Kajian Pustaka KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Semua aktivitas yang terkait dengan barong di Bali merupakan fenomena budaya yang terkait dengan kompleksitas nilai-nilai kehidupan yang berlaku di masyarakat Bali. Oleh karena itu, hal-hal yang terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini tentu sudah banyak penelitian yang dilakukan oleh para pendahulu. Demikian juga tulisan-tulisan yang menguraikan permasalahan yang terkait dengan penelitian ini sudah banyak dilakukan orang. Adapun pustaka itu, di antaranya adalah sebagai berikut. Soedarsono dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan dan Pariwisata 1999 mengatakan bahwa pada tahun 1920-an Bali mulai dibanjiri oleh orang Eropa dan Amerika yang ingin menyaksikan produk-produk budaya masyarakat yang beragama Hindu ini. Orang-orang Barat itu telah mendengar bahwa orang Bali melibatkan hampir semua bentuk seni dalam ibadah dan adatnya. Artinya, seni tari, musik gamelan, patung, dan sebagainya berjejalan memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Bali sering dianggap sebagai ‘surga seni’, “pulau dewata”, dan sebagainya. Lebih lanjut Soedarsono mengatakan bahwa Walter Spies seorang pelukis dan musisi Jerman menganjurkan kepada beberapa seniman Bali untuk menanggapi hadirnya wisatawan mancanegara yang sangat ingin menyaksikan kekayaan seni pertunjukan Bali, selalu terbentur waktu yang tidak cocok dengan 14 perhitungan mereka. Berkat anjuran ini diciptakanlah sebuah kemasan seni pertunjukan yang di dalamnya terlibat barong dan rangda. Tulisan Soedarsono di atas menguraikan kehadiran wisatawan dari Eropa dan Amerika di Bali sejak tahun 1920-an yang ingin menyaksikan produk-produk budaya masyarakat Bali. Hampir semua bentuk seni dilibatkan dalam ibadah dan adatnya sehingga Bali dijuluki sebagai ‘surga seni’, “pulau dewata”, dan “pulau seribu pura”. Berkat anjuran Walter Spies seorang pelukis Jerman dalam menanggapi hadirnya wisatawan mancanegara yang ingin menyaksikan seni pertunjukan Bali, tetapi terbentur dengan waktu perhitungan mereka. Oleh karena itulah, diciptakan sebuah kemasan seni pertunjukan yang di dalamnya dilibatkan barong dan rangda. Akan tetapi, dalam pembahasan di atas tidak diungkapkan masalah terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini. Ruastiti menulis buku berjudul Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata 2005. Buku itu merupakan ‘bentuk lain’ dari tesisnya pada Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana yang berjudul “Seni Pertunjukan Wisata Bali Sebuah Kemasan Baru” 2001 mengkaji seni pertunjukan dalam konteks pariwisata di Pura Taman Ayun Mengwi. Dalam tulisan itu diangkat persoalan sekitar proses terciptanya, bagaimana bentuknya, apa fungsi dan makna seni pertunjukan tersebut bagi puri dan masyarakat lingkungannya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa seni pertunjukan pariwisata yang ada di Pura Taman Ayun tersebut merupakan sebuah kemasan baru. Dalam paket tontonan wisata ini dipadukan prosesi dengan berbagai komponen seni pertunjukan klasik, tradisi, dan modern. Barong Tektekan Calonarang menjadi salah satu atraksi sebagai penutup 15 pertunjukan. Tektekan dikenal masyarakat sebagai pertunjukan Calonarang dengan demonstrasi kekebalan, yakni pada akhir pertunjukan penari rangda ditusuk beramai-ramai oleh para penari keris. Tulisan Ruastiti di atas menguraikan pertunjukan barong sebagai paket totonan kemasan baru untuk wisatawan di Pura Taman Ayun Mengwi. Pada bagian akhir pertunjukan ditampilkan Barong Tektekan yang dikenal dengan pertunjukan pamer kekebalan. Dalam atraksi dengan lakon Calonarang itu, barong hadir sebagai simbol kebaikan kontradiksi dengan rangda merupakan lambang kebatilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah transformasi tradisi barong ngelawang dengan spesifikasi kajian pada pola transformasi, ideologi, dan pemaknaan masyarakat terhadap tradisi barong ngelawang di kawasan pariwisata Ubud, Gianyar, Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam pembahasan tulisan Ruastiti di atas tidak diungkapkan masalah terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini. Dana menulis buku berjudul Paruman Barong di Pura Pucak Padang Dawa Baturiti Tabanan: Perspektif Kajian Budaya 2011. Buku itu ditulis berdasarkan disertasi yang diajukan pada tahun 2009 pada Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Dalam buku itu dikaji upacara ritual yang mempertemukan barong dan tradisi budaya lokal desa yang berbeda-beda dari berbagai daerah di Bali. Dalam buku itu Dana menyampaikan bahwa paruman barong merupakan integrasi dua ideologi dasar, yaitu pemujaan dan pertunjukan. Integrasi kedua ideologi tersebut menjadikan peristiwa ini sebagai ritual seni dan seni ritual. Ritual seni, yaitu sebuah upacara ritual yang sarat akan nuansa seni, 16 sedangkan seni ritual adalah sebuah atraksi seni yang bernuansa ritual keagamaan. Hal ini mengukuhkan bahwa di Bali, agama dan seni merupakan dua unsur budaya yang saling terkait dan saling mendukung. Prosesi ritual paruman barong ini diwarnai oleh dua gerakan spiritual, yakni sentrifugal dan sentripetal. Paruman barong yang memiliki makna religius magis, sosial, politik, estetik, dan ekonomis pada intinya merupakan prosesi ruwatan atau penyucian jagat dengan menggunakan barong dan rangda sebagai media utama. Adapun tujuan upacara ini adalah untuk kesejahteraan dan kedamaian hidup semua umat manusia. Dalam tulisan Dana tersebut di atas, diuraikan paruman barong di pura Pucak Padang Dawa, Baturiti, Tabanan merupakan integrasi ideologi, yaitu pemujaan dan pertunjukan. Hal ini mengukuhkan bahwa di Bali, agama dan seni merupakan dua unsur budaya yang saling terkait dan saling mendukung. Selain itu, paruman barong yang memiliki makna religius magis, sosial, politik, estetik, dan ekonomis pada intinya merupakan prosesi ruwatan jagat dengan menggunakan barong sebagai media utama. Dalam penelitian ini, permasalahan yang dibicarakan adalah transformasi tradisi barong ngelawang di kawasan pariwisata Ubud, Gianyar, Bali. Dengan demikian, pembahasan tulisan Dana di atas tidak mengungkapkan masalah terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini. Tulisan Sulistyawati berjudul “Berbagai Kisah Lahirnya Barong Landung di Bali, Fungsi dan Makna Simbolisnya”. Tulisan itu terdapat dalam buku Integritas Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali dan Indonesia Sebuah Bunga Rampai 2011. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Barong Landung 17 merupakan salah satu jenis seni sakral di Bali, yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yadnya dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sakral yang sangat disucikan dan dikeramatkan oleh masyarakat Bali ini bertujuan untuk terciptanya dan tetap terjaganya keharmonisan alam semesta. Pada awal tulisannya Sulistyawati menguraikan asal usul istilah barong, jenis- jenis barong di Bali, dan fungsi Barong Landung. Selanjutnya dijelaskan berbagai kisah lahirnya Barong Landung di Bali. Ada tujuh versi dan semuanya mengarah pada satu artifak yang sama. Pada bagian akhir tulisan disampaikan makna simbolik Barong Landung. Inti bahasan dalam tulisan ini adalah fungsi Barong Landung sebagai seni pertunjukan untuk penolak bala dan sebagai media pendidikan yang terkandung dalam makna-makna bentuk barong ini. Bila direinterpretasikan, makna memiliki nilai-nilai budaya ‘adiluhung’ bagi penguatan keyakinan dan tradisi Hindu di Bali. Makna-makna penting lainnya adalah seperti yang tercermin dari penampilan fisik pada karakter Jero Gede dan Jero Luh. Tulisan Sulistyawati di atas menguraikan berbagai kisah lahirnya Barong Landung di Bali, fungsi dan makna simbolisnya. Inti bahasan dalam tulisan ini adalah fungsi Barong Landung sebagai seni pertunjukan untuk penolak bala dan sebagai media pendidikan yang terkandung dalam makna-makna bentuk barong ini. Bila direinterpretasikan, makna memiliki nilai-nilai budaya ‘adiluhung’ bagi penguatan keyakinan dan tradisi Hindu di Bali. Dalam penelitian ini permasalahan yang dibicarakan adalah transformasi tradisi barong ngelawang di kawasan pariwisata Ubud, Gianyar, Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 18 pembahasan tulisan Sulistyawati di atas tidak mengungkapkan masalah terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini. Subrata dengan judul disertasi “Komodifikasi Seni Pertunjukan Barong di Banjar Denjalan Batur, Desa Batubulan, Gianyar” 2012 mengkaji rangkaian proses kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas barong sehingga menjadi pertunjukan yang dipasarkan untuk wisatawan. Dalam disertasi tersebut Subrata menjelaskan bahwa penyebab terjadinya komodifikasi seni pertunjukan barong itu adalah dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah globalisasi dan pariwisata yang masuk ke Bali memerlukan fasilitas prasarana dan sarana pendukung agar wisatawan betah tinggal dan bercerita tentang keunikan Bali. Di pihak lain, faktor internal berupa ideologi pasar di balik komodifikasi seni pertunjukan barong dari babali menjadi balih-balihan. Di samping itu, peluang dalam bidang pariwisata sangat menjanjikan apalagi didukung dengan potensi yang ada sehingga menambah semangat untuk berkreativitas. Bentuk komodifikasi dengan mengemas hal yang sakral menjadi profan dapat memberikan kontribusi bagi kelompok barong yang menjadi pendukungnya, baik kesejahteraan batiniah maupun material. Komodifikasi tersebut dapat memberikan dampak terhadap ekonomi dan pelestarian budaya di samping memiliki makna kesejahteraan, makna simbolik agama dan politik pencitraan, serta makna solidaritas. Tulisan Subrata di atas menguraikan penyebab terjadinya komodifikasi seni pertunjukan barong, bentuk komodifikasi, kontribusi, dan dampak seni pertunjukan barong di Banjar Denjalan Batur, Desa Batubulan, Gianyar. 19 Permasalahan dalam penelitian ini adalah transformasi tradisi barong ngelawang di kawasan pariwisata Ubud, Gianyar, Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tulisan Subrata seperti yang telah diuraikan di atas berbeda dengan objek kajian dalam penelitian ini.

2.2 Konsep