Deteksi Mycobacterium Avium Subspesies Paratuberculosis Pada Sampel Penyakit Hewan Di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian

DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAMPEL PENYAKIT HEWAN DI BALAI BESAR
UJI STANDAR KARANTINA PERTANIAN

BAYU FIRMALA KUSUMA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Deteksi
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis pada Sampel Penyakit Hewan
di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Bayu Firmala Kusuma
NIM B04100136

ABSTRAK
BAYU FIRMALA KUSUMA. Deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada Sampel Penyakit Hewan di Balai Besar Uji Standar
Karantina Pertanian. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan MUJIATUN.
Paratuberkulosis atau Johne’s disease merupakan penyakit infeksius pada
ruminansia (sapi, kerbau, domba, dan kambing), disebabkan oleh Mycobacterium
avium subspesies paratuberculosis (MAP), ditandai dengan manifestasi enteritis
granulomatosa pada saluran pencernaan (usus halus). Infeksi MAP terjadi sejak
neonatal dengan masa inkubasi sangat panjang, beberapa bulan sampai tahunan.
Gejala klinis pada stadium akhir berupa diare kronis dan kehilangan berat badan
yang baru muncul setelah sapi berumur 2 sampai 10 tahun. Penelitian ini
menggunakan sampel serum darah sapi sebanyak 361 dari peternakan di daerah
Bandung, Bandung Barat, Lebak dan Pandenglang, Yogyakarta dan Klaten,
Surabaya, Kebumen, Bandarlampung, Malang, dan Cilegon menggunakan metode
sampling by judgement. Pengujian MAP menggunakan Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) menunjukkan ditemukannya seropositif MAP
sebanyak 7.20% (26/361) dan 0.55% (2/361) sampel suspect, kemudian dilakukan
uji konfirmasi pada feses menggunakan PCR primer IS900, 8 dari 28 sampel
menunjukkan hasil positif. Selanjutnya, uji konfirmasi PCR menggunakan primer
F57 dan F57 Rn tidak memperlihatkan pita DNA MAP pada semua sampel positif
tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini tidak ditemukan
seropositif dan DNA spesifik MAP.
Kata kunci: ELISA, Paratuberkulosis (Johne’s disease), PCR, ruminansia

ABSTRACT
BAYU FIRMALA KUSUMA. Detection of Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis in Samples of Animal Disease in Center of Diagnostic Standard
Agriculture Laboratory. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and MUJIATUN.
Paratuberculosis or Johne’s disease is an infectious disease in ruminants
(cattle, buffalo, sheep, and goat) caused by Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis (MAP) and characterized by granulomatous enteritis
manifestation. Calves are commonly infected soon after birth with long term
incubation period. Clinical signs observed from 2 to 10 year old infected cattle
are chronic diarrhea and progressive emaciation. This research took 361 samples
of cattle’s blood serum from Bandung, West Bandung, Lebak and Pandenglang,

Yogyakarta and Klaten, Surabaya, Kebumen, Bandarlampung, Malang, and
Cilegon by judgement sampling metode. MAP test using ELISA found 7.20%
(26/361) seropositive MAP and 0.55% (2/361) suspect samples. The confirmation
test on feces using PCR with primer IS900, 8 of 28 samples shows positive. PCR
test using primer F57 and F57 Rn found no DNA of MAP in that positive samples.
It is concluded that this research found no seropositive and specific DNA of MAP.
Keywords: ELISA, Paratuberculosis (Johne’s disease), PCR, ruminant

DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAMPEL PENYAKIT HEWAN DI BALAI BESAR
UJI STANDAR KARANTINA PERTANIAN

BAYU FIRMALA KUSUMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis pada
Sampel Penyakit Hewan di Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian
Nama
: Bayu Firmala Kusuma
NIM
: B04100136

Disetujui oleh

Drh Rahmat Hidayat, MSi
Pembimbing I

Drh Mujiatun, MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis (MAP) pada sampel koleksi penyakit hewan
karantina, dengan judul Deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada Sampel Penyakit Hewan di Balai Besar Uji Standar
Karantina Pertanian (BBUSKP).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh Rahmat Hidayat, MSi
selaku pembimbing I dan Ibu Drh Mujiatun, MSi selaku pembimbing II, dan
Bapak Dr Drh Heru Setijanto, PAVet (K) yang telah banyak memberi saran.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh Syafril Daulay, MM
sebagai Kepala BBUSKP beserta jajarannya: Ibu Drh Sri Yusnowati dan Ibu Drh

Nuryani Zainuddin, MSi atas izinnya sehingga penulis bisa melakukan penelitian
di BBUSKP, serta segenap staf Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian
(BBUSKP): Ibu Drh Haeriah, Bapak Ahmad, Bapak Marjono, dan kawan-kawan
yang telah banyak membantu selama penelitian dan pengumpulan data. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu tercinta (Bapak
Turiman dan Ibu Hermi Widayati), adik tersayang (Wisnu Krisna Jaya dan Rafly
Firmansyah), seluruh keluarga, Wuri Wulandari, Sandhi Yudha Prawira, sahabat,
serta teman-teman Acromion 47 atas segala bentuk dukungan baik doa, saran,
semangat, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Bayu Firmala Kusuma

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis

2

Inang Rentan

3

Patogenesis

3

Gejala Klinis

4

MATERI DAN METODE


4

Tempat dan Waktu

4

Alat dan Bahan

5

Metode Penelitian

5

Interpretasi Hasil

7

Analisa Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

8
11

Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

11


LAMPIRAN

14

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Interpretasi hasil ELISA
2 Persentase hasil pengujian ELISA dari sampel serum sapi
3 Hasil uji konfirmasi PCR pada sampel positif dan suspect ELISA

7
8
9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil visualisasi uji PCR primer IS900, F57, dan F57 Rn dari sampel
feses sapi

14

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, terutama
sumber daya hewani yang memiliki potensi besar di sektor peternakan. Sektor
peternakan dapat memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat dari konsumsi
daging dan susu apabila dikelola dengan baik. Konsumsi protein asal daging per
kapita per hari mengalami peningkatan, tahun 2011 sebesar 2.76 gram, menjadi
2.92 gram pada tahun 2012 (BPS 2013). Peningkatan konsumsi protein hewani
disebabkan beberapa faktor antara lain jumlah penduduk yang semakin
meningkat, peningkatan pendapatan dan kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi makanan bergizi. Peningkatan taraf pendidikan dan perubahan
gaya hidup masyarakat menjadi faktor pendukung lainnya.
Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari susu belum terpenuhi. Hal
tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah populasi sapi perah. Berdasarkan laporan
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), populasi sapi perah
tahun 2012 adalah 630 ribu ekor yang menyumbangkan 1 017 930 ton atau hanya
sekitar 32% dari kebutuhan susu nasional, sehingga masih diperlukan impor susu
untuk menutupi kekurangannya. Hal yang sama terjadi pada ketersediaan daging
sapi nasional yang jumlahnya belum mencukupi. Kebutuhan daging tahun 2012
tercatat 484 ribu ton, sedangkan ketersediaan daging nasional hanya mencapai
399 ribu ton. Usaha untuk menutupi kekurangan daging nasional dilakukan
kebijakan importasi sapi (Ditjen PKH 2012).
Kebijakan impor sapi memiliki risiko, diantaranya ancaman penyakit pada
ternak. Penyakit pada ternak sapi dikelompokkan menjadi penyakit menular dan
tidak menular. Beberapa penyakit seperti mastitis, brusellosis, antrak, septicemia,
epizootica (ngorok), bovine viral diarrhea (BVD), infectious bovine
rhinotracheitis, dan kecacingan masih sering terjadi dan dilaporkan di Indonesia
(Nugroho 2008). Kasus penyakit kronis seringkali kurang menjadi perhatian dan
dapat menghambat pertumbuhan dan produktivitas ternak (Sudarwanto 1999;
Putra 2006). Penyakit bersifat kronis yang berpotensi menjadi ancaman bagi
usaha peternakan sapi salah satunya adalah paratuberkulosis atau Johne’s disease
(JD). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis (MAP) ini belum banyak mendapat perhatian pemerintah.
Berdasarkan laporan Adji (2004), kasus paratuberkulosis pernah terdeteksi secara
serologis pada sapi perah di Jawa Barat. Di beberapa negara pengekspor sapi
seperti New Zealand, Australia, Inggris dan negara Mediterranean, penyakit JD
merupakan penyakit menular penting pada industri peternakan sapi dan domba
(Tarmudji 2007). Hasil survei nasional di Amerika, penyakit JD menimbulkan
kerugian ekonomi yang cukup besar pada industri peternakan mencapai 1.5 milyar
dollar US per tahun (Harris dan Barletta 2001). Kerugian yang sama
dikhawatirkan terjadi pada industri peternakan Indonesia.
Kejadian paratuberkulosis di dunia merupakan ancaman besar bagi
peternakan maupun masyarakat Indonesia. Terutama sejak ditetapkan sebagai
penyakit hewan menular strategis pada tahun 2013, paratuberkulosis pada ternak
harus mendapat perhatian lebih karena berdampak menurunkan produksi ternak

2
baik daging maupun susu. Lebih dikhawatirkan lagi dampak paratuberkulosis
pada manusia (Crohn’s disease) yang berkemungkinan dapat ditularkan melalui
produk susu sapi dan olahannya (Nugroho 2008), tidak ditutup kemungkinan
paratuberkulosis ditularkan melalui konsumsi usus sapi yang masih digemari oleh
masyarakat Indonesia.
Kajian mengenai paratuberkulosis di Indonesia sejauh ini belum banyak
dilakukan sehingga dikhawatirkan penyakit ini tidak terpantau sehingga mudah
masuk dan menyebar yang berdampak masalah bagi peternakan dan kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah cepat untuk mencegah
masuknya penyakit paratuberkulosis demi ketahanan pangan asal hewan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pencegahan dapat dilakukan dengan
berbagai cara antara lain monitoring, pengujian penyakit pada masa karantina,
vaksinasi, pengelolaan peternakan yang baik, desinfeksi kandang dan peralatan,
serta mengontrol lalu lintas dan pemusnahan ternak yang terjangkit.
Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) sebagai
laboratorium pusat untuk badan karantina pertanian memiliki tugas dan fungsi
yaitu melakukan uji konfirmasi, uji rujukan, dan koleksi penyakit hewan
karantina. Koleksi agen dan serum positif suatu penyakit merupakan salah satu
cara untuk mendukung fungsi yang lainnya melalui kajian yang lebih mendalam
terhadap suatu penyakit maupun terkait dengan validasi metode.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi adanya serum positif antibodi dan
bakteri MAP pada sampel penyakit hewan Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian untuk kepentingan koleksi serum positif antibodi dan bakteri MAP,
serta kajian penyakit hewan karantina.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh koleksi serum positif antibodi
dan bakteri MAP untuk kepentingan kajian penyakit hewan karantina, serta dapat
memberikan informasi terkini terhadap perkembangan penyakit paratuberkulosis
di beberapa daerah sentral peternakan sapi di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) merupakan
bakteri tahan asam yang menyebabkan bentuk atipikal tuberkulosis pada sapi
(Griffiths 2003). Bakteri MAP awalnya diberi nama Mycobacterium enteritidis
chronicae pseudotuberculosis bovis johne yang selanjutnya dikelompokkan ke
dalam Mycobacterium avium complex dan terakhir disebut Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis. Bakteri ini merupakan patogen obligat pada

3
ruminansia yang menyebabkan radang granulomatosa saluran pencernaan
(SCAHAW 2000). MAP adalah bakteri Gram positif berbentuk batang lurus atau
sedikit bengkok dan terkadang bercabang, dinding sel tersusun dari lapisan lipida
kompleks, bersifat aerobik, tidak bergerak dan tidak berspora (Gallagher dan
Jenkins 1998; Harris dan Barletta 2001). Bakteri ini memiliki waktu tumbuh 2-60
hari (Holt et al. 1994), namun waktu tumbuhnya dapat mencapai 18 bulan untuk
isolat lapang (Shanahan 1994). Koloni memiliki permukaan halus atau kasar,
tumbuh pada suhu 25-45 °C dengan suhu optimal 39 °C, bakteri ini juga mampu
hidup di dalam makrofag, tahan pada pH 5.5, alkohol, dan tahan panas (Griffiths
2003).
Sifat tahan panas bakteri MAP berbeda dengan Mycobacterium lainnya.
Pasturisasi umumnya mampu mematikan M. tuberculosis, M. bovis, dan lainnya,
namun hal ini kurang berhasil untuk bakteri ini (Sung et al. 2004; Nugroho 2008).
Beberapa penelitian melaporkan bakteri MAP mampu bertahan pada suhu
pasturisasi low temperature long time dan high temperature short time (Chiodini
dan Hermon-Taylor 1993; Grant et al. 1996).
Inang Rentan
Bakteri MAP menginfeksi semua jenis sapi (potong dan perah), domba, dan
kambing. Infeksi MAP dapat terjadi pada satwa liar seperti bison, kijang, kelinci,
dan burung liar meski tidak menimbulkan gejala klinis (Acha dan Szyfres 2003).
Hewan penderita paratuberkulosis akan menunjukkan gejala sakit 2-5 tahun
setelah infeksi. Penderita paratuberkulosis subklinis akan merugikan peternak
karena penurunan produktivitas ternak.
Bakteri MAP sering diduga dan berkaitan dengan kejadian kasus Crohn’s
disease (CD) yaitu penyakit radang saluran pencernaan bagian bawah yang
bersifat kronis pada manusia. Menurut Nugroho (2008), manusia berumur 15-24
tahun memiliki peluang tertinggi terinfeksi MAP dan terkadang terjadi pada
keluarga dengan status sosial baik. Kasus CD banyak dikaitkan dengan susu dan
olahannya yang berasal dari ternak yang terinfeksi MAP. Berdasarkan beberapa
laporan di negara Eropa, cemaran MAP pada susu segar dan produk olahannya
seperti susu pasturisasi, susu formula, dan keju telah menunjukkan cemaran yang
tinggi (SCAHAW 2000).
Patogenesis
Bakteri MAP menyebabkan Johne’s disease (JD) yaitu penyakit radang
granulomatosa usus yang bersifat kronis yang mengakibatkan penebalan dan
pelipatan usus dan sulit disembuhkan pada hewan. Setelah tertelan, bakteri ini
akan segera menembus permukaan mukosa saluran pencernaan dan difagosit oleh
makrofag. Kemampuan MAP bertahan di dalam makrofag merupakan suatu
kelebihan bakteri ini dalam mengganggu inang dan bakteri mampu bertahan dan
terlindung dari mekanisme kekebalan humoral (Stabel 1998). Bakteri MAP
menghasilkan siderofor mycobactin larut lemak dan siderofor eksokelin larut air
dalam rangka mencari zat besi yang terbatas jumlahnya dalam sel inang. Kedua
siderofor ini sangat berkaitan dengan patogenisitas MAP dan menjadi perangkat

4
penting bakteri dalam bertahan dan bereplikasi di dalam makrofag (Harris dan
Barletta 2001).
Lesi granulomatosa mulai muncul pada lokasi peyer patches. Luka ini akan
bertahan dalam keadaan laten untuk waktu yang lama. Perkembangan infeksi
selanjutnya, peyer patche akan menyebar ke seluruh usus dan menimbulkan
radang granulomatosa pada usus, penebalan dinding usus, limfoglandula
mesenterika membengkak, dan kondisi paling ekstrim adalah terbentuknya lubang
(perforasi) pada usus. Lesi-lesi tersebut jelas akan mengganggu absorbsi makanan
pada hewan yang terinfeksi.
Gejala Klinis
Infeksi MAP terjadi pada periode neonatal (0-4 bulan), gejala klinik
paratuberkulosis pada sapi biasanya muncul setelah hewan berumur lebih dua
tahun. Sapi muda yang terinfeksi MAP tidak menunjukkan gejala klinis (silent
infection) seolah seperti hewan yang tidak terinfeksi (Baumgartner dan Kohl
2006). Rute utama infeksi melalui makanan, susu, dan kolostrum yang tercemar
MAP.
Perkembangan penyakit paratuberkulosis dibagi menjadi 3 stadium.
Stadium 1, tipe silent atau subklinis. Infeksi tidak dapat terdeteksi pada stadium
ini, terjadi pada anak sapi dan sapi dara ditandai dengan tidak menunjukkan gejala
klinis. Pada stadium 2, hewan dalam kondisi subklinis dengan tanggap kebal
seluler dan humoral yang sedang. Fase ini juga ditandai dengan peningkatan
konsentrasi bakteri pada mukosa usus dan ruang usus. Stadium 3 (fase terminal)
merupakan fase hewan menunjukkan gejala klinik yang ditandai adanya diare
kronis, gejala infeksi umum seperti emasiasi, penurunan produksi susu, edema
submandibulla (bottle jaw), anemia, rambut kasar, kulit kering dan infertilitas
yang merupakan tanda akhir yang dominan (Tarmudji 2007). Aborsi dan alopesia
merupakan tanda yang terlihat pada stadium lanjut dan hewan mati dengan status
kaheksia. Pada fase klinis jumlah bakteri yang dikeluarkan melalui feses dapat
mencapai 1010 CFU/g feses. Distribusi bakteri MAP selain pada organ
pencernaan, juga terdapat pada organ reproduksi hewan jantan dan betina
terinfeksi. Organisme ini dapat diisolasi dari fetus yang berasal dari sapi penderita
meskipun penularan melalui intrauteri belum dapat dibuktikan (Stabel 1998).

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Karantina Hewan, Balai Besar
Uji Standar Karantina Pertanian pada bulan Juli hingga September 2013.

5
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada uji ELISA antara lain micropipet, microplate,
microplate covers (alumunium foil), microplate shaker, ELISA reader, tissue
towel, sarung tangan, masker, kain, vortex, dan timer. Alat yang digunakan pada
uji PCR antara lain tabung reaksi, vortex, tabung Eppendorf, penangas air
(waterbath), mesin centrifuge, QIAmp spin column, PCR chamber, Mesin PCR
konvensional, mesin elektroforesis, dan gel documentation system.
Bahan yang digunakan pada uji ELISA antara lain serum darah sapi
sebanyak 361 sampel, aquadest, reagen kit ELISA Idexx yang terdiri dari washing
concentrate, reagent conjugate, dilution buffer N.1 dan N.12, tetramethyl
benzydine (TMB) substrate, stop solution, kontrol positif, dan kontrol negatif.
Bahan yang digunakan pada uji PCR antara lain feses sapi yang menunjukkan
hasil positif dan suspect uji ELISA, buffer ASL, tablet InhibitEX, Proteinase K,
buffer AL, buffer AW1, buffer AW2, buffer AE1, etanol 96%, primer IS900,
primer F57, primer F57 Rn, primer R57, aquadest, PCR buffer, Taq Polymerase,
DNA template, loading dye, kontrol positif dan negatif, 2% agarose
elektroforesis, ethidium bromide, dan marker 100 bp DNA ladder.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Sampel yang diuji merupakan sampel koleksi Balai Besar Uji Standar
Karantina Pertanian yang diambil secara acak menggunakan metode sampling by
judgement. Sampel tersebut diambil dari serum darah dan feses sapi potong
maupun sapi perah yang berasal dari peternakan sapi di beberapa daerah yang
diduga positif terhadap MAP antara lain Bandung, Bandung Barat, Lebak dan
Pandenglang, Yogyakarta dan Klaten, Surabaya, Kebumen, Bandarlampung,
Malang, dan Cilegon dengan jumlah sampel serum darah dan feses masingmasing sebanyak 361 sampel. Sampel serum digunakan untuk pengujian ELISA.
Hasil positif dan suspect ELISA dilanjutkan dengan uji PCR menggunakan
sampel feses.
Prosedur ELISA
Pengujian ELISA yang digunakan adalah ELISA screening yang
menggunakan kit ELISA Paratuberculosis Idexx untuk mendeteksi antibodi MAP.
Semua reagen harus disimpan dalam suhu 18-26 ºC selama 60 menit terlebih
dahulu dan dihomogenkan menggunakan vortex. Semua sampel dan kontrol
diencerkan dahulu dengan dilution buffer N.12 dalam microplate yang tidak dicoating dengan perbandingan 1:20, selanjutnya dihomogenkan menggunakan
microplate shaker dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 18-26 ºC. Sebanyak
100 µl kontrol negatif dimasukkan ke dalam sumur A1, 100 µl kontrol positif
dimasukkan ke dalam sumur B1 dan C1, sedangkan semua sampel sebanyak 100
µl dimasukkan ke dalam sumur yang berbeda, kemudian dihomogenkan
menggunakan microplate shaker dan diinkubasi selama 15 menit dalam suhu 1826 ºC. Sampel dan kontrol sebanyak 100 µl dipindahkan dari microplate yang
tidak di-coating ke dalam microplate yang telah di-coating dan dihomogenkan
menggunakan microplate shaker, selanjutnya microplate ditutup dengan

6
aluminium foil dan diinkubasi selama 45 menit pada suhu 18-26 ºC. Setiap sumur
dicuci dengan washing solution masing-masing 300 µl sebanyak 3 kali hingga
bersih.
Tahap selanjutnya yaitu sebanyak 100 µl reagent conjugate dimasukkan ke
dalam semua sumur dan ditutup kembali dengan aluminium foil dan diinkubasi
selama 30 menit dalam suhu 18-26 ºC. Setiap sumur dicuci kembali dengan
washing solution masing-masing 300 µl sebanyak 3 kali. Setelah pencucian
selesai, 100 µl TMB substrate dimasukkan ke dalam semua sumur, kemudian
diinkubasikan selama 10 menit dalam suhu 18-26 ºC pada tempat gelap. Sebanyak
100 µl stop solution ditambahkan ke semua sumur, kemudian digoyangkan
perlahan. Hasil pengujian dibaca menggunakan ELISA reader dengan nilai
optical densities 450 nm.
Prosedur PCR
Ekstraksi DNA MAP
Ekstraksi DNA bertujuan membuang dan memisahkan asam nukleat dari
komponen sel lainnya. Tahapan pertama ekstraksi DNA yaitu sampel feses
sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam tabung 15 ml steril dan ditambahkan
buffer ASL sebanyak 10 ml, kemudian divorteks selama 1 menit hingga homogen.
Lysate diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf,
selanjutnya dimasukkan dalam waterbath pada suhu 80 oC selama 5 menit,
kemudian divorteks selama 15 detik dan disentrifugasi dengan kecepatan 14000
rpm selama 1 menit, kemudian supernatan diambil sebanyak 1.2 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang baru. 1 tablet InhibitEX
ditambahkan ke dalam tabung dan divorteks hingga larut, kemudian diinkubasikan
pada suhu kamar selama 1 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm
selama 3 menit. Semua supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung
Eppendorf, kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 14000 rpm selama
3 menit. Proteinase K sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf
yang baru, kemudian supernatan tersebut diambil 200 µl dan dimasukkan ke
dalam tabung tersebut, kemudian 200 µl buffer AL ditambahkan dan divorteks
selama 15 detik, selanjutnya diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 70 oC
dalam waterbath.
Tahapan selanjutnya yaitu 200 µl etanol 96% ditambah ke dalam lysate,
kemudian divorteks untuk mencapur larutan tersebut, selanjutnya 500 µl larutan
diambil dan dimasukkan ke dalam QIAmp spin column yang dilengkapi dengan
tabung koleksi, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1
menit dan tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang. QIAmp spin column
diambil dan dipasang pada tabung koleksi yang baru. Buffer AW1 sebanyak 500
µl dimasukkan ke dalam column dan disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm
selama 1 menit, tabung koleksi yang mengandung filtrat dibuang, selanjutnya
QIAmp spin column diambil dan dipasang kembali pada tabung koleksi yang baru.
Buffer AW2 sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam column dan dilakukan
prosedur yang sama. QIAmp spin column diambil dan dipasang pada tabung
Eppendorf, kemudian menambahkan 200 µl buffer AE1 diinkubasikan selama 1
menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 1 menit. Tabung

7
Eppendorf yang mengandung filtrat diambil, kemudian disimpan pada suhu -20
o
C.
Amplifikasi DNA menggunakan primers IS900 (TJ1-2) dan F57
Amplifikasi DNA merupakan proses perbanyakan segmen DNA spesifik
yang melibatkan sepasang primer, enzim DNA polymerase, dan deoxynucleotida
trifosfat. Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA dilakukan menggunakan
primers IS900 forward TJ1 (5’-GCT GAT CGC CTT GCT CAT-3’) dan reverse
TJ2 (5’-CGG GAG TTT GGT AGC CAG TA-3’) dengan produk PCR 356 bp
(Tasara dan Stephan 2005). Hasil positif selanjutnya dilanjutkan dengan pengujian
menggunakan primers F57 yaitu forward F57 (5’-CCT GTC TAA TTC GAT
CAC GGA CTA GA-3’) dan reverse R57 (5’-TCA GCT ATT GGT GTA CCG
AAT GT-3’) dengan produk PCR 432. Nested PCR dilakukan untuk mendapatkan
hasil yang lebih jelas dilakukan dengan primer forward F57 Rn (5’-TGG TGT
ACC GAA TGT TGT TGT CAC-3’) dan primer reverse R57 (5’-TCA GCT ATT
GGT GTA CCG AAT GT-3’) dengan produk PCR 424 bp. PCR dilakukan
dengan total volume 50 µl larutan reaksi yang terdiri dari 34.25 µl aquadest steril,
5 µl 10x PCR buffer, 1.5 µl MgCl 2 , 1.0 µl dNTP, 1.5 µl primers, 0.25 µl Taq
Polymerase, dan 5 µl DNA template. Kontrol positif dan negatif harus diikutkan
dalam setiap amplifikasi. Pengujian PCR konvensional dilakukan dengan 1 siklus
pada suhu 95 oC selama 5 menit, 35 siklus pada suhu 94 oC selama 45 detik, 58 oC
selama 45 detik, dan 72 oC selama 1 menit, kemudian dilanjutkan dengan 1 siklus
pada suhu 72 oC selama 10 menit.
Produk PCR (amplikon) diambil 8 µl dan dicampur dengan 2 µl loading dye
solution di atas kertas parafilm, selanjutnya diseparasi menggunakan 2% agarose
elektroforesis pada tegangan 100 Volt selama 60 menit menggunakan marker 100
bp DNA ladder dan pewarna ethidium bromide 15 µl. Hasil elektroforesis
selanjutnya dilihat dengan menggunakan gel documentation system dan
divisualisasikan menggunakan program aplikasi komputer Image LabTM Software.
Interpretasi Hasil
Sampel dengan nilai S/P diatas 0.55 artinya sampel mengandung antibodi
terhadap bakteri MAP dan hasil ujinya positif. Perhitungan sample value related
to positive value (S/P) dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
Nilai sampel yang diuji – nilai kontrol negatif
Nilai rataan kontrol positif – nilai kontrol negatif
Tabel 1 Interpretasi hasil ELISA
Nilai S/P

Status antibodi

0.55

Negatif
Suspect
Positif

= S/P

8
Analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pemeriksaan antibodi
bakteri MAP menggunakan uji ELISA. Hasil positif dan suspect uji ELISA
dilanjutkan dengan uji PCR. Data hasil uji ELISA dan PCR dianalisis secara
deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Serum sapi yang diperiksa pada penelitian ini berjumlah 361 sampel yang
berasal dari beberapa peternakan diantaranya Bandung (50 sampel), Bandung
Barat (52 sampel), Lebak Pandenglang (50 sampel), Yogyakarta dan Klaten (47
sampel), Surabaya (13 sampel), Kebumen (25 sampel), Bandarlampung (50
sampel), Malang (61 sampel), dan Cilegon (13 sampel). Penelitian ini tidak
mempertimbangkan bobot badan, umur, jenis kelamin, dan ras sapi. Hasil
pengujian ELISA terhadap 361 sampel serum menunjukkan adanya sampel yang
positif mengandung antibodi bakteri MAP antara lain peternakan di Bandung (2
sampel), Bandung Barat (3 sampel), Yogyakarta dan Klaten (1 sampel), Kebumen
(15 sampel), Lebak dan Pandenglang (1 sampel), Bandarlampung (1 sampel), dan
Malang (3 sampel). Hasil persentase nilai positif uji ELISA disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2 Persentase hasil pengujian ELISA dari sampel serum sapi
Daerah peternakan

Jumlah
sampel

Positif

Suspect

Negatif

Persentase
positif (%)

Bandung
Bandung Barat
Lebak dan Pandenglang
Yogyakarta dan Klaten
Surabaya
Kebumen
Bandarlampung
Malang
Cilegon
Total

50
52
50
47
13
25
50
61
13
361

2
3
1
1
0
15
1
3
0
26

0
0
0
0
0
0
0
2
0
2

48
49
49
46
13
10
49
56
13
333

4.00
5.77
2.00
2.13
0
60.00
2.00
4.92
0
7.20

Persentase
negatif
(%)
96.00
94.23
98.00
97.87
100
40.00
98.00
95.08
100
92.24

Hasil pengujian serologis ELISA dari 361 sampel, 26 sampel (7.20%)
menunjukkan hasil positif terhadap MAP, 2 sampel (0.55%) dinyatakan suspect,
dan 333 (92.24%) sampel menunjukkan hasil negatif. Hasil positif ELISA
terbanyak yaitu pada peternakan sapi di daerah Kebumen sebanyak 15 sampel
(60.00%). Hasil positif serologis tersebut dapat dihubungkan dengan tingginya
kasus infeksi MAP di negara New Zealand, Australia, serta negara di Eropa
seperti Jerman, Inggris, dan Swiss yang merupakan negara penyuplai sapi bakalan
bagi Indonesia. Negara-negara tersebut tercatat memiliki prevalensi kasus MAP
lebih dari 15% dan berpotensi menyuplai bakalan sapi yang terinfeksi MAP ke
Indonesia (Nugroho 2008). Tahun 2004, surveilan paratuberkulosis di Indonesia
dilaporkan pada sapi perah di daerah Jawa Barat, tiga dari 180 sampel yang

9
diperiksa dengan ELISA dinyatakan positif mengandung antibodi MAP (Adji
2004).
Deteksi MAP dengan uji serologis salah satunya dapat menggunakan uji
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), yaitu uji yang digunakan untuk
mendeteksi dan menghitung jumlah antibodi atau antigen (Noviyanti 2008).
Penelitian ini menggunakan metode ELISA tidak langsung yang paling spesifik
dan sensitif untuk mengukur titer antibodi MAP (OIE 2000). McKenna (2005)
menjelaskan bahwa hasil uji ELISA berkaitan erat dengan fase perkembangan
penyakit pada inang. Pada fase preklinis, sensitivitas ELISA masih sangat rendah
dan akan meningkat pada fase klinis seiring reaksi tanggap kebal inang. Reaksi
tanggap kebal humoral itu sendiri sudah dapat terdeteksi pada fase preklinis tanpa
disertai pengeluaran bakteri pada fesesnya (Roussel et al. 2007). Kelemahan
metode ini adalah tidak adanya spesifitas sebagai akibat reaksi dengan antigen
yang tidak murni, misalnya hasil vaksinasi dengan antigen yang tidak terkait dapat
menimbulkan reaksi tidak spesifik (Burgess 1995). Metode ini cukup baik dengan
sensitivitas relatif tinggi yaitu 91-95%, namun masih memungkinkan terjadinya
reaksi silang yang mengakibatkan positif palsu, sehingga memerlukan uji lanjutan
untuk memastikan ketepatan hasil uji ELISA.
Metode ELISA memiliki keunggulan diantaranya: metodenya sederhana,
harga yang terjangkau, memiliki kinerja yang cepat, memberikan sensitivitas
mirip dengan isolasi bakteri, dan dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit
serta sebagai screening awal terhadap infeksi (OIE 2000). Antibodi yang
terdeteksi menggunakan metode ELISA tidak hanya karena infeksi MAP, antibodi
juga dapat disebabkan akibat reaksi silang dengan M. avium complex atau akibat
dari vaksinasi, sehingga perlu diperhatikan riwayat vaksinasi agar hasil
terinterpretasikan secara tepat. Penelitian ini terdapat dokumen yang menyatakan
seluruh sapi belum pernah divaksinasi MAP sebelumnya, sehingga dikhawatirkan
seropositif disebabkan oleh infeksi alami, sehingga hasil positif dan suspect
ELISA harus diuji konfirmasi menggunakan PCR sebagai uji lanjutan untuk
meneguhkan diagnosa. Hasil uji konfirmasi PCR primer IS900, F57, dan nasted
PCR primer F57 Rn pada sampel positif dan suspect ELISA disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3 Hasil uji konfirmasi PCR pada sampel positif dan suspect ELISA
Daerah peternakan

Bandung
Bandung Barat
Lebak dan Pandenglang
Yogyakarta dan Klaten
Surabaya
Kebumen
Bandarlampung
Malang
Cilegon
Total

Positif
Uji
ELISA
2
3
1
1
0
15
1
3
0
26

Suspect
Uji ELISA
0
0
0
0
0
0
0
2
0
2

Positif
Uji PCR
(IS900)
2
0
0
0
0
5
1
0
0
8

Positif Uji
PCR
(F57)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Positif
Uji PCR
(F57 Rn)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Pembuktian 26 sampel serum positif dan 2 sampel suspect ELISA
selanjutnya dilakukan pengujian dengan PCR terhadap sampel feses dari sapi

10
yang sama. Dari pengujian feses diharapkan bakteri dapat terdeteksi secara
molekuler dengan PCR. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode
yang cepat dan sederhana untuk memperbanyak urutan DNA spesifik yang
diinginkan dan divisualisasikan sebagai pita DNA pada gel agarose. Penelitian ini
menggunakan sekuen IS900 dan F57 sebagai primer MAP. Primer IS900
diketahui dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas diagnosis PCR terhadap
MAP, bahkan dapat membedakannya dengan subspesies lain dari M. avium
complex dan M. silvaticum (Harris dan Barletta 2001). Sedangkan primer F57
merupakan hasil pengembangan dari sekuen yang sudah ada yang mempunyai
kinerja sangat baik, memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibanding sekuen
IS900 dan terbukti memiliki akurasi lebih baik.
Berdasarkan Tabel 3, pengujian PCR menggunakan primer IS900, 8 dari 28
sampel yang diuji menunjukkan hasil positif ditandai ditemukannya pita DNA
MAP. Selanjutnya, 8 sampel positif tersebut dilakukan PCR menggunakan primer
F57 dan F57 Rn yang memiliki sensitifitas dan akurasi lebih baik. Hasil analisis
PCR konvensional primer F57 dan F57 Rn menunjukkan tidak adanya pita DNA
MAP pada semua sampel. Harris dan Barletta (2001) menyatakan bahwa primer
IS900 memiliki kelemahan yaitu adanya 229 wilayah amplifikasi yang tumpang
tindih dengan sekuen dari M. avium atau Mycobacterium lingkungan non-MAP
lainnya sehingga sering memperlihatkan hasil positif palsu. Hasil negatif uji PCR
kemungkinan disebabkan akibat tidak ada atau sedikitnya bakteri yang ada pada
feses (Whipple et al. 1992; Nugroho et al. 2008) dan sifat penyebaran (shedding)
bakteri pada feses yang bersifat intermittent (Tarmudji 2007). Berdasarkan
Kementan (2012), apabila uji ELISA menunjukkan hasil positif, hal tersebut baru
menunjukkan reaktor positif, untuk hewan terduga harus dipisahkan dan
dilakukan uji konfirmasi dengan PCR. Apabila uji PCR menunjukkan hasil
negatif, pemeriksaan ELISA harus diulang kembali 6 bulan kemudian, sedangkan
apabila uji PCR positif, maka harus dilakukan kultur bakteri sebagai gold standar
pengujian MAP.
Peluang terbesar masuknya paratuberkulosis ke Indonesia yaitu melalui
importasi ternak bibit maupun bakalan yang terdiri dari sapi perah, sapi pedaging,
kambing dan domba dari negara tertular. Resiko diperbesar oleh sifat bakteri yang
sulit untuk dideteksi, antara lain karena ternak yang terinfeksi MAP sebagian
besar tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis), masa inkubasi yang cukup
lama, dan penyebaran bakteri (shedding) lewat feses secara intermittent
(berselang-seling) yang tidak diketahui waktunya (Tarmudji 2007). Selain itu,
waktu yang lama untuk tumbuh di media biakan laboratorium dan belum
ditemukannya satu metode diagnosa yang akurat semakin mempersulit dalam
pendeteksian secara dini. Penyebaran penyakit dikhawatirkan semakin cepat
melalui lalu lintas hewan, produk jeroan, semen, dan limbah hewan (pupuk)
(Kementan 2012). Upaya untuk mencegahnya diperlukan deteksi penyakit secara
dini, informasi daerah asal hewan, dan teknik diagnosa yang akurat.
Kementerian Pertanian RI (2012) menjelaskan tentang prinsip-prinsip
pengamanan, pengendalian dan penanggulangan paratuberkulosis, antara lain:
melakukan tindakan surveilans dan mendeteksi dini penyakit, mengidentifikasi
hewan terinfeksi dan menghentikan mata rantai penyebaran bakteri melalui
peningkatan sanitasi peternakan dan manajemen feses, menetapkan definisi kasus
paratuberkulosis dan menggali sejarah asal hewan, menetapkan gold standar dan

11
validasi metode pengujian laboratorium, pengketatan persyaratan kesehatan
hewan pada importasi hewan peka, pelaksanaan program dan strategi vaksinasi,
pengawasan lalu lintas dan karantina hewan peka, isolasi dan penerapan zonasi,
serta pemusnahan hewan diduga terinfeksi paratuberkulosis. Penyakit
paratuberkulosis perlu mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah karena
berpotensi merugikan ekonomi, kesehatan manusia, lingkungan, dan keresahan
masyarakat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sampel penyakit hewan karantina Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian yang diuji menggunakan uji ELISA, kemudian dikonfirmasi
menggunakan uji PCR menunjukkan tidak terdeteksi adanya serum positif
antibodi dan DNA spesifik Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis,
sehingga belum dapat dilakukan koleksi serum positif antibodi dan bakteri MAP
untuk kepentingan kajian penyakit hewan karantina.
Saran
Perlu dilakukan kajian epidemiologi terhadap paratuberkulosis dan tindakan
kesiagaan darurat veteriner oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Badan Karantina Pertanian, dan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

DAFTAR PUSTAKA
Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to
Man and Animals. Vol I. 3rd ed. Washington (US): Pan American Health
Organization. hlm 283-297.
Adji RS. 2004. Isolasi dan uji serologi terhadap Mycobacterium
paratuberculosispada sapi perah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 281-284.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Protein Penduduk Indonesia.
Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
Baumgartner W, Kohl JL. 2006. Paratuberculosis (Johne’s Disease) in ruminant
an ongoing story. Slov Vet Res. 43(1):5-10.
Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama
WT, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari: ELISA
Technology in Diagnosis and Research.
Chiodini RJ, Hermon-Taylor J. 1993. The thermal resistance of Mycobacterium
paratuberculosis in raw milk under conditions stimulating pasteurization. J
Vet Diagn Invest. 5:629-631.

12
[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Buku
Statistik Peternakan Tahun 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.
[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Press
Release Konfrensi Pers Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tentang Supply Demand Daging Sapi/Kerbau sampai dengan Desember
2012. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Gallagher J, Jenkins PA. 1998. Mycobacterial Diseases. Di dalam: Palmer SR,
Soulsby L, Simpson DIH, editor. Zoonoses, Biology, Clinical Practice, and
Public Health Control. New York (US): Oxford University Pr. hlm 161162.
Grant IR, Ball HJ, Neill SD, Rowe MT. 1996. Inactivation of Mycobacterium
paratuberculosis in cow’s milk at pasteurization temperatures. J Appl
Environ Microbiol. 62:631-636.
Griffiths M. 2003. Mycobacterium Paratuberculosis. Di dalam: Blackburn CW,
McClure PJ, editor. Food-borne Pathogenes. Edisi ke-1. Florida (US): CRC
Pr. hlm 489-500.
Harris NB, Barletta RG. 2001. Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in
veterinary medicine. Clin Microbiol Rev. 14:489-512.
Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual
of Determinative Bacteriology. Edisi ke-9. Maryland (US): Williams &
Wilkins. hlm 597.
[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Kesiagaan
Darurat Veteriner Indonesia (KIATVETINDO) Paratuberculosis. Jakarta
(ID): Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
McKenna SLB. 2005. Comparison of two enzyme-linked immunosorbent assay
for diagnosis of Mycobcaterium avium subsp. paratuberculosis. J Vet Diagn
Invest. 17:426-466.
Noviyanti. 2008. Deteksi keberadaan antibodi anti H5N1 menggunakan metode
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada serum sapi yang
divaksinasi H5N1 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nugroho WS. 2008. Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
pada sapi perah, susu pasturisasi, dan susu formula lanjutan di wilayah
Bogor [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nugroho WS, Adji RS, Wahyuni A. 2008. Uji konfirmasi isolat lokal terduga
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis menggunakan
polymerase chains reaction (PCR) F57. JITV. 13(2):127-132.
[OIE] Office International des Epizooties. 2000. Paratuberculosis. In: Manual of
Standards Diagnostic Test and Vaccines. Paris (FR): OIE.
Putra AAG. 2006. Situasi penyakit hewan menular strategis pada ruminansia
besar: surveilans dan monitoring. Bulet Vet. 18:98-113.
Roussel AJ, Fosgate GT, Manning EJB, Collins MT. 2007. Association of fecal
shedding of Mycobcateria with ELISA-determined seroprevalence for
paratubeculosis in beef herds. JAVMA. 230:890-895.
[SCAHAW] Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare. 2000.
Possible links between crohn’s disease and paratuberculosis. Paris (FR):
European Commission, Directorate-General Health & Consumer Protection.

13
Shanahan JF. 1994. Mycobacteria. Di dalam: Potts LM, editor. Bailey and Scott’s
Diagnotic Mycrobiology. New York (US): Mosby-Year Book. Hlm 591.
Sudarwanto MB. 1999. Usaha peningkatan produk susu melalui program
pengendalian mastitis sub klinis [orasi ilmiah guru besar]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Stabel JR. 1998. Johne’s disease: a hidden threat. J Dairy Sci. 81:283-288.
Sung N, Takayama K, Collins MT. 2004. Possible associatin of GroES and
antigen 85 protein with heat resistance of Mycobacterium paratuberculosis.
J Appl Environ Microbiol. 70:1688-1697.
Tarmudji. 2007. Kejadian paratuberkulosis (Johne’s Disease) pada ruminansia di
Indonesia perlu diwaspadai. Wartazoa. 17:81-82.
Tasara T, Stephan R. 2005. Development of an F57 sequence-based real-time
PCR assay for detection of Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis. J Appl Environ Microbiol. 10:5957-5968.
Whipple DL, Kapke PA, Andersen PR. 1992. Comparison of commercial DNA
probe test and three cultivation procedures for detection of Mycobacterium
paratuberculosis in bovine feses. J Vet Diag Investig. 4:23-27.

14

Lampiran 1 Hasil visualisasi uji PCR primer IS900, F57, dan F57 Rn dari sampel
feses sapi

Gambar 1 Hasil uji PCR primer IS900 pada sampel dari peternakan di daerah Malang.
Pita DNA MAP tidak terdeteksi pada ke-5 sampel (kolom 4-8), kontrol positif
(kolom 2), kontrol negatif (kolom 9), dan marker 100 bp DNA ladder (kolom
1 dan 11).

Gambar 2 Hasil uji PCR primer IS900 pada sampel dari peternakan di daerah Kebumen,
Lebak dan Pandenglang, serta Yogyakarta dan Klaten. Pita DNA MAP tidak
terdeteksi pada ke-6 sampel; sampel Kebumen (kolom 5-8), Lebak dan
Pandenglang (kolom 9), Yogyakarta dan Klaten (kolom 10), kontrol positif
(kolom 12), kontrol negatif (kolom 3), dan marker 100 bp DNA ladder (kolom
1 dan 14).

15

Gambar 3 Hasil uji PCR primer IS900 pada sampel dari peternakan di daerah Kebumen,
Bandung, Bandung Barat, dan Bandarlampung. Pita DNA MAP terdeteksi pada
sampel kolom 8-12 (sampel Kebumen), kolom 17 dan 18 (sampel Bandung),
dan kolom 19 (sampel Bandarlampung). Pita DNA tidak terdeteksi pada sampel
kolom 3-5 (sampel Bandung Barat), 6-7 dan 13-16 (sampel Kebumen). Kontrol
positif (kolom 2), kontrol negatif (kolom 20), dan marker 100 bp DNA ladder
(kolom 1 dan 21).

Gambar 4 Hasil uji PCR primer F57 . Pita DNA MAP tidak terdeteksi pada sampel kolom
5-9 (sampel Kebumen), kolom 10 dan 11 (sampel Bandung), dan kolom 12
(sampel Bandarlampung). Kontrol positif (kolom 3), kontrol negatif (kolom
14), NTC dan marker 100 bp DNA ladder (kolom 1 dan 16).

16

Gambar 5 Hasil uji nasted PCR menggunakan primer F57 Rn. Pita DNA MAP tidak
terdeteksi pada sampel kolom 5-9 (sampel Kebumen), kolom 10 dan 11
(sampel Bandung), dan kolom 12 (sampel Bandarlampung). Kontrol positif
(kolom 3), kontrol negatif (kolom 14), NTC dan marker 100 bp DNA ladder
(kolom 1 dan 16).

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 8 Maret 1992 dari pasangan
Bapak Turiman dan Ibu Hermi Widayati. Penulis merupakan putra pertama dari
tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Majenang pada tahun 2010 dan
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata
kuliah Anatomi Veteriner II dan Anatomi Topografi. Penulis juga aktif sebagai
Anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (2011-2012),
Ketua Clan Sapi Potong Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (2012-2013),
dan Wakil Ketua dalam Stadium General Himpunan Minat dan Profesi
Ruminansia pada tahun 2012. Selain itu, penulis juga mengikuti magang liburan
di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) pada tahun 2012 dan Balai
Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Rawamangun Jakarta Timur
pada tahun 2013.