STRATEGI KOMUNIKASI KONSELOR DALAM MENANGANI PASIEN YANG MENGIDAP HIV/AIDS

(1)

ABSTRAK

STRATEGI KOMUNIKASI KONSELOR DALAM MENANGANI PASIEN YANG MENGIDAP HIV/AIDS

(Studi Pada Pokja AIDS Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso)

Oleh

ANANDA PAULINA LASLANI

Pada masa sekarang ini, tingkat kepahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS masih sangat rendah. Hal ini disebabkan kurangnya informasi dan minimnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai banyaknya faktor resiko yang bisa menyebabkan seseorang terinfeksi HIV/AIDS. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS dengan cara diadakan pelayanan konseling terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) agar mereka tidak menularkan penyakitnya terhadap orang lain. Seorang konselor hendaknya mempunyai strategi komunikasi yang baik dalam menghadapi segala permasalahan dalam menangani ODHA dan berupaya mencapai kualitas komunikasi yang baik dengan pasien agar terciptanya hubungan yang lebih psikologis antara konselor dan pasien sehingga pasien mau membuka statusnya dan konselor mendapatkan kepercayaan dari pasien.

Untuk mencapai tujuan tersebut konselor harus berkomunikasi secara langsung dan mengajak klien mengenali perasaannya dan mengungkapkannya, menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindak lanjut yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi dan melalui konseling pasien akan dibimbing untuk membuat keputusan sendiri untuk mengubah perilaku yang baru dan mempertahankannya Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan strategi komunikasi dan hambatan-hambatan apa saja yang ditemui oleh konselor dalam menghadapi pasien yang mengidap HIV/AIDS sebagai bagian dalam upaya penanggulangan pandemi HIV/AIDS dan mengurangi meningkatnya perilaku yang beresiko terinfeksi HIV di masyarakat.


(2)

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, dimana informan dalam penelitian ini adalah konselor terlatih dari tenaga kesehatan (medis) dan beberapa kliennya, dalam hal ini ODHA. Strategi komunikasi yang digunakan konselor biasa disebut dengan mikro konseling. Sedangkan untuk lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso (RSPI Sulianti Saroso).

Dari penelitian ditemukan bahwa strategi komunikasi konselor adalah teknik mikro konseling yang diterapkan di dalam rangkaian kegiatan komunikasi dari awal pre tes hingga pasca tes pada kegiatan konselor untuk memperoleh kepercayaan klien, membuat klien patuh, media yang digunakan, serta dukungan dan perawatan; Masalah dan hambatan yang ditemui berasal dari kedua belah pihak baik dari pasien maupun dari konselor pada saat pre tes maupun pasca tes; sedangkan untuk solusi dan penanganan masalah dari informan (konselor) masih seragam yaitu penerapan teknik mikro konseling dan pendekatan persuasif yang mendalam; akan lebih baik bila konselor berani keluar dari buku panduan dan berinovasi dalam menangani klien dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan.


(3)

ABSTRACT

THE COMMUNICATION STRATEGY OF COUNSELOR IN TREATING PATIENTS WITH HIV/AIDS

(Studies in Pokja AIDS RSPI Sulianti Saroso)

By

ANANDA PAULINA LASLANI

At present, the level of understanding from a society about HIV/AIDS is still very low. This is due to lack of information and low level of public awareness about the risky factors that could cause a person infected with HIV/AIDS. One of the efforts to prevent the spread of HIV/AIDS is by doing counseling services to the people living with HIV/AIDS so that they do not transmit the disease to others. A counselor should have a good communication strategy in facing all the problems dealing with people living with HIV/AIDS and trying to achieve good quality of communication with the patients in order to create a more psychological relationship between counselor and patients so that the patients would like to open their HIV status and the counselor can earn trust from patients.

To achieve these objectives the counselor should communicate directly and persuade clients to identify their feelings and express it, exploring options and help clients to follow-up their plans related to the problems they are facing, and through counseling, patients will be guided to make their own decisions to change into the new behaviors and maintain it.

This research is needed to understand and to describe the communication strategies and the obstacles which is encountered by any counselor in dealing with patients with HIV/AIDS as part of the efforts to prevent the pandemic of HIV/AIDS and reduce the increasing number of risky behaviors of HIV infection in the society.


(4)

The research used descriptive research method with a qualitative approach, where the informants in this research were the trained counselors from medical workers and several of their clients, in this case, people living with HIV/AIDS. The strategy of communication that was used by the counselors usually called micro-counseling, while the location of the research conducted at the Infectious Disease Hospital Sulianti Saroso (RSPI Sulianti Saroso).

From the research were found that counselor communication strategy is micro-counseling techniques that applied in a series of communication activities from the beginning of pre test to post-test in counselors activities to earn the trust of clients, making client obedient to the counseling, the media that were used, as well as supports and treatments; Problems and obstacles that encountered came from both sides either from the patients or from the counselor during the pre test and post-test; while for the solutions and the way in handling the problems by the informants (counselors) almost the same one another, which were the application of micro-counseling techniques and deeply persuasive approach; it would be better if the counselors dare to come out of the handbooks and make innovations in dealing with clients while keep on maintaining the quality services.


(5)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan hal mendasar dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan. Manusia yang merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dan dengan berkomunikasilah seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain. Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita. Hal ini sesuai juga dengan definisi komunikasi menurut Everett M.Rogers yang mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk merubah perilaku mereka.

Salah satu proses komunikasi yang paling sering terjadi adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan secara tatap muka sehingga memungkinkan komunikator dan komunikan menangkap reaksi (feedback) secara langsung. Komunikasi antarpribadi sangat berpotensi untuk mempengruhi atau membujuk


(6)

2

orang lain karena kita dapat menggunakan kelima alat indera untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada seseorang dan mengembangkan seseorang untuk saling mengetahui satu sama lain dengan lebih baik. Oleh karena itu komunikasi antarpribadi yang paling lengkap dan paling sempurna merupakan tingkatan yang paling berperan penting dalam komunikasi manusia.

Bentuk komunikasi antar pribadi banyak digunakan didunia pendidikan, perusahaan, ataupun kesehatan. Termasuk didalamnya adalah konseling yang biasanya dilakukan oleh dokter kepada pasiennya. Konseling merupakan usaha dari pihak konselor yaitu orang yang membantu untuk menjernihkan masalah orang yang menerima bantuan (konseli) dengan mendampinginya dalam melihat masalah, memutuskan masalah, menemukan cara-cara pemecahan yang tepat dan menemukan cara yang paling tepat untuk pelaksanaan keputusan itu (M. Hardjana, 2003:117)

Konseling merupakan salah satu upaya yang diambil Departemen Kesehatan dalam menaggulangi pandemi HIV/AIDS dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya HIV/ AIDS serta memberikan informasi mengenai prilaku-prilaku beresiko terinfeksi HIV/AIDS (Depkes RI, 2008).

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu kondisi atau tahap lanjutan dari infeksi yang disebabkan virus HIV dan hingga saat ini belum dapat disembuhkan, tetapi bisa dicegah penularannya. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS dengan cara diadakannya pelayanan


(7)

konseling terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) agar mereka tidak menularkan penyakitnya terhadap orang lain.

Konseling sangat berguna bagi ODHA karena tidak semua ODHA sadar bahwa mereka telah mengidap HIV/AIDS. Konseling memberikan keuntungan baik bagi mereka yang positif maupun bagi mereka yang negatif mengidap penyakit AIDS karena konseling dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan mereka tentang faktor-faktor risiko terkena infeksi HIV, mengembangkan perubahan perilaku, secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ARV) yaitu obat penekan virus bagi ODHA, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.

Konseling psikologis dan sosial diperlukan oleh seseorang yang mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV untuk meningkatkan semangatnya agar tidak putus asa dan tetap optimis menjalani kehidupan, serta membantunya untuk mengatasi perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap ODHA. Dengan mendapatkan konseling psikososial ini, diharapkan ODHA senantiasa berfikiran positif untuk menjaga kesehatan dirinya dan tidak menularkan HIV dari dirinya ke orang lain. Untuk mencapai tujuan tersebut konselor harus berkomunikasi secara langsung dan mengajak klien mengenali perasaannya dan mengungkapkannya, menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindak lanjut yang berkaitan dengan isu yang dihadapi, mendorong perubahan perilaku, memberikan informasi pencegahan, terapi dan perawatan HIV/AIDS terkini, memberikan informasi tentang institusi (pemerintah dan non pemerintah) yang dapat membantu dibidang


(8)

4

sosial, ekonomi dan budaya, membantu orang untuk kontak dengan institusi tersebut, membantu klien mendapatkan dukungan dari sistem jejaring sosial, kawan dan keluarga, membantu klien melakukan penyesuaian dengan rasa duka dan kehilangan, melakukan peran advokasi misal membantu melawan diskriminasi, membantu individu mewaspadai hak hukumnya, membantu klien memelihara diri sepanjang hidupnya, membantu klien menentukan arti hidupnya

Seorang konselor hendaknya mempunyai strategi komunikasi yang baik dalam menghadapi segala permasalahan dalam menangani ODHA dan berupaya mencapai kualitas komunikasi yang baik dengan pasien agar terciptanya hubungan yang lebih psikologis anatara konselor dan pasien sehingga pasien mau membuka statusnya dan konselor mendapatkan kepercayaan dari pasien. Strategi komunikasi digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pasien sehingga nantinya klien akan dibimbing untuk membuat keputusan sendiri untuk mengubah perilaku yang baru dan mempertahankannya.

Strategi komunikasi diperlukan karena, baik secara makro (planned multi-media strategy) maupun secara mikro (single communication medium strategy) mempunyai fungsi ganda:

 Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal.

 Menjembatani „cultural gap‟ akibat kemudahan diperolehnya dan


(9)

jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya (Onong Uchjana Effendy, 2003:300)

Dari penjelasan di atas dapat simpulkan bahwa dalam penanggulangan pandemi HIV/AIDS dibutuhkan pelayanan konseling dengan konselor yang handal, tangguh dan juga berani menghadapi resiko yang besar berhadapan dengan ODHA secara langsung disertai dengan strategi komunikasi sebagai suatu cara atau rencana dasar yang mecakup keseluruhan rangkaian tindakan maupun intervensi yang akan dilaksanakan oleh seorang konselor.

Oleh karena itu dilaksanakan penelitian ini, dimana informan dalam penelitian ini adalah konselor terlatih dari tenaga kesehatan (medis) dan beberapa kliennya, dalam hal ini ODHA. Sedangkan untuk lokasi penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso (RSPI. Sulianti Saroso) sebagai salah satu rumah sakit rujukan nasional dalam menangani penyakit menular dan penyakit infeksi yang salah satunya adalah HIV/AIDS. Dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan strategi komunikasi dan hambatan-hambatan apa saja yang ditemui oleh Konselor dalam menghadapi pasien yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) sebagai bagian dalam upaya penanggulangan pandemi HIV/AIDS dan mengurangi meningkatnya prilaku yang beresiko terinfeksi HIV dimasyarakat.


(10)

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

”Apa sajakah strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor dalam menangani Pasien yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) beserta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melaksanakan strategi tersebut dan bagaimana mengatasinya?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui dan mendeskripsikan strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor Pokja HIV/AIDS di RSPI Sulianti Saroso dalam menangani Pasien yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) dan hambatan-hambatan apa saja yang ditemui beserta cara yang dilakukan dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kajian Ilmu Komunikasi mengenai strategi komunikasi konselor dalam menangani pasien yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) dan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan konseling.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran penulis bagi para konselor yang menangani HIV/AIDS agar dapat meningkatkan komunikasi dan kualitas pelayanannya kepada masyarakat.


(11)

3. Penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi referensi dan informasi mengenai HIV/AIDS dan sumber motivasi bagi pengidap HIV/AIDS agar rutin memeriksakan keadaannya, berkonsultasi, mendapatkan dukungan dan mengikuti sesi konselingnya demi kelanjutan hidupnya.


(12)

85

4.5.3 Konseling dan Tes Secara Sukarela

Didalam konseling dan tes secara sukarela (KTS) atau yang juga dikenal dengan Voluntary counseling and testing (VCT), konseling dilakukan pada saat sebelum tes (pre test) dan sesudah tes (pasca test). Sedangkan pada konseling setelah tes yang dilakukan konselor baik itu kegiatan mau pun tindakan dan cara dalam menghadapi klien berbeda, begitu juga dengan hambatan yang ditemui konselor tersebut. Perbedaan tersebut dikarenakan pada pasca tes, hasil tes negatif atau positif mempunyai pengaruh dan respon yang berbeda terhadap klien sehingga konselor juga harus mempunyai penangan yang berbeda pula. Berikut adalah strategi dan penanganan konselor didalam pelaksanaan konseling dan tes sukarela pada saat pre tes dan pasca tes yang penulis dapat.

Pelaksanaan Konseling Pre Test

Proses konseling pre tes dimulai dengan membina hubungan saling percaya antara konselor dan klien. Secara garis besar teknik dan cara yang dilakukan oleh konselor adalah

1) membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien. Pada tahap ini konselor mengidentifikasi dan mengkarifikasi perannya serta menekankan pada klien bahwa konfidensialitas dan kerahasiaan klien akan tetap terjaga;

2) indentifikasi latar belakang dan alasan untuk melakukan tes termasuk perilaku berisiko klien dan riwayat medis klien yang dulu dan sekarang;

3) mengidentifikasi pemahaman klien tentang HIV/AIDS dan tes HIV;

4) menyediakan informasi tentang hubungan sex yang aman dan pola hidup sehat (safe sex practices dan healthy lifestyle practices);


(13)

5) memastikan apakah klien bersedia untuk melakukan tes HIV.

Dalam proses konseling pra tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien untuk pemeriksaan HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan relasi, perilaku seksual, suntikan berisiko dan membantu klien melindungi diri dari infeksi. Konseling dimaksud juga untuk meluruskan pemahaman yang salah tentang AIDS.

Konseling pra tes dilakukan sebelum klien melakukan tes HIV. Konseling pre tes dilakukan untuk meninjau ulang risiko klien terinfeksi HIV, menjelaskan dan mengklarifikasi tujuan dari tes HIV, memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi risiko tertular HIV, membantu klien memikirkan dan menginformasikan reaksi yang mungkin timbul akibat hasil tes, membantu klien memahami dan memutuskan mengapa tes diperlukan. Konseling pre tes sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil tes HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling pre tes juga mencakup pertimbangan tentang kemampuan seseorang menghadapi hasil tes dan perubahan yang diperlukan sebagai konsekuensinya. Selain itu konseling juga sebaiknya memberikan dukungan dan dorongan kepada klien tentang rencana dan tujuannya untuk tes.

Pelaksanaan konseling pasca tes

Pelaksanaan konseling pasca tes dilakukan setelah klien mendapatkan hasil pemeriksaan tes HIV. Sebelum melakukan konseling pasca tes, konselor


(14)

87

menanyakan kesiapan klien untuk menerima hasil tes dan menangkap perubahan sikap klien, bahasa tubuh, ekpsresi wajah dan keadaan psikologis klien.

Untuk hasil tes yang positif, maka konselor menjelaskan makna hasil tes positif dan konselor menanyakan kepada klien siapa yang boleh tahu tentang hasil tes. Konseling yang diberikan kepada klien yang positif antara lain memberikan dukungan, perubahan perilaku berisiko, kewajiban moral untuk tidak menularkan, dan kesiapan klien untuk membuka statusnya. Disamping itu juga konselor memberikan informasi tentang lembaga-lembaga dan kelompok dukungan yang dapat diakses oleh klien sebagai support group. Selain itu juga klien langsung dikonsultasikan kepada dokter untuk penanganan medis.

Untuk hasil tes yang negatif, konselor memberikan penjelasan tentang makna hasil tersebut. Konseling yang diberikan antara lain konseling untuk perubahan perilaku. Biasanya klien yang hasil tes negatif disarankan untuk melakukan tes ulang setelah 6 bulan dari hasil tesnya yang pertama.

Dalam membantu klien untuk mengerti dan menerima hasil tes konselor membutuhkan strategi sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Hj Sukmawati: ”Kunci utama dalam menyampaikan hasil tes adalah sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka karena seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau lainnya secara verbal dan non verbal selagi berada diruang tunggu, berhati-hati dalam menyampaikan hasil.” (wawancara tanggal 29 April 2010)

Ketika hasil tes positif maka strategi yang dilakukan konselor adalah: 1) harus memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin dan dapat mengatasi reaksi awal yang muncul; 2) memberi cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes tersebut; 3) memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti


(15)

dan memberikan dukungan emosional; 4) merujuk klien ke lembaga dan kelompok dukungan; 5) mendiskusikan siapa yang mungkin ingin diberi tahu tentang hasil tes itu, risiko terhadap pasangan seks dan bagaimana cara memberitahu pasangan mereka; 6) menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya; 7) memberitahu klien kemana mencari perawatan dan pengobatan jika dibutuhkan; 8) mendiskusikan pencegahan penularan HIV termasuk memberikan informasi tentang kondom dan hubungan seks yang lebih aman. Untuk hasil negatif tugas konselor adalah: 1) menjelaskan makna hasil tersebut termasuk masa jendela; 2) pencegahan infeksi dimasa datang; 3) informasikan tentang hubungan seks yang lebih aman termasuk informasi tentang kondom dan seks aman; 4) pedoman penurunan risiko penularan; 5) anjurkan untuk mempertimbangkan kembali melakukan tes ulang setelah 3-6 bulan.

Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik maka dapat terbina hubungan baik antara konselor dan klien. Dengan dasar ini maka akan lebih mudah untuk terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah klien

4.5.4 Tahapan Didalam Konseling

Pada tiap sesi konseling pastilah mempunyai tahapan-tahapan yang terjadi didalam proses komunikasi antara konselor dan perawat (tahapan interaksi) yang bertujuan terapi bagi klien, begitu juga yang penulis dapatkan dari observasi dan wawancara dengan konselor informan pada Pokja AIDS RSPI-SS. Berikut adalah


(16)

89

tahapan pada proses komunikasinya berikut strategi yang dilakukan konselor di tiap tahapan tersebut:

1. Tahap awal atau tahap pengenalan pada tahap ini konselor dan klien pertama kali bertemu. Pada tahap ini penampilan fisik dan kualitas-kualitas lain pada konselor seperti sifat bersahabat kehangatan, keterbukaan profesionalisme dan dinamisme begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati. Strategi konselor pada tahap ini biasanya ialah pengenalan, membina rasa saling percaya dengan menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan, mengidentifikasi masalah dan mengukur tingkat kecemasan diri pasien.

2. Tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh, di tahap ini konselor perlu meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasi dengan klien dan mengurangi ketergantungan klien pada perawat, dan mempertahankan tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.

Strategi konselor pada tahap ini adalah mengeksplorasi, Konselor berusaha mengetahui secara mendalam tentang perasaan klien dan situasi klien dan menciptakan suasana komunikasi yang nyaman bagi klien dengan cara:

Berhadapan dengan lawan bicara, dengan posisi ini perawat menyatakan kesiapannya. Sikap tubuh terbuka; kaki dan tangan terbuka (tidak bersilangan), sikap tubuh yang terbuka menunjukkan bahwa perawat bersedia untuk


(17)

mendukung terciptanya komunikasi, menunduk atau memposisikan tubuh kearah lebih dekat dengan lawan bicara, hal ini menunjukkan bahwa perawat bersiap untuk merespon dalam komunikasi (berbicara-mendengar). Mempertahankan kontak mata, sejajar, dan natural, dengan posisi mata sejajar perawat menunjukkan kesediaannya untuk mempertahankan komunikasi. Bersikap tenang, tidak terburu-buru saat berbicara dan menggunakan gerakan atau bahasa tubuh yang alami. Memberitahukan dan menyamakan pemahaman kepada klien tentang apa yang dirasakan dan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Menggunakan pertanyaan terbuka, misalnya “Bagaimana Ibu tahu kalau Ibu mengidap HIV?

Tahap ini merupakan tahap yang panjang karena didalamnya konselor dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Disini konselor juga mendengarkan secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien, mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya.

Dibagian akhir tahap ini, konselor diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien dengan cara memadukan dan menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu keduanya memiliki pikiran dan ide yang sama. Dengan dilakukannya penarikan kesimpulan ini maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan pesan atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-benar dipahami oleh konselor.


(18)

91

3. Tahap akhir konseling atau terminasi. Pada konseling HIV/AIDS yang merupakan proses panjang dari perawatan klien yang paling banyak terjadi merupakan terminasi sementara yaitu akhir dari tiap pertemuan konselor dan klien, setelah hal ini dilakukan konselor dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda.

Pada tahap ini strategi konselor adalah membuat kesimpulan mengenai perawatan yang didapat, mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan dan menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut tersebut berkaitan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap orientasi pada pertemuan berikutnya.

4.5.5 Strategi Komunikasi Konselor

Keterampilan komunikasi pada keperawatan penyakit HIV/AIDS yang digunakan konselor biasa disebut dengan mikro konseling. Keterampilan mikro konseling merupakan komponen komunikasi yang efektif bertujuan untuk mengembangkan hubungan yang supportif antara klien dan konselor. Keterampilan mikro konseling tersebut adalah menciptakan suasana yang hening dan nyaman, mengajukan pertanyaan, merespon didalam percakapan, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan perilaku non verbal.

1. Menciptakan suasana hening dan nyaman

Untuk menciptakan suasana hening dan nyaman konselor bisa melakukannya dengan cara antara lain memberi waktu pada klien untuk berpikir apa yg akan


(19)

dikatakan, memberi kesempatan pada klien untuk merasakan perasaannya, memberi kesempatan pada klien berbicara sesuai iramanya, memberi waktu pada klien untuk mengatasi keraguannya (ingin mengatakan atau tidak), dan memberi kebebasan pada klien untuk memilih melanjutkan atau menghenti proses konseling. Selain itu keramah tamahan seperti salam, sapa, senyum, keterbukaan dan penerimaan konselor terhadap klien saat bertemu bisa membuat suasana lebih nyaman pada saat konseling.

2. Mengajukan Pertanyaan

Mengajukan pertanyaan adalah bagian penting dalam konseling. Hal ini dapat membantu konselor mengerti situasi klien dan menilai kondisi klinis terkait. Ada tiga macam jenis pertanyaan yang biasa digunakan konselor yaitu:

1) Pertanyaan tertutup

Dengan Pertanyaan tertutup klien hanya bisa memberi respon dengan satu kata, klien tidak mendapat kesempatan berpikiran mengenai apa yg mereka katakan, jadi jawabannya singkat misalnya:

a) “Apakah anda melakukan seks yg aman?” b) “Apakah anda menggunakan kondom?”

2) Pertanyaan terbuka

Pertanyaan terbuka memungkinkan konselor mendapatkan jawaban lebih dari satu kata. Pertanyaan terbuka biasanya dimulai dengan: “Apa”,

“Dimana”, “Bagaimana” atau “kapan” yang mengundang klien untuk

melanjutkan pembicaraan dan memutuskan apa tujuan mereka ingin berbicara, misalnya:


(20)

93

a) “Kesulitan apa yang anda alami saat melakukan seks yang aman?” b) “Bagaimana reaksi anda jika menerima hasil tes HIV positif?” 3) Pertanyaan mengarah

Pertanyaan mengarah merupakan pertanyaan konselor yang menuntun klien untuk memberi jawaban apa yang mereka inginkan. pertanyaan ini biasanya bersifat menghakimi, misalnya:

a) “Anda melakukan seks aman ? Bukan ?”

b) “Anda setuju bahwa anda selalu menggunakan kondom ?” 3. Merespon Didalam Percakapan

Teknik merespon bisa dilakukan dengan cara mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri sehingga klien mengetahui bahwa pesannya dimengerti, selain itu apabila terjadi kesalah pahaman konselor biasanya melakukan klarifikasi sebagai responnya dengan menyamakan persepsi dan pengertian diantara keduanya sehingga pesan dapat sampai dengan benar karena pesan dan informasi sangatlah penting dalam memberikan pelayanan konseling 4. Mendengarkan dengan penuh perhatian

Mendengarkan dengan penuh perhatian bisa dilakukan dengan kontak mata (sesuai budaya dan norma), memberikan perhatian (misal: mengangguk), satu dua kata penerimaan lanjut (misal “Mm-hmm”, “Ya”.), kurangi hal yg menarik perhatian (misal TV, telepon, bising), tidak melakukan hal lain selain konseling, mengenali perasaan klien, misalnya mengatakan „nampaknya anda sedih, tidak menginterupsi jika tidak perlu, bertanyalah jika konselor tak mengerti, tidak mengambil alih pembicaraan menceritakan diri sendiri atau terlalu mendominasi


(21)

pembicaraan, mengulangi dengan kata sendiri apa yang telah disampaikan klien, agar klien tahu kita telah memahaminya

Empati disampaikan dengan menggunakan kemampuan mendengar dan dengan mengulangi apa yang dikatakan klien dengan kata kita sendiri (parafrasi, refleksikan perasaan, klarifikasi, menyimpulkan), dengan begitu klien bisa mengetahui bahwa kita mengerti keadaannya dan memahami permasalahannya. 5. Perilaku non verbal

Perilaku non verbal merupakan komunikasi yang bersifat tidak lisan yang juga harus diperhatikan seperti bahasa tubuh, gestur, gerakan tangan, ekspresi wajah, orientasi tubuh, jarak tubuh, posisi duduk, kontak mata dan paralinguistik seperti hembusan nafas, bersungut-sungut, berkeluh kesah, perubahan tinggi nada, perubahan keras suara, kelancaran suara, senyum yg dipaksakan dan lain-lain. Bahasa tubuh, gestur, ekspresi wajah, posisi duduk, dan lain-lain tersebut dapat mengisyaratkan kepada klien bahwa konselor menunjukkan penerimaannya. Seringkali konselor hanya dengan menawarkan kehadirannya dan menunjukkan rasa tertariknya dengan bahasa tubuh sudah bisa menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri klien untuk menyampaikan masalahnya tanpa perlu dipaksa, karena beberapa klien mungkin belum siap berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu membuat dirinya dimengerti.

4.6 Hasil Observasi Penelitian

Selama melakukan penelitian di Pokja AIDS RSPI Sulianti Saroso, penulis mendapat kendala untuk bisa mendokumentasikan konselor pada saat sesi


(22)

95

konseling dengan klien karena banyak dari klien tidak ingin diambil fotonya. Penulis juga sempat melakukan pendekatan dengan beberapa klien Pokja AIDS dan kendala yang ditemui pun masih sama yaitu rasa takut, kekhawatiran dan kehati-hatian klien tersebut, penulis memaklumi karena penelitian penulis masih berkaitan dengan hal-hal sensitif baginya. Namun saat bertemu dengan klien yang juga merupakan anggota kelompok dukungan sebaya yang disebut NPOS3 (North Positive Hope from Sulianti Saroso Society) yang ada di RSPI-SS, penulis merasa sudah adanya keterbukaan dari klien tersebut kepada orang luar walaupun masih sedikit berhati-hati. Klien tersebut menceritakan kepada penulis bahwa sebelumnya mereka sudah beberapa kali menjadi koresponden maupun informan dalam penelitian-penelitian skripsi atau tugas kampus yang lain. Dalam pendekatan kepada klien yang berada disana penulis sempat bertanya-tanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyakit yang klien tersebut derita dan hal-hal lain yang menyangkut konselor maupun kegiatan-kegiatan yang ada di Pokja yang melibatkan mereka.

Kebanyakan dari anggota NPOS3 yang saya tanyakan mengenai hasil positif yang mereka peroleh dari konseling yang mereka ikuti selama ini adalah pemberdayaan positif, cara pandang mereka terhadap diri mereka dan rekan-rekan mereka yang mengidap penyakit yang sama, bagaimana konseling yang selama ini mereka ikuti membuat mereka kembali mempunyai harapan dan keinginan untuk maju. Dari yang penulis dapatkan berdasarkan observasi di lapangan, hubungan antara konselor dengan klien juga cukup akrab. Pada saat hari-hari yang sepi klien untuk berobat atau konseling, konselor sering kali berbaur bersama beberapa orang klien yang terkadang hanya sekedar berkunjung kesana dengan tujuan berkumpul


(23)

dengan teman-teman NPOS3 yang lain, bahkan tak jarang konselor menghabiskan waktu istirahat siangnya untuk makan siang bersama kliennya tersebut.

Dari wawancara yang penulis lakukan berkaitan dengan hal diatas, jawaban baik dari konselor maupun klien sama, yaitu membenarkan bahwa Pokja AIDS RSPI-SS dianggap sebagai rumah kedua bagi anggota NPOS3 atau bisa juga disebut tempat berkumpul mereka untuk berbagi cerita dan lain-lain, karena dari awal memang dibentuk sebagai wadah bagi para klien Pokja AIDS. Walaupun demikian, kegiatan tersebut tidak lantas membuat suasana di Pokja AIDS tidak kondusif karena tata ruang disana yang terbagi atas beberapa ruangan dengan ruangan konseling individu terpisah sendiri dan sangat privasi.

Pokja AIDS juga sering kali mengikutsertakan kliennya atau setidaknya perwakilan dari NPOS3 didalam kegiatan-kegiatan umum seperti seminar atau talk show yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Mereka juga sering kali membantu konselor jika ada klien baru yang positif terjangkit HIV/AIDS dalam meyakinkan atau menerangkan pentingnya VCT, manfaat apa saja yang telah mereka dapat selama ini dan lain-lain apabila dibutuhkan.

Maka, dari hasil observasi yang dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa konselor pokja AIDS di RSPI Sulianti Saroso juga melakukan strateginya dalam memapankan hubungan yang sudah terjalin dengan kliennya dengan cara kontak personal yang lebih mendalam dan persuasif dan menciptakan suasana nyaman dan bersifat kekeluargaan di luar sesi konseling.


(24)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan kelima konselor informan Pokja HIV RSPI-SS, maka kesimpulan dari strategi komunikasi yang digunakan, hambatan yang ditemui dan solusinya adalah sebagai berikut :

1. Strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor adalah strategi komunikasi yang disebut mikro konseling yaitu keterampilan membuat suasana hening dan nyaman, teknik mengajukan pertanyaan, merespon didalam percakapan, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati dan keterampilan komunikasi non verbal yang diterapkan oleh konselor didalam menangani klien pada saat konseling dan tes sukrela. Tindakan yang diambil konselor dalam menangani klien dibagi menjadi 4 yaitu strategi memperoleh kepercayaan klien, membuat klien patuh, media sebagai alat bantu yang digunakan, serta dukungan dan perawatan (care, support and treatment) namun secara garis besar kegiatan komunikasi yang dilakukan konselor dari awal pre tes hingga pasca tes adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan seputar HIV/AIDS, menggali pengetahuan pasiennya mengenai HIV/AIDS (kognitif), menggali perasaan pasien atau kliennya mengenai hasil tes


(25)

yang diperoleh (afektif), membangun motivasi dengan teknik persuasif dan memberikan sugesti positif agar timbul keyakinan dalam diri pasien mengubah perilaku ke arah yang lebih baik dan mempertahankannya (konatif). Keterampilan berkomunikasi tersebut dikombinasikan sedemikian rupa oleh konselor didalam konseling dan tes secara sukarela sehingga menjadi strategi komunikasi yang baik dan dapat digunakan untuk menangani kliennya

2. Masalah dan Hambatan

Dari hasil wawancara dengan kelima informan, penulis menyimpulkan bahwa masalah dan hambatan yang ditemui oleh kelima konselor baik yang berasal dari klien maupun dari konselor itu sendiri adalah sebagai berikut:

Klien belum mau membuka statusnya, masih ragu untuk mengikuti tes secara sukarela, belum siap menerima hasil tes yang akan diikutinya nanti, masih minimnya rasa percaya klien kepada konselor, tidak mendapat dukungan atau support dari kerabat ataupun keluarga, merasa ragu mengenai keputusan yang akan diambil selanjutnya setelah mengetahui hasil test. Selain itu, respon psikologis seperti penolakan dan shock (goncangan batin), penolakan (denial) dan depresi, murung dan menutup diri, munculnya rasa takut dan kuatir, stres psikologis dan tekanan emosi klien juga sering menjadi hambatan tersendiri bagi konselor.

Sedangkan masalah yang sering terjadi dari pihak konselor adalah rasa jenuh yang terkadang muncul, terbebani secara emosional, masalah pribadi, dan stres dalam pekerjaan.


(26)

133

3. Solusi atau Penanganan Masalah

Hambatan dan masalah yang ditemui konselor saat menangani klien, solusi yang digunakan oleh kelima informan hampir sama yaitu:

Penerapan strategi komunikasi teknik mikro konseling dan melakukan pendekatan persuasif yang mendalam selain memberi tindakan medis seperti penilaian risiko klinis dan informasi untuk mengurangi risiko, edukasi mengenai pencegahan HIV, membantunya menggali perasaannya dan beradaptasi dengan keadaannya yang sekarang, secara keseluruhan adalah mengefektifkan strategi-strategi yang sudah ada. 6.2Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis mengenai strategi komunikasi konselor dalam menangani pasien yang mengidap HIV/AIDS, maka peneliti menyarankan beberapa hal berikut:

1. Untuk pihak RSPI Sulianti Saroso agar senantiasa meningkatkan kinerja Pokja AIDS dan meningkatkan mutu layanan dengan tenaga kesehatan yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai.

2. Untuk pihak konselor, melalui penelitian ini penulis telah berhasil mengetahui dan berhasil mengumpulkan strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor Pokja HIV berikut dengan hambatan yang ditemui pada saat konseling dan solusi menghadapi hambatan tersebut. Secara garis besar strategi dari kelima konselor tersebut sama namun akan lebih baik bila konselor berani keluar dari buku panduan


(27)

dan berinovasi dalam menangani klien dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan.

3. Untuk pihak Odha maupun pihak lain yang beresiko tertular HIV, agar senantiasa menerapkan pola hidup sehat, menjauhi faktor-faktor beresiko, meningkatkan kesadaran diri dan keluarga mengenai bahayanya penyakit ini dan tetap patuh memeriksakan kesehatan dan berkonsultasi mengenai HIV/AIDS dan yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga agar rantai penularan HIV tidak berlanjut.

4. Untuk pihak lain, pembaca yang juga ingin dan berminat meneliti mengenai konseling HIV/AIDS agar dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang belum diangkat oleh penelitian ini karena luasnya cakupan komunikasi kesehatan terutama dengan topik pembahasan mengenai HIV/AIDS.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Strategi Komunikasi

Onong Uchjana Effendy (1990:32) berpendapat bahwa strategi pada hakekatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya. Selain itu Onong Uchjana (2004:32) juga menjelaskan bahwa strategi komunikasi merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Adapun menurut Sondang P. Siagian (1985:21), strategi adalah cara-cara yang sifatnya mendasar dan fundamental yang akan dilakukan oleh suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan berbagai sasaran dengan selalu memperhitungkan kendala lingkungannya yang pasti akan dihadapi. Sedangkan Pearce dan Robin (1997:20) mendefinisikan strategi sebagai kumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi/perusahaan.


(29)

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi komunikasi adalah suatu cara, metode, maupun teknik yang menyeluruh dari rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan oleh sebuah organisasi untuk mencapai beberapa tujuan dan sasaran.

Bagaimanapun juga setiap komunikasi yang dilakukan senantiasa menambah efek yang positif atau efektivitas komunikasi. Komunikasi yang tidak menginginkan efekivitas, sesungguhnya adalah komunikasi yang tidak bertujuan. Efek dalam komunikasi adalah perubahan yang terjadi pada diri penerima (komunikan atau khalayak) sebagai akibat pesan yang diterima baik langsung maupun tidak langsung atau menggunakan media massa jika perubahan itu sesuai dengan keinginan komunikator, maka komunikasi itu disebut efektif.

2.1.1 Pentingnya Strategi Komunikasi

Strategi Komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen komunikasi (communication managemen) untuk mencapai suatu tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi (Onong Uchjana Effendy 2003:301)

Strategi komunikasi diperlukan sehingga proses komunikasi antara komunikator dan komunikan, dalam hal ini adalah konselor dan pasien, bisa efektif dan mendapatkan hasil yang diinginkan.


(30)

10

a. Bagaimana mengubah sikap (how to change the attitude) b. Mengubah opini (to change the opinion)

c. Mengubah perilaku (to change behavior)

Menurut Onong Uchjana Effendy (1981: 44), efek komunikasi yang timbul pada komunikan sering kali di klasifikasikan sebagai berikut:

a. Efek Kognitif: adalah yang terkait dengan pikiran nalar atau rasio, misalnya komunikan yang semula tidak tau, tidak mengerti menjadi mengerti atau tidak sadar menjadi sadar

b. Efek Afektif: adalah efek yang berkaitan dengan perasaan, misalnya komunikan yang semula merasa tidak senang menjadi senang, sedih menjadi gembira

c. Efek Konatif: adalah efek yang berkaitan timbulnya keyakinan dalam diri komunikan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh komunikator berdasarkan pesan atau message yang ditransmisikan, sikap dan perilaku komunikan pasca proses komunikasi juga tercermin dalam efek konatif.

Gejala-gejala psikis komunikan sangat perlu diketahui oleh seorang komunikator. Gejala-gejala psikis tersebut biasanya dapat dipahami bila diketahui pula lingkungan pergaulan komunikan yang dalam hal ini biasanya disebut situasi sosial.

Jika kita sudah tau sifat-sifat komunikan dan tau pula efek apa yang kita kehendaki dari mereka, membuat strategi dan memilih cara mana yang kita ambil


(31)

untuk berkomunikasi sangatlah penting, karena ini ada kaitannya dengan cara-cara pendekatan maupun media yang harus kita gunakan. Cara bagaimana kita berkomunikasi (how to communicate) kita bisa mengambil salah satu dari dua tatanan dibawah ini:

1. Komunikasi tatap muka (face to face communication) 2. Komunikasi bermedia (mediated communication)

Komunikasi tatap muka biasa dipergunakan apabila kita mengharapkan efek perubahan pada tingkah laku (behaviour change) dari komunikan. Mengapa demikian, karena pada saat kita berkomunikasi memerlukan umpan balik langsung (immediate feedback). Dengan komunikasi tatap muka, secara langsung (antarpribadi) kita dapat melihat dan menggunakan kelima alat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada seseorang. Kita sebagai komunikator bisa mengetahui apakah komunikan memperhatikan dan mengerti apa yang kita komunikasikan, dengan kata lain kita bisa menangkap adanya umpan balik langsung sehingga bisa mengembangkan komunikator dan komunikan untuk saling mengetahui satu sama lain dengan lebih baik. Jika umpan baliknya positif, kita akan mempertahankan cara komunikasi yang kita gunakan, bila sebaliknya kita akan mengubah teknik maupun strategi komunikasi kita sehingga komunikasi kita berhasil dan efektif.


(32)

12

2.1.2 Tujuan Strategi Komunikasi

Keberhasilan kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh penentuan tujuan dari strategi komunikasi. Di lain pihak jika tidak ada tujuan strategi komunikasi yang baik, efek dari proses komunikasi (terutama komunikasi media massa) bukan tidak mungkin akan menimbulkan pengaruh negatif.

R. Wayne Pace, Brent D, dan M. dallas Burnett mengatakan dalam bukunya Techniques for effective communication bahwa tujuan strategi komunikasi adalah sebagai berikut:

a. To secure understanding

Untuk memastikan bahwa terjadi suatu pengertian dalam berkomunikasi b. To establish acceptance

Bagaimana cara penerimaan itu terus dibina dengan baik c. To motive action

Penggiatan untuk memotivasinya

d. The goals which the communication sought to achieve

Bagaimana mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh pihak komunikator dari proses komunikasi tersebut.

Tujuan dalam teknik komunikasi adalah dalam rangka memperoleh hasil atau efek yang sebesar-besarnya, sifatnya tahan lama bahkan kalau mungkin bersifat abadi. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa strategi komunikasi adalah pelaksanaan untuk mencapai tujuan, dimana untuk mencapai suatu tujuan tersebut


(33)

strategi tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk arah saja melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana teknik operasionalnya.

2.2 Komunikasi Bidang Kesehatan dan Keperawatan

Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki oleh seorang perawat dan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan. Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi terapeutik, yang merupakan komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat pada saat melakukan intervensi keperawatan sehingga memberikan khasiat terapi bagi proses penyembuhan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur yang terjadi antara perawat dan klien harus melalui empat tahap meliputi fase pra-interaksi, orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Agar komunikasi terapeutik antara perawat dan klien dapat berjalan sesuai harapan, diperlukan strategi yang harus dilakukan oleh perawat pada saat melakukan komunikasi terpeutik dengan kliennya (Tim keilmuan keperawatan jiwa FKUI, 2009).

2.2.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting memecahkan masalah yang dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi proposional yang mengarah pada tujuan yaitu


(34)

14

penyembuhan pasien. Pada komunikasi terapeutik terdapat dua komponen penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya. Komunikasi terapeuitk termasuk komunikasi untuk personal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar petugas kesehatan dengan pasien. Menurut Purwanto (1994) komunikasi terapeutik merupakan bentuk keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam artian wawancara digunakan pada saat petugas kesehatan melakukan pengkajian memberi penyuluhan kesehatan dan perencaan perawatan.

Komunikasi dalam profesi keperawatan sangatlah penting sebab tanpa komunikasi pelayanan keperawatan sulit untuk diaplikasikan. Dalam proses asuhan keperawatan, komunikasi ditujukan untuk mengubah perilaku klien guna mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Oleh karena bertujuan untuk terapi, maka komunikasi dalam keperawatan disebut komunikasi terapeutik. Jadi inti dari komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilaksanakan untuk tujuan terapi.

Ada beberapa pendapat dari para ahli tentang arti komunikasi terapeutik yaitu komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain (Northouse, 1998). Sementara itu menurut Stuart G.W (dalam Priyanto 2009) komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hubungan ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien. Komunikasi terapeutik juga diartikan oleh Hibdon


(35)

S. (dalam Suryani, 2005) sebagai pendekatan konseling yang memungkinkan klien menemukan siapa dirinya, dan ini merupakan fokus dari komunikasi terapeutik.

Berdasar beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dalam proses asuhan keperawatan adalah suatu hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dimana perawat berupaya agar klien dapat mengatasi masalahnya sendiri maupun masalahnya dengan orang lain atau lingkungannya. 2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik mempunyai tujuan untuk memotivasi dan mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih konstruktif dan adaptif. Menurut Purwanto (1994) tujuan dari komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut:

a. membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran mempertahakan kekuatan egonya.

b. Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk mengubah situasi yang ada

c. Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan tindakan yang efektif dan mempengaruhi orang lain lingkungan fisik dan dirinya.

Selain itu menurut Stuart dan Sundeen juga Lidenberg, Hunter dan Kruszweski (Rita Yulifah dan Yuswanto, 2009:19) komunikasi terapeutik juga diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi hal-hal berikut ini.


(36)

16

a. Penerimaan diri dan peningkatan terhadap penghormatan diri.

Klien yang sebelumnya tidak menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapeutik dengan perawat atau konselor akan mampu menerima dirinya. Diharapkan perawat atau konselor dapat mengubah cara pandang pasien atau klien tentang dirinya dan masa depannya sehingga klien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.

b. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain.

Klien belajar bagaimana menerima dan diterima oleh orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya (Hibdon S., dalam Suryani, 2005) c. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan

serta mencapai tujuan yang realistis.

Sebagian klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Tugas perawat dengan kondisi seperti itu adalah membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis serta meningkatkan kemampuan pasien memenuhi kebutuhan dirinya.

d. Rasa identitas personal yang jelas dan meningkatkan integritas diri. Klien yang mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai integritas terhadap dirinya. Disini perawat diharapkan


(37)

membantu klien untuk meningkatkan integritas dirinya dan idenitas diri klien melalui komunikasinya.

2.2.3 Proses Komunikasi Terapeutik

Proses komunikasi terapeutik yang efektif antara perawat dan klien harus melalui empat fase atau tahapan meliputi fase pra-interaksi, orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Agar komunikasi terapeutik antara perawat dan klien dapat berjalan sesuai harapan, diperlukan strategi yang harus dilakukan oleh perawat pada saat melakukan komunikasi terpeutik dengan kliennya (Stuart,1995)

Fase Pra-interaksi

Merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan berkomunikasi dengan klien (kontak pertama dengan klien). Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik dirinya dengan cara mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien.

Fase Orientasi atau perkenalan

Merupakan fase yang dilakukan perawat pada saat pertama kali bertemu atau kontak dengan klien. Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu (Stuart.G.W, 1995).


(38)

18

Fase Kerja

Fase kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik (Stuart G.W,1995) yang terkait erat dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Fase Terminasi

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart.G.W, 1995). . Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan. Pada fase ini, hubungan saling percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada pangkal yang opimal

2.2.4 Teknik Komunikasi Terapeutik

Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik berkomunikasi yang berbeda pula. Beberapa jenis teknik komunikasi terapeutik menurut Shives (1994), Stuart & Sundeen (1950) dan Wilson & Kneisl (1920), yaitu:


(39)

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian

Dengan mendengarkan klien menyampaikan pesan menandakan bahwa perawat perhatian terhadap kebutuhan dan masalah klien. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non-verbal yang sedang dikomunikasikan. Sikap yang dibutuhkan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian adalah dengan memandang klien ketika sedang bicara, Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan, tidak menyilangkan kaki atau tangan, menghindari gerakan yang tidak perlu, menganggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik, condongkan tubuh ke arah lawan bicara.

2. Menunjukkan penerimaan

Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Berikut ini menunjukkan sikap perawat yang menyatakan penerimaan a. Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.

b. Memberikan umpan balik verbal yang menapakkan pengertian.

c. Memastikan bahwa isyarat non-verbal cocok dengan komunikasi verbal. d. Menghindarkan untuk berdebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba untuk mengubah pikiran klien.


(40)

20

Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai klien. Oleh karena itu sebaiknya pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata dalam konteks sosial budaya klien. Selama pengkajian ajukan pertanyaan secara berurutan.

4. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.

Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga klien mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.

5. Klarifikasi

Apabila terjadi kesalah pahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan untuk mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena informasi sangat penting dalam memberikan pelayanan keperawatan. Agar pesan dapat sampai dengan benar, perawat perlu memberikan contoh yang konkrit dan mudah dimengerti klien.

6. Memfokuskan

Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru.

7. Menyampaikan hasil observasi

Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya, sehingga dapat diketahui apakah pesan diterima dengan benar. Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh syarat non-verbal klien.


(41)

Teknik ini sering kali membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa perawat harus bertanya, memfokuskan, dan mengklarifikasi pesan.

8. Menawarkan informasi

Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap keadaanya. Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan (pendidikan) kesehatan bagi klien. Selain ini akan menambah rasa percaya klien terhadap perawat. Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat tidak boleh memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari teknik ini adalah memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.

9. Diam

Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode diam memrlukan ketrampilan dan ketetapan waktu, jika tidak maka akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses informasi. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses informasi. Teknik ini terutama berguna pada saat klien harus mengambil keputusan.

10. Meringkas

Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada pembicaraan berikutnya. Meringkas


(42)

22

pembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting dalam interaksinya, sehingga dapat melanjutkan pembicaraan ke topik selanjutnya.

11. Memberikan penghargaan

Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi mendapatkan pujian atau persetujuan atas perbuatannya. Selain itu, teknik ini bukan dmaksudkan untuk menilai suatu hal sebagai sesuatu yang baik atau buruk.

12. Menawarkan diri

Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Seringkali perawat hanya menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, teknik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.

13. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.

Teknik ini memberi kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan. Apabila klien merasa ragu-ragu dan tidak pasti tentang perannanya dalam interakasi ini, maka perawat dapat menstimulasinya untuk mengambil inisiatif dan merasakan bahwa ia diharapkan untuk membuka pembicaraan.

14. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

Tehnik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh topik pembicaraan. Juga mengindikasikan bahwa perawat mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik denga apa yang akan dibicarakan


(43)

selanjutnya. Perawat lebih berusaha menafsirkan daripada mengarahkan pembicaran.

15. Menempatkan kejadian secara berurutan

Menempatkan kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian secara berurutan akan menolong perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya sebagai akibat kejadian yang pertama. Perawat akan dapat menentukan pola kesukaran interpersonal dan memberikan data tentang pengalaman yang memuaskan dan berarti bagi klien dalam memenuhi kebutuhannya.

16. Menganjurkan klien unutk menguraikan persepsinya

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesungguhnya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada perawat. Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus waspada akan timbulnya gejala ansietas.

17. Refleksi

Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaanya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan maka perawat dapat menjawab: “Bagaimana menurutmu?”. Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa pendapat klien adalah berharga dan klien mempunyai hak untuk mampu melakukan hal tersebut, maka iapun akan berpikir

bahwa dirinya adalah manusia yang mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai bagian dari orang lain.


(44)

24

2.3 Konseling

Konseling merupakan bagian dari bimbingan. Menurut Ketut Sukardi (2000:21) dalam bukunya menyatakan bahwa layanan konseling adalah jantung hati layanan bimbingan secara keseluruhan. Bisa dikatakan bahwa konseling adalah inti kegiatan yang paling penting dalam bimbingan. Oleh karena itu, konseling sangat memberi arti pada bimbingan, dimana konseling ini merupakan suatu proses kegiatan yang didalamnya terdapat seorang konselor dan konseli. Konselor berarti orang atau individu yang berkompeten atau berwenang memberikan layanan konseling, sedangkan konseli merupakan orang atau individu yang menerima bantuan layanan konseling. Jadi tanpa adanya unsur konselor dan konseli, maka proses konseling tidak akan terjadi.

Konseling merupakan satu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana seorang, yaitu konselor berusaha membantu orang lain dalam hal ini klien, untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan datang (Rohman Natawijaya, dalam Sukardi, D.K, 2000:22)

Menurut Burks dan Steffler (1979), konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor terlatih dan seorang klien. Hubungan ini biasanya dilakukan orang per orang meskipun sering kali melibatkan lebih dari dua orang. Hubungan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan hidupnya, belajar mencapai tujuan yang ditentukan


(45)

sendiri melalui pilihan-pilihan yang bermakna dan penyelesaian masalah emosional atau antarpribadi.

Konseling merupakan suatu proses dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(Pepinsky & Pepinsky,dalam Shertzer & Stone,1974 dalam D. Gunarsa, 2004) 1. Interaksi antara dua orang (antara konselor dan klien)

2. Konseli datang mempunyai masalah

3. Konseli datang atas kemauan sendiri atau saran orang lain untuk meyelesaikan masalah

4. Konselor adalah seorang yang terlatih (profesional) dalam bidangnya 5. tujuan konseling Konseling merupakan suatu proses dengan ciri-ciri

sebagai berikut:adalah menolong dan memberikan banuan kepada konseli agar ia mengerti dan menerima keadaannya serta dapat menemukan jalan keluar dengan menggunakan potensi yang ada pada dirinya

6. Proses konseling menitik beratkan kepada masalah yang jelas, nyata, dan dalam kesadaran diri.

Dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang pengertian konseling dan ciri konseling, maka dapat disimpulkan bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (Konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dialami oleh klien.


(46)

26

2.3.1 Tujuan Konseling

Perkembangan konseling diikuti juga dengan perkembangan tujuan konseling dari yang sederhana sampai dengan yang lebih kompleks. Adapun tujuan konseling menurut para ahli adalah sebagai berikut (Agus Priyanto, 2009:84)

a. Menurut Thompson dan Rudolph dalam Prayitno (1999:112) menyatakan tujuan konseling dapat terentang dari sekedar mengikuti kemauan-kemauan konselor sampai pada masalah pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, pengembangan pribadi, penyembuhan dan penerimaan diri. b. Menurut Myers dalam Prayitno (1999:113) menyatakan bahwa

bimbingan dan konseling bertujuan untuk pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada diri individu merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling.

c. Menurut W.S Winkel (1991:17) menyatakan bahwa tujuan bimbingan dapat dibedakan atas dua tujuan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara adalah agar orang bersikap dan bertindak sendiri dalam situasi hidupnya sekarang ini. Tujuan akhir ialah supaya orang mampu mengatur kehidupannya sendiri, mengambil sikap sendiri, mempunyai pandangannya sendiri, dan menanggung sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya.


(47)

d. Hibana S.R (2003:21) merumuskan tujuan bimbingan dan konseling dengan istilah 3M yaitu memahami diri, menyesuaikan diri, dan mengembangkan diri.

Berbeda dengan tujuan bimbingan dan konseling secara umum, maka bidang kesehatan dan perawatan memiliki pandangan lain mengenai tujuan bimbingan dan konseling yaitu sebagai berikut (Agus Priyanto, 2009:84)

a. Memberikan bantuan bagi pengembangan dan pemahaman mengenai ilmu pengetahuan dan pemahaman klien terhadap permasalahan kesehatan, seperti jenis dan tindakan medis atau jenis dan tindakan keperawatan.

b. Mengeksplorasi atau menunjukkan segala kemampuan atau potensi atau kelemahan (bio-psiko-sosial-spiritual) yang dimiliki klien untuk menghadapi permasalahan kesehatannya berupa tindakan media atau tindakan keperawatan.

c. Klien bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya baik yang berdampak bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.

Tujuan konseling dimaksudkan sebagai pemberian layanan untuk membantu masalah klien, karena masalah klien yang benar-benar telah terjadi akan merugikan diri sendiri dan orang lain, sehingga harus segera dicegah dan jangan sampai timbul masalah baru. Masalah lainnya adalah klien tidak mampu dan mengerti tentang potensi yang dimilikinya, sehingga dapat digunakan secara efektif. Tujuan konseling dapat juga dijelaskan dengan lima poin sebagai berikut (George and Cristiani, 1981 dalam D. Gunarsa, 2004):


(48)

28

1. memfasilitasi perubahan tingkah laku klien.

2. meningkatkan kemampuan klien untuk menciptakan dan memelihara hubungan.

3. mengembangkan keefektifan dan kemampuan klien untuk memecahkan masalah.

4. meningkatkan kemampuan klien untuk membuat keputusan. 5. memfasilitasi perkembangan potensi klien.

Sedangkan Tujuan konseling berdasarkan penanganan oleh konselor yang dikemukakan oleh Shertzer dan Stone yang dikutip oleh Mc Leod (2004) dapat diperinci sebagai berikut:

1. Mencapai kesehatan mental yang positif

Apabila kesehatan mental tercapai maka individu memiliki integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif terhadap orang lain. Individu belajar menerima tanggung jawab, menjadi mandiri, dan mencapai integrasi tingkah laku.

2. Keefektifan individu

Seseorang diharapkan mempunyai pribadi yang dapat menyelaraskan diri dengan cita-cita, memanfaatkan waktu dan tenaga serta bersedia mengambil tanggung jawab ekonomi, psikologis, dan fisik.

3. Pembuatan keputusan

Konseling membantu individu mengkaji apa yang perlu dipilih, belajar membuat alternatif-alternatif pilihan dan selanjutnya menentukan pilihan sehingga pada masa depan dapat membuat keputusan secara mandiri


(49)

4. Perubahan tingkah laku

Dengan konseling, seseorang (konseli) diharapkan mengembangkan perubahan dalam tingkah laku kearah yang lebih positif. Oleh karena itu, dalam konseling seorang konselor juga mempunyai peran sebagai panutan (role model).

2.3.2 Fungsi Konseling

Menurut sifat layanannya konseling dapat berfungsi sebagai berikut (Agus Priyanto, 2009:81)

1. Fungsi Pemahaman, fungsi ini dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman tentang sesuatu oleh individu atau klien sesuai dengan kepentingan individu atau kelompok yang mendapat pelayanan tersebut. Pemahaman ini mencakup hal-hal berikut: Pemahaman tentang diri klien , terutama oleh klien itu sendiri atau keluarga klien, Pemahaman tentang lingkungan klien, terutama klien sendiri, kluarga klien, sesama klien dan klien juga paham terhadap lingkungan perawat atau dokter.

2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh klien. Layanan yang diberikan dalam fungsi pencegahan ini berupa pelyanan bantuan dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul agar masalah tersebut tidak menghambat program atau kegiatan dan perkembangannya. Kegiatan yang berfungsi


(50)

30

pencegahan tersebut dapat berupa program informasi, orientasi, inventarisasi data atau pengkajian data, analisis data dan sebagainya.

3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Fungsi konseling menyiratkan bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diberikan bermanfaat bagi klien dalam memelihara dan mengembangkan keseluruhan pribadinya dengan percaya diri, terarah, dan berkelanjutan sehingga klien dapat mempertahankan hal-hal yang dipandang positif. Dengan demikian diharapkan klien dapat menjaga dirinya agar tetap baik dan percaya diri dalam memelihara dan mengembangkan potensi dan kondisi untuk menghadapi permasalahan yang akan datang.

4. Fungsi Perbaikan (Pengentasan), yaitu fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilaksanakan dengan baik, tetapi mungkin saja masih ada atau masih terjadi masalah-masalah lain. Fungsi perbaikan dalam bimbingan dan konseling adalah bagaimana klien atau kelompok dapat memecahkan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Fungsi ini juga menghasilkan kondisi bagi terentasnya atau teratasinya berbagai permasalahan dalam kehidupan dan atau perkembangan yang dialami oleh individu atau kelompok yang mendapatkan pelayanan.

5. Fungsi advokasi, yaitu fungsi konseling yang menghasilkan kondisi pembelaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan atau kepentingan pendidikan atau informasi atau pekembangan atau perawatan biologis,


(51)

psikologis, sosial, spiritual (bio-psiko-sosio-spiritual) yang dialami klien atau pengguna pelayanan konseling.

Pelaksanaan konseling haruslah mengacu pada satu fungsi atau beberapa fungsi yang telah dijelaskan tersebut, agar hasil yang dicapai jelas dan dapat diidentifikasi serta dievaluasi dengan tepat. Dalam fungsinya sebagai pelaksana konseling, konselor bertugas untuk membantu klien dalam mencari pemecahan masalah kesehatan dan melihat adanya perubahan perilaku yang terjadi dan dihadapi klien.

2.4 Konselor

Konseling adalah suatu hubungan timbal balik antara konselor dengan konseli yang bersifat profesional baik secara individu maupun kelompok, yang dirancang untuk membantu konseli mencapai perubahan yang berarti dalam kehidupan. Dalam hubungan tersebut konselor harus profesional dan terlatih sehingga dapat membina hubungan baik dan harmonis antara konselor dan klien. Hubungan, menurut Burks dan Stefflre (1979), merupakan suatu proses yang dirancang dan direncanakan untuk membantu klien dalam menentukan pilihan dan memecahkan masalahnya.

Dari sekian banyak pengertian mengenai konseling dan perumusannya mengenai tujuan, dan karakteristik konseling oleh banyak ahli, mereka juga merumuskan bahwa petugas konseling (konselor) dengan orientasi kesehatan (medis) adalah:  Dokter


(52)

32

 Perawat

Sedangkan petugas konseling non-medis biasanya adalah kelompok selain dokter, bidan maupun perawat. Misalnya:

 Sukarelawan  Tokoh agama  Guru

 Psikolog/Psikiater  Pengobatan Alternatif  Kader Kesehatan

Dua kelompok konselor tersebut dibedakan dari jenis konseling yang konselor tersebut berikan. Pada konseling medis terdapat pemberian obat dan pemantauan terhadap tingkat kesehatan klien (pasien) baik mental maupun fisik walapun konseling medis sendiri tidak hanya merupakan pemberian obat, tapi didalamnya juga terdapat pemberian informasi kesehatan, kelompok dukungan, dll. Namun inti yang membedakannya adalah di konseling medis terdapat pemberian obat tertentu bagi klien (pasien) yang tidak terdapat pada konseling non medis. Jenis konseling medis berkaitan dengan masalah kesehatan dan penyakit tertentu. Proses konselingnya sendiri biasanya berlokasi di Rumah sakit umum maupun rujukan (untuk klien dengan penyakit tertentu)

Sedangkan pada konseling non medis, biasanya hanya berupa kelompok dukungan, bimbingan, pemberian informasi, membantu klien memahami masalah yang sedang dihadapi, dan memberi opsi untuk penyelesaian masalah-masalah klien. Apabila klien memerlukan tindakan medis untuk lanjutan dari


(53)

permasalahannya barulah konselor merujuk klien ke rumah sakit rujukan dan ditangani oleh konselor medis (Agus Priyanto,2008). Jenis konseling non medis sangat luas dan beragam, contohnya: konseling pendidikan, konseling pada posyandu (pos pelayanan terpadu), konseling rehabilitasi, konseling keluarga, konseling perkawinan, konseling vokasional/konseling karier (http://www.cahayainsani.com/573/tehnik-pendampingan-yatim, 18 April 2010).

2.5 Seputar HIV/AIDS

HIV adalah Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang memperlemah sistem kekebalan pada tubuh manusia. HIV adalah jenis parasit obligat yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini hidup dan berkembang biak pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, ciaran sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak.

HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit (komponen dalam darah) yang disebut “sel T-4” atau yang disebut juga “sel CD-4”. (Nursalam, 2007:41). Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik (penyakit bawaan lainnya) ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan (www.wikipedia.org). Dari penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa HIV dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui cairan tubuh, contohnya seprti darah, sperma, air susu ibu (ASI) maupun cairan


(1)

dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam proses konseling, konselor pada Pokja AIDS RSPI-SS melakukan percakapan dan komunikasi dengan kliennya. Percakapan tersebut banyak berisi mengenai permasalahan yang dihadapi klien yang berkaitan dengan penyakitnya dan tugas konselorlah untuk membantunya.

Di dalam berkomunikasi dengan kliennya, konselor melakukan kontak personal, menggali lebih dalam pengetahuan klien mengenai permasalahannya, memberikan informasi yang dibutuhkan kliennya, dan sugesti positif untuk membangun motivasi di dalam diri kliennya. Selain itu konselor pada Pokja AIDS RSPI-SS juga berusaha membangun rasa percaya didalam diri kliennya dan melakukan pendekatan-pendekatan personal baik didalam maupun diluar sesi konseling dan membuat suasana komunikasi yang nyaman agar klien mau menceritakan permasalahannya di dalam kegiatan komunikasi antara konselor dan kliennya.

Percakapan pada sesi konseling ini merupakan percakapan bertujuan untuk perubahan tingkah laku klien ke arah yang lebih positif dan lebih baik lagi. Disinilah konselor memilih strategi apa yang tepat untuk dia gunakan dan disesuaikan dengan kondisi, situasi dan permasalahan yang muncul pada saat itu. Percakapan tersebut berisikan pengarahan, penginformasian, edukasi, dukungan, bujukan dan lain-lain disertai dengan pendekatan sedemikian rupa agar komunikasi yang terjadi berjalan efektif dan tujuan dari percakapan tersebut tercapai dan ingkat penularan HIV/AIDS bisa berkurang.

Dengan demikian penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan strategi komunikasi yang digunakan oleh konselor Pokja


(2)

HIV/AIDS di RSPI Sulianti Saroso dalam menangani pasien yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) dan hambatan-hambatan apa saja yang ditemui beserta solusinya yang didapat melalui wawancara dengan kelima informan menghasilkan strategi komunikasi dengan menggunakan teknik mikro konseling yaitu keterampilan menciptakan suasana hening yang nyaman, mengajukan pertanyaan, merespon didalam percakapan, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan komunikasi non verbal melalui bahasa tubuh dan paralinguistik sebagai keterampilan berkomunikasi yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh konselor didalam konseling dan tes secara sukarela sehingga menjadi strategi komunikasi yang baik dan dapat digunakan untuk menangani kliennya dan solusi dari hambatan-hambatan yang ditemui didalam rangkaian kegiatan komunikasi antara konselor Pokja AIDS dengan kliennya pada saat konseling

5.2 Pembahasan

Pada bagian ini penulis akan membahas strategi dan tindakan yang diambil konselor dikaitkan dengan landasan teori pengelolaan makna atau yang dikenal dengan CMM (Coordinated Management of Meaning) yang membahas mengenai bagaimana makna yang dimiliki seseorang dikelola atau dikoordinasikan dalam percakapan.

Dari hasil wawancara dengan kelima konselor diketahui bahwa kelima konselor Pokja AIDS RSPI-SS mengkombinasikan keterampilan berkomunikasinya dalam memberikan informasi, edukasi, saran, dan lainnya pada saat membicarakan hal-hal terkait dengan penyakit HIV dan AIDS dengan klien didalam konseling dan tes secara sukarela (KTS) sehingga menjadi strategi komunikasi yang baik dan


(3)

efektif bertujuan perubahan perilaku klien ke arah yang lebih baik dengan khasiat terapi. Teknik mikro konseling tersebut digunakan didalam kegiatan komunikasi guna menciptakan suasana komunikasi yang nyaman dan kondusif bagi klien sehingga klien mau membicarakan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Mikro konseling tersebut merupakan strategi bagaimana seorang konselor membuat suasana hening dan nyaman, teknik mengajukan pertanyaan, merespon didalam percakapan, mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, dan teknik berkomunikasi non verbal baik dari bahasa tubuh dan paralinguistik.

Pada kegiatan komunikasi antara konselor pokja dengan kliennya, konselor berperan sebagai komunikator yang informatif, edukatif dan persuasif, menggunakan kemampuan berkomunikasinya yang baik dikombinasikan dengan teknik mikro konseling dan pendekatan-pendekatan untuk membangun suasana komunikasi yang baik dan memapankan hubungan diantara keduanya agar tujuan konseling tercapai, mendapatkan pemecahan masalah yang dihadapi klien dan perubahan prilaku klien kearah yang lebih baik sehingga bisa mengurangi tingkat penularan HIV/AIDS.

Dari pemaparan strategi sebelumnya dapat dilihat bahwa konseling dan tes secara sukarela (KTS) merupakan rangkaian dari proses komunikasi antara konselor dengan klien dengan tujuan perubahan perilaku pada diri klien, perubahan perilaku disini berkaitan dengan usaha pencegahan terhadap HIV/AIDS dimana diperlukan perubahan dari perilaku yang beresiko menjadi perilaku yang aman. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa kunci dari semua konseling adalah komunikasi, dalam hal ini merupakan komunikasi tatap muka, secara langsung


(4)

dan merupakan proses komunikasi yang didalamnya berisi percakapan antara koselor dan klien. Hal ini sejalan dengan teori CMM yang juga merupakan bagian dari tradisi pemikiran sibernetika dan biasa digunakan dalam topik-topik tentang percakapan dan hubungan interpersonal dimana berbagai elemen yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.

Tugas penting konselor yang berkaitan dengan perubahan perilaku dengan rangkaian proses komunikasi pada sesi konseling tersebut berkaitan dengan inti dasar dari teori CMM dimana pada sesi konseling, konselor sebagai komunikator berusaha mengelola dan mengkoordinasikan makna didalam suatu percakapan dengan kliennya dalam konteks terapi dengan tujuan klien bisa menginterpretasikan pesan tersebut dan memiliki pemahaman dan makna yang sama dengan konselor. Dari pesan yang telah dikelola oleh konselor dan disampaikan kepada klien kemudian klien memaknainya barulah klien bertindak atas dasar pengertian yang mereka miliki, interpretasi dari pesan yang didapat.

Dari uraian hasil wawancara juga didapat bahwa baik konselor dan klien melakukan aturan yang berlaku didalam percakapan yang ada didalam teori CMM yaitu aturan kostitutif mengenai makna untuk memberikan interpretasi atau memahami suatu peristiwa. Dalam hal ini, konselor yang memahami mengenai ruang lingkup pekerjaan mereka sebagai konselor HIV/AIDS. Nantinya pemahaman mereka mengenai hal tersebut mereka kelola dan koordinasikan dalam menghadapi klien dan segala permasalahannya mengenai HIV/AIDS didalam konseling dengan konteks komunikasi terapi dan perubahan tingkah laku. Sedangkan dari pesan yang didapat klien dari konselor tersebut, klien kemudian


(5)

bertindak atas dasar pengertian yang mereka miliki kemudian memutuskan tindakan yang sesuai. Dalam hal ini klien menggunakan aturan regulatif di dalam percakapan mengenai tindakan yang akan digunakan untuk memberikan tanggapan atas pesan yang didapat dari konselor tersebut.

Hasil yang didapat konselor memuaskan apabila konselor mendapatkan tanggapan yang diinginkan yaitu perubahan perilaku klien (koordinasi tercapai) tapi jika terjadi hasil yang tidak memuaskan, tidak mewakili konsekuensi dan hasil yang diinginkan dimana klien bertindak tidak sesuai yang di harapkan konselor maka konselor menyesuaikan kembali aturan-aturan mereka sehingga tercapai kesamaan makna antara konselor dan klien (level koordinasi yang diinginkan).

5.2.1 Pembahasan Kegunaan Hasil Penelitian Secara Teoritis

Hasil penelitian ini terkait kegunaan penelitian secara teoritis, dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk penelitian sejenis. Teori pengelolaan makna (Coordinate Management Of Meaning Theory) yang dikemukakan oleh W.Barnett Pearce & Vernon Croner merupakan teori mengenai interaksi sosial yang membahas cara-cara bagaimana berbagai makna yang dimiliki seseorang dikoordinasikan dalam percakapan. Teori ini dipilih karena pada dasarnya kegiatan konseling berisi percakapan antara konselor dan kliennya.

Teori CMM juga memiliki kekuatan untuk menunjukkan bagaimana percakapan menghasilkan makna didalam hubungan antar individu yang melakukan percakapan, hal ini bisa terlihat didalam usaha konselor untuk membangun kepercayaan klien dan setelahnya mengatur bagaimana kepercayaan tersebut


(6)

dapat di pertahankan. Hal tersebut dilakukan di dalam percakapan selama sesi konseling oleh konselor dengan menggunakan strategi komunikasi mikro konseling.

5.2.2 Pembahasan Kegunaan Hasil Penelitian Secara Praktis

Kegunaan hasil penelitian ini secara praktis yaitu menjadi sumbangan pemikiran bagi para konselor Pokja AIDS RSPI-SS. Sebagai salah satu rujukan nasional dalam menangani kasus-kasus penyakit AIDS sebaiknya konselor Pokja AIDS RSPI-SS terus meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan kualitas pelayanan agar semakin bisa diandalkan oleh para kliennya.

Dalam menjalankan tugasnya pada kegiatan KTS konselor Pokja AIDS RSPI-SS sering menggunakan strategi komunikasi mikro konseling yang merupakan keterampilan berkomunikasi efektif yang bertujuan untuk terapi dan perubahan perilaku klien. Strategi mikro konseling digunakan dalam rangka membangun dan mengembangkan hubungan yang suportif antara konselor dengan kliennya. Sehingga dengan hubungan yang terjalin tersebut konselor bisa membantu klien dalam hal yang berkaitan dengan isu penyakitnya, mengubah perilaku klien ke arah yang lebih baik dan mempertahankannya. Dengan pengefektifan dari strategi-strategi yang sudah ada dan keinginan dari konselor untuk berinovasi, keluar dari buku panduan yang telah dipelajari, diharapkan bisa mencapai tujuan utama yaitu bisa ikut mengurangi meningkatnya kasus HIV/AIDS di Indonesia dan menjaga agar tingkat penularan HIV tidak berlanjut.