2 tidak mengetahui apabila produk stainless steel tersebut berada dalam
lingkungan amonia NH
3
. Amonia merupakan komoditi penting dalam dunia industri dan juga
sering terlarut dalam air. Sifat amonia sangat korosif, dapat berupa basa, namun juga dapat berupa asam yang sangat lemah. Biasanya amonia
didapati dengan wujud gas yang berbau tajam. Agar dapat digunakan sebagai media pengkorosif, amonia harus dilarutkan dalam air dengan
konsentrasi tertentu yang disebut amonium hidroksida. Dengan amonia sebagai media pengkorosif akan didapat data kekuatan las stainless steel
dengan tipe stainless steel 430.
1.2. Perumusan Masalah
Pada penelitian ini analisis dilakukan terhadap pengujian-pengujian yang akan dilakukan pada spesimen stainless steel 430 yang telah dilas dan
dikondisikan dalam media pengkorosif amonia dalam beberapa periode pengambilan data. Lamanya waktu tersebut mempengaruhi laju korosi yang
nantinya akan diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kekuatan las tersebut. Amonia yang digunakan pada proses ini adalah dalam amonia
bentuk uap. Unjuk kerja kekuatan las ini ditunjukan melalui perbandingan hasil pengujian tarik yang dilakukan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulian tugas akhir ini sesuai uraian di atas adalah :
3 1. Mengetahui kekuatan las pada stainless steel 430 yang bekerja pada
media pengkorosif amonia dalam bentuk uap. 2. Mengetahui pengaruh amonia terhadap pengurangan berat stainless steel
430 yang telah mengalami proses pengelasan.
3. Mengetahui karakteristik korosi stainless steel tipe 430 untuk pembuatan
alat pendingin absorbsi secara lanjut.
1.4. Batasan Masalah
Batasan masalah yang ditetapkan dalam pengujian kekuatan las ini adalah : 1. Media pengkorosif yang digunakan adalah uap amonia dengan tekanan
5 bar.
2. Benda uji dikondisikan selama tiga periode yaitu 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan.
3. Pengujian kekuatan las dilakukan dengan pengujian tarik. 4. Tebal material yang digunakan adalah 1 mm.
1.5. Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Menambah kepustakaan teknologi tentang material stainless steel.
2.
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam pemanfaatan material stainless steel.
3.
Sebagai referensi bagi masyarakat umum supaya lebih selektif dalam pemilihan stainless steel tiap tipe dan karakternya.
4
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Jenis-jenis Stainless Steel
Stainless Steel adalah baja paduan dengan kandungan kromium Cr minimal 10. Komposisi ini membentuk lapisan pelindung anti korosi
Cr
2
O
3
yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi secara spontan. Dengan proses oksidasi, lapisan ini akan mudah
terbentuk jika tergores ataupun mengalami proses permesinan. Meskipun seluruh kategori Stainless steel didasarkan pada kandungan kromium Cr,
namun unsur paduan lainnya ditambahkan untuk memperbaiki sifat stainless steel sesui dengan aplikasinya. Kategori stainless steel tidak
halnya seperti baja lain yang didasarkan pada besarnya persentase karbon tetapi didasarkan pada struktur metalurginya.
Secara garis besar terdapat tiga golongan utama dari stainless steel adalah sebagai berikut :
1. Tipe Martensitik Baja ini merupakan paduan kromium dan karbon yang memiliki
struktur martensit body-centered cubic BCC. Kandungan kromium umumnya berkisar antara 10,5 – 18, dan karbon melebihi 1,2.
Kandungan kromium dan karbon dijaga agar mendapatkan struktur martensit. Keunggulan dari tipe martensitik, jika dibutuhkan kekuatan
5 yang tinggi maka dapat di keraskan hardening dan bersifat magnetis.
Tipe stainless ini yang umum dipasaran adalah 403, 410, 416, 420, 431. Secara umum aplikasi jenis ini yang sering kita temui adalah pisau,
spring, dan poros. Sifat lain dari tipe ini adalah kemampuan untuk difabrikasi machineability baik.
Gambar 2.1 Struktur atom fasa martensit
2. Tipe Austenitik Baja Stainless austenititik merupakan paduan logam besi-krom-nikel
yang mengandung 16-20 kromium, 7-22 nikel, dan nitrogen. Tipe austenitik mempunyai struktur kubus satuan bidang face centered
cubic dan merupakan baja dengan ketahanan korosi yang tinggi. Struktur kristal akan tetap berfasa austenit bila unsur nikel dalam
paduan diganti mangan Mn, karena kedua unsur merupakan penstabil fasa austenit. Fasa austenitik tidak akan berubah saat proses anil. Baja
stainless austenitik tidak dapat dikeraskan dengan metode perlakuan
6 panas heat treatment tetapi menggunakan metode pengerjaan dingin.
Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat asutenitik pada temperature ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi
yang lebih baik dibandingkan baja stainless feritik dan martensit.
Gambar 2.2 Struktur atom fasa austenitik
3. Tipe Feritik Baja jenis ini mempunyai struktur body centered cubic BCC.
Kandungan kromium umumnya kisaran 10,5 – 30. Unsur sulfur ditambahkan untuk memperbaiki sifat mesin. Paduan ini merupakan
ferromagnetik dan mempunyai sifat ulet, machinability yang baik. Namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan
baja stainless austenitik. Kandungan karbon rendah pada baja feritik tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas. Tipe yang umum di
pasaran adalah 405, 430, 439, dan 446. Penggunaan secara umum adalah lebih pada pemakaian dekoratif arsitektur.
7
Gambar 2.3 Struktur atom fasa ferit
AISI 430 tergolong dalam kategori baja stainless steel feritik yang sangat banyak kita temui. Komposisi unsur-unsur pemadu yang
terkandung dalam AISI 430 akan menentukan sifat mekanik dan ketahanan korosi. AISI 430 merupakan ferromagnetik dan mempunyai
sifat ulet, machinability yang baik serta mempunyai kadar kromium sebagai pembentuk lapisan Cr
2
O
3
yang protektif untuk meningkatkan ketahanan korosi.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Stainless Steel AISI 430.
UNSUR MASSA
C 0,12
Mn 1
P 0,04
S 0,03
Si 1
Cr 16 - 18
Fe 79 - 87
8 Berdasarkan unsur pemadu yang terkandung seperti dalam tabel diatas
akan terbentuk sifat mekanis dari baja stainless steel AISI 430 yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.2 Sifat Mekanik Stainless Steel AISI 430.
Rasio Poison 0.27 - 0.30
Kekuatan tarik 480 MPa
Regangan 275
Pertambahan panjang 20
Kekerasan 88 HRB
Modulus Elastisitas 200 GPa
Densitas 7.80 grcm
3
2.1.2 Pengelasan GTAW Gas Tungsten Arc Welding
Pada alat pendingin absorbsi diperlukan metode penyambungan dengan metode pengelasan GTAW untuk menyambung pipa-pipa serta
bagian lainnya .
Gas Tungsten Arc Welding atau sering disebut dengan Tungsten Inert Gas TIG merupakan salah satu bentuk proses las busur arc welding
yang menggunakan inert gas sebagai pelindung dengan tungsten atau wolfram sebagai elektrodanya. Elektroda yang digunakan pada GTAW
termasuk elektroda tidak terumpan non consumable dan sebagai tumpuan terjadinya busur listrik. Daerah pengelasan atau daerah yang
meleleh dilindungi dari udara luar oleh inert gas supaya tidak terkontaminasi. Inert yang digunakan biasanya adalah argon atau
9 campuran dari argon dan helium ataupun argon dan hidrogen. Hasil
pengelasan dengan menggunakan GTAW mampu menghasilkan las yang berkualitas tinggi pada hampir semua logam. GTAW biasanya
digunakan pada stainless steel dan logam ringan lainnya seperti alumunium, magnesium dan lain-lain.
Las gas tungsten las TIG adalah proses pengelasan dimana busur nyala listrik ditimbulkan oleh elektroda tungsten elektroda tak
terumpan dengan benda kerja logam. Sehingga pada pengadaan material uji tersebut juga dilakukan pengelasan GTAW ini tanpa
menggunakan filler metal dikarenakan ketebalannya hanya berkisar 1 mm.
Gambar 2.4 Pengelasan GTAW
10 Material yang dapat dilas GTAW meliputi :
1. Logam ferro, meliputi : a. Baja Karbon
b. Stainless steel c. Baja Paduan Rendah
2. Logam non-ferro tembaga, kuningan, aluminium, titanium,dsb. a. Aluminium
b. Kuningan c. Tembaga
d. Perunggu, dll.
Perlengkapan yang diperlukan pada pengelasan GTAW meliputi :
Gambar 2.5 Perlengkapan las GTAW
11 Keterangan :
1. Power source 2. Switch control
3. Benda kerja 4. Kutub massa
5. Torch 6. Selang pendingin keluar
7. Selang pendingin masuk 8. Unit pendingin
9. Tabung gas pelindung 10. Regulator
Keuntungan dari pengelasan GTAW : 1. Kualitas hasil dari pengelasannnya baik.
2. Arus dapat diatur untuk pengelasan benda tipis seperti pelat supaya tidak terbakar tembus burnt through
3. Tidak menghasilkan kotoran karena menggunakan gas pelindung. 4. Bisa untuk pengerjaan hampir pada semua logam baik ferro ataupun
non-ferro. Kerugian dari pengelasan GTAW :
1. Ketebalan pengelasan terbatas. 2. Biaya pengelasan relatif mahal.
3. Membutuhkan kemampuan skill khusus bagi operatornya. 4. Sinar UV yang dihasilkan lebih terang dibandingkan dengan proses
las yang lain.
12
2.1.3. Korosi Pada Stainless Steel
Korosi adalah rusaknya suatu bahan atau menurunnya kualitas bahan karena terjadinya reaksi dengan lingkungan sekitarnya. Reaksi yang
mempengaruhi proses korosi adalah kebanyakan reaksi elektrokimia dan sebagian reaksi secara kimiawi. Faktor yang berpengaruh terhadap korosi
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berasal dari bahan itu sendiri dan dari lingkungan. Faktor dari bahan meliputi komposisi kimia bahan, bentuk
kristal, struktur bahan dan sebagainya. Faktor dari lingkungan meliputi tingkat pencemaran udara, suhu,
kelembaban, dan juga zat-zat kimia yang bersifat korosif. Bahan-bahan korosif terdiri atas asam, basa serta garam, baik dalam bentuk senyawa
organik maupun an-organik. Peristiwa korosi pada logam merupakan fenomena yang tidak dapat
dihindari, namun dapat dihambat maupun dikendalikan untuk mengurangi kerugian dan mencegah dampak negatif yang diakibatkannya. Dengan
penanganan ini umur produktifumur pakai suatu produk menjadi panjang sesuai dengan yang direncanakan, bahkan dapat diperpanjang untuk
memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi. Upaya penanganan korosi diharapkan dapat banyak menghemat biaya opersional, sehingga
berpengaruh terhadap efisiensi dalam suatu kegiatan industri. Perlu kita ketahui bahwa korosi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :
13 1. Korosi Homogen uniform
Korosi ini merata di seluruh permukaan logam dan termasuk korosi yang paling sering dijumpai. Korosi ini dikontrol oleh reaksi kimia
antara permukaan logam dengan media pengkorosifnya. Korosi ini bisa terjadi dikarenakan komposisi dan metalurgi material yang sama.
Dengan keseragaman tersebut, pelepasan elektron akan merata ke seluruh permukaan.
Gambar 2.6. Korosi Uniform
2. Korosi Celah Korosi celah merupakan korosi lokal yang mempunyai celah antara
keduanya yang mengakibatakan terjadinya perbedaan konsentrasi asam. Biasanya terjadi dikarenakan celah tersebut terisi oleh elektrolit
yang mengakibatkan terjadinya sel korosi dengan katodanya adalah sisi luar permukaan celah dan anodanya adalah elektrolit yang mengsi
celah itu sendiri. Proses korosi ini terjadi cukup lama karena cairan elektrolit yg berada di dalam celah cenderung lama mongering
Tebal awal Korosi merata
Tebal akhir
14 dibandingkan dengan permukaan di luar celah yang lebih cepat
mengeringnya. Sebagai contoh proses korosi ini banyak ditemui pada konstruksi rangkakaroseri kendaraan otomotif.
Gambar 2.7 Korosi celah
3. Korosi Galvanik Bimetal Korosi ini terjadi karena proses elektrokimiawi dua buah logam yang
berbeda potensial dihubungkan langsung didalam larutan elektrolit yang sama. Dimana elektron mengalir dari logam anodik kurang
mulia ke logam yang lebih katodik lebih mulia, akibatnya logam yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan
elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negatif di dalam elektrolit menjadi garam metal.
15
Gambar 2.8 Proses elektrokimia korosi galvanis
4. Korosi Sumuran pitting Merupakan korosi lokal yang terjadi pada logam secara lokal selektif
yang menghasilkan bentuk permukaan lubang-lubang pada logam. Korosi jenis ini dianggap lebih berbahaya daripada korosi seragam
diakarenakan lebih sulit terdeteksi. Mekanisme korosi pitting hampir sama dengan dengan korosi celah. Korosi pitting ditandai dengan
pembentukan lubang ataupun sumur pada permukaan logam.
Gambar 2.9 Korosi sumuran pitting
5. Korosi Erosi Korosi erosi terjadi akibat aliran dari suatu fluida yang mengalir sangat
cepat dan disebabkan oleh :
16 a. Aliran turbulen
Turbulensi fluida ini seringkali terjadi akibat adanya perubahan diameter penampang, sambungan yang kurang baik, dan juga
adanya endapan.
Gambar 2.10 Aliran turbulen korosi erosi
b. Kavitasi peronggaan Kavitasi adalah terjadinya penguapan pada suatu zat cair yang sedang
mengalir sehingga menghasilkan gelembung-gelembung uap yang disebabkan karena berkurangnya tekanan pada zat cair tersebut sampai
di bawah titik jenuh uapnya. Sebagai contoh adalah air akan mendidih dan menjadi uap pada suhu 100
dan tekan 1 atm. Tetapi jika tekanannya dikurangi maka air dapat mendidih pada suhu yang lebih
rendah juga, bahakan jika tekanannya cukup rendah air dapat mendidih pada suhu kamar.
Pada saat uapgelembung tersebut terbawa aliran hingga akhirnya berada pada kondisi tekanannya lebih besar daripada tekanan uap jenuh
celah endapan
seal
celah Fluida turbulen
17 zat cair tersebut, maka gelembung akan pecah di daerah tersebut dan
akan menyebabkan gaya tekan yang besar pada permukaanpenampang.
Gambar 2.11 Proses kavitasi
6. Korosi Batas Butir intergranular Korosi batas butir merupakan serangan korosi yang terjadi pada batas
kristal butir dari suatu logampaduan karena paduan yang kurang sempurna ada kotoran yang masukendapan atau adanya gas
hidrogen atau oksigen yang masuk pada batas kristalbutir. Batas butir ini sering menjadi tempat pengendapan precipitation dan pemisahan
segregation. Pengendapan dan pemisahan terjadi dikarenakan pada logam terkandung logam antara dan senyawa pada batas butirnya.
Pada dasarnya logam yang mempunyai logam antara dan senyawa pada batas butirnya akan sangat rentan terhadap korosi batas butir.
18 Jenis korosi ini sangat berbahaya karena tidak dapat dilihat secara
kasat mata. 7. Korosi selektif
Korosi Selektif adalah suatu bentuk korosi yang terjadi karena pelarutan komponen tertentu dari paduan logam alloynya. Pelarutan
ini terjadi pada salah satu unsur pemadu atau komponen dari paduan logam yang lebih aktif yang menyebabkan sebagian besar dari pemadu
tersebut hilang dari paduannya. 8. Korosi retak tegang
Korosi retak tegang adalah keretakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan dan terjadi pada material yang spesifik.
Karakteristik dari korosi ini adalah perpatahannya getas dimana retakan terjadi dengan regangan yang kecil dari material.
Amonia NH
3
merupakan bahan kimia yang cukup banyak digunakan dalam kegiatan industri. Pada suhu dan tekanan normal, bahan ini berada
dalam bentuk gas dan sangat mudah terlepas ke udara. Di dunia industri amonia umumnya digunakan sebagai bahan anti beku refrigeran di dalam
alat pendingin. Bukan hanya itu saja, dalam aplikasi alat pendingin absorbsi yang digunakan sebagai refrigeran adalah amonia. Tentu saja
dalam prosesnya, pengaruh amonia tersebut akan menyebabkan korosi.
19
2.1.4 Kekuatan dan Uji tarik
Uji tarik merupakan pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mendapatkan standarisasi
dunia. Prinsip pengujian tarik yaitu spesimen dengan dimensi dan geometri tertentu diberikan gaya tarik sesumbu yang bertambah besar
secara kontinyu hingga putus. Bersamaan dengan itu, juga harus dilakukan pengamatan mengenai pertambahan panjang yang dialami spesimen
tersebut. Dengan memberikan tarikan pada suatu material, kita akan segera mengetahui bagaimana material tersebut bereaksi dengan gaya tarik. Profil
tarikan yang dihasilkan menunjukan hubungan antara gaya tarik yang diberikan dengan pertambahan panjang spesimen sampai dengan titik
putus.
Gambar 2.12 Bentuk dan Dimensi Benda Uji Tarik
Keterangan : L
= panjang keseluruhan L
1
= panjang pencekaman L
o
= panjang ukur W
= lebar penampang uji
20 W
o
= lebar keseluruhan r
= radius fillet t
= tebal benda uji Biasanya dalam pengujian tarik, yang menjadi fokus perhatian adalah
kemampuan maksimum spesimen untuk menahan beban yang biasa disebut dengan “Ultimate Tensile Strength” UTS atau lebih sering
dikenal dengan tegangan tarik maksimum
Gambar 2.13 Proses Uji Tarik
Mode perpatahan fracture yang terjadi juga tergantung pada tingkat keuletan ductility dari setiap material spesimen itu sendiri dan
mempunyai bentuk patahan yang bebeda juga. Semakin ulet suatu material, bentuk patahan yang terjadi berbentuk lancipmeruncing.
Begitupun sebaliknya, semakin getas material tersebut maka bentuk patahan yang terjadi berbentuk lurus seperti berikut ini :
21 Ulet
Getas
Gambar 2.14 Mode Perpatahan
Pada saat proses pemberian beban terjadi pertambahan panjang pada spesimen. Hal tersebut juga berarti adanya hubungan antara besarnya
tegangan dan regangan yang terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukan melalui gambar seperti berikut :
Gambar 2.15 Grafik fase deformasi
22
Gambar 2.16 Grafik tegangan – regangan
Dari kedua grafik di atas terlihat adanya hubungan antara tegangan dan regangan, yang meliputi :
1. Batas proporsionalitas. Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai
hubungan proporsionalitas satu dengan yang lain. Setiap penambahan Tegangan Tarik Maksimum
Modulus Elastisitas
Titik Putus
Titik Luluh
Daerah Linear
Regangan Maksimum
Regangan Strain
23 tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara
proporsional dalam hubungan linier. Pada gambar grafik yang pertama menunjukkan bahwa titik P adalah batas proporsional hubungan
tegangan dan regangan. 2. Batas elastis.
Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali pada keadaan semula bila tegangan luarnya dihilangkan. Daerah proporsional
merupakan bagian dari batas elastis ini. Selanjutnya bila benda uji terus diberikan tegangan, maka batas elastis tersebut akan terlampaui dan
akhirnya menyebabkan benda uji tidak akan kembali pada kondisi awal, dengan kata lain mengalami deformasi permanen plastis. Kebanyakan
materialbahan tehnik mempunyai batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalnya.
3. Titik luluh dan kekuatan luluh. Titik luluh adalah titik batas dimana suatu material akan terus
mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan yang menyebabkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh yield
stress. Pada grafik diatas titik luluh ditunjukkan oleh titik Y. Pada baja berkekuatan tinggi, umumnya tidak memperlihatkan batas
luluh secara jelas. Untuk menentukan titik luluh material seperti ini, maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset
seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
24
Gambar 2.17 Metode Offset pada material getas
Dengan metode ini kekuatan luluh ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangandeviasi tertentu dari
proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada gambar di atas, garis XW ditarik paralel terhadap garis linier OP, sehingga perpotongan pada
kurva tegangan-regangan di titik Y sebagai kekuatan luluh. Pada umumnya garis offset OX diambil berkisar 0.1 – 0.2 dari regangan
total yang dimulai dari titik O. 4. Kekuatan tarik maksimum.
Kekuatan tarik maksimum Ultimate Tensile Strength merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung material sebelum
terjadinya perpatahan fracture. Nilai kekuatan tarik maksimum
25 ditentukan oleh beban maksimum dan luas penampang awal bahan uji.
Pada gambar kekuatan tarik maksimum UTS ditunjukan pada titik M, dan terus berdeformasi hingga mencapai titik B dan akhirnya putus.
5. Kekuatan putus. Kekuatan putus merupakan hasil bagi antara beban pada saat benda uji
putus dengan luas penampang awal. Untuk bahan yang bersifat ulet, pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terdeformasi
hingga titik putus B, maka terjadi mekanisme penciutan necking sebagai akibat adanya deformasi yang terpusat. Pada bahan yang ulet,
nilai kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan tarik maksimumnya. Sementara itu pada bahan yang getas, nilai kekuatan
putusnya adalah sama dengan kekuatan tarik maksimumnya.
2.2 Tinjauan Pustaka
Salah satu sistem pendingin yang tidak memerlukan energi listrik adalah sistem pendingin absorbsi. Sistem pendingin absorbsi hanya memerlukan
energi panas untuk dapat bekerja. Energi panas yang diperlukan dapat berasal dari pembakaraan kayu, arang, bahan bakar minyak dan gas bumi.
Energi panas juga dapat berasal dari buangan proses industri, biomassa, biogas atau dari energi alam seperti panas bumi dan energi surya. Refrijeran
yang digunakan pada sistim pendingin absorbsi umumnya bukan merupakan refrijeran sintetik misalnya amonia atau methanol sehingga resiko
26
DAT W
mmpy 6
, 87
kerusakan alam seperti yang dapat disebabkan sistem pendingin kompresi uap karena menggunakan refrijeran sintetik tidak terjadi.
Indonesia memiliki potensi energi panas dari biomassa, biogas, panas bumi dan energi surya yang cukup memadai untuk penggerak system
pendingin absorbsi. Hal yang harus diperhatikan adalah disain pendingin energi panas untuk negara-negara berkembang haruslah sederhana dan
mudah perawatannya dengan kata lain harus dapat dibuat dan diperbaiki sendiri oleh masyarakat dan industri lokal yang ada di daerah.
2.3 Rumus Perhitungan