ANALISIS PESAN MORALYANG TERCERMIN DALAM CERPEN “KUMO NO ITO” KARYA AKUTAGAWA RYUUNOSUKE ( Melalui Pendekatan Stuktural )

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang

Universitas Komputer Indonesia

YANTI ARYANTI 63802030

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA JEPANG

BANDUNG


(2)

LEMBAR PENGESAHAAN PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Batasan Masalah ...5

1.4 Tujuan Penelitian ...5

1.5 Manfaat Penelitian ...6

1.6 Metode Penelitian ...6

1.7 Sumber Data...7

1.8 Teknik Pengumpulan Data...7

1.9 Definisi Operasional...7

1.10 Penelitian Terdahulu ...8

1.11 Sistematika Pembahasan ...10

BAB II LANDASAN TEORI...12

2.1. Pendekatan Struktural ...12

2.2. Tokoh dan Penokohan...15


(3)

2.2.1. Pengertian dan Hakikat Penokohan ...15

2.2.2. Pembedaan Tokoh...16

2.2.2.1 Tokoh Utama...16

2.2.2.2 Tokoh Tambahan ...17

2.2.2.3 Tokoh Antagonis...18

2.2.2.4 Tokoh Protagonis ...18

2.2.2.5 Tokoh Tipikal...18

2.3. Plot/Alur...19

2.4. Latar ...19

2.4.1. Pengertian dan Hakikat Latar...19

2.5. Tema...19

2.5.1 Hakikat Tema ...20

2.6. Moral ...21

2.6.1. Unsur Moral dalam Sastra...21

2.6.2. Hakikat Moral Dalam Kesusastraan...22

2.6.3. Jenis Pesan Moral...23

2.6.4. Bentuk Penyampaian Pesan Moral ...23

2.6.5. Bentuk Penyampaian Langsung...23

2.6.6. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung ...24

2.7. Cerpen ...25

BAB III STRUKTUR FISIK...26

3.1. Ringkasan Cerita ...26


(4)

3.2.1. Penokohan ...30

3.2.1.1 Tokoh Utama...31

3.2.1.2 Tokoh Tambahan ...33

3.2.2. Plot/Alur...34

3.2.3. Latar ...35

3.2.3.1 Unsur latar...35

3.2.3.1.1 Latar Tempat ...35

3.2.3.1.2 Latar Waktu...37

3.2.4. Tema...37

3.2.5. Amanat ...38

3.3. Sekilas Tentang Akutagawa Ryunosuke...38

BAB IV ANALISIS ...40

4.1 Pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh Kandata, tokoh Oshaka Sama dan tokoh Kumo yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito” ...41

4.3.1. Kandata...41

4.3.1. Oshaka Sama (Sang Budha) ...48

4.3.1. Kumo ...50

4.2. Pesan moral yang tercermin pada alur yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”...51

4.3. Pesan moral yang tercermin pada latar yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”...52

4.3.1. Latar Tempat ...52 4.4. Pesan moral yang tercermin pada tema yang terdapat dalam cerpen “Kumo


(5)

no Ito”...54

BAB V SIMPULAN...55

5.1. Simpulan ...55

5.2. Saran...58

DAFTAR PUSTAKA...59

Sinopsis...60 Lampiran


(6)

1.1 Latar Belakang

Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur (litera=huruf atau karya tulis). Dalam bahasa Indonesia karya sastra berasal dari bahasa sansakerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, tra -artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan bahwa sastra -artinya kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran yang baik.

Sastra merupakan inspirasi kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk keindahan batin yang dapat dinikmati melalui pikiran maupun perasaan kita. Sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat, dan lain-lain dari seorang pengarang yang diekspresikan dalam bentuk tulisan.

Karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengembangkan jiwa humanitas, yaitu jiwa yang halus, berbudi dan manusiawi. Sehubungan dengan hal itu, karya sastra mempunyai kemampuan yang dapat menyentuh pembaca agar dapat menjadi manusia yang responsif terhadap hal-hal yang luhur dalam hidup ini. Karena pada hakikatnya manusia selalu mencari nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.


(7)

Karya sastra yang baik adalah karya yang mengangkat masalah manusia dan kemanusian. Sesuatu yang mempunyai nilai moral, yaitu nilai yang berpangkal dari nilai-nilai kemanusian, serta nilai-nilai baik dan buruk yang universal.

Berdasarkan ragamnya karya sastra dibagi menjadi tiga yaitu, prosa, puisi, dan drama. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan strutural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini di sebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams,1981:61 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:2)

Sebagai karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menurut Altenbernd & Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.

Yang akan penulis bahas dalam penelitian ini adalah salah satu karya sastra yang berbentuk prosa, khususnya cerita pendek yang berupa fiksi. Cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.

Agar pengetahuan dan pemikiran kita terhadap karya sastra berkembang maka kita harus dapat memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra. Dan


(8)

untuk mampu mengapresiasi karya sastra, pembaca harus memiliki kepekaan emosi dan berbekal pengalaman serta kemanusian seperti tentang psikologi, filsafat, humanitas dan sebagainya. Selain itu pembaca harus memahami unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut.

Unsur-unsur karya sastra terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, seperti penokohan, latar, alur, tema, amanat. Dalam amanat terkandung pesan moral. Pesan moral mengandung nasihat, ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur diluar karya sastra tersebut, diantaranya psikologi pengarang, sikap pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang dan sebagainya. Karya sastra dapat dipahami dengan apresiasi, apresiasi secara sempit berarti penilaian/penghargaan terhadap sesuatu. Dalam konteks yang lebih luas istilah apresiasi mengandung makna yaitu pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.

Untuk memahami maksud pengarang dari karya sastranya tersebut. Salah satunya melalui pendekatan struktural. Analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterikatan semua anasir karya sastra semua anasir karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasirnya, melainkan yang penting adalah sumbangan apa yang akan diberikan oleh semua anasir pada keseluruhan makna dalam keterikatan dan keterjalinannya (Teew,1983:135-136). Anasir karya sastra adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri,


(9)

seperti penokohan, latar dan sebagainya. Cerita yang akan penulis teliti melalui pendekatan ini adalah cerpen fiksi yang berjudul “Kumo no Ito”

Cerita fiksi ini diawali dengan mengisahkan Oshaka Sama (Sang Budha) yang sedang berjalan-jalan di pinggir kolam teratai Nirwana. Ketika dia melihat ke bawah kolam teratai terdapatlah dasar neraka. Pandangan Sang Budha tertuju kepada seorang penjahat bernama Kandata. Sang Budha menengok ke tengah kolam tampaklah seekor laba-laba yang mencoba menolong penjahat tersebut dengan cara mengurulurkan benang laba-laba, karena laki-laki yang bernama Kandata itu pernah menolongnya. Dalam cerpen Kumo no Ito banyak memberikan pesan moral, baik itu dalam hal penokohan, alur, latar, tema maupun amanat.

Atas dasar pemikiran diatas penulis mencoba untuk menganalisis dan memaparkan peristiwa yang mempunyai makna pesan moral yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”, dengan judul “Analisis Pesan Moral Yang Tercermin Dalam Cerpen “Kumo no Ito” (Melalui Pendekatan Struktural), sehingga kita dapat mengambil hikmah dan menjadi renungan bagi kita dalam menghadapi kehidupan.

1.2Rumusan Masalah

Penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Apa pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh Kandata, tokoh Oshaka


(10)

2. Apa pesan moral yang tercermin pada alur yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

3. Apa pesan moral yang tercermin pada latar yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

4. Apa pesan moral yang tercermin pada tema yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

1.3Batasan Masalah

Dari rumusan masalah tersebut diatas maka penulis batasi pada hal-hal sebagai berikut:

Untuk mengungkap pesan moral yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito” penulis membatasi pada unsur-unsur instrinsik karya sastra seperti penokohan, alur, latar, tema, dan amanat sebagai bahan penelitian melalui pendekatan struktural.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh Kandata, tokoh Oshaka Sama, dan tokoh Kumo yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

2. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada alur yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.


(11)

3. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada latar terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

4. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada tema yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: Manfaat secara teoritis:

1. Untuk mengetahui pesan moral dalam cerpen “Kumo no Ito”melalui pendekatan struktural.

2. Untuk menerapkan pendekatan struktural dalam mengetahui pesan dalam cerpen “Kumo no Ito”.

Sedangkan manfaat secara praktis:

1. Dari pesan moral tersebut diatas kita dapat mengambil pelajaran berharga sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan ini.

2. Untuk memperkenalkan salah satu prosa sastrawan Jepang.

3. Memberikan tambahan pengetahuan bagi pembelajar bahasa Jepang dalam bidang kesusastraan.

1.6Metode Penelitian

Metode adalah cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dalam penelitian.


(12)

Penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah (Sutrisno Hadi;1991;4)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikannya, menganalisa dan memaparkannya.

1.7Sumber Data

Sumber Data dalam penelitian ini adalah: Sumber data primer adalah cerpen “Kumo no Ito”

Sumber data sekunder adalah buku-buku yang relevan dengan penelitian ini.

1.8Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi kepustakaan, yaitu menghimpun, meneliti dan mempelajari buku-buku sumber yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

1.9Definisi Operasional

Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya).


(13)

Pesan adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan melalui orang lain.

Moral adalah ajaran tentang baik atau buruk yang diterima umum

mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak;budi pekerti; susila. Jadi analisis pesan moral adalah penyelidikan terhadap suatu persitiwa untuk mengetahui dan memahami pesan, nasihat yang disampaikan melalui ajaran tentang baik dan buruk yang diterima oleh universal mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.

Teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (pradopo dkk,1985:6,Jabrochim,2005:54). Oleh karena itu untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca (Beardsey via Teew,!983,Jabrochim,2005:54)

1.10 Penelitian Terdahulu

Sebelumnya cerpen “Kumo no Ito” pernah dilakukan penelitian dengan judul Analisis framing dan perspektif interpersonal pembaca dalam cerpen “kumo no Ito” sebagai jalinan komunikasi antara penulis dan pembaca melalui suatu tinjauan struktural.


(14)

1. Ada 3 ide yang ingin disampaikan Akutagawa Ryuunosuke samapaikan dalam cerpen ini, diantaranya:

a. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan ada balasannya, walaupun hal yang kecil.

b. Kasih sayang sesama mahluk hidup, dan

c. Janganlah bersikap egois dan tenggang rasa terhadap sesama.

Dan ketiga tema tersebut dibangun berdasarkan tema-tema tradisional yang biasa pengarang gunakan dalam dalam membangun suatu cerita. Tema ini dipilih agar dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh semua kalangan pembaca khususnya pembaca anak-anak.

2. Akutagawa Ryuunosuke sebagai pengarang telah berhasil mempengaruhi pembacanya. Hal inidapat dilihat dari hasil dampak komunikasi interpersonal pada pemabaca pada aspek kognitif tapi juga berhasil pada aspek afektif dan behavioral.

3. Ada tiga tingkatan dampak komunikasi interpersonal yaitu aspek kognitif, afektif, dan behavioral. Untuk menuju dampak tertinggi (dampak behavioral) dalam komunikasi interpersonal tidaklah mudah. Hal ini dipengaruhi tingkat usia dan pendidikan pembaca.

4. Keterjalinan unsur-unsur instrinsik sangat penting dalam membangun cerita. Setiap unsur instrinsik harus memiliki katerkaitan satu dengan lainnya, sehingga terjalin komunikasi antara penulis dan pembaca dapat terjalin dengan baik.


(15)

1.11 Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam menyusun laporan skripsi adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, definisi operasioanal, penelitian terdahulu serta sistematika pembahasan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Dalam bab ini memuat tentang landasan teori yang dibagi menjadi empat sub bab, yaitu tentang pendekatan struktural, unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra, moral dalam sastra, dan cerpen. Sub bab pertama memaparkan tentang struktural yang merupakan alat untuk menganalisis. Sub bab kedua memaparkan tentang pengertian dan hakikat penokohan juga tentang pebedaan tokoh, plot, pengertian dan hakikat latar, unsur latar, hakikat tema. Sub bab ketiga memaparkan tentang gambaran umum moral dalam sastra. Sub bab keempat memaparkan tentang cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra.


(16)

BAB III: STRUKTUR FISIK

Berisi tentang struktur fisik cerpen “Kumo no Ito” karya Akutagawa Ryuunosuke, yang akan menjadi objek penelitian penulis. Terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama berisi ringkasan cerita. Sub bab kedua mengulas tentang unsur-unsur intrinsik cerpen “Kumo no Ito” yang terdiri dari penokohan, plot, latar, tema, dan amanat. Sub bab ketiga berisi sekilas tentang pengarang cerpen “Kumo no Ito”.

BAB IV: ANALISIS

Dalam bab ini penulis akan mengolah data yang diperoleh kemudian menganalisis pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh-tokoh utama, alur, latar, tema dan amanat yang terdapat dalam cerpen “kumo no ito” melalui pendekatan struktural.

BAB V: SIMPULAN

Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil pelitian dan saran-saran yang dianggap perlu untuk dikemukakan.


(17)

Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat, dan lain-lain dari seorang pengarang yang diekspresikan dalam bentuk tulisan.

Ada beberapa cara untuk bisa memahami maksud pengarang dari karya sastranya tersebut. Salah satunya melalui pendekatan struktural.

2.1.Pendekatan Struktural

Hakikat karya sastra menurut Horatius adalah docere, delecrate, dan

movere. Artinya sastra haruslah memberikan ajaran, kenikmatan, dan

menggerakkan pembaca kepada kegiatan yang bertanggung jawab (Teew,1984:23). Kita harus memahami makna karya sastra, agar dapat menerima hakikat sastra. Dan cara untuk menuju kepada pemahaman tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan dalam sastra, salah satunya adalah melalui pendekatan struktural.

Pendekatan struktural atau bisa juga disebut dengan pendekatan objektif adalah pendekatan yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik. Dengan kata lain, pendekatan


(18)

ini memfokuskan diri pada unsur-unsur intrinsik karya sastra sebagai pusat pengkajian dalam usaha memahami makna sastra.

Pendekatan Struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik (A. Teew,2003:106). Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.(Burhan Nurgiyantoro, 2005:36)

Sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. (Abrams,1981:68 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:36). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana (Burhan Nurgiyantoro,2005:36).


(19)

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengedintifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan misalnya; bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, dan pesan moral. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu.

Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra misalnya, plot, penokohan, latar atau yang lainnya. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap makna keseluruhan yang ingin dicapai.

Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil yang gilang gemilang; usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari berbagai konsep metode dan teknik yang sebenarnya di luar jangkauannya sebagai ahli sastra, seperti psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain, dan mengembalikannya pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra. Malahan dapat dikatakan bahwa bagi setiap peneliti sastra analisis struktur karya sastra yang ingin diteliti dari segi manapun juga merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan; sebab karya


(20)

satra sebagai “dunia dalam kata” mempunyai kebulatan kata makna intrinsik yang hanya dapat kita gali dari karya itu sendiri. Dan makna unsur-unsur karya itu hanya dapat kita pahami dan nilai sepenuh-penuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi itu dalam keseluruhan karya sastra (A.Teew,1983:61).

2.2 Tokoh dan Penokohan

2.2.1 Pengertian dan Hakikat Penokohan

Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menujuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi—karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan—menujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh Jones(1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorangyang ditampilkan dalam sebuah cerita (burhan Nurgiyantoro,2005:165).

Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam literatur bahasa

Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimilki tokoh-tokoh tersebut (Stanton,1965:17 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:165).


(21)

Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antar seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya.

Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro,2005:167).

2.2.2 Pembedaan Tokoh

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari selalu diemban oleh tokoh atau pelaku tertentu. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memilki peranan yang berbeda-beda, yaitu:

2.2.21 Tokoh Utama

Membaca sebuah cerita, biasanya kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan di dalamnya. Ada tokoh yang tergolong penting dan


(22)

ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, yaitu tokoh utama (central character, main character).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik. Tokoh utama dalam sebuah cerita mungkin saja lebih dari satu orang, walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama.

2.2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting, karena pemunculannya hanya melengkapi dan mendukung pelaku utama. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama.

Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.


(23)

2.2.23 Tokoh Antagonis

Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali bisa disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik atau batin.

2.2.2.4 Tokoh Protagonis

Membaca sebuah cerita, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (Altenbernd & Lewis,1966:59 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:178).

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi—yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero—tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis,1966:59 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:178).

2.2.2.5 Tokoh Tipikal

Tokoh tipikal (typical character) adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjan atau kebangsaannya (Altenbernd &Lewis,1966:60 dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:190), atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili.


(24)

2.3 Plot/Alur

Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapmya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Untuk menyebut plot, secara tradisional orang sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita.

Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab terjadinya peristiwa yang lain.

Kenny (1966) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.

2.4 Latar

Pengertian dan Hakikat Latar

Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan sebuah duni, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita, dan alur juga memerlukan latar.

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175)


(25)

Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-seolah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan, merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:217)

2.5 Tema Hakikat Tema

Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema, namun apa isi tema itu sendiri tak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data.

Tema (theme) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88), adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (cerpen) itu, maka misalnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.

Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.

Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang “disembunyikan”. Namun, tema


(26)

merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.

2.6 Moral

2.6.1 Unsur Moral dalam Sastra

Dalam karya sastra, pengarang sering menyelipkan pesan moral untuk disampaikan kepada pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro, bahwa “moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang disarankan lewat cerita.”(Burhan Nurgiyantoro,1995:321)

Moral kadang-kadang diidentikkan dengan tema. Moral dan tema, karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung dapat ditafsirkan diambil dari cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral, disamping tidak memilki nilai langsung sebagai saran yang ditujukan kepada pembaca.

Moral dengan demikian dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny,1966:89 dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:321)

Secara umum moral adalah ajaran tentang baik atau buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak;budi pekerti; susila. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002)

Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Ajaran moral dapat diibaratkan sebagai buku petunjuk bagaimana kita harus


(27)

memperlakukan manusia lain dengan baik. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno,1989:19)

Moral yang baik adalah moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti menolong orang lain yang sedang membutuhkan, membalas budi kebaikan orang lain, selalu bersikap jujur dan dapat dipercaya, bersikap baik—bersikap baik berarti : memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi kita (Franz Magnis-Suseno,1989:131). Sedangkan moral yang buruk adalah perbuatan yang merugikan orang lain, seperti membunuh, sikap serakah, sikap mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya.

2.6.2 Hakikat Moral Dalam Kesusastraan

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, moral merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita.

2.6.3 Jenis Pesan Moral

Tiap karya sastra masing-masing mengandung dan menawarkan moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang dan tentunya banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Dalam sebuah karya fiksi pun, sering terdapat lebih dari satu pesan moral—untuk tidak mengatakan terdapat banyak pesan moral yang berbeda. Hal itu belum lagi berdasarkan pertimbangan dan atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun jenis dan pesan moral yang terdapat dalam karya sastra yang bergantung kepada keyakinan dan keinginan pengarang yang bersangkutan.


(28)

Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tak terbatas.

2.6.4 Bentuk Penyampaian Pesan Moral

Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi, dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialaog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat. Dalam pengertian ini, karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi yang lain, tertulis ataupun lisan, karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam menyampaikan pesan-pesan moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau sebaliknya tidak langsung. (Burhan Nurgiyantoro,2005:335)

2.6.4.1 Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung. Pengarang dalam hal ini tampak bersifat menggurui pembaca, secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.(Burhan Nurgiyantoro,2005:335)


(29)

2.6.4.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini tidak bersifat langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar. Karya yang terbentuk cerita bagaimanapun hadir kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh berbagai kenikmatan. Kalaupun ada yang ingin dipesankan— dan yang sebenar-benarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu—hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca. (Burhan Nurgiyantoro,2005:339).

2.4 Cerpen

Cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002)

Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi pada dasarnya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meskipun ada unsur-unsur tertentu berbeda.

Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendeknya memang tidak ada ukurannya, tidak ada kesepakatan


(30)

diantara pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe mengatakan bahwa cerita pendek adalah sebuah cerita selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—satu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.(Burhan Nurgiyantoro,1995:10)

Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang (short short story), bahkan mungkin pendek sekali : berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Bentuk cerpen adalah bentuk yang paling digemari dalam dunia kesustraan Indonesia. Bentuk ini tidak saja digemari oleh para pengarang yang dengan sependek itu bisa bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali mesti dilahirkan dalam sebuah roman, tetapi juga diskusi oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen (Ajip Rosidi,1993:175).

Ciri khas cerpen adalah singkat, padat, intensif. Bahasa cerpen haruslah tajam, dan menarik perhatian. Sebuah cerpen harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Cerpen juga harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, dan baru menarik pikiran.


(31)

(32)

A. Teew, 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : PT Gramedia. A. Teew, 2003. Sastra dan Ilmu Sastera. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.

Daigakusyorin. Kamus Lengkap Jepang- Indonesia Indonesia-Jepang. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Depdiknas, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Jabrochim, Drs, 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Luxemburg, Jan Van, 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Nelson. Andrew, 2002. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc.

Nihongo Gakushuusho, Nihongo Tokuhon 3. Kokusai Gakuyukai Nihongo gakōhen.

Nurgiyantoro, Burhan, 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada . Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. ogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip, 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga Suseno, Franz Magins, 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.

Yogyakarta: kanisius.

Taniguchi, Goro, 1999. Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Taniguchi, Goro, 1982. Kamus Standar Bahasa Indonesia-Jepang. Tokyo. Japan Indonesia Association, inc.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Oleh Melani Budianta. Jakarta. PT. Gramedia

Wibawarta, Bambang, 2005. AKUTAGAWA Kumo No Ito, Kappa, Imogayu, Shiro. Jakarta: Kalang.


(1)

memperlakukan manusia lain dengan baik. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno,1989:19)

Moral yang baik adalah moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti menolong orang lain yang sedang membutuhkan, membalas budi kebaikan orang lain, selalu bersikap jujur dan dapat dipercaya, bersikap baik—bersikap baik berarti : memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi kita (Franz Magnis-Suseno,1989:131). Sedangkan moral yang buruk adalah perbuatan yang merugikan orang lain, seperti membunuh, sikap serakah, sikap mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya.

2.6.2 Hakikat Moral Dalam Kesusastraan

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, moral merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita.

2.6.3 Jenis Pesan Moral

Tiap karya sastra masing-masing mengandung dan menawarkan moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang dan tentunya banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Dalam sebuah karya fiksi pun, sering terdapat lebih dari satu pesan moral—untuk tidak mengatakan terdapat banyak pesan moral yang berbeda. Hal itu belum lagi berdasarkan pertimbangan dan atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun jenis dan pesan moral yang terdapat dalam karya sastra yang bergantung kepada keyakinan dan keinginan pengarang yang bersangkutan.


(2)

Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tak terbatas.

2.6.4 Bentuk Penyampaian Pesan Moral

Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi, dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk mendialaog, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat. Dalam pengertian ini, karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi yang lain, tertulis ataupun lisan, karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam menyampaikan pesan-pesan moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau sebaliknya tidak langsung. (Burhan Nurgiyantoro,2005:335)

2.6.4.1 Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung. Pengarang dalam hal ini tampak bersifat menggurui pembaca, secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.(Burhan Nurgiyantoro,2005:335)


(3)

2.6.4.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan moral di sini tidak bersifat langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar. Karya yang terbentuk cerita bagaimanapun hadir kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh berbagai kenikmatan. Kalaupun ada yang ingin dipesankan— dan yang sebenar-benarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu—hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca. (Burhan Nurgiyantoro,2005:339).

2.4 Cerpen

Cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002)

Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi pada dasarnya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meskipun ada unsur-unsur tertentu berbeda.

Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendeknya memang tidak ada ukurannya, tidak ada kesepakatan


(4)

diantara pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe mengatakan bahwa cerita pendek adalah sebuah cerita selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—satu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.(Burhan Nurgiyantoro,1995:10)

Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang (short short story), bahkan mungkin pendek sekali : berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Bentuk cerpen adalah bentuk yang paling digemari dalam dunia kesustraan Indonesia. Bentuk ini tidak saja digemari oleh para pengarang yang dengan sependek itu bisa bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali mesti dilahirkan dalam sebuah roman, tetapi juga diskusi oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen (Ajip Rosidi,1993:175).

Ciri khas cerpen adalah singkat, padat, intensif. Bahasa cerpen haruslah tajam, dan menarik perhatian. Sebuah cerpen harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Cerpen juga harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, dan baru menarik pikiran.


(5)

(6)

A. Teew, 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : PT Gramedia. A. Teew, 2003. Sastra dan Ilmu Sastera. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.

Daigakusyorin. Kamus Lengkap Jepang- Indonesia Indonesia-Jepang. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Depdiknas, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Jabrochim, Drs, 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Luxemburg, Jan Van, 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Nelson. Andrew, 2002. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc.

Nihongo Gakushuusho, Nihongo Tokuhon 3. Kokusai Gakuyukai Nihongo gakōhen. Nurgiyantoro, Burhan, 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada . Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. ogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip, 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga Suseno, Franz Magins, 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: kanisius.

Taniguchi, Goro, 1999. Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Taniguchi, Goro, 1982. Kamus Standar Bahasa Indonesia-Jepang. Tokyo. Japan Indonesia Association, inc.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Oleh Melani Budianta. Jakarta. PT. Gramedia

Wibawarta, Bambang, 2005. AKUTAGAWA Kumo No Ito, Kappa, Imogayu, Shiro. Jakarta: Kalang.