Analisis Moralitas Bushido Dalam Novel “Samurai Suzume No Kumo” Karya Takashi Matsuoka

(1)

ANALISIS MORALITAS BUSHIDO

DALAM NOVEL “SAMURAI SUZUME NO KUMO”

KARYA TAKASHI MATSUOKA

(MATSUOKA TAKASHI NO SAKUHIN NO

“SAMURAI SUZUME NO KUMO” NO SHOUSETSU NI OKERU

BUSHIDO NO DOUTOKU NO BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : NELVITA NIM : 020708003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS MORALITAS BUSHIDO

DALAM NOVEL “SAMURAI SUZUME NO KUMO” KARYA TAKASHI MATSUOKA

(MATSUOKA TAKASHI NO SAKUHIN NO

“SAMURAI SUZUME NO KUMO” NO SHOUSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU NO BUNSEKI)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : NELVITA NIM : 020708003

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yuddi Adrian M, M.A. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

NIP. 131945675 NIP. 131763365

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji milik Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan apa-apa yang tidak diketahui. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah keharibaan Rasulullah Muhammad SAW.

Atas berkat dan rahmat-NYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL ”SAMURAI

SUZUME NO KUMO” KARYA TAKASHI MATSUOKA, yang merupakan syarat

untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, baik dari keterbatasan bahan maupun keterbatasan penulis sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang dengan izin Allah telah menjadi perantara untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program Sastra Jepang yang sekaligus sebagai pembimbing II, yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing penulisan skripsi ini. Penulis hanya bisa berdoa semoga Allah membalas kebaikan Bapak.

3. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian, M.A, selaku pembimbing I yang telah begitu teliti untuk membaca dan mengoreksi skripsi ini untuk lebih sempurna di


(4)

sela-sela tugasnya yang banyak. Semoga keikhlasan bapak mendapat balasan dari-NYA.

4. Dosen-dosen Fakultas Sastra, khususnya dosen-dosen Sastra Jepang yang telah memberikan pengetahuan tentang bahasa, masyarakat dan budaya Jepang.

5. Ayahandaku Drs. Iskandar Syarief, M.A dan Ibundaku tercinta Farida Hanum yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada ananda sampai hari ini, sehingga ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Saudaraku tercinta Istie Widayatie, abangku dr. Anggia Mulia dan kakak iparku Fitri yang telah memberikan kebahagiaan selama ini.

7. Teman-teman di Sastra Jepang stanbuk ’02, terutama Ira, Nanik, Nataly, Ana, Rui, Yuna, Fuspa, Mewi, Ibet, dan Heri. Terima kasih atas kebaikan, kebersamaan dan candanya.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan teman-teman yang ingin mengetahui budaya Jepang.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan untuk masa yang akan datang.

Medan, 10 Agustus 2007


(5)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………..iii

BAB I.PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………...1

1.2.Perumusan Masalah………..5

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……….6

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………..6

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian………...10

1.6.Metode Penelitian………...11

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG MORALITAS BUSHIDO, NOVEL DAN SEMIOTIKA 2.1. Konsep dan Moralitas Bushido………13

2.1.1. Konsep Bushido……….14

2.1.2. Moralitas Bushido………..19

2.1.3. Tindakan Bushi Sebagai Perwujudan Moralitas Bushido…………..25

2.2. Definisi Novel………..26

2.3. Definisi Semiotik……….28

BAB III. ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL “SAMURAI SUZUME NO KUMO” 3.1. Sinopsis Cerita………..30 3.2. Analisis Moralitas Bushido dalam Novel Samurai Suzume no Kumo….31


(6)

BAB IV.KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan……….43

4.2. Saran………...44

DAFTAR PUSTAKA


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural. Kebudayaan bersifat universal. Artinya kebudayaan dimiliki oleh tiap bangsa di dunia ini. Setiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang selalu berusaha memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang mampu mengambil dan menarik manfaat dari hasil budi daya bangsa lain tanpa mengorbankan kepribadian sendiri. Selain itu juga sifat bangsa Jepang menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya dan meneruskan nilai-nilai budaya bangsanya.

Kebudayaan menurut Tylor dalam Ratna (2005 : 5) adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, adat-istiadat, moral, dan lain-lain. Suseno dalam Situmorang (1995 : 2) mengatakan bahwa moral adalah suatu pengukur apa yang baik dan apa yang buruk dalam kehidupan suatu masyarakat, sedangkan moralitas atau etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan masyarakat bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.


(8)

Namun, tak jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Artinya suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau bangsa pada umumnya, belum tentu sama bagi orang yang lain, atau bangsa yang lain. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanya. Pandangan tentang moral, nilai-nilai bangsa Jepang merupakan hasil dari pencampuran antara agama yang berakar kuat dengan budaya yang berlangsung sejak dahulu.

Hal ini salah satunya dapat dilihat jelas dalam moralitas bushido pada masyarakat Jepang. Bushi yang disebut juga samurai merupakan golongan masyarakat atas yang bertugas untuk melindungi dan mengabdi pada tuannya, yang secara tidak langsung bushi akan bergantung pada tuannya. Kelahiran bushi sangat berkaitan erat dengan feodalisme di Jepang.

Pada awalnya bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi pada tuannya kizoku (keluarga bangsawan) dalam mempertahankan eksistensi shoen dan dozoku tuannya (Situmorang, 1995 : 11). Sebagai landasan moral para bushi tersebut, diciptakanlah sebuah susunan peraturan tertentu yang disebut bushido (jalan hidup bushi). Bushido dipengaruhi oleh ajaran Zen dan Konfusionis.

Menurut Suryohadiprodjo (1981:31), bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha, khususnya ajaran Zen, dan Shinto. Bushido mengandung keharusan samurai untuk senantiasa memperhatikan : (1) kejujuran, (2) keberanian, (3) kemurahan hati, (4) kesopanan, (5) kesungguhan, (6) kehormatan / harga diri, dan (7) kesetiaan.


(9)

Menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 21) ciri khas bushido pada umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah. Gejalanya paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya.

Watsuji dalam Situmorang (1995 : 21) mengatakan penyebab yang

mendorong pengikut yang dekat dengan tuan melakukan junshi dan adauchi adalah karena di dalam ie terjadi jalinan hubungan yang sangat erat antara tuan dan anak buah. Karena itu anak buah berpikiran bahwa segala sesuatu yang diterimanya selama hidup merupakan on (budi) dari tuan, yang harus dibayar dengan chu (penghormatan terhadap tuan), yang diwujudkan dengan giri (balas budi).

On adalah konsep kebaikan seseorang yang berkedudukan lebih terhormat memberikan bantuan kepada orang lain. Gimu adalah konsep pembalasan kebaikan setulus hati. Bahwa kebaikan yang telah diterima tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi. Di dalam masyarakat bushi, hal ini diartikan mulai dari rasa terima kasih sampai melakukan adauchi dan junshi. Sedangkan chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuan (Situmorang, 1995 : 66).

Konsep-konsep moralitas tersebut dapat dikatakan sebagai konsep budaya terhutang yang lahir dari peringatan-peringatan atas rasa malu, dasar pemikiran bahwa rasa malu bisa dihilangkan dengan cara melunasi hutang (Situmorang, 1995 : 67).

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa moralitas bushido merupakan suatu budaya yang khas dan tidak dimiliki bangsa lain dan merupakan budaya yang unik untuk dipahami dan dipelajari. Kekhasan dan keunikan budaya ini dapat juga dilihat dari


(10)

kehidupan nyata, dapat diekspresikan atau diungkapkan dalam bentuk karya sastra yaitu novel. Moralitas bushido ini banyak ditemukan di dalam novel Samurai Suzume no Kumo karya Takashi Matsuoka.

Pada penelitian kali ini, penulis akan menganalisis salah satu kebudayaan Jepang, yaitu moralitas bushido melalui salah satu judul novel terjemahan yang berjudul Samurai Suzume no Kumo karya Takashi Matsuoka. Sejak kecil Matsuoka sudah bercita-cita menjadi penulis, mengikuti jejak sang ayah, seorang reporter surat kabar di Hawaii. Takashi Matsuoka sempat bekerja di kuil Buddha Zen yang melatarbelakangi mengapa ia dapat menggambarkan kehidupan spiritual penganut Zen dalam bukunya.

Novel Samurai Suzume no Kumo menceritakan tentang kisah hidup Genji Okumichi, seorang daimyo Akaoka yang memiliki pemikiran moderat untuk menerima masuknya bangsa asing ke Jepang. Bushido yang sangat diagung-agungkan itu harus ditinggalkan, digantikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari barat. Sikap Genji ini dinilai sangat kontroversial dan kurang ajar oleh kelompok bangsawan dan generasi tua yang sangat mencintai tradisi samurai. Novel ini banyak mendapatkan pujian dan merupakan novel yang menarik karena memiliki alur cerita yang melampaui masa lalu dan masa depan.

Dalam novel Samurai ini banyak terdapat moralitas bushido yang muncul pada tokoh-tokoh Samurai yang dapat dijadikan wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya. Perwujudan moralitas bushido ini menarik penulis untuk mengangkat tema moralitas bushido dengan bahan rujukan yaitu novel Samurai Suzume no Kumo dengan judul “ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI SUZUME NO KUMO KARYA TAKASHI MATSUOKA”.


(11)

1.2. Perumusan Masalah

Sebagai landasan moral para bushi, diciptakanlah sebuah susunan peraturan tertentu yang disebut bushido (jalan hidup bushi). Ciri khas bushido pada umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah.

Perwujudan dari moralitas bushido ini banyak ditemukan dalam novel Samurai. Tokoh-tokoh samurai yang digambarkan dalam novel ini memiliki moralitas bushido yang sangat tinggi seperti keberanian, kesungguhan, kesetiaan, dan lain-lain.

Dari uraian latar belakang di atas diungkapkan masalah yang timbul dalam novel Samurai. Banyak terdapat moralitas bushido yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh dalam novel yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Masalah yang timbul dalam novel tersebut dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah moralitas bushido yang terdapat dalam novel Samurai Suzume no Kumo?

2. Bagaimanakah perwujudan moralitas bushido yang terdapat dalam novel Samurai Suzume no Kumo?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah


(12)

penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahannya yaitu pada hal yang berkaitan dengan bushido dan moralitas bushido yang terdapat dalam novel Samurai karya Takashi Matsuoka.

Analisis difokuskan kepada perwujudan moralitas bushido yang dilakukan oleh bushi terutama dilihat dari sikap, tingkah laku, serta ucapan tokoh-tokoh bushi yang terdapat dalam cerita ini.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Benedict (1982 : 335) mengatakan samurai adalah prajurit feodal yang yang berpedang dua. Bushido atau jalan hidup bushi menurut Kawakami dalam Bellah (1992 : 121) pada awalnya berkembang dari kebutuhan-kebutuhan praktis para prajurit, selanjutnya dipopulerkan oleh ide-ide moral Konfusius tidak hanya sebgai moralitas kelas prajurit tetapi juga sebagai landasan moral nasional. Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.

Benedict mengatakan bushido adalah tata cara samurai yang merupakan

sebuah perilaku tradisional yang ideal. Inazo Nitobe dalam Benedict mengatakan bushido adalah perpaduan antara kehormatan, kesopanan, kesetiaan dan pengendalian diri.

Suseno dalam Situmorang (1995 : 2) mengatakan bahwa moral adalah suatu pengukur apa yang baik dan apa yang buruk dalam kehidupan suatu masyarakat, sedangkan moralitas atau etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan


(13)

masyarakat bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.

Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitas yang bernilai secara moral. (Suseno,1987:58)

1.4.2. Kerangka Teori

Sebuah karya sastra sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Pengarang menciptakan karyanya sebagai pengungkapan dari apa yang telah dilaksanakan, disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung.

Secara umum, sastra terdiri atas jenis-jenis sastra yang amat bervariasi seperti misalnya drama, teater, puisi, roman, prosa, dan lain-lain. Salah satu hasil karya sastra berupa prosa ialah novel.

Novel merupakan karya sastra yang berupa prosa fiktif dalam panjang tertentu yang memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.

Karya sastra memiliki berbagai cara dalam melestarikan kebudayaan, yang secara keseluruhan dilakukan melalui sarana bahasa. Jepang merupakan negara yang selalu berusaha untuk memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Banyak sikap dan sifat orang Jepang yang berkaitan erat dengan nilai-nilai penting yang harus


(14)

dipertahankan di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Salah satunya adalah bushido yang masih tetap ada dan dilaksanakan oleh masyarakat Jepang meskipun tidak sama seperti halnya samurai yang hidup di zamannya.

Menurut Tsunetomo dalam Situmorang (1995 : 21), ciri khas bushido pada umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah.

Berdasarkan uraian di atas, dalam sebuah penelitian diperlukan suatu teori yang menjadi suatu acuan bagi penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Oleh karena itu, penulis menggunakan teori semiotika di dalam menganalisis karya sastra ini.

Hoed dalam Nurgiyantoro (1995 : 40) mengatakan bahwa semiotik adalah

ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan mata, bentuk tulisan , warna bendera, pakaian, karya seni : sastra, lukis, patung, fiksi, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita. Atau secara umum semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Berdasarkan teori semiotik di atas, maka penulis menginterpretasikan kondisi dan sikap para tokoh ke dalam tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah novel akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana yang mencerminkan moralitas bushido.

Selain menggunakan teori semiotika, penelitian ini juga menggunakan teori otonomi moral dari Immanuel Kant. Sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom


(15)

(dari kata Yunani, autos, sendiri). Otonomi moral berarti bahwa manusia menaati kewajibannya karena ia sendiri sadar. Jadi dalam memenuhi kewajibannya ia sebenarnya taat pada dirinya sendiri. Otonomi moral tidak berarti bahwa manusia menolak untuk menerima hukum yang dipasang orang lain, melainkan bahwa ketaatan kalau memang dituntut dilaksanakan karena manusia itu sendiri insaf. Manusia hidup dalam masyarakat bersama orang lain. Juga kerendahan hati untuk menerima bahwa kita menjadi bagian masyarakat dan bersedia untuk hidup sesuai aturan-aturannya.(Suseno,1987:45)

Inti penghayatan moralitas yang sebenarnya ialah bahwa manusia melakukan kewajiban bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena manusia itu sendiri menayadarinya sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggung jawab. Ia tidak tunduk secara buta terhadap suatu hukum yang ditimpakan kepadanya, melainkan karena ia sendiri menyetujui dan menghendakinya. Maka dalam menjalankan kewajiban ia tidak merasa merendahkan diri. Meskipun barangkali terasa berat, tetapi ia menyadarinya sebagai wajar dan perlu. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya bukan karena takut atau merasa tertekan, melainkan karena ia sendiri sadar, jadi menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan moralitas bushido yang terdapat dalam novel “Samurai Suzume no Kumo”.


(16)

2. Mendeskripsikan perwujudan moralitas bushido yang terdapat dalam novel ”Samurai Suzume no Kumo”.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini sekiranya nanti akan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu, antara lain yaitu :

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam novel Samurai Suzume no Kumo.

2. Bagi masyarakat luas pada umumnya dan para pelajar bahasa Jepang khususnya diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang konsep moralitas bushido yang telah berperan dalam memberikan kemajuan-kemajuan bagi masyarakat Jepang pada masa sekarang ini.

1.6. Metode Penelitian

Di dalam melakukan sebuah penelitian, tentulah dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu.

Metode deskriptif merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data.


(17)

Dengan metode tersebut peneliti akan menjelaskan moralitas bushido yang terdapat dalam novel Samurai Suzume no Kumo karya Takashi Matsuoka.

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah novel yang berjudul Samurai Suzume no Kumo karya Takashi Matsuoka yang diterbitkan oleh PT. Mizan Pustaka setelah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Bantam Dell Publishing Group di New York.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan membaca buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Selain itu penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara juga pemanfaatan buku-buku koleksi pribadi penulis.


(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MORALITAS BUSHIDO, NOVEL DAN SEMIOTIKA

2.1.Konsep dan Moralitas Bushido

Bushido adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuan. Para anak buah hanya mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi pada tuan. Hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu :

1. Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan (Situmorang, 1995 : 25).

Selain janji dengan tuan, anak buah tidak memperdulikan apapun. Janji pengabdian diri bagi tuan tidak ada duanya, tidak perlu memperdulikan nasehat Amaterasu Omikami. Walaupun akan jatuh ke neraka, walau mendapat hukuman dari Dewa, tidak ada pilihan lain kecuali mengabdikan diri bagi tuan. Pikiran seperti ini tdak memperdulikan benar-salah, untung-rugi, atau rasional-tidak rasional.

Konsep kesetiaan pengabdian diri bushi tercantum pada berbagai pasal dalam bab pertama dan bab kedua dari sebelas bab Hagakure. Buku Hagakure terdiri dari 1343 pasal setelah Yainnokandan (percakapan di tengah malam), yang merupakan pendahuluan dalam Hagakure.


(19)

Dalam bab I pasal 19 dijelaskan peringkat status yang harus diabdi oleh seorang bushi anak-buah yaitu mendahulukan mengabdi kepada tuan daripada kepada ayah dan juga daripada kepada dewa atau Buddha. Ditulis sebagai berikut:

Melaksanakan shiseigan (empat doa bushi) adalah kewajiban dalam Bushido. Adalah keharusan sebagai persiapan melakukan kekesatriaan dalam bertempur demi wilayah, harus berdiri untuk kepentingan tuan. Harus turut memikirkan kepentingan pemerintahan Han (wilayah tuan) disertai dengan keinginan supaya karo (wakil daimyo) tetap baik. Mendahulukan chu (pengabdian kepada tuan daripada ko (pengabdian terhadap orang tua).

Dalam bab I pasal 31, urutan yang harus disembah anak buah setiap pagi adalah sebagai berikut :

Pekerjaan sembah sujud setiap pagi, pertama-tama adalah sujud kepada tuan, kemudian sujud kepada ayah, sujud kepada dewa keluarga, baru sujud kepada Buddha. Jikalau mengutamakan tuan, ayah akan gembira, dewa keluarga dan Buddha pun menyetujuinya. Jangan memikirkan yang lain lebih penting daripada tuan. Kalau ada sesuatu kesusahan tidak boleh lupa kepada tuan. Wanita mengutamakan suami, dan suami mengutamakan tuan.

2.1.1. Konsep Bushido

Kekuasaan keshogunan Tokugawa pada zaman Edo meliputi seluruh wilayah Jepang termasuk para daimyo yang menjadi musuh dalam perang Sekigahara dan juga termasuk menguasai pemerintah kuil dan kekaisaran. Untuk kebutuhan sarana integrasi atau sarana legalisasi kekuasaan tersebut pemerintah Tokugawa mengadopsi pemikiran baru yang didasarkan pada Konfusionis. Untuk melaksanakan tugas mengadopsi pemikiran baru tersebut, pemerintah Tokugawa menugaskan para kangakusha (pemikir dari pemerintahan) untuk merumuskan dan mengajarkannya di kalangan bushi dan para daimyo (de Bary dalam Situmorang : 1995, 44).


(20)

Pada tahun 1605, Tokugawa Ieyasu menunjuk Hayashi Razan sebagai seorang Kangakusha untuk mengajarkan Konfusionis di kalangan daimyo dan juga para bushi di keshogunan. Hal ini adalah karena Iemitsu merasa bahwa pemikiran Razan lebih tepat diajarkan kepada para daimyo dan bushi. Razan dan murid-muridnya beraliran sushigaku, yaitu suatu aliran konfusionis yang diajarkan Sushi pada zaman dinasti Sung di China. Para kangakusha menyebutnya dengan Dogaku (pelajaran moral) atau Rigaku (pelajaran budi pekerti) atau disebut juga dengan seirigaku (pelajaran kehidupan). Dogaku (ilmu tentang moral) pada zaman Edo berpusat pada pelajaran akan kesadaran perbedan status tuan dan pengikut, ayah dan anak, suami dan isteri dan hubungan atas bawah lainnya., sehingga tuan menjadi benar-benar tuan dan pengikut menjadi pengikut yang baik (Okada dalam Situmorang, 1995 : 44).

Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995:44), pemikiran ini disebut dengan gorin. Gorin artinya 5 macam etika tentang kesadaran, yaitu pengabdian pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat. Untuk kepentingan penerapan pemikiran ini pula, maka agama Kristen dilarang, karena agama tersebut mengajarkan kesamaan kedudukan di hadapan Tuhannya. Itu pulalah salah satu alasan diadakannya seklusi (penutupan negeri bagi dunia luar) pada zaman Edo di Jepang. Pemikiran kesadaran terhadap gorin tersebut dirumuskan dalam shido.

Oleh karena itu tugas kangakusha adalah membuat rumusan shido, yaitu bagaimana seharusnya jalan hidup bushi dalam zaman Edo. Shido adalah jalan hidup bushi dalam struktur masyarakat shi, no, ko, sho. Bushi (shi) adalah golongan tertinggi dalam masyarakat, ke dalamnya termasuk juga para pekerja administrasi pemerintahan


(21)

dan keshogunan (bakufu), dan di kedaimyoan (pemerintahan wilayah). Dalam zaman Edo, shi (bushi) disebut juga sebagai guru masyarakat, yang merupakan golongan yang menjadi teladan di masyarakat. Oleh karena itu para kangakusha (pemikir pemerintahan keshogunan) harus memikirkan mana shido (jalan hidup bushi) yang cocok dengan sistem Edo untuk keperluan tercapainya keamanan pada pemerintahan Tokugawa.

Karena prinsip gorin dalam ajaran konfusius yang beraliran shushigaku menunjukkan perbedaan status berbagai kedudukan masyarakat, sehingga cocok untuk memantapkan stratifikasi sosial shi, no, ko, sho, maka ajaran ini dianggap memantapkan kesadaran akan takdir bagi masyarakat sehingga pada gilirannya memantapkan sistem penghambatan mobilitas golongan di dalam masyarakat dan dirasa cocok sebagai landasan moral feodalis (de Bary dalam Situmorang,1995: 45).

Tetapi walaupun demikian para kangakusha tidak berhasil menyusun suatu konsep bushido baru (shido) yang didasarkan pada prinsi gorin tersebut. Karena itu, atas desakan kebutuhan tersebut tampil seorang Minkan Gakusha (pemikir yang berasal dari kalangan swasta) yang bernama Yamaga Soko.

Yamaga Soko mengatakan, ketidakberhasilan para kangakusha adalah karena mereka tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan Konfusianisme, padahal kedua ajaran tersebut menurutnya sangat kontradiksi. Karena para kangakusha tersebut adalah pendeta-pendeta Buddha di kuil Gozan, mereka tidak dapat menerima ajaran konfusionis pada zaman Edo. Yamaga Soko berhasil menulis shido (jalan hidup bushi) yang ditulis dalam sebagian bukunya yang berjudul “Yamaga gorui”. Di dalam buku ini, bab mengenai shido ada sebanyak 11 bab. Bukunya yang menguraikan konsep shido ini menjadi pelajaran bushi versi pemerintah Tokugawa. Karena ini pula para kangakusha


(22)

sempat membenci Yamaga Soko, tetapi karena konsep shidonya tersebut sangat fungsional dalam sistem Edo maka namanya terangkat sebagai pemikir shido pada zaman Edo.

Yamaga Soko cepat dikenal di kalangan keshogunan karena pada masa shogun pertama Ieyasu berkuasa, ia sempat diizinkan belajar di istana keshogunan atas permintaan ibu yang menyusuinya Iemitsu waktu bayi yang bernama Kasuga no Tsubone.

Di dalam konsep shido yang diajarkan oleh Soko titik beratnya ialah penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan terhadap tuan dan jalan hidup anak buah secara mendetail.

Menurut Soko, ada 10 sikap yang harus dimiliki oleh bushi di dalam mewujudkan moral shido tersebut.

1. menjaga perasaan

2. mempunyai kebebasan hati 3. mempunyai harapan

4. kemurahan 5. kecerahan

6. membicarakan giri

7. menerima takdir jiwa pasrah 8. hidup jernih

9. kejujuran


(23)

Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko (Watsuji, dalam Situmorang, 1995:54), harus diterapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai berikut :

1. mengupayakan chuko (kesetiaan pengbdian terhadap tuan dan terhadap ayah) 2. mengutamakan jinggi (kemanusiaan)

3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam 4. mempelajari tulisan

Kemudian Soko ( Watsuji dalam Situmorang, 1995:55) mengatakan bushi harus mempertahankan igi (kesan atau penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara berpakaian, cara makan, dan tempat tinggal”. Karena menurutnya, luar adalah gambaran isi, jikalau isi benar, maka luar pun akan benar.

Pengertian igi adalah :

1. cara pandang terhadap yang dilihat dan didengar 2. etiket dalam berbicara

3. memperhatikan yobo (tampang)

Igi bushi juga diterapkan dalam tata krama makan, pakaian dan tempat tinggal. Untuk melihat secara keseluruhan aturan kehidupan bushi sebagai shido adalah berpusat dalam masalah etika. Hal ini merupakan penerapan gorin sebagai ideologi yang merupakan moral secara keseluruhan yang meliputi penunjukan fungsi seluruh benda dalam kehidupan bushi sehari-hari.

Dalam tata krama makan harus diperhatikan hubungan atas bawah, cara makan diatur oleh pemikiran gorin. Dalam hal berpakaian pun demikian, pakaian menunjukkan ranking sosial, oleh karena itu harus disesuaikan dengan kesadaran akan pemikiran gorin.


(24)

Dalam igi bushi tersebut selain menunjukkan perbedaan golongan juga menunjukkan perbedaan status seperti tuan atau pengikut, ayah atau anak dan lainnya. Dalam sistem tempat tinggal pun juga harus menunjukkan golongan, walau kaya tidak boleh mempunyai rumah yang melebihi ukuran mibunnya (golongan).

Watsuji (dalam Situmorang,1995:57) mengatakan, dengan demikian jelas kelihatan bahwa shido muncul dari pemikiran kangakusha yang muncul dari pengalaman dari zaman Sengoku Jidai (masa perang seluruh negeri). Hal inilah yang mendorong Ieyasu untuk mengambil jugaku (konfusionis) sebagai pendidikan, politik, dengan tujuan supaya negara aman.

Dalam masyarakat Edo, bushi sering dikatakan sebagai pemelihara moralitas, karena pekerjaan bushi bukan mengolah, bukan berdagang dan bukan berperang. Di dalam masyarakat yang damai karena tidak ada perang maka bushi menjadi penganggur. Oleh karena itu dalam ajaran shido dikatakan bahwa bushi harus menyadari eksistensinya sebagai hati di dalam badan. Bushi adalah sebagai guru masyarakat.

2.1.2. Moralitas Bushido

Bushido, Jalan Prajurit, sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilai-nilai dan etika masa Tokugawa atau masa Jepang modern. Ini disebabkan karena bushi atau samurai merangkum atau dianggap merangkum nilai-nilai dasar orang Jepang, dan juga karena baik pada masa Tokugawa maupun zaman modern etika bushido atau paling tidak sebagian besar darinya telah menjadi etika nasional (Bellah:1985,121). Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas.


(25)

Istilah bushido yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai mencakup sejumlah pandangan yang luas dari rentang waktu yang panjang. Tingkah laku yang umum berlaku berkisar mulai dari kekhawatiran yang hampir-hampir mistis akan kematian sampai pada kepedulian terhadap pemenuhan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari pandangan yang sangat militeristik sampai yang sangat sipil, dari kaitan yang erat dengan neo-Konfusianisme. Pada masing-masing hal tersebut kecenderungan pertama pada umumnya berasal dari masa yang lebih dahulu dan yang ke dua menjadi makin berpengaruh pada era tokugawa. Tetapi generalisasi semacam ini tidak berlaku untuk semua (Bellah : 1985, 122).

Sikap terhadap kematian sangat erat berkaitan dengan kondisi mistis di mana orang mengatasi kehidupan dan kematian. Dengan bertekad untuk mati, kematian tidak akan menyakitkan. Keakuan dihilangkan. Sikap-sikap semacam ini berkaitan dengan minat para samurai yang besar terhadap Buddhisme Zen. Mengalami kematian ketika sedang mengabdi pada pangeran dianggap sebagai akhir yang paling layak bagi seorang samurai (Bellah : 1985, 125).

Perintah untuk bersikap lurus dan memenuhi kewajiban ditambah dengan ketaatan mutlak seringkali ditekankan. Perlu diperhatikan bahwa seorang anak laki-laki seorang hamba berkewajiban untuk mengingatkan ayah atau tuannya jika dirasa mereka salah, tetapi dia sama sekali tidak boleh menentang atau tidak mematuhi mereka, dan harus dengan suka rela menerima kematian yang tidak adil jika memang mereka menghendaki demikian (Bellah, 1985:127).

Sesuatu yang selaras dengan pengabdian tanpa pamrih, yang kita ketahui merupakan kewajiban tertinggi, dan pelaksanaan akhir kewajiban seseorang sebagai


(26)

samurai, adalah suatu gaya hidup yang nyaris asketis. Akibatnya samurai diharuskan untuk hidup secara sederhana, menahan diri dan ugahari (Bellah, 1985:127).

Dua hal yang nampaknya paling penting dalam cara hidup yang cenderung asketis ini yaitu, sikap ugahari dan rajin. Ugahari atau sikap hemat adalah kewajiban untuk mengurangi konsumsi individual sampai seminimum mungkin dan sikap rajin adalah kewajiban untuk meningkatkan sumbangan seseorang dalam pengabdiannya kepada pangeran secara maksimum. Sikap rajin dalam melaksanakan kewajiban dinilai sangat tinggi sebagaimana dicerminkan dalam arti dasar eksistensi samurai (Bellah, 1985:131).

Masih ada lagi satu ciri etika samurai yaitu penghargaan yang sangat tinggi terhadap pencarian ilmu (gakumon). Hampir semua samurai terpelajar dan pernah membaca paling tidak beberapa buku klasik Konfusian. Tetapi belajar bukanlah untuk tujuan belajar itu sendiri. Tujuannya adalah pengembangan diri dan untuk menguasai orang lain. Pengetahuan dan tindakan bernilai sama. Penerapan dari apa yang diketahui dan hasilnya bukanlah dua hal tetapi satu.

Selain tuntunan-tuntunan di atas, tuntunan yang ditujukan kepada samurai perempuan yang mempunyai banyak persamaan dengan norma-norma Bushido bagi laki-laki adalah bushido untuk perempuan (Bellah,1985:132).

Sebagaimana kenyataan bahwa samurai menaati norma-norma yang ditetapkan untuk mereka, norma-norma itu pada kenyataannya merupakan sistem nilai yang sentral bagi orang Jepang. Militer merupakan satu aspek yang dianggap penting. Mengabdikan diri dalam militer merupakan profesi yang paling tepat melambangkan perwujudan nilai-nilai yang berorientasi kepada pencapaian tujuan. Pengabdian semacam ini melambangkan pengabdian yang tanpa pamrih kepada kolektivitas dan pimpinannya,


(27)

bahkan jika perlu dengan mengorbankan nyawa. Kematian dalam konteks militer memang dikaitkan dengan pengabdian semacam ini. Walaupun samurai memang dapat dikatakan sebagai yang terbaik dalam mewujudkan norma-norma ideal, pada kenyataannya morma-norma itu tidak terbatas hanya berlaku di kalangan mereka saja. Dikatakan bahwa, kelas pedagang misalnya, juga telah terbushidokan dan pada kenyataannya bukan hanya kelas pedagang saja yang mengalami hal itu. Pada dasarnya semua bukti yang ada tentang sekte-sekte rakyat dan gerakan-gerakan etika menunjukkan bahwa mereka mengajarkan etika yang sama dengan etika bushido. Semuanya menekankan kesetiaan dan ketaatan kepada orang tua, sikap patuh dan lurus, hemat dan rajin. Semua menuntut pengabdian tanpa pamrih kepada atasan, keterbatasan konsumsi sampai garis minimal, dan pelaksanaan tugas dan kewajiban sehari-hari sebaik dan sesempurna mungkin.

Pada bagian terakhir masa Heian, terjadi perubahan-perubahan yang mempunyai akibat besar terhadap perkembangan sejarah Jepang selanjutnya, yaitu terbentuknya sistem feodal yang menghasilkan kaum samurai atau bushi yang mempunyai peranan penting dalam sejarah Jepang, bahkan hingga kini terasa pengaruhnya. Terjadi aristokrat lokal atau samurai, juga menyebabkan timbulnya satu golongan militer tersendiri, lepas dari kekuasaan pemerintahan pusat. Golongan samurai atau bushi di Jepang adalah sebagai kaum pejuang perang dan sekaligus sebagai golongan penegak administrasi (Suryohadiprodjo : 1981,13).

Timbulnya kaum samurai di satu pihak dan semakin melemahnya pemerintah pusat di pihak lain, menyebabkan jatuhnya kekuasaan Heian. Di pemerintah pusat terjadi sengketa antara golongan yang satu dengan yang lain, dan karena mereka tidak


(28)

mempunyai kesatuan pengawalan sendiri, masing-masing golongan kemudian minta bantuan dari samurai. Di satu pihak dibantu oleh kaum samurai Taira, sedanglan di pihak lain dibantu oleh kaum Minamoto (Suryohadiprodjo,1981:14).

Kemudian, dalam pemerintah Tokugawa, Jepang kembali memperhatikan ajaran-ajaran yang berasal dari China seperti ajaran-ajaran Konfusius. Ajaran inilah yang melahirkan bushido ke dalam kehidupan bangsa Jepang. Bushido atau “jalannya kaum bushi” merupakan penyatuan prinsip-prinsip kesetiaan dan keberanian seorang militer dengan sikap moral yang tinggi yang diajarkan Konfusius. Bushido inilah yang menjadi pedoman hidup samurai (Suryohadiprodjo:1981,20).

Bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “kekuasaan yang absolut”. Melalui meditasi, kaum samurai berusaha mencapai tingkat berpikir yang lebih tinggi dari ucapan verbal. Di samping itu, kepercayaan shinto mengajarkan kesetiaan, kepada yang berkuasa, sehingga mentralisasi (kemungkinan) sifat sombong seorang pejuang militer. Kepercayaan Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada Negara dan Tenno. Ia tidak mengenal ajaran dosa (sin), tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga diri. Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memperhatikan : (1) kejujuran, (2) keberanian, (3) kemurahan hati, (4) kesopanan, (5) kesungguhan, (6) kehormatan atau harga diri, dan (7) kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri (Suryohadiprodjo : 1981,49).

Dalam alam pikiran yang berhubungan dengan Bushido seorang samurai, hidup dan mati bukanlah dua keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi


(29)

oleh keharusan-keharusan yang tercantum dalam Bushido. Karena itu, kalau ia merasa tidak dapat mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih keadaan mati. Apabila kehormatan seorang samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak ragu-ragu untuk bunuh diri atau dinamakan seppuku. Buat samurai, seppuku bukanlah peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan kelembagaan yang legal dan seremonial. Sebenarnya istilah harakiri (artinya memotong perut) bukanlah sebutan yang tepat, karena hanya menggambarkan perbuatannya.

Bushido tidak dapat dipisahkan dari sikap samurai dalam menjalankan kepercayaannya. Umumnya kaum samurai menganut dan menjalankan kepercayaan Zen, maka berdasarkan pendalamannya itu, timbul suatu sikap yang senantiasa mencari harmoni dengan alam semesta, khusunya dengan alam lingkungan.

Alam pikiran dan dan perasaan bushido memberikan tekanan pada segi mental spiritual di atas segi lahiriah dan material tidak dapat diabaikan, namun yang dianggap menentukan dalam mencapai hasil adalah aspek mental. Sebagai contoh, dalam keprajuritan, mutu dari pedang adalah penting, tetapi yang menentukan keampuhannya adalah ketenangan, kemampuan memusatkan pikiran dan tekad untuk menang. Oleh karena itu, keparajuritan dalam Bushido tidak hanya meliputi kemampuan lahiriah, tetapi jug sangat mementingkan latihan meditasi untuk memperkuat mental (Suryohadiprodjo, 1981:50).

2.1.3. Tindakan Bushi Sebagai Perwujudan Moralitas Bushido

Bushido (jalan hidup bushi) yang ada di Jepang sebelum dipengaruhi oleh ajaran shido dari Tokugawa, telah ada semenjak adanya bushi di Jepang yang disebut dengan


(30)

bushido lama. Ciri khas bushido lama ini berbeda-beda di setiap daerah. Bushido lama yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya ini, gejalanya paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) yang sering dilakukan anak-buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya (Situmorang, 1995:21).

Watsuji dalam Situmorang (1995:21) mengatakan, penyebab yang mendorong pengikut yang dekat dengan tuan melakukan junshi, adalah karena di dalam ie terjadi jalinan hubungan yang sangat erat antara tuan dan pengikut yang telah berlangsung dari generasi ke generasi antara tuan dan anak buah. Karena itu anak buah berpikiran bahwa segala sesuatu yang diterimanya selama hidup merupakan on (budi) dari tuan, yang harus dibayar dengan chu (penghormatan terhadap tuan), yang diwujudkan dengan giri (balas budi). Hal ini diperkuat oleh pandangan ajaran Buddha Zen, yang dianut oleh para bushi waktu itu, bahwa perjalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian tuan menuju raise (dunia setelah mati). Ini diperkuat lagi dengan adanya pandangan akan reinkarnasi yang dipercaya oleh para bushi, sehingga timbullah cita-cita bushi untuk menjadi abdi tuan selama 7 kali dalam siklus hidup dan mati dalam pandangan Buddha tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan tumbuhnya sikap pengabdian anak buah terhadap tuan yang melewati batas hidup dan mati. Pemikiran bushido lama ini lahir pada zaman Kamakura dan Muromachi yang hidup di masyarakat bushi hingga zaman Edo.

Dalam bushido lama, seorang bushi harus melakukan balas dendam seketika di tempat, tidak menunggu waktu, tidak perlu memikirkan benar salah. Anak buah wajib membalaskan dendam tuan. Selain itu demi nama ie dan demi harga diri sendiri, ia wajib


(31)

membunuh orang yang menjadi musuh sesegera mungkin di tempat. Cara berpikir seperti ini menurut Watsuji dalam Situmorang (1995:24) adalah suatu cara berpikir bushi yang telah hidup di masyarakat semenjak zaman Kamakura.

2.2. Definisi Novel

Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam pula. Namun ukuran luas di sini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang perspektif, setting dan lain-lainnya hanya satu saja.

Kata novel berasal dari bahasa Italia yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Novel dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara imbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. Dalam jenis novel ini digarap hampir semua tema, dan sebagian besar novel termasuk jenis ini.

Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita disebut dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan. Jenis novel petualangan adalah “bacaan kaum pria” karena tokoh-tokoh di dalamnya pria dan dengan sendirinya melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tak ada hubungannya dengan wanita. Meskipun dalam jenis novel petualangan ini sering ada


(32)

percintaan juga, namun hanya bersifat sampingan belaka. Artinya, novel itu tidak semata-mata berbicara persoalan cinta.

Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini mempergunakan karakter yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep, dan, gagasan sastrawannya yang hanya dapat jelas kalau diutarakan dalam bentuk cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Penggolongan tadi merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam praktek ketiga jenis novel tadi sering dijumpai dalam satu novel. Penggolongan jenis novel ini dengan sendirinya hanya dapat dilakukan dengan melihat kecenderungan mana yang terdapat dalam sebuah novel, apakah lebih banyak percintaannya, petualangannya atau fantasinya.

2.3. Definisi Semiotik

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz dalam Ratna (2004:97) semiotika berasal dari kata seme (bahasa Yunani), yang berarti penafsir tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berasal dari studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.


(33)

Halliday dalam Ratna (2004:98) menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanyalah salah satu bidang di dalamnya. Ilmu tanda-tanda menganggap fenomena masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.

Peletak dasar teori semiotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik.

Semiotik model Saussure bersifat semiotik struktural sedangkan semiotik model Peirce bersifat analitis. Yaitu memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting.

Jadi dapat disimpulkan bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda dan ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sebuah tanda. Kemudian semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Di dalam ilmu semiotik, tanda memiliki dua aspek yang penting yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk normalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya. Contohnya, kata “ibu” merupakan tanda satuan bunyi yang menandai arti : “orang yang melahirkan kita”.


(34)

Tanda itu tidak satu macam saja., tetapi ada beberapa macam berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya. Misalnya, asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvenisi. “Ibu” adalah simbol artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia).


(35)

BAB III

ANALISIS MORALITAS BUSHIDO DALAM NOVEL SAMURAI SUZUME NO KUMO

3.1. Sinopsis Cerita

Novel Samurai Suzume no Kumo, di awali dengan datangnya para misionaris dari Amerika untuk menyebarkan firman Tuhan “Injil”, mereka adalah Pendeta Cromwell, Emilly dan Matthew Stark. Kedatangan mereka di sambut oleh bangsawan agung Akaoka dari klan Okumichi bernama Genji. Klan Okumichi bermusuhan dengan shogun yg menjadi penguasa pada saat itu. Klan Okumichi mempunyai samurai-samurai yang hebat. Mereka sangat ditakuti. Selain itu, setiap generasi klan Okumichi dipercayai mempunyai kemampuan untuk meramal masa depan. Kakek Genji, paman Genji “Shigeru” dan Genji sendiri pada generasinya.

Lord Genji, seorang samurai yg tampan, berpikiran terbuka, dan baik hati, adalah tokoh utama di novel ini. Dia berjuang melawan Kawakami si musuh bebuyutan, yg ingin menumpas habis seluruh keturunan klan Okumichi. Walaupun Genji bukanlah seorang samurai yang jago bermain pedang dan bertempur, tapi dia mempunyai kharisma, wibawa dan samurai-samurai yang hebat di sekelilingnya. Salah satunya adalah Paman Shigeru. Seorang samurai dengan kekuatan hampir menandingi Musashi sang legenda. Begitulah yang digambarkan di novel ini.


(36)

Cuplikan (Hal. 53)

“Kita adalah samurai klan Okumichi,” kata Taro, memotong-motong acar lobak menjadi potongan kecil siap santap. “Adalah tugas kita untuk mematuhi tuan kita apapun perintahnya.”

“Memang benar,” balas Mune, “tetapi bukankah tugas kita juga untuk melakukannya dengan gembira?”

Yoshi mendengus lagi, tetapi dia mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dapur.

“Ketika seorang pemanah tidak mengenai sasarannya,” kata Taro mengutip Konfusius, “Dia melihat ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui apa yang salah. Bukan tempat kita untuk mengkritisi atasan kita.” Dia meletakkan sup dan acar di atas nampan bersama semangkuk kecil nasi. Ketika Taro keluar dapur, Mune mencuci kuali, berhati-hati agar kuali-kuali itu tidak saling berbenturan.

Analisis

Dalam cuplikan di atas terdapat suatu indeksikal dari adanya suatu moralitas bushido. Yaitu perkataan samurai yang menyatakan kesadaran bahwa tugas samurai adalah mematuhi tuan apa pun perintahnya. Moralitas bushido salah satunya bersumber dari Konfusianisme yaitu ajaran Konfusius dari China yang berupa ajaran moral hubungan kemasyarakatan. Dalam cuplikan di atas terdapat kutipan dari ajaran Konfusius yaitu “Ketika seorang pemanah tidak mengenai sasarannya, dia melihat ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui apa yang salah”. Kutipan Konfusius ini bermakna bahwa samurai tidak boleh mengkritisi atasan melainkan harus introspeksi diri.


(37)

Sehingga dari cuplikan di atas, dapat disimpulkan adanya moralitas bushido yaitu patuh kepada tuan dan tidak boleh mengkritisi atasan.

Cuplikan (Hal. 72-73)

Saiki membungkuk,”Tuanku, kebodohan hamba membuat hamba tak bisa melihatnya. Hamba akan mempelajari masalah ini.”

Genji mengeluh putus asa.”Kalau begitu, ayo kita berangkat sebelum matahari terbenam.”

“Tuanku bergurau lagi,”kata Saiki. ”Matahari baru saja terbit.” Dia melangkah ke depan, membungkuk dan menutup pintu joli. Para penandu berdiri. Dan, prosesi itu mulai bergerak.

Dari jendela joli, Genji bisa melihat delapan samurai yang berbaris dalam barisan ganda. Jika dia melihat ke belakang, dia akan melihat dua belas samurai lagi. Dua samurai ada di sebelah kiri joli, dan dua lagi termasuk Saiki, ada di sebelah kanannya. Dua puluh empat orang, dua puluh delapan jika para penandu dihitung, siap berkorban jiwa untuk melindungi nyawanya. Pengabdian dramatis seperti itu mengiringi setiap tindakan seorang bangsawan agung, tak peduli betapa tidak penting dan sepelenya tindakan sang bangsawan. Tak heran masa lalu Jepang penuh dengan kucuran darah dan masa depannya penuh dengan bahaya.

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat indeksikal dari moralitas bushido, yaitu hal yang dilakukan oleh samurai kepada tuan mereka untuk mengawal dan menjaga Genji ketika mengadakan perjalanan yang siap berkorban jiwa untuk melindungi nyawanya.


(38)

Moralitas bushido yang terdapat dalam cuplikan di atas adalah kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan. Pengabdian semacam ini melambangkan pengabdian yang tanpa pamrih kepada pimpinannya, bahkan jika perlu dengan mengorbankan nyawa.

Berdasarkan cuplikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa samurai-samurai dalam cuplikan ini memiliki moralitas bushido, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan.

Cuplikan (Hal. 227)

“Ya tuanku,” kata Sohaku. “Kami telah tiga kali berusaha menangkapnya kembali. Pada usaha pertama saya mendapat ini.” Sohaku menunjuk pada bengkak yang melintang di dahinya. “Jika dia betul-betul menggunakan pedang dan bukan pedang kayu, hamba pasti terselamatkan dari rasa malu untuk menyampaikan laporan kegagalan ini pada Anda.”

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dikatakan bahwa Sohaku adalah indeksikal dari samurai yang memiliki moralitas bushido yaitu rasa malu Sohaku kepada tuannya karena telah mengalami kegagalan dalam usaha penangkapan Shigeru, paman Genji yang memiliki gangguan jiwa pada saat itu. Sehingga apabila ia mati jika Shigeru menggunakan pedang untuk melawannya, maka ia terselamatkan dari rasa malu kepada tuannya.


(39)

Cuplikan (Hal. 237)

Saat Shigeru menggantungkan kedua pedang itu di pedangnya, Sohaku mengubah sedikit posisi duduknya. Sehingga, jika Shigeru menebaskan pedangnya ke Genji, dia bisa melemparkan diri di antara Genji dan Shigeru. Ini akan memberi kesempatan kepada Hide dan Shimoda, dua samurai lain yang bersenjata di situ untuk membunuh Shigeru, jika mereka bisa. Atau setidaknya, keduanya menghalanginya, dan para rahib dapat mengeroyoknya. Sebelum Shigeru mencapai Genji. Meski Sohaku adalah rahib kepala di kuil Zen, dia tidak menemukan ketenangan di dalam Zen. Zen mengajarkan seseorang bagaimana caranya hidup dan mati. Agama itu sama sekali tidak menyinggung kehidupan setelah mati. Kini, saat dia bersiap berdiri untuk menginggalkan dunia ini, Sohaku mengucapkan doa dalam kepercayaan Buddha Honganji di hatinya. Namu Amida Butsu. Semoga rahmat Buddha Cahaya Sejati menyinariku. Semoga Buddha Penuh Kasih menunjukkan jalanku ke tanah murni. Bahkan saat dia berdoa, Sohaku waspada mengawasi setiap langkah Shigeru menuju tempat duduk junjungan mereka.

Analisis

Pada cuplikan di ats terdapat sebuah indeksikal dari moralitas bushido. Hal itu tercermin dari perilaku Sohaku, yaitu ketika Shigeru menggantungkan kedua pedang di pinggangnya, Sohaku mengubah sedikit posisi duduknya sehingga jika Shigeru menebaskan pedangnya ke Genji, dia bisa melemparkan diri di antara Genji dan Shigeru. Ini akan memberikan kesempatan kepada dua samurai lain yang bersenjata di situ untuk membunuh Shigeru jika mereka bisa.


(40)

Dari peristiwa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cuplikan di atas adalah suatu indeksikal dari moralitas bushido yaitu mengabdikan diri jiwa dan raga kepada tuannya.

Cuplikan (Hal. 266)

“Tindakanmu selama perjalanan ke sini patut diteladani,” kata Genji. “Aku terkesan oleh keahlian dan keberanianmu. Tetapi, utamanya aku terkesan pada sifatmu yang tegas dan cepat dalam membuat keputusan. Di zaman yang serba tak menentu ini, seorang samurai yang tidak ragu-ragu adalah benar-benar samurai sejati.”

“Saya tak pantas dipuji seperti itu,” kata Hide, membungkuk lagi. Meski dia mengucapkan kata-kata yang menunjukkkan kerendahan hati, dia tetap merasakan timbulnya rasa bangga di dadanya. “Kamu tak berhak berkata seperti itu,” kata Shigeru. “Ketika tuanmu bicara, kamu hanya boleh diam, berterima kasih, meminta maaf, atau patuh sesuai dengan perintahnya. Itu saja.”

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat indeksikal moralitas bushido yang dilakukan oleh Hide kepada Genji. Perilaku Hide yang merupakan moralitas bushido adalah keberanian. Seorang samurai harus memiliki sifat pemberani dan bukannya penakut. Seorang samurai juga harus memiliki sikap rendah hati, dan tidak sombong. Selain itu jika tuan sedang berbicara maka samurai hanya boleh diam, berterima kasih, meminta maaf, atau patuh sesuai dengan perintahnya.


(41)

Cuplikan (Hal.271)

“Bukan wewenangku untuk bicara,” jawab Hide. Tenggelam dalam pikirannya lagi, dia tahu dia telah menemukan asisten pertamanya. Meski keahlian pedang Shimoda biasa-biasa saja dan payah di perkelahian tanpa senjata, tak seorang pun samurai di klan bisa mengalahkannya dalam menggunakan busur dan panah, senapan atau pistol, baik diam ataupun di atas kuda. Dan yang juga penting, dia jujur dari dalam hatinya. Jika dia berjanji, dia pasti akan menepatinya meski dia harus kehilangan nyawanya.

Analisis

Dari cuplikan di atas, indeksikal moralitas bushido yang dilakukan oleh tokoh cerita, yaitu moralitas bushido yang dimiliki Shimoda. Ia memiliki kejujuran. Selain itu dia juga tepat janji walaupun dia harus kehilangan nyawanya.

Cuplikan (Hal. 289-290)

Badan Shigeru mengeras dan kaku. Dia mulai gemetar, sedikit pada awalnya lalu menjadi semakin keras dan semakin keras, sehingga dia terlihat seperti kejang-kejang yang parah. Akhirnya, teriakan pedih tertahan keluar dari mulutnya dan dia terjatuh ke lantai menangis tersedu-sedu.

Hamba mengerti, Tuanku”. Sikap Shigeru kembali sangat formal. Dia bergantung pada protokol resmi untuk menguasai diri dari emosi. “Kapanpun anda menghendaki, hamba akan menjawab pertanyaan Anda sebaik yang hamba bisa.”

Analisis

Pada cuplikan di atas, Shigeru dapat dikatakan sebagai indeksikal dari orang yang memiliki moralitas bushido. Dikatakan demikian, karena Shigeru berhasil menguasai diri


(42)

dari emosi. Bushido mengandung keharusan samurai seorang samurai untuk senantias memperhatikan kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan dan kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri terutama pengendalian diri terhadap emosi.

Cuplikan (Hal. 347)

“Kesetiaanku adalah pada Okumichi no kami Genji, Bangsawan Agung Akaoka,” kata Saiki, “Bukan perampas kekuasaan yang menyombongkan gelar Shogun dan menduduki Istana Shogun.” Dia membungkuk dan berdiri. “Jika tuanku memerintahkanku untuk mematuhi orang itu, hanya kematianku yang dapat mencegahku melaksanakan tugas itu. Aku tahu siapa diriku. Aku yakin kalian juga tahu siapa diri kalian.”

Analisis

Dalam cuplikan di atas Saiki adalah indeksikal dari orang yang memiliki

moralitas bushido. Saiki bersumpah setia kepada atasannya yaitu Genji, Daimyo Akaoka. Kemudian Saiki juga mengatakan bahwa jika tuannya memerintahkanmya untuk

membunuh orang, maka hanya kematiannyalah yang dapat mencegahnya melaksanakan tugas itu.

Dari perkataan Saiki dapat diindeksikalkan sebagai moralitas bushido yaitu mengabdikan diri bagi tuan. Para anak buah hanya mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi kepada tuan.


(43)

Cuplikan(Hal. 356)

Hide berkata, “Tanggung jawab hamba adalah menjaga keselamatan Anda. Saya tidak bisa begitu saja pergi karena kekhawatiran pribadi.”

Analisis

Dari cuplikan di atas yang merupakan indeksikal moralitas bushido adalah perkataan Hide yaitu tanggung jawabnya adalah menjaga keselamatan tuannya dan keselamatan tuannya di atas kepentingan pribadinya.

Cuplikan (Hal. 362-363)

Tetapi, Hide tidak bisa membiarkan dirinya hanyut oleh pikiran seperti itu. Dia tak boleh meragukan diri sendiri. Junjungannya telah menganugerahinya jabatan itu. Meragukan kemampuannya melaksanakan tugas sama saja dengan meragukan keputusan junjungannya. Kesetianan menuntut dirinya untuk selalu percaya diri karena junjungannya telah mempercayai dirinya. Ketika dia melakukan kesalahan, dia harus berusaha memperbaiki diri, untuk menjadi orang yang diharapkan junjungannya. Itu adalah kewajibannya. Hide berdiri. Tegap dan percaya diri.

Analisis

Dari cuplikan di atas terlihat indeksikal dari moralitas bushido yaitu kepercayaan diri. Seorang samurai harus memiliki kepercayaan diri karena kesetiaan menuntut diri setiap samurai untuk percaya diri. Dan seorang samurai apabila melakukan kesalahan, maka dia berkewajiban untuk memperbaiki diri, untuk menjadi apa yang diharapkan junjungannya.

Jadi dari cuplikan di atas dapat dikatakan bahwa indeksikal dari moralitas bushido adalah kepercayaan diri.


(44)

Cuplikan (Hal 364-365)

“Karena aku adalah pelayan rumah tangga di klanmu. Kamu berkewajiban melindungiku. Bahkan dengan nyawamu jika diperlukan.”

Hide memandang reruntuhan istana di sekelilingnya. Ya, kalau tak salah persis di tempat ini pertemuannya dengan Hanako terjadi bertahun-tahun lalu. Dia memandangi tanah sebagaimana dia memandanginya dahulu. Saat itu Hanako hanyalah seorang anak kecil, tetapi dia berani mengingatkan Hide akan hal yang tak pernah dia lupakan. Seorang samurai adalah seorang pelindung, bukan tukang gertak yang sombong.

Analisis

Dari cuplikan di atas, terdapat peristiwa yang menunjukkan adanya indeksikal dari moralitas bushido. Peristiwa yang menunjukkan adanya indeksikal moralitas bushido adalah perkataan Hanako bahwa seorang samurai harus melindungi pelayan rumah tangga di klannya. Bahkan dengan nyawanya jika diperlukan. Seorang samurai tidak boleh mempunyai siat sombong karena karena sifat sombong sangat bertentangan dengan moralitas bushido.

Cuplikan (Hal. 420)

Meski dia merasa sedih kehilangan pengikut setia, Genji sama sekali tak khawatir mendengar kegagalan Gojiro meninggalkan Edo. Saat mengajukan diri, Gojiro tahu risiko penangkapan, siksaan, dan kematian bisa menjadi nasibnya. Saiki telah mengirim pembawa pesan lain pada saat yang sama, mungkin pembawa pesan tersebut sekarang telah sampai di Akaoka.


(45)

Analisis

Dari cuplikan di atas, terlihat indeksikal dari moralitas bushido yaitu tindakan Gojiro yang walaupun beresiko akan tertangkap, disiksa, dan kematian bisa menjadi nasibnya, Gojiro tetap menerima tugas yang sangat beresiko tersebut. Tindakan Gojiro mencerminkan moralitas bushido yaitu mengabdikan diri kepada tuan walaupun sampai harus mengorbankan diri.

Cuplikan (Hal. 421)

“Para komandanku adalah orang Jepang,” kata Genji, “bukan orang asing. Apa kamu tak tahu kalau inisiatif adalah sesuatu yang asing bagi mereka? Mereka akan menanti perintah, seperti yang telah diinstruksikan.”

Analisis

Dari cuplikan di atas, terlihat indeksikal dari moralitas bushido yaitu samurai tidak pernah mengambil inisiatif sendiri. Samurai hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh tuannya.

Cuplikan (Hal. 428)

“Mereka bisa saja sekelompok teman yang berjalan-jalan di sore hari. Ayo terus. Dan jangan melakukan tindakan apa pun tanpa perintah dariku.”

“Ya, Tuanku,” Hide, yang tetap tak bisa menghilangkan ekspresi khawatir dari wajahnya, menderap kudanya ke posisi paling depan. Jika rombongan itu memang pembunuh, mereka mungkin akan menyerangnya terlebih dahulu, sehingga junjungannya punya kesempatan untuk lari.


(46)

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat suatu indeksikal moralitas bushido. Yaitu tindakan Hide dengan mengambil posisi paling depan. Jika rombongan itu memang pembunuh, mereka mungkin akan menyerangnya dahulu, sehingga junjungannya punya kesempatan untuk lari. Tindakan Hide mencerminkan moralitas bushido yaitu pengabdian diri kepada tuan dan juga keberanian.

Cuplikan (Hal. 430)

“Hide.” Peringatan junjungannya adalah satu-satunya sebab mengapa kepala samurai itu masih menempel di badannya. Hide mengendurkan pegangan pada pedangnya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, meski tak terlalu berhasil.

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat suatu indeksikal dari moralitas bushido yaitu kepatuhan Hide terhadap atasannya. Samurai harus selalu mematuhi perintah tuannya walaupun itu bertentangan dengan keinginannya. Samurai juga harus bisa mengendalikan diri.

Cuplikan (Hal. 572)

“Hamba setuju dengan Hide,” kata Saiki.” Luka-luka yang Anda derita adalah akibat kesalahannya. Dia seharusnya mengabaikan perintah Anda dan terus menjaga Anda dengan diam-diam. Memang tetap membuntuti anda menunjukkan dia tidak patuh


(47)

dan karenanya harus dihukum bunuh diri. Tetapi, setidaknya saat itu dia bisa mengawal Anda sesuai tugasnya.

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat indeksikal dari moralitas bushido yaitu seorang samurai harus menjaga tuannya walaupun itu berarti menentang perintahnya dan harus dihukum bunuh diri. Seorang samurai harus mengadikan diri untuk menjaga keselamatan tuannya.

Cuplikan (Hal. 575)

Genji tertawa dan Hide juga tertawa. Saiki tertawa juga. Dia tidak menyebutkan kalau waktu itu dia baru tiga belas tahun, dan darah yang tertumpah adalah darah dua orang petani bersenjata yang baru dia bunuh dengan pedang katana pertamanya. Dia senang ceritanya membuat Genji bersemangat lagi. Sedikit mengorbankan martabatnya demi junjungannya bukanlah masalah besar.

Analisis

Dari cuplikan di atas terdapat indeksikal dari moralitas bushido yaitu perbuatan dan perkataan Hide kepada Genji. Hide sedikit mengorbankan martabatnya dengan membuat cerita yang memalukan tentang dirinya agar junjungannya terhibur. Samurai akan melakukan apapun demi tuannya walaupun hal itu harus mengorbankan harga dirinya.


(48)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Di akhir penulisan skripsi ini, penulis membuat kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini sebagai berikut :

1. Samurai atau bushi adalah golongan masyarakat atas yang bertugas untuk melindungi dan mengabdi pada tuannya.

2. Bushido adalah semangat keprajuritan samurai yang terkait dengan kemampuan bertempur dan juga mencakup komitmen kesetiaan tanpa batas kepada atasan atau penguasa, harga diri, pengabdian, keberanian dan pengorbanan diri.

3. Moralitas bushido merupakan perpaduan Shintoisme, Zen Buddhisme, dan Konfusianisme dari China.

4. Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa memperhatikan kejujuran, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, kehormatan atau harga diri, dan kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri.

5. Novel Samurai Suzume no Kumo adalah novel karya Takashi Matsuoka yang menceritakan tentang seorang bangsawan agung Akaoka dari klan Okumichi bernama Genji. Klan Okumichi mempunyai Samurai-samurai yang hebat yang memiliki moralitas bushido.

6. Di dalam novel Samurai terdapat moralitas bushido yang diperankan oleh para tokoh cerita.


(49)

4.2. Saran

Setelah membaca dan dapat memahami isi dari skripsi ini diharapkan kepada pembaca agar dapat mengambil manfaat yaitu berupa sikap positif dari moralitas bushido seperti kesetiaan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, harga diri dan kemurahan hati.


(50)

Daftar Pustaka

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta : Sinar Harapan

Bellah, Robert.N.1985. Tokugawa Religion : The Values of Pre-Industrial Japan (terj). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat. 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: TP

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westsjein, 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. gramedia (Terj.)

Matsuoka, Takashi. 2005. Samurai Kastil Awan Burung Gereja. Bandung : PT. Mizan Pustaka

_______________. 2005. Samurai Jembatan Musim Gugur. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsaat Moral. Yogyakarta : Kanisius

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan bushi dari Tuan Kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang (1603-1868). Medan: USU Press Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

_________________.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar


(51)

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar


(52)

(53)

(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Di akhir penulisan skripsi ini, penulis membuat kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini sebagai berikut :

1. Samurai atau bushi adalah golongan masyarakat atas yang bertugas untuk melindungi dan mengabdi pada tuannya.

2. Bushido adalah semangat keprajuritan samurai yang terkait dengan

kemampuan bertempur dan juga mencakup komitmen kesetiaan tanpa batas kepada atasan atau penguasa, harga diri, pengabdian, keberanian dan pengorbanan diri.

3. Moralitas bushido merupakan perpaduan Shintoisme, Zen Buddhisme, dan Konfusianisme dari China.

4. Bushido mengandung keharusan seorang samurai untuk senantiasa

memperhatikan kejujuran, keberanian, kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, kehormatan atau harga diri, dan kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri.

5. Novel Samurai Suzume no Kumo adalah novel karya Takashi Matsuoka yang menceritakan tentang seorang bangsawan agung Akaoka dari klan Okumichi bernama Genji. Klan Okumichi mempunyai Samurai-samurai yang hebat yang memiliki moralitas bushido.


(2)

4.2. Saran

Setelah membaca dan dapat memahami isi dari skripsi ini diharapkan kepada pembaca agar dapat mengambil manfaat yaitu berupa sikap positif dari moralitas bushido seperti kesetiaan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, harga diri dan kemurahan hati.


(3)

Daftar Pustaka

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta : Sinar Harapan

Bellah, Robert.N.1985. Tokugawa Religion : The Values of Pre-Industrial Japan (terj). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat. 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: TP

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Williem G. Westsjein, 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. gramedia (Terj.)

Matsuoka, Takashi. 2005. Samurai Kastil Awan Burung Gereja. Bandung : PT. Mizan Pustaka

_______________. 2005. Samurai Jembatan Musim Gugur. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: UI Press

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsaat Moral. Yogyakarta : Kanisius

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan bushi dari Tuan Kepada Keshogunan

dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang (1603-1868). Medan: USU Press

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press


(4)

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar


(5)

(6)