97
yang tertib dan aman tersebut belum berjalanbekerja secara maksimal. Yang terjadi justru nampak bekerja sendiri-sendiri, antara pihak UKSW sebagai pemilik keragaman,
Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota
Salatiga belum memiliki strategi bersama dalam hal penanganan keragaman yang sangat memungkinkan menimbulkan konflik.
Oleh karena itu, catatan penting yang yang direkomendasikan oleh penulis dalam kaitannya kerjasama mengelola konflik untuk menciptakan kondisi yang tertib dan
aman adalah memaksimalkan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti UKSW sebagai pemilik keragaman, Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari
UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota Salatiga. Pihak-pihak terkait tersebut harus mempu
menciptakan strategi atau pendekatan dalam menangani keragaman yang terjadi di UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.
6.1.2. Faktor Pergaulan kebersamaan, kedekatan, keragaman
J. Jones dalam Liliweri 2007 mendefinisikan etnis atau sering disebut Kelompok Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia sub kelompok manusia
yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi
tertentu.Keberadaan mahasiswa UKSW sebagian besar telah membentuk komunitasnya masing-masing
—membentuk kelompokkomunitas berdasarkan asal kedaerahan atau kesukuan
— hal tersebut dilakukan dengan alasan karena mereka merasa nyaman dengan orang-orang yang berasal dari satu etnisdaerah ketimbang dengan orang yang
berasal dari daerahsuku lain. Rasa nyaman itulah yang kemudian mendorong mereka untuk membentuk komunitasnya masing-masing.
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat yang ada dilingkungan UKSW sangat rentan terhadap konflik, alasannya adalah karena
masyarakat yang berada dilingkungan UKSW lebih cenderung hidup berkelompok sesuai dengan latar belakang budaya dan etnis masing-masing. Pada saat yang sama, ada
keterbatasan kapasitas UKSW dalam menjangkau mahasiswanya agar tidak terlibat dalam konflik antar kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Yafet S. Rissi, bahwa
98
UKSW hanya menjangkau mahasiswa ketika mereka berada di lingkungan kampus sebagai akademisi, namun jika mereka sudah keluar dari lingkungan kampus dan hidup
sebagai masyarakat Salatiga, UKSW tidak mampu menjangkau lagi, karena setiap kelompok etnis memiliki payung atau lembaga hukumnya masing-masing. Oleh karena
itu, mahasiswa dalam hal ini yang juga merupakan masyarakat Salatiga harus mampu untuk mengelola konflik dan menghadirkan perdamaiannya.
Untuk dapat mengelola konflik, maka sangat diperlukannya modal sosial atau
sosial capital
. Yang dimaksud dengan modal sosial dalam hal ini adalah jaringan sosial antar satu orang dengan orang lain Helpern, 2005. Namun definisi yang lebih terkenal
adalah seperti yang dikatakan oleh Putnam, bahwa modal sosial merupakan suatu ciri kehidupan sosial yang di dalamnya terkandung jaringan, norma, dan kepercayaan. Jika
melihat pada data yang diperoleh di lapangan, modal sosial merupakan hal penting yang sejauh ini digunakan oleh para senior etnis dan UKSW dalam mengelola dan
menyelesaikan konflik. Dalam kaitannya dengan modal sosial sebagai upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik, Augie D. Manuputy sebagai senior kelompok
etnis Ambon mengatakan bahwa: ―Dalam upaya penyelesaian konflik, hal yang biasa kita lakukan
adalah dengan mendekati senior etnis untuk berdiskusi tentang bagaimana baiknya masalah tersebut diselesaikan. Kami sesama
senior yang sudah dekat sejak kuliah dulu, saling bertemu untuk membicarakan persoalan tersebut. Selain dekat kita juga saling
percaya, pendekatan itu yang biasa kami lakukan, makanya dalam setiap kejadian konflik kami selalu menyelesaikannya dengan cara
kekeluargaan. Saya kira metode itu juga sangat efektif baik untuk mengelola ataupun menyelesaikan konflik, dan kami ingin model-
model kedekatan antar kelompok etnis itu juga ditiru oleh adik-adik agar ketika terjadi konflik lebih mudah dalam menyelesaikannya.
Relasi seperti ada baiknnya juga dikembangkan oleh para generasi
baru, karena memang baik‖. Melanjutkan apa yang dikatakan oleh Augie D. Manuputy mengenai peran
penting modal sosial dalam pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan UKSW, berdasarkan pada fakta dan keterangan dari kepolisian Resort Kota Salatiga, dikatakan
juga bahwa sejauh ini proses penyelesaian konflik yang terjadi memang lebih sering menggunakan model kekeluargaan. Hal tersebut menunjukan bahwa peran senior
dengan modal sosial yang dimilikinya merupakan faktor penting yang harus
99
ditingkatkan dalam upaya pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan mahasiswa UKSW. Relasi sebagai salah satu faktor dalam modal sosial merupakan hal yang layak
untuk dikembangkan oleh kelompok-kelompok etnis mahasiswa. Selain itu, dengan model saling percaya dan menghormati dengan didorong oleh norma-norma yang
berlaku di UKSW maupun di Salatiga maka ketertiban dan perdamaian akan tercipta dilingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.
Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa dengan bertumbuhnya modal sosial di lingkungan mahasiswa UKSW maka kebiasaan untuk hidup bergerombol sesuai dengan
kelompok etnis akan hilang dan yang ada adalah kehidupan yang membaur antar etnis yang satu dengan etnis yang lain. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa modal sosial
merupakan hal terpenting dalam upaya mengelola kehidupan masyarakat yang multikultural.
Richard Mayopu sebagai senior sekaligus mantan pengurus kelompok etnis mahasiswa Ikmasti Timor terkait dengan pergaulan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi pengelolaan konflik mengatakan bahwa: ―Coba kita perhatikan, sebagian besar kelompok etnis mahasiswa
yang melakukan konflik pasti berasal dari Indonesia bagian Timur. Kita sama-sama dari Timur, jadi sebisa mungkin kita harus berusaha
untuk meminimalisir terjadinya konflik. Mungkin sekarang gaya- gayanya sudah agak berbeda, kalau dulu, kita saling kenal dengan
mahasiswa dari etnis lain, karena pada waktu itu senior-senior kami juga mengajarkan untuk saling mengenal etnis lain. Berbeda dengan
sekarang, mereka lebih senang untuk bergaul dengan etnis atau sukunya sendiri, kebiasaan mahasiswa untuk membaur atau bergaul
dengan etnis lain sangat kurang. Itu memang baik, tapi akan menjadi lebih baik jika kita bisa mengenal etnis lain, buktinya karena
kedekatan itulah dalam setiap masalah senior ikut turun tangan dalam proses penyelesaiannya, jika tidak ada kedekatan senior dengan etnis
lain pasti cukup susah dalam mendamaikan konflik antaretnis. Bergaul dengan etnis lain dan membangun kedekatan emosional juga sangat
penting untuk meminimalisir terjadinya konflik, oleh karenanya hal tersebut harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok etnis
agar potensi-potensi konflik yang ada dapat diminimalisir.
‖ Berdasarkan pada pengamatan lapangan dengan data yang diperoleh, penulis
menemukan bahwa faktor pergaulan merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa di UKSW.
Dengan adanya pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, akan menghasilkan sebuah
100
komunikasi yang baik dan dapat mengurangi intensitas terjadinya konflik antarkelompok. Dalam proses pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, masing-
masing kelompok etnis akan meninggalkan sejenak identitas komunitasnya masing- masing dan membaur untuk saling pempelajari karakter-karakter yang lain, dalam
proses pergaulan itu juga akhirnya dapat menghasilkan modal sosial yang baru, akan muncul norma-norma seperti saling menghargai dan saling toleran. Selain itu, modal
sosial yang terbentuk juga akan menghasilkan jaringan antar kelompok yang dapat difungsikan untuk penyelesaian konflik ketika terjadi perselisihan antarkelompok. Oleh
karena itu, sebagian besar konflik antarkelompok etnis mahasiswa yang terjadi selama ini dapat terselesaikan secara kekeluargaan.
Secara lebih rinci, berkaitan dengan pergaulan sebagai salah satu faktor dalam pengelolaan konflik di lingkungan UKSW, hal tersebut dapat dijelaskan seperti yang
terlihat dalam bagan sebagai berikut:
Bagan 6.2 Komunikasi Lintas Budaya
Dalam bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa modal sosial dan komunikasi antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung, secara tidak disadari,
manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan mengandalkan modal sosial dan dalam proses pembentukan modal sosial akan terjadi sebuah komunikasi antarbudaya.
Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas etnis yang ada di Salatiga yang selalu
HARMONISASI MODAL SOSIAL BARU
KOMUNIKASI LINTAS -BUDAYA
-SUKU -AGAMA
KOMUNITAS B Modal sosial
KOMUNITAS A Modal sosial
RESOLUSI KONFLIK
101
berusaha untuk mengandalkan modal sosial untuk bisa
Survive.
Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat strong community, masyarakat sipil
yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa nation-state identity. Melihat pada keterangan-keterangan yang didapat, modal sosial yang terjadi antarkomunitas telah
terbangun sejak lama. Modal sosial yang terbentuk adalah turun-temurun bukan warisan dari para senior kelompok etnis mahasiswa. Dalam kaitannya dengan
pengelolaan konflik di lingkungan mahasiswa, modal sosial itulah yang digunakan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Nilai-nilai yang terkandung dalam modal
sosial seperti kepercayaan, relasi dan norma seringkali digunakan para senior etnis untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan.
Penyelesaian konflik dengan cara kekeluargaan dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen dalam modal sosial yaitu:
1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk menyelesaikan
masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan tindakan negosiasi yang dilakukan tanpa campur tangan pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya
bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator sebab yang menjadi mediator adalah dua komunitas etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena
adanya rasa ―bagian dari‖ suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan adalah rasa bahwa kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia
Timur. Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang terjadi bahwa mereka merasa adalah satu ras berkulit hitam dan berambut
tidak lurus. Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang merupakan syarat berdirinya masyarakat modern.
2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah pihak yang
bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi yang cepat. Dan mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku dalam jangka waktu yang
sangat panjang beberapa tahun kedepan ketika sudah kembali ke kampung halaman masing-masing ataupun menetap di Salatiga dan sekitarnya.
3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang di bagi
adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan adanya rasa saling
102
terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor yang sangat vital dalam proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua komunitas etnis tersebut.
Oleh karena itu, dalam upaya mengelola konflik di lingkungan UKSW maka sangat diharuskan untuk tetap menghidupkan dan memelihara modal sosial dan faktor
pergaulan, karena secara langsung ataupun tidak langsung faktor pergaulan dan modal sosial dapat digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian konflik.
6.1.3. Faktor Kondusifitas Proses Belajar Mengajar