PENERAPAN METODE KOOPERATIF TIPE TWO STAY STRAY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR ILMU PENGETAHUAN ALAM PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 4 SUNGAILANGKA KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN ESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga pelajaran IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsipprisnsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Dalam belajar IPA
siswa diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Pendidikan IPA di sekolah dasar (SD) diharapkan dapat menjadi wahana bagi
siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan pembelajaran IPA guru harus menggunakan metode maupun strategi
pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa untuk
mengembangkan potensi dirinya agar mampu menjelajahi dan memahami alam
sekitar secara ilmiah.

Pada kenyataannya, guru sering menemui kendala dengan banyaknya materi yang
harus diselesaikan tiap kali pertemuan di dalam kelas. Ditambah lagi dengan
siswa harus menguasai kompetensi pelajaran yang cukup banyak dalam tiap topik
pelajaran yang diajarkan. Selain itu di SD pada umumnya tidak memiliki

laboratorium IPA. Sehingga pilihan metode pembelajaran dalam mengajar lebih

2
banyak menggunakan metode caramah, agar materi yang banyak tersebut dapat
dengan cepat terselesaikan tanpa memperhatikan apakah materi sudah dikuasai
siswa atau belum.
Meskipun CBSA sudah diperkenalkan sejak lama, namun belum banyak merubah
pola mengajar guru dan pola belajar siswa. Pola pembelajaran masih terfokus
pada guru. Demikian pula yang terjadi di SDN 4 Sungailangka, dalam
penyampaian pembelajaran IPA, masih banyak ditemukan siswa tidak terlibat
aktif dalam pembelajaran. Metode pembelajaran yang sering dipakai guru dalam
pembelajaran IPA adalah metode ceramah, sehingga pembelajaran cenderung
tidak aktif. Imbasnya pada guru sendiri adalah kelelahan, karena mungkin sudah
sejak pagi hingga siang, keluar masuk kelas yang berbeda untuk mengajarkan
pelajaran IPA dengan banyak ceramah, hingga mulut terasa kaku.

Metode diskusi dan pemberian tugas terkadang juga digunakan dalam pembelajaran
IPA di SDN 4 Sungailangka. Tetapi kegiatan tersebut juga belum terlihat melibatkan
siswa secara aktif dalam belajar. Nampaknya masih sulit bagi guru untuk dapat
melibatkan secara aktif siswa dalam pembelajaran. Untuk merubah sistem

pembelajaran yang demikian memerlukan usaha yang maksimal dari guru melalui
inovasi-inovasi strategi atau metode pembelajaran. Terutama metode pembelajaran
yang mampu memotivasi siswa untuk belajar, metode pembelajaran yang mampu
memvasilitasi siswa untuk belajar.

Seperti dikatakan oleh Silberman (2006:9), dalam belajar aktif, anak didik
mengerjakan banyak sekali tugas. Anak didik harus menggunakan otak, mengkaji

3
gagasan, memecahkan masalah, bahkan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat, dan penuh gairah. Bahkan
anak didik dapat sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan
berfikir keras (moving about and thinking aloud).

Oleh karena itu, guru IPA di SDN 4 Sungailangka perlu melakukan pengelolaan
pembelajaran, yang banyak menyediakan kegiatan bagi siswa untuk belajar, agar
tujuan pembelajaran terutama pencapaian kompetensi pelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya dapat tercapai secara optimal. Karena hasil belajar anak
didik sebagian besar ditentukan oleh proses belajar yang dilalui oleh anak didik itu
sendiri, yaitu proses belajar yang menyenangkan, bersemangat, dan penuh gairah.


Sebagai gambaran dari proses pembelajaran IPA yang telah dilakukan selama ini
di SDN 4 Sungailangka pada aspek kognitif, berdasarkan analisis terhadap hasil
ulangan harian dan mid semester pelajaran IPA kelas IV di SDN 4 Sungailangka
yang sudah berlangsung pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013 ini,
diperoleh nilai rata-rata sebesar 60,21. Sedangkan untuk hasil belajar afektif dan
psikomotor sampai saat ini belum dilakukan penilaian. Nilai rata-rata sebesar
60,21 tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar kognitif pelajaran IPA siswa
kelas IV di SDN 4 Sungailangka saat ini belum dapat dikatakan optimal.

Dengan melakukan analisa berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP), untuk
mengukur tingkat penguasaan bahan pelajaran yang diberikan atau ketuntasan
belajar siswa, yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pelajaran IPA adalah 60,
maka dari perolehan nilai rata-rata hasil ulangan dan mid semester sebesar 60,21

4
tersebut menggambarkan bahwa bahan pelajaran yang diberikan dari awal
semester hingga mid semester baru dapat dikuasai sebanyak 60,21%. Meskipun
nilai rata-rata ini sudah melebihi KKM yang ditetapkan sekolah, tetapi jumlah
siswa yang tuntas dan belum tuntas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1,

masing-masing adalah 50% siswa di kelas IV tersebut yang sudah tuntas dan
belum tuntas. Hal ini menunjukkan baru ada 50% siswa yang dapat menguasai
bahan pelajaran yang diajarkan selama ini dengan baik. Dengan demikian proses
pembelajaran belum optimal.

Tabel 1.

Ketuntasan Pelajaran IPA Siswa Kelas IV SDN 4 Sungailangka
Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran Semester Ganjil T.P
2012/2013

No.
1.

Nilai
< 60

Frekuensi
12


Persentase
50%

Keterangan
Belum Tuntas

2.

60 - 75

9

38%

Tuntas

3
24

13%

100%

Tuntas

3.

> 75
Jumlah

Keterangan : KKM pelajaran IPA kelas IV adalah 60.

Oleh karena di SDN 4 Sungailangka tersebut masih banyak ditemui siswa yang
belum tuntas dalam belajar IPA di kelas IV, maka guru IPA perlu melakukan
upaya pengelolaan kelas. Karena ada dua faktor yang dapat menentukan
keberhasilan siswa ditinjau dari segi guru, yakni pengaturan proses belajar mengajar
dan pengajaran itu sendiri, dan keduanya mempunyai saling ketergantung satu
sama lain. Kemampuan mengatur atau mengelola proses belajar mengajar yang
baik, akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak belajar, sehingga
merupakan titik awal keberhasilan pengajaran. Siswa dapat belajar dalam suasana
wajar, tanpa tekanan dan dalam kondisi yang merangsang untuk belajar.


5
Pada dasarnya dalam mengelola pembelajaran, guru dituntut untuk melakukan
persiapan-persiapan mengajar secara menyeluruh terhadap proses-proses pembelajaran
yang akan dilakukan. Menurut Sholeh (2004:58), persiapan mengajar tersebut
meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan
(actuating), dan pengawasan (controlling) terhadap pembelajaran. Sehingga dalam
setiap tahapan selalu terukur dan terpantau berbagai keadaan yang terkait dengan
peserta didik maupun kondisi obyektif dari proses pembelajaran.
Sebagai upaya peneliti untuk memperbaiki dan melakukan inovasi proses
pembelajaran agar dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN 4
Sungailangka, peneliti mencoba sebuah strategi dalam pengelolaan proses
pembelajaran yang dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif metode struktural
dengan teknik Two Stay-Two Stray (TSTS). Teknik belajar kooperatif TSTS (dua
tinggal dua tamu) dikembangkan oleh Spencer Kagan pada Tahun 1992 (Sugiyanto,
2010:54). Struktur belajar kooperatif dua tinggal dua tamu memberi kesempatan
kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi kepada kelompok lain.
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat diidentifikasi

beberapa masalah berikut :
1. Pembelajaran IPA di kelas kelihatan masih monoton.
2. Guru lebih sering menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran,
sehingga siswa menjadi tidak aktif, cenderung merasa jenuh atau bosan, tidak
konsentrasi, dan tidak tertarik pada mata pelajaran IPA.

6
3. Belum terjadi interaksi aktif antara siswa dengan materi pelajaran, antara
siswa dengan siswa, dan antara guru dengan siswa, karena guru cenderung
tidak melakukan pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran.
4. Kualitas pembelajaran IPA saat ini belum optimal, karena perolehan nilai ratarata hasil ulangan dan mid semester baru mencapai 60,21. Untuk dapat dikatakan
optimal maka nilai rata-rata tersebut harus berada pada kisaran 76 – 99.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas maka peneliti akan
memfokuskan masalah penelitian ini pada masalah pengelolaan kelas atau
masalah yang ketiga, yaitu belum terjadi interaksi aktif antara siswa dengan
materi pelajaran, antara siswa dengan siswa, dan antara guru dengan siswa. Upaya
pengelolaan pembelajaran di kelas yang akan peneliti lakukan adalah mencoba

menerapkan suatu strategi pembelajaran kooperatif terstruktur TSTS. Dengan
menerapkan metode tersebut dalam pembelajaran di kelas, diharapkan siswa akan
lebih aktif. Dampak yang diharapkan dari keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran tersebut adalah akan terjadi peningkatan pada hasil belajar pada
aspek kognitif maupun afektif. Oleh karena itu peneliti mengajukan rumusan
masalah, sebagai berikut :
“Bagaimanakah peningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN 4
Sungailangka Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran pada aspek
kognitif maupun afektif dengan pembelajaran kooperatif TSTS?”.

7
D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV
SDN 4 Sungailangka Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran pada aspek
kognitif maupun afektif dengan menggunakan pembelajaran kooperatif TSTS.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Siswa, proses belajar mengajar IPA di kelas IV SDN 4 Sungailangka menjadi
menarik dan menyenangkan serta hasil belajar IPA menjadi meningkat.
2. Guru, ditemukan strategi pembelajaran yang tepat atau tidak konvensional
tetapi bersifat variatif dan inovatif.
3. Sekolah, meningkatkan mutu sekolah melalui peningkatan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran IPA.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Aktivitas dan Hasil Belajar IPA

1. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

BSNP (2006:484) menyebutkan IPA adalah ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, baik
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip,
serta proses penemuan. Pendidikan IPA di SD diharapkan dapat menjadi
wahana bagi siswa SD untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan

sehari-hari.

Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Pembelajaran IPA di tingkat SD diharapkan dilaksanakan
dengan

pendekatan

Salingtemas

(Sains,

lingkungan,

teknologi,

dan

masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan
membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja
ilmiah secara bijaksana. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara
inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir,
bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek

9
penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD
menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu mempelajari dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri
dan berbuat, sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Mata Pelajaran IPA di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut:
a. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling memengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
d. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
e. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.
f. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

10
g. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs (BNSP, 2006:485).

3. Fungsi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Siswa perlu memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai yang
berhubungan dengan perubahan dan pengoperasian dalam membangun dunia
di masa kini dan di masa depan. Pelajaran IPA merupakan mata pelajaran
yang memberikan pengalaman yang berharga pada siswa untuk selanjutnya
terlibat langsung dalam setiap proses belajar mengajar, sehingga nantinya
dapat menghasilkan karya cipta yang memiliki arti bagi kehidupan siswa dan
masyarakat. Singkatnya, siswa dapat menguasai berbagai perangkat ilmu
pengetahuan dan dapat bereksperimen atau mencoba membuat suatu benda
yang berhubungan dengan teknologi di lingkungan sekitarnya.

Mata pelajaran IPA diharapkan dapat berfungsi, untuk:
a. Mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap serta keterampilan siswa untuk
menelaah teknologi yang ada di sekitarnya.
b. Mengembangkan pemahaman dan keterampilan dalam hal ide dasar
menggambar, merancang, membuat, penyajian, dan pengujian bendabenda yang berhubungan dengan teknologi (Soleh, dkk. (2004:30).

4. Ruang Lingkup Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Ruang lingkup pembelajaran IPA menurut Soleh, dkk. (2004:34) mencakup
ruang lingkup materi yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu

11
pengetahuan antara lain : pertanian, teknologi, peternakan, pertukangan,
kelautan, boga, busana, anyaman, budi daya holtikuliura, pertamanan, dan
lainnya.

Pembelajaran IPA di SD mengembangkan dua aspek, yaitu kerja ilmiah dan
pemahaman konsep serta prinsip. Kerja ilmial meliputi penyelidikan atau
penelitian, berkomunikasi ilmiah, pengembangan kreativitas dan pemecahan
masalah, sikap dan nilai ilmiah, serta saling keterkaitan antara sains, teknologi,
masyarakat, dan lingkungan (salingtemas). Sedangkan pembahaman konsep
dan prinsip meliputi materi/zat dan sifatnya, energi dan perubahannya,
makhluk hidup dan proses kehidupan, serta bumi dan antariksa/alam semesta.

5. Aktivitas Belajar IPA

Aktivitas belajar menurut pendapat Usman (2002:102) adalah aktivitas untuk
menciptakan atau membangun makna-makna personal dan kaitan-kaitan
penuh makna antara informasi/prilaku baru yang diperoleh dengan maknamakna personal yang sudah terdapat dan menjadi miliknya. Aktivitas tersebut,
antara lain membaca, melihat, mengerjakan, meniru dan mengalami sendiri
atau bersama dengan orang lain atau bersama dengan para pendidiknya. Pakar
ilmu psikologi J. Cronbach (Usman, 2002:102) mengatakan bahwa belajar itu
dapat dilakukan dengan jalan mengadakan observasi, membaca, meniru,
mencoba sendiri, mendengarkan serta mengikuti petunjuk-petunjuk yang
berkenaan dengan yang dipelajari.

12
Menurut Djamarah (2005:79), tidak ada proses be1ajar tanpa keaktifan anak
didik yang belajar. Kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar berada
pada rentangan skala 0-10, tidak ada skala nol, betapapun kecilnya keaktifan
tersebut. Aktivitas belajar anak tidak selalu sama. Tergantung pada
penggunaan metode dan pendekatan belajar mengajar serta orientasi belajar.

Lingkungan anak didik menyediakan fenomena alam yang menarik dan penuh
misteri. Anak sebagai “young scientist” (peneliti muda) mempunyai rasa
keingintahuan (curiousity) yang tinggi. Adalah keharusan di dalam pendekatan
pembelajaran IPA untuk memelihara keingintahuan anak dan memotivasinya,
sehingga mendorong anak didik untuk mengajukan keragaman pertanyaan
seperti “apa, mengapa, dan bagaimana” terhadap objek dan peristiwa yang ada
di alam. Pada perkembangan lebih lanjut pertanyaan itu ditingkatkan menjadi
pertanyaan yang menanyakan hubungan seperti “bagaimana jika”.
Sebagai hasil eksplorasi terhadap lingkungan, anak didik diharapkan membentuk
dirinya dengan sikap seorang ilmuwan cilik. Selama kegiatan belajar, perlu
ditumbuhkembangkan

kemampuan-kemampuan

untuk

menggunakan

keterampilan proses seperti mengajukan pertanyaan, menduga jawabannya,
merancang penyelidikan, melakukan percobaan, mengelola dan mengolah
data, mengevaluasi hasil, dan mengkomunikasikan temuannya kepada beragam
orang dengan berbagai cara yang dapat memberi pemahaman dengan baik.
Pada dasarnya, salah satu sasaran belajar IPA adalah membangun gagasan
saintifik setelah peserta didik berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan
informasi dari sekitarnya. Semua anak didik mulai dari usia TK sampai

13
dengan perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan tentang lingkungan
dan peristiwa/gejala alam di sekitarnya, meskipun gagasan tersebut terkadang
terlalu naif dan tidak masuk akal.
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah
memulai pelajaran dari “apa yang diketahui anak didik”. Guru tidak dapat
mengindoktrinasi gagasan saintifik supaya anaka didik mau mengganti dan
memodifikasi gagasannya yang non-saintifik menjadi gagasan/pengetahuan
saintifik. Dengan demikian, arsitek perubah gagasan peserta didik adalah
peserta didik itu sendiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator penyedia
kondisi, supaya proses belajar untuk memperoleh konsep yang benar dapat
berlangsung dengan baik.
Diskusi atau kerja kelompok merupakan salah satu kondisi belajar yang
menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan
gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demonstrasi, dan peragaan
prosedur ilmiah, dan kegiatan praktis lain yang memberi peluang anak didik
untuk mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
6. Hasil Belajar IPA

Hasil belajar adalah penguasaan atau abilitas tertentu sebagai hasil dari proses
belajar. Evaluasi perlu dilakukan untuk menilai sejauh mana hasil dari proses
pembelajaran dapat tercapai. Untuk mengevaluasi hasil belajar yang dicapai
oleh siswa, digunakan tes dan penilaian (Pribadi, 2009:46). Tes dan penilaian
hasil belajar mencakup tiga ranah, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor.

14
Akan tetapi tidak semua mata pelajaran menghasilkan output atau produk
belajar pada ketiga ranah tersebut, tergantung pada karakteristik mata pelajaran.

Hasil pembelajaran IPA pada dasarnya dapat dilihat pada ranah afektif dan
kognitif. Hasil pembelajaran pada ranah afektif yang ditekankan dalam
pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif metode
struktural dengan teknik TSTS adalah interaksi siswa, yaitu bagaimana
kerjasama atau keterlibatan siswa mendalami materi dalam kelompok mereka,
bagaimana siswa mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan baik antar
sesama siswa maupun antara siswa dengan guru, bagaimana siswa menyelesaikan
soal-soal latihan, menyelesaikan tugas rumah, serta gambaran sikap dan perasaan
siswa ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode yang diberikan.

Menurut Pribadi (2009:46) ada dua kategori tes yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa yang terkait dengan aspek kognitif, yaitu tes
objektif dan tes karangan. Tes objektif pada umumnya berupa tes yang memberi
kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang
tersedia. Contohnya : tes benar – salah (true – false), tes pilihan ganda (multiple
choice), mengisi (fill – in) dan menjodohkan (matching). Sedangkan tes bentuk
karangan (essay) merupakan tes yang menghendaki siswa untuk menjawab
pertanyaan dengan pengetahuan berbentuk tulisan.

Harapan dari proses pembelajaran yang diterapkan saat ini, yaitu dengan
pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi siswa
dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai,

15
bantuan, serta perhatian khusus bagi siswa-siswa yang lambat agar menguasai
standar kompetensi atau kompetensi dasar. Depdiknas (2008:13) menentapkan
bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan
patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak
ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas
ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik
harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik
dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.

Hasil belajar IPA pada umumnya masih rendah. Salah satu penyebab
rendahnya hasil belajar adalah kualitas proses pembelajaran yang kurang baik
atau kurang bermakna. Pembelajaran yang dilaksanakan saat ini masih
terpusat pada guru. Pelibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran
umumnya masih sebatas teori. Metode ceramah yang digunakan guru hanya
mampu mengarahkan siswa untuk menerima konsep-konsep atau materi saja,
sedangkan interaksi siswa dengan materi pelajaran sangat kurang.

Guru seharusnya melatih siswa agar dapat berpikir kritis dan kreatif serta mampu
menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi yang mendukung tidak semata
diberi ceramah, karena dengan ceramah justru akan menghambat kreativitas
siswa dengan kebiasaan ketergantungan siswa pada guru (Rosyada, 2004:165).
Intinya adalah guru harus menyiapkan pembelajaran yang bermakna, yaitu
pembelajaran yang mampu mendorong siswa untuk dapat terlibat secara aktif
dalam membantu siswa menguasai materi atau pencapaian tujuan pembelajaran.

16
Menurut Sardiman (2011:92), menyebutkan angka ketuntasan minimal yang
harus dicapai oleh setiap siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Angka
merupakan simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang
utama justru untuk mencapai angkat/nilai yang baik.

Penentuan batas pencapaian ketuntasan, meskipun umumnya disepakati
pada skor 75, namun batas ketuntasan yang paling realistik adalah ditetapkan
oleh sekolah atau daerah. Hal tersebut disesuaikan dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan terhadap analisis tiga hal, yaitu tingkat kerumitan
(kompleksitas), tingkat kemampuan rata-rata siswa dan tingkat kemampuan
daya dukung sekolah (Sardiman, 2011:93).

Patokan yang digunakan sebagai standar penguasaan penuh biasanya cukup
tinggi. Berkisar antara 75% atau 80% sampai dengan 90%. Dapat dibayangkan,
penguasaan minimal pun sudah dapat dikatakan cukup tinggi. Peluang untuk
mencapai taraf kemampuan lebih tinggi dari itu sangat besar. Juga tidak ada lagi
siswa memperoleh hasil belajar rendah, karena yang mendapat hasil rendah diberi
bantuan secukupnya sehingga dapat mencapai taraf penguasaan penuh. Pada
evaluasi akhir program (evaluasi submatif) pun siswa akan memperoleh prestasi
tinggi pula. James Block misalnya, menetapkan 90% s/d 95%. Bloom menetapkan
80% s/d 85%. Alhasil, patokan ini merupakan kriteria seorang siswa dapat dianggap
telah menguasai materi yang diajarkan secara minimum, juga merupakan acuan
dalam pelaksanaan evaluasi setiap akhir proses pembelajaran (Sardiman,
2011:101).

17
Ada baiknya jika guru memberitahukan kepada siswa batas ketuntasan minimal
yang harus dicapai pada mata pelajaran yang diajarkan, agar siswa termotivasi
untuk belajar, berfikir dan bertindak untuk dapat mencapai tujuan belajarnya
atau ketuntasan belajar yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut Bandura
(Uno, 2008:212), keberadaan tujuan akan berpengaruh terhadap perilaku. Tujuan
yang spesifik, tidak terlalu sukar, dan tampak bisa dicapai dalam waktu yang
tidak terlalu lama akan mendorong usaha untuk meningkatkan harapan untuk
selalu sukses. Tujuan yang spesifik akan menjadi ukuran yang jelas bagi
kinerja. Tujuan yang tidak terlalu sukar atau tidak terlalu mudah memberikan
tantangan yang cukup realistis sehingga apabila dicapai dengan sukses akan
meningkatkan keyakinan diri. Keyakinan diri akan meningkatkan status sosial
siswa di kelas. Tujuan yang disusun sendiri oleh siswa bersangkutan akan jauh
lebih efektif untuk meningkatkan kinerja dan prestasi siswa bersangkutan.

Berdasarkan pendapat di atas, maka agar bisa menyusun tujuan yang menantang
dan bisa dicapai, siswa harus dibimbing dalam hal menggambarkan apa yang
diharapkan untuk dicapai apabila mereka secara konsisten melakukan usaha yang
efektif. Apabila terjadi siswa melakukan urutan kegiatan yang panjang hanya
untuk mencapai tujuan maka siswa harus dibimbing untuk membagi tujuan itu
menjadi tujuan aktivitas jangka pendek dan memahami kaitan tujuan jangka
pendek tersebut untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Standar tujuan yang lebih tinggi menurut McLaughlin dan Gnagey (Uno, 2008:213),
cenderung untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Sayangnya, siswa
menetapkan tujuan cenderung untuk lebih rendah. Guru dapat membantu siswa

18
untuk mempertahankan standarnya agar tetap tinggi dengan jalan memonitor
penetapan tujuan dan memberi penguatan kepada tujuan yang berstandar tinggi.

Djamarah (2005:97) membagi keberhasilan proses pembelajaran dalam empat
tingkatan, sebagai berikut :
a. Istimewa/maksimal : 100% bahan pelajaran dapat dikuasai oleh anak didik.
b. Baik sekali/optimal : 76% – 99% bahan pelajaran dapat dikuasai oleh
anak didik.
c. Baik/minimal

: 60% – 75% bahan pelajaran dapat dikuasai oleh
anak didik.

d. Kurang

: < 60% bahan pelajaran dapat dikuasai oleh anak didik.

Taraf atau keberhasilan proses pembelajaran tersebut dapat digunakan untuk
upaya perbaikan dengan pertimbangan barikut:
a. Apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran
mencapai taraf keberhasilan minimal, optimal, atau maksimal, maka
proses pembelajaran berikutnya dapat membahas pokok bahasan yang
baru.
b. Apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran
mencapai taraf keberhasilan kurang, maka proses pembelajaran
berikutnya adalah perbaikan (remedial) (Djamarah, 2005:98).
B. Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay – Two Stray
1. Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay – Two
Stray
Pembelajaran secara konvensional yang masih berpusat pada siswa tidak dapat
mengajak siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, yang
diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan mudah. Oleh karena

19
itu, guru hendaknya merubah kegiatan pembelajaran menjadi modern, yang
lebih berpusat pada siswa, dan yang dapat meningkatkan minat siswa untuk
belajar menemukan sendiri, bekerjasama dan mengkomunikasikan hasil
belajarnya serta membuat siswa semakin aktif dan kooperatif.

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang berlandaskan
konstruktivisme. Menurut Trianto (2010:56), pembelajaran kooperatif muncul
dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep
yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin
bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah
yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi
aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif metode struktural dengan teknik Two StayTwo Stray (TSTS) dikembangkan secara asli oleh Spencer Kagan pada Tahun
1992. Teknik TSTS memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan
hasil dan informasi dengan kelompok lain. Banyak kegiatan belajar mengajar
yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri-sendiri
dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam
kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung
satu dengan yang lainnya (Sugiyanto, 2010:54).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa teknik belajar
kooperatif TSTS (dua tinggal dua tamu) adalah pembelajaran kooperatif yang
dilaksanakan oleh 4 orang siswa dalam satu kelompok, dimana setelah keempat

20
siswa melakukan proses diskusi seperti biasa dalam kelompoknya maka dua
orang anggota kelompoknya akan bertamu ke dua kelompok yang lain untuk
menggali informasi atau saling bertukar pendapat, setelah selesai maka dua
orang anggota yang bertamu ke dua kelompok lain tersebut kembali ke
kelompoknya dan melaporkan hasilnya.

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay – Two Stray

Penerapan metode pembelajaran kooperatif TSTS bertujuan untuk menciptakan
pembelajaran yang sukses, yaitu pembelajaran yang mampu membantu siswa
mencapai kompetensi yang diinginkan. Menurut Smith dan Ragan (Pribadi,
2009:23), ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk menentukan
keberhasilan proses pembelajaran, yaitu efektif, efisien dan menarik.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang mampu membawa siswa
untuk mencapai tujuan atau kompetensi seperti yang diharapkan. Sedangkan
makna dari pembelajaran yang efisien adalah aktivitas pembelajaran yang
berlangsung menggunakan waktu dan sumberdaya yang relatif sedikit.
Pembelajaran perlu diciptakan menjadi peristiwa yang menarik agar mampu
meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa.

Trianto (2010:57) menyimpulkan tujuan pembelajaran kooperatif dari beberapa
ahli, sebagai berikut :
a. Dapat memperbaiki hubungan diantara para siswa dari berbagai latar
belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilanketerampilan proses kelompok dan pemecahan masalah (Louisell &
Descamps, 1992).

21
b. Memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik
dan pemahaman baik secara individual maupun secara kelompok
(Johnson & Johnson, 1994).
c. Untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan
pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam
kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi
dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya
(Eggen & Kauchak, 1996).
d. Dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud
input pada level individual dan dapat mengembangkan solidaritas
sosial dikalangan siswa (Zamroni, 2000).

Pembelajaran IPA memiliki karakteristik penyelidikan. Oleh karena itu,
pembelajaran IPA memerlukan kegiatan penyelidikan, baik melalui observasi
maupun eksperimen, sebagai bagian dari kerja ilmiah yang melibatkan
keterampilan proses yang dilandasi sikap ilmiah. Selain itu, pembelajaran IPA
mengembangkan rasa ingin tahu melalui penemuan berdasarkan pengalaman
langsung yang dilakukan melalui kerja ilmiah. Melalui kerja ilmiah, peserta
didik dilatih untuk memanfaatkan fakta, membangun konsep, prinsip, teori
sebagai dasar untuk berpikir kreatif, kritis, analitis, dan divergen (BNSP, 2006:12).

Siswa pada jenjang sekolah dasar diharapkan dapat mulai menguasai
keterampilan proses dalam IPA, terutama keterampilan dasar. Keterampilan
dasar meliputi keterampilan mengobservasi, mengklasifikasi, berkomunikasi,
melakukan

pengukuran

metrik,

memprediksi/meramal,

menginferensi/

menyimpulkan, dan menafsirkan. Dalam rancangan proses pembelajaran IPA
dengan teknik TSTS, mengandung keterampilan proses dasar tersebut, serta
banyak mengikutsertakan siswa dalam proses pembelajaran. Dengan
demikian, keterampilan proses dasar IPA diharapkan akan berhasil dicapai
seperti yang diharapkan melalui interaksi pembelajaran dengan teknik TSTS.

22
3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay – Two
Stray

Langkah-langkah pembelajaran dengan TSTS, adalah sebagai berikut:
a. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok yang tiap kelompok terdiri
dari empat orang siswa.
b. Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa.
c. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan
meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua
kelompok lain.
d. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil
kerja dan informasi mereka ke tamu mereka.
e. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan
melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
f. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
(Sugiyanto, 2010:54).

4. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay –
Two Stray

Setiap model pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak
ada satu model pembelajaran yang sempurna. Adapun kelebihan pembelajaran
kooperatif metode struktural dengan teknik TSTS ini, antara lain:
a. Berorientasi kelas dan berpusat pada siswa.
b. bersifat kompetitif, aktif dan kooperatif.
c. Memberi siswa kesempatan untuk mempelajari sesuatu dengan baik dan
sekaligus menjadi nara sumber bagi satu sama lain.
d. Guru dapat mempertinggi daya nalar murid dan memotivasi mereka aktif
dalam belajar, sehingga proses belajar dan pembelajaran menjadi hidup
harmonis serta bergairah.
e. Metode ini mampu membentuk sikap kritis, menghargai pendapat orang
lain dan mendorong mereka banyak membaca (much reading).

23
f. Suasana kelas menjadi bergairah, dimana para siswa mencurahkan
perhatian dan pemikiran mereka terhadap masalah yang sedang
dibicarakan.
g. Dapat menjalin hubungan sosial antar individu siswa sehingga menimbulkan
rasa harga diri, toleransi, demokrasi, berpikir kritis dan sistimatis.

Kelemahan pembelajaran kooperatif metode struktural dengan teknik TSTS
ini, antara lain:
a. Menempatkan seluruh tanggung jawab pengajaran kepada seluruh anggota
kelas.
b. Adanya sebagian siswa yang kurang berpartisipasi secara aktif dalam
kegiatan belajar dapat menimbulkan sikap acuh tak acuh dan tidak ikut
bertanggung jawab terhadap hasil diskusi.
c. Sulit meramalkan hasil yang ingin dicapai karena penggunaan waktu yang
mungkin terlalu panjang.
d. Para siswa mungkin mengalami kesulitan mengeluarkan ide-ide atau
pendapat mereka secara ilmiah atau sistimatis.

C.

Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar dengan Metode Pembelajaran
Kooperatif Tipe Two Stay – Two Stray

Pembelajaran dengan teknik TSTS dikelola dalam tahap-tahap yang terstruktur,
terdiri dari pendahuluan, pelaksanaan, penguatan, dan penutup, antara lain:
1. Kegiatan pendahuluan berisi motivasi, apersepsi, dan skema materi secara
umum untuk menyiapkan fisik dan mental siswa dalam menerima pelajaran

24
baru. Menurut Djamarah (2005:91), kegiatan pendahuluan dapat dilakukan
dengan cara: (1) mengulang bahan pelajaran yang lalu yang mempunyai
hubungan dengan bahan yang akan diajarkan, (2) mengajukan pertanyaan
yang umum sehubungan bahan pelajaran untuk membangkitkan minat.
2. Pelaksanaan merupakan kegiatan pokok pembelajaran untuk menanamkan
konsep atau materi kepada siswa dengan pendekatan keterampilan proses
dasar IPA. Menurut Djamarah (2005:92), kegiatan yang tergolong dalam
langkah ini meliputi:
a. Menjelaskan bahan pelajaran baru dibantu dengan peragaan, unjuk
laku (demonstrasi), gambar, model, bagan, yang sesuai dengan
keperluan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan
kemampuan mengamati dengan cepat, cermat, dan tepat.
b. Merumuskan hasil pengamatan dengan merinci, mengelompokkan,.
atau mengklasifiksikan materi pelajaran yang diserap dan kegiatan
pengamatan terhadap bahan pelajaran tersebut.
c. Menafsirkan hasil pengelompokkan itu dengan menunjukkan sifat, hal,
peristiwa, atau gejala yang terkandung pada tiap-tiap kelompok.
d. Meramalkan sebab akibat kejadian perihal atau peristiwa lain yang
mungkin terjadi di waktu lain atau mendapat suatu perlakuan yang
berbeda.
e. Menerapkan pengetahuan keterampilan, sikap yang ditemukan atau
diperoleh dari kegiatan sebelumnya pada keadaan atau peristiwa yang
baru atau berbeda.
f. Merencanakan penelitian umpamanya mengadakan percobaan
sebubungan dengan masalah yang belum terselesaikan.
g. Mengkomunikasikan hasil kegiatan kepada orang lain dengan diskusi,
ceramah, mengarang, dan sebagainya.
3. Penguatan dilakukan dengan pemberian tugas dan latihan mengerjakan soalsoal pelajaran IPA sesuai dengan pokok materi yang dipelajari.
4. Penutup memuat kegiatan: (1) mengkaji ulang kegiatan yang telah dilaksanakan
dan merumuskan hasil yang diperoleh melalui kegiatan tersebut, (2) mengadakan
tes akhir, dan (3) pemberian tugas (Djamarah, 2005:92).

25
Melalui langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan teknik TSTS yang
terstruktur seperti yang telah dijelaskan di atas, diharapkan siswa akan mengalami
atau melakukan aktivitas belajar. Siswa yang mengalami atau melakukan aktivitas
belajar akan memiliki kemampuan dalam menyimpan, memproses dan memanggil
kembali pengetahuan atau informasi-informasi yang telah disimpannya. Ketika
siswa mencoba untuk mengeluarkan dan menggunakan kembali memorinya maka
mereka dapat dikatakan telah menunjukkan kemampuan hasil belajar. Menurut
Jerry Lucas (Djamarah, 2005:66), pemberdayaan memori yang dimiliki siswa akan
lebih efektif dan efesien dalam membantu belajar siswa dalam kondisi apapun.
Keberhasilan pembelajaran yang dilakukan secara kooperatif dapat dipengaruhi
oleh perilaku komunikasi individunya. Jika keberhasilan itu dikembangkan dan
didukung oleh faktor sosial, dari keberadaan individu dalam lingkungan kelompok
tertentu akan mempengaruhi perilaku biologi sosial yang ia kembangkan. Maka
tidaklah cukup keberhasilan pembelajaran berdasarkan keseimbangan perilaku
komunikasi seseorang jika hal hasil belajar itu diperuntukkan bagi adaptasi dan
pencarian posisi dalam kelompoknya. Dengan demikian setting pembelajaran
yang dilakukan guru harus mampu mengarahkan perilaku individu secara sosial
kontrol dalam kelompoknya, sehingga mampu menempatkan dirinya dan
menunjukkan dirinya sebagai individu yang berhasil da1am belajar.
Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan sesuai dengan harapan, dan siswa
dapat bekerja secara produktif dalam kelompok, maka siswa perlu diajarkan
keterampilan-keterampilan kooperatif untuk melancarkan peranan hubungan kerja
dan tugas. Lungren (Trianto, 2010:64) menyusun keterampilan kooperatif dalam
tiga tingkatan, sebagai berikut :

26
1. Keterampilan kooperatif tingkat awal
a. Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan tanggung
jawabnya;
b. Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman
dengan tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam
kelompok;
c. Mendorong adanya partisipasi, yaitu memotivasi semua anggota
kelompok untuk memberikan konstribusi; dan
d. Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan persepsi/pendapat.
2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah
a. Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal
agar pembicara mengetahui Anda secara energik menyerap informasi;
b. Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi
lebih lanjut;
c. Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat
berbeda;
d. Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan
bahwa jawaban tersebut benar.
3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir
a. Mengkolaborasi, yaitu memperluas konsep;
b. Membuat kesimpulan; dan
c. Menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.

D.

Kerangka Pikir

Siswa pada umumnya mengalami kejenuhan pada saat mengikuti kegiatan
pembelajaran, terutama jika guru hanya menggunakan satu metode pembelajaran
seperti ceramah, di mana guru umumnya hanya memberikan penjelasan sampai
detail tetapi jarang ada kesempatan bagi siswa untuk melakukankan demonstrasi,
eksperimen, tanya jawab, diskusi dan sebagainya. Akibatnya hasil belajar
siswapun tidak seperti yang diharapkan. Penulis berasumsi bahwa siswa adalah
orang yang mampu berfikir kritis dan dapat membedakan mana yang baik dan
tidak baik untuk diri mereka. Disamping itu siswa juga dapat menggunakan
kemampuan otak mereka dalam belajar tanpa harus dipaksa.

27
Berdasarkan alasan tersebut, penulis berpendapat bahwa guru IPA seharusnya
dapat menyampaikan materi pelajaran dengan metode menyenangkan dan tidak
menimbulkan kejenuhan misalnya dengan menggunakan metode pembelajaran
kooperatif. Banyak tipe dan strategi pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran IPA. Salah satunya adalah TSTS. Melalui pelaksanaan
pembelajaran TSTS pada pelajaran IPA untuk materi gaya diharapkan dapat
melibatkan siswa secara aktif. Hasil yang diharapkan tentunya dapat menunjukkan
adanya rangsangan pada minat belajar siswa, keaktifan siswa dalam kegiatan
pembelajaran seperti dalam diskusi kelompok, keaktifan siswa dalam bertanya
dan sebagainya. Pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Suasana belajar yang menarik dan menyenangkan sebagaimana dikemukan di atas
sangat dibutuhkan bagi siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini penting untuk
mengatasi kejenuhan. Pemilihan model pembelajaran kooperatif TSTS ini
merupakan tindakan yang diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang
menarik dan menyenangkan. Selain itu juga merupakan kreatifitas guru dalam
melakukan inovasi pada proses pembelajaran. Dalam sebuah diagram, kerangka
pikir penelitian ini digambarkan seperti gambar berikut.

INPUT



Materi Pelajaran
Rencana Pelajaran

PROSES

OUTPUT

Pembelajaran
Kooperatif Terstruktur
TSTS

Hasil Belajar
Kognitif dan Afektif

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

28
E.

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan di atas, maka disusun
hipotesis tindakan sebagai berikut: “Pembelajaran kooperatif Two Stay-Two Stray
(TSTS) dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa kelas IV SDN 4
Sungailangka Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran, baik dari aspek
kognitif maupun afektif”.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research).
Penelitian tindakan kelas adalah upaya perbaikan tindakan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru di dalam kelas. Penelitian tindakan pada hakikatnya
merupakan rangkaian “riset-tindakan-riset-tindakan-…”, yang dilakukan secara
siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan.
B. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas

Dalam rangka memecahkan permasalahan yang akan diteliti, maka penelitian ini
dilaksanakan dalam beberapa siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan
perubahan yang ingin dicapai, melalui prosedur penelitian sebagai berikut:
1. Perencanaan
Hal-hal yang peneliti lakukan pada tahap perencanaan ini adalah:
a. Menganalisa materi pelajaran.
b. Menyiapkan skenario atau rencana pelaksanaan pembelajaran menggunakan
metode pembelajaran kooperatif terstruktur two stay – two stray yang akan
diterapkan dalam proses belajar mengajar.
c. Mempersiapkan sumber, bahan, dan alat bantu yang dibutuhkan.
d. Menyusun lembar kerja siswa.

30
e. Mengembangkan format observasi pembelajaran.
f. Mengembangkan format evaluasi.
2. Tindakan
Tindakan yang akan peneliti lakukan adalah:
a. Melaksanakan skenario pembelajaran yang telah dipersiapkan.
b. Menerapkan metode pembelajaran kooperatif terstruktur two stay – two stray.
Adapun kegiatan yang akan dilakukan pada pelaksanaan pembelajaran, adalah
sebagai berikut:
a. Kegiatan awal
1) Guru membuka pelajaran dengan memberi salam kepada siswa.
2) Guru menunjukkan contoh benda untuk memotivasi siswa, misalnya :
sebongkah es dan semangkuk air.
3) Guru bertanya pada siswa, “Apakah ada yang tau ini jenis benda apa?”
4) Setelah mengetahui reaksi siswa tentang pertanyaan tersebut, guru
menjelaskan secara singkat materi pembelajaran yang akan dibahas,
kompetensi yang harus dicapai, dan kegiatan pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
b. Kegiatan inti
1) Guru :
a) Mengelompokkan siswa menjadi sejumlah tim beranggotakan 4
orang.
b) Membagikan LKS kepada tim dan mempersilahkan kepada tiap
anggota tim mempelajari materi bersama selama ± 20 menit.

31
c) Membimbing siswa berdiskusi dan melakukan pembimbingan
individual kepada siswa yang menemui hambatan.
d) Memberitahukan bahwa siswa boleh memilih tempat untuk diskusi
kelompok, apakah di dalam kelas, di perpustakaan, atau di koridor
kelas asalkan tidak jauh dari ruang kelas.
e) Mengamati aktivitas siswa saat kerja kelompok.
f) Setelah waktu belajar bersama hampir selesai, guru memberitahukan
kepada tiap-tiap kelompok yang memilih belajar di luar ruang kelas
untuk kembali ke kelas.
g) Membagikan lembar evaluasi atau tes.
h) Setelah siswa selesai mengerjakan tes, guru membagikan daftar
jawaban dan meminta siswa di akhir segmen ini saling menilai hasil
tes, dengan cara: tes dari kelompok 1 (misalnya) diperiksa oleh
kelompok 3, tes kelompok 3 diperiksa kelompok 2, dan seterusnya.
Setiap kelompok memeriksa hasil tes dari kelompok lain
i) Membagikan daftar jawaban dan meminta siswa di akhir segmen
saling menilai hasil tes, dengan cara: tes dari kelompok 1
(misalnya) diperiksa oleh kelompok 3, tes kelompok 3 diperiksa
kelompok 2, dan seterusnya. Setiap kelompok memeriksa hasil tes
dari kelompok lain.Kegiatan akhir.
2) Siswa :
a) Setiap siswa dalam kelompoknya mempelajari materi, melakukan
pengamatan terhadap benda-benda yang ada di lingkungan sekitar,

32
mempraktekkan/melakukan percobaan, dan melengkapi LKS selama
± 20 menit.
b) Setelah selesai mempelajari materi, setiap tim mengirimkan 2
anggotanya untuk bertamu ke kelompok lain dan mempelajari
materi atau melengkapi LKS yang belum lengkap atau membandingkan
hasil yang telah mereka pelajari kepada anggota kelompok yang
dikunjungi selama ± 20 menit.
c) 2 orang anggota yang tinggal di kelompoknya bertugas menerima
tamu dari kelompok lain dan membagi hasil diskusi maupun hasil
pengamatan ataupun percobaan yang telah dilakukan kepada anggota
kelompok yang datang bertamu.
d) Setelah ± 20 menit, anggota kelompok yang bertamu kembali ke
kelompoknya masing-masing membahas hasil yang mereka peroleh dengan
anggota kelompoknya dan mengerjakan tes tertulis secara individual
selama ± 5 menit.
c. Kegiatan Akhir
1) Siswa menyerahkan pekerjaannya kepada guru.
2) Guru menuliskan hasil penilaian siswa di papan tulis dan mengumumkan
peringkat tim dari yang tertinggi sampai yang terendah.
3) Guru memberi hadiah kepada tim peringkat 1.
4) Menginformasikan indikator untuk pertemuan pada pembelajaran
berikutnya.

33
5) Guru mengucapkan salam kepada peserta didik sebelum keluar kelas
dan peserta didik menjawab salam.
3. Pengamatan atau observasi
a. Melakukan observasi dengan memakai format observasi yang sudah disiapkan.
b. Menlai hasil tindakan dengan menggunakan format lembar kerja siswa (LKS).
4. Refleksi
Melakukan evaluasi terhadap tindakan pembelajaran berdasarkan data yang
terkumpul, yaitu evaluasi terhadap data aktifitas siswa dan aktifitas guru yang
dikumpulkan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan, serta
jawaban pertanyaan siswa, untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan
telah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran di kelas dan prestasi siswa
kelas IV dalam pembelajaran IPA atau belum. Selanjutnya adalah membahas
hasil evalusi dan mempersiapkan skenario pembelajaran berdasarkan hasil
evaluasi, untuk digunakan pada siklus berikutnya.

Ukuran keberhasilan dari proses pembelajaran yang sudah dijalankan akan
menggunakan tingkat keberhasilan proses pembelajaran dari Djamarah (2005:97).
Jika setelah dianalisa, terutama pada hasil belajar kognitif, 75% dari jumlah
siswa yang mengikuti pembelajaran mencapai taraf keberhasilan kurang, maka
pada siklus selanjutnya atau pertemuan selanjutnya materi akan diulang. Akan
tetapi, jika 75% dari jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran mencapai taraf
keberhasilan minimal, optimal, atau maksimal,, maka pada siklus selanjutnya
akan menggunakan materi yang baru.

34
C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan pada bulan Desember sampai
dengan Januari 2012, di SDN 4 Sungailangka Kecamatan Gedongtataan
Kabupaten Pesawaran.

D. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian tindakan kelas ini adalah guru dan siswa-siswi
kelas IV SDN 4 Sungailangka Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran
yang berjumlah 20 siswa, terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 7 siswa perempuan.
Sedangkan objek penelitian adalah metode pembelajaran kooperatif terstruktur
two stay – two stray dan hasil belajar.
E. Operasional Tindakan

1. Metode pembelajaran kooperatif terstruktur two stay – two stray
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dengan menggunakan sistem
pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang
mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, atau pun
suku yang berbeda. Sistem penilaian dalam pembelajaran kooperatif dilakukan
terhadap kelompok. Setiap kelompok berpeluang memperoleh penghargaan,
jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan
demikian dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok akan
memiliki ketergantungan positif, yang selanjutnya akan memunculkan
tanggung jawab individu terhadap kelompok (Trianto, 2010:240).

35
Two stay – two stray (TSTS) adalah struktur pembelajaran yang dirancang
untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa, yaitu setelah siswa bekerja
sama dalam kelompok seperti biasa, dua orang dari masing-masing kelompok
akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua
kelompok lain. Sementara itu dua anggota kelompok yang tinggal bertugas
membagikan hasil kerja dan informasi mereka kepada tamu mereka. Setelah
selesai tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka serta melaporkan
temuan mereka dari kelompok lain, mencocokkan dan membahas hasilnya
(Sugiyanto, 2010:54).

Jadi metode pembelajaran kooperatif terstruktur TSTS adalah pembelajaran
kelompok/tim kecil beranggotakan 4 orang, dengan struktur pembelajaran dua
orang tinggal sebagai penerima tamu dan dua orang lagi meninggalkan
kelompoknya untuk bertamu atau belajar ke kelompok yang lain.
2. Aktivitas belajar
Aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang dirancang oleh guru untuk
memvasilitasi kegiatan belajar siswa (Sanjaya, 2010:174). Dalam penelitian
ini aktivitas belajar adalah bentuk keterlibatan dan perbuatan siswa dalam
interaksi belajar mengajar menggunakan metode pembelajaran kooperatif
terstruktur TSTS.

Indikator aktivitas belajar siswa yang ditekankan dalam pembelajaran IPA
menggunakan model pembelajaran kooperatif metode struktural dengan teknik
TSTS adalah interaksi siswa, yaitu bagaimana kerjasama atau keterlibatan

36
siswa mendalami materi dan berdiskusi dalam kelompok mereka, bagaimana
siswa mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan baik antar sesama
siswa maupun antara siswa dengan guru.

Kadar/ukuran keaktifan siswa dalam belajar berada pada rentangan skala 0-10
(Djamarah, 2005:79). Dalam penelitian ini skala tersebut dijabarkan dengan
membagi rentang bilangan menjadi lima kategori, maka didapatkan kategori
aktivitas siswa sebagai berikut:
a. Baik Sekali, jika mencapai 8,

Dokumen yang terkait

PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TYPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SD NEGERI 4 SUKADAMAI LAMPUNG SELATAN TAHUN PELAJARAN 2011/2012

0 13 63

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROBLEM SOLVING PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SD NEGERI 1 SUNGAILANGKA KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN PESAWARAN

0 7 40

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEAMS-GAMES-TOURNAMENT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV PADA MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DI SDN 2 SUNGAILANGKA KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN PESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 6 80

PENERAPAN METODE KOOPERATIF TIPE TWO STAY STRAY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR ILMU PENGETAHUAN ALAM PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 4 SUNGAILANGKA KECAMATAN GEDONGTATAAN KABUPATEN ESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 14 45

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TWO STAY TWO STRAY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PKn KELAS VB SD NEGERI 1 METRO BARAT TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 8 40

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK TWO STAY TWO STRAY PADA TEMA BERBAGAI PEKERJAAN BAGI SISWA KELAS IV SDN 1 SUKABANJAR KECAMATAN GUNUNGALIP KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 5 63

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 LUBUKLINGGAU TAHUN PELAJARAN 20152016

0 0 10

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MODEL KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DI SMP PLUS MIFTAHUL ULUM SUMENEP

0 0 9

MODEL KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKn SISWA SEKOLAH DASAR

0 0 12

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA FITRA YULIA ROZI Guru IPS SMP Negeri 6 Pekanbaru fitriagmail.com ABSTRAK - PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TS

0 0 12