Sifat fisik-kimia dan nilai energi metabolis residu proses ekstraksi mannan dari bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak unggas
TINJAUAN PUSTAKA
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (Palm Kernel Cake) merupakan hasil ikutan pengolahan
minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan
ternak. Kandungan protein kasarnya bervariasi antara 15-17%. Kandungan protein
dipengaruhi oleh kualitas buah sawit dan sistem pengolahan. Bungkil inti sawit
cukup
potensial
untuk
pakan
ternak
dengan
melihat
kandungannya
15,43% protein kasar, 15,47% serat kasar, 7,71% lemak, 0,83% Ca, 0,86% P,
dan 3,79% Abu (Amri, 2006).
BIS memiliki nilai energi metabolis (ME): 2087–2654 kcal/kg.
Ketersediaan asam amino essensil (essential amino acid digestibility) BIS tidak
terlalu rendah, yaitu berkisar antara 66,7 – 92,7% (Onwudike, 1986).
Namun, penggunaannya untuk pakan unggas terbatas karena tingginya
kadar serat kasar, termasuk hemiselulosa (mannan dan galaktomanan),
serta rendahnya kadar dan kecernaan asam amino. Batas penggunaan bungkil inti
sawit dalam campuran pakan unggas bervariasi, yaitu antara 5-10% pada ransum
ayam broiler dan bisa digunakan hingga 20-25% dalam ransum ayam petelur
(Chong et al., 2008 ; Sinurat, 2012) .
Dinding sel BIS merupakan polisakarida berupa a-gel like matrix yang
keras oleh adanya lignin dan silika sehingga sukar dicerna oleh enzim.
Komponen terbesar lainnya adalah sellulosa yang resisten terhadap degradasi
biologis dan hidrolisis asam. Hidrolisis sellulosa dapat ditingkatkan dengan
perlakuan
penggilingan
untuk
memperluas
bidang
permukaan
material,
pengukusan atau perlakuan zat kimia (Sukria et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan nutrisi BIS dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit
Nutrien
Peneliti
B
10,40
16,80
35,00
24,00
9,50
4,30
70,07*
4688*
A
16,30
28,19
36,68
6,49
4,14
5178
Kadar Air (%)
Protein Kasar (% BK)
BETN (% BK)
Serat Kasar (% BK)
Lemak (% BK)
Abu (% BK)
NDF (%)
EB (kkal/kg)
C
5,50 - 12,00
14,50 - 19,60
46,70 - 58,80
13,00 - 20,00
5,00 - 8.00
3,00 - 12,00
66,80 - 78,90
-
Keterangan :BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen;
A = Elisabeth dan Ginting (2003)
B = Simanjuntak (1998)
C = Alimon (2005)
* = Chong (1999)
Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit
Gula Netral
Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa
56,4 ± 7,0
Selulosa
11,6 ± 0,7
Xylosa
3,7 ± 0,1
Galaktosa
1,4 ± 0,2
Total
73,1 ± 7,2
Sumber : Daud et al., (1993)
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) diantara dua
pelarut
yang
saling
tidak
bercampur
(Nur
dan
Adijuwana,
1989).
Menurut Winarno et al. (1973), ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan
campuran
beberapa
zat
menjadi
komponen-komponen
yang
terpisah.
Universitas Sumatera Utara
Ekstraksi
dapat
dilakukan
dengan
dua
cara,
yaitu:
aqueous
phase
(menggunakan air sebagai pelarut) dan organic phase menggunakan pelarut
organik, seperti : kloroform, eter dan sebagainya).
Syarat pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi antara lain:
murah, tersedia dalam jumlah yang besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar,
tidak eksplosif bila tercampur dengan udara, tidak korosif, tidak menyebabkan
terbentuknya emulsi dan stabil secara kimia dan termis (Bernasconi et al., 1995).
Asam Asetat (CH3COOH)
Asam asetat adalah senyawa kimia asam organik yang dapat di produksi
dalam berbagai konsentrasi. Dalam bentuk murni asam asetat di kenal sebagai
asam asetat glasial karena berubah menjadi kristal jika dalam suhu dingin.
Rumus molekulnya CH3COOH adalah suatu senyawa berbentuk cairan,
tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut
di dalam air, alkohol, gliserol dan eter. Pada tekanan asmosferik, titik didihnya
118,10 C (Hardoyono, 2007).
Asam asetat dapat digunakan sebagai pelarut zat organik yang baik dan
untuk membuat selulosa asetat yang dibutuhkan untuk pembuatan film, rayon,
selofan. Asam asetat dapat juga digunakan sebagai pengawet, bumbu-bumbu
masak atau penambah rasa masakan, untuk membuat aneka ester, zat warna dan
propanan (DepkesRI, 2005).
Penggunaan Asam Asetat (CH3COOH) Meningkatkan Kecernaan BIS
Asam asetat adalah asam organik yang aman digunakan sebagai
preservatif makanan. Selain itu berdasarkan penelitian, asam organik adalah
Universitas Sumatera Utara
subtansi antimikrobial yang digunakan dalam pangan. Penambahan preservatif
diharapkan dapat memperpanjang masa simpan dan mencegah kerusakan pada
bahan pangan (Ray,1992).
Untuk meningkatkan kegunaannya BIS telah diekstrak dengan asam atau
basa Ramli et al. (2008) melaporkan teknologi ekstraksi yang digunakan dalam
penelitiannya telah mampu mengubah polisakarida non pati menjadi molekul
yang lebih sederhana (mono dan disakarida), sehingga nilai kelarutan BIS hasil
ekstraksi (BIS PRO) meningkat secara signifikan dibandingkan dengan BIS tanpa
ekstraksi (70,22 vs 23,15%). .
Perendaman partikel dalam asam asetat menyebabkan sebagian zat
ekstraktif terlarut serta mendegradasi polisakarida amorf (hemiselulosa) dan pati.
Hal ini menyebabkan sifat higroskopis partikel menurun karena hemiselulosa dan
pati merupakan polihidroksi. Penurunan sifat higroskopis menyebabkan kapasitas
pengikatan air rendah sehingga kadar air menurun (Endriadila, 2014).
Enzim
Enzim merupakan molekul organik (protein) yang dihasilkan oleh
makhluk hidup dan berfungsi sebagai katalis atau mempercepat reaksi kimia
tertentu. Enzim yang ditambahkan ke dalam pakan atau bahan pakan akan
meningkatkan kecernaan gizi melalui pemecahan struktur molekul yang kompleks
menjadi molekul yang lebih sederhana, misalnya dari polisakarida menjadi
di- atau monosakarida atau dari protein menjadi asam amino (Sinurat et al., 2008).
Enzim juga merupakan zat yang dapat bereaksi di dalam sel hidup,
enzim mengkatalisis semua aspek metabolisme sel seperti dalam proses
pencernaan makanan yang meliputi hidrolisis senyawa protein, karbohidrat dan
Universitas Sumatera Utara
lemak menjadi molekul yang lebih kecil; penyimpanan dan perpindahan energi
kimia serta pembentukkan struktur penyusun sel (Purawadaria et al., 1994).
Kerja enzim dapat dihambat oleh beberapa faktor, antara lain pengaruh
suhu tinggi, konsentrasi substrat, pengaruh pH, inhibitor, regenerasi enzim,
dan pengaruh suhu pembekuan (Piliang et al., 2006).
Aplikasi Enzim dalam Meningkatkan Nilai Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Penambahan enzim pada bungkil inti sawit dapat meningkatkan nilai
nutrisinya. Iyayi dan Davies (2005) menyatakan bahwa penggunaan enzim pada
bungkil inti sawit sebagai penyusun ransum ayam pedaging mampu memperbaiki
beberapa komponen nutrien (protein, lemak, dan serat), memberikan keuntungan
secara ekonomis dengan memecah ikatan polisakarida non pati dengan
meningkatkan kecernaan bungkil inti sawit.
Penggunaan
enzim
komersial
Gamanase
dan
mannanase
(Sundu et al., 2004) dan PKCase-Alltech Inc., KY (Chong, 1999) telah dilakukan
untuk meningkatkan nilai nutrisi BIS. Penambahan enzim pada BIS secara nyata
meningkatkan efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas
nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004).
Penambahan enzim mannanase sebanyak 2,0 ml /g BIS. Nilai aktivitas
enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses
hidrolisis substrat yang digunakan (Handoko, 2010).
Sifat Fisik Bahan Baku Pakan
Sifat fisik merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh suatu bahan (material)
sehingga dapat menetapkan mutu pakan dan keefisienan proses produksi.
Universitas Sumatera Utara
Sifat fisik untuk pangan telah banyak diketahui, tetapi data untuk sifat fisik bahan
pakan masih sangat terbatas. Sifat fisik pakan penting untuk diketahui dalam
beberapa permasalahan dan perancangan alat-alat yang dapat membantu proses
produksi
pakan
serta
membantu
industri
pengolahan
hasil
pertanian
(Handayani, 2010).
Bahan pakan yang diberikan kepada ternak sangat berpengaruh terhadap
daya produksi ternak tersebut.Uji ini untuk mencegah penggunaan bahan pakan
yang berbahaya bagi ternak. Bahan pakan mempunyai sifat fisik yaitu sudut
tumpukan, berat jenis, daya ambang, luas permukaaan spesifik, kerapatan
tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan (Khalil, 1997).
Menurut Jaelani (2007), sifat fisik pakan adalah salah satu faktor yang
penting
untuk
diketahui.
Keefisienan
suatu
penanganan,
pengolahan,
dan penyimpanan, dalam industri pakan tidak hanya membutuhkan informasi
tentang komposisi kimia dan nilai nutrisi saja tetapi juga menyangkut sifat fisik,
sehingga kerugian akibat kesalahan penanganan bahan pakan dapat dihindari.
Kerapatan tumpukan (Bulk Density)
Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan
volume ruang yang ditempati dalam satuan kg/m3. Pengukuran kerapatan
tumpukan (bulk density) dilakukan untuk menentukan volume ruang pada suatu
bahan dengan berat jenis tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur dan
elevator (Khalil, 1999).
Ukuran partikel bahan mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan.
Semakin banyak jumlah partikel halus dalam ransum, maka akan meningkatkan
nilai kerapatan tumpukan (Johnson, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Kerapatan tumpukan memiliki pengaruh terhadap daya campur dan
ketelitian pengukuran. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya
ambang dan stabilitas pencampuran pakan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukan nilai
kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan menurut Khalil (1999) dan kriteria
dalam penilaian kerapatan tumpukan menurut Kolatac (1996).
Tabel 3. Nilai kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan
Bahan Pakan
Kerapatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung
691,3
Sorghum
684,0
Bungkil Inti Sawit
503,2
Bungkil Kedelai
320,0
Tepung Ikan
435,3
Sumber: Khalil (1999)
Tabel 4. Kriteria penilaian kerapatan tumpukan
Kerapatan Tumpukan
Kriteria
< 450 kg/m3
Waktu alir lebih lama dan butuh ketelitian
lebih
dalam
proses
penimbangan,
volumetris dan gravimetris.
> 500 kg/m3
Sulit dalam proses pencampuran serta
mudah terpisah.
> 1000 kg/m3
Waktu alir lebih cepat
Sumber: Kolatac (1996)
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)
Kerapatan pemadatan tumpukan adalah merupakan perbandingan antara
berat bahan pakan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui
proses pemadatan seperti penggoyangan. Besarnya nilai kerapatan pemadatan
tumpukan sangat tergantung pada intensitas proses pemadatan. Sedangkan volume
Universitas Sumatera Utara
yang dibaca merupakan volume terkecil yang diperoleh selama penggetaran.
Sebaiknya pemadatan dilakukan tidak lebih dari 10 menit (Mujnisa, 2008).
Menurut Khalil (1999), kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh
ukuran partikel dan kadar air suatu bahan. Selain kadar air dan ukuran partikel,
besarnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dipengaruhi ketidaktepatan
pengukuran (Sayekti,1999). Besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan
mementukan kapasitas pengisian tempat penyimpanan silo. Tabel 5 menunjukkan
nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan.
Tabel 5. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)
Bahan
Jagung
704,2
Sorghum
707,6
Bungkil Inti Sawit
700,7
Bungkil Kedelai
340,5
Tepung Ikan
562,0
Sumber: Khalil (1999)
Kerapatan pemadatan tumpukan yang tinggi berarti bahan memiliki
kemampuan memadat yang tinggi dibandingkan dengan bahan yang lain.
Semakin rendah kerapatan pemadatan tumpukan yang dihasilkan maka laju alir
semakin menurun (Rikmawati, 2005).
Berat Jenis (Spesific Gravity)
Berat
merupakan
jenis
juga
perbandingan
disebut
antara
berat
berat
spesifik
bahan
(specific
terhadap
gravity),
volumenya,
satuannya adalah kg/m3. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai
proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Berat jenis diukur dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan prinsip Hukum Archimedes, yaitu suatu benda di dalam fluida,
baik sebagian ataupun seluruhnya akan memperoleh gaya archimedes
sebesar
fluida
yang
dipindahkan
dan
arahnya
ke
atas
(Khalil,1999).
Tabel 6 menunjukkan nilai berat jenis beberapa bahan pakan.
Tabel 6. Nilai berat jenis beberapa bahan pakan
Bahan
Berat Jenis (kg/m3)
Jagung
1579,1
Sorghum
1221,4
Bungkil Inti Sawit
1574,3
Bungkil Kedelai
912,2
Tepung Ikan
1289,3
Sumber: Khalil (1999)
Berat jenis dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan. Menurunnya nilai
berat jenis disebabkan ruang antar partikel bahan sudah terisi oleh aquades dalam
pengukuran sehingga nilai berat jenisnya rendah. Apabila partikel semakin kasar
maka ukuran partikel semakin besar dan kerapatan semakin menurun sehingga air
lebih mudah mengisi ruang antara partikel (Gautama, 1998).
Analisa Proksimat
Analisa proksimat merupakan pengujian kimiawi untuk mengetahui
kandungan nutrien suatu bahan baku pakan atau pakan. Metode analisa proksimat
pertama kali dikembangkan oleh Henneberg dan Stohman pada tahun 1860
di sebuah laboratorium penelitian di Weende, Jerman (Hartadi et al., 1997).
(Mc.Donald et al., 1995) menjelaskan bahwa analisa proksimat dibagi menjadi
enam fraksi nutrient yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar
dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN).
Universitas Sumatera Utara
Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan
atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya
terkandung di dalamnya. Selain itu,manfaat dari analisis proksimat adalah dasar
untuk formulasi ransum dan bagian dari prosedur untuk uji kecernaan.
Besarnya nilai kandungan zat makanan yang diperoleh pada analisis proksimat,
bukan nilai yang sebenarnya, tetapi mendekati. Kelemahan dari analisis proksimat
menduga kedudukan vitamin, sebab kedudukan vitamin tidak jelas dalam analisis
proksimat, sehingga penentuan vitamin dalam pakan/ransum dapat dilakukan
dengan menggunakan prosedur analisis tersendiri (Tillman,1998).
Analisis Van Soest
Untuk mengetahui fraksi selulosa dan lignin perlu dilakukan analisa
lain yang lebih khusus yaitu metode analis Van Soest . Peter J. Van Soest
dari USDA Beltville National Research, sekitar tahun 1965 mengembangkan
prosedur pengujian yang memisahkan serat kasar menjadi dua bagian,
yakni Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF),
selanjutnya ADF diuraikan lagi menjadi Acid Detergent Lignin (ADL).
Sistem analisis Van Soest menggolongkan zat pakan menjadi isi sel dan
dinding sel. Neutral Detergent Fiber (NDF) mewakili kandungan dinding sel
yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein yang berikatan dengan
dinding sel (Pina et al., 2009).
Bagian
yang
tidak
terdapat
sebagai
residu
dikenal
sebagai
Neutral Detergent Soluble (NDS) yang mewakili isi sel dan mengandung lipid,
gula, asam organik, non protein nitrogen, pektin, protein terlarut, dan bahan
terlarut dalam air lainnya (Suparjo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan ADF merupakan indikator kecernaan hijauan, karena
kandungan lignin merupakan bagian dari fraksi yang dapat dicerna. Nilai NDF
selalu lebih besar dari ADF, karena ADF tidak mengandung hemiselulosa.
Serat detergen netral (neutral-detergen fiber, NDF), yang merupakan sisa setelah
ekstraksi dalam keadaan mendidih dengan larutan netral natrium lauril sulfat dan
asam etilendiamintetraasetat (EDTA), terutama atas lignin, selulosa, dan
hemiselulosa, dan dapat dianggap sebagai komponen dinding sel tumbuhan
(Hernawati, 2009)
Energi Metabolis
Energi metabolis merupakan standar perhitungan ketersediaan energi pada
ayam dan ternak unggas lainnya. Perhitungan energi metabolis mudah dilakukan
pada ayam karena muara saluran urin dan feses menjadi satu yaitu di kloaka,
sedangkan untuk memisahkan kedua saluran tersebut diperlukan operasi.
Oleh karena itu, dilakukan perhitungan energi metabolis dengan pengambilan urin
dan feses (ekskreta) secara bersamaan (Leeson dan Summers, 2001).
Menurut Wahju (2004), minimal ada 4 nilai energi, yaitu energi bruto
(Gross energy), energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi netto.
Energi yang dikonsumsi oleh ternak akan menjadi energi dapat dicerna dan
sisanya dibuang dalam kotoran (feses). Selanjutnya energi yang dapat dicerna
dirombak menjadi energi metabolis serta energi dalam urin. Energi metabolis
akan diubah oleh tubuh menjadi panas dari proses metabolisme zat-zat makanan
dan energi netto. Energi netto oleh tubuh digunakan untuk hidup pokok dan untuk
produksi.
Universitas Sumatera Utara
Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar,
keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya
akan
mempengaruhi
nilai
energi
metabolisme
suatu
bahan
pakan.
Hal ini didukung oleh pernyataan Mc. Donald et al. (1994) bahwa rendahnya daya
cerna terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang
dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.
Energi metabolis dinyatakan dalam energi metabolis semu/EMS
(Apparent metabolizable energy/AME) dan energi metabolis murni/EMM
(True metabolizable energy/TME). Nilai AME dan TME tersebut sangat
tergantung pada energi bruto yang dikonsumsi dan energi bruto yang
diekskresikan melalui ekskreta. Menurut Ensminger (1991) tidak semua energi
yang terkandung dalam ransum dapat dipergunakan oleh ternak, sebagian akan
terbuang melalui feses dan urin.
Energi tercerna (digestible energy/DE) merupakan selisih antara energi
bruto (gross energy) makanan dengan energi yang dikeluarkan tubuh melalui
feses, dimana sebenarnya bukan jumlah energi yang diserap melalui tubuh namun
energi tersebut hilang berupa gas metan, CO2 dan panas jadi masih merupakan
energi tercerna semu. Berbeda dengan energi metabolis semu pada energi
metabolis murni nilainya dipengaruhi oleh energi endogenus. Energi endogenus
merupakan energi bruto yang diekskresikan oleh ayam tanpa dipengaruhi
konsumsi ransum (Sibbald, 1980).
Universitas Sumatera Utara
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (Palm Kernel Cake) merupakan hasil ikutan pengolahan
minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan
ternak. Kandungan protein kasarnya bervariasi antara 15-17%. Kandungan protein
dipengaruhi oleh kualitas buah sawit dan sistem pengolahan. Bungkil inti sawit
cukup
potensial
untuk
pakan
ternak
dengan
melihat
kandungannya
15,43% protein kasar, 15,47% serat kasar, 7,71% lemak, 0,83% Ca, 0,86% P,
dan 3,79% Abu (Amri, 2006).
BIS memiliki nilai energi metabolis (ME): 2087–2654 kcal/kg.
Ketersediaan asam amino essensil (essential amino acid digestibility) BIS tidak
terlalu rendah, yaitu berkisar antara 66,7 – 92,7% (Onwudike, 1986).
Namun, penggunaannya untuk pakan unggas terbatas karena tingginya
kadar serat kasar, termasuk hemiselulosa (mannan dan galaktomanan),
serta rendahnya kadar dan kecernaan asam amino. Batas penggunaan bungkil inti
sawit dalam campuran pakan unggas bervariasi, yaitu antara 5-10% pada ransum
ayam broiler dan bisa digunakan hingga 20-25% dalam ransum ayam petelur
(Chong et al., 2008 ; Sinurat, 2012) .
Dinding sel BIS merupakan polisakarida berupa a-gel like matrix yang
keras oleh adanya lignin dan silika sehingga sukar dicerna oleh enzim.
Komponen terbesar lainnya adalah sellulosa yang resisten terhadap degradasi
biologis dan hidrolisis asam. Hidrolisis sellulosa dapat ditingkatkan dengan
perlakuan
penggilingan
untuk
memperluas
bidang
permukaan
material,
pengukusan atau perlakuan zat kimia (Sukria et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan nutrisi BIS dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit
Nutrien
Peneliti
B
10,40
16,80
35,00
24,00
9,50
4,30
70,07*
4688*
A
16,30
28,19
36,68
6,49
4,14
5178
Kadar Air (%)
Protein Kasar (% BK)
BETN (% BK)
Serat Kasar (% BK)
Lemak (% BK)
Abu (% BK)
NDF (%)
EB (kkal/kg)
C
5,50 - 12,00
14,50 - 19,60
46,70 - 58,80
13,00 - 20,00
5,00 - 8.00
3,00 - 12,00
66,80 - 78,90
-
Keterangan :BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen;
A = Elisabeth dan Ginting (2003)
B = Simanjuntak (1998)
C = Alimon (2005)
* = Chong (1999)
Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit
Gula Netral
Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa
56,4 ± 7,0
Selulosa
11,6 ± 0,7
Xylosa
3,7 ± 0,1
Galaktosa
1,4 ± 0,2
Total
73,1 ± 7,2
Sumber : Daud et al., (1993)
Ekstraksi
Ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) diantara dua
pelarut
yang
saling
tidak
bercampur
(Nur
dan
Adijuwana,
1989).
Menurut Winarno et al. (1973), ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan
campuran
beberapa
zat
menjadi
komponen-komponen
yang
terpisah.
Universitas Sumatera Utara
Ekstraksi
dapat
dilakukan
dengan
dua
cara,
yaitu:
aqueous
phase
(menggunakan air sebagai pelarut) dan organic phase menggunakan pelarut
organik, seperti : kloroform, eter dan sebagainya).
Syarat pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi antara lain:
murah, tersedia dalam jumlah yang besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar,
tidak eksplosif bila tercampur dengan udara, tidak korosif, tidak menyebabkan
terbentuknya emulsi dan stabil secara kimia dan termis (Bernasconi et al., 1995).
Asam Asetat (CH3COOH)
Asam asetat adalah senyawa kimia asam organik yang dapat di produksi
dalam berbagai konsentrasi. Dalam bentuk murni asam asetat di kenal sebagai
asam asetat glasial karena berubah menjadi kristal jika dalam suhu dingin.
Rumus molekulnya CH3COOH adalah suatu senyawa berbentuk cairan,
tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut
di dalam air, alkohol, gliserol dan eter. Pada tekanan asmosferik, titik didihnya
118,10 C (Hardoyono, 2007).
Asam asetat dapat digunakan sebagai pelarut zat organik yang baik dan
untuk membuat selulosa asetat yang dibutuhkan untuk pembuatan film, rayon,
selofan. Asam asetat dapat juga digunakan sebagai pengawet, bumbu-bumbu
masak atau penambah rasa masakan, untuk membuat aneka ester, zat warna dan
propanan (DepkesRI, 2005).
Penggunaan Asam Asetat (CH3COOH) Meningkatkan Kecernaan BIS
Asam asetat adalah asam organik yang aman digunakan sebagai
preservatif makanan. Selain itu berdasarkan penelitian, asam organik adalah
Universitas Sumatera Utara
subtansi antimikrobial yang digunakan dalam pangan. Penambahan preservatif
diharapkan dapat memperpanjang masa simpan dan mencegah kerusakan pada
bahan pangan (Ray,1992).
Untuk meningkatkan kegunaannya BIS telah diekstrak dengan asam atau
basa Ramli et al. (2008) melaporkan teknologi ekstraksi yang digunakan dalam
penelitiannya telah mampu mengubah polisakarida non pati menjadi molekul
yang lebih sederhana (mono dan disakarida), sehingga nilai kelarutan BIS hasil
ekstraksi (BIS PRO) meningkat secara signifikan dibandingkan dengan BIS tanpa
ekstraksi (70,22 vs 23,15%). .
Perendaman partikel dalam asam asetat menyebabkan sebagian zat
ekstraktif terlarut serta mendegradasi polisakarida amorf (hemiselulosa) dan pati.
Hal ini menyebabkan sifat higroskopis partikel menurun karena hemiselulosa dan
pati merupakan polihidroksi. Penurunan sifat higroskopis menyebabkan kapasitas
pengikatan air rendah sehingga kadar air menurun (Endriadila, 2014).
Enzim
Enzim merupakan molekul organik (protein) yang dihasilkan oleh
makhluk hidup dan berfungsi sebagai katalis atau mempercepat reaksi kimia
tertentu. Enzim yang ditambahkan ke dalam pakan atau bahan pakan akan
meningkatkan kecernaan gizi melalui pemecahan struktur molekul yang kompleks
menjadi molekul yang lebih sederhana, misalnya dari polisakarida menjadi
di- atau monosakarida atau dari protein menjadi asam amino (Sinurat et al., 2008).
Enzim juga merupakan zat yang dapat bereaksi di dalam sel hidup,
enzim mengkatalisis semua aspek metabolisme sel seperti dalam proses
pencernaan makanan yang meliputi hidrolisis senyawa protein, karbohidrat dan
Universitas Sumatera Utara
lemak menjadi molekul yang lebih kecil; penyimpanan dan perpindahan energi
kimia serta pembentukkan struktur penyusun sel (Purawadaria et al., 1994).
Kerja enzim dapat dihambat oleh beberapa faktor, antara lain pengaruh
suhu tinggi, konsentrasi substrat, pengaruh pH, inhibitor, regenerasi enzim,
dan pengaruh suhu pembekuan (Piliang et al., 2006).
Aplikasi Enzim dalam Meningkatkan Nilai Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Penambahan enzim pada bungkil inti sawit dapat meningkatkan nilai
nutrisinya. Iyayi dan Davies (2005) menyatakan bahwa penggunaan enzim pada
bungkil inti sawit sebagai penyusun ransum ayam pedaging mampu memperbaiki
beberapa komponen nutrien (protein, lemak, dan serat), memberikan keuntungan
secara ekonomis dengan memecah ikatan polisakarida non pati dengan
meningkatkan kecernaan bungkil inti sawit.
Penggunaan
enzim
komersial
Gamanase
dan
mannanase
(Sundu et al., 2004) dan PKCase-Alltech Inc., KY (Chong, 1999) telah dilakukan
untuk meningkatkan nilai nutrisi BIS. Penambahan enzim pada BIS secara nyata
meningkatkan efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas
nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004).
Penambahan enzim mannanase sebanyak 2,0 ml /g BIS. Nilai aktivitas
enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses
hidrolisis substrat yang digunakan (Handoko, 2010).
Sifat Fisik Bahan Baku Pakan
Sifat fisik merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh suatu bahan (material)
sehingga dapat menetapkan mutu pakan dan keefisienan proses produksi.
Universitas Sumatera Utara
Sifat fisik untuk pangan telah banyak diketahui, tetapi data untuk sifat fisik bahan
pakan masih sangat terbatas. Sifat fisik pakan penting untuk diketahui dalam
beberapa permasalahan dan perancangan alat-alat yang dapat membantu proses
produksi
pakan
serta
membantu
industri
pengolahan
hasil
pertanian
(Handayani, 2010).
Bahan pakan yang diberikan kepada ternak sangat berpengaruh terhadap
daya produksi ternak tersebut.Uji ini untuk mencegah penggunaan bahan pakan
yang berbahaya bagi ternak. Bahan pakan mempunyai sifat fisik yaitu sudut
tumpukan, berat jenis, daya ambang, luas permukaaan spesifik, kerapatan
tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan (Khalil, 1997).
Menurut Jaelani (2007), sifat fisik pakan adalah salah satu faktor yang
penting
untuk
diketahui.
Keefisienan
suatu
penanganan,
pengolahan,
dan penyimpanan, dalam industri pakan tidak hanya membutuhkan informasi
tentang komposisi kimia dan nilai nutrisi saja tetapi juga menyangkut sifat fisik,
sehingga kerugian akibat kesalahan penanganan bahan pakan dapat dihindari.
Kerapatan tumpukan (Bulk Density)
Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan
volume ruang yang ditempati dalam satuan kg/m3. Pengukuran kerapatan
tumpukan (bulk density) dilakukan untuk menentukan volume ruang pada suatu
bahan dengan berat jenis tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur dan
elevator (Khalil, 1999).
Ukuran partikel bahan mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan.
Semakin banyak jumlah partikel halus dalam ransum, maka akan meningkatkan
nilai kerapatan tumpukan (Johnson, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Kerapatan tumpukan memiliki pengaruh terhadap daya campur dan
ketelitian pengukuran. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya
ambang dan stabilitas pencampuran pakan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukan nilai
kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan menurut Khalil (1999) dan kriteria
dalam penilaian kerapatan tumpukan menurut Kolatac (1996).
Tabel 3. Nilai kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan
Bahan Pakan
Kerapatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung
691,3
Sorghum
684,0
Bungkil Inti Sawit
503,2
Bungkil Kedelai
320,0
Tepung Ikan
435,3
Sumber: Khalil (1999)
Tabel 4. Kriteria penilaian kerapatan tumpukan
Kerapatan Tumpukan
Kriteria
< 450 kg/m3
Waktu alir lebih lama dan butuh ketelitian
lebih
dalam
proses
penimbangan,
volumetris dan gravimetris.
> 500 kg/m3
Sulit dalam proses pencampuran serta
mudah terpisah.
> 1000 kg/m3
Waktu alir lebih cepat
Sumber: Kolatac (1996)
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)
Kerapatan pemadatan tumpukan adalah merupakan perbandingan antara
berat bahan pakan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui
proses pemadatan seperti penggoyangan. Besarnya nilai kerapatan pemadatan
tumpukan sangat tergantung pada intensitas proses pemadatan. Sedangkan volume
Universitas Sumatera Utara
yang dibaca merupakan volume terkecil yang diperoleh selama penggetaran.
Sebaiknya pemadatan dilakukan tidak lebih dari 10 menit (Mujnisa, 2008).
Menurut Khalil (1999), kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh
ukuran partikel dan kadar air suatu bahan. Selain kadar air dan ukuran partikel,
besarnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dipengaruhi ketidaktepatan
pengukuran (Sayekti,1999). Besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan
mementukan kapasitas pengisian tempat penyimpanan silo. Tabel 5 menunjukkan
nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan.
Tabel 5. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)
Bahan
Jagung
704,2
Sorghum
707,6
Bungkil Inti Sawit
700,7
Bungkil Kedelai
340,5
Tepung Ikan
562,0
Sumber: Khalil (1999)
Kerapatan pemadatan tumpukan yang tinggi berarti bahan memiliki
kemampuan memadat yang tinggi dibandingkan dengan bahan yang lain.
Semakin rendah kerapatan pemadatan tumpukan yang dihasilkan maka laju alir
semakin menurun (Rikmawati, 2005).
Berat Jenis (Spesific Gravity)
Berat
merupakan
jenis
juga
perbandingan
disebut
antara
berat
berat
spesifik
bahan
(specific
terhadap
gravity),
volumenya,
satuannya adalah kg/m3. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai
proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Berat jenis diukur dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan prinsip Hukum Archimedes, yaitu suatu benda di dalam fluida,
baik sebagian ataupun seluruhnya akan memperoleh gaya archimedes
sebesar
fluida
yang
dipindahkan
dan
arahnya
ke
atas
(Khalil,1999).
Tabel 6 menunjukkan nilai berat jenis beberapa bahan pakan.
Tabel 6. Nilai berat jenis beberapa bahan pakan
Bahan
Berat Jenis (kg/m3)
Jagung
1579,1
Sorghum
1221,4
Bungkil Inti Sawit
1574,3
Bungkil Kedelai
912,2
Tepung Ikan
1289,3
Sumber: Khalil (1999)
Berat jenis dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan. Menurunnya nilai
berat jenis disebabkan ruang antar partikel bahan sudah terisi oleh aquades dalam
pengukuran sehingga nilai berat jenisnya rendah. Apabila partikel semakin kasar
maka ukuran partikel semakin besar dan kerapatan semakin menurun sehingga air
lebih mudah mengisi ruang antara partikel (Gautama, 1998).
Analisa Proksimat
Analisa proksimat merupakan pengujian kimiawi untuk mengetahui
kandungan nutrien suatu bahan baku pakan atau pakan. Metode analisa proksimat
pertama kali dikembangkan oleh Henneberg dan Stohman pada tahun 1860
di sebuah laboratorium penelitian di Weende, Jerman (Hartadi et al., 1997).
(Mc.Donald et al., 1995) menjelaskan bahwa analisa proksimat dibagi menjadi
enam fraksi nutrient yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar
dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN).
Universitas Sumatera Utara
Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan
atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya
terkandung di dalamnya. Selain itu,manfaat dari analisis proksimat adalah dasar
untuk formulasi ransum dan bagian dari prosedur untuk uji kecernaan.
Besarnya nilai kandungan zat makanan yang diperoleh pada analisis proksimat,
bukan nilai yang sebenarnya, tetapi mendekati. Kelemahan dari analisis proksimat
menduga kedudukan vitamin, sebab kedudukan vitamin tidak jelas dalam analisis
proksimat, sehingga penentuan vitamin dalam pakan/ransum dapat dilakukan
dengan menggunakan prosedur analisis tersendiri (Tillman,1998).
Analisis Van Soest
Untuk mengetahui fraksi selulosa dan lignin perlu dilakukan analisa
lain yang lebih khusus yaitu metode analis Van Soest . Peter J. Van Soest
dari USDA Beltville National Research, sekitar tahun 1965 mengembangkan
prosedur pengujian yang memisahkan serat kasar menjadi dua bagian,
yakni Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF),
selanjutnya ADF diuraikan lagi menjadi Acid Detergent Lignin (ADL).
Sistem analisis Van Soest menggolongkan zat pakan menjadi isi sel dan
dinding sel. Neutral Detergent Fiber (NDF) mewakili kandungan dinding sel
yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein yang berikatan dengan
dinding sel (Pina et al., 2009).
Bagian
yang
tidak
terdapat
sebagai
residu
dikenal
sebagai
Neutral Detergent Soluble (NDS) yang mewakili isi sel dan mengandung lipid,
gula, asam organik, non protein nitrogen, pektin, protein terlarut, dan bahan
terlarut dalam air lainnya (Suparjo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Kandungan ADF merupakan indikator kecernaan hijauan, karena
kandungan lignin merupakan bagian dari fraksi yang dapat dicerna. Nilai NDF
selalu lebih besar dari ADF, karena ADF tidak mengandung hemiselulosa.
Serat detergen netral (neutral-detergen fiber, NDF), yang merupakan sisa setelah
ekstraksi dalam keadaan mendidih dengan larutan netral natrium lauril sulfat dan
asam etilendiamintetraasetat (EDTA), terutama atas lignin, selulosa, dan
hemiselulosa, dan dapat dianggap sebagai komponen dinding sel tumbuhan
(Hernawati, 2009)
Energi Metabolis
Energi metabolis merupakan standar perhitungan ketersediaan energi pada
ayam dan ternak unggas lainnya. Perhitungan energi metabolis mudah dilakukan
pada ayam karena muara saluran urin dan feses menjadi satu yaitu di kloaka,
sedangkan untuk memisahkan kedua saluran tersebut diperlukan operasi.
Oleh karena itu, dilakukan perhitungan energi metabolis dengan pengambilan urin
dan feses (ekskreta) secara bersamaan (Leeson dan Summers, 2001).
Menurut Wahju (2004), minimal ada 4 nilai energi, yaitu energi bruto
(Gross energy), energi dapat dicerna, energi metabolis dan energi netto.
Energi yang dikonsumsi oleh ternak akan menjadi energi dapat dicerna dan
sisanya dibuang dalam kotoran (feses). Selanjutnya energi yang dapat dicerna
dirombak menjadi energi metabolis serta energi dalam urin. Energi metabolis
akan diubah oleh tubuh menjadi panas dari proses metabolisme zat-zat makanan
dan energi netto. Energi netto oleh tubuh digunakan untuk hidup pokok dan untuk
produksi.
Universitas Sumatera Utara
Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar,
keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya
akan
mempengaruhi
nilai
energi
metabolisme
suatu
bahan
pakan.
Hal ini didukung oleh pernyataan Mc. Donald et al. (1994) bahwa rendahnya daya
cerna terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang
dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.
Energi metabolis dinyatakan dalam energi metabolis semu/EMS
(Apparent metabolizable energy/AME) dan energi metabolis murni/EMM
(True metabolizable energy/TME). Nilai AME dan TME tersebut sangat
tergantung pada energi bruto yang dikonsumsi dan energi bruto yang
diekskresikan melalui ekskreta. Menurut Ensminger (1991) tidak semua energi
yang terkandung dalam ransum dapat dipergunakan oleh ternak, sebagian akan
terbuang melalui feses dan urin.
Energi tercerna (digestible energy/DE) merupakan selisih antara energi
bruto (gross energy) makanan dengan energi yang dikeluarkan tubuh melalui
feses, dimana sebenarnya bukan jumlah energi yang diserap melalui tubuh namun
energi tersebut hilang berupa gas metan, CO2 dan panas jadi masih merupakan
energi tercerna semu. Berbeda dengan energi metabolis semu pada energi
metabolis murni nilainya dipengaruhi oleh energi endogenus. Energi endogenus
merupakan energi bruto yang diekskresikan oleh ayam tanpa dipengaruhi
konsumsi ransum (Sibbald, 1980).
Universitas Sumatera Utara