Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratubercu;osis Pada Sapi Perah, Susu Pasturisasi, Dan Susu Formula Lanjutan Di Wilayah Bogor
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAPI PERAH, SUSU PASTURISASI, DAN SUSU FORMULA
LANJUTAN DI WILAYAH BOGOR
WIDAGDO SRI NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI DESERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Deteksi Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis pada Sapi Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula
Lanjutan di Wilayah Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 11 November 2008
Widagdo Sri Nugroho
NRP B063040031
iii
ABSTRACT
WIDAGDO SRI NUGROHO. Detection of Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis in Dairy Cows, Pasteurized Milk, and Growing-up Formula
Milk in Bogor. Under the direction of MIRNAWATI SUDARWANTO, DENNY
WIDAYA LUKMAN, EWALD USLEBER, and SURACHMI SETIYANINGSIH
Indonesia has been importing dairy cows and milk products from countries
which have endemic disease of paratuberculosis or Johne’s disease. This disease is
caused by Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) and has big
impact in economic losses of dairy industry. The bacterium has been suggested to
cause Crohn’s disease that can be transmitted via milk and milk products. In the last
few years, paratuberculosis has been detected serologically in Indonesia. This
situation suggests a potential spread of the disease in the national dairy herds, and
may pose a public health risk. In the other aspect, Indonesia needs the diagnostic
tools to isolate MAP cheaply but quite accurate. The Ogawa medium is a cheap
medium, which is commonly used to isolate Mycobacterium tuberculosis in Indonesia
and could be improved as growth medium for MAP.
The objectives of the current study were (1) to evaluate capability of modified
Ogawa medium (MOM) as a growth medium for MAP, (2) to detect MAP in dairy herd
and as good as to evaluate the association between farm management factors and
the presence of the bacteria, (3) to detect MAP in pasteurized and growing up
formula milk in Bogor.
The study was done in Bogor region. Milk and feces samples were taken from
62 dairy cows (with estimated prevalence of 5%) in Cibungbulang. Fourty two
pasteurized milk samples produced by 7 distributors and 50 growing up formula milk
produced by 5 distributors were purchased in supermarkets.
Detection methods used MOM, herrold’s egg yolk medium with and without
mycobactin J, mycobacterium growth indicator tube, Ziehl-Neelsen staining, and
conventional polymerase chain reaction (PCR) using primers IS900 and F57.
Performance of MOM as growth medium for MAP and Mycobacterium avium
subspecies avium (MAV) was evaluated by agreement test (Kappa). The association
between herd management factors and the presence of Mycobacterium sp. was
evaluated using Odds Ratio (OR). The presence of MAP in raw, pasteurized, and
growing up formula milk were analyzed descriptively.
The modified Ogawa medium showed very poor performance as growth
medium for MAP (Kappa=0) but was useful for MAV (Kappa=1).There were no MAP
isolated from raw milk and feces of dairy cows. Fifteen Mycobacterium sp. could be
isolated from 15 dairy cows, but none of them was identified as either MAP or M.
tuberculosis. The study suggests that the prevalence of MAP among dairy cattle in
Bogor was less than 5%. The existence of Mycobacterium sp. in faeces associated
with body weight (OR 1.9), individual cases of diarrhoea (OR 1.8), age (OR 1.7), daily
milk product (0.5), and personal hygiene (0.3). Similarly, there was no evidence of life
MAP contamination in pasteurized and growing up formula milks, but nested PCR
using F57 detected MAP DNA in 5 samples from 3 growing-up formula milk
producers.
Further study needs to be done to improve the formulation of MOM suitable
for MAP. In addition, an observational study in dairy cattle, goat, sheep, and rabbit is
necessary to achieve the comprehensive information on paratuberculosis in
Indonesia. And from the public health point of view, a comprehensive and sustainable
study on MAP in milk and milk products, as well as in human is of particularly
important.
Key words: Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis modified Ogawa
medium, raw milk, pasteurized milk, growing-up formula milk.
iv
RINGKASAN
WIDAGDO SRI NUGROHO. Deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada Sapi Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula
Lanjutan di Wilayah Bogor. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, DENNY
WIDAYA LUKMAN, EWALD USLEBER, dan SURACHMI SETIYANINGSIH
Indonesia merupakan pengimpor sapi perah maupun produk susu olahan dari
beberapa negara endemis penyakit paratuberkulosis atau Johne’s disease (JD).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis (MAP) ini sangat merugikan ekonomi perternakan dan diduga kuat
menularkan penyakit Crohn pada manusia melalui produk susu dan susu olahannya.
Beberapa tahun terakhir, paratuberkulosis terdeteksi secara serologis pada sapi
perah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selama ini belum pernah dilakukan kajian
yang mendalam terhadap paratuberkulosis di Indonesia sehingga sangat
dikhawatirkan akan menyebar dan menimbulkan masalah bagi dunia peternakan dan
kesehatan masyarakat. Di lain pihak, media isolasi MAP yang mahal dan langka
menjadi salah satu kendala lain untuk mendiagnosis penyakit ini. Media Ogawa
selama ini dikenal sebagai media isolasi dan pertumbuhan Mycobacterium
tuberculosis yang murah dan mudah dibuat. Media ini sangat berpotensi untuk
dikembangkan menjadi media isolasi dan pertumbuhan untuk MAP dengan
melakukan modifikasi komponen penyusunnya.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) menguji media Ogawa modifikasi (MOM)
sebagai media isolasi dan pertumbuhan MAP (2) mendeteksi kasus MAP pada sapi
perah dan mengukur asosiasi tatacara beternak dengan keberadaan bakteri tersebut
(3) mendeteksi MAP pada susu pasturisasi dan susu formula lanjutan yang dijual di
wilayah Bogor.
Kajian deteksi MAP pada sapi perah dilakukan di wilayah Bogor dengan asumsi
prevalensi 5%. Contoh susu dan feses diambil dari 62 sapi perah Cibungbulang
Bogor yang tergabung dalam Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS)
Bogor. Deteksi MAP juga dilakukan 42 kemasan (180-250 ml) susu pasturisasi yang
berasal dari 7 produsen dan 50 kemasan (120-200 g) susu formula lanjutan yang
berasal dari 5 produsen. Seluruh produk susu olahan tersebut dibeli dari supermarket
di Wilayah Bogor dengan target konsumen adalah anak-anak.
Pengujian dilakukan menggunakan MOM, media herrold’s egg yolk medium
yang diperkaya dan tidak diperkaya mycobactin J, mycobacterium growth indicator
tube, dan polymerase chain reaction (PCR) konvensional dengan primer IS900 dan
F57. Analisis hasil uji MOM dilakukan dengan uji kesesuaian (Kappa), analisis faktor
keberadaan bakteri Mycobacterium sp. dilakukan dengan Odds Ratio (OR), dan
deteksi MAP pada susu segar, susu pasturisasi, dan susu formula lanjutan dilakukan
secara deskriptif.
Media Ogawa modifikasi mampu menumbuhkan Mycobacterium avium
subspesies avium namun belum sesuai untuk menumbuhkan MAP. Tidak ditemukan
isolat MAP dari seluruh contoh susu segar dan feses sapi perah. Pada penelitiani ini
diperoleh 15 isolat Mycobacterium sp. yang tumbuh dari contoh 15 feses sapi perah.
Limabelas isolat Mycobacterium sp. tersebut setelah dikonfirmasi dengan PCR tidak
teridentifikasi sebagai MAP dan berdasarkan uji kimia tidak teridentifikasi pula
sebagai M. tuberculosis. Hasil analisis asosiasi dan Odds Ratio atas keberadaan
Mycobacterium sp. pada feses dengan tatacara beternak memperlihatkan beberapa
faktor yang terkait. Faktor-faktor dapat digunakan sebagai indikasi untuk membantu
diagnosis kasus infeksi Mycobacterium sp. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan
(OR 1.9), kasus diare (OR 1.8), umur (OR 1.7) produksi susu per hari (OR 0.5), dan
kebersihan pemerah (OR 0.3). Tidak ditemukannya bakteri MAP dalam penelitian ini
mengindikasikan bahwa prevalensi kasus MAP di Bogor kurang dari 5%.
Hasil deteksi terhadap MAP pada susu olahan yaitu susu pasturisasi dan susu
formula lanjutan menunjukkan tidak adanya isolat MAP yang tumbuh dari seluruh
v
contoh. Pada uji PCR konvensional baik tidak diperoleh pita DNA MAP target tetapi
berdasarkan uji PCR F57 nested diperoleh DNA target dari 5 contoh susu yang
berasal dari 3 produsen susu formula lanjutan. Temuan ini merupakan indikasi
adanya jejak keberadaan MAP dalam susu formula lanjutan tersebut namun tidak
ditemukannya isolat yang tumbuh membuktikan bahwa tidak ada bakteri MAP yang
hidup dalam produk tersebut.
Hasil penelitian ini memberikan data awal terhadap keberadaan MAP di
Indonesia dan masih perlu tindak lanjut kajian untuk memberikan gambaran yang
komprehensif status MAP. Kajian perlu dilanjutkan untuk mendapatkan formula
media Ogawa modifikasi yang tepat sebagai media pertumbuhan MAP. Kajian
observasional perlu dilakukan pada peternakan sapi perah, kambing, domba, serta
kelinci untuk mendapatkan gambaran lengkap paratuberkulosis di Indonesia. Kajian
menyeluruh dan berkelanjutan juga harus dilakukan pada susu dan hasil olahannya
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan bervariasi termasuk pada manusia
untuk menjamin keamana pangan bagi masyarakat Indonesia. Di lain pihak dengan
ditemukannya isolat Mycobacterium sp. maka perlu diaktifkan kembali tuberkulinasi
pada sapi perah sebagai upaya pemantauan kasus tuberkulosis sapi.
Kata kunci: Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, media Ogawa
modifikasi, susu segar, susu pasturisasi, susu formula lanjutan.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan
sumbernya.
Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa seizin IPB
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayahNya sehingga desertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berorientasi
pada kesehatan ternak dan keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan
topik Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis yang sangat jarang diteliti
di Indonesia. Bakteri ini memiliki potensi menjadi ancaman yang besar bagi
peternakan dan kesehatan manusia di Indonesia.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Hj.
Mirnawati Sudarwanto, Prof. Dr. Ewald Usleber, Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.
Si. dan drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. selaku pembimbing yang memberi
kesempatan penulis untuk melakukan sebagian penelitian di Jerman. Kepada drh.
Rochman Naim, Ph.D. yang telah memberikan masukan di awal penelitian ini.
Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. drh. Setyawan Budiharta, M.P.H., Ph.D.
dan Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc. yang telah mengarahkan dan
mendukung penulis untuk melanjutkan pendidikan doktor dengan program sandwich,
kepada Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S. dan Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari,
D.E.A. selaku penguji luar komisi, kepada drh. Muhammad Fahruddin, Ph.D. dan
drh. Ni Wayan Kurniani Karja, M.P., Ph.D. atas dukungan akomodasi kepada penulis
selama di Bogor, kepada Dr. Abdulwahed Ahmed Hassan dan seluruh staf
Laboratorium Kesehatan Susu, Universitas Justus-Liebig Jerman yang telah
membantu penulis melakukan penelitian selama di Jerman. Terimakasih kepada
para peternak KPS Bogor, para kolega pengajar dan laboran di Bagian/Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM dan FKH IPB, staf di Laboratorium
Terpadu Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, yang telah
membantu penelitian ini. Terimakasih kepada drh. Maya Purwanti, M.S., drh.
Nurliana, M.Si, dan drh. Rahmat Setya Adji, M.Si. atas
kerjasamanya selama
penelitian. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa
pendidikan
doktor
melaui
program
BPPS
dan
Deutsche
Akademische
Austauschdienst (DAAD) atas beasiswa sandwich kepada penulis. Terimakasih dan
penghargaan
penulis
sampaikan
pula
kepada
almarhum
Bapak
dan
Ibu
Martopratiknyo, Bapak Djohansyah (alm), Ibu Rusimah, drg. Eka Rusmeida dan
Wikasita Najmi Nariswari, kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan tercinta atas
dukungan doa, moral, dan material selama ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan
peternak khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, 11 November 2008
Widagdo Sri Nugroho
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak bungsu dari 7 bersaudara putra Bapak Doellah
Satari Martopratiknyo dan Ibu Sri Kawit Martopratiknyo, dilahirkan di Surakarta
19 Desember 1970. Pendidikan dasar sampai menengah dijalani di Sekolah
Dasar Pangudiluhur Surakarta 1976-1983, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Surakarta tahun 1983-1986, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Surakarta,
1986-1989. Pendidikan dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadjah Mada diselesaikan tahun 1996. Setelah lulus dari FKH UGM,
bekerja pada satu industri perunggasan multinasional sebagai poultry health
supervisor. Sejak tahun 2000 dipanggil untuk mengabdikan diri sebagai staf
pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Pada tahun
2000-2003 mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana Departemen
Pendidikan Nasional untuk melanjutkan pendidikan Magister Pertanian (Strata 2)
pada program Sain Veteriner dengan mengambil konsentrasi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Veteriner di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Tahun
2004 kembali mendapat beasiswa pendidikan pascasarjana Departemen
Pendidikan Nasional untuk menempuh pendidikan program Doktor (Strata 3)
pada Program Studi Sain Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dengan mengambil konsentrasi Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Pada tahun 2006 mendapatkan beasiswa dari Deutsche Akademische Austausch
Dienst (DAAD) untuk program sandwich ke Universitas Justus–Liebig Jerman,
dalam rangka penelitian disertasi ini.
Sejak menjadi siswa hingga mahasiswa terlibat aktif dalam banyak
kegiatan pada organisasi siswa dan mahasiswa. Setelah lulus dokter hewan
bergabung pada organisasi profesi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
cabang Yogyakarta dan menjadi Sekretaris I pada tahun 2001-2005. Penulis juga
anggota Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti) dan
pernah menjadi Sekretaris Jenderal periode 2002-2006. Beberapa tulisan terkait
topik desertasi ini telah diterbitkan pada beberapa Jurnal Nasional terakreditasi
antara lain Detection of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis in
Formula Milk From Bogor Using PCR IS900 pada Medical Journal of Indonesia
Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia, Deteksi Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis pada Susu Formula Lanjutan di Bogor pada Jurnal
Teknologi dan Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
2
DAFTAR ISI
Halaman
x
DAFTAR TABEL..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis .......................
Paratuberkulosis pada hewan .........................................................
Penyakit Crohn dan Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis ..............................................................................
4
9
12
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ..........................................................................
Tahapan Penelitian .........................................................................
17
17
MODIFIKASI
MEDIA
OGAWA
SEBAGAI
MEDIA
TUMBUH
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract ………………………………………………………………….
Pendahuluan …………………………………………………………....
Bahan dan Metode ……………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran ....................................................................
26
26
27
29
30
36
KAJIAN METODE PCR KONVENSIONAL MENGGUNAKAN PRIMER
IS900 DAN F57 UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract ………………………………………………………………….
Pendahuluan …………………………………………………………….
Bahan dan Metode …………………………………………………..…
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan.......................................................................................
KAJIAN DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAPI PERAH DI BOGOR
Abstrak ……………………………………………………………….….
Abstrat ……………………………………………………………….….
Pendahuluan ……………………………………………………………
Bahan dan Metode …………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan ..................................................................
Kesimpulan dan Saran ...................................................................
37
37
38
39
41
45
46
46
48
49
53
64
3
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis PADA
SUSU PASTURISASI YANG DIJUAL DI BOGOR
Abstrak ………………………………………………………………….
Abstract………………………………………………………………….
Pendahuluan……………….……………………………………………
Bahan dan Metode …….....……………………………………………
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran.....................................................................
66
66
67
69
71
74
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis PADA
SUSU FORMULA LANJUTAN YANG DIJUAL DI BOGOR
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract…………………………………………………………………..
Pendahuluan …………………………………………………………….
Bahan dan Metode ……………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran ....................................................................
75
75
76
77
80
84
PEMBAHASAN UMUM
Paratuberkulosis dan Peternakan Rakyat Sapi Perah di Bogor……
85
Cemaran Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
pada Susu dan Penyakit Crohn .......................................................
88
Potensi Kasus Infeksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis dan Kajian Terkait di Masa Mendatang…………..
92
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ……………………………………………………………...
Saran ….…………………………………………………………………
96
96
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
98
4
DAFTAR TABEL
Halaman
1
1 Populasi sapi dan produksi susu nasional ........................................
2 Rataan insidensi kasus CD (per 100000 orang/tahun) selama
tahun 1991-1994 di Eropa ................................................................
14
3 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj
atas pertumbuhan MAP.....................................................................
32
4 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj
atas pertumbuhan MAV.....................................................................
32
5 Pertumbuhan bakteri MAP dan MAV pada media HEYMj.................
43
6 Hasil lengkap deteksi MAP dari susu dan feses sapi perah di
Bogor.................................................................................................
56
7 Asosiasi faktor ternak dengan keberadaan Mycobacterium sp.
pada feses………………………………………………………………..
59
8 Hasl pengujian MAP pada susu pasturisasi di Wilayah Bogor..........
71
9 Hasil analisis MAP dengan berbagai metode pada susu formula
lanjutan…….......................................................................................
81
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tahapan penelitian deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada sapi perah dan produk susu olahan di Bogor....
18
2 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui spesifisitas primer IS900...
41
3 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui sensitivitas primer IS900...
42
4 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui sensitivitas primer F57......
42
5 Isolat Mycobacterium sp. yang tumbuh dari contoh feses pada media
HEYMj dan HEYM..................................................................................
53
6 Perbandingan Mycobacterium sp. isolat F56 dan MAP referensi..........
54
7 Hasil PCR F57 dari ekstraksi langsung contoh susu segar ..................
55
8 Hasil PCR F57 dari isolat Mycobacterium sp. yang diperoleh dari
contoh feses...........................................................................................
55
9 Hasil PCR 57 konvensional terhadap contoh susu formula lanjutan......
80
10 Hasil PCR 57 nested terhadap contoh susu formula lanjutan................
81
6
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAPI PERAH, SUSU PASTURISASI, DAN SUSU FORMULA
LANJUTAN DI WILAYAH BOGOR
WIDAGDO SRI NUGROHO
DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sain Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
7
Judul Disertasi
Nama
NIM
: Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Pada Sapi
Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula Lanjutan di Wilayah Bogor
: Widagdo Sri Nugroho
: B063040031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Ketua
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M. Si.
Anggota
Prof. Dr. Ewald Usleber
Anggota
drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph. D.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sain Veteriner
Dr. drh. Bambang Pontjo P, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
8
Tanggal Ujian: 11 November 2008
Tanggal Lulus:
Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.
Penguji luar komisi pada ujian terbuka :
Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U.,M.Sc.
Dr. Ir. Rarah RA. Maheswari, D.E.A.
PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan susu nasional dilakukan dengan berbagai cara
seperti
meningkatkan
populasi
sapi
perah
dan
produktivitasnya
serta
mendatangkan susu dan hasil olahannya. Upaya peningkatan produksi susu
dalam negeri dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik, pembinaan sumber
bibit ternak, pembinaan pakan ternak, pengamanan ternak, dan hasil-hasil ternak
yang meliputi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit ternak
serta pembinaan usaha peternakan (Sudarwanto 1999). Populasi sapi perah
nasional tahun 2007 tercatat sebanyak 377772 ekor yang menyumbang produksi
susu sebanyak 6368957 ton atau hanya sekitar 25-30% dari kebutuhan nasional,
sehingga masih diperlukan import susu dan produk olahannya. Perkembangan
populasi dan produksi susu segar dalam negeri selama 5 tahun terakhir dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Populasi sapi dan produksi susu nasional (DitJen Peternakan 2007)
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
Populasi sapi perah*
(ekor)
374 000
364 000
361 000
369 000
378 000
Produksi susu segar
(ton)
553 400
549 900
536 000
616 500
636 900
Keterangan: * angka dibulatkan ke atas
Populasi sapi perah tersebut mayoritas dikelola oleh peternak rakyat yang
rata-rata hanya memiliki sapi produksi 3-5 ekor. Rerata produksi susu yang
dihasilkan setiap sapi masih di bawah 10 liter perhari walaupun menggunakan
bibit sapi perah unggul. Usaha meningkatkan produksi susu dilakukan dengan
menambah jumlah sapi, namun hal ini tidak diikuti peningkatan kualitas
pengelolaan peternakan sehingga hasilnya tidak optimal. Beberapa faktor terkait
dengan pengelolaan adalah sulitnya mendapatkan pakan hijauan, konsentrat
serta lahan yang semakin sempit (Yusdja 2005). Faktor lain yang mempengaruhi
rendahnya produksi susu adalah keberadaan penyakit yang menyerang
peternakan.
Penyakit pada sapi perah dapat dikelompokkan menjadi penyakit tidak
menular, serta penyakit menular primer dan sekunder. Beberapa penyakit pada
sapi perah seperti mastitis (radang ambing), brucellosis, anthrak, septicaemia
2
epizootica (ngorok), bovine viral disease, infectious bovine rhinotracheitis, dan
cacingan masih menjadi permasalahan yang sering dilaporkan terjadi di
Indonesia. Seringkali kasus kronis kurang menjadi perhatian peternak sehingga
tanpa disadari ada kerugian dalam usaha peternakan tersebut akibat produksi
sapi tidak optimal (Sudarwanto 1999; Putra 2006). Salah satu penyakit kronis
yang berpotensi menjadi ancaman bagi usaha peternakan yaitu paratuberkulosis
atau Johne’s disease (JD) yang disebabkan oleh Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis (MAP). Saat ini penyakit tersebut masih belum
menjadi perhatian pemerintah maupun peternak. Kasus MAP pernah terdeteksi
secara serologis dan dilaporkan pada tahun 1951, 1998, dan terakhir 2004 (Adji
2004), dikhawatirkan kasus ini akan meluas mengingat lingkungan peternakan di
Indonesia memungkinkan tumbuhnya bakteri MAP.
Kejadian diare pada sapi perah seringkali dianggap biasa oleh peternak,
terlebih pada saat pergantian musim atau pakan. Peternak sering tidak
menyadari kejadian diare pada diri atau keluarganya terkait dengan kesehatan
sapi yang dipelihara. Banyak penyakit yang ditandai gejala diare namun belum
banyak yang menghubungkannya dengan infeksi MAP baik pada sapi atau
manusia.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis diduga kuat berkaitan
dengan kasus Crohn’s disease (CD) yaitu penyakit radang kronis saluran
pencernaan bagian bawah pada manusia. Paparan MAP pada manusia
umumnya terjadi pada umur 15-24 tahun dan kadang justru terjadi pada keluarga
dengan status sosial baik. Kasus CD juga dikaitkan dengan susu dan produk
olahannya terutama dari ternak yang terinfeksi MAP. Beberapa survei di negara
Eropa menunjukkan tingkat cemaran MAP yang tinggi pada susu segar dan
olahannya seperti susu pasturisasi, susu formula, dan keju (SCAHAW 2000).
Sumber bibit sapi perah dan bahan baku industri susu nasional
didatangkan dari negara-negara penghasil susu khususnya Australia dan New
Zealand.
Dua negara tersebut dan beberapa negara Eropa seperti Jerman,
Inggris, dan Swiss tercatat memiliki prevalensi kasus JD cukup tinggi (>15%).
Pengawasan terhadap infeksi MAP pada ternak impor di Indoneseia sudah
dilakukan, namun mengingat masa inkubasinya yang panjang, maka infeksi pada
hewan tidak mudah terdeteksi dengan uji serologis. Bahan baku susu bubuk dan
susu olahan impor selama ini juga belum pernah diperiksa terhadap keberadaan
MAP. Kedua kondisi tersebut sangat berpeluang menjadi pintu masuk dan
3
menyebarnya kasus JD pada peternakan nasional serta ancaman penularan
MAP pada masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap MAP di Indonesia belum pernah dilakukan, sehingga
penelitian ini benar-benar merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Geografi
Indonesia yang berada di daerah tropis, memungkinkan MAP hidup dan
berkembang di wilayah ini. Dugaan ini didukung fakta masih tingginya kejadian
tuberkulosis (disebabkan Mycobacterium tuberculosis) dan penyakit lepra
(disebabkan Mycobacterium leprae) di Indonesia(WHO 2003).
Tantangan lain berkaitan dengan MAP adalah media diagnosis. Isolasi
MAP pada umumnya dilakukan dengan Herrold’s egg yolk media (HEYM) dan
Löwenstein-Jensen (LJ) yang cukup mahal. Di Indonesia, sudah banyak dipakai
media Ogawa untuk mengisolasi Mycobacterium tuberculosis di laboratoriumlaboratorium rumah sakit paru atau saluran pernafasan. Media ini relatif murah
dan sangat mudah dibuat namun sampai saat ini belum banyak dimodifikasi
sebagai media tumbuh MAP.
Penelitian ini juga akan memodifikasi media
Ogawa untuk mengisolasi MAP dengan menambahkan mycobactin ke dalam
media.
Mycobactin merupakan senyawa yang membantu mikroorganisme
menyerap logam yang sangat terbatas ketersediaannya di lingkungan. Bakteri
MAP
sangat
membutuhkan
senyawa
mycobactin
karena
tidak
mampu
menghasilkan senyawa ini.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menguji media Ogawa modifikasi sebagai
media isolasi MAP, (2) mendeteksi MAP pada sapi perah dan mengukur asosiasi
tatacara beternak dengan keberadaan bakteri tersebut, serta (3) mendeteksi
MAP pada susu pasturisasi dan susu formula lanjutan.
Hipotesis penelitian ini adalah (1) ditemukan bakteri MAP pada sapi perah
di Bogor dengan prevalensi kasus sebesar 5%, (2) Bakteri MAP dapat ditemukan
pada susu segar, susu pasturisasi, dan susu fromula lanjutan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data yang berharga bagi
para pengambil kebijakan bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat.
Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan membantu para pemangku
kepentingan industri susu untuk menyikapi dan mengambil langkah pencegahan
kasus JD maupun CD. Hasil lain yang penting adalah diperolehnya media
alternatif yang murah dan akurat untuk mengisolasi atau menumbuhkan MAP.
TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
Pada tahun 1895, Johne dan Frothingham menemukan bakteri tahan asam
yang menyebabkan bentuk atypical tuberculosis pada sapi di Jerman (Griffiths
2003). Pada tahun 1910, bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis
chronicae pseudotuberculosis bovis johne yang selanjutnya dikelompokkan ke
dalam Mycobacterium avium complex dan terakhir disebut Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis.
Bakteri ini merupakan patogen obligat pada
mamalia khususnya ruminansia yang menyebabkan radang granulomatosa
saluran pencernaan yang dikenal sebagai paratuberkulosis atau Johne’s Disease
(JD) (SCAHAW 2000).
Morfologi dan Karakter
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah bakteri
Gram positif, berbentuk batang lurus atau sedikit bengkok dan terkadang
bercabang dengan ukuran 0.2-0.7 X 1.0-10 μm. Dinding sel MAP tersusun dari
lapisan lipida kompleks yang tebal. Bakteri ini bersifat aerobik, tidak bergerak
aktif (non-motile) dan tidak berspora (Gallagher & Jenkins 1998; Harris & Barletta
2001). Kemampuan tumbuh Mycobacterium dikenal dua macam yaitu tumbuh
cepat (koloni tampak dalam waktu kurang dari 7 hari) dan tumbuh lambat (koloni
baru terlihat setelah 7 hari).
Secara umum Mycobacterium memiliki waktu
tumbuh 2-60 hari (Holt et al. 1994) namun untuk MAP dapat mencapai 18 bulan
untuk isolat lapang (Shanahan 1994). Koloni memiliki permukaan halus atau
kasar, tumbuh pada pada suhu 25-45 °C dengan suhu optimal 39 °C, bakteri ini
juga mampu hidup di dalam makrofag, tahan pada pH 5.5, alkohol dan panas,
membutuhkan senyawa mycobactin untuk mengikat zat besi lingkungan (Griffiths
2003).
Sifat tahan panas MAP berbeda dengan Mycobacterium lainnya.
Pasturisasi umumnya mampu mematikan Mycobacterium tuberculosis, M. bovis,
dan lainnya namun hal ini kurang berhasil untuk MAP (Sung et al. 2004).
Beberapa penelitian memperlihatkan MAP mampu bertahan pada suhu
pasturisasi low temperature long time (LTLT) 63-63.3 °C selama 30 menit dan
high temperature short time 71.7-72 oC selama 15 detik (Chiodini & HermonTaylor 1993; Grant et al. 1996). Kemampuan tahan panas ini diduga terkait
5
dengan protein 65kDa, GroES, antigen α, dan Ag 85B yang dimiliki MAP (ElZaatari et al. 1995; Sung et al. 2004)
Bakteri umumnya membutuhkan zat besi untuk keperluan metabolisme,
demikian halnya dengan Mycobacterium.
Senyawa besi kompleks dikelasi
bakteri melalui perantara senyawa siderofor untuk diangkut menembus membran
hingga masuk ke sitoplasma. Dua jenis siderofor yang dikenal yaitu mycobactin
yang larut lemak dan eksokelin (exochelin) yang larut air. Eksokelin merupakan
protein bermolekul kecil yang terdapat pada cairan ekstraseluler. Zat besi dalam
tubuh hewan pada umumnya disimpan dalam bentuk ferritin dan molekul
transpor yang digunakan adalah transferrin dan lactoferrin.
Eksokelin yang
dihasilkan Mycobacterium akan mengkelasi zat besi dan membawanya melintasi
membran sel. Selanjutnya zat besi diangkut oleh mycobactin masuk ke dalam
sel bakteri. Kemampuan menghasilkan eksokelin dan myobactin hanya dimiliki
oleh Mycobacteria dan Nocardia sehingga hal ini menjadi faktor penting dalam
taksonomi bakteri ini. Pada umumnya Mycobacterium memiliki dua senyawa
siderofor tersebut namun MAP dan beberapa strain MAV tidak mampu
menghasilkan mycobactin.
Ketergantungan terhadap mycobactin ini menjadi
penanda khas untuk MAP meskipun saat ini Mycobacterium avium subspesies
silvaticum dan beberapa MAV juga teridentifikasi memiliki ciri tersebut (Cocito et
al. 1994).
Mycobacteriaceae
memiliki
4
genus
Mycobacterium, Nocardia, dan Rhodococcus.
yaitu
Corynebacterium,
Spesies Mycobacterium avium
yang termasuk dalam genus Mycobacterium saat ini terbagi menjadi 3
subspesies yaitu Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium
subspesies silvaticum, dan Mycobacterium avium subspesies partuberculosis.
Komposisi basa dari genom masing-masing genus merupakan parameter
taksonomi (Cocito et al. 1994).
Saat ini dipakai metode biofisika (thermal profile atau buoyant density) dan
dinyatakan dalam bentuk prosentase guanine+cytosine (G+C) dalam DNA.
Komposisi
basa
Rhodococcus
(G+C)
63-73%,
dari
genom
Mycobacterium
Corynebacterium
62-70%,
dan
adalah
48-59%,
Nocardia
64-69%.
Komposisi basa untuk beberapa spesies Mycobacterium antara lain M. leprae
55-58% (di luar rentang ukuran genom Mycobacterium), MAP 66-67%,
M.
kansasii 64%, M. bovis dan M. tuberculosis 63-66%. Ukuran genom masingmasing spesies juga bervariasi seperti MAP 4.4X106 sampai 4.7X106 bp, ini lebih
6
besar dibandingkan spesies lain seperti MAV 3.5X106 bp, M tuberculosis 3.0
X106 sampai 4.2X106 bp, M. leprae 2.0X106 sampai 3.30X106 bp (Harris &
Barletta 2001; Cocito et al. 1994).
Deteksi dan Identifikasi MAP
Identifikasi fenotipik MAP dilakukan dengan menggunakan beberapa media
seperti Herrold’s egg yolk medium (HEYM), Modified Dubos’s medium,
Middlebrook 7H9, 7H10, 7H11, 7H12 Bactec medium, dan Löwenstein–Jensen
medium (LJ) (Holt et al. 1994; OIE 2004).
Pada media biakan seperti HEYM, LJ, atau Middlebrook 7H9 agar yang
diperkaya mycobactin J, koloni akan terlhat halus atau kasar. Pada uji biokimia,
MAP tidak menghasilkan niasin, peroksidase, nitrat reduktase, urease,
arisulfatase, penisilinase, beta-glukosidase, dan tidak menghidrolisis Tween 80
dalam 10 hari. Beberapa strain menghasilkan sedikit katalase termo resisten dan
semua strain susunan asam mikolak (mycolic acid) dan resisten terhadap
thiophene-2-carboxylic
acid
hydrazide,
dan
isoniazid
(SCAHAW
2000).
Kelemahan dari metode isolasi adalah keberadaan bakteri yang tidak selalu
dapat ditemukan dalam feses, susu, atau jaringan atau organ. Kelemahan lain
adalah waktu pertumbuhan MAP yang lama yaitu 3-24 minggu, bahkan dapat
mencapai 18 bulan (Shanahan 1994, Griffiths 2003) sehingga metode ini sulit
memberikan keputusan yang cepat.
Identifikasi bakteri dapat pula dilakukan dengan mewarnai ulas bakteri
dengan pewarnaan tahah asam Ziehl-Neelsen (ZN). Metode ini dapat dilakukan
dari contoh ulas dari organ terutama kelenjar limfoid saluran pencernaan/usus,
feses, maupun susu penderita. Pada pewarnaan ZN ini MAP akan terlihat
berbentuk batang dan berwarna merah (OIE 2004). Bakteri MAP sulit dibedakan
dengan Mycobacterium sp. lainnya dengan teknik pewarnaan karena ukuranya
yang tidak jauh berbeda.
Deteksi terhadap MAP berdasarkan uji serologis dilakukan dengan
complement fixation test (CFT), enzyme linked immunosorrbent assay (ELISA),
agar gel immunodiffusion (AGID). Reaksi tanggap kebal humoral mulai dapat
terdeteksi pada fase pre-klinis tanpa disertai pengeluaran bakteri di dalam
fesesnya (McKenna et al. 2005; Roussel et al. 2007). McKenna et al. (2005)
menjelaskan bahwa hasil uji ELISA berkaitan erat dengan fase perkembangan
penyakit pada inang. Pada fase preklinis infeksi MAP, sensitivitas ELISA masih
7
sangat rendah dan akan meningkat pada fase klinis seiring reaksi tanggap kebal
inang. Pendapat Osterstock et al. (2007) sejalan dengan Roussel et al. (2007)
yang menyebutkan bahwa spesifisitas ELISA relatif tinggi yaitu 91-95% dengan
melakukan absorbsi serum menggunakan M. phlei.
Prosedur ini cukup baik
meskipun masih memungkinkan terjadinya reaksi silang dengan MAC,
khususnya M. intraselular sehingga dihasilkan reaksi positif palsu. Hal ini
seringkali menyebabkan hasil uji serologis tidak sejalan dengan hasil isolasi
bakteri dari feses.
Identifikasi genotipik merupakan satu metode yang sangat membantu
mengenali MAP dengan cepat. Insertion sequence (IS) merupakan elemen
genetik yang bergerak dan hanya mengandung gen-gen terkait fungsi insersi.
Lokasi IS berada di dalam struktur gen yang dapat menyebabkan terjadinya
mutasi insersional (Lida et al. 1983 diacu oleh Green et al. 1989).
Pengelompokan IS dilakukan berdasarkan pada kemiripan dan perbedaan
struktur, organisasi, dan nukleotida serta protein sekuen terkait. Letak IS pada
lokasi tertentu yang stabil dalam kromosom menjadikan mereka sebagai
penanda dalam kajian restriction fragment length polymorphism (RFLP) untuk
penentuan spesies dan kajian epidemiologi.
Struktur IS tersusun dari
transposon, dalam kajian lebih lanjut IS ini berkaitan dengan fungsi patogenik
dan virulensi agen. Sejak dipublikasikan tahun 1989 penelitian terkait IS sangat
banyak dan hingga tahun 1998 telah diidentifikasi sekitara 500 IS (Mahillon &
Chandler 1998).
Penggunaan polymerase chain reaction (PCR) sebagai salah satu metode
diagnosis sangat membantu dalam penelitian tentang MAP. Green et al. (1989)
berhasil mendapatkan sekuen elemen DNA untuk diagnosis MAP yang kemudian
dikenal sebagai insertion sequence (IS) 900. Sekuen tersebut dikelompokkan
dalam keluarga IS110, dengan ukuran 1451 bp dan komposisi G+C sebesar
66%.
Insertion sequence ini memiliki mayor open reading frames (ORF)
sejumlah 1197 nukleotida yang diprediksi mengkode 399 protein dan dapat
mengkopi 15-20 genom MAP. Sumber IS900 tidak diketahui tetapi diduga dibawa
oleh mycobacteriophage.
Pohon genetik IS900 menunjukkan bahwa MAP
masuk dalam kelompok Mycobacterium avium. Keunikan perangkat IS900 ini
adalah tidak memiliki terminal inverted dan direct repeats. Insertion sequence
900 memiliki daya pembeda yang tinggi untuk mengidentifikasi MAP secara tepat
sehingga digunakan untuk keperluan deteksi ataupun konfirmasi MAP.
8
Perkembangan selanjutnya primer IS900 yang spesifik MAP ini digunakan
sebagai rujukan identifikasi MAP baik untuk konfirmasi isolat maupun diagnosis
cepat.
Penggunaan primer IS900 juga digunakan untuk mendeteksi MAP
langsung pada beberapa contoh seperti susu segar, susu pasturisasi, dan keju
(Grant et al. 1998; Giese & Ahrens 2000; Pillai & Jayarao 2002), feses (Motiwala
et al. 2004; Strickland et al. 2005), maupun biopsi jaringan (Taddei et al. 2004;
Hermon-Taylor et al. 1998). Sekuen genom lengkap MAP berhasil dipetakan
oleh Li et al. (2005) sehingga akan dapat dijadikan rujukan dalam
pengembangan metode deteksi dan produk biologis untuk pengendalian penyakit
JD di masa mendatang.
Harris dan Barletta (2001) menyatakan bahwa primer IS900 yang
dirancang Vary et al. (1990) memiliki kelemahan yaitu adanya 229 wilayah
amplifikasi yang tumpang tindih dengan IS1626 dari M. avium sehingga sering
diperoleh hasil positif palsu.
Cousins et al. (1999) juga mendapatkan hasil
amplifikasi dari Mycobacterium lingkungan non-MAP menggunakan primer ini.
Secara tegas Semret et al. (2006) menyatakan bahwa amplifikasi dari IS900
tidak cukup mewakili MAP. Kelemahan-kelemahan ini diidentifikasi oleh Bull et
al. (2000) dan kemudian mengembangkan beberapa variasi IS900 yang dikenal
sebagai multiplex PCR of IS900 loci (MPIL) untuk memperbaiki kinerja primer ini.
Variasi MPIL didasarkan pada sekuen genom DNA dan didapatkan 14 variasi
primer IS900 yang berbeda pada genom MAP. Temuan ini diharapkan mampu
mengurangi hasil positif palsu.
Selain pengembangan IS900 sebagai primer MAP, beberapa peneliti juga
mengembangkan primer lain seperti yang dilakukan Cocito et al. (1994) yang
mengembangkan F57. Primer ini dikloning dari segmen DNA MAP dalam satu
vektor transkripsi. Klon F57 rekombinan terbukti spesifik untuk identifikasi agen
JD. Sekuen F57 menghasilkan satu segmen 620 bp dengan kandungan G+C
sebesar 58%.
Primer F57 mampu mengidentifikasi MAP dengan baik dari
jaringan hewan penderita JD yang telah diparafin (Coetsier et al. 2000).
Pengembangan F57 sebagai primer identifikasi MAP dikembangkan oleh
Vansnick et al. (2004) dengan target gen F57 yang memiliki panjang 424-432 bp.
Kinerja primer F57 dengan metode nested PCR sangat baik dengan kemampuan
deteksi hingga 1 CFU per PCR dan daya pembeda yang sangat baik.
Penggunaan F57 untuk deteksi MAP pada susu dengan metode RT-PCR juga
memberikan kinerja yang sangat baik pada tingkat sensitivitas pada 102 sel/ml
9
(Tasara & Stephan 2005). Berdasarkan berbagai hasil penelitian di atas para
peneliti menganjurkan penggunaan metode deteksi lebih dari 1 macam termasuk
pada analisis molekular dengan menggunakan setidaknya 2 primer.
Paratuberkulosis pada Hewan
Paratuberkulosis pada hewan terutama terjadi pada ruminansia seperti
sapi, domba, dan kambing namun dapat terjadi pula pada satwa liar seperti
bison, kijang, kelinci, dan kadang ditemukan pula pada burung-burung liar meski
tidak menimbulkan gejala klinis (Cocito et al. 1994; Buergelt et al. 2000; Acha &
Szyfres 2003).
Hewan penderita paratuberkulosis akan menunjukkan gejala
sakit 2-5 tahun setelah infeksi.
Penderita paratuberkulosis subklinis akan
merugikan peternak karena penurunan produksi susu dan rendahnya kinerja
reproduksi. Kerugian industri peternakan sapi perah di Amerika Serikat karena
penyakit ini diperkirakan mencapai US $ 1.5 milyar per tahun (Stabel 1996).
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit
Sejak dikenal pertamakali, kasus JD telah diketahui tersebar di berbagai
tempat. Pada tahun 1934 sebuah penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa
prevalensi kasus JD hanya 0.8%. Berbagai survei yang dilakukan pada
peternakan sapi di negara-negara Eropa memperlihatkan prevalensi JD yang
bervariasi seperti di Inggris sekitar tahun 1950 mencapai 11-17%, di Denmark
pada tahun 1965 sebesar 2.3% dan meningkat pada tahun 1972 yang mencapai
9.8%. Di Amerika Serikat survei tahun 1980 memperlihatkan tingkat penyakit
pada peternakan sapi sebesar 1.2% (SCAHAW 2000).
Laporan tahun 1997
menunjukkan peningkatan prevalensi JD di Amerika yang mencapai 21.6% dan
40% dari peternakan yang terinfeksi tersebut memiliki lebih dari 300 sapi
penderita (Gonda et al. 2006).
Tingginya prevalensi menunjukkan penyakit ini sulit dikendalikan. Faktor
lingkungan sangat berperan dalam kelangsungan penyakit ini. Raizman et al.
(2004) melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi MAP di lingkungan
peternakan sapi perah di Minnesota.
Hasil penelitian ini memperlihatkan
prevalensi peternakan yang tercemar MAP mencapai 53-73%, sedangkan
distribusi keberadaan bakteri di peternakan terdapat pada lokasi–lokasi seperti
pada gang/jalan ternak 77%, penampungan pupuk/kotoran 68%, lokasi
melahirkan 21%, kandang sapi sakit 18%, air limbah 6%, dan daerah penyapihan
10
3%. Pergantian musim terbukti tidak mempengaruhi terjadinya kasus JD pada
peternakan (Strickland et al. 2005). Hal ini sejalan dengan temuan Whan et al.
(2005) yang sepanjang musim dapat menemukan MAP dari air yang tidak diberi
perlakuan (untreated) di Irlandia Utara. Tingginya kejadian juga diduga karena
keberadaan kelinci liar sebagai vektor biologis MAP yang menularkannya ke
peternakan sapi perah dan hewan liar lain (Judge et al. 2006).
Patogenesis Paratuberkulosis
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis menyebabkan Johnes
disease (JD) yaitu penyakit radang granulomatosa usus yang bersifat kronis dan
sulit disembuhkan pada hewan.
Setelah tertelan, bakteri ini akan segera
menembus permukaan mukosa saluran pencernaan dan difagosit oleh makrofag.
Kemampuan MAP bertahan di dalam makrofag merupakan suatu kelebihan
bakteri ini dalam mengganggu inang dan bakteri mampu bertahan dan terlindung
dari mekanisme kekebalan humoral (Stabel et al. 1998).
Hewan mammalia secara aktif akan membatasi suplai zat besi kepada
bakteri patogen. Fungsi sitokin pada makrofag diduga untuk membatasi secara
aktif konsentrasi besi di dalam sel sehingga perkembangan bakteri terhambat.
Makrofag teraktivasi akan menurunkan kerja reseptor transferin dan mengurangi
konsentrasi zat besi. Bakteri Mycobacterium menghasilkan siderofor mycobactin
larut lemak dan siderofor eksokelin larut air dalam rangka mencari zat besi yang
terbatas jumlahnya dalam sel inang. Kedua siderofor ini sangat berkaitan dengan
patogenisitas Mycobacterium dan menjadi perangkat penting bakteri dalam
bertahan dan bereplikasi di dalam makrofag (Harris & Barletta 2001).
Lesi granulomatosa mulai muncul pada lokasi peyer patches. Luka ini akan
bertahan dalam keadaan laten untuk waktu yang lama. Pada perkembangan
infeksi selanjutnya dari peyer patche akan menyebar ke seluruh usus dan
menimbulkan radang granulomatosa pada usus dan kondisi paling ekstrim
adalah terbentuknya lubang (perforasi) pada usus.
mengganggu absorbsi makanan.
Lesi-lesi ini jelas akan
Hal ini akan berakibat pada kondisi umum
hewan sehingga akan memperlihatkan gejala-gejala klinis yang akan muncul
sekitar 2-5 tahun sejak infeksi bakteri ke dalam inang (SCAHAW 2000).
Gejala Klinis
Pedet yang terinfeksi MAP seringkali tidak memperlihatkan gejala klinis
hingga 2-3 tahun kemudian.
Rute utama infeksi melalui makanan, susu,
11
kolostrum yang tercemar MAP. Jumlah bakteri sebanyak 5x108 CFU mampu
menimbulkan penyakit pada kambing umur 3 bulan dan gejala klinis muncul
setelah 11 bulan kemudian (Begg et al. 2005).
Perkembangan penyakit paratuberkulosis dibagi menjadi 3 stadium.
Stadium 1 adalah stadium subklinik, hewan tidak menunjukkan gejala klinis,
tanggap kebal seluler tinggi tetapi tidak ada pengeluaran MAP dalam feses.
Pada stadium 2, hewan dalam kondisi subklinik dengan tanggap kebal seluler
dan humoral yang sedang.
Fase ini juga ditandai dengan peningkatan
konsentrasi MAP pada mukosa usus dan ruang usus. Stadium 3 (fase terminal)
merupakan fase hewan menunjukkan gejala klinik yang ditandai adanya diare
kronis, gejala infeksi umum seperti emasiasi, penurunan produksi susu, edema
difus, anemia, dan infertilitas yang merupakan tanda akhir yang dominan (Cocito
et al. 1994). Aborsi dan alopesia merupakan tanda yang terlihat pada stadium
lanjut dan hewan mati dengan status kaheksia. Pada fase klinis jumlah bakteri
yang dikeluarkan melalui feses dapat mencapai 1010 CFU/g feses. Distribusi
MAP selain pada organ pencernaan juga dapat terdapat pada organ reproduksi
hewan jantan dan betina terinfeksi. Organisme ini dapat diisolasi dari fetus yang
berasal dari sapi penderita meskipun penularan melalui intrauteri belum dapat
dibuktikan (Stabel 1998).
Metode Diagnosis
Organisasi Kesehatan
Hewan
Dunia
(Office
International
des
Epizootica/OIE) telah mengeluarkan panduan diagnosis paratuberkulosis.
Diagnosis dapat dilakukan dengan identifikasi agen, uji serologis, dan test of cellmediated immunity. Identifikasi agen dapat dilakukan dengan melakukan
nekropsi, pemeriksaan mikroskopik, biakan bakteri, dan pelacakan DNA.
Pengujian serologi dapat dilakukan dengan complement fixation test, ELISA, dan
AGID sedangkan untuk test of cell-mediated immunity dilakukan dengan gamma
interferon assay dan delayed type hypersensitivity (OIE 2004).
Diagnosis Paratuberkulosis berdasarkan gejala klinis cukup sulit dilakukan
karena perjalanan penyakit yang cukup lama.
Pada umumnya gejala klinis
terlihat pada saat hewan sudah dalam kondisi terinfeksi parah. Cocito et al.
(1994) menjelaskan bahwa stadium perkembangan penyakit berpengaruh
terhadap metode diagnosis klinik maupun laboratorik.
Diagnosis laboratorik MAP sampai saat ini masih dikembangkan untuk
mendapatkan metode yang cepat dan akurat. Diagnosis serologis yang sering
12
dilakukan adalah dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Variasi
sensitivitas uji ELISA sangat tergantung pada fase respon sistem kekebalan
inang dan reaksi silang bila inang terinfeksi M. avium complex (MAC).
Sensitivitas ELISA untuk mendeteksi MAP ini bervariasi 42-88% sehingga
seringkali diperoleh hasil yang berbeda antara uji ini dengan uji isolasi (Collins
2002; McKenna et al. 2005).
Diagnosis MAP dapat dilakukan berdasarkan uji cell-mediated immunity
yaitu dengan gamma interferon assay dan delayed-typed hipersensitivity test
(DTH). Uji DTH menggunakan purified protein derivative (PPD) johnin dan akan
menghasilkan rekasi penebalan pada kulit setelah 72 jam diinjeksi intradermal
dengan PPD johnin (OIE 2004).
Primer IS900 menjadi satu alat deteksi molekuler yang
PADA SAPI PERAH, SUSU PASTURISASI, DAN SUSU FORMULA
LANJUTAN DI WILAYAH BOGOR
WIDAGDO SRI NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI DESERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Deteksi Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis pada Sapi Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula
Lanjutan di Wilayah Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 11 November 2008
Widagdo Sri Nugroho
NRP B063040031
iii
ABSTRACT
WIDAGDO SRI NUGROHO. Detection of Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis in Dairy Cows, Pasteurized Milk, and Growing-up Formula
Milk in Bogor. Under the direction of MIRNAWATI SUDARWANTO, DENNY
WIDAYA LUKMAN, EWALD USLEBER, and SURACHMI SETIYANINGSIH
Indonesia has been importing dairy cows and milk products from countries
which have endemic disease of paratuberculosis or Johne’s disease. This disease is
caused by Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) and has big
impact in economic losses of dairy industry. The bacterium has been suggested to
cause Crohn’s disease that can be transmitted via milk and milk products. In the last
few years, paratuberculosis has been detected serologically in Indonesia. This
situation suggests a potential spread of the disease in the national dairy herds, and
may pose a public health risk. In the other aspect, Indonesia needs the diagnostic
tools to isolate MAP cheaply but quite accurate. The Ogawa medium is a cheap
medium, which is commonly used to isolate Mycobacterium tuberculosis in Indonesia
and could be improved as growth medium for MAP.
The objectives of the current study were (1) to evaluate capability of modified
Ogawa medium (MOM) as a growth medium for MAP, (2) to detect MAP in dairy herd
and as good as to evaluate the association between farm management factors and
the presence of the bacteria, (3) to detect MAP in pasteurized and growing up
formula milk in Bogor.
The study was done in Bogor region. Milk and feces samples were taken from
62 dairy cows (with estimated prevalence of 5%) in Cibungbulang. Fourty two
pasteurized milk samples produced by 7 distributors and 50 growing up formula milk
produced by 5 distributors were purchased in supermarkets.
Detection methods used MOM, herrold’s egg yolk medium with and without
mycobactin J, mycobacterium growth indicator tube, Ziehl-Neelsen staining, and
conventional polymerase chain reaction (PCR) using primers IS900 and F57.
Performance of MOM as growth medium for MAP and Mycobacterium avium
subspecies avium (MAV) was evaluated by agreement test (Kappa). The association
between herd management factors and the presence of Mycobacterium sp. was
evaluated using Odds Ratio (OR). The presence of MAP in raw, pasteurized, and
growing up formula milk were analyzed descriptively.
The modified Ogawa medium showed very poor performance as growth
medium for MAP (Kappa=0) but was useful for MAV (Kappa=1).There were no MAP
isolated from raw milk and feces of dairy cows. Fifteen Mycobacterium sp. could be
isolated from 15 dairy cows, but none of them was identified as either MAP or M.
tuberculosis. The study suggests that the prevalence of MAP among dairy cattle in
Bogor was less than 5%. The existence of Mycobacterium sp. in faeces associated
with body weight (OR 1.9), individual cases of diarrhoea (OR 1.8), age (OR 1.7), daily
milk product (0.5), and personal hygiene (0.3). Similarly, there was no evidence of life
MAP contamination in pasteurized and growing up formula milks, but nested PCR
using F57 detected MAP DNA in 5 samples from 3 growing-up formula milk
producers.
Further study needs to be done to improve the formulation of MOM suitable
for MAP. In addition, an observational study in dairy cattle, goat, sheep, and rabbit is
necessary to achieve the comprehensive information on paratuberculosis in
Indonesia. And from the public health point of view, a comprehensive and sustainable
study on MAP in milk and milk products, as well as in human is of particularly
important.
Key words: Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis modified Ogawa
medium, raw milk, pasteurized milk, growing-up formula milk.
iv
RINGKASAN
WIDAGDO SRI NUGROHO. Deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada Sapi Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula
Lanjutan di Wilayah Bogor. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, DENNY
WIDAYA LUKMAN, EWALD USLEBER, dan SURACHMI SETIYANINGSIH
Indonesia merupakan pengimpor sapi perah maupun produk susu olahan dari
beberapa negara endemis penyakit paratuberkulosis atau Johne’s disease (JD).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis (MAP) ini sangat merugikan ekonomi perternakan dan diduga kuat
menularkan penyakit Crohn pada manusia melalui produk susu dan susu olahannya.
Beberapa tahun terakhir, paratuberkulosis terdeteksi secara serologis pada sapi
perah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selama ini belum pernah dilakukan kajian
yang mendalam terhadap paratuberkulosis di Indonesia sehingga sangat
dikhawatirkan akan menyebar dan menimbulkan masalah bagi dunia peternakan dan
kesehatan masyarakat. Di lain pihak, media isolasi MAP yang mahal dan langka
menjadi salah satu kendala lain untuk mendiagnosis penyakit ini. Media Ogawa
selama ini dikenal sebagai media isolasi dan pertumbuhan Mycobacterium
tuberculosis yang murah dan mudah dibuat. Media ini sangat berpotensi untuk
dikembangkan menjadi media isolasi dan pertumbuhan untuk MAP dengan
melakukan modifikasi komponen penyusunnya.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) menguji media Ogawa modifikasi (MOM)
sebagai media isolasi dan pertumbuhan MAP (2) mendeteksi kasus MAP pada sapi
perah dan mengukur asosiasi tatacara beternak dengan keberadaan bakteri tersebut
(3) mendeteksi MAP pada susu pasturisasi dan susu formula lanjutan yang dijual di
wilayah Bogor.
Kajian deteksi MAP pada sapi perah dilakukan di wilayah Bogor dengan asumsi
prevalensi 5%. Contoh susu dan feses diambil dari 62 sapi perah Cibungbulang
Bogor yang tergabung dalam Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS)
Bogor. Deteksi MAP juga dilakukan 42 kemasan (180-250 ml) susu pasturisasi yang
berasal dari 7 produsen dan 50 kemasan (120-200 g) susu formula lanjutan yang
berasal dari 5 produsen. Seluruh produk susu olahan tersebut dibeli dari supermarket
di Wilayah Bogor dengan target konsumen adalah anak-anak.
Pengujian dilakukan menggunakan MOM, media herrold’s egg yolk medium
yang diperkaya dan tidak diperkaya mycobactin J, mycobacterium growth indicator
tube, dan polymerase chain reaction (PCR) konvensional dengan primer IS900 dan
F57. Analisis hasil uji MOM dilakukan dengan uji kesesuaian (Kappa), analisis faktor
keberadaan bakteri Mycobacterium sp. dilakukan dengan Odds Ratio (OR), dan
deteksi MAP pada susu segar, susu pasturisasi, dan susu formula lanjutan dilakukan
secara deskriptif.
Media Ogawa modifikasi mampu menumbuhkan Mycobacterium avium
subspesies avium namun belum sesuai untuk menumbuhkan MAP. Tidak ditemukan
isolat MAP dari seluruh contoh susu segar dan feses sapi perah. Pada penelitiani ini
diperoleh 15 isolat Mycobacterium sp. yang tumbuh dari contoh 15 feses sapi perah.
Limabelas isolat Mycobacterium sp. tersebut setelah dikonfirmasi dengan PCR tidak
teridentifikasi sebagai MAP dan berdasarkan uji kimia tidak teridentifikasi pula
sebagai M. tuberculosis. Hasil analisis asosiasi dan Odds Ratio atas keberadaan
Mycobacterium sp. pada feses dengan tatacara beternak memperlihatkan beberapa
faktor yang terkait. Faktor-faktor dapat digunakan sebagai indikasi untuk membantu
diagnosis kasus infeksi Mycobacterium sp. Faktor-faktor tersebut adalah berat badan
(OR 1.9), kasus diare (OR 1.8), umur (OR 1.7) produksi susu per hari (OR 0.5), dan
kebersihan pemerah (OR 0.3). Tidak ditemukannya bakteri MAP dalam penelitian ini
mengindikasikan bahwa prevalensi kasus MAP di Bogor kurang dari 5%.
Hasil deteksi terhadap MAP pada susu olahan yaitu susu pasturisasi dan susu
formula lanjutan menunjukkan tidak adanya isolat MAP yang tumbuh dari seluruh
v
contoh. Pada uji PCR konvensional baik tidak diperoleh pita DNA MAP target tetapi
berdasarkan uji PCR F57 nested diperoleh DNA target dari 5 contoh susu yang
berasal dari 3 produsen susu formula lanjutan. Temuan ini merupakan indikasi
adanya jejak keberadaan MAP dalam susu formula lanjutan tersebut namun tidak
ditemukannya isolat yang tumbuh membuktikan bahwa tidak ada bakteri MAP yang
hidup dalam produk tersebut.
Hasil penelitian ini memberikan data awal terhadap keberadaan MAP di
Indonesia dan masih perlu tindak lanjut kajian untuk memberikan gambaran yang
komprehensif status MAP. Kajian perlu dilanjutkan untuk mendapatkan formula
media Ogawa modifikasi yang tepat sebagai media pertumbuhan MAP. Kajian
observasional perlu dilakukan pada peternakan sapi perah, kambing, domba, serta
kelinci untuk mendapatkan gambaran lengkap paratuberkulosis di Indonesia. Kajian
menyeluruh dan berkelanjutan juga harus dilakukan pada susu dan hasil olahannya
dengan jumlah sampel yang lebih besar dan bervariasi termasuk pada manusia
untuk menjamin keamana pangan bagi masyarakat Indonesia. Di lain pihak dengan
ditemukannya isolat Mycobacterium sp. maka perlu diaktifkan kembali tuberkulinasi
pada sapi perah sebagai upaya pemantauan kasus tuberkulosis sapi.
Kata kunci: Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, media Ogawa
modifikasi, susu segar, susu pasturisasi, susu formula lanjutan.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan
sumbernya.
Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan
suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa seizin IPB
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayahNya sehingga desertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berorientasi
pada kesehatan ternak dan keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan
topik Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis yang sangat jarang diteliti
di Indonesia. Bakteri ini memiliki potensi menjadi ancaman yang besar bagi
peternakan dan kesehatan manusia di Indonesia.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Hj.
Mirnawati Sudarwanto, Prof. Dr. Ewald Usleber, Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.
Si. dan drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D. selaku pembimbing yang memberi
kesempatan penulis untuk melakukan sebagian penelitian di Jerman. Kepada drh.
Rochman Naim, Ph.D. yang telah memberikan masukan di awal penelitian ini.
Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. drh. Setyawan Budiharta, M.P.H., Ph.D.
dan Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc. yang telah mengarahkan dan
mendukung penulis untuk melanjutkan pendidikan doktor dengan program sandwich,
kepada Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S. dan Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari,
D.E.A. selaku penguji luar komisi, kepada drh. Muhammad Fahruddin, Ph.D. dan
drh. Ni Wayan Kurniani Karja, M.P., Ph.D. atas dukungan akomodasi kepada penulis
selama di Bogor, kepada Dr. Abdulwahed Ahmed Hassan dan seluruh staf
Laboratorium Kesehatan Susu, Universitas Justus-Liebig Jerman yang telah
membantu penulis melakukan penelitian selama di Jerman. Terimakasih kepada
para peternak KPS Bogor, para kolega pengajar dan laboran di Bagian/Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM dan FKH IPB, staf di Laboratorium
Terpadu Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, yang telah
membantu penelitian ini. Terimakasih kepada drh. Maya Purwanti, M.S., drh.
Nurliana, M.Si, dan drh. Rahmat Setya Adji, M.Si. atas
kerjasamanya selama
penelitian. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa
pendidikan
doktor
melaui
program
BPPS
dan
Deutsche
Akademische
Austauschdienst (DAAD) atas beasiswa sandwich kepada penulis. Terimakasih dan
penghargaan
penulis
sampaikan
pula
kepada
almarhum
Bapak
dan
Ibu
Martopratiknyo, Bapak Djohansyah (alm), Ibu Rusimah, drg. Eka Rusmeida dan
Wikasita Najmi Nariswari, kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan tercinta atas
dukungan doa, moral, dan material selama ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kesejahteraan
peternak khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, 11 November 2008
Widagdo Sri Nugroho
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak bungsu dari 7 bersaudara putra Bapak Doellah
Satari Martopratiknyo dan Ibu Sri Kawit Martopratiknyo, dilahirkan di Surakarta
19 Desember 1970. Pendidikan dasar sampai menengah dijalani di Sekolah
Dasar Pangudiluhur Surakarta 1976-1983, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Surakarta tahun 1983-1986, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Surakarta,
1986-1989. Pendidikan dokter hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Gadjah Mada diselesaikan tahun 1996. Setelah lulus dari FKH UGM,
bekerja pada satu industri perunggasan multinasional sebagai poultry health
supervisor. Sejak tahun 2000 dipanggil untuk mengabdikan diri sebagai staf
pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Pada tahun
2000-2003 mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana Departemen
Pendidikan Nasional untuk melanjutkan pendidikan Magister Pertanian (Strata 2)
pada program Sain Veteriner dengan mengambil konsentrasi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Veteriner di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Tahun
2004 kembali mendapat beasiswa pendidikan pascasarjana Departemen
Pendidikan Nasional untuk menempuh pendidikan program Doktor (Strata 3)
pada Program Studi Sain Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dengan mengambil konsentrasi Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Pada tahun 2006 mendapatkan beasiswa dari Deutsche Akademische Austausch
Dienst (DAAD) untuk program sandwich ke Universitas Justus–Liebig Jerman,
dalam rangka penelitian disertasi ini.
Sejak menjadi siswa hingga mahasiswa terlibat aktif dalam banyak
kegiatan pada organisasi siswa dan mahasiswa. Setelah lulus dokter hewan
bergabung pada organisasi profesi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
cabang Yogyakarta dan menjadi Sekretaris I pada tahun 2001-2005. Penulis juga
anggota Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti) dan
pernah menjadi Sekretaris Jenderal periode 2002-2006. Beberapa tulisan terkait
topik desertasi ini telah diterbitkan pada beberapa Jurnal Nasional terakreditasi
antara lain Detection of Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis in
Formula Milk From Bogor Using PCR IS900 pada Medical Journal of Indonesia
Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia, Deteksi Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis pada Susu Formula Lanjutan di Bogor pada Jurnal
Teknologi dan Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
2
DAFTAR ISI
Halaman
x
DAFTAR TABEL..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis .......................
Paratuberkulosis pada hewan .........................................................
Penyakit Crohn dan Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis ..............................................................................
4
9
12
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ..........................................................................
Tahapan Penelitian .........................................................................
17
17
MODIFIKASI
MEDIA
OGAWA
SEBAGAI
MEDIA
TUMBUH
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract ………………………………………………………………….
Pendahuluan …………………………………………………………....
Bahan dan Metode ……………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran ....................................................................
26
26
27
29
30
36
KAJIAN METODE PCR KONVENSIONAL MENGGUNAKAN PRIMER
IS900 DAN F57 UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract ………………………………………………………………….
Pendahuluan …………………………………………………………….
Bahan dan Metode …………………………………………………..…
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan.......................................................................................
KAJIAN DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAPI PERAH DI BOGOR
Abstrak ……………………………………………………………….….
Abstrat ……………………………………………………………….….
Pendahuluan ……………………………………………………………
Bahan dan Metode …………………………………………………….
Hasil dan Pembahasan ..................................................................
Kesimpulan dan Saran ...................................................................
37
37
38
39
41
45
46
46
48
49
53
64
3
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis PADA
SUSU PASTURISASI YANG DIJUAL DI BOGOR
Abstrak ………………………………………………………………….
Abstract………………………………………………………………….
Pendahuluan……………….……………………………………………
Bahan dan Metode …….....……………………………………………
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran.....................................................................
66
66
67
69
71
74
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis PADA
SUSU FORMULA LANJUTAN YANG DIJUAL DI BOGOR
Abstrak …………………………………………………………………..
Abstract…………………………………………………………………..
Pendahuluan …………………………………………………………….
Bahan dan Metode ……………………………………………………..
Hasil dan Pembahasan ...................................................................
Kesimpulan dan Saran ....................................................................
75
75
76
77
80
84
PEMBAHASAN UMUM
Paratuberkulosis dan Peternakan Rakyat Sapi Perah di Bogor……
85
Cemaran Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
pada Susu dan Penyakit Crohn .......................................................
88
Potensi Kasus Infeksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis dan Kajian Terkait di Masa Mendatang…………..
92
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ……………………………………………………………...
Saran ….…………………………………………………………………
96
96
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
98
4
DAFTAR TABEL
Halaman
1
1 Populasi sapi dan produksi susu nasional ........................................
2 Rataan insidensi kasus CD (per 100000 orang/tahun) selama
tahun 1991-1994 di Eropa ................................................................
14
3 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj
atas pertumbuhan MAP.....................................................................
32
4 Hasil uji kesesuaian media MOM A dan MOM B terhadap HEYMj
atas pertumbuhan MAV.....................................................................
32
5 Pertumbuhan bakteri MAP dan MAV pada media HEYMj.................
43
6 Hasil lengkap deteksi MAP dari susu dan feses sapi perah di
Bogor.................................................................................................
56
7 Asosiasi faktor ternak dengan keberadaan Mycobacterium sp.
pada feses………………………………………………………………..
59
8 Hasl pengujian MAP pada susu pasturisasi di Wilayah Bogor..........
71
9 Hasil analisis MAP dengan berbagai metode pada susu formula
lanjutan…….......................................................................................
81
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tahapan penelitian deteksi Mycobacterium avium subspesies
paratuberculosis pada sapi perah dan produk susu olahan di Bogor....
18
2 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui spesifisitas primer IS900...
41
3 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui sensitivitas primer IS900...
42
4 Hasil PCR konvensional untuk mengetahui sensitivitas primer F57......
42
5 Isolat Mycobacterium sp. yang tumbuh dari contoh feses pada media
HEYMj dan HEYM..................................................................................
53
6 Perbandingan Mycobacterium sp. isolat F56 dan MAP referensi..........
54
7 Hasil PCR F57 dari ekstraksi langsung contoh susu segar ..................
55
8 Hasil PCR F57 dari isolat Mycobacterium sp. yang diperoleh dari
contoh feses...........................................................................................
55
9 Hasil PCR 57 konvensional terhadap contoh susu formula lanjutan......
80
10 Hasil PCR 57 nested terhadap contoh susu formula lanjutan................
81
6
DETEKSI Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
PADA SAPI PERAH, SUSU PASTURISASI, DAN SUSU FORMULA
LANJUTAN DI WILAYAH BOGOR
WIDAGDO SRI NUGROHO
DISERTASI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sain Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
7
Judul Disertasi
Nama
NIM
: Deteksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis Pada Sapi
Perah, Susu Pasturisasi, dan Susu Formula Lanjutan di Wilayah Bogor
: Widagdo Sri Nugroho
: B063040031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Ketua
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M. Si.
Anggota
Prof. Dr. Ewald Usleber
Anggota
drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph. D.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sain Veteriner
Dr. drh. Bambang Pontjo P, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
8
Tanggal Ujian: 11 November 2008
Tanggal Lulus:
Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, M.S.
Penguji luar komisi pada ujian terbuka :
Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U.,M.Sc.
Dr. Ir. Rarah RA. Maheswari, D.E.A.
PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan susu nasional dilakukan dengan berbagai cara
seperti
meningkatkan
populasi
sapi
perah
dan
produktivitasnya
serta
mendatangkan susu dan hasil olahannya. Upaya peningkatan produksi susu
dalam negeri dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik, pembinaan sumber
bibit ternak, pembinaan pakan ternak, pengamanan ternak, dan hasil-hasil ternak
yang meliputi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit ternak
serta pembinaan usaha peternakan (Sudarwanto 1999). Populasi sapi perah
nasional tahun 2007 tercatat sebanyak 377772 ekor yang menyumbang produksi
susu sebanyak 6368957 ton atau hanya sekitar 25-30% dari kebutuhan nasional,
sehingga masih diperlukan import susu dan produk olahannya. Perkembangan
populasi dan produksi susu segar dalam negeri selama 5 tahun terakhir dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Populasi sapi dan produksi susu nasional (DitJen Peternakan 2007)
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
Populasi sapi perah*
(ekor)
374 000
364 000
361 000
369 000
378 000
Produksi susu segar
(ton)
553 400
549 900
536 000
616 500
636 900
Keterangan: * angka dibulatkan ke atas
Populasi sapi perah tersebut mayoritas dikelola oleh peternak rakyat yang
rata-rata hanya memiliki sapi produksi 3-5 ekor. Rerata produksi susu yang
dihasilkan setiap sapi masih di bawah 10 liter perhari walaupun menggunakan
bibit sapi perah unggul. Usaha meningkatkan produksi susu dilakukan dengan
menambah jumlah sapi, namun hal ini tidak diikuti peningkatan kualitas
pengelolaan peternakan sehingga hasilnya tidak optimal. Beberapa faktor terkait
dengan pengelolaan adalah sulitnya mendapatkan pakan hijauan, konsentrat
serta lahan yang semakin sempit (Yusdja 2005). Faktor lain yang mempengaruhi
rendahnya produksi susu adalah keberadaan penyakit yang menyerang
peternakan.
Penyakit pada sapi perah dapat dikelompokkan menjadi penyakit tidak
menular, serta penyakit menular primer dan sekunder. Beberapa penyakit pada
sapi perah seperti mastitis (radang ambing), brucellosis, anthrak, septicaemia
2
epizootica (ngorok), bovine viral disease, infectious bovine rhinotracheitis, dan
cacingan masih menjadi permasalahan yang sering dilaporkan terjadi di
Indonesia. Seringkali kasus kronis kurang menjadi perhatian peternak sehingga
tanpa disadari ada kerugian dalam usaha peternakan tersebut akibat produksi
sapi tidak optimal (Sudarwanto 1999; Putra 2006). Salah satu penyakit kronis
yang berpotensi menjadi ancaman bagi usaha peternakan yaitu paratuberkulosis
atau Johne’s disease (JD) yang disebabkan oleh Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis (MAP). Saat ini penyakit tersebut masih belum
menjadi perhatian pemerintah maupun peternak. Kasus MAP pernah terdeteksi
secara serologis dan dilaporkan pada tahun 1951, 1998, dan terakhir 2004 (Adji
2004), dikhawatirkan kasus ini akan meluas mengingat lingkungan peternakan di
Indonesia memungkinkan tumbuhnya bakteri MAP.
Kejadian diare pada sapi perah seringkali dianggap biasa oleh peternak,
terlebih pada saat pergantian musim atau pakan. Peternak sering tidak
menyadari kejadian diare pada diri atau keluarganya terkait dengan kesehatan
sapi yang dipelihara. Banyak penyakit yang ditandai gejala diare namun belum
banyak yang menghubungkannya dengan infeksi MAP baik pada sapi atau
manusia.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis diduga kuat berkaitan
dengan kasus Crohn’s disease (CD) yaitu penyakit radang kronis saluran
pencernaan bagian bawah pada manusia. Paparan MAP pada manusia
umumnya terjadi pada umur 15-24 tahun dan kadang justru terjadi pada keluarga
dengan status sosial baik. Kasus CD juga dikaitkan dengan susu dan produk
olahannya terutama dari ternak yang terinfeksi MAP. Beberapa survei di negara
Eropa menunjukkan tingkat cemaran MAP yang tinggi pada susu segar dan
olahannya seperti susu pasturisasi, susu formula, dan keju (SCAHAW 2000).
Sumber bibit sapi perah dan bahan baku industri susu nasional
didatangkan dari negara-negara penghasil susu khususnya Australia dan New
Zealand.
Dua negara tersebut dan beberapa negara Eropa seperti Jerman,
Inggris, dan Swiss tercatat memiliki prevalensi kasus JD cukup tinggi (>15%).
Pengawasan terhadap infeksi MAP pada ternak impor di Indoneseia sudah
dilakukan, namun mengingat masa inkubasinya yang panjang, maka infeksi pada
hewan tidak mudah terdeteksi dengan uji serologis. Bahan baku susu bubuk dan
susu olahan impor selama ini juga belum pernah diperiksa terhadap keberadaan
MAP. Kedua kondisi tersebut sangat berpeluang menjadi pintu masuk dan
3
menyebarnya kasus JD pada peternakan nasional serta ancaman penularan
MAP pada masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap MAP di Indonesia belum pernah dilakukan, sehingga
penelitian ini benar-benar merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Geografi
Indonesia yang berada di daerah tropis, memungkinkan MAP hidup dan
berkembang di wilayah ini. Dugaan ini didukung fakta masih tingginya kejadian
tuberkulosis (disebabkan Mycobacterium tuberculosis) dan penyakit lepra
(disebabkan Mycobacterium leprae) di Indonesia(WHO 2003).
Tantangan lain berkaitan dengan MAP adalah media diagnosis. Isolasi
MAP pada umumnya dilakukan dengan Herrold’s egg yolk media (HEYM) dan
Löwenstein-Jensen (LJ) yang cukup mahal. Di Indonesia, sudah banyak dipakai
media Ogawa untuk mengisolasi Mycobacterium tuberculosis di laboratoriumlaboratorium rumah sakit paru atau saluran pernafasan. Media ini relatif murah
dan sangat mudah dibuat namun sampai saat ini belum banyak dimodifikasi
sebagai media tumbuh MAP.
Penelitian ini juga akan memodifikasi media
Ogawa untuk mengisolasi MAP dengan menambahkan mycobactin ke dalam
media.
Mycobactin merupakan senyawa yang membantu mikroorganisme
menyerap logam yang sangat terbatas ketersediaannya di lingkungan. Bakteri
MAP
sangat
membutuhkan
senyawa
mycobactin
karena
tidak
mampu
menghasilkan senyawa ini.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menguji media Ogawa modifikasi sebagai
media isolasi MAP, (2) mendeteksi MAP pada sapi perah dan mengukur asosiasi
tatacara beternak dengan keberadaan bakteri tersebut, serta (3) mendeteksi
MAP pada susu pasturisasi dan susu formula lanjutan.
Hipotesis penelitian ini adalah (1) ditemukan bakteri MAP pada sapi perah
di Bogor dengan prevalensi kasus sebesar 5%, (2) Bakteri MAP dapat ditemukan
pada susu segar, susu pasturisasi, dan susu fromula lanjutan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data yang berharga bagi
para pengambil kebijakan bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat.
Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan membantu para pemangku
kepentingan industri susu untuk menyikapi dan mengambil langkah pencegahan
kasus JD maupun CD. Hasil lain yang penting adalah diperolehnya media
alternatif yang murah dan akurat untuk mengisolasi atau menumbuhkan MAP.
TINJAUAN PUSTAKA
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis
Pada tahun 1895, Johne dan Frothingham menemukan bakteri tahan asam
yang menyebabkan bentuk atypical tuberculosis pada sapi di Jerman (Griffiths
2003). Pada tahun 1910, bakteri tersebut diberi nama Mycobacterium enteritidis
chronicae pseudotuberculosis bovis johne yang selanjutnya dikelompokkan ke
dalam Mycobacterium avium complex dan terakhir disebut Mycobacterium avium
subspesies paratuberculosis.
Bakteri ini merupakan patogen obligat pada
mamalia khususnya ruminansia yang menyebabkan radang granulomatosa
saluran pencernaan yang dikenal sebagai paratuberkulosis atau Johne’s Disease
(JD) (SCAHAW 2000).
Morfologi dan Karakter
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) adalah bakteri
Gram positif, berbentuk batang lurus atau sedikit bengkok dan terkadang
bercabang dengan ukuran 0.2-0.7 X 1.0-10 μm. Dinding sel MAP tersusun dari
lapisan lipida kompleks yang tebal. Bakteri ini bersifat aerobik, tidak bergerak
aktif (non-motile) dan tidak berspora (Gallagher & Jenkins 1998; Harris & Barletta
2001). Kemampuan tumbuh Mycobacterium dikenal dua macam yaitu tumbuh
cepat (koloni tampak dalam waktu kurang dari 7 hari) dan tumbuh lambat (koloni
baru terlihat setelah 7 hari).
Secara umum Mycobacterium memiliki waktu
tumbuh 2-60 hari (Holt et al. 1994) namun untuk MAP dapat mencapai 18 bulan
untuk isolat lapang (Shanahan 1994). Koloni memiliki permukaan halus atau
kasar, tumbuh pada pada suhu 25-45 °C dengan suhu optimal 39 °C, bakteri ini
juga mampu hidup di dalam makrofag, tahan pada pH 5.5, alkohol dan panas,
membutuhkan senyawa mycobactin untuk mengikat zat besi lingkungan (Griffiths
2003).
Sifat tahan panas MAP berbeda dengan Mycobacterium lainnya.
Pasturisasi umumnya mampu mematikan Mycobacterium tuberculosis, M. bovis,
dan lainnya namun hal ini kurang berhasil untuk MAP (Sung et al. 2004).
Beberapa penelitian memperlihatkan MAP mampu bertahan pada suhu
pasturisasi low temperature long time (LTLT) 63-63.3 °C selama 30 menit dan
high temperature short time 71.7-72 oC selama 15 detik (Chiodini & HermonTaylor 1993; Grant et al. 1996). Kemampuan tahan panas ini diduga terkait
5
dengan protein 65kDa, GroES, antigen α, dan Ag 85B yang dimiliki MAP (ElZaatari et al. 1995; Sung et al. 2004)
Bakteri umumnya membutuhkan zat besi untuk keperluan metabolisme,
demikian halnya dengan Mycobacterium.
Senyawa besi kompleks dikelasi
bakteri melalui perantara senyawa siderofor untuk diangkut menembus membran
hingga masuk ke sitoplasma. Dua jenis siderofor yang dikenal yaitu mycobactin
yang larut lemak dan eksokelin (exochelin) yang larut air. Eksokelin merupakan
protein bermolekul kecil yang terdapat pada cairan ekstraseluler. Zat besi dalam
tubuh hewan pada umumnya disimpan dalam bentuk ferritin dan molekul
transpor yang digunakan adalah transferrin dan lactoferrin.
Eksokelin yang
dihasilkan Mycobacterium akan mengkelasi zat besi dan membawanya melintasi
membran sel. Selanjutnya zat besi diangkut oleh mycobactin masuk ke dalam
sel bakteri. Kemampuan menghasilkan eksokelin dan myobactin hanya dimiliki
oleh Mycobacteria dan Nocardia sehingga hal ini menjadi faktor penting dalam
taksonomi bakteri ini. Pada umumnya Mycobacterium memiliki dua senyawa
siderofor tersebut namun MAP dan beberapa strain MAV tidak mampu
menghasilkan mycobactin.
Ketergantungan terhadap mycobactin ini menjadi
penanda khas untuk MAP meskipun saat ini Mycobacterium avium subspesies
silvaticum dan beberapa MAV juga teridentifikasi memiliki ciri tersebut (Cocito et
al. 1994).
Mycobacteriaceae
memiliki
4
genus
Mycobacterium, Nocardia, dan Rhodococcus.
yaitu
Corynebacterium,
Spesies Mycobacterium avium
yang termasuk dalam genus Mycobacterium saat ini terbagi menjadi 3
subspesies yaitu Mycobacterium avium subspesies avium, Mycobacterium avium
subspesies silvaticum, dan Mycobacterium avium subspesies partuberculosis.
Komposisi basa dari genom masing-masing genus merupakan parameter
taksonomi (Cocito et al. 1994).
Saat ini dipakai metode biofisika (thermal profile atau buoyant density) dan
dinyatakan dalam bentuk prosentase guanine+cytosine (G+C) dalam DNA.
Komposisi
basa
Rhodococcus
(G+C)
63-73%,
dari
genom
Mycobacterium
Corynebacterium
62-70%,
dan
adalah
48-59%,
Nocardia
64-69%.
Komposisi basa untuk beberapa spesies Mycobacterium antara lain M. leprae
55-58% (di luar rentang ukuran genom Mycobacterium), MAP 66-67%,
M.
kansasii 64%, M. bovis dan M. tuberculosis 63-66%. Ukuran genom masingmasing spesies juga bervariasi seperti MAP 4.4X106 sampai 4.7X106 bp, ini lebih
6
besar dibandingkan spesies lain seperti MAV 3.5X106 bp, M tuberculosis 3.0
X106 sampai 4.2X106 bp, M. leprae 2.0X106 sampai 3.30X106 bp (Harris &
Barletta 2001; Cocito et al. 1994).
Deteksi dan Identifikasi MAP
Identifikasi fenotipik MAP dilakukan dengan menggunakan beberapa media
seperti Herrold’s egg yolk medium (HEYM), Modified Dubos’s medium,
Middlebrook 7H9, 7H10, 7H11, 7H12 Bactec medium, dan Löwenstein–Jensen
medium (LJ) (Holt et al. 1994; OIE 2004).
Pada media biakan seperti HEYM, LJ, atau Middlebrook 7H9 agar yang
diperkaya mycobactin J, koloni akan terlhat halus atau kasar. Pada uji biokimia,
MAP tidak menghasilkan niasin, peroksidase, nitrat reduktase, urease,
arisulfatase, penisilinase, beta-glukosidase, dan tidak menghidrolisis Tween 80
dalam 10 hari. Beberapa strain menghasilkan sedikit katalase termo resisten dan
semua strain susunan asam mikolak (mycolic acid) dan resisten terhadap
thiophene-2-carboxylic
acid
hydrazide,
dan
isoniazid
(SCAHAW
2000).
Kelemahan dari metode isolasi adalah keberadaan bakteri yang tidak selalu
dapat ditemukan dalam feses, susu, atau jaringan atau organ. Kelemahan lain
adalah waktu pertumbuhan MAP yang lama yaitu 3-24 minggu, bahkan dapat
mencapai 18 bulan (Shanahan 1994, Griffiths 2003) sehingga metode ini sulit
memberikan keputusan yang cepat.
Identifikasi bakteri dapat pula dilakukan dengan mewarnai ulas bakteri
dengan pewarnaan tahah asam Ziehl-Neelsen (ZN). Metode ini dapat dilakukan
dari contoh ulas dari organ terutama kelenjar limfoid saluran pencernaan/usus,
feses, maupun susu penderita. Pada pewarnaan ZN ini MAP akan terlihat
berbentuk batang dan berwarna merah (OIE 2004). Bakteri MAP sulit dibedakan
dengan Mycobacterium sp. lainnya dengan teknik pewarnaan karena ukuranya
yang tidak jauh berbeda.
Deteksi terhadap MAP berdasarkan uji serologis dilakukan dengan
complement fixation test (CFT), enzyme linked immunosorrbent assay (ELISA),
agar gel immunodiffusion (AGID). Reaksi tanggap kebal humoral mulai dapat
terdeteksi pada fase pre-klinis tanpa disertai pengeluaran bakteri di dalam
fesesnya (McKenna et al. 2005; Roussel et al. 2007). McKenna et al. (2005)
menjelaskan bahwa hasil uji ELISA berkaitan erat dengan fase perkembangan
penyakit pada inang. Pada fase preklinis infeksi MAP, sensitivitas ELISA masih
7
sangat rendah dan akan meningkat pada fase klinis seiring reaksi tanggap kebal
inang. Pendapat Osterstock et al. (2007) sejalan dengan Roussel et al. (2007)
yang menyebutkan bahwa spesifisitas ELISA relatif tinggi yaitu 91-95% dengan
melakukan absorbsi serum menggunakan M. phlei.
Prosedur ini cukup baik
meskipun masih memungkinkan terjadinya reaksi silang dengan MAC,
khususnya M. intraselular sehingga dihasilkan reaksi positif palsu. Hal ini
seringkali menyebabkan hasil uji serologis tidak sejalan dengan hasil isolasi
bakteri dari feses.
Identifikasi genotipik merupakan satu metode yang sangat membantu
mengenali MAP dengan cepat. Insertion sequence (IS) merupakan elemen
genetik yang bergerak dan hanya mengandung gen-gen terkait fungsi insersi.
Lokasi IS berada di dalam struktur gen yang dapat menyebabkan terjadinya
mutasi insersional (Lida et al. 1983 diacu oleh Green et al. 1989).
Pengelompokan IS dilakukan berdasarkan pada kemiripan dan perbedaan
struktur, organisasi, dan nukleotida serta protein sekuen terkait. Letak IS pada
lokasi tertentu yang stabil dalam kromosom menjadikan mereka sebagai
penanda dalam kajian restriction fragment length polymorphism (RFLP) untuk
penentuan spesies dan kajian epidemiologi.
Struktur IS tersusun dari
transposon, dalam kajian lebih lanjut IS ini berkaitan dengan fungsi patogenik
dan virulensi agen. Sejak dipublikasikan tahun 1989 penelitian terkait IS sangat
banyak dan hingga tahun 1998 telah diidentifikasi sekitara 500 IS (Mahillon &
Chandler 1998).
Penggunaan polymerase chain reaction (PCR) sebagai salah satu metode
diagnosis sangat membantu dalam penelitian tentang MAP. Green et al. (1989)
berhasil mendapatkan sekuen elemen DNA untuk diagnosis MAP yang kemudian
dikenal sebagai insertion sequence (IS) 900. Sekuen tersebut dikelompokkan
dalam keluarga IS110, dengan ukuran 1451 bp dan komposisi G+C sebesar
66%.
Insertion sequence ini memiliki mayor open reading frames (ORF)
sejumlah 1197 nukleotida yang diprediksi mengkode 399 protein dan dapat
mengkopi 15-20 genom MAP. Sumber IS900 tidak diketahui tetapi diduga dibawa
oleh mycobacteriophage.
Pohon genetik IS900 menunjukkan bahwa MAP
masuk dalam kelompok Mycobacterium avium. Keunikan perangkat IS900 ini
adalah tidak memiliki terminal inverted dan direct repeats. Insertion sequence
900 memiliki daya pembeda yang tinggi untuk mengidentifikasi MAP secara tepat
sehingga digunakan untuk keperluan deteksi ataupun konfirmasi MAP.
8
Perkembangan selanjutnya primer IS900 yang spesifik MAP ini digunakan
sebagai rujukan identifikasi MAP baik untuk konfirmasi isolat maupun diagnosis
cepat.
Penggunaan primer IS900 juga digunakan untuk mendeteksi MAP
langsung pada beberapa contoh seperti susu segar, susu pasturisasi, dan keju
(Grant et al. 1998; Giese & Ahrens 2000; Pillai & Jayarao 2002), feses (Motiwala
et al. 2004; Strickland et al. 2005), maupun biopsi jaringan (Taddei et al. 2004;
Hermon-Taylor et al. 1998). Sekuen genom lengkap MAP berhasil dipetakan
oleh Li et al. (2005) sehingga akan dapat dijadikan rujukan dalam
pengembangan metode deteksi dan produk biologis untuk pengendalian penyakit
JD di masa mendatang.
Harris dan Barletta (2001) menyatakan bahwa primer IS900 yang
dirancang Vary et al. (1990) memiliki kelemahan yaitu adanya 229 wilayah
amplifikasi yang tumpang tindih dengan IS1626 dari M. avium sehingga sering
diperoleh hasil positif palsu.
Cousins et al. (1999) juga mendapatkan hasil
amplifikasi dari Mycobacterium lingkungan non-MAP menggunakan primer ini.
Secara tegas Semret et al. (2006) menyatakan bahwa amplifikasi dari IS900
tidak cukup mewakili MAP. Kelemahan-kelemahan ini diidentifikasi oleh Bull et
al. (2000) dan kemudian mengembangkan beberapa variasi IS900 yang dikenal
sebagai multiplex PCR of IS900 loci (MPIL) untuk memperbaiki kinerja primer ini.
Variasi MPIL didasarkan pada sekuen genom DNA dan didapatkan 14 variasi
primer IS900 yang berbeda pada genom MAP. Temuan ini diharapkan mampu
mengurangi hasil positif palsu.
Selain pengembangan IS900 sebagai primer MAP, beberapa peneliti juga
mengembangkan primer lain seperti yang dilakukan Cocito et al. (1994) yang
mengembangkan F57. Primer ini dikloning dari segmen DNA MAP dalam satu
vektor transkripsi. Klon F57 rekombinan terbukti spesifik untuk identifikasi agen
JD. Sekuen F57 menghasilkan satu segmen 620 bp dengan kandungan G+C
sebesar 58%.
Primer F57 mampu mengidentifikasi MAP dengan baik dari
jaringan hewan penderita JD yang telah diparafin (Coetsier et al. 2000).
Pengembangan F57 sebagai primer identifikasi MAP dikembangkan oleh
Vansnick et al. (2004) dengan target gen F57 yang memiliki panjang 424-432 bp.
Kinerja primer F57 dengan metode nested PCR sangat baik dengan kemampuan
deteksi hingga 1 CFU per PCR dan daya pembeda yang sangat baik.
Penggunaan F57 untuk deteksi MAP pada susu dengan metode RT-PCR juga
memberikan kinerja yang sangat baik pada tingkat sensitivitas pada 102 sel/ml
9
(Tasara & Stephan 2005). Berdasarkan berbagai hasil penelitian di atas para
peneliti menganjurkan penggunaan metode deteksi lebih dari 1 macam termasuk
pada analisis molekular dengan menggunakan setidaknya 2 primer.
Paratuberkulosis pada Hewan
Paratuberkulosis pada hewan terutama terjadi pada ruminansia seperti
sapi, domba, dan kambing namun dapat terjadi pula pada satwa liar seperti
bison, kijang, kelinci, dan kadang ditemukan pula pada burung-burung liar meski
tidak menimbulkan gejala klinis (Cocito et al. 1994; Buergelt et al. 2000; Acha &
Szyfres 2003).
Hewan penderita paratuberkulosis akan menunjukkan gejala
sakit 2-5 tahun setelah infeksi.
Penderita paratuberkulosis subklinis akan
merugikan peternak karena penurunan produksi susu dan rendahnya kinerja
reproduksi. Kerugian industri peternakan sapi perah di Amerika Serikat karena
penyakit ini diperkirakan mencapai US $ 1.5 milyar per tahun (Stabel 1996).
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit
Sejak dikenal pertamakali, kasus JD telah diketahui tersebar di berbagai
tempat. Pada tahun 1934 sebuah penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa
prevalensi kasus JD hanya 0.8%. Berbagai survei yang dilakukan pada
peternakan sapi di negara-negara Eropa memperlihatkan prevalensi JD yang
bervariasi seperti di Inggris sekitar tahun 1950 mencapai 11-17%, di Denmark
pada tahun 1965 sebesar 2.3% dan meningkat pada tahun 1972 yang mencapai
9.8%. Di Amerika Serikat survei tahun 1980 memperlihatkan tingkat penyakit
pada peternakan sapi sebesar 1.2% (SCAHAW 2000).
Laporan tahun 1997
menunjukkan peningkatan prevalensi JD di Amerika yang mencapai 21.6% dan
40% dari peternakan yang terinfeksi tersebut memiliki lebih dari 300 sapi
penderita (Gonda et al. 2006).
Tingginya prevalensi menunjukkan penyakit ini sulit dikendalikan. Faktor
lingkungan sangat berperan dalam kelangsungan penyakit ini. Raizman et al.
(2004) melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi MAP di lingkungan
peternakan sapi perah di Minnesota.
Hasil penelitian ini memperlihatkan
prevalensi peternakan yang tercemar MAP mencapai 53-73%, sedangkan
distribusi keberadaan bakteri di peternakan terdapat pada lokasi–lokasi seperti
pada gang/jalan ternak 77%, penampungan pupuk/kotoran 68%, lokasi
melahirkan 21%, kandang sapi sakit 18%, air limbah 6%, dan daerah penyapihan
10
3%. Pergantian musim terbukti tidak mempengaruhi terjadinya kasus JD pada
peternakan (Strickland et al. 2005). Hal ini sejalan dengan temuan Whan et al.
(2005) yang sepanjang musim dapat menemukan MAP dari air yang tidak diberi
perlakuan (untreated) di Irlandia Utara. Tingginya kejadian juga diduga karena
keberadaan kelinci liar sebagai vektor biologis MAP yang menularkannya ke
peternakan sapi perah dan hewan liar lain (Judge et al. 2006).
Patogenesis Paratuberkulosis
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis menyebabkan Johnes
disease (JD) yaitu penyakit radang granulomatosa usus yang bersifat kronis dan
sulit disembuhkan pada hewan.
Setelah tertelan, bakteri ini akan segera
menembus permukaan mukosa saluran pencernaan dan difagosit oleh makrofag.
Kemampuan MAP bertahan di dalam makrofag merupakan suatu kelebihan
bakteri ini dalam mengganggu inang dan bakteri mampu bertahan dan terlindung
dari mekanisme kekebalan humoral (Stabel et al. 1998).
Hewan mammalia secara aktif akan membatasi suplai zat besi kepada
bakteri patogen. Fungsi sitokin pada makrofag diduga untuk membatasi secara
aktif konsentrasi besi di dalam sel sehingga perkembangan bakteri terhambat.
Makrofag teraktivasi akan menurunkan kerja reseptor transferin dan mengurangi
konsentrasi zat besi. Bakteri Mycobacterium menghasilkan siderofor mycobactin
larut lemak dan siderofor eksokelin larut air dalam rangka mencari zat besi yang
terbatas jumlahnya dalam sel inang. Kedua siderofor ini sangat berkaitan dengan
patogenisitas Mycobacterium dan menjadi perangkat penting bakteri dalam
bertahan dan bereplikasi di dalam makrofag (Harris & Barletta 2001).
Lesi granulomatosa mulai muncul pada lokasi peyer patches. Luka ini akan
bertahan dalam keadaan laten untuk waktu yang lama. Pada perkembangan
infeksi selanjutnya dari peyer patche akan menyebar ke seluruh usus dan
menimbulkan radang granulomatosa pada usus dan kondisi paling ekstrim
adalah terbentuknya lubang (perforasi) pada usus.
mengganggu absorbsi makanan.
Lesi-lesi ini jelas akan
Hal ini akan berakibat pada kondisi umum
hewan sehingga akan memperlihatkan gejala-gejala klinis yang akan muncul
sekitar 2-5 tahun sejak infeksi bakteri ke dalam inang (SCAHAW 2000).
Gejala Klinis
Pedet yang terinfeksi MAP seringkali tidak memperlihatkan gejala klinis
hingga 2-3 tahun kemudian.
Rute utama infeksi melalui makanan, susu,
11
kolostrum yang tercemar MAP. Jumlah bakteri sebanyak 5x108 CFU mampu
menimbulkan penyakit pada kambing umur 3 bulan dan gejala klinis muncul
setelah 11 bulan kemudian (Begg et al. 2005).
Perkembangan penyakit paratuberkulosis dibagi menjadi 3 stadium.
Stadium 1 adalah stadium subklinik, hewan tidak menunjukkan gejala klinis,
tanggap kebal seluler tinggi tetapi tidak ada pengeluaran MAP dalam feses.
Pada stadium 2, hewan dalam kondisi subklinik dengan tanggap kebal seluler
dan humoral yang sedang.
Fase ini juga ditandai dengan peningkatan
konsentrasi MAP pada mukosa usus dan ruang usus. Stadium 3 (fase terminal)
merupakan fase hewan menunjukkan gejala klinik yang ditandai adanya diare
kronis, gejala infeksi umum seperti emasiasi, penurunan produksi susu, edema
difus, anemia, dan infertilitas yang merupakan tanda akhir yang dominan (Cocito
et al. 1994). Aborsi dan alopesia merupakan tanda yang terlihat pada stadium
lanjut dan hewan mati dengan status kaheksia. Pada fase klinis jumlah bakteri
yang dikeluarkan melalui feses dapat mencapai 1010 CFU/g feses. Distribusi
MAP selain pada organ pencernaan juga dapat terdapat pada organ reproduksi
hewan jantan dan betina terinfeksi. Organisme ini dapat diisolasi dari fetus yang
berasal dari sapi penderita meskipun penularan melalui intrauteri belum dapat
dibuktikan (Stabel 1998).
Metode Diagnosis
Organisasi Kesehatan
Hewan
Dunia
(Office
International
des
Epizootica/OIE) telah mengeluarkan panduan diagnosis paratuberkulosis.
Diagnosis dapat dilakukan dengan identifikasi agen, uji serologis, dan test of cellmediated immunity. Identifikasi agen dapat dilakukan dengan melakukan
nekropsi, pemeriksaan mikroskopik, biakan bakteri, dan pelacakan DNA.
Pengujian serologi dapat dilakukan dengan complement fixation test, ELISA, dan
AGID sedangkan untuk test of cell-mediated immunity dilakukan dengan gamma
interferon assay dan delayed type hypersensitivity (OIE 2004).
Diagnosis Paratuberkulosis berdasarkan gejala klinis cukup sulit dilakukan
karena perjalanan penyakit yang cukup lama.
Pada umumnya gejala klinis
terlihat pada saat hewan sudah dalam kondisi terinfeksi parah. Cocito et al.
(1994) menjelaskan bahwa stadium perkembangan penyakit berpengaruh
terhadap metode diagnosis klinik maupun laboratorik.
Diagnosis laboratorik MAP sampai saat ini masih dikembangkan untuk
mendapatkan metode yang cepat dan akurat. Diagnosis serologis yang sering
12
dilakukan adalah dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Variasi
sensitivitas uji ELISA sangat tergantung pada fase respon sistem kekebalan
inang dan reaksi silang bila inang terinfeksi M. avium complex (MAC).
Sensitivitas ELISA untuk mendeteksi MAP ini bervariasi 42-88% sehingga
seringkali diperoleh hasil yang berbeda antara uji ini dengan uji isolasi (Collins
2002; McKenna et al. 2005).
Diagnosis MAP dapat dilakukan berdasarkan uji cell-mediated immunity
yaitu dengan gamma interferon assay dan delayed-typed hipersensitivity test
(DTH). Uji DTH menggunakan purified protein derivative (PPD) johnin dan akan
menghasilkan rekasi penebalan pada kulit setelah 72 jam diinjeksi intradermal
dengan PPD johnin (OIE 2004).
Primer IS900 menjadi satu alat deteksi molekuler yang