ANALISIS DETERMINAN KESEIMBANGAN PRIMER SEBAGAI INDIKATOR KESINAMBUNGAN FISKAL IMDONESIA (PERIODE 1998 – 2014)

(1)

Oleh IRMA YUNITA

ABSTRAK

Salah satu indikator untuk menilai kesinambungan fiskal adalah dengan melihat keadaan keseimbangan primer dalam APBN. Adanya kesenjangan yang terjadi pada sisi penerimaan dan pengeluaran menimbulkan kondisi defisit

keseimbangan primer, hal ini beresiko mengganggu kesinambungan fiskal karena beban bunga utang harus di tutup dengan penarikan pokok utang baru yang mengakibatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto meningkat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergerakan fluktuasi keseimbangan primer hingga menyebabkan angka dalam APBN mencapai kondisi defisit dengan mengetahui pengaruh variabel yang berkaitan secara signifikan terhadap keseimbangan primer.

Secara empiris, data times series yang di gunakan berupa data tahunan dimulai pada tahun 1998 – 2014, penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dengan menggunakan metode analisis ECM (Error Corection Model) untuk mengetahui pengaruh dalam jangka pendek dan analisis regresi berganda menggunakan OLS (Ordinary Least Square) untuk mengetahui pengaruh dalam jangka panjang. Hasil estimasi menggunakan dua model ECM dan OLS semua variabel bebas secara bersama-sama signifikan terhadap keseimbangan primer. Secara parsial metode ECM menunjukan bahwa dalam jangka pendek variabel penerimaan negara,pengeluaran pemerintah dan harga minyak dunia berpengaruh signifikan terhadap keseimbangan primer sedangkan utang pemerintah, inflasi, dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap keseimbangan primer. Berdasarkan metode OLS menunjukan bahwa dalam jangka panjang penerimaan negara,pengeluaran pemerintah, utang pemerintah, inflasi, tukar, dan harga minyak dunia berpengaruh signifikan terhadap keseimbangan primer.

Kata Kunci : Kesinambungan Fiskal, APBN, Keseimbangan Primer, Penerimaan Negara, Pengeluaran Pemerintah, Utang Pemerintah, Inflasi, Nilai Tukar, Harga Minyak Dunia, ECM, OLS.


(2)

By

IRMA YUNITA ABSTRACT

One of the indicator to measure fiscal sustainability is to see the state of primary balance in the State Budget. Gap that oscur between income and expenditure leads to a primary balance deficit state, this may cause an interference towards fiscal sustainibility because debt interest burden must be covered with wirthdrawal of new principal debt that resulting in increased of debt ratio of gross domestic product. Thust, this research is aimed to know how the movement of primary balance fluctuation that causing state budget reach the budget deficit by knowing the influence of variables that significantly related to primary balance.

Empirically, times series data that is used is annual data in the years 1998–2014. This research using quantitative analysis methods with ECM (Error Correction Model) to find out the influence in the short-term while using multiple regression analysis with OLS (Ordinary Least Square) method to find out the influence in the long term. Result of the estimation using ECM and OLS show that independent variables are significantly affect on the primary balance. Partially ECM show that in the short-term, variables state revenue, government expenditure, and world oil prices significantly affect of the primary balance while government debt,

Inflation, and the rupiah exchange rate is not significantly affect of the primary balance. Based on the OLS method, in the long-term, state revenue, government debt, inflation, exchange rate, and world oil prices significantly affect of the primary balance.

Key words : Fiscal Sustainability, State Budget, Primary Balance, State Revenue, Government Spending, Govermend Debt, Inflation, Exchange Rate,World Oil Prices, ECM, OLS.


(3)

Oleh: IRMA YUNITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

Penulis dilahirkan di sukamulya, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Bandar, Provinsi Lampung pada tanggal 21Maret 1994. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Ibu Iis Sugiarti dan Bapak Syarial Efendi.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Kampung Sawah Brebes,Kecamatan Tanjung Karang Timur Kota Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2005. Selanjutnya, pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan

menengah pertama di SMP Negeri 5 Bandar Lampung dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMK Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2011. Setelah itu pada tahun yang sama yaitu tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Tahun 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kunjung Lapangan (KKL) di Bank Indonesia, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Kementrian Koperasi dan UMKM. Pada Januari 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tanjung Mas Mulya Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM) pada tahun 2011-2012. Paduan Suara Mahasiswa (PSM) pada tahun 2011-2013, Himpunan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (HIMEPA) pada tahun 2011-2013 dan Kelompok Study Pasar Modal (KSPM) pada tahun 2011-2012.


(8)

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat yang diberikan, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi agung Muhammad SAW. Ku persembahkan skripsi ini sebagai tanda cinta dan terima kasihku kepada :

Ayah, Ibu dan Keluarga tercinta yang selalu memberikan limpahan kasih sayang, doa, keikhlasan, ketulusan, kesabaran, perjuanganan dan pengorbanan yang sangat

luar biasa, tidak ada sesuatu apapun yang bisa membalas dan menggantikannya. Terimakasih atas semangat yang diberikan serta pembelajaran hidup yang luar

biasa.

Adik-adikku Muhammad Sholeh, Indah Suryani dan Cassia Nadiva S. yang telah. Memberikan perhatian, semangat dan dukungan untuk terus berjuang dan tidak

pernah menyerah.

Yang terkasih dan Sahabat-sahabat tercinta yang dengan tulus menyayangiku serta keceriaan dan kebersamaan kalian yang selalu memotivasiku. Almamaterku tercinta. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan


(9)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlahdengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya

kepadaTuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Al-Insyirah: 5-8)

Hikmah sering datang kepada kita dalam bentuk kesakitan, kehilangan, dan kekecewaan, Jika kau sabar, kau akan segera melihat bentuk aslinya.

(Josep Addison)

Sabar itu pahit, prosesnya panjang dan penuh kesulitan, tapi berbuah sangat manis jika kau bisa melaluinya.

(Irma Yunita)

Berjuanglah jika kau ingin hidup. Tetaplah berjalan meski hampir putus asa. Doa Sang Ibu akan selalu menuntunmu. Dan jika kau berhenti semua akan tertinggal,

sia-sia dan tamat. (Irma Yunita)


(10)

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsiyang berjudul “Analisis Determinan Keseimbangan Primer Sebagai Indikator Kesinambungan Fiskal Indonesia (Periode 1998–2014)” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak terbantu dan didukung oleh berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.E.P. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. 3. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E. selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. 4. Bapak Dr. Ambya, S.E., M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing dengan penuh kesabaran, memberikan perhatian, motivasi, semangat dan sumbangan pemikiran kepada penulis demi


(11)

membimbing, memberikan perhatian, nasihat, motivasi dan semangat selama menjadi mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

6. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan pelajaran yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan.

7. Ayah dan Mama tercinta, Syahrial Efendy dan Iis sugiarti. Terima Kasih atas Cinta dan Kasih sayang serta dukungan yang diberikan selama ini, kesabaran serta doa yang tidak pernah lelah demi yang terbaik untuk anak-anaknya. 8. Adik-adikku Muhammad Sholeh, Indah Suryani, dan Cassia Nadiva S..

Terimakasih atas dukungan, semangat dan motivasi untuk terus berjuang. 9. Seluruh Keluarga besar dari ayah dan ibu yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi.

10. Yang terkasih Ariyo Aditya Putra. Terimakasih atas cinta dan kasih sayang beserta segala dukungan, semangat, motivasi, kesabaran, dan waktu yang selalu diberikan selama ini.

11. Sahabat-sahabat tersayang dan seperjuangan di waktu kuliah. Dian Ayu, Mamak Gita, Duwi, Yessi, Devi, Desi yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat Konsentrasi Ekonomi Publik dan Fiskal. Trimul, Encik, Nenek, Mba Asih, Agilta, Mega, Risa, Dian Endut, Mustakim, Nizon, Yudi, Sahid, Asdi, Adi, Anton, Anggi Wahyu, Rafiq, Dito dll. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.


(12)

Cella, Dewi, Tari, Gile, Annisa, Suci Y, Ika, Indah, Fajri, Yeni, Suci M, Royiv, Agam, serta seluruh teman-teman EP’11 yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena keterbatasan yang ada. Terimakasih atas segala dukungan dan semangatnya selama ini.

14. Keluarga KKN Tematik Desa Tanjung Mas Mulya Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji. Keluarga Besar TMM, Mba Riza, Shedy, Abang Roby, Abang Roki, Abang Rian, Rifki, Riski, Abang Rudi, dan Riyadhi.

15. Sahabat-sahabatku Rahma, Novita, Halida yang selalu memberikan keceriaan, semangat dan dukungan yang memotivasi.

16. Seluruh staf Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Ekonomi Pembangunan, khususnya Ibu Hudaiyah, Mas Feri, Ibu Yati, Mas Usman,Mas Ma’ruf. 17. Kakak tingkat EP 2009 dan 2010 serta adik tingkat EP 2012, 2013, dan 2014. 18. Berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini

yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 23 juni 2015 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian ... 11

1. Tujuan Penulisan ... 11

2. Manfaat Penelitian ... 12

D. Kerangka Pemikiran ... 13

E. Hipotesis ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ... 19

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ... 19

1.1. Definisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .. 19

2. Defisit Anggran ... 21

2.1. Definisi Defisit Anggaran ... 21

2.2. Sebab-Sebab Terjadinya Defisit Anggaran Pemerintah ... 23

3. Keseimbangan Primer ... 25


(14)

5. Pengeluaran Pemerintah ... 28

5.1. Teori Peacock dan Wiseman ... 29

5.2. Teori Batas Kritis Colin Clark ... 31

6. Utang Negara ... 31

6.1. Utang Dalam Negeri ... 32

6.2. Utang Luar Negeri ... 33

6.2.1. Bentuk-Bentuk Utang Luar Negeri ... 34

6.2.2. Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN ... 34

7. Inflasi ... 36

7.1. Definisi Inflasi ... 36

7.2. Penggolongan Inflasi ... 36

7.2.1. Teori Kuantitas ... 36

7.2.2. Aliran Klasik ... 37

7.2.3. Aliran Keynes ... 37

7.2.4. Aliran Monetarisme ... 38

7.2.5. Teori Ekspektasi ... 38

7.3. Jenis Inflasi Menurut Asal Usulnya ... 38

8. Nilai Tukar ... 39

9. Harga Minyak Dunia ... 40

10.Kesinambungan Fiskal ... 42

10.1. Definisi Umum ... 42

10.2. Sustainabilitas dan Solvabilitas ... 44

10.3. Tujuan kebijakan Fiskal yang Berkesinambungan ... 45

10.4. Pendekatan Kesinambungan Fiskal ... 46

10.5. Indikator Kesinambungan Fiskal ... 47

11.Hubungan Masing-Masing Variabel Terhadap Keseimbangan Primer ... 49

11.1. Penerimaan Negara ... 49

11.2. Pengeluaran Pemerintah ... 49

11.3. Utang Pemerintah ... 50

11.4. Inflasi ... 51


(15)

11.6. Harga Minyak Dunia ... 53

12.Hubungan Seluruh Variabel ... 54

B. Tijauan Empiris ... 55

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 61

B. Ruang Lingkup Penelitian ... 61

C. Jenis dan Sumber Data ... 62

D. Batasan Variabel ... 62

E. Teknik Analisis Data ... 64

F. Identifikasi Variabel ... 65

G. Model Analisis ... 66

H. Metode Analisis ... 68

1. Uji Stasioneritas (Uji Akar Unit) ... 70

2. Uji Kointegrasi (Keseimbangan Jangka Panjang) ... 71

3. Uji Koreksi Kesalahan (ECM) ... 72

4. Uji Asumsi Klasik ... 73

4.1. Uji Multikolinearitas ... 74

4.2. Uji Heterokedastisitas ... 75

4.3. Uji Autokorelasi ... 76

4.4. Uji Normalitas ... 77

5. Uji Hipotesis ... 78

5.1. Uji F (Keberatian Keseluruhan) ... 78

5.2. Uji t (Keberatian Parsial) ... 79

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian dan Pembahasan ... 80

1. Uji Stasioneritas Data ... 80

2. Uji Kointegrasi ... 82

3. Hasil Pengujian Regresi ... 83

4. Uji Asumsi Klasik ... 86


(16)

4.2. Heterokedastisitas ... 87

4.3. Autokorelasi ... 87

4.4. Normalitas ... 88

5. Pengujian Hipoetesis ... 89

5.1.Uji t-Statistik ... 89

5.1.1. Pengaruh Penerimaan Negara dangan Keseimbangan Primer ... 89

5.1.2. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dengan Keseimbangan Primer ... 92

5.1.3. Pengaruh Utang Pemerintah dangan Keseimbangan Primer ... 95

5.1.4. Pengaruh Inflasi dengan Keseimbangan Primer ... 98

5.1.5. Pengaruh Nilai Tukar dengan Keseimbangan Primer ... 101

5.1.6. Pengaruh Harga Minyak Dunia dengan Keseimbangan Primer ... 103

5.2.Uji F-Statistik ... 106

B. Implikasi Ekonomi dan Kebijakan ... 107

1. Penerimaan Negara ... 107

2. Pengeluaran Pemerintah ... 110

3. Utang Pemerintah ... 112

4. Inflasi ... 116

5. Nilai Tukar ... 118

6. Harga Minyak Dunia ... 119

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

1. Bagi Pemerintah ... 123

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 125

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Ringkasan Realisasi ABN 2011-2014 ... 4

2. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Gaffari Ramadhan dan Robert A Simanjuntak (2002) ... 55

3. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Djamester A.Simarmata (2007) ... 56

4. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Dr.Husein Abdullah, Muszafarsah Mohd Mustafa, Dr.Jauhari Dahlan (2012) ... 56

5. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Chung Mo Koo (2008) ... 57

6. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Phd Andrea Stoain (2007) ... 58

7. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Harun Rosit (2007) ... 58

8. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Bakhtiar Efendi (2009) ... 59

9. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Makhlani (2007) ... 60

10. Ringkasan Hasil Penelitian Empirik Kementerian Keuangan (2009)... 60

11. Ringkasan Deskripsi Data Input ... 66

12. Hasil Uji Akar Unit(In Level) ... 80

13. Hasil Uji Derajat (First Difference) ... 81

14. Hasil Uji Kointegrasi... 82


(19)

(20)

Lampiran Halaman 1. Data Penelitian (Keseimbangan Primer, Penerimaan Negara,

Pengeluaran Pemerintah, Utang Pemerintah, Inflasi,

Nilai Tukar, Harga Minyak Dunia ... L1 2. Transformasi Data Dalam Bentuk Logaritma Natural ... L1 3. Uji Stasioneritas Variabel Pada Tingkat Level ... L2 4. Uji Stasioneritas Variabel Pada TingkatFirst Different ... L3 5. Uji Kointegrasi Menggunakan Engle Granger ... L4 6. Uji Koreksi Kesalahan (ECM) ... L5 7. Uji Regresi Berganda (OLS) ... L6 8. Hasil Uji Multikolinearitas ... L7 9. Hasil Uji Heterokedastisitas ... L8 10. Hasil Uji Normalitas ... L9 11. Hasil Uji Autokorelasi ... L10


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Perkembangan Keseimbangan Primer Periode 1998-2014 ... 2 2. Pergerakan Keseimbangan Primer, Penerimaan Negara,

Pengeluaran Pemerintah, Utang Pemerintah, Inflasi, Nilai Tukar,

Harga Minyak Dunia ... 5 3. Kerangka Pemikiran ... 15 4. Kurva Pengeluaran Pemerintah Teori Peacock dan Wiseman ... 30


(22)

A. Latar Belakang

Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

(Kementerian Keuangan RI, 2010). Kebijakan fiskal merupakan proses penetapan pajak dan pengeluaran pemerintah dalam rangka membantu memperkecil

fluktuasi dari siklus usaha (business cycle) dan membantu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja yang tinggi, dan membebaskan dari inflasi yang tinggi atau bergejolak (Samuelson,1995).

Dalam pengelolaan stabilitas makroekonomi, kebijakan fiskal akan berinteraksi dengan kebijakan moneter. Sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsinya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Melalui APBN ini, pemerintah harus menjalankan peran dan fungsi sentral kebijakan fiskal dengan baik agar keadaan APBN berkesinambungan, menjadi sehat dan tidak menimbulkan masalah. Demi mendukung penurunan tingkat defisit, pemerintah selalu berusaha menjaga defisit kumulatif APBN dan APBD dalam batas yang dapat diatur yaitu di bawah 3% sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


(23)

Untuk membiayai defisit APBN, pemerintah secara bertahap merubah kebijakan pembiayaan dengan mempertimbangkan sumber-sumber pembiayaan yang

berisiko rendah, kemampuan membayar pinjaman, dan kemampuan menyerapnya. Salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal adalah pendekatan keadaan nilai sekaang(present value constraint approach)yang menyatakan bahwa kesinambungan fiskal(fiscal sustainability)tercapai apabila jumlah utang pemerintah pada tahun anggaran tertentu sama dengan nilai sekarang (present value)dari surplus keseimbangan primer (primary balance)di masa mendatang. Begitu juga dengan pendekatan akuntansi yang mengandalkan besaran

keseimbangan primer sebagai tolok ukur (Kementerian Keuangan RI, 2010).

Keseimbangan primer merupakan total penerimaan dikurangi belanja dalam APBN yang tidak termasuk pembayaran bunga. Jika berada dalam kondisi defisit, penerimaan negara tidak bisa menutup pengeluaran sehingga membayar bunga utang sudah menggunakan pokok utang baru. Gambar 1. menunjukan pergerakan keseimbangan primer APBN Indonesia dari tahun 1998 sampai 2014.

Gambar 1. Perkembangan Keseimbangan Primer 19982014


(24)

Terlihat bahwa dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit pada keseimbangan primernya. Selama pemerintah beralih dalam menggunakan

struktur APBNT-accountmenjadiI-account,operasi keuangan pemerintah untuk pertama kalinya terjadi defisit keseimbangan primer pada APBN 2012 sejak tahun 1998 hingga 2011 keadaan keseimbangan primer selalu mngalami fluktuasi surplus. Dan pada tahun 2012 hingga 2014 pergerakan keseimbangan primer masih mengalami defisit sebesar 106,041 triliun rupiah pada tahun 2014 terkahir.

Bank Indonesia dalam laporan perekonomian Indonesia (2012) menjelaskan bahwa keseimbangan primer terjadi akibat kombinasi dari beberapa faktor. Hal ini terjadi karena di faktor utama yaitu pendapatan negara pada tahun 2012 terekam lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P karena tidak optimalnya penyerapan pajak akibat perlambatan ekonomi global yang berdampak pada lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional dibandingkan dengan asumsi

pertumbuhan ekonomi pada APBN-P 2012. Sedangkan faktor utama lain, pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM yang terus mengalami peningkatan menyebabkan realisasi subsidi jauh melampaui batas anggaran subsidi dalam APBN-P 2012.

Defisit keseimbangan primer APBN berisiko mengganggu kesinambungan fiskal karena beban bunga utang harus ditutup dengan penarikan pokok utang baru. Akibatnya, rasio utang terhadap produk domestik bruto berisiko meningkat. Dengan menggunakan salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal, melihat kondisi keseimbangan primer APBN yang bernilai negatif,


(25)

langkah-langkah strategis untuk menjaga kesinambungan fiskal. Dibawah ini merupakan tabel realisasi APBN yang menunjukan posisi dari keseimbangan primer dalam APBN dalam empat tahun terakhir sejak 2011 sampai 2014.

Tabel 1. Ringkasan Realisasi APBN 2011-2014 (Triliun Rupiah)

Keterangan 2011 2012 2013 2014

LKPP LKPP LKPP APBN-P

Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan

Pajak

II. Hibah Belanja Negara

I. Belanja Pemerintah Pusat II. Transfer Ke Daerah III.Suspen

Keseimbangan Primer

Surplus/ Defisit Anggaran (A-B) E Pembiayaan (E.I + E.II)

I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri (netto)

1.210,6 1.205,4 873,9 332,5 5,2 1,295.0 883,7 411,3 0 8,8 (84,4) 130,9 102,7 28,3 1.338.1 1.332.3 980.5 351,8 5,8 1.491,4 1.010,6 480,6 0,2 (52,8) (153,3) 175,2 137,0 38,1 1.438,9 1.432,1 1.077,3 354,8 6,8 1.650,6 1.137,2 513,3 0,1 (98,6) (211,7) 237,4 219,3 18,1 1.635,4 1.633,1 1.246,1 386,9 3,3 1.876,9 403,0 596,5 -(106,0) (241,5) 241,5 253,7 (12,2)

Sumber : Kementerian Keuangan

Kondisi keseimbangan primer di Indonesia menunjukan bahwa keseimbangan primer mengalami defisit sejak tahun 2012 hingga APBN-P 2014 pun masih menunjukan defisit. Sedangkan keseimbangan primer merupakan indikator yang menunjukan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja negara. Ketika posisi keseimbangan primer defisit dan rasio keseimbangan primer terhadap PDB itu pun negatif maka dapat dipastikan bahwa pengeluaran pemerintah akan banyak


(26)

bergantung kepada utang sehingga utang negara akan mengalami kenaikan signifikan. Ketika kondisi ini terus berlanjut maka kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkatnya defisit dimasa yang akan datang dengan

bertambahnya pembayaran utang ataupun pengeluaran belanja pemerintah yang lain. Khususnya pengeluaran pemerintah pada subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) yang memicu kenaikan impor BBM. Sedangkan harga minyak dunia terus mengalami peningkatan. Terjadinya kelebihan pembiayaan pemerintah yang cukup besar sejak tahun 2008 dan penerimaan dari sumber pajak yang terus menurun memperparah kondisi defisit APBN ataupun rasio keseimbangan primer. Sementara realisasi penyerapan anggaran sebagaimana yang ditargetkan dalam APBN-P tidak mampu dipenuhi (Kementerian Keuangan RI, 2013).

Gambar 2. Pergerakan keseimbangan primer, penerimaan negara,

pengeluaran pemerintah, utang pemerintah, inflasi, nilai tukar, dan harga minyak dunia 1998-2014


(27)

Gambar 2 menunjukan perkembangan keseimbangan primer, penerimaan negara, pengeluaran pemerintah, utang pemerintah, inflasi, nilai tukar, dan harga minyak dunia. Terlihat bahwa kondisi perekonomian global mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan dari krisis utang dan fiskal di Eropa. Kecenderungan naiknya harga minyak dunia yang sangat tinggi berdampak pada kondisi keseimbangan primer, hal ini mengakibatkan beban subsidi BBM dan listrik menjadi meningkat. Adanya kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat mengakibatkan kondisi keseimbangan primer semakin menurun. Secara keseluruhan, pergerakan tersebut menunjukan pemerintah harus lebih berhati-hati dalam pengelolaan keuangan negara (Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian Indonesia, 2012).

Dalam gambar menunjukan pengeluaran pemerintah melebihi dari penerimaan yang diterima pada tahun 2014 penerimaan negara sebesar 1.635,379 triliun rupiah sedangkan pengeluaran pemerintah sebesar 1.876,871 triliun rupiah. Hal ini dibuat pemerintah agar APBN mengalami defisit dengan tujuan agar

mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi kenyataannya keadaan tersebut mempengaruhi keseimbangan primer, yang mengalami defisit pada tahun 2014 begitu besar hingga mencapai defisit 106,041 triliun pada tahun 2014.

Keadaan defisit ini disebabkan pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang sepanjang tahun mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir mangalami depresisasi yang cukup tinggi menunjukan angka 12.440 pada tahun 2014. Asumsi nilai tukar rupiah yang berhubungan dengan transaksi dalam APBN berkaitan dengan mata uang asing seperti penerimaan pinjaman, dan pembayaran


(28)

utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Sehingga nilai tukar menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah, serta besarnya pembiayaan anggaran.

Harga minyak dunia yang semakin meningkat menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan anggaran lebih untuk subsidi BBM, pengeluaran yang melebihi anggaran tanpa diiringi penerimaan yang meningkat mengakibatkan pemerintah harus mencari dana untuk menutupi kekurangan anggaran, hal ini mengakibatkan utang pemerintah selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang begitu besar menunjukan angka 2.604,88 triliun pada tahun 2014 sedangkan pada tahun 2010 utang pemerintah masih menunjukan angka dibawah dua ribu triliun atau lebih tepatnya sebesar 1.681,66 meningkat sebesar hampir 75% selama lima tahun terakhir.

Kenaikan tajam pada anggaran yang defisit dapat menyebabkan masalah yang parah terhadap ekonomi makro dan dapat menghambat kontrol defisit fiskal itu sendiri. Hal ini terjadi terutama pada negara-negara berkembang, di mana kebutuhan untuk belanja anggaran adalah tinggi dan dimana sistem pajak, dan regulasi publik dan akuntabilitas lemah. Melalui APBN ini, pemerintah harus menjalankan peran dan fungsi sentral kebijakan fiskal dengan baik agar keadaan APBN berkesinambungan, menjadi sehat dan tidak menimbulkan masalah. Keadaan seperti itu juga dihadapi oleh Indonesia. Indonesia telah terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN akibat adanya krisis ekonomi. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini merupakan utang


(29)

dalam negeri yang harus dibayar untuk restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009). Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscal space) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan dari stimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal (Rahmany, 2004). Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006; Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Akibat banyaknya utang pemerintah mengalami

defisit APBN dan neraca pembayaran yang terus meningkat. Utang luar negeri diandalkan untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran dan neraca

pembayaran.

Kemampuan membayar angsuran utang dan bunganya ditentukan oleh

penerimaan pemerintah dari sumber dalam negeri, inflasi dan nilai tukar rupiah selain dari penghasilan devisa.Peningkatan pengeluaran untuk membayar angsuran utang dan bunga utang, diikuti dengan adanya penurunan penerimaan pemerintah karena turunnya penerimaan dari sumber lain menyebabkan defisit anggaran dan utang luar negeri pemerintah meningkat. Defisit anggaran yang didanai oleh utang luar negeri pemerintah menyebabkan terus meningkatnya jumlah utang luar negeri. Adanya utang luar negeri membawa dampak pada kewajiban untuk membayar bunga dan cicilan utang karena berpengaruh terhadap neraca pembayaran dan APBN suatu negara.Seberapa besar utang dapat

ditoleransi oleh sebuah perekonomian sangat tergantung, likuiditas dan solvabilitas perekonomian suatu negara yang terlibat dalam utang tersebut (Agenor, 1996).


(30)

Begitu banyak penyebab yang menimbukan keseimbangan primer mengalami defisit, maka penelitian mengenai keseimbangan primer sangat menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai defisit APBN telah banyak dilakukan antara lain Harun Rosit (2010) yang meneliti tentang hubungan kausalitas asumsi APBN terhadap APBN di Indonesia menghasilkan kesimpulan bahwa asumsi APBN memberi konstribusi terhadap APBN, tetapi perkiraan varian yang paling memberi kontribusi APBN adalah harga minyak internasional dan nilai tukar. Studi empiris lain dilakukan oleh Djamester A.Simamarta (2007) mengenaiFiscal Sustainibillity In Indonesiayang mengasilkan kesimpulan bahwa tingkat

kesinambungan fiskal di Indonesia masih dalam tahap aman meskipun

komplektivitas hutang luar negeri dapat mempengaruhi keberlanjutan hutang. Studi empiris mengenai analisis dalam mengatasi dampak krisis global melalui program stimulus fiskal APBN 2009 yang dilakukan oleh Departemen Keuangan menghasilkan penelitian yang menyimpulkan bahwa dengan adanya perubahan beberapa asumsi ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga, harga danliftingminyak mentah Indonesia) yang secara signifikan berpengaruh terhadap besaran-besaran APBN, baik pada pendapatan negara maupun belanja negara.

Oleh karena itu dalam penelitian ini ingin menganalisis tentang “Analisis Determinan Keseimbangan Primer Sebagai Indikator Kesinambungan Fiskal Indonesia Periode 1998-2014”. Dimana dalam penelitian ini menggunkann data tahunan, dan metode yang dipakai adalah metode ECM(Error Correction Model) untuk mengetahui pengaruh jangka pendek. Dan menggunakan regresi berganda OLS(Ordinary Least Square)untuk mengetahui pengaruh jangka panjang.


(31)

Mengingat pengaruh yang mengakibatkan keseimbangan primer mengalami defisit tidak hanya dalam jangka panjang tetapi juga dalam jangka pendek.

B. Rumusan Masalah

Defisit keseimbangan primer APBN berisiko mengganggu kesinambungan fiskal karena beban bunga utang harus ditutup dengan penarikan pokok utang baru. Akibatnya, rasio utang terhadap produk domestik bruto berisiko meningkat. Dengan menggunakan salah satu pendekatan untuk menilai kesinambungan fiskal, melihat kondisi keseimbangan primer APBN yang bernilai negatif,

kesinambungan fiskal Indonesia akan terganggu. Harusnya meskipun tidak mencapai surplus, menekan defisit APBN akan membuat keseimbangan primer APBN menjadi lebih baik. Jika dilihat secara keseluruhan Indonesia belum bisa mencapai kesinambungan fiskal secara optimal karena semakin tingginya belanja negara dan ketidak mampuan pihak pemerintah dalam membayar cicilan pokok utang, sehingga menyebabkan kesenjangan anggaran yang terus berlanjut.

Permasalahan yang dapat ditarik dari penelitian ini yaitu penting bagi pemerintah untuk mengetahui bagaimana pergerakan fluktuasi keseimbangan primer hingga menyebabkan angka dalam APBN mencapai kondisi defisit. Dengan mengetahui variabel yang berkaitan secara signifikan mempengaruhi keseimbangan primer serta bagaimana pengaruh yang diberikan. Beberapa variabel menunjukan bahwa ada beberapa data yang menunjukan ketidak sesuaiandengan teori dan beberapa penelitian terdahulu terhada defisit APBN. Dengan demikian, maka yang menjadi perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :


(32)

1. Apakah variabel penerimaan negara berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ? 2. Apakah variabel pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan dan

negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

3. Apakah variabel utang pemerintah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ? 4. Apakah variabel inflasi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap

keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

5. Apakah variabel nilai tukar berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

6. Apakah variabel harga minyak dunia berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ? 7. Apakah variabel penerimaan negara, pengeluaran pemerintah, utang

pemerintah, inflasi, nilai tukar dan harga minyak dunia berpengaruh secara bersama-sama terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang ?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaruh variabel penerimaan negara berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.


(33)

2. Untuk mengetahui pengaruh variabel pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

3. Untuk mengetahui pengaruh variabel utang pemerintah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

4. Untuk mengetahui pengaruh variabel inflasi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

5. Untuk mengetahui pengaruh variabel nilai tukar berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

6. Untuk mengetahui pengaruh variabel harga minyak dunia berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

7. Untuk mengetahui pengaruh variabel penerimaan negara, pengeluaran pemerintah, utang pemerintah, inflasi, nilai tukar, dan harga minyak dunia berpengaruh secara bersama-sama terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.


(34)

2. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat berguna terhadap berbagai pihak, seperti :

a. Diharapkan dapat berguna sebagai tambahan informasi bagi lembaga-lembaga terkait dalam menentukan kebijaksanaanya yang berkaitan dengan kenimabungan anggaran.

b. Diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana kontribusi faktor pembentukan struktur fiskal dan utang luar negeri terhadap

kesinambungan anggaran.

c. Diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti lain yang berminat pada masalah yang sama dan analisis yang dapat diperoleh dapat menjadi informasi bagi pihak yang memerlukan.

D. Kerangka Pemikiran

Secara umum definisi mengenai kesinambungan fiskal berkaitan dengan keseimbangan primer (primary balance) dan kondisi utang suatu negara. Beberapa ahli mendefinisikan kesinambungan fiskal dengan melihat hubungan pertumbuhan ekonomi dan stok utang. Menurut Edwards (2002) dalam Santoso (2005), fiskal akan berkesinambungan apabila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner. Salah satu alat untuk mengukur kesinambungan fiskal adalah nilai keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN.

Menurut Thomas J. Sargent (2011) menyatakan utang pada dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasilkan pendapatan (revenues) yang cukup


(35)

untuk membayar kembali utang tersebut. Dan salah satu alat untuk mengukur kesinambungan fiskal adalah melihat nilai keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN (Sunarsip,2009). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga sedangkan keseimbangan umum ialah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.

Sepatutnya keadaan keseimbangan primer ini berada pada posisi primer positif yang berarti posisi tersebut menunjukan utang akan berkurang seiring dengan waktu. Tetapi sebaliknya posisi keseimbangan primer di Indonesia atau pun negara berkembang lainnya menunjukan posisi primer negatif yang dalam jangka panjang akan membahayakan perekonomian sebab meningkatnya nilai utang secara signifikan (Djamester, 2007).

Indonesia pertama kali mengalami defisit pada saldo keseimbangan primer dari tahun 2012 dan makin merosot hingga sekarang. Neraca keseimbangan primer yang defisit ini menandakan bunga dan pokok utang dibayar dengan

menggunakan utang. Pembayaran bunga dan cicilan utang tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan pinjaman baru. Karena penerimaan negara yang semakin menurun melalui penerimaan perpajakan. Jika dikaitkan dengan teori Sargent, kemampuan utang Indonesia dalam menghasilkan

pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali bunga dan pokok utangnya kini semakin menurun.

Selain itu, juga terjadi defisit neraca pembayaran, yang menekan posisi cadangan devisa dan nilai kurs rupiah. Diantaranya karena lemahnya ekspor dan


(36)

membanjirnya impor serta rasio pembayaran utang luar negeri Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan yang mengalami kenaikan tajam mencapai 39,1% di akhir tahun 2013. Sehingga, secara tidak langsung, posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah nilai tukar Rupiah dan neraca transaksi berjalan akan mengalami defisit. Tidak hanya itu kondisi ini pun disebabkan karena pengeluaran pemerintah yang begitu besar pada subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) yang memicu kenaikan impor BBM. Sedangkan harga minyak dunia terus mengalami peningkatan dengan nilai tukar Rupiah yang semakin melemah dan suku bunga internasional yang tinggi (Kementerian Keuangan RI, 2013).

Terjeratnya Indonesia dalam situai krisis hutang seperti ini akan menimbulkan kekacauan ekonomi dalam stimulus fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Ketahanan fiskal pun akan semakin berkurang, kondisi ini akan menyebabkan tekanan terhadap utang pemerintah menjadi meningkat dan tingginya pembayaran utang pemerintah beserta beban bunganya membawa implikasi bagi perekonomian. Akibatnya, rasio utang luar negeri terhadap neraca berjalan beresiko akan

meningkat. Keseimbangan primer berkaitan erat dengan defisit APBN. Jika dilihat secara keseluruhan Indonesia belum bisa mencapai kesinambungan fiskal secara optimal karena semakin tingginya belanja negara dan ketidak mampuan pihak pemerintah dalam membayar cicilan pokok utang, sehingga menyebabkan

kesenjangan anggaran yang terus berlanjut. Dan diperlukan adanya analisis sebab terjadinya defisit keseimbangan primer dalam dua tahun terakhir ini dan


(37)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Analisis Determinan Keseimbangan Primer Sebagai Indikator Kesinambungan Fiskal

E. Hipotesis

Dari uraian diatas maka dapat diambil beberapa hipotesis yaitu :

1. Diduga penerimaan negara berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

2. Diduga pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

3. Diduga utang pemerintah berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Pengelolaan Keuangan Pusat

Surplus / Defisit APBN

Kebijakan Fiskal Ekspansif

APBN

Penerimaan Negara

Pengeluaran Pemerintah


(38)

4. Diduga inflasi berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

5. Diduga nilai tukar berpengaruh signifikan dan positif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

6. Diduga harga minyak dunia berpengaruh signifikan dan negatif terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

7. Diduga secara bersama-sama variabel penerimaan negara, pengeluaran pemerintah, utang pemerintah, inflasi, nilai tukar, dan harga minyak dunia berpengaruh signifikan terhadap keseimbangan primer dalam jangka pendek dan jangka panjang.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini dibagi menjadi 5 bab yang akan diuraikan sesuai

dengan kaidah penulisan dan disusun dengan sistematika tulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, keangka pemikiran, hipotesis penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan pustaka yang menguraikan teori-teori yang melandasi dan mendukung penelitian ini yang diperoleh dari literatur dan sumber lainnya.

BAB III Metodologi penelitian yang menguraikan bagaimana penelitian ini dilakukan terdiri dari jenis penelitian, deskripsi dan pemilihan data, sumber dan teknik pemilihan data, definisi variabel yang diteliti,


(39)

model analisis data, pengujian model penelitian dari metode yang digunakan, uji stasioneritas, uji kointegrasi, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis.

BAB IV Pembahasan, analisis hasil dari pengujian statistik yang telah digunakan.


(40)

A. Tinjauan Teori

1. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)

1.1. Definisi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

Suparmoko (2002) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anggaran ialah suatu alat perencanaan tentang penerimaan dan pengeluaran di masa yang akan datang umumnya disusun dalam jangka waktu satu tahun. Sedangkan menurut Kementerian Keuangan (2004), Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 17 Tahun 2003, APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. APBN merupakan instrument untuk membiayai kegiatan pemerintah dan

pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas


(41)

pembangunan secara umum. Dalam menyusun APBN, perencanaan alokasi belanja negara diarahkan untuk mendorong alokasi sumber-sumber ekonomi agar dapat digunakan secara produktif, yaitu terjadinya realokasi faktor-faktor produksi yang akan digunakan secara lebih efisien dan efektif untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi khususnya dalam stabilitas perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun langkah-langkah

peningkatan kualitas belanja negara dengan mengutamakan belanja modal sebagai pendukung pendanaan bagi kegiatan pembangunan, mengefisienkan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif, dan menghindari peningkatan pengeluaran wajib. Belanja modal difokuskan untuk mendukung program infrastruktur, mendukung target pertumbuhan ekonomi, dan perbaikan kesejahteraan rakyat, infrastruktur pertanian, dan infrastruktur energi serta komunikasi (Lestari, 2011).

Sebelum tahun 1999 prinsip APBN adalah anggaran berimbang dinamis, dimana jumlah penerimaan negara selalu sama dengan pengeluaran negara, dan

jumlahnya diupayakan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1999 hingga sekarang, prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus/defisit. Sejalan dengan itu, format dan struktur APBN berubah dari T-Account menjadi I-Account. Perbedaan antara prinsip anggaran surplus/defisit dengan prinsip anggaran berimbang adalah bahwa : 1) Pinjaman luar negeri tidak dicatat sebagai sumber penerimaan, melainkan sebagai sumber pembiayaan, dan 2) Defisit anggaran ditutup dengan sumber pembiayaan dalam negeri ditambah sumber pembiayaan luar negeri bersih. Apabila belanja lebih kecil daripada anggaran, disebut sebagai anggaran surplus. Sebaliknya, apabila anggaran lebih kecil


(42)

daripada pengeluaran atau pengeluaran lebih besar daripada anggaran, disebut anggaran defisit. Masing-masing kebijakan anggaran mempunyai kecenderungan tersendiri. Pada sistem anggaran berimbang misalnya, perekonomian cenderung berjalan stabil jika dibandingkan dengan kebijakan anggaran defisit dan surplus.

APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan pembiayaan adalah merupakan instrumen utama kebijakan fiskal untuk mengarahan

perekonomian nasional dan menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga besarnya penyerapan akan berdampak pada semakin besarnya daya dorong terhadap pertumbuhan dan sebaliknya. Kebijakan APBN diharapkan dapat merespon dinamika rakyat, baik yang terkait dengan perkembangan

perekonomian secara luas, maupun perkembangan kehidupan rakyat itu sendiri, sehingga diperlukan kebijakan fiskal yang fleksibel (Lestari, 2011).

Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari T-accountmenjadi I-accountsesuai standar statistik keuangan pemerintah,Government Finance Statistics(GFS).

2. Defisit Anggaran

2.1. Definisi Defisit Anggran

Menurut Rahardja dan Manurung (2004) defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini


(43)

biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus adalah suatu anggaran dimana terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut Dornbusch, Fischer dan Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak. Dornbusch, Fischer, dan Startz mengatakan bahwa Pemerintah secara keseluruhan, terdiri dari Departemen Keuangan bersama Bank Sentral dapat membiayai defisit

anggarannya dengan dua cara yaitu dengan menjual obligasi maupun ”mencetak uang”. Bank Sentral dikatakan ”mencetak uang” ketika Bank Sentral

meningkatkan stok uang primer, umumnya melalui pembelian pasar terbuka dengan membeli sebagian utang yang dijual Departemen Keuangan (Efendi, 2009).

Ada dua kemungkinan jenis hubungan yang terjadi antara defisit anggaran dengan pertumbuhan uang. Pertama, dalam jangka pendek kenaikan defisit yang

disebabkan karena kebijakan ekpansioner akan cenderung menaikan suku bunga nominal dan riil. Jika Bank Sentral menjaga supaya suku bunga tidak naik, maka dilakukan tindakan dengan meningkatkan pertumbuhan uang. Kedua, pemerintah dengan sengaja menaikan persediaan uang dengan maksud agar mendapat

penerimaan pemerintah dalam jangka panjang (Efendi, 2009).

Terdapat beberapa definisi defisit, secara konvensional defisit dihitung

berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Sementara itu, pengertian kedua adalah defisit moneter. Defisit moneter adalah


(44)

selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang). Pengertian ketiga adalah defisit operasional, yaitu defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. Definisi yang terakhir adalah defisit primer. Defisit primer merupakan selisih antara belanja (di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan. Selain itu, masih terdapat beberapa definisi dari defisit dan sangat tergantung pada kriteria yang digunakan serta tujuan analisis. Biasanya pilihan konsep defisit yang tepat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain yaitu jenis ketidakseimbangan yang terjadi, cakupan pemerintah (pemerintah pusat,

konsolidasi pemerintah, dan sektor publik), metode akuntasi (cash dan accrual basis), dan status daricontingent liabilities (Simanjuntak dalam Endah, 2010).

2.2. Sebab-sebab Terjadinya Defisit Anggaran Pemerintah

Terjadinya suatu defisit pada anggaran pemerintah pasti disebabkan oleh berbagai hal, yaitu sebagai berikut :

• Mempercepat pertumbuhan ekonomi, untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak.

• Rendahnya daya beli masyarakat, masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai pendapatan per kapita rendah, dikenal

mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan, harganya sangat tinggi karena sebagian produksinya


(45)

mempunyai komponen impor, sehingga masyarakat yang berpendapatan rendah tidak mampu membeli barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut misalnya listrik, sarana transportasi, BBM, dan lain sebagainya. Apabila dibiarkan saja menurut mekanisme pasar, barang-barang itu pasti tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena itu, negara memerlukan pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar masyarakat miskin bisa ikut menikmati.

• Pemerataan pendapatan masyarakat, pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah. Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestabilan politik,

persatuan dan kesatuan bangsa, negara harus mengeluarkan biaya untuk misalnya, pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju. Kegiatan itu

misalnya dengan memberi subsidi kepada pelayaran kapal perintis yang menghubungkan pulau-pulau yang terpencil, sehingga masyarakat mampu menjangkau wilayah-wilayah lain dengan biaya yang sesuai dengan kemampuannya.

• Melemahnya nilai tukar, Indonesia yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri dan mengalami masalah apabila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga


(46)

pinjaman dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap mata uang dollar AS, maka yang akan dibayarkan juga meningkat. • Pengeluaran karena inflasi, penyusunan anggaran negara pada awal tahun,

didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi (Efendi, 2009).

Masalah utama kelangsungan APBN adalah masih adanya defisit anggaran. Persoalannya adalah bagaimana dapat menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga defisit tersebut masih dapat dicarikan pembiayaannya. Penjelasan pasal 12 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB) (Kuncoro, 2011).

3. Keseimbangan Primer

Keseimbangan primer adalah selisih antara anggaran dan pengeluaran pemerintah di luar bunga dan cicilan utang. Definisi lain mengenai keseimbangan primer adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, namun dari komponen belanja negara tersebut komponen pembayaran bunga hutang


(47)

dikeluarkan (tidak diperhitungkan). Menurut Cuddington (1996) dalam PPE FE UGM, aliran surplus primer merupakan fondasi utama bagi ketahanan fiskal pemerintah terhadap utang. Arah kebijakan fiskal (fiscalstance) dikatakan berkesinambungan (sustainable) apabila rasio keseimbangan primer terhadap PDB tetap (finite).

Kesinambungan fiskal perlu memperhatikan hubungan antara keseimbangan primer(primary balance)danoutstandingutang. Hubungan ini mengasumsikan bahwa nilai sekarang(present value)dari surplus keseimbangan primer(surplus primary balance)pada masa yang akan datang sama denganoutstandingutang pada saat tertentu pendekatan nilai sekarang(present value constraint approach). Jikaoutstandingutang dari tahun ke tahun semakin meningkat, maka surplus keseimbangan primer(surplus primary balance)dari tahun ke tahun juga

meningkat dengan tren peningkatan yang sama, atau lebih besar dari peningkatan utang agar periode pelunasan uatangnya semakin pendek.

Dalam hubungan ini kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru (Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, 2010). Metode yang digunakan dalam simulasi keseimbangan primer dan utang Indonesia ini sama dengan metode yang digunakan oleh Bank Dunia (2002). Menurut Cuddington (1996), defisit atau surplus keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam


(48)

4. Pendapatan Negara

Menurut Suparmoko (2002) menjelaskan bahwa penerimaan negara adalah penerimaan pemerintahan yang meliputi pnerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang, dan sebagainya. Penerimaan negara baik dari dalam negeri ataupun yang berasal dari luar negeri sangat penting bagi proses keberhasilan proses pembangunan nasional, terutama penerimaan pemerintah dari dalam negeri yaitu berupa penerimaan pajak dan bukan pajak serta penerimaan migas dan non migas. Penerimaan ini digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin pemerintah dan sisanya akan menjadi tabungan pemerintah. Kelebihan dana tersebut yang kemudian akan menjadi sumber pembangunan apabila tidak tersedia, maka pembangunan harus dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pendapatan negara dibedakan menjadi :

a. Sumber-sumber penerimaan rutin

b. Sumber-sumber penerimaan pembangunan

Dalam pengelolaan APBN tidak terlepas dari peranan pajak sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan negara. Menurut Dumairy (1997) menyatakan bahwa penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri pemerintah, pencetakan uanga, pinjaman, dan hibah.


(49)

5. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila

pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Boediono (2001) menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran

pemerintah. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari tiga pos utama yang dapat digolongkan sebagai berikut :

• Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa. • Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai.

Perubahan gaji pegawai mempunyai pengaruh terhadap proses makro ekonomi, di mana perubahan gaji pegawai akan mempengaruhi tingkat permintaan secara tidak langsung.

• Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment.

Transfer payment bukan pembelian barang atau jasa oleh pemerintah dipasar barang melainkan mencatat pembayaran atau pemberian langsung kepada warganya yang meliputi misalnya pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat. Berikut ini merupakan teori yang berkenaan dengan pengeluaran pemerintah sebagai berikut :


(50)

5.1. Teori Peacock dan Wiseman

Teori mereka didasarkan pada suatu analisis penerimaan pengeluaran pemerintah. Pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan memperbesar penerimaan dari pajak, padahal masyarakat tidak menyukai

pembayaran pajak yang besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Dalam keadaan normal meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat

mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk

membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Dalam teori Peacock dan Wiseman terdapat efek penggantian (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Pengentasan gangguan tidak hanya cukup dibiayai semata-mata dengan pajak sehingga pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri. Setelah gangguan teratasi muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga.


(51)

Pengeluaran pemerintah yang semakin bertambah bukan hanya karena GNP bertambah tetapi karena adanya kewajiban baru tersebut. Akibat lebih lanjut adalah pajak tidak menurun kembali ke tingkat semula meskipun gangguan telah berakhir. Selain itu, masih banyak aktivitas pemerintah yang baru kelihatan setelah terjadinya perang dan ini disebut efek inspeksi(inspection effect).Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke

tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta. Efek inilah disebut sebagai efek konsentrasi (concentration effect). Dengan adanya ketiga efek

tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga setelah perang selesai tingkat pajak tidak menurun kembali pada tingkat sebelum terjadi perang. Adanya dampak eksternal tadi digambarkan dalam bentuk kurva dibawah ini :

Gambar 4. Kurva Pengeluaran Pemerintah Menurut Teori Peacock dan Wiseman

Sumber : Nopirin (2000)

Teori Peacock dan Wiseman mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah jika digambarkan dalam kurva seperti bentuk tangga. Hal ini dikarenakan adanya kendala toleransi pajak. Ketika masyarakat tidak ingin membayar pajak yang tinggi yang ditetapkan pemerintah,maka pemerintah tidak bisa meningkatkan

Pengeluaran Pemerintah

Wagner, Solow, Musgrave


(52)

pengeluarannya, walaupun pemerintah ingin senantiasa menaikkan pengeluarannya.

5.2. Teori Batas Kritis Colin Clark

Dalam teorinya, Collin Clark mengemukakan hipoteisis tentang batas kritis perpajakan. Toleransi tingkat pajak dan pengeluaran pemerintah diperkirakan kurang dari 25 persen dari GNP, meskipun anggaran belanja pemerintah tetap seimbang. Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan ini akan mengurangi penawaran agregat. Di lain pihak, pengeluaran pemerintah yang tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan agregat. Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara permintaan agregat dan penawaran agregat. Apabila batas 25 persen terlampaui maka akan timbul inflasi yang akan mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat.

6. Utang Negara

Sumber-sumber penerimaan pemerintah yang paling utama adalah dari pajak, pinjaman, dan pencetakan uang. Di samping itu ada sumber penerimaan lain yang memainkan peranan penting yaitu utang negara. Utang negara merupakan sumber-sumber dana tambahan pemerintah baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri


(53)

yang berupa pinjaman negara. Sumber pendanaan ini digunakan untuk menutupi kekurangan dana yang mampu diciptakan oleh pemerintah (Suparmoko, 2002). Berdasarkan sumber perolehannya, utang negara dapat dibedakan menjadi menjadi dua yaitu:

6.1. Utang Dalam Negeri

Utang dalam negeri merupakan pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga sebagai penduduk negara itu sendiri atau dalam lingkungan negara itu sendiri. Utang luar negeri dapat bersifat terpaksa maupun bersifat sukarela. Badan atau lembaga yang menjadi sumber utang atau pinjaman negara dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu:

1) Individu Dalam Masyarakat

Pemberian pinjaman oleh para individu dengan cara membeli obligasi negara. Ini dapat mempengaruhi pola konsumsi dan pola tabungan para individu yang bersangkutan.

b. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Pemerintah dapat pula menjual surat obligasi negara kepada perusahaan asuransi dan sebagainya yang bukan bank. Pembelian obligasi oleh

perusahaan jenis ini dilakukan dengan menggunakan dana yang mengganggur yang dimiliki.

c. Bank-Bank Umum

Dengan pembelian obligasi negara maka bank umum mempunyai tambahan cadangan penjaminan(reserve requirement)20%. Kondisi ini memampukan


(54)

bank umum untuk menciptakan uang giral sebanyak lima kali lipat dan tidak menurunkan pendapatan nasional.

d. Bank Sentral

Pemerintah dapat menjual obligasi kepada Bank Sentral. Tindakan ini juga menciptakan tenaga lebih seperti halnya bila pemerintah menjual obligasi kepada bank umum.

6.2. Utang Luar Negeri

Utang luar negeri merupakan pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain. Utang luar negeri biasanya bersifat sukrela, terkecuali bila ada suatu kekuasaan dari suatu negara atas negara lain. Utang luar negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga negara lain, yaitu mencakup pemindahan kekayaan (dana) dari negara yang meminjamkan (kreditur) ke negara peminjam (debitur) pada saat terjadinya pinjaman (Basri dan Subri, 2005). Utang luar negeri yang harus di penuhi oleh pemerintah melalui anggaran rutin setiap tahunnya adalah berupa pembayaran bunga utang beserta cicilan pokok utang. Pemerintah menggunakan utang luar negeri adalah sebagai alat pelengkap dalam memenuhi kekurangan dari sumber dana pembangunan.


(55)

6.2.1. Bentuk-Bentuk Utang Luar Negeri a) Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral

• Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara CGI.

• Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kredit dari peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat pengembalian bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit.

b) Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa

• Bantuan Program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk devisa kredit.

• Bantuan Proyek: yaitu bantuan yang diperoleh untuk pembiayaan dan pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.

• Bantuan Teknik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaga-tenaga Indonesia yang dilatih diluar negeri.

6.2.2. Peranan Utang Luar Negeri Dalam APBN

Utang merupakan salah satu alternatif yang dipilih sebagai sumber pembiayaan karena adanya kebutuhan yang perlu diselesaiakan segera. Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utang luar negeri dimaksudkan sebagai penerimaan pembangunan yang berasal dari pinjaman program dan pinjaman proyek. Dana luar negeri yang diperoleh kemudian


(56)

digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan di berbagai sektor

kehidupan negara. Dapat dikatakan bahwa utang luar negeri pemerintah Indonesia hanya berfungsi sebagai pelengkap dalam pengeluaran pembangunan maupun total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun semua utang luar negeri pemerintah tetap dan terus saja semakin besar setiap tahunnya pada masa lalu sejak Pelita I hingga Pelita VI.

Selain dari sisi pengeluaran, dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan negara sebagai aspek terpenting dalam

pembentukkan tabungan pemerintah. Apabila pemerintah mampu membiayai pembangunan dari tabungan pemerintah yang tersedia yaitu sisa dari penerimaan dalam negeri setelah dikurangi pengeluaran pembanguan, maka Indonesia tidak lagi memerlukan utang dari luar negeri. Namun kenyataannya tabungan

pemerintah tidak mampu untuk membiayai semua kegiatan pembangunan, untuk itu pemerintah harus mengusahakan kekurangan dari sumber lain salah satunya dengan fasilitas utang luar negeri yang berperan hanya sebagai pelengkap. Namun peran pelengkap ini semakin mengkhawatirkan karena adanya beberapa rintangan dan pembatasan. Batasan umum adalah mengenai kapasitas negara peminjam tersebut untuk membayar kembali pinjaman dan bunganya di masa yang akan datang. Di negara-negara berkembang oleh karana lambannya

pertumbuhan ekspor dan penerimaan devisa yang dapat dipakai untuk mambayar kembali utang beserta bunganya, pemerintah harus menyusun anggaran yang lebih rasional dan bertanggung jawab agar polemik utang luar negeri tidak


(57)

7. Inflasi

7.1. Definisi Inflasi

Menurut Boediono (2001), inflasi adalah kecenderungan dari hargaharga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Ada berbagai cara untuk

menggolongkan macam inflasi dan penggolongan mana yang dipilih tergantung pada tujuan kita. Inflasi didefinisikan dengan banyak ragam yang berbeda, tetapi semua definisi itu mencakup pokok-pokok yang sama. Samuelson (2001)

memberikan definisi bahwa inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa-jasa maupun faktor-faktor

produksi. Dari definisi tersebut mengindikasikan keadaan melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Penggolongan pertama didasarkan atas .parah. tidaknya inflasi tersebut, maka macam-macam inflasi, yaitu:

• Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) • Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun) • Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun) • Hiperinflasi (di atas 100%)

7.2. Penggolongan Inflasi

7.2.1. Teori Kuantitas

Teori kuantitas merupakan teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masing-masing sangat berguna untuk menggambarkan proses inflasi di zaman modern terutama di negara sedang berkembang. Teori ini menyoroti proses


(58)

inflasi dari jumlah uang beredar dan harapan masyarakat terhadap harga- barang dan jasa.

7.2.2. Aliran Klasik

Teori inflasi klasik berpendapat bahwa tingkat harga terutama ditentukan oleh jumlah uang beredar, yang dapat dijelaskan melalui hubungan antara nilai dan jumlah uang serta nilai uang dengan harga. Bila jumlah uang bertambah lebih cepat dari pertambahan barang, maka nilai uang akan merosot dan ini sama dengan kenaikan harga. Jadi menurut klasik, inflasi berarti terlalu banyak uang beredar atau terlalu banyak kredit dibandingkan dengan volume transaksi maka solusinya adalah membatasi jumlah uang beredar dan kredit.

7.2.3. Aliran Keynes

Keynes mengemukakan bahwa inflasi didasarkan pada teori makro yang menyoroti aspek lain selain inflasi. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas ekonominya. Proses inflasi menurut

pandangan ini adalah proses perebutan rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang dapat disediakan oleh masyarakat tersebut. Teori inflasi Keynes mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada pada tenaga kerja penuh(full employment). Kuantitas uang tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang konstan. Jika uang beredar bertambah maka harga akan naik. Kenaikan harga ini menyebabkan


(59)

bertambahnya permintaan uang untuk transaksi, dengan demikian akan menaikkan suku bunga. Hal ini mencegah pertambahan permintaan untuk investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi.

7.2.4. Aliran Monetarisme

Teori inflasi monetarisme mengemukakan bahwa inflasi timbul disebabkan oleh kebijaksanaan moneter dan fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang beredar di masyarakat akan menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan barang dan jasa di sektor riil. Inflasi dapat diturunkan dengan cara menahan dan

menghilangkan kelebihan permintaan melalui kebijaksanaan moneter dan fiskal yang bersifat kontraktif atau melebihi kontrol terhadap peningkatan upah serta penghapusan terhadap subsidi atas dasar nilai tukar valuta asing.

7.2.5. Teori Ekspektasi

Menurut teori ini dikatakan bahwa pelaku ekonomi membentuk ekspektasi laju inflasi berdasarkan ekspektasi adaptif dan ekspektasi rasional. Ekspektasi rasional adalah ramalan optimal mengenai masa depan dengan menggunakan semua informasi yang ada. Pengertian rasional adalah suatu tindakan yang logik untuk mencapai tujuan berdasarkan informasi yang ada.

7.3. Jenis Inflasi Menurut Asal Usulnya

Berdasarkan asal-usulnya, maka inflasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) dan inflasi yang


(60)

berasal dari luar negeri (imported inflation) (Nopirin, 2000). a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri(domestic inflation)

Inflasi ini disebabkan oleh adanyashockdari dalam negeri, baik karena tindakan masyarakat maupun tindakan pemerintah dalam melakukan kebijakan-kebijakan perekonomian.

b. Inflasi yang berasal dari luar negeri(imported inflation)

Imported inflationadalah inflasi yang terjadi di dalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri, terutama kenaikan harga barang-barang.

8. Nilai Tukar

Menurut Mankiw (2009) menyebutkan bahwa kurs/nilai tukar (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Perubahan nilai tukar ini menurut Paul Krugman dan Obstfeld (2000) dapat dibedakan menjadi dua yaitu depresiasi dan apresiasi. Depresiasi adalah penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing, sedangkan apresiasi adalah kenaikan nilai mata uang domestic terhadap mata uang asing. Bila kondisi lain tetap (ceterisparibus), maka

depresiasi mata uang suatu negara membuat harga barang-barang negara tersebut lebih murah bagi pihak luar negeri sedangkan harga barang luar negeri menjadi lebih mahal bagi pihak luar negeri. Dan sebaliknya, apresiasi mata uang suatu negara menyebabkan harga barang negara tersebut menjadi mahal bagi pihak luar negeri sedangkan harga barang luar negeri menjadi lebih murah bagi pihak dalam negeri.


(61)

Menurut Jeff Madura (1993) mengemukakan bahwa umumnya, pergerakan nilai tukar secara relatif dapat disebabkan oleh beberapa hal baik yang bersifat

fundamental maupun non fundamental. Faktor fundamental mencakup perubahan pada variabel-variabel makro ekonomi seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi dan perubahan neraca perdagangan(trade balance). Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi suatu negara lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian penawaran (supply)dari mata uang asing akan turun dandemandakan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).

9. Harga Minyak Dunia

Jumlah penawaran (quantity supplied) dari suatu barang adalah jumlah yang rela dan mampu dijual oleh penjual atau produsen. Banyak hal yang mempengaruhi jumlah penawaran barang, tapi ketika kita menganalisis bagaimana pasar bekerja, salah satu penentunta adalah harga dari barang itu sendiri. Karena jumlah

penawaran akan meningkat dan menurun seiring naik dan turunnya harga. Dapat dikatakan bahwa jumlah penawaran berhubungan positif terhadap harga (Mankiw, 2009).


(62)

Demikian juga dengan harga minyak dunia, banyak faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan harga minyak. Saat ini, dunia didominasi politik negara-negara besar dan perusahaan minyak tingkat dunia. Pada kondisi tertentu, kedua faktor ini sangat mempengaruhi harga pasar. Perubahan harga minyak di pasar dunia, baik kenaikan maupun penurunan, dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara, mengingat minyak merupakan salah satu kebutuhan pokok suatu negara, terutama menjadi salah satu bahan baku dalam kegiatan produksi. Fluktuasi harga minyak ini harus senantiasa dipantau oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena harga ini dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara, terutama kebijakan dalam bidang ekonomi dan energi (Rosit, 2010).

Naiknya harga minyak dunia akan memberikan dampak kenaikan pada harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah Indonesia terpaksa mengambil keputusan yaitu menaikkan harga BBM.

Rendahnya harga BBM disaat harga minyak dunia sedang naik, merupakan salah satu sumber defisit APBN. Oleh karena itu, ada rencana untuk menaikkan harga BBM sampai tidak lagi diperlukan subsidi BBM. Jika harga minyak dunia naik, namun harga BBM tidak dinaikkan, maka subsidi BBM cukup besar dan ini adalah selisih biaya untuk menutupi perbedaan harga jual dan biaya produksinya.

Karena BBM merupakan bahan dasar untuk melakukan kegiatan di segala sektor dan kehidupan, kenaikkan harga BBM yang drastis akan menaikkan harga barang dan jasa termasuk kebutuhan sehari-hari rakyat banyak. Sebenarnya kelompok rumah tangga miskin yang paling menderita atas beban kenaikan harga BBM,


(63)

karena disamping kebutuhan bahan bakar dan transportasi, kebutuhan-kebutuhan lain pasti naik pula, sedangkan penghasilan mereka relatif kecil (Suparmoko, 2002).

10. Kesinambungan Fiskal 10.1. Definisi Umum

Kesinambungan Fiskal atau secara internasional dikenal dengan istilahFiscal sustainabilitymerupakan suatu keadaan dimana pemerintah mempunyai diskresi yang luas untuk mempengaruhi perekonomian menggunakan kebijakan fiskalnya. Ini merupakan kondisi ideal yang harus dicapai untuk menjaga kestabilan

ekonomi. Utang merupakan kewajiban pemerintah yang utama. Pembayaran utang baik pokok maupun bunga dijadikan prioritas karena menyangkut masalah

kepercayaan kepada pemerintah dan citra pemerintah. Jika jumlah utang yang harus dibayar begitu besar, maka sebagian besar pendapatan pemerintah pastinya akan tersedot untuk pembayaran tersebut. Akibatnya, pendapatan yang bisa digunakan akan semakin sedikit. Kondisi ini disebut sebagai tekanan fiskal.

Belum ada definisi yang tetap mengenai kesinambungan fiskal. Berikut definisi kesinambungan fiskal dari berbagai sumber:

• Kebijakan fiskal dikatakan berkesinambungan jika kebijakan tersebut menjaga rasio nilai bersih pemerintah terhadap PDB pada level saat ini. (Buiter, 1985).

• Kebijakan fiskal yang berkesinambungan adalah kebijakan fiskal yang dapat menciptakan sekuens utang dan defisit sedemikian rupa sehingga kondisi


(64)

nilai sekarang (present value condition) dari sekuens penerimaan dan pengeluaran pemerintah dimasa-masa mendatang adalah sama. (Wilcox, 1989).

• Kebijakan fiskal yang berkesinambungan adalah kebijakan yang memastikan bahwa rasio utang terhadap PDB bertemu kembali pada titik atau level awalnya (Blanchard, 1990).

• Kesinambungan fiskal adalah Ketiadaan risiko gagal bayar, dengan kata lain, tingkat utang harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang (present value) dari semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang. (Buiter dan Graf, 2002).

• Kesinambungan fiskal adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi fiskal saat ini tanpa perlu melakukan penyesuaian dalam kebijakan pajak atau pengeluaran dalam rangka untuk memastikan solvabilitas . (Stephen Marks, 2004).

Fiscal sustainability, or public finance sustainability, is the ability of a government to sustain its current spending, tax and other policies in the long run without threatening government solvency or defaulting on some of its liabilities or promised expenditures. (Kesinambungan fiskal, atau

kesinambungan keuangan publik, adalah kemampuan dari suatu pemerintah untuk menopang belanja lancar, pajak, dan kebijakan lainnya dalam jangka panjang tanpa mengancam solvabilitas pemerintah atau mengalami gagal bayar atas beberapa kewajibannya atau belanja dengan perjanjian ( Wikipedia).


(65)

• Kesinambungan fiskal adalah suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsi sebagai stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai beban pengeluaran atau kewajiban, baik eksplisit maupun implisit untuk saat ini dan yang akan datang secara aman. (Rahmat Waluyanto, 2009).

10.2. Sustainabilitas dan Solvabilitas

IMF (2002) dan Croce beserta Juan-Ramón (2003) telah mendiskusikan

perbedaan antara solvabilitas dan sustainabilitas. Menurut definisi yang mereka kemukakan, seperangkat kebijakan tidak berkesinambungan (unsustainable) bila kebijakan tersebut mengarah kepada insolvensi(solvency)atau solvabilitas didefinisikan sebagai situasi dimana belanja dan pendapatan masa depan dapat mencukupi keterbatasan anggaran intertemporal, atau dengan kata lain

kemampuan melunasi utang-utang dengan aset/anggaran yang ada). Namun demikian, mereka berpendapat bahwa solvabilitas dapat dicapai dengan penyesuaian masa depan yang sifatnya besar dan mengeluarkan biaya tertentu, sementara sustainabilitas atau kesinambungan dicapai tanpa penyesuaian

kebijakan yang signifikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sustainabilitas atau kesinambungan dapat dicapai jika peminjam berharap dapat melanjutkan

pembayaran utangnya tanpa koreksi masa depan yang sangat besar terhadap belanja dan pendapatan. Dapat disimpulkan pula bahwa kesinambungan dapat dicapai jika:

• Suatu negara dapat mengatasi batasan anggaran tahun berjalan tanpa ancaman gagal bayar atas utang atau mencari tambahan utang yang berlebihan


(66)

• Suatu negara tidak terus mengakumulasi utang padahal tahu bahwa

penyesuaian yang besar di masa depan akan diperlukan untuk memastikan kemampuan membayar utang tersebut.

10.3. Tujuan Kebijakan Fiskal yang Berkesinambungan

Dengan menerapkan kebijakan fiskal yang berkesinambungan, diharapkan tujuan-tujuan berikut ini akan tercapai.

a. Menyediakan kapasitas untuk memenuhi kewajiban di masa depan Kebijakan fiskal yang berkesinambungan akan memastikan bahwa

kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh negara dapat diselesaikan dengan lancar pada setiap tahun berjalan di masa depan dan tidak ada kemungkinan yang tinggi akan gagal bayar.

b. Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan dapat terwujud jika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berkesinambungan.

c. Mendorong keadilan antar generasi

Kebijakan fiskal yang berkesinambungan memungkinkan terwujudnya

keadilan dalam pembagian kewajiban akan utang yang telah ditimbulkan pada masa lalu bagi generasi di masa depan.


(1)

dengan pengambilan utang baru dapat mengakibatkan penambahan jumlah total utang dari tahun ke tahun yang akhirnya menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt-trap), sehingga akan memberikan beban besar bagi APBN dalam jangka panjang.

4. Inflasi

Sejak tahun 1998 dimana di tahun tersebut merupakan tahunan terjadinya krisis moneter dunia yang berpengaruh ke seluruh negara termasuk Indonesia. Di tahun 1998, tingkat inflasi Indonesia merupakan angkat tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia hingga tercatat sebesar 77,63%. Tingginya angka inflasi tersebut mengakibatkan perekonomian Indonesia hancur dan tidak stabil. Tetapi pasca kejadian tahun 1998, perekonomian Indonesia membaik dengan

tumbuhnya ekonomi secara perlahan. Selama 3 periode pasca 1998, tingkat inflasi tahunan Indonesia berfluktuasi masih besar, rata-rata angka yang dihasilkan masil lebih dari 10. Sedangakan di tahun 2003-2004 angka inflasi secara berturut-turut sebesar 5,06% dan 6,4%. Angka ini masih jauh dibawah target pemerintah sebesar 6%. Kemudian di tahun 2005 inflasi mengalami

kenaikan hingga 17,11% kenaikan ini disebabkan karena harga-harga yang diatur pemerintah, khususnya harga BBM.

Dalam waktu berikutnya fluktuasi inflasi stabil yang diikuti dengan

meningkatnya permintaan domestik akibat pemulihan ekonomi, hal ini juga disebabkan karena kehati-hatian Bank Indonesia menjalankan kebijakan moneter dan kestabilan nilai rupiah. Sepanjang akhir tahun 2012 hingga awal 2015, inflasi


(2)

mengalami pergerakan yang meningkat dengan cepat dibanding tahun

sebelumnya. Dimana pada tahun 2014 sebesar 8,36. Inflasi Indonesia yang masih dikategorikan sangat tinggi ini diakibatkan karena adanya tekanan bahan pangan yang salah satunya disebabkan terkendalanya pencapaian target produksi pangan akibat perubahan cuaca. Akibatnya pada musim-musim tertentu kondisi cuaca yang tidak dapat ditentukan mengakibatkan menurunnya pasokan beberapa komoditas pertanian seperti cabe, bawang, beras dan bahan pokok lain meningkat tajam karena tidak dapat menhan lonjakan harga komoditas tersebut. Fluktuasi harga di pasar komoditi nasional dan internasional serta tingginya harga minyak mentah dunia memang diperkirakan tetap memberikan tekanan terhadap inflasi dalam negeri.

Dalam jangka panjang inflasi akan mengakibatkan tidak efisiennya penggunaan keuangan negara dengan terjadinya defisit pada keseimbangan primer. Terjadinya inflasi memunculkan adanya kenaikan harga-harga dimana biaya pembangunan program juga akan meningkat sedangkan anggaran masih tetap sama. Hal ini mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas program sehingga untuk memaksimalkan program tersebut anggran negara perlu direvisi. Maka,

pemerintah dengan terpaksa harus mengeluarkan dana untuk menambah standar harga. Adanya peningkatan dalam pengeluaran yang dilakukan pemerintah akibat inflasi ini akan mengakibatkan surplus keseimbangan primer semakin menurun. Pemerintah harus lebih memperhatikan keadaan fluktuasi dari nilai tukar, inflasi, dan harga minyak dunia dengan stimulus fiskal serta diperlukan adanya kordinasi yang erat antara penguasa fiskal dan moneter dalam menentukan instrumen dan sasaran kebijakan untuk mengatasi pengaruh gejolak ekonomi tersebut.


(3)

5. Nilai Tukar

Selama tahun 2001, nilai tukar rupiah mengalami kecenderungan melemah secara perlahan. Dimana pada tahun 2001 nilai tukar berada pada tingkat 10.400.

Kemudian berfluktuasi cenderung stabil secra bertahap empat tahun berikutnya mencapai angka 9.830 pada tahun 2005 yang diikuti dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi yaitu 17,11%. Selanjutnya nilai tukar stabil selama tiga tahun yang kemudian terdepresiasi lagi sebesar 10.950. Hal ini diakibatkan krisis global yang semakin dalam pada tahun 2008. Karena nilai tukar rupiah ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, akibat terjadinya krisis global di Eropa mengakibatkan terjadi likuiditas global sehingga mengakibatkan depresiasi terhadap rupiah. Sejak tahun 2009 hingga 2012, nilai tukar mengalami fluktuasi yang stabil dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Bank Indonesia dalam laporan perekonomian Indonesia (2012) hal ini dikarenakan terjaganya tingkat kepercayaan pelaku pasar dan stabilitas sistem keuangan dengan meminimalkan pelemahan nilai tukar yang dilakukan oleh pemerintah dengan adanya kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dan pengelolaan cadangan devisa yang ditempuh Bank Indonesia.

Kemudian pergerakan nilai tukar rupiah sepanjang awal tahun 2013 hingga sekarang mengalami depresiasi kembali. Pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah ini dari pengaruh luar diakibatkan karena penurunan peringkat kredit beberapa negara kawasan Eropa yang mengkonfirmasi semakin dalamnya dampak krisis utang dan fiskal, masih rentannya pemulihan perekonomian China dan AS serta melemahnya pertumbuhan global. Sedangkan pengaruh dari dalam


(4)

negeri diakibatkan karena pemerintah menaikaan harga BBM bersubsidi. Di tengah krisis ekonomi global yang terjadi lagi mengakibatkan Indonesia dengan melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan selama 3 tahun terakhir mempengaruhi keadaan empat jenis defisit yaitu defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, defisit necara pembayaran, dan defisit primer dalam APBN.

Bank Indonesia dan pemerintah harusnya melakukan harmonisasi kebijakan yang tepat sasaran dan fokus dengan tidak menyerahkan nilai tukar rupiah pada pasar dan pasrah dengan pasar uang global karena akan semakin menekan nilai tukar rupiah. Dan selain itu seharusnya pemerintah juga harus mengurangi impor, sehingga tidak terlalu bergantung pada mata uang Amerika karena transaksi impor dilakukan dalam dollar Amerika. Dimana Indonesia masih sangat bergantung pada bahan dasar impor yang mengharuskan pengusaha harus membeli bahan dasar sesuai kurs berlaku . Hal ini menyebabkan modal yang dikeluarkan menjadi meningkat, harga produk akan dijual dengan harga tinggi dan mengakibatkan produk buatan Indonesia di pasar ekspor maupun dalam negeri kalah bersaing dengan produk luar.

6. Harga Minyak Dunia

Adanya fluktuasi harga minyak dunia sejak tahun 2008 dimana merupakan angka tertinggi mempengaruhi naik turunnya pendapatan dan belanja pemerintah. Saat harga minyak naik dari US$72,34/barel, menjadi

US$99,67/barel. Pendapatan pemerintah ikut naik dari 707,806 triliun rupiah menjadi 981,609 triliun rupiah. Tetapi keadaan ini diikuti dengan kenaikan


(5)

pengeluaran pemerintah karena naiknya harga minyak dunia yang mengakibatkan naiknya belanja pemerintah untuk minyak (BBM) dan ditambah lagi dengan naiknya subsidi untuk bahan energi. Pada akhirnya, kenaikan harga minyak akan menjadikan defisit APBN ikut meningkat.

Sawitri (2006) yang mengemukakan bahwa kenaikan harga minyak dunia telah membuat anggaran subsidi BBM menjadi semakin besar dan menambah defisit APBN, karena sebagian kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia hasil dari ekspor akibat belum mampunya produksi dalam negeri memenuhi konsumsi BBM yang besar. Impor minyak terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri karena tingkat konsumsi minyak yang tinggi oleh masyarakat Indonesia begitu besar. Harga minyak dunia sangat menentukan jumlah realisasi anggaran subsidi BBM dalam APBN. Anggaran dalam APBN hendaknya tidak dipergunakan untuk membiayai subsidi BBM tetapi dialokasikan untuk

pengeluaran pembangunan agar dapat memberikan konstribusi secra positif bagi pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara dan menekan keseimbangan primer.

Kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia yaitu menaikan harga BBM dalam negeri untuk menyelamatkan anggaran tetapi mengorbankan kepentingan masyarakta dan perekonomian nasional. Saat ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan liberalisasi harga BBM dimana kebijakan ini cenderung memberikan celah bagi pihak asing. Kebijakan ini bertentangan dan memberikan dampak buruk bagi perekonomian masyarakat.


(6)

Harusnya pemerintah perlu memperbaiki kebijakan dalam menaikan harga BBM dalam mengadaptasi akibat adanya fluktuasi harga minyak dunia. Dan perlu melakukan tinjauan kembali yang terkait pengelolaan migas dan memberikan bataan terhadap pihak asing dalam pengelolaan migas.