Kekuatan las stainless steel 430 dalam lingkungan amonia.

(1)

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 430

DALAM LINGKUNGAN AMONIA

TUGAS AKHIR

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1

Program Studi Teknik Mesin Jurusan Teknik Mesin

Diajukan oleh:

LIE, TRIA ANANTA NIM : 085214065

Kepada

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(2)

ii

STAINLESS STEEL 430 WELD STRENGTH IN THE

AMMONIA ENVIRONMENT

FINAL ASSIGNMENT

Presented as Partial Fulfillment of the Requirements To Obtain the Sarjana S-1

In Mechanical of Engineering

By:

LIE, TRIA ANANTA Student Number : 085214065

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA 2013


(3)

(4)

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 10 Januari 2013


(6)

vi

ABSTRAK

Stainless steel banyak dikenal sebagai logam yang mempunyai ketahanan karat yang baik, tetapi bukan suatu kemungkinan kecil bahwa stainless juga dapat terkorosi oleh suatu bahan yang bersifat korosif. Salah satu bahan yang bersifat korosif yang ada di sekitar kita adalah amonia. Dalam salah satu aplikasinya, amonia digunakan sebagai cairan refrigeran pada alat pendingin absorbsi yang keseluruhan materialnya adalah menggunakan stainless stell. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan las dari stainless steel tipe 430 dalam lingkungan amonia.

Alat penelitian yang digunakan adalah pendingin absorbsi yang fungsinya untuk mengkondisikan benda uji dalam lingkungan amonia. Mula-mula benda uji yang telah dipersiapkan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dimasukan ke dalam alat pendingin yaitu pada bagian evaporator. Setelah itu dilakukan pemanasan untuk mendapatkan amonia bertekanan 5 bar. Bagian evaporator dilepas dan disimpan di dalam gentong yang telah diisi air untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah periode tertentu, yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan, masing-masing benda uji dikeluarkan dari evaporator tersebut dan dibersihkan untuk ditimbang guna mengetahui adanya perubahan berat pada benda uji tersebut. Benda uji di uji tarik guna membandingkan nilai uji tarik dari benda uji sebelum dan sesudah pengkondisian. Satu sampel benda uji tersebut juga dilakukan foto mikro, untuk mengetahui pengaruh amonia secara visual.

Dari pengujian tarik yang dilakukan, terjadi penurunan kekuatan tarik las stainless steel AISI 430 dengan metode las GTAW/TIG sebesar 5.61% (dari 331 N/mm2 menjadi 312 N/mm2, setelah selama tiga bulan dicelupkan dalam

lingkungan amonia). Penurunan berat benda uji (ΔW) tidak signifikan pada

periode pencelupan dalam lingkungan amonia yang lebih lama dengan pengurangan berat rata- rata sebesar 0.0011 setelah satu bulan pencelupan, 0.00127 setelah dua bulan pencelupan dan 0.00133 setelah tiga bulan pencelupan. Terjadi penurunan laju korosi rata-rata dari 2.29x10-7 pada bulan pertama, menjadi 0.932x10-7 pada bulan ketiga. Dengan kata lain stainless steel AISI 430 mampu untuk dijadikan bahan atau material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.


(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Lie, Tria Ananta

Nomor Mahasiswa : 085214065

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 430 DALAM LINGKUNGAN AMONIA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 10 Januari 2013 Yang menyatakan


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang

berjudul :

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 430

DALAM LINGKUNGAN AMONIA

Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penelitian dan penyusunan Tugas Akhir ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Paulina Heruningsih Prima Rosa, S.Si., M.Sc. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Bapak Ir. PK. Purwadi, M.T., Ketua Program Studi Teknik Mesin

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan selaku dosen pembimbing Akademik 2008.

3. Bapak Budi Setyahandana, S.T., M.T., dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dorongan untuk penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

4. Bapak Ir. FA. Rusdi Sambada, M.T., yang telah memberikan waktu, kesempatan, serta bimbingan dan dukungannya dalam proses pengambilan amonia.

5. Dosen-dosen program studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma, atas ilmu pengetahuan dan bimbingannya kepada penulis semasa kuliah .

6. Bapak Martono DS, Laboran Laboratorium Ilmu Logam Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Kedua orang tua saya Lie, Deddy Laksono dan Bok, Lily Yuliani yang terus memberikan dorongan dan motivasi.


(9)

ix

8. Y.F. Regis Satria Y.A., rekan seperjuangan dalam melakukan penelitian tugas akhir.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pemberian semangat sampai dengan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis tulis diatas.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya besar harapan penulis semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu teknik.

Yogyakarta, 10 Januari 2013 Penulis


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

TITLE PAGE ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II DASAR TEORI 2.1 Landasan Teori ... 4


(11)

xi

2.2 Tinjauan Pustaka ... 25

2.3 Rumus Perhitungan ... 26

BAB III METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.2 Perancangan Benda Uji dan Alat Pendingin Absorbsi ... 28

3.3 Peralatan Penelitian ... 32

3.4 Variabel Penelitian... 37

3.5 Parameter yang Diukur ... 37

3.6 Langkah Penelitian ... 38

3.7 Pengolahan dan Analisa Data ... 39

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Data ... 40

4.2 Pembahasan ... 47

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 55


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur atom fasa martensit ... 5

Gambar 2.2 Struktur atom fasa austenitik ... 6

Gambar 2.3 Struktur atom fasa feritik ... 7

Gambar 2.4 Pengelasan GTAW ... 9

Gambar 2.5 Perlengkapan las GTAW ... 10

Gambar 2.6 Korosi uniform ... 13

Gambar 2.7 Korosi celah ... 14

Gambar 2.8 Proses elektrokimia korosi galvanis ... 15

Gambar 2.9 Korosi sumuran (pitting) ... 15

Gambar 2.10 Aliran turbulen korosi erosi... 16

Gambar 2.11 Proses kavitasi ... 17

Gambar 2.12 Bentuk dan dimensi benda uji tarik ... 19

Gambar 2.13 Proses uji tarik ... 20

Gambar 2.14 Mode perpatahan ... 21

Gambar 2.15 Grafik fase deformasi ... 21

Gambar 2.16 Grafik tegangan-regangan ... 22

Gambar 2.17 Metode offset pada material getas ... 24

Gambar 3.1 Diagram penelitian... 28

Gambar 3.2 Spesimen uji ... 29

Gambar 3.3 Rangkaian spesimen ... 30

Gambar 3.4 Skema alat pendingin absorbsi ... 31


(13)

xiii

Gambar 3.6 Thermologger ... 33

Gambar 3.7 Pompa vakum ... 33

Gambar 3.8 Gentong ... 34

Gambar 3.9 Timbangan analitik ... 34

Gambar 3.10 Larutan etsa ... 35

Gambar 3.11 Resin ... 36

Gambar 3.12 Mikroskop ... 36

Gambar 3.13 Mesin uji tarik ... 37

Gambar 4.1 Sisi ukur benda kerja ... 42

Gambar 4.2 Area penampang benda uji ... 46

Gambar 4.3 Grafik tegangan tarik rata-rata... 49

Gambar 4.4 Grafik laju korosi ... 51

Gambar 4.5 Grafik perbandingan regangan ... 52

Gambar 4.6 Foto mikro benda uji bulan 1 ... 53

Gambar 4.7 Foto mikro benda uji bulan 2 ... 53


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi kimia baja AISI 430 ... 7

Tabel 2.2 Sifat mekanik AISI 430... 8

Tabel 4.1 Berat benda uji bulan pertama ... 41

Tabel 4.2 Berat benda uji bulan kedua ... 41

Tabel 4.3 Berat benda uji bulan ketiga ... 41

Tabel 4.4 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan pertama ... 43

Tabel 4.5 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan kedua ... 44

Tabel 4.6 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan ketiga ... 45

Tabel 4.7 Luas area penampang benda uji bulan pertama ... 46

Tabel 4.8 Luas area penampang benda uji bulan kedua ... 46

Tabel 4.9 Luas area penampang benda uji bulan ketiga ... 47

Tabel 4.10 Nilai beban dan pertambahan panjang ... 47

Tabel 4.11 Tegangan tarik maksimum rata-rata ... 48

Tabel 4.12 Perhitungan laju korosi benda uji ... 50


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pada saat ini penggunaan baja tahan karat atau stainless steel semakin sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahan baku pembuatan rumah tangga, perlengkapan rumah sakit dan perkakas industri yang menuntut tingkat higienis yang tinggi.

Secara spesifik stainless steel mempunyai kegunaan yang beragam, hal ini dikarenakan kandungan yang berbeda-beda dalam setiap tipe dari stainless steel itu sendiri. Dalam memproses material stainless steel untuk menjadi produk jadi, banyak proses fabrikasi yang dapat dilakukan. Proses tersebut diantaranya seperti bubut, las, bending, forming, frais, dan masih banyak lainya. Pemilihan stainless steel sebagai material dari suatu produk biasanya berdasarkan sifat dari tipe stainless steel tersebut, baik kekuatan bahan tersebut ataupun ketahanannya terhadap zat tertetntu. Telah banyak penelitian guna memaksimalkan pemanfaatan stainless steel secara fungsional.

Pada dasarnya material atau bahan diuji kekuatannnya untuk menentukan apakah material tersebut layak digunakan untuk membuat suatu produk dan untuk menentukan umur pakai dari produk itu sendiri dengan mengkondisikan benda tersebut berdasarkan lingkungan nyata. Seperti yang kita ketahui bahwa stainless steel merupakan baja tahan karat. Tetapi kita


(16)

2 tidak mengetahui apabila produk stainless steel tersebut berada dalam lingkungan amonia (NH3).

Amonia merupakan komoditi penting dalam dunia industri dan juga sering terlarut dalam air. Sifat amonia sangat korosif, dapat berupa basa, namun juga dapat berupa asam yang sangat lemah. Biasanya amonia didapati dengan wujud gas yang berbau tajam. Agar dapat digunakan sebagai media pengkorosif, amonia harus dilarutkan dalam air dengan konsentrasi tertentu yang disebut amonium hidroksida. Dengan amonia sebagai media pengkorosif akan didapat data kekuatan las stainless steel dengan tipe stainless steel 430.

1.2. Perumusan Masalah

Pada penelitian ini analisis dilakukan terhadap pengujian-pengujian yang akan dilakukan pada spesimen stainless steel 430 yang telah dilas dan dikondisikan dalam media pengkorosif amonia dalam beberapa periode pengambilan data. Lamanya waktu tersebut mempengaruhi laju korosi yang nantinya akan diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kekuatan las tersebut. Amonia yang digunakan pada proses ini adalah dalam amonia bentuk uap. Unjuk kerja kekuatan las ini ditunjukan melalui perbandingan hasil pengujian tarik yang dilakukan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulian tugas akhir ini sesuai uraian di atas adalah :


(17)

3 1. Mengetahui kekuatan las pada stainless steel 430 yang bekerja pada

media pengkorosif amonia dalam bentuk uap.

2. Mengetahui pengaruh amonia terhadap pengurangan berat stainless steel 430 yang telah mengalami proses pengelasan.

3. Mengetahui karakteristik korosi stainless steel tipe 430 untuk pembuatan alat pendingin absorbsi secara lanjut.

1.4. Batasan Masalah

Batasan masalah yang ditetapkan dalam pengujian kekuatan las ini adalah : 1. Media pengkorosif yang digunakan adalah uap amonia dengan tekanan 

5 bar.

2. Benda uji dikondisikan selama tiga periode yaitu 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan.

3. Pengujian kekuatan las dilakukan dengan pengujian tarik. 4. Tebal material yang digunakan adalah 1 mm.

1.5. Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Menambah kepustakaan teknologi tentang material stainless steel.

2.

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi

dalam pemanfaatan material stainless steel.

3.

Sebagai referensi bagi masyarakat umum supaya lebih selektif dalam pemilihan stainless steel tiap tipe dan karakternya.


(18)

4

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Jenis-jenis Stainless Steel

Stainless Steel adalah baja paduan dengan kandungan kromium (Cr) minimal 10%. Komposisi ini membentuk lapisan pelindung anti korosi (Cr2O3) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang

terjadi secara spontan. Dengan proses oksidasi, lapisan ini akan mudah terbentuk jika tergores ataupun mengalami proses permesinan. Meskipun seluruh kategori Stainless steel didasarkan pada kandungan kromium (Cr), namun unsur paduan lainnya ditambahkan untuk memperbaiki sifat stainless steel sesui dengan aplikasinya. Kategori stainless steel tidak halnya seperti baja lain yang didasarkan pada besarnya persentase karbon tetapi didasarkan pada struktur metalurginya.

Secara garis besar terdapat tiga golongan utama dari stainless steel adalah sebagai berikut :

1. Tipe Martensitik

Baja ini merupakan paduan kromium dan karbon yang memiliki struktur martensit body-centered cubic (BCC). Kandungan kromium umumnya berkisar antara 10,5 – 18%, dan karbon melebihi 1,2%. Kandungan kromium dan karbon dijaga agar mendapatkan struktur martensit. Keunggulan dari tipe martensitik, jika dibutuhkan kekuatan


(19)

5 yang tinggi maka dapat di keraskan (hardening) dan bersifat magnetis. Tipe stainless ini yang umum dipasaran adalah 403, 410, 416, 420, 431. Secara umum aplikasi jenis ini yang sering kita temui adalah pisau, spring, dan poros. Sifat lain dari tipe ini adalah kemampuan untuk difabrikasi (machineability) baik.

Gambar 2.1 Struktur atom fasa martensit

2. Tipe Austenitik

Baja Stainless austenititik merupakan paduan logam besi-krom-nikel yang mengandung 16-20% kromium, 7-22% nikel, dan nitrogen. Tipe austenitik mempunyai struktur kubus satuan bidang (face centered cubic) dan merupakan baja dengan ketahanan korosi yang tinggi. Struktur kristal akan tetap berfasa austenit bila unsur nikel dalam paduan diganti mangan (Mn), karena kedua unsur merupakan penstabil fasa austenit. Fasa austenitik tidak akan berubah saat proses anil. Baja stainless austenitik tidak dapat dikeraskan dengan metode perlakuan


(20)

6 panas (heat treatment) tetapi menggunakan metode pengerjaan dingin. Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat asutenitik pada temperature ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan baja stainless feritik dan martensit.

Gambar 2.2 Struktur atom fasa austenitik

3. Tipe Feritik

Baja jenis ini mempunyai struktur body centered cubic (BCC). Kandungan kromium umumnya kisaran 10,5 – 30%. Unsur sulfur ditambahkan untuk memperbaiki sifat mesin. Paduan ini merupakan ferromagnetik dan mempunyai sifat ulet, machinability yang baik. Namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless austenitik. Kandungan karbon rendah pada baja feritik tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas. Tipe yang umum di pasaran adalah 405, 430, 439, dan 446. Penggunaan secara umum adalah lebih pada pemakaian dekoratif arsitektur.


(21)

7

Gambar 2.3 Struktur atom fasa ferit

AISI 430 tergolong dalam kategori baja stainless steel feritik yang sangat banyak kita temui. Komposisi unsur-unsur pemadu yang terkandung dalam AISI 430 akan menentukan sifat mekanik dan ketahanan korosi. AISI 430 merupakan ferromagnetik dan mempunyai sifat ulet, machinability yang baik serta mempunyai kadar kromium sebagai pembentuk lapisan Cr2O3 yang protektif untuk meningkatkan ketahanan korosi.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Stainless Steel AISI 430.

UNSUR %MASSA

C 0,12

Mn 1

P 0,04

S 0,03

Si 1

Cr 16 - 18


(22)

8 Berdasarkan unsur pemadu yang terkandung seperti dalam tabel diatas akan terbentuk sifat mekanis dari baja stainless steel AISI 430 yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.2 Sifat Mekanik Stainless Steel AISI 430.

Rasio Poison 0.27 - 0.30

Kekuatan tarik 480 MPa

Regangan 275

Pertambahan panjang 20 %

Kekerasan 88 (HRB)

Modulus Elastisitas 200 GPa

Densitas 7.80 gr/cm3

2.1.2 Pengelasan GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)

Pada alat pendingin absorbsi diperlukan metode penyambungan dengan metode pengelasan GTAW untuk menyambung pipa-pipa serta bagian lainnya.

Gas Tungsten Arc Welding atau sering disebut dengan Tungsten Inert Gas (TIG) merupakan salah satu bentuk proses las busur (arc welding) yang menggunakan inert gas sebagai pelindung dengan tungsten atau wolfram sebagai elektrodanya. Elektroda yang digunakan pada GTAW termasuk elektroda tidak terumpan (non consumable) dan sebagai tumpuan terjadinya busur listrik. Daerah pengelasan atau daerah yang meleleh dilindungi dari udara luar oleh inert gas supaya tidak terkontaminasi. Inert yang digunakan biasanya adalah argon atau


(23)

9 campuran dari argon dan helium ataupun argon dan hidrogen. Hasil pengelasan dengan menggunakan GTAW mampu menghasilkan las yang berkualitas tinggi pada hampir semua logam. GTAW biasanya digunakan pada stainless steel dan logam ringan lainnya seperti alumunium, magnesium dan lain-lain.

Las gas tungsten (las TIG) adalah proses pengelasan dimana busur nyala listrik ditimbulkan oleh elektroda tungsten (elektroda tak terumpan) dengan benda kerja logam. Sehingga pada pengadaan material uji tersebut juga dilakukan pengelasan GTAW ini tanpa menggunakan filler metal dikarenakan ketebalannya hanya berkisar 1 mm.


(24)

10 Material yang dapat dilas GTAW meliputi :

1. Logam ferro, meliputi : a. Baja Karbon b. Stainless steel c. Baja Paduan Rendah

2. Logam non-ferro ( tembaga, kuningan, aluminium, titanium,dsb). a. Aluminium

b. Kuningan c. Tembaga d. Perunggu, dll.

Perlengkapan yang diperlukan pada pengelasan GTAW meliputi :


(25)

11 Keterangan :

1. Power source 2. Switch control 3. Benda kerja 4. Kutub massa 5. Torch

6. Selang pendingin keluar 7. Selang pendingin masuk 8. Unit pendingin

9. Tabung gas pelindung 10.Regulator

Keuntungan dari pengelasan GTAW : 1. Kualitas hasil dari pengelasannnya baik.

2. Arus dapat diatur untuk pengelasan benda tipis seperti pelat supaya tidak terbakar tembus (burnt through)

3. Tidak menghasilkan kotoran karena menggunakan gas pelindung. 4. Bisa untuk pengerjaan hampir pada semua logam baik ferro ataupun

non-ferro.

Kerugian dari pengelasan GTAW : 1. Ketebalan pengelasan terbatas. 2. Biaya pengelasan relatif mahal.

3. Membutuhkan kemampuan (skill) khusus bagi operatornya.

4. Sinar UV yang dihasilkan lebih terang dibandingkan dengan proses las yang lain.


(26)

12

2.1.3. Korosi Pada Stainless Steel

Korosi adalah rusaknya suatu bahan atau menurunnya kualitas bahan karena terjadinya reaksi dengan lingkungan sekitarnya. Reaksi yang mempengaruhi proses korosi adalah kebanyakan reaksi elektrokimia dan sebagian reaksi secara kimiawi. Faktor yang berpengaruh terhadap korosi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berasal dari bahan itu sendiri dan dari lingkungan. Faktor dari bahan meliputi komposisi kimia bahan, bentuk kristal, struktur bahan dan sebagainya.

Faktor dari lingkungan meliputi tingkat pencemaran udara, suhu, kelembaban, dan juga zat-zat kimia yang bersifat korosif. Bahan-bahan korosif terdiri atas asam, basa serta garam, baik dalam bentuk senyawa organik maupun an-organik.

Peristiwa korosi pada logam merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari, namun dapat dihambat maupun dikendalikan untuk mengurangi kerugian dan mencegah dampak negatif yang diakibatkannya. Dengan penanganan ini umur produktif/umur pakai suatu produk menjadi panjang sesuai dengan yang direncanakan, bahkan dapat diperpanjang untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi. Upaya penanganan korosi diharapkan dapat banyak menghemat biaya opersional, sehingga berpengaruh terhadap efisiensi dalam suatu kegiatan industri. Perlu kita ketahui bahwa korosi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :


(27)

13 1. Korosi Homogen (uniform)

Korosi ini merata di seluruh permukaan logam dan termasuk korosi yang paling sering dijumpai. Korosi ini dikontrol oleh reaksi kimia antara permukaan logam dengan media pengkorosifnya. Korosi ini bisa terjadi dikarenakan komposisi dan metalurgi material yang sama. Dengan keseragaman tersebut, pelepasan elektron akan merata ke seluruh permukaan.

Gambar 2.6. Korosi Uniform

2. Korosi Celah

Korosi celah merupakan korosi lokal yang mempunyai celah antara keduanya yang mengakibatakan terjadinya perbedaan konsentrasi asam. Biasanya terjadi dikarenakan celah tersebut terisi oleh elektrolit yang mengakibatkan terjadinya sel korosi dengan katodanya adalah sisi luar permukaan celah dan anodanya adalah elektrolit yang mengsi celah itu sendiri. Proses korosi ini terjadi cukup lama karena cairan elektrolit yg berada di dalam celah cenderung lama mongering

Tebal awal Korosi merata


(28)

14 dibandingkan dengan permukaan di luar celah yang lebih cepat mengeringnya. Sebagai contoh proses korosi ini banyak ditemui pada konstruksi rangka/karoseri kendaraan otomotif.

Gambar 2.7 Korosi celah

3. Korosi Galvanik (Bimetal)

Korosi ini terjadi karena proses elektrokimiawi dua buah logam yang berbeda potensial dihubungkan langsung didalam larutan elektrolit yang sama. Dimana elektron mengalir dari logam anodik (kurang mulia) ke logam yang lebih katodik (lebih mulia), akibatnya logam yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negatif di dalam elektrolit menjadi garam metal.


(29)

15

Gambar 2.8 Proses elektrokimia korosi galvanis 4. Korosi Sumuran (pitting)

Merupakan korosi lokal yang terjadi pada logam secara lokal selektif yang menghasilkan bentuk permukaan lubang-lubang pada logam. Korosi jenis ini dianggap lebih berbahaya daripada korosi seragam diakarenakan lebih sulit terdeteksi. Mekanisme korosi pitting hampir sama dengan dengan korosi celah. Korosi pitting ditandai dengan pembentukan lubang ataupun sumur pada permukaan logam.

Gambar 2.9 Korosi sumuran (pitting)

5. Korosi Erosi

Korosi erosi terjadi akibat aliran dari suatu fluida yang mengalir sangat cepat dan disebabkan oleh :


(30)

16 a. Aliran turbulen

Turbulensi fluida ini seringkali terjadi akibat adanya perubahan diameter penampang, sambungan yang kurang baik, dan juga adanya endapan.

Gambar 2.10 Aliran turbulen korosi erosi b. Kavitasi (peronggaan)

Kavitasi adalah terjadinya penguapan pada suatu zat cair yang sedang mengalir sehingga menghasilkan gelembung-gelembung uap yang disebabkan karena berkurangnya tekanan pada zat cair tersebut sampai di bawah titik jenuh uapnya. Sebagai contoh adalah air akan mendidih dan menjadi uap pada suhu 100 0 dan tekan 1 atm. Tetapi jika tekanannya dikurangi maka air dapat mendidih pada suhu yang lebih rendah juga, bahakan jika tekanannya cukup rendah air dapat mendidih pada suhu kamar.

Pada saat uap/gelembung tersebut terbawa aliran hingga akhirnya berada pada kondisi tekanannya lebih besar daripada tekanan uap jenuh

celah endapan

seal

celah


(31)

17 zat cair tersebut, maka gelembung akan pecah di daerah tersebut dan akan menyebabkan gaya tekan yang besar pada permukaan/penampang.

Gambar 2.11 Proses kavitasi

6. Korosi Batas Butir ( intergranular)

Korosi batas butir merupakan serangan korosi yang terjadi pada batas kristal (butir) dari suatu logam/paduan karena paduan yang kurang sempurna (ada kotoran yang masuk/endapan) atau adanya gas hidrogen atau oksigen yang masuk pada batas kristal/butir. Batas butir

ini sering menjadi tempat pengendapan (precipitation) dan pemisahan

(segregation). Pengendapan dan pemisahan terjadi dikarenakan pada

logam terkandung logam antara dan senyawa pada batas butirnya. Pada dasarnya logam yang mempunyai logam antara dan senyawa pada batas butirnya akan sangat rentan terhadap korosi batas butir.


(32)

18

Jenis korosi ini sangat berbahaya karena tidak dapat dilihat secara kasat mata.

7. Korosi selektif

Korosi Selektif adalah suatu bentuk korosi yang terjadi karena pelarutan komponen tertentu dari paduan logam (alloynya). Pelarutan ini terjadi pada salah satu unsur pemadu atau komponen dari paduan logam yang lebih aktif yang menyebabkan sebagian besar dari pemadu tersebut hilang dari paduannya.

8. Korosi retak tegang

Korosi retak tegang adalah keretakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan dan terjadi pada material yang spesifik. Karakteristik dari korosi ini adalah perpatahannya getas dimana retakan terjadi dengan regangan yang kecil dari material.

Amonia (NH3) merupakan bahan kimia yang cukup banyak digunakan

dalam kegiatan industri. Pada suhu dan tekanan normal, bahan ini berada dalam bentuk gas dan sangat mudah terlepas ke udara. Di dunia industri amonia umumnya digunakan sebagai bahan anti beku (refrigeran) di dalam alat pendingin. Bukan hanya itu saja, dalam aplikasi alat pendingin absorbsi yang digunakan sebagai refrigeran adalah amonia. Tentu saja dalam prosesnya, pengaruh amonia tersebut akan menyebabkan korosi.


(33)

19

2.1.4 Kekuatan dan Uji tarik

Uji tarik merupakan pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mendapatkan standarisasi dunia. Prinsip pengujian tarik yaitu spesimen dengan dimensi dan geometri tertentu diberikan gaya tarik sesumbu yang bertambah besar secara kontinyu hingga putus. Bersamaan dengan itu, juga harus dilakukan pengamatan mengenai pertambahan panjang yang dialami spesimen tersebut. Dengan memberikan tarikan pada suatu material, kita akan segera mengetahui bagaimana material tersebut bereaksi dengan gaya tarik. Profil tarikan yang dihasilkan menunjukan hubungan antara gaya tarik yang diberikan dengan pertambahan panjang spesimen sampai dengan titik putus.

Gambar 2.12 Bentuk dan Dimensi Benda Uji Tarik Keterangan :

L = panjang keseluruhan L1 = panjang pencekaman Lo = panjang ukur W = lebar penampang uji


(34)

20 Wo = lebar keseluruhan

r = radius fillet t = tebal benda uji

Biasanya dalam pengujian tarik, yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum spesimen untuk menahan beban yang biasa disebut dengan “Ultimate Tensile Strength” (UTS) atau lebih sering dikenal dengan tegangan tarik maksimum

Gambar 2.13 Proses Uji Tarik

Mode perpatahan (fracture) yang terjadi juga tergantung pada tingkat keuletan (ductility) dari setiap material spesimen itu sendiri dan mempunyai bentuk patahan yang bebeda juga. Semakin ulet suatu material, bentuk patahan yang terjadi berbentuk lancip/meruncing. Begitupun sebaliknya, semakin getas material tersebut maka bentuk patahan yang terjadi berbentuk lurus seperti berikut ini :


(35)

21

Ulet Getas

Gambar 2.14 Mode Perpatahan

Pada saat proses pemberian beban terjadi pertambahan panjang pada spesimen. Hal tersebut juga berarti adanya hubungan antara besarnya tegangan dan regangan yang terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukan melalui gambar seperti berikut :


(36)

22

Gambar 2.16 Grafik tegangan – regangan

Dari kedua grafik di atas terlihat adanya hubungan antara tegangan dan regangan, yang meliputi :

1. Batas proporsionalitas.

Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan yang lain. Setiap penambahan

Tegangan Tarik Maksimum

Modulus Elastisitas

Titik Putus

Titik Luluh

Daerah Linear

Regangan Maksimum

Regangan (Strain) 0


(37)

23 tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier. Pada gambar grafik yang pertama menunjukkan bahwa titik P adalah batas proporsional hubungan tegangan dan regangan.

2. Batas elastis.

Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali pada keadaan semula bila tegangan luarnya dihilangkan. Daerah proporsional merupakan bagian dari batas elastis ini. Selanjutnya bila benda uji terus diberikan tegangan, maka batas elastis tersebut akan terlampaui dan akhirnya menyebabkan benda uji tidak akan kembali pada kondisi awal, dengan kata lain mengalami deformasi permanen (plastis). Kebanyakan material/bahan tehnik mempunyai batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalnya.

3. Titik luluh dan kekuatan luluh.

Titik luluh adalah titik batas dimana suatu material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan yang menyebabkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Pada grafik diatas titik luluh ditunjukkan oleh titik Y.

Pada baja berkekuatan tinggi, umumnya tidak memperlihatkan batas luluh secara jelas. Untuk menentukan titik luluh material seperti ini, maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


(38)

24

Gambar 2.17 Metode Offset pada material getas

Dengan metode ini kekuatan luluh ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada gambar di atas, garis XW ditarik paralel terhadap garis linier OP, sehingga perpotongan pada kurva tegangan-regangan di titik Y sebagai kekuatan luluh. Pada umumnya garis offset OX diambil berkisar 0.1 – 0.2% dari regangan total yang dimulai dari titik O.

4. Kekuatan tarik maksimum.

Kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength) merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum


(39)

25 ditentukan oleh beban maksimum dan luas penampang awal bahan uji. Pada gambar kekuatan tarik maksimum (UTS) ditunjukan pada titik M, dan terus berdeformasi hingga mencapai titik B dan akhirnya putus. 5. Kekuatan putus.

Kekuatan putus merupakan hasil bagi antara beban pada saat benda uji putus dengan luas penampang awal. Untuk bahan yang bersifat ulet, pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terdeformasi hingga titik putus B, maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya deformasi yang terpusat. Pada bahan yang ulet, nilai kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan tarik maksimumnya. Sementara itu pada bahan yang getas, nilai kekuatan putusnya adalah sama dengan kekuatan tarik maksimumnya.

2.2 Tinjauan Pustaka

Salah satu sistem pendingin yang tidak memerlukan energi listrik adalah sistem pendingin absorbsi. Sistem pendingin absorbsi hanya memerlukan energi panas untuk dapat bekerja. Energi panas yang diperlukan dapat berasal dari pembakaraan kayu, arang, bahan bakar minyak dan gas bumi. Energi panas juga dapat berasal dari buangan proses industri, biomassa, biogas atau dari energi alam seperti panas bumi dan energi surya. Refrijeran yang digunakan pada sistim pendingin absorbsi umumnya bukan merupakan refrijeran sintetik (misalnya amonia atau methanol) sehingga resiko


(40)

26

DAT

W

mmpy

87

,

6

kerusakan alam seperti yang dapat disebabkan sistem pendingin kompresi uap karena menggunakan refrijeran sintetik tidak terjadi.

Indonesia memiliki potensi energi panas dari biomassa, biogas, panas bumi dan energi surya yang cukup memadai untuk penggerak system pendingin absorbsi. Hal yang harus diperhatikan adalah disain pendingin energi panas untuk negara-negara berkembang haruslah sederhana dan mudah perawatannya dengan kata lain harus dapat dibuat dan diperbaiki sendiri oleh masyarakat dan industri lokal yang ada di daerah.

2.3 Rumus Perhitungan

2.3.1 Laju Korosi

Suatu persamaan yang menyatakan laju korosi telah diperkenalkan oleh seorang peneliti yang bernama Fontana sejak tahun 1945 adalah sebagai berikut:

(2.1) dengan :

mmpy : milimeter per tahun W : pengurangan berat (mg) D : densitas material (g/cm3

)

A : luas selimut awal (cm2)

T : waktu kontak dengan lingkungan (jam)


(41)

27

2.3.2 Tegangan

Tegangan adalah hasil bagi antar beban dengan luas penampang seperti dalam rumus berikut :

=

(2.2)

dengan :

 : tegangan

F : beban/gaya (Kg) A : luas penampang (mm2)

2.3.3 Regangan

=

× 100% =

× 100%

(2.3)

dengan :

 : regangan (%)

L : perubahan panjang (mm) lo : panjang awal (mm)


(42)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Fluida dan Laboratorium Ilmu Logam Fakultas Sains dan Teknologi, dan juga di Laboratorium Kimia Pusat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Pengambilan data dilakukan selama tiga periode dalam waktu 3 bulan sesuai dengan variasi yang dilakukan.

3.2. Perancangan Benda Uji dan Alat pendingin Absorsi

Diagram penelitian

Gambar 3.1 Diagram Penelitian

Pembuatan specimen dan alat pendingin absorbsi

Pengkondisian benda uji selama 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan dalam lingkungan amonia

Uji coba alat pendingin absorbsi dan melakukan Persiapan spesimen sesuai Standar ASTM A 370

Pengolahan data dan pengujian tarik pada spesimen uji dalam tiap periode


(43)

29

Benda uji (spesimen)

Benda uji adalah berupa plat yang mempunyai ketebalan 1mm dengan asumsi bahwa pada ketebalan tersebut merupakan tebal minimum dari pipa sebagai bahan alat pendingin absorbsi yang umum dan relatif banyak di pasaran. Benda uji yang telah dipersiapkan melalui proses cutting dies, Las (TIG), milling dan marking.

Gambar 3.2 Spesimen uji

Setelah benda uji dipersiapkan seperti Gambar 3.2, untuk pengkondisian ke dalam alat pendingin absorbsi perlu dipersiapkan kembali agar dapat dimasukkan ke dalam alat pendingin tersebut. Untuk satu periodenya, benda uji yang dimasukkan berjumlah 4 dalam tiap alat pendingin tersebut, seperti terlihat dalam Gambar 3.3.


(44)

30

Gambar 3.3 Rangkaian spesimen

3.2.2. Alat Pendingin Absorbsi

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk megetahui kelayakan dari material stainless steel sebagai komponen utama dari alat pendingin absorbsi. Unjuk kerja pendingin ini diharapkan mampu menahan tekanan kerja yang fluktuatif sampai dengan 250 psi.

Perlu kita ketahui bahwa alat pendingin absorbsi yang dibuat mempunyai 3 komponen utama yaitu :

1. Generator

2. Kondensor berpendingin air 3. Evaporator


(45)

31 Berikut adalah skema dari alat pendingin absorbsi :

Gambar 3.4 Skema alat pendingin absorbsi Keterangan :

1. Evaporator 2. Kran

3. Pipa penghubung antara generator dan evaporator 4. Manometer

5. Corong untuk memasukan amonia ke dalam generator. Bagian ini dapat diganti dengan niple pada saat akan divakum.

1 2 4

7 3

5

6


(46)

32 6. Kran untuk memasukan amonia

7. Kran penghubung 8. Generator

3.3 Peralatan Penelitian

Adapun peralatan pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kompor listrik

Pada penelitian ini, kompor listrik diunakan sebagai pemanas pada generator guna menguapkan amonia hingga mencapai tekanan yang diinginkan.

Gambar 3.5 Kompor listrik 2. Thermologger

Dalam penelitian ini, thermocouple berfungsi sebagai pengukur suhu pada beberapa titik, yaitu :

1. Evaporator 2. Generator


(47)

33

Gambar 3.6 Thermologger 3. Pompa vakum

Pompa vakum berfungsi untuk membuat vakum generator sebelum diisi dengan amonia.


(48)

34 4. Niple

Niple digunakan sebagai konektor antar pompa dan bagian generator pada saaat akan divakum

5. Tabung penyimpan/gentong

Berfungsi sebagai tempat penyimpanan bagian evaporator setelah diisi amonia yang akan didiamkan selama periode tertentu.

Gambar 3.8 Gentong penyimpanan 6. Timbangan analitik

Alat ini berfungsi untuk menimbang berat dari benda uji yang dilakukan sebelum dan sesudah dikondisikan dalam media amonia. Timbangan ini mempunyai ketelitian sampai dengan 4 digit dibelakang koma.


(49)

35 7. Larutan etsa

Larutan etsa berguna untuk membuka pori-pori dari beda uji sebelum dilakan pemotretan mikro. Jenis dari larutan etsa itu sendiri berbeda-beda untuk tiap material. Untuk jenis larutan etsa yang digunakan pada tipe feritik stainless steel secara umum adalah larutan asam klorida pekat dan asam picric yang terlarut adalah sebagai berikut :

HCl = 5 ml

Picric acid = 2 gr Ethyl alcohol = 100 ml

Gambar 3.10 Larutan etsa 8. Resin

Resin digunakan untuk menyusun benda uji supaya mudahkan dalam pemolesan sebelum dilakukan foto mikro. Resin yang digunakan tidak ditentukan jenisnya.


(50)

36

Gambar 3.11 Resin 9. Mikroskop

Mikroskop digunakan alat bantu untuk melihat penampang dari benda uji dengan perbesaran tertentu dan sesudah itu baru akan difoto. Perbesaraan yang digunakan adalah 50x perbesaran.

Gambar 3.12 Mikroskop 10. Mesin uji tarik

Mesin uji tarik digunakan untuk menguji benda yang telah dikondisikan tersebut. Mesin yang digunakan mempunyai kapasitas 1 ton.


(51)

37

Gambar 3.13 Mesin uji tarik

3.4. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan tiga variabel pengkondisian dalam lingkungan amonia dengan satu bulan pencelupan, dua bulan pencelupan dan tiga bulan pencelupan.

3.5. Parameter yang Diukur

Variabel yang diukur dalam penilitian ini adalah sebagai berikut :

1. Berat (W) dari masing-masing benda kerja sebelum dan sesudah dikondisikan dalam alat pendingin absorbsi dalam setiap periode. 2. Kekuatan tarik (UTS) dari setiap benda uji sebelum dan sesudah


(52)

38

3.6. Langkah Penelitian

Metode pengumpulan data adalah cara-cara memperoleh data melalui percobaan alat. Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yaitu menggunakan metode langsung. Penulis mengumpulkan data dengan menguji langsung alat yang telah dibuat.

1. Alat pendingin dipasang pada kerangka yang telah dipersiapkan. 2. Kompor listrik dipasang pada bagian generator.

3. Pompa vakum dihubungkan ke generator menggunakan nipel dan selang konektor.

4. Generator divakum hingga mencapai tekanan -1 bar.

5. Amonia dimasukkan perlahan ke dalam generator menggunakan corong.

6. Termokopel pada termologger dipasang pada bagian generator, air yang didinginkan, dan juga pada pipa penghubung antara evaporator dan generator.

7. Kompor dihidupkan untuk memanaskan generator hingga tekanan mencapai 7 bar dan temperaturnya berkisar 770 C.

8. Kompor dimatikan dan perhatikan manometer hingga tekanan turun menjadi 5 bar setelah penyesuaian dengan suhu air penyimpanan 26%.

9. Bagian evaporator yang telah terisi uap amonia bertekanan dilepaskan dengan mengendurkan water mur.


(53)

39 10. Bagian evaporator yang telah dilepas kemudian disimpan dalam keadaan tercelup air di dalam gentong penyimpana yang difungsikan sebagai pengaman jika suatu saat terjadi kenaikan suhu yang akan mempengaruhi naiknya tekanan dan meminimalisir bahaya kebocoran pada unit evaporator.

11. Proses 1 – 10 diulangi pada langkah berikutnya.

3.7. Pengolahan dan Analisa Data

Setelah pengambilan data maka dilakukan pengolahan data sebagai berikut :

1. Menghitung laju korosi setiap benda uji sesuai dengan Persamaan (2.1)

2. Menghitung besarnya tegangan tarik maksimum setiap benda uji sesuai dengan Persamaan (2.2)

3. Menghitung regangan yang terjadi sesuai dengan Persamaan (2.3) Analisa akan lebih mudah dilakukan dengan membuat grafik-grafik yang diantaranya adalah grafik hubungan tegangan dan regangan.


(54)

40

BAB IV

DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. DATA

4.1.1 Berat benda uji

Langkah awal penelitian ini dilakukan dengan menganalisa perubahan berat dari setiap benda uji, yang telah dikondisikan dalam setiap periode.

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berat benda uji setiap periode dan dibandingkan dengan periode lainnya. Pengambilan data secara objektif dilakukan menggunakan timbangan analitik, dengan ketelitian 4 digit dibelakang koma atau 0,0001 gram.

Dalam penelitian, penulis memberikan identitas pada benda uji tersebut untuk memudahkan dalam pengambilan data pada setiap periode pengkondisian dan menghindari resiko tertukar dengan benda uji lainnya seperti berikut:

Contoh : 411

4 = menandakan kode awal dari tipe material yaitu 430 1 = menandakan bulan pertama pengkondisian


(55)

41 Berat benda uji sebelum dan sesudah dikondisikan dalam amonia dapat dilihat pada Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.3 sebagai berikut:

Tabel 4.1 Berat benda uji pada bulan pertama.

Nomor Wo (gr) W1 (gr) ΔW (gr)

411 27,0848 27,0834 0,0014

412 26,9660 26,9652 0,0008

413 27,2054 27,2043 0,0011

414 26,9908 26,9895 0,0013

Tabel 4.2 Berat benda uji pada bulan kedua.

Nomor Wo (gr) W1 (gr) ΔW (gr)

421 26,9943 26,9933 0,0010

422 27,0029 27,0017 0,0012

423 26,9950 26,9934 0,0016

424 27,0315 27,0298 0,0017

Tabel 4.3 Berat benda uji pada bulan ketiga

Nomor Wo (gr) W1 (gr) ΔW (gr)

431 27,0322 27,0310 0,0012

432 27,0579 27,0566 0,0013

433 27,0135 27,0120 0,0015


(56)

42

4.2.2 Luas penampang benda kerja

Dalam perhitungan luas benda uji diperlukan geometri dari pengukuran yang dilakukan secara langsung dengan acuan seperti pada gambar berikut :

Gambar 4.1 Sisi ukur benda kerja

Berdasarkan Gambar 4.1 didapatkan data hasil pengukuran pada setiap benda kerja, serta didapatkan hasil perhitungan dimensi setiap sisi nya yaitu seperti pada Tabel 4.4 sampai dengan Tabel 4.6 berikut:


(57)

43

Tabel 4.4 Hasil pengukuran dan perhitungan panjang sisi benda kerja bulan pertama

No 411 412 413

t (mm) 1 1 1

L (mm) 200,94 200,04 201,66

C (mm) 20,04 20,04 20,04

W (mm) 12,44 12,5 12,58

B1 (mm) 64 64 63,72

B2 (mm) 63,58 63 64,64

B3 (mm) 63,9 63,8 63,6

B4 (mm) 63,6 63,28 64,46

R (mm) 10 10 10

d1(mm) 3,76 3,76 3,7

d2 (mm) 3,84 3,78 3,76

a1 (mm) 6,24 6,24 6,3

a2 (mm) 6,16 6,22 6,24

x1 (mm) 7,81 7,81 7,77

x2 (mm) 7,88 7,83 7,81

y1 (mm) 51,39 51,39 50,95

y2 (mm) 51,97 51,53 51,39

pjng.rad 1 (mm) 8,96 8,96 8,89

pjng.rad 2 (mm) 9,07 8,99 8,96

A1 (mm) 57,73 57,41 57,77

A2 (mm) 57,69 57,30 57,97

luas1 (mm2) 8,94 8,94 8,76


(58)

44

Tabel 4.5 Hasil pengukuran dan perhitungan panjang sisi benda kerja bulan kedua

No 421 422 423

t (mm) 1 1 1

L (mm) 200,42 200,3 200,44

C (mm) 20,04 20,04 20,04

W (mm) 12,42 12,46 12,36

B1 (mm) 63,02 63,7 63,2

B2 (mm) 63,9 63,22 63,14

B3 (mm) 63,1 63,72 63,3

B4 (mm) 63,92 63,2 63,24

R (mm) 10 10 10

d1 (mm) 3,8 3,76 3,8

d2 (mm) 3,82 3,82 3,88

a1 (mm) 6,2 6,24 6,2

a2 (mm) 6,18 6,18 6,12

x1 (mm) 7,85 7,81 7,85

x2 (mm) 7,86 7,86 7,91

y1 (mm) 51,68 51,39 51,68

y2 (mm) 51,83 51,83 52,26

pjng.rad 1 (mm) 9,02 8,96 9,02

pjng.rad 2 (mm) 9,04 9,04 9,12

A1 (mm) 57,81 57,75 58,41

A2 (mm) 57,68 57,66 58,08

luas1 (mm2) 9,06 8,94 9,06


(59)

45

Tabel 4.6 Hasil pengukuran dan perhitungan panjang sisi benda kerja bulan ketiga

No 431 432 433

t (mm) 1 1 1

L (mm) 200,24 200,58 200,2

C (mm) 20,04 20,04 20,04

W (mm) 12,48 12,36 12,5

B1 (mm) 64,92 63,64 63,92

B2 (mm) 62,8 63,92 63,2

B3 (mm) 63,9 63,6 63,88

B4 (mm) 62,82 64,02 63,26

R (mm) 10 10 10

d1 (mm) 3,8 3,86 3,78

d2 (mm) 3,76 3,82 3,76

a1 (mm) 6,2 6,14 6,22

a2 (mm) 6,24 6,18 6,24

x1 (mm) 7,85 7,89 7,83

x2 (mm) 7,81 7,86 7,81

y1 (mm) 51,89 52,12 51,53

y2 (mm) 51,39 51,83 51,39

pjng.rad 1 (mm) 9,05 9,09 8,99

pjng.rad 2 (mm) 8,96 9,04 8,96

A1 (mm) 57,83 57,23 57,42

A2 (mm) 57,89 57,24 57,43

luas1 (mm2) 8,88 9,24 9

luas2 (mm2) 8,94 9,12 8,94

Berdasarkan data dari ketiga tabel diatas dapat dihitung luas dari penampang benda uji berdasarkan gambar berikut :


(60)

46

Gambar 4.2 Area penampang benda uji

Tabel 4.7 Luas area penampang benda uji bulan pertama

411 412 413

area1 (mm2) 4999,39 5001 5073,77

area2 (mm2) 481,28 481,28 471,53

area3 (mm2) 478,12 473,76 478,33

area4 (mm2) 490,75 482,33 478,27

area5 (mm2) 488,45 478,40 484,74

area6 (mm2) 35,75 35,75 35,03

area7 (mm2) 36,73 36,02 35,75

area8 (mm2) 446,64 444,78 447,94

Total (mm2) 7457,11 7433,31 7505,37

Tabel 4.8 Luas area penampang benda uji bulan kedua

421 422 423

area1 (mm2) 4978,43 4991,48 4954,88

area2 (mm2) 478,95 479,02 480,32

area3 (mm2) 485,64 475,41 479,86

area4 (mm2) 4482,08 486,82 491,21

area5 (mm2) 488,35 482,85 490,74

area6 (mm2) 36,24 35,75 36,24

area7 (mm2) 36,47 36,47 37,21

area8 (mm2) 445,62 445,34 445,71


(61)

47

Tabel 4.9 Luas area penampang benda uji bulan ketiga

431 432 433

area1 (mm2) 4997,99 4958,34 5005

area2 (mm2) 485,79 491,30 483,24

area3 (mm2) 477,28 493,46 477,79

area4 (mm2) 480,53 485,90 480,38

area5 (mm2) 472,41 489,11 475,72

area6 (mm2) 35,51 36,95 36,02

area7 (mm2) 35,75 36,47 35,75

area8 (mm2) 445,27 445,99 445,10

Total (mm2) 7430,54 7437,54 7438,99

4.1.3 Data Pengujian Tarik

Dari hasil pengujian tarik yang telah dilakukan, didapat hasil Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Nilai Beban dan Pertambahan Panjang

Nomor Fmaks (kg) Δl (mm)

401 394 0,15

402 424,4 0,25

403 423,5 0,225

411 432 0,5

412 365,3 0,075

413 301,4 0,075

421 376,99 0,125

422 359 0,125

423 432 0,3

431 509,4 1,7

432 396,5 0,1

433 381,3 0,325

4.2 Pembahasan


(62)

48 Tegangan tarik maksimum dari hasil pengujian langsung pada setiap benda kerja adalah seperti berikut:

=

Sebagai contoh pada specimen 411 :

=

= 432

12,44 = 34,727 /

= 347,27 /

Dari contoh perhitungan tersebut, didapat nilai tegangan rata-rata seperti tercantum pada Tabel 4.11

Tabel 4.11 Tegangan tarik maksimum rata-rata

No

Fmaks

(kg) Ao (mm2)

σ

uts (N/mm2)

σ

uts rata-rata (N/mm2)

401 394 12,52 314,70

331,55

Periode 0 402 424,4 12,46 340,61

403 423,5 12,48 339,34

Periode 1 411 432 12,44 347,27 319,75

412 365,3 12,5 292,24

421 376,9 12,42 303,46

313,70

Periode 2 422 359 12,46 288,12

423 432 12,36 349,51

Periode 3 432 396,5 12,36 320,79 312,92


(63)

49 Keterangan :

Periode 0 = periode benda uji sebelum dikondisikan dalam amonia

Periode 1 = periode benda uji bulan pertama setelah dikondisikan

Periode 2 = periode benda uji bulan kedua setelah dikondisikan

Periode 3 = periode benda uji bulan ketiga setelah dikondisikan

Berikut ini adalah grafik nilai uji tarik dari keseluruhan periode benda uji seperti yang tercantum dalam Tabel 4.11

Gambar 4.3 Grafik tegangan tarik rata-rata

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat besar nilai hasil pengujian tarik dengan bentuk grafik yang fluktuatif pada tiap periode.

Hal tersebut tidak mengindikasi pada proses korosi yang terjadi dikarenakan terjadi penurunan kekuatan tarik pada periode ketiga dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu periode pertama dan kedua seperti yang terlihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan nilai uji tarik pada Tabel 4.11 dan Gambar 4.3, penulis menganalisa bahwa besaran nilai

331,55 319,75 313,7 312,92

0 100 200 300 400

0 1 2 3

T e g a n g a n ( N / m m 2 ) Periode (bulan)


(64)

50 yang dihasilkan bisa dikarenakan kondisi benda uji yang tidak seluruhnya homogen, dalam hal ini yang dikaji adalah penetrasi saat proses pengelasan. Penetrasi yang berbeda pada setiap benda uji yang mengindikasi perbedaan kekuatan tariknya, bukan karena proses korosi karena pengaruh amonia.

4.2.2 Perhitungan Korosi

Berikut ini adalah contoh perhitungan laju korosi secara umum berdasarkan data yang tercantum dalam Tabel 4.1

contoh : spesimen 411

= 87,6

= 87,6 × 0,0014 7,8 × 74,57 × 720 = 2,93 x10-7

Tabel 4.12 Perhitungan laju korosi benda uji

Nomor W(g)

D

(gr/cm3) A(cm2) T

(jam) mmpy

Rata-rata (mmpy)

Periode 1

411 0,0014 7,8 74.57 720 2.93x10-7

2.30 x10-7 412 0,0008 7,8 74.33 720 1.68 x10-7

Periode 2

421 0,001 7,8 74.32 1440 1.05 x10-7

1.33 x10-7 422 0,0012 7,8 74.33 1440 1.26 x10-7

423 0,0016 7,8 74.16 1440 1.68 x10-7 Periode

3

432 0,0013 7,8 74.38 2160 9.09 x10-8

9.79 x10-8 433 0,0015 7,8 74.39 2160 1.05 x10-7


(65)

51

Gambar 4.4 Grafik laju korosi

Pada Gambar 4.4 tersaji laju korosi tiap benda uji pada masing-masing periode. Pada periode pertama sampai periode ketiga terlihat bahwa bentuk grafik yang menurun. Menurut analisa dari penulis, hal tersebut disebabkan karena terbentuknya lapisan kromium oksida (Cr2O3) atau lapisan pasif pada permukaan benda uji setiap periode, yang mengakibatkan benda tersebut semakin terhalang oleh oksidasi yang menyebabkan korosi. Dengan kata lain, semakin lama periode pengkondisian membuat nilai laju korosi semakin menurun hingga mencapai kondisi stabil.

4.2.3 Perhitungan regangan

Berdasarkan pada data seperti yang tercantum pada Tabel 4.4, Tabel 4.5, Tabel 4.6, dan Tabel 4.10. Maka didapatkan hasil perhitungan persentase regangan seperti berikut:

Sebagai contoh adalah data dari spesimen 411 0.0000000000 0.0000000500 0.0000001000 0.0000001500 0.0000002000 0.0000002500

1 2 3

la ju k o ro s i ra ta -r a ta ( m m p y ) periode (bulan)


(66)

52 Dengan;

Δl = 0,5 mm lo = 50 mm

Maka :

= ∆ × 100%

= 0,5

50 × 100%

= 1%

Tabel 4.13 Perhitungan regangan benda uji

Nomor ΔL(mm) lo(mm)

ε

(%)

ε

rata-rata (%) Periode 0

401 0,15 50 0,30%

0,417%

402 0,25 50 0,50%

403 0,225 50 0,45%

Periode 1 411 0,5 50 1,00% 0,575%

412 0,075 50 0,15%

Periode 2

421 0,125 50 0,25%

0,367%

422 0,125 50 0,25%

423 0,3 50 0,60%

Periode 3 432 0,1 50 0,20% 0,425%

433 0,325 50 0,65%

Gambar 4.5 Grafik perbandingan regangan 0,417% 0,575% 0,367% 0,425% 0.000% 0.200% 0.400% 0.600% 0.800%

0 1 2 3

R e g a n g a n ( % ) Periode (bulan)


(67)

53 Besarnya nilai regangan seperti pada Tabel 4.11 dan Gambar 4.6 dipengaruhi oleh pertambahan panjang yang didapatkan dari hasil uji tarik. Sebagai contohnya adalah benda uji 411 dengan nilai pertambahan panjang sebesar 0,5 mm. Hal tersebut sangatlah sebanding dengan besarnya kekuatan tarik yang didapatkan yaitu sebesar 347,27 N/mm2. Dari data-data tersebut semakin memperkuat analisa dari penulis bahwa pada penelitian ini, kekuatan las yang didapatkan tidak berpengaruh pada proses korosi, tetapi pada proses pengelasan benda uji, terutama penetrasi pengelasannya seperti pada contoh Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Foto mikro benda uji bulan 1


(68)

54

Gambar 4.8 Foto mikro benda uji bulan 3

Di dalam Gambar 4.6 sampai dengan Gambar 4.8 menunjukan HAZ(heat affected zone) yang juga dapat disimak, Bahwa penetrasi proses pengelasan yang tidak sama pada setiap benda uji yang terlihat pada bidang yang ditandai dengan lingkaran.


(69)

55

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Dari semua hasil pengambilan data, perhitungan, dan analisa dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terjadi penurunan kekuatan tarik las stainless steel AISI 430 dengan metode las GTAW/TIG sebesar 5.61% (dari 331 N/mm2 menjadi 312 N/mm2, setelah selama tiga bulan dicelupkan dalam lingkungan amonia). 2. Penurunan berat benda uji (ΔW) tidak signifikan pada periode pencelupan

dalam lingkungan amonia yang lebih lama dengan pengurangan berat rata- rata sebesar 0.0011 setelah satu bulan pencelupan, 0.00127 setelah dua bulan pencelupan dan 0.00133 setelah tiga bulan pencelupan.

3. Terjadi penurunan laju korosi rata-rata dari 2.29x10-7 pada bulan pertama, menjadi 0.932x10-7 pada bulan ketiga. Dengan kata lain stainless steel AISI 430 mampu untuk dijadikan bahan atau material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.

5.2 SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan beberapa saran yang mungkin berguna bagi peneliti selanjutnya:

1. Dalam mempersiapakan benda uji sebaiknya benar-benar dibersihkan secara teliti, dikarenakan benda uji tersebut akan ditimbang dengan alat yang cukup presisi supaya data yang dihasilkan dapat akurat.


(70)

56 2. Pada persisapan alat pendingin absorbsi harus dilakukan secara teliti mengingat tekanan kerja yang sangat tinggi beresiko terjadi kebocoran pada sambungan yang ada.

3. Pada proses pengisian amonia ke dalam alat pendingin absorbsi sebaiknya menggunakan alat pelindung diri seperti kacamata pengaman dan masker, dan dilakukan di tempat terbuka.

4. Pada proses pemanasan amonia di dalam alat pendingin absorbsi sebaiknya dilakukan secara perlahan dengan dipantau menggunakan termometer, hal tersebut untuk menghindari naiknya tekanan amonia yang tidak terkontrol.

5. Keseluruhan alat ukur dalam kondisi baik, seperti kabel termokopel dan display termometer dalam keadaan baik.

6. Pada proses uji tarik, sebaiknya benda uji dipersiapkan terlebih dahulu mengingat permukaan stainless steel AISI 430 cukup licin untuk mampu dicekam pada mesin uji tarik.

7. Bagi peneliti lain yang akan meneliti kekuatan las stainless steel AISI 430 dalam lingkungan amonia, sebaiknya menggunaka cara yang lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan metode penyimpanan benda uji yang telah dikondisikan dalam uap amonia bertekanan menggunakan material stainless steel, mengingat harga material stainless steel yang cukup mahal. 8. Secara keseluruhan supaya mencatat data nyata, supaya hasil penelitian


(71)

57

DAFTAR PUSTAKA

Frick, Heinz, 1994, Mekanika Teknik 1, Yogyakarta : Kanisius Meriam, J.L., 1988, Mekanika Teknik 2, Bandung : Erlangga

Ramos A., Miguel (2003), Evaluation Of A Zeolite-Water Solar Adsorption Refrigerator. ISES Solar World Congress (June, 14-19, 2003), Goteborg, Sweden

Rusdi Sambada, FA., dan I Gusti Ketut Puja, 2009, Usul Penelitian Hibah Bersaing-Alat Pendingin Absorbsi Energi Panas Untuk Penyimpan Obat dan Bahan Makanan Di Daerah Terpencil


(72)

vi

ABSTRAK

Stainless steel banyak dikenal sebagai logam yang mempunyai ketahanan karat yang baik, tetapi bukan suatu kemungkinan kecil bahwa stainless juga dapat terkorosi oleh suatu bahan yang bersifat korosif. Salah satu bahan yang bersifat korosif yang ada di sekitar kita adalah amonia. Dalam salah satu aplikasinya, amonia digunakan sebagai cairan refrigeran pada alat pendingin absorbsi yang keseluruhan materialnya adalah menggunakan stainless stell. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan las dari stainless steel tipe 430 dalam lingkungan amonia.

Alat penelitian yang digunakan adalah pendingin absorbsi yang fungsinya untuk mengkondisikan benda uji dalam lingkungan amonia. Mula-mula benda uji yang telah dipersiapkan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dimasukan ke dalam alat pendingin yaitu pada bagian evaporator. Setelah itu dilakukan pemanasan untuk mendapatkan amonia bertekanan 5 bar. Bagian evaporator dilepas dan disimpan di dalam gentong yang telah diisi air untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah periode tertentu, yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan, masing-masing benda uji dikeluarkan dari evaporator tersebut dan dibersihkan untuk ditimbang guna mengetahui adanya perubahan berat pada benda uji tersebut. Benda uji di uji tarik guna membandingkan nilai uji tarik dari benda uji sebelum dan sesudah pengkondisian. Satu sampel benda uji tersebut juga dilakukan foto mikro, untuk mengetahui pengaruh amonia secara visual.

Dari pengujian tarik yang dilakukan, terjadi penurunan kekuatan tarik las stainless steel AISI 430 dengan metode las GTAW/TIG sebesar 5.61% (dari 331 N/mm2 menjadi 312 N/mm2, setelah selama tiga bulan dicelupkan dalam lingkungan amonia). Penurunan berat benda uji (ΔW) tidak signifikan pada periode pencelupan dalam lingkungan amonia yang lebih lama dengan pengurangan berat rata- rata sebesar 0.0011 setelah satu bulan pencelupan, 0.00127 setelah dua bulan pencelupan dan 0.00133 setelah tiga bulan pencelupan. Terjadi penurunan laju korosi rata-rata dari 2.29x10-7 pada bulan pertama, menjadi 0.932x10-7 pada bulan ketiga. Dengan kata lain stainless steel AISI 430 mampu untuk dijadikan bahan atau material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.


(1)

53 Besarnya nilai regangan seperti pada Tabel 4.11 dan Gambar 4.6 dipengaruhi oleh pertambahan panjang yang didapatkan dari hasil uji tarik. Sebagai contohnya adalah benda uji 411 dengan nilai pertambahan panjang sebesar 0,5 mm. Hal tersebut sangatlah sebanding dengan besarnya kekuatan tarik yang didapatkan yaitu sebesar 347,27 N/mm2. Dari data-data tersebut semakin memperkuat analisa dari penulis bahwa pada penelitian ini, kekuatan las yang didapatkan tidak berpengaruh pada proses korosi, tetapi pada proses pengelasan benda uji, terutama penetrasi pengelasannya seperti pada contoh Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Foto mikro benda uji bulan 1

Gambar 4.7 Foto mikro benda uji bulan 2

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

54

Gambar 4.8 Foto mikro benda uji bulan 3

Di dalam Gambar 4.6 sampai dengan Gambar 4.8 menunjukan HAZ(heat affected zone) yang juga dapat disimak, Bahwa penetrasi proses pengelasan yang tidak sama pada setiap benda uji yang terlihat pada bidang yang ditandai dengan lingkaran.


(3)

55

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Dari semua hasil pengambilan data, perhitungan, dan analisa dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terjadi penurunan kekuatan tarik las stainless steel AISI 430 dengan metode las GTAW/TIG sebesar 5.61% (dari 331 N/mm2 menjadi 312 N/mm2, setelah selama tiga bulan dicelupkan dalam lingkungan amonia). 2. Penurunan berat benda uji (ΔW) tidak signifikan pada periode pencelupan

dalam lingkungan amonia yang lebih lama dengan pengurangan berat rata- rata sebesar 0.0011 setelah satu bulan pencelupan, 0.00127 setelah dua bulan pencelupan dan 0.00133 setelah tiga bulan pencelupan.

3. Terjadi penurunan laju korosi rata-rata dari 2.29x10-7 pada bulan pertama, menjadi 0.932x10-7 pada bulan ketiga. Dengan kata lain stainless steel AISI 430 mampu untuk dijadikan bahan atau material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.

5.2 SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan beberapa saran yang mungkin berguna bagi peneliti selanjutnya:

1. Dalam mempersiapakan benda uji sebaiknya benar-benar dibersihkan secara teliti, dikarenakan benda uji tersebut akan ditimbang dengan alat yang cukup presisi supaya data yang dihasilkan dapat akurat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

56 2. Pada persisapan alat pendingin absorbsi harus dilakukan secara teliti mengingat tekanan kerja yang sangat tinggi beresiko terjadi kebocoran pada sambungan yang ada.

3. Pada proses pengisian amonia ke dalam alat pendingin absorbsi sebaiknya menggunakan alat pelindung diri seperti kacamata pengaman dan masker, dan dilakukan di tempat terbuka.

4. Pada proses pemanasan amonia di dalam alat pendingin absorbsi sebaiknya dilakukan secara perlahan dengan dipantau menggunakan termometer, hal tersebut untuk menghindari naiknya tekanan amonia yang tidak terkontrol.

5. Keseluruhan alat ukur dalam kondisi baik, seperti kabel termokopel dan display termometer dalam keadaan baik.

6. Pada proses uji tarik, sebaiknya benda uji dipersiapkan terlebih dahulu mengingat permukaan stainless steel AISI 430 cukup licin untuk mampu dicekam pada mesin uji tarik.

7. Bagi peneliti lain yang akan meneliti kekuatan las stainless steel AISI 430 dalam lingkungan amonia, sebaiknya menggunaka cara yang lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan metode penyimpanan benda uji yang telah dikondisikan dalam uap amonia bertekanan menggunakan material stainless steel, mengingat harga material stainless steel yang cukup mahal. 8. Secara keseluruhan supaya mencatat data nyata, supaya hasil penelitian


(5)

57

DAFTAR PUSTAKA

Frick, Heinz, 1994, Mekanika Teknik 1, Yogyakarta : Kanisius Meriam, J.L., 1988, Mekanika Teknik 2, Bandung : Erlangga

Ramos A., Miguel (2003), Evaluation Of A Zeolite-Water Solar Adsorption Refrigerator. ISES Solar World Congress (June, 14-19, 2003), Goteborg, Sweden

Rusdi Sambada, FA., dan I Gusti Ketut Puja, 2009, Usul Penelitian Hibah Bersaing-Alat Pendingin Absorbsi Energi Panas Untuk Penyimpan Obat dan Bahan Makanan Di Daerah Terpencil

Zemansky, Sears, 1985, Fisika, Jakarta : Binacipta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

vi

ABSTRAK

Stainless steel banyak dikenal sebagai logam yang mempunyai ketahanan karat yang baik, tetapi bukan suatu kemungkinan kecil bahwa stainless juga dapat terkorosi oleh suatu bahan yang bersifat korosif. Salah satu bahan yang bersifat korosif yang ada di sekitar kita adalah amonia. Dalam salah satu aplikasinya, amonia digunakan sebagai cairan refrigeran pada alat pendingin absorbsi yang keseluruhan materialnya adalah menggunakan stainless stell. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan las dari stainless steel tipe 430 dalam lingkungan amonia.

Alat penelitian yang digunakan adalah pendingin absorbsi yang fungsinya untuk mengkondisikan benda uji dalam lingkungan amonia. Mula-mula benda uji yang telah dipersiapkan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dimasukan ke dalam alat pendingin yaitu pada bagian evaporator. Setelah itu dilakukan pemanasan untuk mendapatkan amonia bertekanan 5 bar. Bagian evaporator dilepas dan disimpan di dalam gentong yang telah diisi air untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah periode tertentu, yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan, masing-masing benda uji dikeluarkan dari evaporator tersebut dan dibersihkan untuk ditimbang guna mengetahui adanya perubahan berat pada benda uji tersebut. Benda uji di uji tarik guna membandingkan nilai uji tarik dari benda uji sebelum dan sesudah pengkondisian. Satu sampel benda uji tersebut juga dilakukan foto mikro, untuk mengetahui pengaruh amonia secara visual.

Dari pengujian tarik yang dilakukan, terjadi penurunan kekuatan tarik las stainless steel AISI 430 dengan metode las GTAW/TIG sebesar 5.61% (dari 331 N/mm2 menjadi 312 N/mm2, setelah selama tiga bulan dicelupkan dalam lingkungan amonia). Penurunan berat benda uji (ΔW) tidak signifikan pada periode pencelupan dalam lingkungan amonia yang lebih lama dengan pengurangan berat rata- rata sebesar 0.0011 setelah satu bulan pencelupan, 0.00127 setelah dua bulan pencelupan dan 0.00133 setelah tiga bulan pencelupan. Terjadi penurunan laju korosi rata-rata dari 2.29x10-7 pada bulan pertama, menjadi 0.932x10-7 pada bulan ketiga. Dengan kata lain stainless steel AISI 430 mampu untuk dijadikan bahan atau material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.