71
acutatum CA4 karena penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan
EDS dari cendawan patogen mampu menginduksi ketahanan tanaman. Inokulasi
dilakukan dengan cara perendaman akar selama 24 jam. Bibit cabai yang sudah diinokulasi dengan suspensi kondia cendawan endofit ditanam kembali pada
polibag dan dipelihara selama 7 hari.
Uji Induksi Ketahanan
Pada penelitian ini menggunakan elisitor dari komponen struktural cendawan patogen C. acutatum CA4, cendawan endofit Acremonium sp. RJ3, F.
oxysporum CB5 dan F. solani. Aplikasi elisitor dilakukan pada bibit cabai kultivar
Tit Super 21 HSS dengan cara merendam akar dalam tiap-tiap suspensi elisitor dengan konsentrasi 5 vv selama 24 jam. Perendaman akar dilakukan pada
siang hari dengan harapan dalam tempo tersebut sudah cukup efektif menyerap konidia atau senyawa dari elisitor. Sebagai kontrol, akar semai cabai direndam
menggunakan air steril. Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Tanaman cabai dipelihara sampai tanaman berbuah.
Hasil buah yang didapat dari setiap tanaman yang telah diinduksi dipanen, kemudian digunakan untuk pengamatan kejadian penyakit.
Inokulasi patogen dilakukan ke buah cabai masak fisologis hijau yaitu buah yang telah mencapai ukuran maksimum dan masih berwarna hijau. Kontrol
adalah bibit cabai yang diinokulasi dengan akuades steril tetapi buah dari tanaman cabai tersebut tidak diinokulasi cendawan patogen.
a. Penyiapan Inokulum. Suspensi konidia C. acutatum CA4 dibuat
dengan menambahkan air steril 3 ml pada media kultur cendawan yang berumur 5 hari, dan menggosok permukaan koloni dengan kuas gambar no. 10. Suspensi
konidia sebanyak 0,2 ml dituang pada masing masing cawan yang berisi PDA dan diinkubasi selama 5-7 hari. Panen konidia dilakukan dengan menambahkan air
steril 15 ml, dan menggosok permukaan koloni dengan kuas gambar no. 10 untuk memisahkan konidia dari media. Suspensi konidia yang diperoleh tersebut
disaring dengan kain kasa steril. Filtrat yang berisi konidia digunakan sebagai
72
inokulum. Kerapatan konidia 5x10
5
dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop.
b. Inokulasi.
Buah cabai 4 cm dicuci bersih dengan air mengalir dan didesinfestasi dengan alkohol 70. Kemudian dikeringkan dengan menggunakan
kertas tissue kemudian diletakkan di bak plastik yang telah dialasi dengan kawat. Buah cabai diinokulasi dengan cara menginjeksikan 1 µl suspensi konidia 5 x 10
5
konidiaml pada kulit buah cabai, sedang pada kontrol hanya dengan air steril. Inokulasi dilakukan pada sekitar 1,5-2 cm di bawah pangkal buah dengan
menggunakan hypodermic needle. Inkubasi dilakukan selama 5 hari pada 25
o
C dalam kondisi gelap. Agar kelembaban cukup tinggi, maka digunakan kertas
tissue basah yang ditempelkan pada permukaan dalam bak plastik. Masing- masing bak plastik diisi 20 buah cabai untuk setiap perlakuan cendawan.
Pengamatan dilakukan pada hari ke-10 setelah inokulasi HSI. Perkembangan bercak antraknosa dianggap positif apabila diameter bercak
nekrotik 4 mm. Persentase kejadian penyakit dihitung menurut persamaan AVRDC 2002.
Σ buah dengan gejala antraknosa Kejadian Penyakit
= Σ buah yang diamati
x 100
HASIL
Daya Hambat Elisitor Cendawan Endofit
Pada pengujian
in vitro menunjukkan bahwa perkecambahan konidia C.
acutatum CA4 tidak mengalami penghambatan secara nyata setelah diperlakukan
secara langsung dengan elisitor cendawan endofit F. oxysporum CB5, F. solani CJ1 dan Acremonium sp. RJ3, baik berupa elisitor filtrat kasar EFK, elisitor
dinding sel EDS maupun elisitor sitoplasma ES. Persentase perkecambahan konidia C. acutatum CA4 tidak berbeda nyata dengan kontrol yang hanya
menggunakan air steril Tabel 7.
73
Tabel 7
Pengaruh penggunaan elisitor dari cendawan endofit terhadap perkecambahan konidia C. acutatum CA4
Perlakuan Elisitor
Perkecambahan Konidia
F. oxysporum CB5
EFK 62,89 F. oxysporum
CB5 EDS 59,48
F. oxysporum CB5
ES 65,68 F. solani
CJ1 EFK 59,81
F. solani CJ1
EDS 64,10 F. solani
CJ1 ES 56,45
Acremonium sp. RJ3
EFK 60,49 Acremonium
sp. RJ3 EDS 61,46
Acremonium sp. RJ3
ES 61,28 Kontrol air steril
- 62,00
Keterangan : EFK
= elisitor filtrat kasar, EDS= elisitor dinding sel, ES= elisitor sitoplasma
Daya Hambat Filtrat Bibit Cabai
Hasil uji penghambatan filtrat bibit cabai kultivar Tit Super yang telah diinduksi dengan elisitor EFK, EDS dan ES cendawan endofit F. oxysporum
CB5, F. solani CJ1 dan Acremonium sp. RJ3 menunjukkan bahwa perkecambahan konidia C. acutatum CA4 mengalami penghambatan secara nyata Tabel 8.
Penghambatan perkecambahan terbesar ditunjukkan dengan perlakuan EDS Acremoium
sp. RJ3 sebesar 54,62, kemudian EFK F. solani CJ1 51,51 dan EDS F. oxysporum CB5 42,42 Tabel 9.
74
Tabel 8 Pengaruh penggunaan filtrat bibit cabai kultivar Tit Super yang telah diinokulasi dengan elisitor dari cendawan endofit terhadap
perkecambahan konidia C. acutatum CA4 Perlakuan Elisitor
Perkecambahan Konidia
F. oxysporum CB5
EFK 49,83
de
F. oxysporum CB5
EDS 43.61
ef
F. oxysporum CB5
ES 62.89
bc
F. solani CJ1
EFK 36.56
f
F. solani CJ1
EDS 54.56
cd
F. solani CJ1
ES 67.19
ab
Acremonium sp. RJ3
EFK 47.17
de
Acremonium sp. RJ3
EDS 34.53
f
Acremonium sp. RJ3
ES 52.46
de
Kontrol air steril -
75,95ª
Keterangan : EFK
= elisitor filtrat kasar, EDS= elisitor dinding sel, ES= elisitor sitoplasma Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji jarak berganda Duncan α= 0,05
Tabel 9 Persentase penghambatan perkecambahan konidia C. acutatum CA4 Penghambatan perkecambahan konidia C. acutatum CA4
Ulangan Perlakuan
1 2 3 4 5 Rata-rata
EFK FoCB5 21,47 30,30
38,57 35,00
47,12 34.49
EDS FoCB5 44,48 36,76
51,93 34,47
44,44 42.42
ES FoCB5 3,92 12,73
24,61 18,11
27,33 17.34
EFK FsCJ1 44,16 42,70
67,24 42,35
61,11 51.51
EDS FsCJ1 27,82 30,43
25,54 31,37
27,63 28.56
ES FsCJ1 37,18 2,10
1,18 2,86
15,76 11.82
EFK AcrRJ3 35,57 34,40
47,88 28,11
42,86 37.76
EDS AcrRJ3 40,17 60,00
62,86 45,81
64,29 54.62
ES AcrRJ3 35,72 24,76
53,40 21,25
18,48 30.72
Keterangan :
Fo = F. oxysporum, Fs= F. solani, Acr= Acremonium sp.
EFK = elisitor filtrat kasar, EDS= elisitor dinding sel, ES= elisitor sitoplasma
Aktivitas Peroksidase pada Bibit Cabai
Semua bibit cabai kultivar Tit Super yang diinduksi dengan elisitor cendawan patogen dan cendawan endofit maupun yang tidak diperlakukan
kontrol membentuk enzim peroksidase. Namun demikian, hasil analisis aktivitas
75
enzim menunjukkan bahwa bibit cabai yang telah diinokulasi awal dengan elisitor C. acutatum
CA4 dan cendawan endofit menunjukkan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan kontrol Gambar 7. Aktivitas peroksidase yang tinggi
ditunjukkan dengan perlakuan EDS C. acutatum CA4, diikuti perlakuan dengan EDS Acremonium sp. RJ3, EDS F. solani CJ1 dan EDS F. oxysporum CB5.
Perlakuan dengan elisitor dinding sel EDS dari semua cendawan endofit uji, lebih mampu meningkatkan aktivitas peroksidase dibandingkan perlakuan dengan
elisitor filtrat kasar EFK dan elisitor sitoplasma ES.
Gambar 7 Aktivitas peroksidase pada bibit cabai kultivar Tit Super yang mendapat perlakuan elisitor cendawan patogen C. acutatum CA4
dan cendawan endofit. CA4 = C. acutatum CA4, Fo= F.oxysporum, Fs= F. solani,
EDS = elisitor dinding sel, ES = elisitor sitoplasma, EFK = elisitor filtrat kasar
0.02 0.04
0.06 0.08
0.1 0.12
0.14 0.16
0.18 0.2
ED S
C A
4 EF
K F
o C
B 5
ED S
F o
C B
5 ES
F o
C B
5 E
F K
F sC
J1 E
D SFs
C J1
E SFs
C J1
EF K
A c
rR J3
ED S
A c
rR J3
ES A
c rR
J3
K o
n tr
o l ai
r st
er il
Perlakuan
A k
ti vi
ta s
P e
ro k
s id
ase U
m g
p ro
tei n
76
Induksi Ketahanan
Hasil pengujian induksi ketahanan menunjukkan bahwa semua perlakuan dengan elisitor cendawan endofit mampu menghambat kejadian penyakit
antraknosa pada cabai kultivar Tit Super. Rata-rata kejadian penyakit antraknosa lebih rendah setelah perlakuan dengan komponen struktural dari cendawan
patogen C. acutatum CA4 maupun cendawan endofit F.oxysporum CB5, F. solani CJ1 dan Acremonium sp. RJ3. Penekanan penyakit relatif dengan elisitor
cendawan endofit terbesar ditunjukkan dengan perlakuan dengan EDS F. oxysporum
CB5 sebesar 35 . Penekanan penyakit dengan EDS F. oxysporum CB5 ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan EDS cendawan patogen C.
acutatum CA4 36,67 .
Metode inokulasi elisitor cendawan patogen dan cendawan endofit adalah dengan cara perendaman akar semai cabai. Oleh karena itu, adanya ekspresi
ketahanan pada buah cabai cultivar Tit Super ini juga menunjukkan bahwa elisitor tersebut dapat masuk atau menginduksi ketahanan penyakit antraknosa melalui
jaringan akar bibit cabai kultivar Tit Super. Tabel 10 Kejadian penyakit dan penekanan penyakit antraknosa relatif pada
cabai kultivar Tit Super setelah diinduksi elisitor cendawan endofit Perlakuan
Elisitor Kejadian
Penyakit Penekanan
Penyakit Relatif
C. acutatum CA4 EDS
63,33 36,67
F. oxysporum CB5
EFK 76,00 24
F. oxysporum CB5
EDS 65,00 35
F. oxysporum CB5
ES 70,00 30
F. solani CJ1
EFK 78,33 21,67
F. solani CJ1
EDS 73,33 26,67
F. solani CJ1
ES 80,00 20
Acremonium sp. RJ3
EFK 80,00 20
Acremonium sp. RJ3
EDS 66,67 33,33
Acremonium sp. RJ3
ES 75 25
Air steril 95,00
Keterangan : EFK
= elisitor filtrat kasar, EDS= elisitor dinding sel, ES= elisitor sitoplasma
77
PEMBAHASAN
Elisitor merupakan molekul yang menginduksi ketahanan tanaman Huang 2001. Elisitor dari komponen struktural cendawan endofit F. oxysporum CB5, F.
solani CJ1 dan Acremonium sp. RJ3, baik berupa elisitor filtrat kasar EFK,
elisitor dinding sel EDS dan elisitor sitoplasma ES tidak menghambat perkecambahan konidia cendawan patogen C. acutatum CA4 secara langsung.
Hal ini menunjukkan bahwa elisitor dari komponen struktural cendawan endofit yang diuji tersebut tidak mengandung senyawa anticendawan atau toksin. Elisitor
ketahanan terinduksi tidak mempunyai aktivitas anticendawan secara langsung terhadap patogen sehingga aplikasi elisitor ini tidak menghambat pertumbuhan
agens pengendali hayati lainnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam ketahanan terinduksi tidak ada pengaruh toksik dari agen penginduksi atau elisitor Steiner
Schonbeck 1995, diacu dalam Slusarenko et al. 2000. Hal inilah yang
membedakan dengan mekanisme ketahanan secara antibiosis. Pada penelitian ini diduga elisitor cendawan endofit yang diuji berinteraksi
dengan reseptor spesifik yang terdapat pada membran plasma bibit cabai kultivar Tit Super cabai sehingga mampu mengaktifkan gen-gen inang untuk membentuk
senyawa anticendawan yang berperan dalam mekanisme ketahanan. Filtrat yang diambil dari batang bibit cabai 7 HSI yang telah diinduksi diduga mempunyai
aktivitas anticendawan karena filtrat tersebut mampu menghambat perkecambahan konidia cendawan patogen. Penghambatan perkecambahan
konidia tertinggi ditunjukkan dengan perlakuan EDS Acremonium sp. RJ3 sebesar 54,62, kemudian EFK F. solani CJ1 51,51 dan EDS F. oxysporum CB5
42,42 Tabel 9. Elisitor cendawan endofit diduga mampu mengaktifkan gen-gen
Pathogenesis Related -PR protein untuk membentuk protein atau senyawa
tertentu yang berfungsi menghambat pertumbuhan dan penyebaran patogen. Pathogenesis Related
-protein yang banyak dikaji dalam hubungannya dengan reaksi ketahanan tanaman, antara lain adalah peroksidase PR-9 Lovrekovich et
al. 1986; White Antoniv 1991; Huang 2001. Induksi elisitor cendawan endofit
78
pada akar cabai kultivar Tit Super menunjukkan aktivitas peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol. Peningkatan aktivitas peroksidase ini
diduga berhubungan dengan penekanan kejadian penyakit antraknosa oleh C. acutatum
CA4. Peningkatan aktivitas peroksidase pada tanaman padi setelah diinduksi dengan Pseudomonas fluorescens secara nyata dapat menurunkan
intensitas serangan Rhizoctonia solani Nandakumar et al. 2001. Perlakuan dengan elisitor dinding sel dari semua cendawan endofit uji,
lebih mampu meningkatkan aktivitas peroksidase dibandingkan perlakuan dengan elisitor filtrat kasar dan elisitor sitoplasma. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian Yang et. al. 1989, yang menunjukkan bahwa elisitor dinding sel dari cendawan Ophiostoma ulmi dan O. americana dapat menginduksi fitoaleksin
mansonon pada sel kalus Ulmus pumila dua atau tiga kali lebih banyak dibandingkan fitoaleksin yang diinduksi filtrat kultur cendawan dan sitoplasma.
Hal ini menunjukkan bahwa dinding sel mengandung lebih banyak senyawa aktif. Penekanan penyakit antraknosa relatif pada tanaman cabai kultivar Tit
Super dengan elisitor cendawan endofit diduga berhubungan dengan aktivitas peroksidase. Peroksidase berperan dalam ketahanan tanaman cabai terhadap
penyakit antraknosa diduga karena dengan meningkatnya aktivitas enzim ini akan terjadi peningkatan oksidasi senyawa-senyawa fenolik, dan di antara
pemecahannya ada yang bersifat meracun terhadap patogen. Peroksidase menghasilkan quinon melalui oksidasi fenol. Quinon terakumulasi dengan cepat
menjadi konsentrasi yang beracun melalui perantaraan peroksidase. Dengan adanya hidrogen peroksida H2O2, peroksidase mengkatalisis oksidasi senyawa
fenil propanoid menghasilkan lignin Whetten Sederoff 1995. Adanya lignin dapat menyebabkan dinding sel tanaman lebih kuat dan lebih tahan terhadap
degradasi enzim patogen. Aktivitas anticendawan dari senyawa prekusor lignin, yaitu koniferil alkohol mampu menghambat pertumbuhan patogen Sticher et al.
1997.
79
KESIMPULAN
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa: 1.
Elisitor filtrat kasar, elisitor dinding sel dan elisitor sitoplasma dari cendawan endofit Acremonium sp. RJ3, F. oxysporum CB5 dan F. solani CJ1 tidak
mengandung senyawa anticendawan atau toksin dan mampu meningkatkan aktivitas peroksidase.
2. Elisitor dari dinding sel cendawan endofit lebih mampu meningkatkan
aktivitas peroksidase dibandingkan elisitor filtrat kasar dan elisitor sitoplasma. 3.
Elisitor dinding sel cendawan endofit F. oxysporum CB5 lebih mampu menekan kejadian penyakit antraknosa sebesar 35 pada cabai kultivar Tit
Super.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, GN. 1997. Plant Patholoy. Tokyo. Acad. Pres Tokyo. 635 p. Ayers AR, Ebel B, Finelli F, Berger N, Albersheim P. 1976. Host-pathogen
interactions. IX. Quantitative of elicitor activity and characterization of the elicitor present in the extracellular medium of cultures of Phytophthora
megasperma var. sojae. Plant Physiol. 57: 151-159.
AVRDC. 2002. Protocol for assessing anthracnose Colletotrichum acutatum, C. capsici, C. gloeosporioides
reaction of peppers. Paper prepared for Planning and Coordination Meeting GTZ-Chili Project: Development of Locally-
Adapted, Multiple Disease Resistant, High Yielding Chili c.a Cultivars Targetted Countries in Asia. May 20-25, 2002. Bangkok.
Bailey JA, Mansfield JW. 1982. Phytoalexins. University London. London. 334p. Darvill AG, Albersheim P. 1984. Phytoalexins and their elicitors – A defense
against microbial infection in plant. Ann. Rev. of Plant Physiol. 35 : 243-275. Freeman S, Rodriguez RJ. 1992. A rapid, reliable bioassay for pathogenicity of
Colletotrichum magna on cucurbits and its use in screening for
nonpathogenic mutants. Plant Dis. 76: 901-905. Hammerschmidt R, Nuckles EM, Kuc J. 1982. Association of enhanced
peroxidase activity with induced systemic resistance of cucumber to Colletotrichum lagenarium
. Physiol. Plant Pathol. 20: 73-82.
80
Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-Microbe Interactions.
Kluwer Academic Publishers. Netherlands. 691p.
Kogel G, Beissmann B, Reisener HJ, Kogel K. 1988. A single glycoprotein from Puccinia graminis
f. sp. tritici cell walls elicits the hypersensitive lignification response in wheat. Physiol. Mol. Plant Pathol. 33: 173-185.
Kogel G, Beissmann B, Reisener HJ, Kogel K. 1991. Specific binding of a hypersensitive lignification elicitor from Puccinia graminis f. sp. tritici to
the plasma membrane from wheat Triticium aestivum L.. Planta 183: 164- 169.
Lovrekovich L, Lovrekovich H, Stakhman MA. 1986. The importance of peroxidase in the wild fire disease. Phytophatology 58: 193-198.
Nandakumar R, Babu S, Viswanathan R, Raguchander T, Samiyappan R. 2001. Induction of systemic resistance in rice against sheath blight disease by
Pseudomonas fluorescens. Soil Biol. Biochem. 33: 603-612.
Narisawa K, Ohki KT, Hashiba T. 2000. Supression of clubroot and Veticillium yellows
in Chinese cabbage in the field by the root endophytic fungus, Heteroconium chaetospira
. Plant Pathol. 49: 141-146. Redlin SC, Carris LM. 1996. Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants :
Systematics, Ecology and Evolution. Aps. Press The American
Phytopathological Society St. Paul. Minnesota. 223 p. Slusarenko AJ, Fraser RSS, van Loon LC. 2000. Mechanisms of Resistance to
Plant Disease. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. 620p.
Silva HAS, Romeiro RSR, Macagnan D, Viera BAH, Pereira MCB, Mounteer A. 2004. Rhizobacterial induction of systemic resistance in tomato plants non-
specific protection and increase in enzyme activities. Biol Control 29 288- 295.
Sinclair JB, Cerkauskas RF. 1996. Latent infection vs. endophytic colonization by fungi. Di dalam : Redlin SC, Carris LM. Endophytic Fungi in Grasses and
Woody Plants : Systematics, Ecology and Evolution. Aps. Press The
American Phytopathological Society St. Paul. Minnesota. 23-29. Sticher L, Mauch-Mani B, Metraux JP. 1997. Systemic acquired resistance. Annu.
Rev. Phytopathol. 35: 235-270.
Sulistyowati L, Keane PJ, Anderson JW. 1990. Accumulation of phytoaleksin, 6,7-dimethoxycoumarin, in root and stems of citrus seedlings following
inoculation with Phytophthora citrophthora and accumulation of phytoalexin in citrus rootstocks. Phytopathology 82: 771-777.
Whetten R, Sederoff R. 1995. Lignin Biosynthesis. Plant Cell 7: 1001-1013. White RF, Antoniv JF. 1991. Virus induced resistance responses in plants. Plant
Science . 9: 443-473.
81
Williams AJ, Gwinn KD. 1999. Comparison of enzyme activities in germinating seed of endophyte-infected and endophyte-free tall fescue. Phytopathology
89: 884. Yang D, Jeng RS, Hubbes M. 1989. Mansonone accumulation in elm callus
induced by elicitors of Ophiostoma ulmi, and general properties of elicitors. Can J. Bot.
67: 3490-3497.
ANALISIS BIOKIMIA KETAHANAN TERINDUKSI TANAMAN CABAI
Capsicum annuum L. TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DENGAN CENDAWAN ENDOFIT
ABSTRAK
YUNIK ISTIKORINI. Analisis Biokimia Ketahanan Terinduksi Tanaman Cabai Capsicum annuum L. terhadap Penyakit Antraknosa dengan Cendawan Endofit.
Dibimbing oleh SIENTJE MANDANG, WIDODO, SRI HENDRASTUTI, dan SRIANI SUJIPRIHATI.
Salah satu mekanisme perlindungan tanaman dengan cendawan endofit adalah melalui ketahanan terinduksi induced resistance. Ketahanan terinduksi
pada tanaman dapat diinduksi dengan elisitor biotik dan abiotik. Penelitian ini bertujuan 1 mengevaluasi potensi elisitor biotik konidia dan elisitor dinding sel
F. oxysporum CB5, elisitor dinding sel cendawan patogen Colletotrichum
acutatum CA4 dan abiotik asam salisilat dalam menginduksi ketahanan tanaman
cabai kultivar Tit Super terhadap penyakit antraknosa dan 2 mengetahui peranan senyawa fenol dan asam salisilat pada ketahanan tanaman cabai kultivar Tit Super
terhadap penyakit antraknosa. Analisis ekstrak buah cabai kultivar Tit Super yang diperlakukan dengan elisitor dinding sel dan konidia F. oxysporum CB5, elisitor
dinding sel patogen dan senyawa kimia SA asam salisilat menunjukkan bahwa sintesis fenol dan asam salisilat meningkat dibandingkan dengan kontrol. Uji in
vitro
menunjukkan bahwa elisitor tersebut mampu menekan pertumbuhan koloni C. acutatum
CA4 secara tidak langsung dan secara in vivo mampu menghambat kejadian penyakit antraknosa 23,33 - 40. Cendawan
F. oxysporum CB5 berupa
konidia lebih efektif dibandingkan berupa elisitor dinding selnya. Sintesis fenol dan asam salisilat pada buah cabai berperan dalam mekanisme pengendalian
penyakit antraknosa pada cabai kultivar Tit Super yang disebabkan oleh C. acutatum
CA4.
Kata kunci : Cendawan endofit, ketahanan terinduksi, elisitor, fenol, asam
salisilat, cabai Capsicum annuum L.
83
ABSTRACT
YUNIK ISTIKORINI. Biochemical Analysis of Induced Resistance in Chili Capsicum annuum L. Against Anthracnose Disease by Endophytic Fungi. Under
direction of SIENTJE MANDANG, WIDODO, SRI HENDRASTUTI, and SRIANI SUJIPRIHATI.
Endophytic fungi was able to play a role as agent of protection through induced resistance mechanism. The objectives of this study were 1 to evaluate
biotic conidia and cell walls elicitor of F. oxysporum CB5 and cell walls elicitor of C. acutatum CA4 and abiotic elicitors that may caused induced resistance in
chili against anthracnose disease, 2 to prove a role of phenol and salycilic acid in inducing resistance in chili against anthracnose disease. Analysis of extracts of
chili fruits treated with cell wall and conidia of F. oxysporum CB5, cell wall pathogens and chemical SA salycilic acid showed that phenolic and salicylic
acid synthesis were increased in the fruits of treated plant compared to untreated controls. In vitro assay showed that biotic and abiotic elicitors treatment was able
to suppress growth of C. acutatum CA4 colony indirectly. The elicitors also was able to inhibit the disease incidence 23,33 - 40. F. oxysporum conidia
treatment was more effective in inhibiting disease incidence compared to the cell wall elicitors of F. oxysporum CB5. Induction of defense response, particularly
phenolic and salicylic acid synthesis in chili fruits may be important mechanism in the biological control by this fungus of C. acutatum CA4 – incited chili
antrachnose disease. Key word:
Endophytic fungi, induced resistance, elicitor, phenol, salycilic acid.
84
PENDAHULUAN
Mekanisme cendawan
Colletotrichum sp. dalam menyebabkan penyakit
antraknosa dimulai dengan menempelnya spora cendawan pada jaringan permukaan inang, diikuti dengan perkecambahan spora, pembentukan apresorium,
dan penetrasi pada sel subkutilar. Jika interaksi kompatibel, cendawan segera membentuk vesikel infeksi yang menginfeksi membran plasma inang. Sebaliknya
jika interaksi bersifat inkompatibel, pada jaringan sekitar infeksi segera membentuk papila liginifikasi yang mampu menghambat penetrasi cendawan
patogen ke dalam sel. Komponen utama papila adalah fenol dan kalose dan biosintesis senyawa ini melibatkan enzim yang diinduksi selama proses
ketahanan Aist et al. 1979; Bailey et al. 1992; Dickman 2000; Holliday 1980. Kontak antara patogen dan mikroorganisme nonpatogen dapat memicu
mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangan patogen Huang 2001; Perez et al.
1996. Salah satu respon ketahanan dikenal sebagai systemic acquired resistance
SAR. Mikroorganisme nonpatogen, metabolit mikrobia dan senyawa- senyawa diketahui dapat menginduksi aktivasi SAR Rayner 1991; Tuzun Kuc
1990; van Loon 1997; White Antoniv 1991. Pada umumnya SAR dipicu oleh infeksi lokal dan dapat memberikan perlindungan pada tanaman terhadap
bermacam-macam patogen dalam jangka waktu panjang. Respon SAR berkorelasi dengan aktivasi satu set gen-gen inang yang berperan dalam mekanisme
ketahanan yaitu gen-gen pathogenesis related-PR protein. Gen-gen ini dalam tanaman mulai aktif bekerja hanya bila tanaman sudah mulai terinfeksi patogen.
Pembentukan protein dan senyawa tertentu yang diinduksi oleh gen-gen PR- protein ini berfungsi untuk menghambat penyebaran patogen dari sel atau jaringan
terinfeksi ke sel atau jaringan lain Innes 1996; Linhorts 1991; Ryals et al. 1994; White Antoniv 1991.
Respon SAR memerlukan keterlibatan molekul signal asam salisilat SA Chasan 1995; van Loon 1997. Asam salisilat meningkat terutama pada tanaman
yang terinfeksi Sticher et al. 1997; Yalpani et al. 1991; Rasmussen et al. 1991. Pada daun-daun tembakau yang diperlakukan dengan SA, senyawa ini akan
85
menginduksi pengekspresian gen-gen PR-protein menjadi lebih aktif sehingga tanaman menjadi tahan terhadap infeksi TMV White 1979.
Kolonisasi akar dengan bakteri rizosfer tertentu membentuk ketahanan penyakit yang lain yaitu induced systemic resistance ISR. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ISR tidak tergantung pada molekul signal SA, tetapi tergantung pada jalur signal asam jasmonat JA kemudian diikuti oleh jalur
signal etilen Pieterse et al. 2000; van Loon et al. 1998. Gen
yang mengkode
phenylalanine ammonia-lyase PAL dapat
mengaktifkan jalur signal SA yang berperan dalam ketahanan terinduksi. PAL merupakan enzim kunci dalam biosintesis fenil propanoid, dan merupakan
prekursor pembentukan lignin, fenol dan SA Sticher et al. 1997; Yalpani et al. 1993. Enzim lain dalam jalur fenil propanoid adalah peroksidase yang juga
berperan dalam reaksi ketahanan Dalisay Kuc 1995; Yedidia et al. 2000. Peroksidase juga diketahui berperan dalam pembentukan fitoaleksin, reactive
oxygen spesies ROS, dan pembentukan pertahanan struktural Hiraga et al.
2001. Pemahaman tentang mekanisme ketahanan yang terlibat dalam pengendalian
biologi sangat penting, antara lain untuk mengetahui bagaimana patogen dipengaruhi. Respon ketahanan tanaman melibatkan ekspresi dari komponen
senyawa tanaman yang diaktifkan oleh elisitor. Berdasarkan hal ini, maka percobaan ini bertujuan untuk 1 mengevaluasi potensi elisitor biotik konidia
dan elisitor dinding sel EDS FoCB5, EDS cendawan patogen C. acutatum dan abiotik asam salisilat dalam menginduksi ketahanan tanaman cabai terhadap
penyakit antraknosa dan 2 mengetahui peranan senyawa fenol dan asam salisilat pada ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit antraknosa.
86
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Virologi Tumbuhan, Departemen Hama dan Penyakit Tanaman IPB, Rumah
Kaca Balai Penelitian Pasca Panen Cimanggu Bogor dan analisis biokimia di laboratorium Pascapanen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian Cimanggu Bogor dari bulan Desember 2006 sampai bulan Mei 2007.
Induksi Ketahanan
Pada penelitian ini menggunakan elisitor biotik EDS C. acutatum CA4 dan EDS F. oxysporum CB5 hasil seleksi berdasarkan kejadian penyakit antraknosa
pada penelitian sebelumnya. Potensi dari elisitor tersebut selanjutnya dibandingkan dengan elisitor abiotik yaitu asam salisilat Sigma dengan
konsentrasi 0,45 µM dan konidia F. oxysporum CB5 10
6
. Pada penelitian ini potensi induksibilitas F. oxysporum CB5 berupa konidia dibandingkan dengan
yang berupa elisitor dinding selnya. Aplikasi elisitor dilakukan pada bibit cabai kultivar Tit Super 21 hari
setelah sebar HSS dengan cara merendam akar dalam tiap-tiap suspensi elisitor dengan konsentrasi 5 vv selama 24 jam. Sebagai kontrol, akar bibit cabai
direndam menggunakan air steril. Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan.
Tanaman cabai dipelihara sampai tanaman berbuah. Hasil buah yang didapat dari setiap tanaman yang telah diinduksi digunakan untuk pengamatan
kejadian penyakit dan analisis biokimia total fenol dan SA setelah diinokulasi patogen. Inokulasi patogen dilakukan ke buah cabai masak fisologis hijau yaitu
buah yang telah mencapai ukuran maksimum dan masih berwarna hijau. Kontrol adalah bibit cabai yang diinokulasi dengan air steril dan buah dari tanaman cabai
tersebut tidak diinokulasi dengan cendawan patogen.
87
a. Penyiapan Inokulum. Suspensi konidia C. acutatum CA4 dibuat