagai desa maju yang berada di bawah naungan Kecamatan Batang Kuis. Di desa ini juga terdapat beberapa kebun yang dimiliki oleh PTPN 2. Sehingga masyarakatnya banyak bekerja sebagai buruh di


(54)

perusahaan tersebut. Desa Tanjung Sari terbagi 11 Dusun/Lingkungan ini menunjukkan Desa Tanjung Sari memliki Daerah yang cukup luas di Kecamatan Batang Kuis.

Desa Tanjung Sari yang dihuni oleh 10.362 jiwa, memiliki daftar pemilih tetap yang berjumlah 9.331 jiwa. Pada PILKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 dari 9.331 jiwa yang terdaftar sebagai pemilih tetap hanya 3.585 yang memilih itu terdiri dari 3.492 suara sah dan 93 suara tidak sah. Hal ini menunjukkan angka golongan putih yang sangat tinggi hingga mencapai 62,57%.

2.2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Dari 10.362 jiwa penduduk yang bermukim di Desa Tanjung Sari tersebut jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki adalah 5.240 jiwa dan perempuan sebanyak 5.122 jiwa. Populasi laki-laki dan perempuan tergolong seimbang di daerah ini. Sedangkan di Kecamatan Batang Kuis, jumlah penduduk adalah 56.788 jiwa, jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di Kecamatan Batang Kuis, penduduk Desa Tanjung Sari menyumbang 18% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Batang Kuis. Dan ini menunjukkan desa ini adalah desa terpadat dari 10 desa lainnya yang berada didalam wilayah pemerintahan Kecamatan Batang Kuis.

2.2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia Produktif

Batas usia kerja atau usia produktif biasanya di golongkan dalam umur 15-60 tahun. Karena di usia ini manusia sudah dianggap matang untuk mekaukan


(55)

sebuah produksi. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Berarti pada usia 15 dan 16 tahun tidak memiki hak untuk memilih kecuali sudah/pernah kawin. Di Desa Tanjung Sari ini terdapat 9,331 jiwa. Jumlah ini cukup banyak mengingat luas wilayah yang hanya memiliki luas 7,34 Km2.

2.2.3 Jumlah Penduduk Menurut Pemeluk Agama

Perilaku pemilih dapat dipengaruhi oleh faktor agama, karena agama yang di anut oleh masyarakat sangat mempengaruhi perilaku pemeluknya. Agama juga menjadi pendorong perilaku pemilih, karena mungkin saja ada calon yang memiliki agama yang sama dengannya. Maka dari itu kita perlu melihat lebih detil agama yang dianut oleh masyarakat di Desa Tanjung Sari.

Di Indonesia, Agama yang di akui adalah 5 agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha. Di Desa Tanjung Sari Agama Islam adalah agama yang paling dianut oleh masyarakatnya, hal ini dibuktikan jumlah masyarakat yang menganut Agama Islam berjumlah 9.901 jiwa lalu Agama Budha yang berjumlah 246 jiwa, Agama Hindu 235 jiwa, Agama Kristen Protestan 141 jiwa tetapi tidak ada masyarakat Desa Tanjung Sari tidak ada yang menganut Agama Katolik.

Pada PILKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 terdapat 8 orang calon yang menganut Agama Islam, 4 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur, 2 calon beragama Kristen yaitu 1 calon gubernur dan 1 calon wakil gubernur. Hal ini mengindikasikan faktor agama adalah faktor penting untuk


(56)

memenangkan sebuah pertarungan politik dan faktor agama ini seharusnya menjadi penarik masyarakat untuk memilih calon pemimpinnya.

Desa Tanjung Sari mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam, bahkan jumlah ini sangat banyak, 94% masyarakat Desa Tanjung Sari memeluk Agama Islam. Dan 80% calon gubernur dan wakil gubernur juga Beragama Islam.

2.2.4 Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa

Indonesia memiliki beragam suku bangsa, tetapi di Desa Tanjung Sari ada beberapa suku bangsa yang mayoritas yaitu Jawa, Tapanuli (Batak), Karo, Minang dan Melayu. Di Desa Tanjung Sari ini mayoritasnya adalah bersuku Jawa yang berjumlah 8.396 jiwa dengan kata lain 80% masyarakat Desa Tanjung Sari bersuku Jawa. Tidak berbeda dengan desa-desa lainnya penduduk yang Bersuku Jawa memiliki jumlah yang besar. Ini juga mempengaruhi jumlah agama di daerah ini. Karena pada umumnya Suku Jawa di Sumatera Utara ini memeluk Agama Islam.

Pada PILKADA Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013, ada 3 calon yang bersuku jawa yaitu 1 calon gubernur dan 2 calon wakil gubernur. dan yang memenangkan pertarungan politik ini ada calon gubernur yang bersuku jawa. Hal ini juga menunjukkan begitu berpengaruhnya faktor budaya atau suku dalam sebuah pertarungan politik. Seperti agama, suku juga harusnya bisa dijadikan pendorong untuk meningkatkan partisipasi politik.


(57)

2.2.5 Jumlah Penduduk Mata Pencaharian

Mata Pencaharian masyarakat Batang Kuis pada umumnya dibagi dalam 6 jenis yaitu: Petani, Pedagang, Nelayan, Buruh, PNS/ABRI dan Pensiunan PNS/ABRI. Kecamatan Batang Kuis dipenuhi oleh lahan PTPN2 yang bergerak dalam penanaman sawit dan tembakau. Hal inilah yang menyebabkan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh. Namun pada kisaran tahun 2000an lahan PTPN2 di ambil oleh masyarakat sekitar dan sebagian besarnya lahannya di jadikan tanah warisan atau sering di sebut oleh penduduk setempat sebagai tanah ulayat. Peristiwa ini menjadikan para buruh yang bekerja di PTPN2 banyak diberhentikan. Dan karena ada pembangunan yang pesat di Kecamatan Batang Kuis, lahan-lahan sawit yang tersisa di Kecamatan Batang Kuis dihancurkan. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat yang berprofesi sebagai buruh perkebunan berpindah menjadi buruh pabrik.

Di Desa Tanjung Sari masyarakat yang berprofesi sebagai buruh berjumlah sebanyak 4.432 jiwa, yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan militer sebanyak 304 jiwa. Selain sebagai buruh dan PNS/militer masyarakat Desa Tanjung Sari juga banyak yang menjadi Petani yang itu berjumlah 939 jiwa dan 84 jiwa bekerja sebagai pedagang.

Petani juga menjadi mata pencaharian banyak masyarakat di Desa Tanjung Sari, hal ini ditunjukkan banyaknya lahan pertanian yang berada di kawasan daerah ini. Tetapi di Desa Tanjung Sari sangat sedikit ditemui lahan pertanian. Dengan kata lain para petani di Desa Tanjung Sari harus pergi keluar untuk bekerja. Tidak berbeda dengan masyarakat yang menjadi petani, masyarakat yang berprofesi sebagai buruh juga harus keluar dari Desa Tanjung Sari untuk bekerja


(58)

karena minimnya lahan industri di desa ini. Hal ini menunjukkan Desa Tanjung Sari ini adalah daerah pemukiman, bukan lagi daerah perkebunan dan tidak menjadi daerah industri.

Hal ini juga mempengaruhi perilaku tidak memilih Masyarakat Desa Tanjung Sari dikarenakan biasanya hari pemilihan diselengkarakan bukan pada hari libur, atau hari libur nasional.

2.2.6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan menjadi faktor utama dalam menentukan perilaku politik dan partisipasi politik masyarakat. Masyarakat tidak bisa memilih dan mengenali calon kalau masyarakat tidak memiliki pendidikan dasar yaitu baca dan tulis. Dari itulah tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam perilaku berpolitik

Pendidikan masyarakat disebuah daerah dapat dinilai dari jumlah fasilitas pendidikan di daerah tersebut, baik fasilitas pendidikan formal dan non-formal. Di Desa Tanjung Sari ini terdapat 2 Sekolah Dasar Negeri, 2 Sekolah Dasar Inpres, 1 Sekolah Menengah Pertama swasta dan 1 Sekolah Menengah Atas Swasta. Selain sekolah yang dinaungi oleh Kementrian Pendidikan dan Budaya ada juga sekolah yang di naungi oleh Kementrian Agama. 2 sekolah Diniyah atau setingkat taman kanak-kanak, 1 sekolah tsanawiyah atau setingkat sekolah menengah atas.

Dengan jumlah sekolah tersebut berarti sudah mencukupi fasilitas pendidikan menengah di Desa Tanjung Sari. Menurut data yang ada masyarakat hanya memiliki pendidikan tertinggi adalah Sekolah Menengah Atas dengan jumlah 5.345 jiwa. Karena ada kebiasaan di daerah ini setelah lulus dari Sekolah


(59)

Menengah Atas masyarakat tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi yang itu perguruan tinggi. Masyarakat biasanya lebih memilih untuk bekerja dan ini juga yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang menjadi buruh dan petani.

Dari data diatas dapat kita ketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Tanjung Sari tergolong menengah. Seharusnya dengan tingkat pendidikan tersebut pemerintah atau partai politik dapat menyelenggarakan pendidikan politik untuk masyarakat Desa Tanjung Sari. Agar minat, partisipasi dan kesadaran masyarakat Desa Tanjung Sari dalam berpolitik meningkat.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan disimpulkan hasil data yang sudah di olah yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya Golongan Putih (Golput) pada Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Selain itu juga penulis juga akan memberikan saran-saran yang berhubungan dengan penelitian ini.

4.1. KESIMPULAN

Kesimpulan ini diambil berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya Golongan putih (Golput) pada masyarakat di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013 adalah faktor sosial-ekonomi, faktor psikologis dan faktor rasional.

Faktor sosial-ekonomi menjadi faktor paling utama yang melatarbelakangi penyebab munculnya perilaku tidak memilih masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis pada Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 2013. Indikator yang paling berpengaruh adalah pekerjaan, karana masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis banyak yang berprofesi sebagai buruh di sektor swasta maupun di sektor informal maka para masyarakat yang bekerja sebagai buruh tidak dapat pergi ke TPS pada hari pemilihan karena terbentur oleh jam kerja mereka. Faktor lain


(2)

yaitu karena masyarakat tidak lagi percaya terhadap pemimpin yang sudah terpilih sebelum-sebelumnya yang tidak berpihak kepada rakyat. Ini menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya terhadap elit politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Faktor pendidikan juga mendorong perilaku politik masyarakat, masyarakat yang cenderung memiki pendidikan rendah banyak yang tidak peduli kepada politik sehingga menimbulkan perilaku tidak memilih. Hal ini karena masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah kurang mendapat pendidikan politik, tidak mengetahui dampak apa yang terjadi kalau mereka tidak memilih dalam pemilihan kepala daerah. Kurangnya pendidikan politik yang diberikan baik oleh pemerintah maupun partai politik menyebabkan lunturnya kesadaran politik sehingga mengurangi partisipasi politik dan menimbulkan perilaku tidak memilih pada masyarkat, terutama Masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis.

4.2. SARAN

Golongan Putih (golput) yaitu perilaku pemilih yang tidak memberikan hak suaranya atau masyarakat yang masuk kriteria pemilih tetapi tidak bisa menggunakan hak pilihnya merupakan fenomena yang sedang sering terjadi dalam pemilu di beberapa daerah di Indonesia saat ini khususnya di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis. Untuk menghindari fenomena ini agar tidak terjadi lagi ke masa depan, oleh karena itu dalam proses menyelesaikan penelitian ini ada beberapa saran yang akan menjadi harapan penulis ke masa depan, yaitu :


(3)

golongan putih. Terutama masyarakat yang tersangkut masalah administratif seperti tidak terdaftar sebagai pemilih tetap harus lebih diperhatikan lagi. Ini juga memicu animo pemilu ini semakin berkurang. Penetapan hari pemilihan juga harus diperhatikan, ketika pemilihan dilakukan pada hari kerja, memang pemerintah daerah menetapkan hari tersebut adalah hari libur akan tetapi banyak pihak swasta tidak meliburkan buruhnya. Seharusnya pemerintah menetapkan hari pemilihan adalah hari libur nasional, untuk dapat melaksanakan ini segala macam bentuk pemilu harus dilaksanakan serentak agar tidak terjadi tumpang tindih legitimasi yang ada.

2. Pemerintah harus lebih sering mengadakan penyuluhan tentang pemilu, masyarakat harus diberi tahu apa dampak dari tidak memilih tersebut. Sehingga tidak terjadi lagi fenomenna golongan putih yang semakin meresahkan demokratisasi negara ini.

3. Hendaknya semua calon kepala daerah, wakil-wakil rakyat yang sudah terpilih dan Partai-Partai Politik yang sudah memperoleh kedudukan harus menunjukkan perilaku yang baik dan melakukan pendekatan yang baik kepada masyarakat serta menepati janji-janjinya kepada masyarakat pada saat berkampanye

4. Memberi sarana untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan poltik. Mahasiswa bukanlah musuh pemerintah yang selama ini dianggap sebagai pengkritik atau juga pembangkang. Hal ini terjadi karena tidak adanya rangkulan pemerintah kepada mahasiswa untuk bersama-sama


(4)

menjadikan Indonesia yang lebih baik lagi. Kalaulah terjadi sinkronisasi antara mahasiswa dan pemerintah dalam memajukan Indonesia terutama dalam bidang politik khususnya pendidikan politik untuk masyarakat, sudah tentu fenomena non-voting behavior ini tidak akan terjadi lagi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Jurnal:

Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases of Politics , California

: A Division of Wodsworth Inc, 1987

Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967

Fadillah Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003

Hadari Nawawi, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi.Bandung: RemajaRosdakarya, 1991

Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989

McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.). New York : The Macmilan Company and Free Press. 1972

Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989

Milnor, A.J, Elections and Political Stability, Boston, MA : Little, Brown and Company, 1969

Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998

Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta : Jawa Pos Press, 2004 Novel, Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja


(6)

Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987

Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta,1994

Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta : Bina Aksara, 1996

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999

Website:

http//www.kompas.com : Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa Ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari, 2004.

www.lsi.co.id : Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, oleh Eriyanto.


Dokumen yang terkait

Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

1 114 127

Kontribusi Anak Pada Sosial Ekonomi Keluarga Di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

2 39 119

Perilaku Diet Ibu Nifas di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

1 56 72

PERILAKU TIDAK MEMILIH MASYARAKAT PEKON KEDIRI DALAM PEMILUKADA KABUPATEN PRINGSEWU 2011

1 46 188

PERBANDINGAN PERILAKU MEMILIH DALAM PEMILUKADA ANTARA PEMILIH PEMULA DI PERKOTAAN MEDAN DENGAN PEMILIH PEMULA DI PEDESAAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA.

2 19 29

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 12

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 2

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Kecamatan Siantar Selatan - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukad

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

0 0 43

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010

0 0 17