9 produk dapat dipertahankan meskipun produk tersebut disimpan pada suhu tinggi
Bylund 1995.
3. Parameter Warna
Tingkat penerimaan produk pangan dapat juga dipengaruhi oleh perubahan pada beberapa jenis produk. Perubahan warna menunjukkan juga perubahan nilai
gizi, sehingga perubahan warna dijadikan indikator untuk menunjukkan tingkat gizi maksimum yang dapat diterima. Warna suatu bahan dapat diukur dengan
menggunakan alat kromameter, spektrofotometer atau alat-alat lain yang khusus untuk warna Winarno 1980. Pengukuran warna pada penelitian ini dilakukan
dengan alat kromameter. Pengukuran warna ini dilakukan untuk mengetahui perubahan warna produk selama penyimpanan.
Pengukuran Warna dengan Kromameter
Sistem notasi warna yang umumnya digunakan adalah sistem notasi Hunter yang memiliki tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b.
Notasi L menyatakan parameter kecerahan dari hitam 0 hingga putih 100. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau sengan nilai +a dari 0
sampai +100 untuk warna merah dan nilai
–a dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning sengan nilai + dari 0
sampai +70 untuk warna kuning dan –b dari 0 sampai -70 untuk warna biru.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai awal untuk L sebesar 82,58; nilai a sebesar -10,17; dan nilai b sebesar 24,08. Parameter yang
digunakan untuk penentuan titik kritis hanya parameter kecerahan L. Penggunaan parameter ini untuk mengetahui perubahan tingkat kecerahan dari
produk yang diduga disebabkan adanya reaksi pencoklatan yang terjadi selama penyimpanan.
76 77
78 79
80 81
82 83
2 4
6 8
10
tingkat ke
ce rah
an L
Minggu
suhu 35 suhu 40
suhu 45
Gambar 4 Grafik nilai kecerahan
10 Nilai kecerahan produk yang terukur terus mengalami penurunan selama
penyimpanan baik pada suhu 35 C, 40
C, dan 45 C. Penyimpanan pada suhu 35
C sampai minggu ke-9 nilai L menurun sampai 80,56 dan pada suhu 40
C nilai L menurun hingga 79,67; sedangkan nilai L sampel yang disimpan pada suhu 45
C menurun sampai 77,09. Penurunan nilai L terbesar berada pada sampel yang
disimpan pada suhu 45 C.
Penurunan tingkat kecerahan ini diduga disebabkan oleh adanya reaksi pencoklatan non enzimatik atau sering disebut reaksi Maillard. Menurut Winarno
1980, reaksi Maillard adalah reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa yang mengandung NH
2
protein, peptida, asam amino, dan amonium dalam keadaan panas. Bahan yang mengalami reaksi Maillard akan menghasilkan senyawa
amadori yang akan membentuk hidroksimetil furfuraldehid yang akhirnya akan menjadi furfural. Polimerisasi furfuraldehid yang disebut melanoidin akan
menimbulkan warna cokelat.
Reaksi Maillard dipengaruhi oleh beberapa parameter diantaranya pH, suhu, dan a
w
. Umumnya reaksi pencoklatan terjadi pada a
w
antara 0,6 dan 0,85. Laju pencoklatan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan pH Gerrard 2002.
Reaksi Maillard dapat terjadi apabila pangan diproses pada suhu 100 C sampai
250 C yaitu pada proses pemanggangan dan penggorengan. Reaksi Maillard pun
dapat terjadi selama penyimpanan dalam waktu yang lama pada suhu ruang Gerrard 2002.
Penentuan Parameter dan Titik Kritis Penduga Umur Simpan