KARAKTERISASI PENYALAAN MAGNESIUM AZ31 PADA PROSES BUBUT MENGGUNAKAN APLIKASI THERMOGRAFI

(1)

ABSTRACT

IGNITION CHARACTERIZATION OF AZ31 MAGNESIUM ON THE PROCESS OF TURNING

USING THERMOGRAFI APPLICATION By

FENY SETIAWAN

Magnesium has a light characteristic, good ductility and good corrosion resistance. But magnesium is highly flammable because magnesium reactive to oxygen and other compounds, especially in the form of powder. as it is known that magnesium ignition temperature at atmospheric pressure it is under the liquid point is. 623 oC. One measure to measure ignition temperature is by using thermografi application. Thermografi is also able to capture the event of ignition at the time of the machining process.

Data collection was done by machining AZ31 magnesium rod with various machining conditions and at the humidity 73 %. From the results of experiments, the temperature rise along with increase cutting speed at various feed rate and depth of cut. Beside that, magnesium ignition occured at the cutting speed of 180 m/min resulted in the temperature of 553.235 ° C and cutting speed of 200 m/min resulted in the temperature of 620.675 ° C. Both ignition occured in feed rate of 0.05 mm/rev and depth of cut of 0.05 mm.

Histogram shown the highest peak point in the bright area in the ignition. The higher of cutting speed, the temperature will increase as well. Along the high cutting speeds are used, have an important role occurrence of ignition. Thus to avoid the use of some of the parameters that allow the ignition

Keywords: magnesium AZ31, thermografi, ignition, the lathe, the distribution of temperature, histogram


(2)

ABSTRAK

KARAKTERISASI PENYALAAN MAGNESIUM AZ31 PADA PROSES BUBUT MENGGUNAKAN

APLIKASI THERMOGRAFI Oleh

FENY SETIAWAN

Magnesium memiliki sifat ringan, keuletan yang baik serta ketahanan korosi yang baik. Namun magnesium sangat mudah terbakar karena magnesium rektif terhadap oksigen dan senyawa lain terutama berbentuk serbuk. Seperti diketahui bahwa suhu penyalaan magnesium pada tekanan atmosfir berada dibawah titik cairnya yaitu 623 oC. Salah satu cara untuk mengetahui penyalaan dengan menggunakan aplikasi thermografi. Thermografi juga mampu menangkap peristiwa penyalaan pada saat proses pemesinan.

Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pemesinan batang magnesium AZ31 dengan berbagai kondisi pemesinan bubut dan kelembapan udara 73 %. Dari hasil eksperimen, temperatur naik seiring dengan kenaikan kecepatan potong pada berbagai laju pemakanan dan kedalaman potong. Disamping itu pemesinan magnesium diperoleh penyalaan pada kecepatan potong 180 m/min menghasilkan suhu 553,235 oC dan kecepatan potong 200 m/min menghasilkan suhu 620,675

o

C. Kedua penyalaan terjadi pada gerak makan 0,05 mm/rev serta kedalaman potong 0,05 mm.

Histogram akan menunjukkan titik puncak tertinggi pada area terang apabila terjadi penyalaan. Semakin tinggi kecepatan potong maka suhu akan meningkat pula. Seiring tingginya kecepatan potong yang digunakan, memiliki peranan penting terjadinya penyalaan. Dengan begitu perlu dihindari penggunaan beberapa parameter tersebut yang memungkinkan terjadinya penyalaan.

Kata kunci: magnesium AZ31, thermografi, penyalaan, bubut, distribusi suhu, histogram


(3)

KARAKTERISASI PENYALAAN MAGNESIUM AZ31

PADA PROSES BUBUT MENGGUNAKAN

APLIKASI THERMOGRAFI

Oleh

FENY SETIAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA TEKNIK

pada

Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 11 November tahun 1991, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Wizro Effendi AS dan Hudaiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita Unila Provinsi Lampung pada tahun 1997, Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Rajabasa Raya pada tahun 2003, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2006, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Bandar Lampung pada tahun 2009, dan pada tahun 2009 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif dalam organisasi internal kampus, yaitu pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin (HIMATEM) sebagai Kepala Bidang Organisasi dan Kepemimpinan periode 2011-2012. Kemudian pada bidang akademik, penulis melaksanakan kerja praktek di PT Dirgantara Indonesia yang berlokasi di Jalan Pajajaran No. 54 Bandung Jawa Barat pada tahun 2012. Pada 2013 penulis melakukan penelitian pada bidang konsentrasi Produksi sebagai tugas akhir dengan judul “Karakterisasi Penyalan Magnesium AZ31 Pada Proses Bubut Menggunakan Aplikasi Thermografi” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Yanuar Burhanuddin, M.T. dan Ir. Herry Wardono, M.Sc


(8)

Keinginan untuk menjadi yang terbaik adalah

hasrat setiap orang, tapi ingatlah bagaimana pun

carnya engkau mendapatkan itu jangan sampai engkau

meninggalkan norma kebaikan serta nilai-nilai luhur

lainnya.

Selalu lah ingat bahwa suatu keberhasilan tidak

akan tercapai tanpa dorongan dan motivasi dari

orang-orang disekitar mu, kedua orang-orang tua, keluarga, sahabat

serta orang-orang yang berjasa mengahntarkan mu

hingga saat ini terutama guru dan dosenmu.

Teruslah merendah walaupun engaku memiliki

segudang ilmu, dan terus selalu berusaha untuk menjadi

yang lebih baik.

“Salam Solidarity Forever”

Selalu bangga menjadi bagian dari

keluarga besar ini

Tm 09


(9)

Kebersamaan membuat perbedaan menjadi lebih

indah dan berwarna

Seperti atom yang akan lebih bermanfaat

ketika membentuk suatu senyawa


(10)

KARYA INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK

:

Kedua Orang Tua dan adikku Tercinta

Rekan-rekan seperjuangan teknik mesin unila 2009

Almamater Tercinta


(11)

i

SAN WACANA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbalalamin, Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan mempersembahkan judul “Karakterisasi Penyalaan Magnesium AZ31 Pada Proses Bubut Menggunakan Aplikasi Thermografi” dengan sebaik-baiknya. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan seluruh alam Nabi Muhammad SAW, sahabatnya, serta para pengikutnya yang selalu istiqomah diatas jalan agama islam hingga hari ajal menjemput.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi dan bantuan baik moral maupun materi oleh banyak pihak. Untuk itu dengan sepenuh ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Prof. Suharno MS, M.Sc., PhD. selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas

Lampung.

3. Bapak Harmen, S.T., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung.


(12)

ii

4. Ibu Novri Tanti, S.T, M.T selaku Sekretaris Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung.

5. Bapak Dr. Ir. Yanuar Burhanuddin, M.T. selaku dosen pembimbing utama tugas akhir, atas banyak waktu, ide pemikiran dan semangat yang telah diberikan untuk membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Bapak Ir. Herry Wardono, M.Sc selaku pembimbing kedua tugas akhir ini, yang telah banyak memberikan waktu dan pemikiran bagi penulis.

7. Bapak Dr. Eng. Suryadiwansa Harun, S.T.,M.T. selaku dosen pembahas yang telah memberikan waktu, ide pemikiran dan saran yang bermanfaat bagi penulis.

8. Seluruh dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung berkat ilmu yang telah diajarkan kepada penulis selama penulis menjalani masa studi di perkuliahan.

9. Staf Akademik serta Asisten Laboratorium yang telah banyak membantu kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

10. Kedua Orang Tua dan adikku tercinta yang selalu memberikan dukungan baik berupa doa maupun materil dan sekaligus menjadi inspirator bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini

11. Sahabat-sahabat terutama Rizal, Mei, Bowo, Acong, Todi, Budi, Iqbal, Rizki Irvan, Tunas, Gunawan, Lingga, Ronal, Lambok, Agus, Dedi yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungan terhadap penulis.

12. Semua rekan di teknik mesin khususnya rekan seperjuangan angkatan 2009 untuk kebersamaan yang telah dijalani. Tiada kata yang dapat penulis


(13)

iii

utarakan untuk mengungkapkan perasaan senang dan bangga menjadi bagian dari angkatan 2009.“Salam Solidarity Forever”.

13. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,

FENY SETIAWAN NPM. 0915021033


(14)

iv

DAFTAR ISI

SAN WACANA ... i

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL ...vi

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR SIMBOL ... x

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Sistem Penulisan ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Magnesium dan Paduan Magnesium ... 6

B.

Pemesinan ... 9

1.

Mesin Bubut dan Proses Bubut ... 11

2.

Parameter Proses Bubut ... 12

C.

Suhu Pemesinan ... 14

D.

Pemesinan Kering ... 19

E.

Pemesinan Magnesium ... 22

F.

Penyalaan Paduan Magnesium ... 27

G.

Visi Komputer dan Penyalaan Citra ... 29

1.

Menangkap Objek Gambar Mnggunakan Kamera Biasa ... 30

2.

Unit Kamera Berbasis Thermografi ... 31

3.

Pemrosesan Citra Untuk Pengukuran Suhu ... 33

4.

Termovision Sebagai Salah Satu Proses Pengolahan Citra

Suhu ... 34


(15)

v

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Peneliian ... 37

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 37

C. Persiapan Alat dan Bahan ... 43

D. Prosedur Penelitian ... 44

E. Diagram Alir Penelitian ... 47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil ... 48

B.

Pembahasan ... 50

1.

Penyalaaan Geram ... 50

2.

Karakterisasi Penyalaan Magnesium ... 52

3.

Distribusi Suhu PadaTitik Penyalaan ... 55

4.

Histogram Sebagai Penunjuk Adanya Kondisi Nyala ... 62

5.

Peta Penyalaan ... 67

V.SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA


(16)

Vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Magnesium Pada Paduan Magnesium ... 8 Tabel 2. Permasalahan dan Bahaya Ketika Melakukan Pemesinan

Magnesium ... 26 Tabel 3. Bahan Transmisi Inframerah ... 33 Tabel 4. Karakteristik Fisik Dan Thermal Material Paduan Magnesium

AZ31B ... 38 Tabel 5. Data Hasil Pengukuran Suhu Geram Dengan Keadaan Kedalaman Potong 0.05 mm ... 49 Tabel 6. Data Hasil Pengukuran Suhu Geram Dengan Keadaan Kedalaman Potong 0.1 mm ... 49


(17)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Magnesium murni ... 7

Gambar 2. Penamaan paduan magnesium ... 8

Gambar 3. Beberapa proses pemesinan ... 10

Gambar 4. Mesin bubut ... 11

Gambar 5. Skematis proses bubut ... 12

Gambar 6. Area distribusi suhu pada pahat potong ... 15

Gambar 7. Variasi distribusi energi dengan kecepatan potong untuk kondisi pemotongan ... 17

Gambar 8. Hubungan antara kecepatan potong, gerak makan dan kedalaman potong terhadap suhu ... 18

Gambar 9. Proses pemesinan dengan berbagai metode ... 20

Gambar 10. Presentase pembagian ongkos produksi ... 21

Gambar 11. Komponen mobil yang terbuat dari paduan magnesium ... 22

Gambar 12. Efek adhesive dan alasan pembentukan pemesinan ... 24

Gambar 13. Konstruksi vidicon pada kamera ... 29

Gambar 14. Panjang gelombang radiasi elektomagnetik ... 31

Gambar 15. Aplikasi Termografi pada aplikasi diagnosa kesehatan ... 34

Gambar 16. Aplikasi thermografi ... 35

Gambar 17. Material Magnesium AZ31B ... 37

Gambar 18. Pahat bubut HSS... 38

Gambar 19. Mesin bubut ... 39


(18)

viii

Gambar 21. TV Combo ... 42

Gambar 22. Hygrometer... 43

Gambar 23. Set-up pemesinan Magnesium AZ31B ... 44

Gambar 24. Mengukur diameter benda ... 45

Gambar 25. Diagram alir ... 47

Gambar 26. Grafik hubungan antara kecepatan potong terhadap nilai suhu geram pada kedalaman potong 0,05 mm ... 53

Gambar 27. Grafik hubungan antara kecepatan potong terhadap nilai suhu geram pada kedalaman potong 0,1 mm ... 54

Gambar 28. Hasil konversi video menjadi image, pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 56

Gambar 29. Kontur Distribusi suhu pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 57

Gambar 30. Distribusi suhu pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 58

Gambar 31. Nyala api pada kecepatan 200 m/min,gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 59

Gambar 32. Kontur distribusi suhu pada kecepatan 200 m/min,gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 59

Gambar 33. Distribusi suhu pada kecepatan potong 200 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm ... 60

Gambar 34. Histogram pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm, terjadi penyalaan ... 62


(19)

ix

Gambar 35. Histogram pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,1 mm, tidak terjadi penyalaan ... 63 Gambar 36. Histogram pada kecepatan potong 200 m/min, gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm, terjadi penyalaan ... 64 Gambar 37. Histogram pada kecepatan potong 200 m/min, gerak makan 0,1 mm/rev dan kedalaman potong 0,05 mm, tidak terjadi penyalaan ... 65 Gambar 38. Peta penyalan pada kedalaman potong 0,05 terhadap kecepatan


(20)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kebutuhan material dalam industi semakin lama semakin meningkat, dan jenis material yang dapat digunakan di berbagai aplikasi industri juga bertambah. Magnesium merupakan salah satu logam non-fero yang sering digunakan pada beberapa aplikasi produksi industri. Salah satu sifat yang diunggulkan dalam magnesium yaitu karena magnesium memiliki kepadatan rendah, keuletan yang baik, kekuatan menengah serta ketahanan korosi yang baik. Kelebihan lainnya yaitu apabila magnesium digunakan sebagai unsur pemadu pada beberapa material, magnesium dapat memperbaiki karakteristik mekanik, fabrikasi dan karakteristik pengelasan pada alumunium ( Buldum, 2011).

Mempertimbangkan akan kelebihan magnesium tersebut, maka penelitian mengenai magnesium sudah dikembangkan untuk aplikasi kedokteran. Magnesium berbasis paduan memiliki sejumlah keunggulan yang membuat menarik ketika mempertimbangkan bedah implan. Alasan utama yaitu kepadatan yang rendah dengan beratnya yang ringan. Dimana paduan berbasis magnesium biasanya sepertiga padat seperti paduan berbasis titanium dan hanya seperlima dari baja tahan karat (stainless steel) dan khrom-kobalt alloy, sehingga magnesium memiliki potensi sebagai implan bedah ringan ( C.K Seal, 2011 ).


(21)

2

Selain aplikasi pada bidang kesehatan, peran magnesium sangat banyak juga digunakan pada industri trasportasi, seperti mobil. Ada peningkatan minat dalam konstruksi ringan dibandingkan dengan tahun 1990 karena komitmen industri otomotif untuk mencapai pengurangan 25 % dalam konsumsi bahan bakar rata-rata untuk semua mobil baru ( C.Blawert, 2004 ). Sehingga dengan mengganti bagian kendaraan berbahan baja atau besi terutama pada komponen mesin, menjadi berbahan magnesium akan menjadikan kendaraan lebih ringan. Dampak dari pengurangan berat ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar.

Walaupun magnesium merupakan salah satu logam yang ringan namun logam magnesium sangat mudah terbakar, dan akan lebih mudah untuk menyala ketika magnesium dijadikan bubuk atau diiris menjadi irisan tipis. Magnesium AZ31 diketahui mempunyai suhu penyalaan pada tekanan atmosfir berada dibawah titik cairnya yaitu 623 oC. Pada tekanan 500 Psi, suhu penyalaan mendekati titik cairnya yaitu 650 oC (White & Ward, 1966).

Hans Kurt Tonshoff, dkk dalam buku berjudul Technology of Magnesium and Magnesium Alloys melakukan pengamatan suhu pada mesin bubut dengan parameter Vc=2100 m/min, f=0.01-0.5 mm, dan d=0.2 mm mengutarakan bahwa semkain rendah gerak makan yang diberikan, maka suhu geram akan mendekati titik penyalaan (Thonsoff H.K., 2001). Sebagian peneliti telah melakukan studi resistansi penyalaan paduan magnesium dengan penambahan unsur kalsium (Ca). Hasil menunjukkan suhu penyalaan naik 250 oC akan tetapi terjadi penurunan sifat tarikan. Peneliti lain menambahkan berilium dan


(22)

3

unsur langka bumi untuk menaikkan suhu penyalaan namun penambahan unsur-unsur tersebut akan menaikkan biaya produksi (Zhengdkk, 2000).

Dengan menyampingkan hal itu, magnesium masih tetap memiliki keunggulan lain seperti pemesinan yang baik, mampu cor dan mampu las yang baik. Sehingga sangat penting untuk mengetahui permulaan penyalaan pada magnesium agar dapat mengurangi terjadinya penyalaan pada magnesium pada saat dilakukan proses pemesinan (Anonim,2013). Sedangkan untuk mengetahui distribusi suhu yang terjadi pada pahat, geram dan benda kerja dapat diketahui dengan metode pengukuran tidak langsung atau yang biasa dikenal sebagai metode thermografi, dengan metode ini diharapkan dapat mengetahui parameter batas pemesinan dengan menggunakan proses pencitraan, sehingga didapat suatu batas maksimum dari parameter pemesinan (M.Haris, 2013).

Oleh sebab itu pada penelitian tugas akhir ini akan dilakukan pengujian pada proses pemesinan terhadap mesin bubut dengan menggunakan metode inspeksi pencitraan, sehingga penulis mengambil judul : “ karakterisasi penyalaan magnesium az31 pada proses bubut menggunakan aplikasi thermografi ”.

B.Tujuan

Adapun tujuan dari dilakukanya penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui parameter yang mempengaruhi permulaan penyalaan pada magnesium AZ31.

2. Mengetahui secara jelas distribusi panas yang terjadi pada material AZ31 saat dilakukan proses pemesinan.


(23)

4

C.Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada tugas akhir ini sebagai berikut :

1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin bubut dengan material magnesium AZ31.

2. Pengujian dititik beratkan pada proses pemesinan dan parameter pemesinan yang berlaku pada mesin bubut.

3. Proses pemesinan dilakukan dengan dry machining tanpa pendingin.

D. Sistematika Penulisan

Penulisan tugas akhir ini disusun menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan yang berisikan uraian latar belakang penelitian tugas akhir, tujuan penelitian tugas akhir, batasan masalah dan sistematika penulisan.

Bab II adalah tinjauan pustaka yang berisikan uraian tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai landasan teori untuk mendukung penelitian ini.

Bab III adalah metodologi yang berisikan uraian metode tentang langkah-langkah, alat dan bahan yang dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian ini.

Bab IV adalah hasil dan analisa yang berisikan uraian hasil dan membahas yang diperoleh dari penelitian ini.


(24)

5

Bab V adalah simpulan dan saran yang berisikan uraian kesimpulan dari hasil dan pembahasan sekaligus memberikan saran yang dapat menyempurnakan penelitian ini.

Daftar Pustaka adalah berisikan literatur-literatur atau referensi yang diperoleh penulis untuk mendukung penyusunan laporan penelitian ini.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Magnesium dan Paduan Magnesium

Magnesium berasal dari kata Yunani untuk sebuah kabupaten di Thessaly yang disebut Magnesia. Hal ini terkait pula dengan magnetit dan mangan yang juga berasal dari daerah sekitar Magnesia. Magnesium pula termasuk dalam golongan logam alkali tanah dan juga merupakan unsur kedelapan yang melimpah di kerak bumi, serta merupakan unsur terlarut ketiga terbanyak pada air laut. Logam alkali tanah sering digunakan sebagai zat campuran (alloy) untuk membuat campuran alumunium-magnesium yang biasa disebut “magnalium” atau “magnelium” (Anonim, 2013).

Magnesium merupakan salah satu unsur kimia dengan simbol Mg dan nomor atom 12. Bilangan oksidasi umumnya ada lah +2, dan memilik massa atom 24,31. Magnesium memiliki densitas atau rapat masa sebesar 1.738 g.cm-3, titik lebur sekitar 923 oK ( 650 oC, 1202 oF), titik didih 1363 oK (1090 oC, 1994 oF). Magnesium murni memilki kekuatan tarik sebesar 110 N/mm2 dalam bentuk hasil pengecoran (casting). Magnesium murni mempunyai ciri fisik berwarna putih keperakan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.


(26)

7

Gambar 1. Magnesium murni (Sumber : Anonim, 2013)

Magnesium dapat ditemui di alam dalam bentuk magnesit sebagai senyawa magnesium karbonat (MgCO3), brucite sebagai senyawa magnesium

hidroksida (Mg(OH)2), carnalite sebagai senyawa garam magnesium klorida

(MgCl2), serpentin sebagai senyawa magnesium silikat (MgSiO3), dan pada air

laut sebagai senyawa magnesium klorida. Walaupun tidak pernah ditemui dalam bentuk logam murni tetapi magnesium dapat didapatkan dengan cara reduksi temal atau pun dengan pembuatan komersial secara elektrolisis. Magnesium memiliki permukaan yang keropos akibat serangan dari kelembapan udara karena oxid film yang terbentuk pada permukaan magnesium ini hanya mampu melindunginya dari udara yang kering. Unsur air dan garam pada kelembaban udara sangat mempengaruhi ketahanan lapisan oxid pada magnesium dalam melindunginya dari gangguan korosi. Untuk itu benda kerja yang menggunakan bahan magnesium ini diperlukan lapisan tambahan perlindungan seperti cat atau meni (Hadi, 2008).

Paduan magnesium sering digunakan terutama untuk bahan yang memerlukan massa yang ringan namun juga tetap memiliki kekuatan yang baik. Magnesium


(27)

8

biasa dicampur dengan bahan lain sepeti alumunium, mangan, dan juga zinc untuk meningkatkan sifat fisik, namun dengan beberapa persentase yang berbeda. AZ91 merupakan salah satu contoh paduan magnesium dengan alumunium dan zinc dimana persentase dari masing-masing paduan sekitar 9% dan 1%. Seperti pada penggunaan paduan magnesium dengan material yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Penamaan paduan magnesium (Sumber : Buldum, 2011)

Berikut pula diberikan daftar mengenai keterangan mengenai penamaan magnesium dengan beberapa material lain.

Tabel 1 Komposisi magnesium pada paduan magnesium (Sumber : Buldum, 2011)

Paduan Pembuatan Al Zn Mn Si RE Zn Th

AM60A CD 6 >0,13

AZ31B WB+WS 3 1 0,3

AS41A CD 4 0,3 1

AZ80A WB 8 0,5 0,2

AZ91B CD 9 0,7 >0,13

AZ91D** CD 9 0,7 0,2

EZ33A CS 3 3 0,8

HK31A WS 0,7 3

*CS-sand casting, CP-permanent mold casting, CD-die casting, WS- sheet or plate, WB-bar,rod,shape,tube or wire **High-purity alloys

Penggunaan campuran magnesium dengan bahan lain pada aplikasi otomotif seperti pada pembuatan komponen kendaraan bermobil, pesawat terbang dan


(28)

9

hardware komputer sering digunakan karena memiliki kekuatan spesifik yang tinggi. Paduan magnesium dengan Seri AZ dan AM (AZ91D, AM50A, dan AM60B) merupakan kombinasi paduan terbaik untuk beberapa aplikasi otomotif karena paduan magnesium pula dapat memperbaiki sifat mekanik, ketahanan terhadap korosi dan mampu cor dengan baik (Buldum, 2011).

Paduan magnesium mempunyai kelebihan dan kelemahan. Paduan magnesium mempunyai kelebihan yaitu paduan magnesium memiliki masa jenis terendah dibanding material struktur lain. Mampu cor yang baik sehingga cocok untuk dilakukan pengecoran bertekanan tinggi. Karena memiliki sifat yang ringan dan lunak, maka paduan magnesium dapat dilakukan proses pemesinan pada kecepatan tinggi. Dibanding dengan material polymer, magnesium memiliki sifat mekanik yang lebih baik, tahan terhadap penuaan, sifat konduktor listrik dan panas yang lebih baik dan juga dapat didaur ulang. Namun dibalik kelebihan yang dimiliki, paduan magnesium juga memilki kelemahan yaitu modulus elastisitas yang rendah, terbatasnya ketahanan mulur dan kekuatan pada suhu tinggi dan reaktif pada beberapa senyawa.

B.Pemesinan

Pemesinan adalah suatu proses produksi dengan menggunakan mesin perkakas, dimana memanfaatkan gerakan relatif antara pahat dengan benda kerja sehingga menghasilkan suatu produk sesuai dengan hasil geometri yang diinginkan. Pada proses ini tentu terdapat sisa dari pengerjaan produk yang biasa disebut geram. Pahat dapat diklasifikasikan sebagai pahat bermata potong tunggal (single point cutting tool) dan pahat bermata potong jamak (multiple


(29)

10

point cutting tool). Pahat dapat melakukan gerak potong (cutting) dan gerak makan (feeding). Proses pemesinan dapat diklasifikasikan dalam dua klasifikasi besar yaitu proses pemesinan untuk membentuk benda kerja silindris atau konis dengan benda kerja atau pahat berputar, dan proses pemesinan untuk membentuk benda kerja permukaan datar tanpa memutar benda kerja. Klasifikasi yang pertama meliputi proses bubut dan variasi proses yang dilakukan dengan menggunakan mesin bubut, mesin gurdi (drilling machine), mesin frais (milling machine), mesin gerinda (grinding machine). Klasifikasi kedua meliputi proses sekrap (shaping,planing), proses slot (sloting), proses menggergaji (sawing), dan proses pemotongan roda gigi (gear cutting) (Widarto,2008).

Gambar 3. Beberapa proses pemesinan : Bubut (Turning/Lathe),Frais

(Milling), Sekrap(Planning, Shaping), Gurdi(Drilling), Gerinda(Grinding), Bor (Boring),Pelubang (Punching Press), Gerinda Permukaan(Surface Grinding).

(Sumber : Widarto, 2008)

Manufaktur dengan pemisahan beberapa bagian bahan dikenal sebagai pemesinan. Material dalam bentuk chip dipisahkan dari bahan benda kerja secara mekanik, menggunakan satu (bubut), dua (milling), atau beberapa


(30)

11

(pengikisan) mata potong. Jumlah pemotongan tepi, bentuk lekuk mata potong, dan posisi pemakanan untuk benda kerja diketahui pada Gambar 3.

1. Mesin bubut dan proses bubut

Mesin bubut sepeti yang tertara pada Gambar 4 merupakan salah satu mesin perkakas yang menggunakan prinsip dimana proses pemesinan dilakukan dengan cara menghilangkan beberapa bagian dari benda kerja untuk memperoleh bentuk geometri tertentu.

Gambar 4. Mesin bubut

Mesin bubut mempunyai gerak utama berputar pada benda kerja yang dicekam pada poros spindel dan pahat yang ditempatkan sedemikian rupa dengan posisi kaku sehingga gerakan benda kerja terhadap pahat mampu mengubah bentuk dan ukuran benda dengan jalan menyayat benda tersebut dengan menggunakan pahat penyayat, posisi benda kerja berputar sesuai dengan sumbu mesin dan pahat bergerak kekanan dan kekiri searah sumbu mesin bubut menyayat benda kerja tersebut.


(31)

12

Proses bubut sesuai dengan definisi ASM International adalah proses pemesinan konvensioanl untuk membentuk permukaan yang dilakukan oleh pahat terhadap benda kerja yang berputar, penggunaan ini dirancang untuk memotong bagian material yang tidak diinginkan sehingga benda kerja mencapai dimensi, toleransi dan tingkat penyelesaian yang sesuai dengan rancangan teknisnya. Selain itu juga fungsi mesin bubut adalah membentuk benda kerja sesuai dengan spesifikasi geometri yang ditentukan, biasanya berpenampang silinder dan umumnya terbuat dari bahan logam, sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan dengan cara memotong atau membuang (removal) bagian dari benda kerja menjadi geram dengan menggunakan pahat potong yang jenisnya lebih keras dari benda kerja yang dipotong (Rochim, 1993).

2. Parameter proses bubut

Ada beberapa parameter utama yang perlu diperhatikan pada proses pemesinan, terutama pada proses bubut. Dengan menggunakan persamaan berikut kita dapat menetukan beberapa parameter utama dan Gambar 5 menunjukkan skema proses bubut.

Gambar 5. Gambar skematis proses bubut (Sumber :Widarto, 2008)

Put/ do

f, Put/men

dm lt


(32)

13

Keterangan : Benda kerja :

do = diameter mula (mm)

dm = diameter akhir (mm)

lt = panjang pemotongan (mm)

mesin bubut :

a = kedalaman potong (mm) f = gerak makan (mm/putaran)

n = putaran poros utama (putaran/menit)

a. Kecepatan potong

Kecepatan potong untuk proses bubut dapat didefinisikan sebagai kerja rata-rata pada sebuah titik lingkaran pada pahat potong dalam satu menit. Kecepatan putar (speed), selalu dihubungkan dengan sumbu utama (spindle) dan benda kerja. Secara sederhana kecepatan potong diasumsikan sebagai keliling benda kerja dikalikan dengan kecepatan putar. Kecepatan potong biasanya dinyatakan dalam unit satuan m/menit (Widarto, 2008). Kecepatan potong ditentukan oleh diameter benda dan putaran poros utama.

; m/menit

(1) b. Kecepatan makan

Gerak makan, f (feeding) adalah jarak yang ditempuh oleh pahat setiap benda kerja berputar satu kali sehingga satuan f adalah mm/rev. Gerak makan pula ditentukan oleh kekuatan mesin, material benda kerja, material


(33)

14

pahat, bentuk pahat, dan terutama kehalusan yang diinginkan. Sehingga kecepatan makan didefinisikan sebagai jarak dari pergerakan pahat potong sepanjang jarak kerja untuk setiap putaran dari spindel (Widarto, 1998).

vf = f.n ; mm/menit (2)

c. Waktu pemotongan

Waktu pemotongan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk (Rochim, 1993). Rumus waktu pemotongan adalah :

tc = ; menit (3)

d. Kedalaman potong

Kedalaman potong didefinisikan sebagai kedalaman geram yang diambil oleh pahat potong. Dalam pembubutan kasar, kedalaman potong maksimum tergantung pada kondisi dari mesin, tipe pahat potong yang digunakan, dan ketermesinan dari benda kerja (Rochim,1993). Rumus kedalaman potong adalah:

a = ; mm (4)

e. Kecepatan penghasilan geram

Geram adalah potongan dari material yang terlepas dari benda kerja oleh pahat potong.

Z = A.V ; cm3/menit (5) A = a.f (mm)

C.Suhu pemesinan

ada beberapa suhu penting dalam pemotongan logam. suhu bidang geser sangat penting pengaruhnya terhadap tegangan alir dan karena itu memiliki


(34)

15

pengaruh besar terhadap suhu pada muka pahat dan pada permukaan sayatan. suhu pada muka alat juga memainkan peran utama relatif terhadap ukuran dan stabilitas Built-up Edge (BUE) tersebut. Suhu lingkungan kerja mendekati zona pemotongan juga penting karena secara langsung mempengaruhi suhu pada bidang geser, muka pahat dan permukaan sayatan.

Energi yang digunakan dalam pemesinan terkonsentrasi pada suatu kawasan yang sangat kecil. Hanya sebagian dari energi ini yang tersimpan dalam benda kerja dan pahat dalam bentuk kerapatan dislokasi yang meningkat, sedangkan sebagian besar energi lainnya diubah menjadi panas. Pemesinan pada dasarnya adalah memanfaatkan energi yang dihasilkan oleh gerakan mekanik dan diubah menjadi bentuk energi panas yang digunakan untuk memotong benda kerja. Seperti yang diketahui, bahwa energi tidak dapat dimusnahkan namun dapat diubah menjadi bentuk lain. Dengan memanfaatkan gerakan relatif antara pahat potong dan benda kerja, maka akan menghasilkan energi panas yang cukup untuk memotong benda kerja.

Gambar 6. Area distribusi suhu pada pahat potong


(35)

16

Transfer energi panas yang dibutuhkan untuk memotong benda kerja disesuaikan agar dapat terjadi pemotongan dengan memanfaatkan energi panas yang dihasilkan oleh gerak makan. Karena kawasan pemotongan terus bergerak pada benda kerja maka tingkat pemanasan di depan alat ini menjadi kecil, dan setidaknya pada kecepatan potong yang tinggi, sebagian besar panas (lebih dari 80%) terbawa oleh geram (M.C. Shaw, 1984).

Pada Gambar 6 memperlihatkan area distribusi suhu pahat potong. Karena sumber panas dalam pemesinan terkonsentrasi di area geser utama dan pada permukaan pahat-geram. Jelas terlihat bahwa pola suhu tergantung pada beberapa faktor berkaitan pada sifat material dan kondisi pemotongan, termasuk jenis cairan pemotongan apabila digunakan selama pemesinan. Berbeda menurut pendapat C.Shaw, Diperkirakan 90 % dari energi yang dikeluarkan terbawa oleh geram selama proses pemesinan berlangsung (S.Kalpakjan, 2009).

Hampir semua energi mekanik terkait dengan pembentukan geram berakhir sebagai energi panas. salah satu pengukuran pertama setara mekanik panas ( J ) dibuat oleh benjamin Thomson (lebih dikenal sebagai Count Rumford). Rumford (1799) mengukur bahwa panas berkembang selama proses pengeboran kuningan meriam di Bavaria. Ia mengamati benda kerja, alat, dan geram dalam jumlah air yang diketahui dan diukur kenaikan suhu yang sesuai dengan input yang diukur dari energi mekanik. Percobaan ini tidak hanya memberikan pendekatan yang baik terhadap setara mekanik panas yang berdiri sebagai nilai yang diterima selama beberapa dekade, tetapi juga memberikan


(36)

17

wawasan baru ke dalam sifat energi panas pada saat kebanyakan orang percaya bahwa panas adalah bentuk khusus dari cairan yang disebut " kalori ". Itu juga diketahui bahwa beberapa energi yang berkaitan dengan deformasi plastik tetap dalam deformasi material.

Taylor dan Quinney (1934,1937) menggunakan teknik kalori metrik yang sangat akurat untuk mengukur energi sisa yang terjadi ketika batang logam yang mengalami deformasi torsi. Ditemukan bahwa persentase energi deformasi ditahan oleh bar menurun seiring dengan peningkatan energi regangan yang terlibat. Ketika hasil ini diekstrapolasi terhadap tingkat tegangan energi dalam pembentukan geram, diperkirakan bahwa energi yang tidak diubah menjadi energi panas hanya antara 1 dan 3 persen dari total energi pemotongan. Bever, Marshall dan Titchener (1953) secara langsung mengukur energi yang tersimpan dalam sisa logam geram pemotongan dan Bever, Holt, dan Titchener (1974) telah membahas energi yang tersimpan dalam benda dalam bentuk deformasi plastis dari titik pandang yang luas (M.C. Shaw, 1984)

Gambar 7. Variasi distribusi energi dengan kecepatan potong untuk kondisi pemotongan (Sumber : M.C. Shaw, 1984)


(37)

18

Gambar 7 menjelaskan bahwa dengan menggunakan kecepatan potong yang rendah maka distribusi energi panas antara geram dan benda kerja hampir sama, berbeda dengan halnya distribusi pada pahat yang memilki energi distribusi yang kecil. Namun semakin tinggi kecepatan potong yang digunakan, maka energi panas yang dihasilkan semakin banyak pada geram.

Sebagai contoh apabila kita menggunakan kecepatan potong sebesar 200 ft/min maka akan didapatkan distribusi suhu pada geram sebesar 60 % dan pada benda kerja sebesar 30 % dan sisanya sebesar 10 % pada pahat. Hal ini menujukkan bahwa distribusi suhu terbanyak dihasilkan pada geram semakin tinggi keceptan potong yang digunakan maka semakin besar distribusi suhu yang akan diperoleh pada geram (M.C. Shaw, 1984).

(a) (b) (c) Gambar 8. (a) Hubungan antara Kecepatan potong terhadap Suhu (b). Hubungan antara Gerak makan terhadap suhu (c) Hubungan antara kedalaman

potong terhadap suhu.

Gambar 8 menunjukkan Hubungan antara Kecepatan potong dengan nilai suhu. Semakin tinggi kecepatan potong yang digunakan maka suhu yang dihasilkan akan semkin besar pula. Hubungan antara gerak makan terhadap suhu yaitu semkin tinggi gerak makan yang digunakan maka suhu yang dihasilkan akan


(38)

19

meningkat pula. Begitu pula hubungan antara kedalaman potong dengan suhu yaitu semakin tinggi kedalaman potong yang digunakan maka semakin tinggi suhu yang dihasilkan (Valery Marinouv. 2000).

D.Pemesinan kering

Pemesinan kering (Dry Machining) adalah proses pemesinan yang tidak menggunakan fluida pendingin dalam proses pemotongannya. Pemesinan kering mulai ditempatkan pada prioritas utama pada proses pemesinan akhir-akhir ini. Berdasarkan ulasan dari beberapa pihak, minat dalam pengurangan atau menghilangkan penggunaan cairan pendingin dalam pemesinan semakin meningkat. Pemesinan kering diinginkan secara ekologi dan akan menjadi keharusan bagi perusahaan manufaktur di tahun-tahun mendatang (Sreejith dan Ngoi,2000). Hal ini sangat relevan terhadap kondisi bahwa pemesinan yang menggunakan cairan pendingin atau pelumas pada proses pengerjaannya dapat memberikan dampak kurang baik terhadap operator maupun lingkungan. Ada dua hal mengapa minat akan penggunaan pemesinan kering meningkat :

1. Mengurangi atau menghilangkan terbukanya operator terhadap resiko-resiko kesehatan yang mungkin akan terjadi seperti keracunan, iritasi kulit, gangguan pernafasan dan infeksi mikroba.

2. Mengurangi biaya pemesinan. Sebuah kajian yang dilakukan sebuah perusahaan otomotif menunjukkan bahwa cairan pendingin memberikan kontribusi 16% dari biaya komponen yang dimesin (Graham, 2000).


(39)

20

Terlihat pada Gambar 9a yang memperlihatkan proses pemesinan menggunakan cairan pendingin atau wet machining dan Gambar 9b merupakan proses pemesinan kering tanpa menggunakan cairan pendingin atau pelumas.

(a) (b)

Gambar 9. Proses pemesinan dengan berbagai metode: a. Pemesinan basah b. Pemesinan kering (Sumber : Valenite, LLC dan accessscience.com, 2013)

Alasan kuat mengapa pemesinan kering mulai mendapat perhatian serius yaitu karena pada pemesinan basah, cairan hasil pemotongan yang telah habis masa pakainya sebagai buangan dari industri pemotongan logam dapat mengancam kelestarian ligkungan. Cairan pemotongan bekas ini biasanya hanya dimasukkan ke dalam kontainer dan di timbun di bawah tanah. Selain itu, masih banyak praktek yang membuang cairan pemotongan bekas langsung ke alam bebas. Hal ini tentu berdampak merusak terhadap lingkungan sekitar (Mahayatra, 2012).

Pemesinan kering dilakukan terutama untuk menghindari pengaruh buruk bagi kesehatan seperti yang telah diterangkan diatas, dari sudut pandang inilah kita dapat menyimpulkan bahwa pemesinan kering termasuk dalam pemesinan yang ramah lingkungan. Walaupun ada beberapa kelemahan dari proses pemesinan kering ini terutama gesekan antara permukaan benda kerja dengan


(40)

21

pahat potong, pengeluaran geram yang dapat merusak benda kerja, serta suhu potong yang tinggi.

Keuntungan lain dari penggunaan pemesinan kering adalah sebagai berikut: 1. Ramah lingkungan, karena tidak menggunakan cairan pendingin

2. Penangan produk dan geram lebih mudah karena tidak tercampur dengan cairan pendingin yang dapat saja mengganggu kesehatan operator.

3. Ongkos produksi lebih murah karena dapat mengurangi ongkos terhadap pembelian, penyimpanan dan penanganan limbah cairan pendingin.

4. Tidak memerlukan pompa sebagai media penyemprotan pada cairan pendingin sehingga dapat menghemat penggunaan listrik.

5. Dapat digunakan pada seluruh pengerjaan pemesinan dan juga dapat melakukan pemotongan dengan berbagai material dari yang lunak hingga keras (Mahayatra, 2012).


(41)

22

Seperti yang telah dilansir oleh sebuah perusahaan yang meyakini bahwa pengurangan penggunaan pendingin dapat menghemat biaya produksi pada Gambar 10.

Beberapa bahan sudah dikerjakan tanpa menggunakan cairan pendingin seperti besi cor dan aluminium. Namun hal tersebut dapat dikerjakan apabila menggunakan pahat yang tepat ataupun pahat yang telah dilapisi maupun menggunakan intan yang sangat keras sebagai media pemotongnya. Karena akan sukar memotong dengan pahat yang tidak sesuai dengan material benda yang akan dipotong, dapat mengakibatkan mata pahat dapat cepat tumpul bahkan dapat mengakibatkan cacat pada permukan benda kerja karena penumpulan pada pahat potong. Pemesinan kecepatan tinggi dilakukan untuk menaikkan produktifitas melalui kenaikan kecepatan pembuangan geram, mengendalikan dimensi oleh karena pemanasan dan pencegahan Built-up Edge BUE (Stephenson dan Agapiou, 2006).

E.Pemesinan Magnesium

Magnesium semakin diminati, hal ini bisa saja disebabkan oleh karakteristik magnesium yang ringan namun juga tetap memiliki ketangguhan spesifik tinggi dan kekakuan. Magnesium sendiri mempunyai sifat mampu pemesinan, mampu cor dan juga mampu las yang baik. Karena sifatnya yang ringan dan daya tahan yang baik serta memiliki umur yang panjang, penggunaan magnesium semakin meningkat seiring perkembangan industri. Terutama pada industri otomotif yang memerlukan material komponen mesin yang mampu


(42)

23

bentuk, namun tetap memiliki ketangguahan spesifik yang tinggi. Pengurangan beban kendaraan dapat mengurangi konsumsi bahan bakar (C.Blawert, 2004).

Gambar 11. Komponen mobil yang terbuat dari paduan magnesium. (Sumber : Kulecki K.M, 2007)

Hal ini diperkuat oleh beberapa jurnal mengenai aplikasi dari paduan magnesium seperti yang telah dilakukan oleh Mustafa Kemal Kulekci pada industri otomotif dan aplikasi paduan magnesium. Seperti yang terlihat pada Gambar 11 yang menunjukkan penggunaan magnesium pada beberapa komponen mobil.

Magnesium memilik kemampuan mesin yang sangat baik sperti menggergaji, melubangi, pengeboran, frais, bubut dibandingkan dengan logam lain. Daya pemotongan spesifik rendah dan permukaan yang sangat baik sehingga menghasilkan chip yang relatif pendek. Dari sekian banyak logam, magnesium adalah yang termudah dari semua logam untuk dilakukan pemesinan yang memungkinkan pengerjaan pemesinan dengan kecepatan tinggi. Hal ini tentu didukung oleh karakteristik magnesium itu sendiri yang memiliki struktur


(43)

24

kristal HCP sehingga ketermesinan pada suhu rendah akan menjadi jelek apabila dibandingkan dengan ketermesinan dengan suhu yang tinggi.

Kebutuhan energi untuk melakukan pemesinan pada magnesium lebih rendah dibandingkan logam lain. Karena magnesium sendiri memilki konduktivitas termal yang tinggi sehingga keuntungan yang didapat yaitu umur pahat yang panjang, konsumsi daya yang rendah, sekitar 55% lebih rendah ketimbang aluminium. Karena magnesium dapat dilakukan dengan kecepatan tinggi, sehingga dapat mengurangi waktu proses pengerjaan (Buldum, 2011).

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pemesinan magnesium yaitu resiko terjadinya kebakaran dan pembentukan Built-up Edge (BUE). Pemesinan magnesium biasanya dilakukan tanpa pendingin apapun. Jika saat diperlukan menggunakan cairan pendingin, maka sebaiknya menggunakan minyak mineral ringan. Karena apabila menggunakan cairan pendingin berupa air, geram magnesium dapat bereaksi dengan air dan membentuk magnesium hidroksida dan gas hidrogen bebas. Pemesinan kering komponen magnesium dalam volume besar menimbulkan masalah pemeliharaan kebersihan terutama untuk proses gurdi dan pengetapan yang menghasilkan geram halus (Burhanudin.dkk, 2012).

Paduan magnesium dianggap mudah untuk dilakukan pemesinan pada kecepatan potong rendah, alasannya adalah :

- Kekuatan memotong rendah

- Sebagai konsekuensinya, beban mekanik dan thermal rendah pada pahat potong


(44)

25

- Permukaan kualitas yang diperoleh tinggi - Potongan geram pendek

- Kemungkinan dilakukan dengan proses pemesinan kering

-Gambar 12. Efek adhesive dan alasan pembentukan pemesinan (Sumber: Tonshoff H.K, Denkena B dkk, 2004)

Pemesinan kering, bagaimanapun dapat mengakibatkan efek adhesive. Seperti yang terlihat pada Gambar 12 Terutama pada kecepatan potong tinggi, pembentukan flank build-up pada karbida dapat diamati. Hal ini akan menghasilkan kekuatan proses yang lebih tinggi, gesekan lebih tinggi dan peningkatan bahaya penyalaan pada geram. Sehingga, akan mengarah pada bentuk berkurangnya dimensi akurasi benda kerja dan kualitas permukaan yang rendah (Thonsoff, H.K, Dkk, 2004).

Pelapisan pada mata pahat dengan menggunakan lapisan karbida atau berlian sebagai penguat dapat mengindari adhesi antara material dan benda kerja

Material benda kerja

Parameter proses

Material pemotong

Geometri pahat


(45)

26

[Gambar 12]. Pemesinan yang dilakukan tanpa melakukan pelapisan pada pahat akan menunjukkan kualitas permukaan hasil yang kurang baik akibat dari penumpukan sisa material pada benda kerja sehingga menghasilkan puncak-lembah. Dengan pelapisan menggunakan polydiamon dapat mengurangi secara signifikan dari kekasaran permukaan yang terjadi. Pada kecepatan potong rendah, adhesi antara bahan yang diproses dan pahat terjadi khususnya pada bagian utama pahat yang langsung bersinggungan dengan benda kerja. Dengan ditingkatkannya kecepatan pemotongan, area kontak meluas ke sisi kecil dan menyapu pada sisi bagian utama (Thonsoff, H.K, Dkk, 2004).

Permasalahan dan bahaya ketika melakukan pemesinan magnesium yaitu resiko penyalaan pada geram yang berada di wilayah kerja alat mesin selama proses pemesinan, ketika suhu mencapai pengapian magnesium Tf = 500 oC

atau lebih (Thonsoff, H.K, Dkk, 2). Namun hal itu dapat diatasi dengan penggunaan lubrikasi dengan pendingin air atau berbasis minyak, walaupun demikian bahaya dan masalah dari penggunaan lubrikasi akan menjadi sorotan utama. Berikut akan ditampilkan perbandingan lubrikasi pada tabel 2.

Tabel 2. Permasalahan dan bahaya ketika melakukan pemesinan magnesium (Sumber: Tonshoff H.K, Denkena B dkk, 2004)

No Pendingin berbasis air Pendingin berbasis minyak

Pemesinan kering 1 Biaya tambahan untuk

penyimpanan, pembelian dan pembuangan

Biaya tambahan untuk penyimpanan, pembelian dan pembuangan

Bahaya dari pengapian geram

2 Daur ulang geram yang sulit

Daur ulang geram yang sulit

Kehilangan akurasi dalam bentuk dan ukuran

3 Bahaya pengapian dan ledakan dari

terbentuknya hidrogen

Bahaya ledakan dari kabut minyak

Penurunan kualitas permukaan akibat adhesi


(46)

27

F. Penyalaan Padun Magnesium

Karakteristik magnesium yang mudah terbakar dimana dimulai dari terbentuknya percikan api mulai mendapat perhatian khusus. Terutama pada proses pengerjaan kering yang tidak menggunakan bahan pendingin atau pelumas sebagai media untuk mengurangi gesekan antara benda kerja dengan pahat potong. Alasan ini yang perlu diketahui terkait proses pemesinan untuk menghindari terjadinya penyalaan pada benda kerja magnesium saat dilakukan proses pemesinan kering. Walaupun dengan pemesinan basah dapat dilakukan, namun efek dari pengerjaan ini sangat berdampak buruk bagi lingkungan. Telah diketahui bahwa penyalaan (ignition) dimulai dengan pembentukan “bunga kol” oksida dan terjadinya api pada permukaan paduan (Hongjin dkk, 2008). Bunga api dan flare merupakan sumber pengapian potensial dalam pemesinan magnesium kering. Berbagai prosedur pengujian mulai dikembangkan untuk mengetahui batas-batas penyalaan pada paduan magnesium dan perilaku penyalaannya. Serangkaian tes ini dilakukan untuk menghindari atau meminimalkan terbentuknya api melalui penyesuaian ligkungan dan kondisi mesin. Prosedur-prosedur ini berbeda terutama mengenai metode pemanasan dan definisi suhu penyalaan (Blandin, 2004).

Dua definisi suhu penyalaan sempat diusulkan, pertama sekali besesuaian dengan suhu terendah ketika nyala terlihat pada proses pemesinan. Kedua pada suhu dimana reaksi oksidasi eksotermik berkelanjutan pada kelajuan yang menyebabkan peningkatan suhu secara signifikan. Karena adanya kaitan yang kuat antara penyalaan dan oksidasi, usaha-usaha telah dibuat pada masa lalu untuk mempelajari oksidasi magnesium pada suhu tinggi (Blandin, 2004).


(47)

28

Suhu penyalaan magnesium pada tekanan atmosfir lebih rendah dibawah titik cairnya yaitu pada 623 oC. Pada tekanan 500 psi, suhu penyalaan mendekati titik cairnya yaitu 650 oC. Titik nyala sejumlah paduan magnesium dengan logam lain telah diselidiki. Suhu penyalaan berkisar dari 500 oC sampai 600 oC. Ada efek tertentu apabila bersentuhan dengan beberapa logam lain sehingga dapat mengubah titik poin suhu penyalaan magnesium. Apabila paduan magnesium bersentuhan dengan nikel, kuningan dan alumunium dapat memperendah suhu penyalaan, sedangkan bersentuhan dengan baja dan perak tidak mempengaruhi poin suhu penyalaan (White & Ward, 1966)

Magnesium masif menunjukkan akan menyala diudara pada suhu yang sama sebagaimana nyala dalam oksigen. Serbuk magnesium diudara menyala pada suhu 620 oC. Penyelidikan lain menunjukkan bahwa kepadatan partikel pembentukan paduan magnesium mempengaruhi suhu penyalaan. Partikel-partikel yang kurang padat memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk menyala berkisar antara 700 oC sampai 800 oC jauh diatas titik cairnya. Namun kajian impak menunjukkan magnesium sensitif terhadap perubahan beban atau tumbukkan massa (White & Ward, 1966). Seperti yang telah diketahui bahwa penyalaan atau pembakaran membutuhkan udara (O2) sebagai media untuk

terjadinya pembakaran dan panas awal. Peningkatan suhu akan menyebabkan magnesium mudah terbakar. Reaksi penyalaan akan menghasilkan panas seperti pada reaksi kimia berikut. 2Mg + O2  2 MgO + 1215,5 Kj


(48)

29

G.Visi Komputer dan Pengolahan Citra

Definisi dari pengolahan citra adalah pengolahan suatu citra dengan menggunakan komputer secara khusus, untuk menghasilkan suatu citra yang lain. Dengan menggunakan sistem pengolahan citra dapat merepresentasikan suatu proses dalam bentuk visual yang mudah untuk diamati untuk mendapatkan suatu tahap pengambilan keputusan. Dalam prakteknya pengolahan citra begitu erat dalam keseharian untuk beberapa aplikasi yang membutuhkan kecermatan. Seperti pada bidang astronomi untuk pemetaan geografi bumi dengan menggunakan satelit dimana memerlukan suatu integrasi untuk menghasilkan keadaan bumi secara keseluruhan baik kedalaman laut, ketinggian gunung ataupun keadaan pemukiman. Pada contoh lain penggunaan pengolahan citra sebagai alat kemanan untuk melindungi beberapa dokumen penting dan barang berharga dapat menggunakan pengolahan citra fingerprint atau eye-retina identification.

Melakukan proses pengolahan citra membutuhkan beberapa komponen untuk menangkap gambar citra dalam hal ini dapat menggunakan kamera video. Dengan cara ini dapat mengolah data yang diperlukan dengan menangkap intensitas cahaya yang tertangkap kamera. Intensitas cahaya itu sendiri merupakan salah satu sinyal elektris dan dengan cara paling sederhana menggunakan photosensitive cells dapat membuat kamera primitif yang menghasilkan sederetan sinyal yang menghasilkan tingkatan-tingkatan intensitas cahaya untuk masing-masing spot pada gambar (Fadlisyah, 2007).


(49)

30

1. Menangkap Objek Gambar Menggunakan Kamera Biasa

Untuk menangkap sebuah gambar diperlukan kamera yang mendukung untuk mendapatkan objek. Kualitas gambar pun dipengaruhi oleh kualitas kamera itu sendiri sebagai media pengolah. Pada akhirnya akibat tuntutan jaman maka tidak heran untuk mendapati sebuah kamera yang memliki resolusi tinggi dalam bentuk yang lebih kecil. Suatu kamera yang berkualitas sangat tergantung pada kualitas dari tabung vidicon yang dimilikinya.

Gambar 13. Konstruksi vidicon pada kamera (Sumber : Fadlisyah S.Si, 2007)

Vidicon terdiri dari tabung kaca hampa yang secara internal diberi suatu lapisan konduktif photosensitive dan film tin oxide yang transparan. Lapisan photosensitive dibuat dari material semikonduktor yang ketahanannya berkurang ketika menerima cahaya

Lensa pada kamera memfokuskan pandangan yang akan ditangkap tepat pada target. Target tersebut discan oleh suatu sinar elektron yang berasal dari suatu katoda pada ujung tabung (Gambar 13), difokuskan sebagai suatu spot. Sinar katoda dirancang untuk menscan objek atau gambar dalam bentuk raster. Dalam prosesnya sinar katoda membebankan (charge) lapisan photosensitive. Wilayah charge ini kemudian didischarge pada kecepatan


(50)

31

yang tidak tergantung pada sejumlah peristiwan pencahayaan, metal ring, yang berada pada luar tabung, diubungkan ke film tin oxide, dan mengumpulkan arus-arus discharge yang sangat kecil.

2. Unit Kamera Berbasis Termografi

Perbedaan mengenai kamera video standar biasa dengan unit kamera termografi umumnya terletak pada objek yang ditangkap. Tanggapan kamera video standar adalah untuk radiasi cahaya tampak dari objek yang terlihat, sedangkan tanggapan unit termografi khusus untuk radiasi inframerah dari objek yang diamati. Oleh karena itu objek ditangkap melewati viewfinder ditampilkan dalam bentuk false colours untuk membawa informasi suhu.

Terlihat pada Gambar 14 bahwa panjang gelombang dari objek yang memancarkan warna tampak atau warna-warna yang biasa dilihat oleh mata seperti warna merah, kuning, hijau dan biru berkisar kurang dari 1μm dan panjang gelombang yang dipancarkan oleh sinar inframerah yang memilki panjang gelombang setingkat lebih kecil dibandingkan dengan warna tampak atau nyata adalah antara 1μm sampai 10 μm.

Temografi inframerah menggunakan peralatan khusus untuk mengukur suhu permukaan. Objek bersuhu tinggi memancarkan jumlah energi pada daerah spektrum elektromagnetik inframerah yang lebih besar dari pada suhu rendah objek tersebut. Suatu kamera inframerah mendeteksi besar radiasi inframerah yang dipancarkan dari sebuah objek, dan mengkonversikan suhu


(51)

32

tersebut ke dalam citra panas video yang disebut dengan termogram (Burhanudin. dkk, 2012).

Gambar 14 Panjang gelombang radiasi elektomagnetik. (Sumber : Fadlisyah S.Si, 2007)

Hal ini yang dapat dipergunakan untuk mengetahui besarnya panas yang dihasilkan oleh material dengan menggunakan efek radiasi yang dihasilkan suatu objek material tersebut. Penggunaan akan termografi diaplikasikan dalam perawatan di pabrik manufaktur, khususnya pada industri-industri besar yang memerlukan beberapa kriteria untuk meloloskan produk jadinya. Karena suhu merupakan hal yang menjadi perhatian utama dan saran diagnostik.

Suatu objek yang bersuhu tinggi memancarkan sejumlah energi pada daerah spektrum elektromagnetik inframerah sehingga untuk mendapatkan suhu


(52)

33

panas yang dapat ditangkap oleh kamera diperlukan lensa yang beroperasi dari 3 sampai 5 μm dimana dapat dilihat pada tabel 2.2 bahwa barium flourida, lithium flourida, magnesium flourida, silikon, saphire, silikon nitrat, zirconium oksida, yang berpotensi digunakan sebagai bahan transmisi inframerah.

Tabel 3. Bahan transmisi inframerah

Jenis material 3-5 μm 8-13 μm

Alkali halida - KCL, NaCl, CsI Halida lain BaF2, LiF, MgF2 KRS5, PbF2, ThF4 Semikonduktor Si Ge, GaAs, InP, GaP Chalcogenides - ZnS, ZnSe, CdS, CaLaS Lain-lain Al2O3,SiN, SiC, ZrO, Y2O3 -

3. Pemrosesan Citra Untuk Pengukuran Suhu

Proses pengukuran suhu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu dengan pengukuran langsung (kontak) dan pengukuran secara tidak langsung (nonkontak) dengan mengolah data-data yang diperoleh. Pada umumnya pengukuran suhu dengan metode kontak menggunakan alat seperti termokopel, RTD (Resistance Temperature Detectors), dan termometer dengan cara dikenakan secara langsung oleh objek yang akan diukur, dan respon alat-alat tersebut terhadap pengukuran relatif lambat, tetapi tidak terlalu mahal.

Pengukuran secara tidak langsung (nonkontak) menggunakan sensor-sensor suhu untuk mengukur radiasi pancaran energi inframerah dari target. Pengukuran non kontak mempunyai tanggapan cepat, juga dapat digunakan untuk mengukur suhu target yang bergerak, dan terputus-putus. Kelebihan


(53)

34

lain dari pengukuran non kontak yaitu dapat mengukur pada daerah hampa, dan target yang tidak dapat diakses secara langsung karena terletak pada daerah yang membahayakan atau yang beresiko. Dengan kelebihan-kelebihan itu pengukuran nonkontak sangat efisien walaupun harganya relatif mahal.

4. Termovision sebagai salah satu proses pengolahan citra suhu

Termovision merupakan salah satu aplikasi yang bertujuan untuk dapat membaca suhu dari sebuah citra berformat JPG dan distribusi suhu melalui warna merah yang menunjukkan bagian terpanas. Konsep dari termovision ini sendiri hampir sama dengan metode termografi, hanya saja pada termografi aplikasi utamanya pada bagian kesehatan atau kedokteran.

Seperti pada Gambar 15 Metode termografi didasarkan pada perbedaan suhu antar lingkungan sekitar dengan objek yang dipantau. Distribusi suhu yang bervariasi ini bisa disebabkan karena adanya perbedaan panas yang disebabkan oleh benda yang bergerak. Dimana benda yang bergerak seperti gear akan menghasilkan panas. (Tridinews, 2014).

Gambar 15. Aplikasi Termografi (Sumber : Tridinews, 2014)


(54)

35

Termovision memanfatkan kondisi suhu yang dipancarkan oleh suatu benda dalam bentuk gelombang inframerah, kemudian ditangkap oleh kamera inframerah. Gambar 16 menunjukkan gambar aplikasi thermografi menggunakan software matlab. Pengambilan gambar menggunakan kamera inframerah dilakukan setelah terjadi kontak suhu panas yang meningkat dari kondisi sebelumnya dari benda yang di ukur. Hasil video yang ditangkap oleh kamera inframerah yang terbaca dikomputer kemudian diolah menggunakan sebuah aplikasi freeware video2image converter menjadi beberapa frame image sehingga menghasilkan keluaran berupa gambar berformat .jpg. Pemilihan gambar berformat .jpg beralasan karena menggunakan format umum ini suhu dari citra sudah terbaca jadi tidak perlu mengubah ke format gambar lain seperti .bmp.


(55)

36

Setelah selesai mengkonversi video menjadi citra yang disimpan dalam bentuk JPG. Kemudian citra-citra ini diolah dengan menggunakan perangkat lunak yang mampu mengkonversi energi inframerah menjadi warna yang dapat dilihat oleh mata. Visualisasi suhu dalam bentuk warna menunjukkan distribusi suhu sesuai dengan tinggi-rendah suhu ini yang diinginkan dari fungsi aplikasi thermovision yang sebelumnya telah ditentukan parameter Tmax dan Tmin pada aplikasi thermovision. Aplikasi thermovision yang digunakan menggunakan aplikasi Matlab sebagai media pengolah aplikasi thermovision (M. Haris, 2013)

Kelebihan aplikasi thermografi adalah dapat menangkap perbedaaan suhu yang dinyatakan dalam bentuk warna secara langsung, tanpa harus menempelkan alat pendeteksi pada benda objek. Selain dari kelebihan itu, aplikasi thermografi memiliki kekurangan yaitu aplikasi thermografi masih dilakukan secara manual. Cara ini dirasakan kurang efisien karena video yang telah direkam harus diubah menjadi bentuk gambar kemudian dalam bentuk gambar berformat .jpg barulah dapat diketahui suhu pada saat itu dengan aplikasi thermorafi.


(56)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai selesai. Penelitian dilakukan di Laboratorium Proses Produksi Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung untuk proses pembubutan dan pencitran menggunakan kamera inframerah dengan metode thermografi.

B.Alat dan Bahan Penelitian

Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Material Magnesium AZ31B


(57)

38

Tabel 4. Karakteristik fisik dan thermal material paduan magnesium AZ31B (Sumber : Analysis of surface integrity in dry and cryogenic machining of AZ31B Mg Alloys, 2011)

Density [kg/mm3] 1,77 x 10-6

Young’s Modulus [kN/mm2

] 45,000

Possion’s ratio 0.35 Melting temperature [K] 891

Konduktifitas thermal [w/(mK)] 77 + 0.096T Kapasitas Spesifik panas [J/(kgK)] 1000 + 0.666T Koefisien muai panas[K-1] 2.48 x 10-5

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Mata pahat HHS

Pahat bubut High Speed Steels (HSS) merupakan paduan dari 0,75%-1,5% Carbon (C), 4%-4,5% Chromium (Cr), 10%-20% Tungsten (W) dan Molybdenum (Mo), 5% lebih Vanadium (V), dan Cobalt (Co) lebih dari 12% (Childs, dkk, 2000).


(58)

39

2. Mesin bubut

Spesifikasi mesin bubut

Merk : PINACHO MOTOR

Type : S-90/200 Main Motor Power : 4 Kw

Penyerahan : 22-8-2000 Pump Motor Power :0.06 Kw

Buatan : SPAIN, JULY 1999

SPESIFIKASI

Central High : 200 mm

Central Distance : 750 – 1150 mm Swing Over Bed : 400 mm

Swing Over Grap : 600 mm Swing Over Carrriage : 370 mm Swing Cross Slide : 210 mm

Bed width : 300 mm


(59)

40

3. Kamera berinframerah

Kamera berinframerah digunakan untuk menangkap aktivitas pemesinan seperti percikan atau penyalaan. Kamera berinframerah dipasang diatas pahat sehingga saat pahat menyentuh benda kerja, maka akan nampak pada layar monitor seperti terlihat pada Gambar 23 yang memperlihatkan set-up pengujian.

Berikut adalah spesifikasi kamera inframerah Merk : SECAM

Model : SC-2900

TYPE : 1/3` SONY CCD 663 IR Colour Camera Power : DC 12 V RoHS

System : PAL – 420 Video Output : 1V p-p 75Ω

Gambar 20. Kamera inframerah

4. Laptop


(60)

41

5. Aplikasi pengolahan image

Aplikasi pengolahan image yang digunakan pada eksperimen ini ada dua macam. aplikasi yang pertama digunakan adalah aplikasi untuk mengubah video hasil kamera infrared menjadi bentuk image dengan beberapa frame menggunakan aplikasi video2image converter. Aplikasi selanjutnya adalah aplikasi thermografi menggunakan program MATLAB yang ditampilkan pada Gambar 15.

Matlab (Matrix Laboratory) merupakan salah satu bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan MathWorks. Fungsi dari Matlab tidak hanya untuk beroperasi sebagai alat pemrograman, tetapi sekaligus sebagai alat visualisasi yang berhubungan langsung dengan ilmu matematika. Oleh karena itu, matlab semakin banyak digunakan oleh para programmer yang menghendaki kepraktisan dalam membuat program.

GUI Matlab merupakan sebuah Graphical User Iterface (GUI) yang dibangun dengan obyek grafik seperti tombol (button), kotak teks, slider, menu dan lain-lain. Aplikasi yang menggunakan GUI umumnya lebih mudah dipelajari dan digunakan karena pada penggunaanya tidak perlu mengetahui perintah-perintah untuk membuka aplikasi dan bagaimana kerjanya. GUI merupakan tampilan grafis yang memudahkan user berinteraksi dengan perintah teks. Dengan GUI, program yang telah dibuat dengan menggunakan MATLAB menjadi lebih user friendly sehingga mudah untuk user menjalankan suatu aplikasi program(P. Erick, N. Yessica, 2007).


(61)

42

6. TV Combo

Gambar 20 menunjukkan gambar TV Combo dimana TV Combo berfungsi sebagai alat untuk menyambungkan antara kamera berinframerah dengan laptop. Sehingga hasil gambar yang ditangkap oleh kamera berinframerah diolah dalam laptop berupa video record.

Gambar 21. TV Combo 7. Hygrometer

Higrometer (hygrometer) adalah perangkat untuk menentukan kelembaban atmosfer yang dapat menunjukkan kelembaban relatif (persentase kelembaban di udara), kelembaban mutlak (jumlah kelembaban) atau keduanya. Relative Humadity (Φ) adalah rasio antara massa udara yang ada pada saat itu maksimal terhadap kelembapan yang dapat diserap oleh udara (cengel, 2006).

Φ =

; %

Hygrometer terdapat dua skala, yang satu menunjukkan kelembaban yang satu menunjukkan temperature yang ditunjukkan Gambar 22. Cara


(62)

43

penggunaannya dengan meletakkan di tempat yang akan diukur kelembabannya, kemudian tunggu dan bacalah skalanya.

Gambar 22. Hygrometer

C.Persiapan Alat dan Bahan

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk memulai pengujian. Adapun persiapan bahan yang dilakukan sebelum memulai pengujian adalah :

1. Magnesium AZ31 yang berupa bongkahan berbentuk batang, kemudian dilakukan pemesinan sehingga mendapatkan bentuk silinder. Gambar 17 menunjukkan bahan Magnesium AZ31 yang berbentuk silinder.

2. Magnesium AZ31 kemudian dilakukan proses roughing untuk mendapatkan panjang 310 mm dan diameter 75 mm.

3. Melakukan pengeboran pada sisi muka, untuk penempatan center pada benda kerja. Centering diperlukan agar material pada saat pengerjaan tetap dalam putaran yang seimbang.


(63)

44

D.Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian pada penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahapan antara lain sebagai berikut :

1. Set-up pemesinan magnesium AZ31B

Gambar 23. Set-up pemesinan Magnesium AZ31B

Pada tahapan mula ini dilakukan instalasi set-up mesin berupa penempatan kamera berinframerah yang berada diatas pahat potong. Selanjutanya sebagai media penerima image video maka kamera berinframerah disambungkan oleh sebuah laptop untuk mengambil video dari proses pengerjaan pemesinan.

2. Proses pembubutan spesimen

Setelah mesin di set-up seperti Gambar 23, maka proses pembubutan material magnesium AZ31B dapat dilakukan tanpa menggunakan cairan pendingin. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan video dari proses pengerjaan bubut.

adapun tahapan pelaksanaan awal untuk pemesinan sebagai berikut : a. Melakukan set-up mesin bubut seperti yang dilihatkan pada Gambar 23.


(64)

45

b. Mengukur diameter awal benda untuk menetukan rpm yang akan digunakan untuk pemesinan seperti pada Gambar 24.

Gambar 24. Mengukur diameter benda

c. Menentukan parameter pemotongan dengan Vc (m/min) = 120 ,140 ,160, 180 ; f (mm/rev) = 0.05, 0.1, 0.15 ; d (mm) = 0.05 dan 0.1

d. Menyatat angka kelembapan relatif (kelembapan di udara) dan suhu rungan pada setiap kondisi pemotongan sebelum melakukan pengujian menggunakan hygrometer.

e. Menghidupkan mesin dengan mulai melakukan pemesinan dengan menghidupkan record kamera ber inframerah.

f. Melakukan pengulangan pengerjaan selama 3 kali setiap parameter yang diuji.

g. Mengamati dan menganalisa kondisi mata pahat terhadap benda kerja untuk melihat tanda-tanda percikan atau penyalaan.

h. Mengumpulkan contoh spesimen geram yang dihasilkan pada tiap kombinasi parameter pemotongan.

3. Pengolahan data video


(65)

46

dilakukan proses pengolahan data image. Prosedur pengolahan data video thermografi seperti berikut :

a. Mengubah video yang telah direkam sehingga diubah menjadi bentuk gambar menggunakan aplikasi Video to JPG Converter.

b. Memasukkan salah satu frame gambar yang telah di convert menggunakan aplikasi Video to JPG Converter.

c. Selanjutnya dengan menggunakan aplikasi matlab thermografi, dapat diketahui distribusi panas yang terjadi antara pahat dengan Magnesium AZ31B.

d. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mengoperasikan aplikasi Thermovison sebagai berikut :

 Membuka aplikasi thermografi dengan mula-mula membuka program MATLAB.

 Mengatur temperatur maksimal dan temperatur minimal kondisi pemotongan.

 Memilih file lalu load image.

 Mencari letak image (.jpg) yang telah disimpan dalam beberapa frame.

Image akan muncul di lembar kerja aplikasi thermografi.

 Memilih tombol tool, kemudian memilih temperatur region crop (digunakan untuk menghitung rata-rata temperatur daerah yang ditandai).


(66)

47

Mulai E.Diagram Alir Penilitian

Gambar 25. Diagram alir Menghitung diameter

awal Magnesium

Melakukan pemesinan bubut :

Kondisi pemotongan : - vc= 120,140,160,180 m/min - f= 0,05 ; 0,1 ; 0,15 mm/rev - d= 0,05 dan 0,1 mm – kelembapan udara 73 %

Merekam aktivitas pemakanan dengan kamera inframerah serta mengumpulkan sampel geram

Data hasil pengujian

Analisa data dan Pembahasan

Simpulan dan saran

Selesai


(67)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.SIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah :

1. Nyala api terjadi pada kedalaman potong 0,05 mm yaitu pada kecepatan 180 m/min dengan gerak makan 0,05 mm dengan suhu sebesar 553,235

o

C.

2. Nyala api kedua terjadi pula pada kedalaman potong 0,05 mm pada kecepatan potong 200 m/min dengan gerak makan 0,05 mm dengan suhu sebesar 620,675 oC.

3. Gerak makan yang rendah yaitu 0,05 mm/rev serta kedalaman penyayatan rendah 0,05 mm memungkinkan terjadi penyalaan lebih besar ketimbang gerak makan dan kedalaman penyayatan tinggi.

4. Kecepatan potong yang tinggi akan memungkinkan terjadinya nyala pada proses pemesinan.

5. Aplikasi Thermografi menunjukkan bahwa, distribusi suhu paling besar terjadi pada daerah geram.

6. Disaat terjadi penyalaan, grafik histogram akan memiliki nilai intensitas tinggi pada area terang (150-250). Namun, disaat tidak terjadi penyalan,


(68)

69

grafik histogram tidak akan memiliki nilai intensitas pada area terang dan lebih dominan memiliki intensitas pada area gelap (0-150).

7. Grafik histogram merepresentasikan banyaknya intensitas cahaya pada gambar dengan menampilkan grafik pada kawasan gelap (0-150) dan pada kawasan terang (150-250).

B.SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan penulis terhadap pengujian yang telah dilakukan adalah:

1. Aplikasi Thermografi perlu dilakukan pengembangan agar aplikasi thermografi dapat mengetahui nilai suhu secara langsung pada layar komputer tanpa harus melaukan konversi kedalam bentuk gambar.

2. Perlu dilakukan pengujian lanjutan dengan variasi kecepatan potong yang lebih tinggi dan gerak makan serta kedalaman potong yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap suhu yang terjadi.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

B.B. Buldum, A. Sik, I. Ozkul. 2011. Investigation of machining alloys machinability. International Journal of Electronic: Mechanical and Mechatronics Engineering Vol.2 Num.3 pp.(261-268).

Burhanudin, Yanuar.Wardono, Herry. Su’udi, Ahmad. 2012. Karakterisasi penyalaan geram pada pemesinan kecepatan tinggi magnesium az31 dan magnesium az91 menggunakan analisis termografi dan jaringan syaraf tiruan. Laporan Penelitian Hibah Fundamental. Unila.

Blandin, J.J. Grosjean, E. Suery, M. Ravi Kumar, N.V. Mebarki, N. 2004. Ignition resistance of various magnesium alloys. Journal Magnesium Technology C. Blawert, N. Hort, K.U. Kainer. 2004. Automotive application of magnesium

and its alloys. Trans Indian Inst. Met Vol.57, No.4 pp.397-408

Cengel, Yunus A & Boles, Micheal A. 2006. Thermodynamics an engineering approach. McGraw-Hill Companies. Singapore.

D.A. Stephenson, J.S. Agapiou. 2006. Metal cutting theory and practice, 2ed. Taylor & Francis, Boca Raton.

E.L. White & J.J. Ward. 1966. Ignition of metals in oxygen. DMIC Report No. 224.

Fadlisyah S.Si. 2007. Computer vision dan pengolahan citra. CV Andi Offset. Yogyakarta.

Hadi Surya, Lukman. 2008. Proses perolehan magnesium. Universitas Indonesia. Depok.

Kalpakjan. S, Schmid S.R. 2009. Manufacturing engineering & technology. Pearson. New York.

Kulecki. K.M. 2007. Magnesium and its alloys applications in automotive industry.Springer-Verlag. London.


(70)

Mahayatra, I Gde. 2013. Pemesinan kering dry machining.Tugas Akhir.Universitas Lampung. Lampung.

Marinov Valery. Cutting temperature. http://me.emu.edu.tr/me364/ME364_ cutting_temperatures.pdf (diakses 15 Oktober 2014 pukul 22.18 WIB). M. Haris, B. Yanuar. 2013. Rancang bangun aplikasi thermovision untuk

pemetaan distribusi suhu dan permulaan penyalaan magnesium pada pembubutan kecepatan tinggi. Tugas Akhir. Universitas Lampung. Lampung.

P.S. Sreejith, B.K.A. Ngoi. Dry Machining : Machining of the future. J.Mater. Processing Technology 101 (2002) 287-291.

Rochim, Taufiq. 1993. Teori dan teknologi proses pemesinan. ITB. Bandung Seal, C.K. Vince, K. Hodgson, M.A. 2009. Biodegradable surgical implants

based on magnesium alloys. Journal Publishing series- Materials Science and Engineering 4 (2009) 012011.

Shaw, Milton.C. 1984. Metal cutting principle. Oxford. Newyork.

Tonshoff H.K, Denkena B dkk. 2004. Technology of magnesium and magnesium alloys.

Tridinews. 2014. http://www.news.tridinamika.com/3235/agilent-technologies- berkolaborasi-dengan-nippon-avionics-dalam-mengembangkan-solusi-imager-thermal (diakses 18 Oktober 2014 pukul 08.21 WIB)

Widarto.2008. Teknik pemesinan jilid i untuk sekolah menengah kejuruan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.

X.Q. Zeng, Q.D. Wang, Y.Z. Lu, W.J. Ding, C. Lu, Y.P. Zhu, C.Q. Zhai & X.P. Xu. Study on ignition proof magnesium alloy with beryllium and rare erth additions. Scripta Materialia Vol. 43 pp 403-409, 2000.

http://en.wikipedia.org/wiki/Magnesium(diakses 22 November 2013 pukul 22.12 WIB).

http://www.accessscience.com/search.aspx?rootID=792288 (diakses 27 November 2013 pukul 13.02 WIB).


(71)

http://2.bp.blogspot.com/-jDBunH0W0qY/UMLR7Gu2TzI/AAAAAAAAAI4/ UYoxhASNdo8/s1600/Screenshot_15.png (diakses 27 November 2013 pukul 15.44 WIB).


(1)

47

Mulai E.Diagram Alir Penilitian

Gambar 25. Diagram alir Menghitung diameter

awal Magnesium

Melakukan pemesinan bubut :

Kondisi pemotongan : - vc= 120,140,160,180 m/min - f= 0,05 ; 0,1 ; 0,15 mm/rev - d= 0,05 dan 0,1 mm – kelembapan udara 73 %

Merekam aktivitas pemakanan dengan kamera inframerah serta mengumpulkan sampel geram

Data hasil pengujian

Analisa data dan Pembahasan

Simpulan dan saran

Selesai


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.SIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah :

1. Nyala api terjadi pada kedalaman potong 0,05 mm yaitu pada kecepatan 180 m/min dengan gerak makan 0,05 mm dengan suhu sebesar 553,235

o

C.

2. Nyala api kedua terjadi pula pada kedalaman potong 0,05 mm pada kecepatan potong 200 m/min dengan gerak makan 0,05 mm dengan suhu sebesar 620,675 oC.

3. Gerak makan yang rendah yaitu 0,05 mm/rev serta kedalaman penyayatan rendah 0,05 mm memungkinkan terjadi penyalaan lebih besar ketimbang gerak makan dan kedalaman penyayatan tinggi.

4. Kecepatan potong yang tinggi akan memungkinkan terjadinya nyala pada proses pemesinan.

5. Aplikasi Thermografi menunjukkan bahwa, distribusi suhu paling besar terjadi pada daerah geram.

6. Disaat terjadi penyalaan, grafik histogram akan memiliki nilai intensitas tinggi pada area terang (150-250). Namun, disaat tidak terjadi penyalan,


(3)

69

grafik histogram tidak akan memiliki nilai intensitas pada area terang dan lebih dominan memiliki intensitas pada area gelap (0-150).

7. Grafik histogram merepresentasikan banyaknya intensitas cahaya pada gambar dengan menampilkan grafik pada kawasan gelap (0-150) dan pada kawasan terang (150-250).

B.SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan penulis terhadap pengujian yang telah dilakukan adalah:

1. Aplikasi Thermografi perlu dilakukan pengembangan agar aplikasi thermografi dapat mengetahui nilai suhu secara langsung pada layar komputer tanpa harus melaukan konversi kedalam bentuk gambar.

2. Perlu dilakukan pengujian lanjutan dengan variasi kecepatan potong yang lebih tinggi dan gerak makan serta kedalaman potong yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap suhu yang terjadi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

B.B. Buldum, A. Sik, I. Ozkul. 2011. Investigation of machining alloys machinability. International Journal of Electronic: Mechanical and Mechatronics Engineering Vol.2 Num.3 pp.(261-268).

Burhanudin, Yanuar.Wardono, Herry. Su’udi, Ahmad. 2012. Karakterisasi

penyalaan geram pada pemesinan kecepatan tinggi magnesium az31 dan magnesium az91 menggunakan analisis termografi dan jaringan syaraf tiruan. Laporan Penelitian Hibah Fundamental. Unila.

Blandin, J.J. Grosjean, E. Suery, M. Ravi Kumar, N.V. Mebarki, N. 2004. Ignition resistance of various magnesium alloys. Journal Magnesium Technology C. Blawert, N. Hort, K.U. Kainer. 2004. Automotive application of magnesium

and its alloys. Trans Indian Inst. Met Vol.57, No.4 pp.397-408

Cengel, Yunus A & Boles, Micheal A. 2006. Thermodynamics an engineering approach. McGraw-Hill Companies. Singapore.

D.A. Stephenson, J.S. Agapiou. 2006. Metal cutting theory and practice, 2ed. Taylor & Francis, Boca Raton.

E.L. White & J.J. Ward. 1966. Ignition of metals in oxygen. DMIC Report No. 224.

Fadlisyah S.Si. 2007. Computer vision dan pengolahan citra. CV Andi Offset. Yogyakarta.

Hadi Surya, Lukman. 2008. Proses perolehan magnesium. Universitas Indonesia. Depok.

Kalpakjan. S, Schmid S.R. 2009. Manufacturing engineering & technology. Pearson. New York.

Kulecki. K.M. 2007. Magnesium and its alloys applications in automotive industry.Springer-Verlag. London.


(5)

Mahayatra, I Gde. 2013. Pemesinan kering dry machining.Tugas Akhir.Universitas Lampung. Lampung.

Marinov Valery. Cutting temperature. http://me.emu.edu.tr/me364/ME364_ cutting_temperatures.pdf (diakses 15 Oktober 2014 pukul 22.18 WIB). M. Haris, B. Yanuar. 2013. Rancang bangun aplikasi thermovision untuk

pemetaan distribusi suhu dan permulaan penyalaan magnesium pada

pembubutan kecepatan tinggi. Tugas Akhir. Universitas Lampung.

Lampung.

P.S. Sreejith, B.K.A. Ngoi. Dry Machining : Machining of the future. J.Mater. Processing Technology 101 (2002) 287-291.

Rochim, Taufiq. 1993. Teori dan teknologi proses pemesinan. ITB. Bandung Seal, C.K. Vince, K. Hodgson, M.A. 2009. Biodegradable surgical implants

based on magnesium alloys. Journal Publishing series- Materials Science and Engineering 4 (2009) 012011.

Shaw, Milton.C. 1984. Metal cutting principle. Oxford. Newyork.

Tonshoff H.K, Denkena B dkk. 2004. Technology of magnesium and magnesium alloys.

Tridinews. 2014. http://www.news.tridinamika.com/3235/agilent-technologies- berkolaborasi-dengan-nippon-avionics-dalam-mengembangkan-solusi-imager-thermal (diakses 18 Oktober 2014 pukul 08.21 WIB)

Widarto.2008. Teknik pemesinan jilid i untuk sekolah menengah kejuruan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.

X.Q. Zeng, Q.D. Wang, Y.Z. Lu, W.J. Ding, C. Lu, Y.P. Zhu, C.Q. Zhai & X.P. Xu. Study on ignition proof magnesium alloy with beryllium and rare erth additions. Scripta Materialia Vol. 43 pp 403-409, 2000.

http://en.wikipedia.org/wiki/Magnesium(diakses 22 November 2013 pukul 22.12 WIB).

http://www.accessscience.com/search.aspx?rootID=792288 (diakses 27 November 2013 pukul 13.02 WIB).


(6)

http://2.bp.blogspot.com/-jDBunH0W0qY/UMLR7Gu2TzI/AAAAAAAAAI4/ UYoxhASNdo8/s1600/Screenshot_15.png (diakses 27 November 2013 pukul 15.44 WIB).