Analisis indeks iklim dengan metode historical burn untuk pengembangan asuransi indeks iklim

ANALISIS INDEKS IKLIM DENGAN METODE HISTORICAL
BURN ANALYSIS (HBA) UNTUK PENGEMBANGAN
ASURANSI INDEKS IKLIM

WAHYU SUKMANA DEWI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Indeks Iklim
dengan Metode Historical Burn untuk Pengembangan Asuransi Indeks Iklim
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Wahyu Sukmana Dewi
NIM G24100025

ABSTRAK
WAHYU SUKMANA DEWI. Analisis Indeks Iklim dengan Metode Historical
Burn untuk Pengembangan Asuransi Indeks Iklim. Dibimbing oleh YON
SUGIARTO dan WORO ESTININGTYAS.
Resiko iklim kekeringan berkaitan dengan sistem usahatani padi. Adaptasi
bencana kekeringan dapat dilakukan dengan asuransi indeks iklim. Tujuan
penelitian ini mengidentifikasi kejadian kekeringan dan menganalisis indeks
iklim untuk kejadian kekeringan di wilayah kajian. Indeks iklim disusun
menggunakan metode Historical Burn Analysis (HBA) dengan curah hujan
sebagai parameter iklim utama. Trigger dan exit ditentukan berdasarkan runut
waktu yang panjang untuk menentukan indeks musim yang akan datang. Hasil
analisis menunjukkan bahwa Kecamatan Kebonagung memiliki nilai exit dan
trigger tertinggi yaitu 89 dan 116 mm. Petani menerima pembayaran penuh jika
curah hujan di bawah 89 mm dan pembayaran tidak akan dilakukan apabila

curah hujan berada di atas 116 mm. Kekeringan yang teridentifikasi di
Kabupaten Pacitan dianalisis berdasarkan kejadian kekeringan terkena dengan
periode 2 mingguan. Indeks iklim ini dapat dijadikan suatu langkah adaptasi
untuk petani dalam menghadapi musim kemarau.
Kata kunci: adaptasi, indeks iklim, kekeringan, metode Historical Burn Analysis
(HBA)

ABSTRACT
WAHYU SUKMANA DEWI. Climate Index Analysis with Historical Burn
Analysis (HBA) Method for Climate Index Insurance Development. Supervised
by YON SUGIARTO and WORO ESTININGTYAS.
Climate risk which is really associated with rice farming systems is
drought. Adaptation to drought which can be done by farmers with climate index
insurance The purpose of this study is to identify the incidence of drought and
analyze climate index for incidence of drought in the study area. Climate index
is arranged by using the method Historical Burn Analysis (HBA) with rainfall as
the main climatic parameters. Trigger and exit is determined based on long time
series to determine the index of the coming season. Result of the analysis shows
that the District Kebonagung has the highest exit and trigger value, that is 89
and 116 mm. The farmers pays the full insurance coverage if the rainfall under

89 mm and payment of insurance coverage will not be performed if the rainfall
value in the dry season is above 116 mm. Identification of drought in Pacitan
analyzed based on the incidence of drought in two week period. This index
climate can become a step for adaptation to farmer to face dry season.
Keywords: adaptation, climate index, drought, methods of Historical Burn
Analysis (HBA)

ANALISIS INDEKS IKLIM DENGAN METODE HISTORICAL
BURN ANALYSIS (HBA) UNTUK PENGEMBANGAN
ASURANSI INDEKS IKLIM

WAHYU SUKMANA DEWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Indeks Iklim dengan Metode Historical Burn Analysis
(HBA) untuk Pengembangan Asuransi Indeks Iklim
Nama
: Wahyu Sukmana Dewi
NIM
: G24100025

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, SSi, MSc
Pembimbing I

Dr Ir Woro Estiningtyas, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
kekeringan, dengan judul Analisis Indeks Iklim dengan Metode Historical Burn
Analysis (HBA) untuk Pengembangan Asuransi Indeks Iklim.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu
terselesaikannya karya ilmiah ini, diantaranya adalah :
1. Bapak Yon Sugiarto, SSi, MSc dan Ibu Dr Ir Woro Estiningtyas, MSi
selaku pembimbing.
2. Bapak Dr Ir Rizaldi Boer yang telah banyak memberi saran dan masukan
dalam proses penyelesaian karya ilmiah.
3. Bapak Heru dari Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Madiun, Bapak Gatot dari

Dinas Pertanian Kabupaten Pacitan, dan Bapak Petri dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Pacitan, yang telah membantu selama pengumpulan data.
4. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan dorongan semangat, motivasi, dan
doa yang tiada henti agar tidak mudah menyerah.
5. Adikku tercinta Ratih Dwi Kartikasari yang selalu memberi semangat
dan membuat tertawa setiap saat.
6. Sahabat-sahabat Pondok Mona yang selalu menyemangati (Mbak Icha,
Mbak Dessy, Risty, Ulfa, dan lain-lain).
7. Sahabat-sahabat yang tidak pernah saya lupakan kebaikan dan
ketulusannya (Aprilia Sufiyati Safitri, Ilmina Philippines, Dewi Sulistyowati,
Srimani Puspa Dewi), semoga persahabatan kita abadi ya, Amiin.
8. Teman-temanku Geofisika dan Meteorologi IPB 47 yang selalu bisa
membuat tertawa dan terus semangat (Rifky, Bayu, Disti, Linda, Aulia,
Shailla, Hasby, Iftah, Thaisir, Ryan, Em, Haikal, Givo, Uni, Enggar, Aat,
Nunung, Jeffry, Daus, Dede, Ichanur, Ichakar, Aji, Reza, Indy, Alfi, Aret,
Putri, Windita, Jeni, Neni, Nani, Moe, Jun, Edy, Resti, Ghalib, Dety, Ernat,
Pipit, Irza, Adi, Ryco, Fiki, Anggi, Basit, Mail, Uwi, Rony, Himma, Alan,
Frimadi, Niki, Arisal, Angga, Ade, Hendy)
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2014
Wahyu Sukmana Dewi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

13


Latar Belakang

13

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3


TINJAUAN PUSTAKA

4

Dinamika dan Variabilitas Iklim serta Dampaknya Terhadap Sektor Pertanian 4
Hubungan Kekeringan dengan Luas Tanam dan Produksi Padi

7

Asuransi Indeks Iklim

8

Metode Historical Burn Analysis (HBA)

9

Kondisi Umum Wilayah Kajian

9


Kondisi Pertanian Wilayah Kajian
METODOLOGI

10
11

Waktu dan Tempat

11

Alat dan Bahan

11

Prosedur Analisis Data

11

HASIL DAN PEMBAHASAN


16

Hubungan Curah Hujan dan Kekeringan dengan Produksi dan Luas Tanaman
Padi
16
Penyusunan Indeks Iklim

23

Implikasi Terhadap Pengembangan Asuransi Indeks Iklim di Kabupaten
Pacitan

25

SIMPULAN DAN SARAN

26

Simpulan

26

Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Rata-rata nilai ETp (mm hari-1) untuk berbagai wilayah agroklimat
2 Ilustrasi perhitungan nilai exit dan trigger untuk Kecamatan
Kebonagung
3 Tipe iklim Oldeman di Kabupaten Pacitan berdasarkan data tahun
1998-2013

12
14
17

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi stasiun hujan di Kabupaten Pacitan
2 Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia
dalam periode 1989-2010
3 Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada
tahun El Nino di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006
4 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim
5 Peta administrasi Kabupaten Pacitan
6 Diagram alir penelitian
7 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di
Kecamatan Donorojo selama periode tahun 2007 hingga 2012
8 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas
panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan dengan produksi (Ton)
tanaman padi di Kecamatan Donorojo
9 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di
Kecamatan Kebonagung selama periode tahun 2007 hingga 2012
10 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas
panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan dengan produksi (Ton)
tanaman padi di Kecamatan Kebonagung
11 Hubungan jumlah kejadian kekeringan dengan produksi padi di
Kecamatan Pringkuku selama periode tahun 2007 hingga 2012
12 (a) Hubungan curah hujan (mm) dengan luas tanam (Ha) dan luas
panen (Ha), (b) Hubungan curah hujan dengan produksi (Ton)
tanaman padi di Kecamatan Pringkuku
13 Hubungan curah hujan, kejadian kekeringan, dan serangan OPT
terhadap produksi padi selama periode tahun 2007 hingga 2012
14 Jumlah kecamatan yang terkena bencana kekeringan di Kabupaten
Pacitan selama periode tahun 2007 hingga 2012
15 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim Kecamatan Kebonagung
16 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim Kecamatan Donorojo
17 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim Kecamatan Pringkuku

4
6
6
9
11
16
17

18
19

19
20

20
22
22
23
24
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Jumlah kejadian kekeringan dan serangan OPT di 12 kecamatan di
Kabupaten Pacitan pada tahun 2007 hingga 2012
Akumulasi jumlah kejadian kekeringan dan serangan OPT di setiap
kecamatan terhadap produksi padi pada tahun 2007 hingga 2012
Indeks iklim 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan berdasarkan Metode
Historical Burn Analysis (HBA)

31
33
34

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Pertanian berperan penting terhadap ketahanan pangan
sebagai sumber mata pencaharian jutaan petani dengan berbagai keterbatasan.
Selain menghasilkan pangan, sektor ini juga berkontribusi besar dalam
peningkatan daya beli masyarakat melalui perannya dalam penyerapan tenaga
kerja (Sumaryanto 2009). Pertanian yang berkelanjutan merupakan manajemen
dan konservasi berbasis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan
kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia
generasi saat ini maupun mendatang (FAO 1989).
Iklim memegang peranan yang sangat penting dalam bidang pertanian.
Variasi-variasi cuaca dan iklim akan mengendalikan seluruh fase produksi
maupun tanah. Variasi cuaca dan iklim tersebut erat kaitannya dengan kejadian
perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan suatu perubahan dalam kondisi
cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi
rata-ratanya. Terjadinya peningkatan suhu udara, perubahan pola hujan,
peningkatan muka air laut, dan kejadian iklim ekstrim El Nino dan La Nina yang
meningkatkan frekuensi terjadinya banjir dan kekeringan merupakan beberapa
contoh dampak dari adanya fenomena perubahan iklim. Fenomena alam ini
berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah sektor
pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap
dampak negatif dari perubahan perilaku iklim (Yohe dan Tol 2002, Stern et al.
2006).
Usaha peningkatan kebutuhan pangan nasional untuk mengimbangi laju
pertumbuhan penduduk yang sangat pesat telah menyadarkan kita akan
pentingnya pengetahuan cuaca dan iklim. Peningkatan produksi pangan yang
dilakukan secara intensif maupun ekstensif tetap harus memperhatikan kondisi
lingkungan, dalam hal ini cuaca dan iklim. Fluktuasi cuaca dan iklim berdampak
langsung terhadap terjadinya bencana kekeringan. Kekeringan merupakan salah
satu resiko iklim yang sangat terkait dengan sistem usahatani berbasis padi,
sehingga perlu mendapat perhatian lebih untuk mengatasinya. Hal itu berkaitan
dengan pernyataan yang disampaikan oleh Baharsyah dan Fagi (1995) bahwa
kekeringan adaah faktor penghambat pertumbuhan produksi padi yang akan terasa
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena El Nino pada
tahun 1997 menyebabkan hampir seluruh wilayah Indonesia terlanda bencana
kekeringan. Curah hujan dibawah normal karena distribusi yang tidak merata serta
menurunnya daya serap air oleh tanah menjadi indikasi utama terjadinya
kekeringan. Usaha tani padi merupakan sistem yang masih dominan dalam
memasok kebutuhan pangan di Indonesia, sehingga kejadian iklim ekstrim berupa
kekeringan akan berpengaruh terhadap ketahanan petani dan berdampak besar
terhadap ketahanan pangan.
Hadi et al. (2000) menyatakan bahwa kekeringan menempati urutan
pertama sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit atau

2
hutang dalam jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan
kebutuhan investasi selanjutnya (usaha tani dan lain-lain) terancam tidak
terpenuhi secara normal. Hasil pemantauan kekeringan tanaman padi selama 10
tahun pada tahun 1993-2002 menyatakan bahwa angka rata-rata lahan pertanian
yang terkena dampak kekeringan mencapai 220.380 Ha dengan lahan puso
mencapai 43.434 Ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering
giling (GKG) (RAN-API 2007). Las (2007) menyatakan bahwa peningkatan
kejadian iklim ekstrim mengakibatkan kegagalan panen dan kerusakan tanaman
yang mempengaruhi produktivitas, kerusakan sumberdaya lahan pertanian,
meningkatnya frekuensi, luas dan intensitas banjir dan kekeringan, serta
peningkatan kelembaban yang menyebabkan peningkatan intensitas gangguan
OPT.
Sektor pertanian dalam perannya membangun perekonomian nasional
memerlukan berbagai upaya untuk mendukung petani sebagai pelaku utama dalam
menghadapi kesulitan karena resiko yang harus ditanggung akibat kekeringan.
Adaptasi yang dapat dilakukan oleh petani salah satunya adalah asuransi indeks
iklim. Asuransi indeks iklim merupakan sistem asuransi yang memberikan
pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca atau iklim yang
tidak diharapkan yang dinyatakan dengan indeks iklim tanpa harus ada bukti
kegagalan panen. Asuransi indeks iklim ini merupakan alat manajemen resiko
iklim yang relatif baru dalam sistem usaha tani padi. Dalam sistem asuransi
indeks iklim, yang diasuransikan ialah indeks iklimnya dan bukan tanamannya.
Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai
pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer 2010b). Asuransi
indeks iklim adalah asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat
penurunan tingkat panen atau kegagalan panen yang dikaitkan dengan cuaca
(Departemen Keuangan 2010). Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan
petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim atau
iklim dalam membuat keputusan.
Kabupaten Pacitan dipilih sebagai obyek dalam penelitian ini dikarenakan
potensi kekeringan yang dimilikinya cukup besar. Topografi yang berbukit dan
bergunung dengan lereng terjal serta bentuk jalur sungai sempit dengan tebing
yang sangat terjal menyebabkan daya tampung sungai menjadi kecil. Kerusakan
fisik lingkungan seperti pembabatan hutan, penanaman tanaman semusim (pangan
dan hortikultura) pada daerah dengan lereng terjal tanpa usaha konservasi yang
memadai menyebabkan makin besarnya jumlah curah hujan yang ditransfer
menjadi aliran permukaan. Hal tersebut menyebabkan kesempatan air meresap ke
dalam tanah menjadi kecil sehingga cadangan air tanah semakin berkurang.
Akibatnya dimusim hujan air hujan ditransfer menjadi aliran permukaan sehingga
dapat menyebabkan banjir dan erosi sedangkan di musim kemarau menyebabkan
kekeringan. Bencana alam kekeringan yang berkepanjangan akan berdampak
terhadap sistem usaha tani padi di Kabupaten Pacitan.
Perumusan Masalah
Kabupaten Pacitan memiliki curah hujan tahunan rata-rata sekitar 20002500 mm per tahun. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Mei sampai dengan
Oktober. Bulan yang memilki hari hujan paling banyak adalah bulan Desember

3
dan Januari yaitu sebanyak 21-24 hari hujan. Bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan
September merupakan bulan yang memiliki jumlah hari hujan paling sedikit, yaitu
hanya sebanyak 1-11 hari hujan per bulan (BPS 1993). Pertanian adalah sektor
utama penyangga stabilitas regional di Kabupaten Pacitan. Kejadian iklim ekstrim
El Nino dan La Nina serta perubahan pola hujan akibat perubahan iklim
membawa dampak terhadap peningkatan frekuensi terjadinya bencana banjir dan
kekeringan. Pacitan adalah salah satu wilayah yang cukup berpotensi mengalami
kekeringan di Jawa Timur.
Bencana alam kekeringan akibat curah hujan yang tidak terdistribusi secara
merata berdampak terhadap produktvitas padi di wilayah Pacitan. Warga setempat
mengaku sudah akrab dengan kondisi kekeringan sepanjang musim kemarau
sehingga memanfaatkan tanaman palawija yang tidak memerlukan kebutuhan air
banyak. Meskipun demikian, kondisi kekeringan tidak bisa dibiarkan lebih lanjut.
Kejadian kekeringan di Kabupaten Pacitan terus terjadi dan berulang serta
membawa dampak kerugian, oleh karena itu diperlukan suatu langkah adaptasi
bagi petani untuk menghadapi perubahan iklim.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi kejadian kekeringan
di wilayah kajian dan menganalisis indeks iklim untuk kejadian kekeringan di
wilayah kajian.

Manfaat Penelitian
Data dan informasi mengenai kejadian kekeringan dapat digunakan sebagai
parameter resiko iklim terhadap usaha tani padi. Informasi indeks iklim
merupakan indikator untuk menggambarkan kejadian kekeringan di wilayah
kajian. Indeks ini bermanfaat dalam pengembangan asuransi indeks iklim yang
dapat digunakan sebagai salah satu langkah adaptasi terhadap perubahan iklim.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah wilayah Kabupaten Pacitan yang
merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur dan terletak pada 7,55ᴼ8,17ᴼ LS dan 110,55ᴼ-111,25ᴼ BT. Indeks iklim yang digunakan dalam penelitian
ini disusun berdasarkan salah satu parameter iklim yaitu curah hujan. Indeks
iklim berlaku spesifik untuk lokasi kajian.

4

Gambar 1 Peta lokasi stasiun hujan di Kabupaten Pacitan (Sumber : Dinas PU
dan Pengairan Kab. Pacitan 2014)

TINJAUAN PUSTAKA
Dinamika dan Variabilitas Iklim serta Dampaknya Terhadap Sektor
Pertanian
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan topografi yang sangat beragam
dan posisinya yang berada di antara dua samudera dan dua benua menjadikan
Indonesia memiliki iklim yang dinamis dan kompleks. Pengaruh lokal dan
gangguan siklon tropis sangat berhubungan dengan terjadinya keragaman iklim di
Indonesia. Faktor-faktor yang berperan terhadap iklim Indonesia antara lain
fluktuasi suhu permukaan laut, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), Dipole
Mode Index (DMI), suhu permukaan laut Pasifik ekuator, Monsun Asia TenggaraAustralia, sirkulasi Hadley dan Walker serta arus lintas Indonesia (ARLINDO).
Selain itu, iklim di Indonesia juga dikendalikan oleh tiga sistem peredaran angin,
yaitu angin pasat, angin meridional, dan angin lokal. Keseluruhan komponen
tersebut membentuk suatu sistem baik lokal, regional, maupun global yang turut
menentukan variabilitas dan keragaman iklim di Indonesia. Dalam jangka
panjang, variabilitas dan keragaman iklim akan mengalami pergeseran musim dari
rata-ratanya terutama dikarenakan oleh perubahan iklim. Terjadinya tren
perubahan ini menyebabkan perubahan masuknya awal musim dan panjang
musim hujan. Perubahan pola curah hujan akan berpengaruh terhadap
ketersediaan air bagi tanaman baik melalui curah hujan secara langsung maupun
ketersediaannya di waduk atau sungai (BALITBANGTAN 2013).
Musim hujan di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino Southern
Oscillation (ENSO) yang sangat kuat pengaruhnya pada bulan September-

5
Desember (Hamada et al. 2002). Perubahan frekuensi El Nino merupakan salah
satu tanda terjadinya dinamika dan variabilitas iklim. El Nino merupakan
fenomena alam yang ditandai dengan meningkatnya suhu muka laut atau SST
(Sea Surface Temperatur) dari nilai rata-ratanya di sekitar Pasifik Tengah dan
timur sepanjang ekuator (Tongkukut 2011). Pada keadaan normal, air laut dalam
yang bersuhu rendah dan kaya nutrisi bergerak naik ke permukaan laut di wilayah
dekat pantai Amerika Selatan dan meluas hingga Perairan Peru. Pada kondisi
normal tersebut, angin permukaan di wilayah Samudra Pasifik di sekitar
ekuator yang dikenal sebagai Angin Pasat Timuran (Walker Circulation) dan
air laut di bawahnya mengalir dari Timur ke Barat (Ahrens 2007). Arah
aliran ini sedikit berbelok ke utara pada Bumi Belahan Utara dan ke Selatan
pada Bumi Belahan Selatan. Pada keadaan ini penguapan di Samudra Pasifik
akan meningkatkan kelembaban udara di atasnya sehingga Angin Pasat Timuran
menyebabkan daerah yang berpotensi tumbuh awan-awan hujan adalah di
Samudra Pasifik Barat, wilayah Indonesia dan Australia Utara. Pada saat El Nino
terjadi, suhu muka laut di Pasifik Timur ekuator lebih tinggi dibanding nilai
rata-ratanya. Jumlah air laut bersuhu rendah yang mengalir di sepanjang Pantai
Selatan Amerika dan Pasifik timur berkurang. Suhu muka laut diperairan Pasifik
Barat yang lebih dingin menyebabkan tekanan udara di atasnya menjadi tinggi
dan udara cenderung bergerak turun lalu bergerak ke daerah dengan tekanan
lebih rendah yang artinya di atas permukaan laut di Pasifik Barat ekuator
angin akan bergerak ke timur (Sarachik 2010). Hal ini menyebabkan massa udara
yang mengandung uap air di atas Australia, Indonesia dan sekitarnya akan
terdorong ke timur sehingga secara langsung akan mengurangi potensi hujan.
Dampak El Nino tidak sama untuk seluruh wilayah Indonesia (Aldrian dan
Susanto 2003), bergantung kepada intensitas, frekuensi, dan durasinya. Daerah
dengan pola hujan monsunal memiliki pengaruh El Nino lebih kuat dibandingkan
pola ekuatorial dan lokal. Pemanasan global menyebabkan warm pool lebih
hangat, dengan kondisi warm pool lebih hangat, potensi mencapai critical
temperature SST lebih tinggi sehingga akan memudahkan warm pool untuk
bergerak ke Pasifik tengah. Dengan demikian frekuensi kejadian El Nino akan
meningkat yang akan menyebabkan kejadian kekeringan lebih sering di wilayah
Indonesia.
Bencana kekeringan berdampak terhadap rusaknya areal pertanaman padi
yang semakin dipertajam dengan adanya kejadian iklim ekstrim. Berdasarkan data
dari Ditlin tahun 1989-2010 yang tersaji dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa
pada tahun El Nino luas areal tanaman padi yang terkena kekeringan mencapai
300-850 ribu Ha. Tingkat keparahan kerusakan tanaman padi akibat kekeringan
lebih tinggi dibandingkan bencana banjir, karena kekeringan berlangsung pada
daerah yang lebih luas dan dalam periode yang lebih lama.

6

Gambar 2 Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia
dalam periode 1989-2010 (Sumber : Road Map 2011).

Gambar 3 Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan
pada tahun El Nino di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006
(Sumber : Boer 2008b)
Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi
antar wilayah. Lahan sawah yang berhasil dievaluasi adalah 5.14 juta Ha, 74 ribu
Ha diantaranya sangat rentan dan satu juta Ha lainnya sangat rentan terhadap
kekeringan (Wahyunto 2005). Luas pertanaman padi yang dilanda kekeringan
dalam periode 1991-2006 berkisar antara 28.580-867.930 Ha per tahun dan yang
mengalami puso 4.614-192.331 Ha (BAPPENAS 2010). Dampak yang meningkat
secara signifikan akibat adanya fenomena El Nino ditunjukkan oleh Gambar 3.
Ministry of Environment (2009) mengidentifikasi bahwa kekeringan lebih dari
2.000 Ha melanda hampir setiap wilayah, diantaranya adalah Pantai Utara Jawa
Barat, Lampung, Nanggroe Aceh Darusalam, Kalimantan Timur, Kalimantan

7
Selatan, Sulawesi Barat, dan Lombok. Frekuensi kejadian kekeringan pada
pertanaman padi sawah khususnya di Jawa adalah tiga kali dalam empat tahun dan
umumnya meningkat tajam pada tahun El Nino (Boer et al. 2009).
Peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim sangat berkaitan dengan
perubahan pola curah hujan. Sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan
paling rentan terhadap pola curah hujan karena sangat sensitif terhadap cekaman
(kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan tanaman pangan sangat
berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam,
teknologi pengelolaan tanah, air, tanaman, dan varietas (Las et al. 2008b). Oleh
sebab itu, kerentanan tanaman pangan terhadap pola curah hujan akan berimbas
terhadap luas areal tanam dan panen, produktivitas, serta kualitas hasil. Kejadian
iklim ekstrim terutama fenomena El Nino sangat berpengaruh terhadap sektor
pertanian, diataranya menyebabkan kegagalan panen dengan penurunan IP yang
berujung pada penurunan produktivitas dan produksi, menyebabkan kerusakan
sumberdaya lahan pertanian, peningkatan frekuensi, luas, dan bobot atau
intensitas kekeringan, peningkatan kelembaban, serta peningkatan intensitas
gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Las et al. 2008a).
Hubungan Kekeringan dengan Luas Tanam dan Produksi Padi
Posisi geografis Indonesia sangat mempengaruhi kejadian iklim ekstrim,
dalam hal ini adalah banjir dan kekeringan. Fenomena yang sangat mempengaruhi
iklim di Indonesia adalah ENSO dikarenakan Indonesia terletak di antara dua
samudera, yaitu Pasifik dan Hindia. Kejadian El Nino akan menyebabkan
kekeringan di wilayah Indonesia terutama di wilayah yang mempunyai pola curah
hujan monsoonal. Fenomena La Nina akan menyebabkan curah hujan di
Indonesia meningkat pada saat musim kemarau serta menyebabkan majunya awal
musim hujan (Bell et al. 1999). Pada tahun 2010 terjadi suatu fenomena kemarau
basah sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah
satu contoh iklim ekstrim yang terjadi di Indonesia sebagai akibat terjadinya
perubahan ikllim.
Kekeringan (drought) adalah kekurangan curah hujan yang cukup besar dan
berlangsung lama serta dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan di
suatu daerah sehingga menyebabkan kekurangan keperluan hidup sehari-hari.
Penyebab terjadinya kekeringan ada tiga, yaitu: pertama adalah hujan, dimana
sifat hujan menentukan ketersediaan air di dalam tanah. Kekeringan terjadi jika
hujan tidak merata dan menyimpang dari keadaan normal. Kedua yaitu jenis
tanaman, dimana tiap jenis tanaman memiliki kebutuhan air yang berbeda dalam
tiap tingkat pertumbuhannya sehingga tanaman akan mengalami kekeringan jika
jumlah kebutuhan air pada tingkat pertumbuhannya tidak sesuai dengan pola
agihan hujan meskipun jumlah hujan secara keseluruhan mencukupi. Ketiga
adalah tanah, dimana besar kecilnya kemampuan tanah menyimpan air akan
menentukan terjadinya kekeringan (American Meteorological Society 1997).
Jayaseelan (2001) menjelaskan bahwa terdapat tiga tipe kekeringan menurut
cara pandang, yaitu secara meteorologis, pertanian, dan hidrologis. Jumlah curah
hujan di bawah normal pada suatu musim yang semakin berkurang, menjadi
indikasi awal terjadinya proses kekeringan yang disebut dengan kekeringan
meteorologis. Berdasarkan rekapitulasi kekeringan tingkat Provinsi Jawa Timur

8
untuk MT III tahun 2014, menunjukkan bahwa kerawanan musiman kekeringan
memiliki status ringan sebesar 29%, sedang 16%, dan sangat rawan sebesar 3%.
Kabupaten Pacitan secara spasial memiliki status kerawanan kekeringan musiman
ringan. Total luas baku sawah di Kabupaten Pacitan dengan komoditas padi
adalah sebesar 13.025 Ha dengan potensi tanam untuk MT I dan MT II masingmaisng seluas 13.025 Ha dan 5.534 Ha. Prediksi sifat hujan di Kabupaten Pacitan,
sebagian besar menunjukkan sifat hujan di atas normal, namun ada dua kecamatan
yang memiliki sifat hujan normal yaitu Kecamatan Donorojo dan Punung
(KEMENTAN 2014).
Asuransi Indeks Iklim
Kerugian pada sistem usaha tani padi sebagian besar disebabkan oleh
bencana terkait iklim seperti kekeringan dan banjir. Petani pada umumnya telah
memiliki cara tersendiri untuk mengatasi berbagai resiko yang diakibatkan oleh
iklim tersebut, diantaranya adalah mengganti tanaman dengan yang lebih tahan
terhadap tekanan iklim, melakukan pinjaman uang di bank, koperasi, atau
kelompok tani. Namun beberapa cara tersebut masih terbatas dan tidak ada
jaminan pasti, sehingga petani masih sering mengalami kerugian. Saat ini telah
berkembang produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim yang dikenal dengan
Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Asuransi indeks iklim adalah
asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat penurunan tingkat
panen atau kegagalan panen yang diakibatkan cuaca. Menurut Boer (2010b)
sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis manakala terpenuhi
kondisi cuaca atau iklim yang tidak diharapkan (indeks iklim) tanpa harus ada
bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani
terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim atau iklim
dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang
diasuransikan adalah indeks iklimnya bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan
berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode
pertumbuhan tanaman yang diasuransikan.
Indeks iklim untuk asuransi dapat dikembangkan dengan menggunakan
unsur iklim lain yang terkait dengan bencana yang sedang menjadi perhatian.
Misalnya, di Filipina indeks asuransi yang digunakan untuk melindungi petani
dari bencana angin topan ialah kecepatan angin dan jalur angin topan yang dapat
dipantau melalui satelit. Bagi petani yang mengikuti polis asuransi ini, apabila
dari data satelit terlihat lahan petani peserta polis dilewati oleh jalur angin topan
yang kecepatannya melebihi nilai indeks kecepatan angin yang sudah ditetapkan,
maka petani akan langsung otomatis menerima klaim pembayaran sesuai dengan
nilai pertanggungan tanpa harus ada penilaian ke lapangan. Di Kenya, juga
dikembangkan indeks asuransi untuk ternak yang menggunakan data Normalized
Differential Vegetation Index (NDVI) yang diproses dari satelit (Chantarat et al.
2012). NDVI merupakan indikator yang secara luas sudah digunakan untuk
memonitor kekeringan. Di Afrika, NDVI digunakan sebagai peringatan dini untuk
menduga resiko kematian bagi ternak sapi. Di India, indeks iklim yang digunakan
adalah curah hujan untuk memonitor resiko kekeringan pada lahan pertaniannya
(Gehrke 2011).

9
Metode Historical Burn Analysis (HBA)
Asuransi indeks iklim merupakan asuransi pertanian yang berbasis indeks
iklim. Kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada keobyektifan dan
bukan pada pengukuran dari kehilangan riil (Manuamorn 2010). Dalam penelitian
ini, indeks iklim yang dipilih adalah curah hujan. Keeratan hubungan antara
produksi padi dengan curah hujan menjadi dasar dalam penentuan indeks iklim.
Dalam penelitian ini, indeks iklim dihitung dengan metode “Historical
Burn” (Historical Burn Analysis, HBA) yang dikembangkan oleh IRI Columbia
University. Pendekatan ini digunakan apabila di lokasi penelitian hanya tersedia
data curah hujan. Pada prinsipnya, analisis “Historical Burn” bergantung pada
data masa lalu untuk memberikan kunci apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Dengan menggunakan pendekatan ini, diasumsikan bahwa tahun mendatang akan
terlihat seperti salah satu dari tahun yang sudah terjadi. Oleh karena itu, data runut
waktu yang panjang digunakan untuk menentukan trigger dan exit untuk indeks
musim yang akan datang. Meskipun ini merupakan pendekatan yang sederhana,
namun menjadi titik awal dimana indeks dapat dikembangkan lebih lanjut dan
disempurnakan. Total curah hujan yang digunakan dalam penentuan indeks hujan
adalah total curah hujan yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total).

Gambar 4 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim (IRI 2010)
Kondisi Umum Wilayah Kajian
Kabupaten Pacitan adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur
yang terletak pada 7,55ᴼ-8,17ᴼ LS dan 110,55ᴼ-111,25ᴼ BT. Bagian utara
berbatasan dengan Kab. Ponorogo Jawa Timur dan Kab. Wonogiri Jawa Tengah,
sedangkan bagian timur berbatasan dengan Kab. Trenggalek Jawa Timur. Bagian
selatan dan barat masing-masing berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Kab.
Wonogiri Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Pacitan adalah 1.342,01 km 2.
Kecamatan Tulakan merupakan wilayah kecamatan paling luas di Kabupaten
Pacitan, yaitu 160,72 km2 atau 11,9% dari luas seluruhnya. Wilayah Kabupaten
Pacitan sebagian besar berupa perbukitan dengan kondisi medan yang cukup
ekstrim. Jenis tanah di wilayah ini terdiri dari jenis tanah asosiasi litosal,

10
mediteran merah litosal bercampur tuf dan bahan vulkan, komplek litosal
kemerahan dan alivial kelabu, dan endapan tanah liat yang di dalamnya
mengandung potensi bahan galian mineral.
Kabupaten Pacitan memiliki curah hujan tahunan rata-rata sekitar 20002500 mm per tahun. Curah hujan bulanan lebih dari 300 mm terjadi pada bulan
Desember hingga Maret. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Mei sampai dengan
Oktober dengan rata-rata perbedaan hari hujan 6 hari per bulan. Bulan yang
memilki hari hujan paling banyak adalah bulan Desember dan Januari yaitu
sebanyak 21-24 hari hujan. Sedangkan bulan yang memiliki jumlah hari hujan
paling sedikit adalah bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September yaitu hanya
sebanyak 1-11 hari hujan per bulan (Dinas Pertanian Kab. Pacitan 2007).
Data rata-rata curah hujan dari tahun 1998 hingga 2013 menunjukkan bahwa
tipe iklim di Kabupaten Pacitan secara umum termasuk kedalam tipe C subdivisi 2
(tipe iklim C2). Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman, tipe iklim
C2 ini berarti bahwa dalam satu tahun hanya dapat menanam padi sebanyak satu
kali dan penanaman palawija yang kedua harus lebih berhati-hati dan tidak
dilakukan pada bulan-bulan kering. Klasifikasi iklim Oldeman dipilih untuk
menentukan tipe iklim di wilayah kajian ini karena dinilai cukup representatif
untuk klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan di Indonesia, khususnya padi
(Dinas Pertanian Kab. Pacitan 2007). Pertanian adalah sektor utama penyangga
stabilitas regional di Kabupaten Pacitan. Kejadian iklim ekstrim El Nino serta
perubahan pola hujan akibat perubahan iklim membawa dampak terhadap
peningkatan frekuensi terjadinya bencana kekeringan. Pacitan adalah salah satu
wilayah yang cukup berpotensi mengalami kekeringan di Jawa Timur.
Kondisi Pertanian Wilayah Kajian
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah kering di Propinsi Jawa
Timur. Kondisinya yang kering menjadikan wilayah ini rawan terkena dampak
penyimpangan iklim, misalnya kekeringan. Namun demikian, Pacitan merupakan
kabupaten yang kaya akan sumberdaya alam. Sebagian besar penduduk Pacitan
bekerja dalam sektor pertanian. Mayoritas lapangan usaha yang memiliki
persentase paling tinggi di wilayah ini adalah sektor pertanian yaitu 59,44%. Ubi
kayu adalah salah satu komoditas yang paling unggul di Pacitan dengan produksi
mencapai 594 ribu ton. Potensi pengembangan buah jeruk juga menjadi sektor
yang cukup menjanjikan dalam komoditas hortikultura.
Produksi tanaman di Kabupaten Pacitan terlihat cukup berfluktuasi pada
tahun 2009 apabila dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya. Dari 57 jenis
tanaman yang ada, sebanyak 47,37% mengalami kenaikan jumlah produksi
sedangkan sisanya 52,63% mengalami penurunan jumlah produksi. Komoditi
pertanian di Pacitan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu tanaman pangan (padi,
ubi kayu, jagung, kacang tanah), tanaman buah-buahan (jeruk pacitan, melinjo,
pisang), tanaman sayuran (cabai, petai, kacang panjang), dan juga tanaman
biofarma (jahe, temulawak, dan kunyit). Jagung merupakan salah satu keunggulan
tanaman di Pacitan yang termasuk dalam kategori tanaman pangan. Kabupaten
Pacitan memiliki lahan kering yang cukup menjanjikan untuk mengembangkan
budidaya jagung. Pada tahun 2012, tercatat bahwa produksi jagung petani Pacitan

11
sudah mencapai 5,7 ton per hektar yang menunjukkan angka lebih tinggi
dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu hanya sebesar 4,9 ton per hektar
(Purnawan 2010).

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Mei 2014 mulai dari
pengumpulan, pengolahan, dan analisis data. Lokasi penelitian berada di
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dan pengolahan serta analisis data dilakukan di
Laboratorium Agrometeorologi Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer,
Microsoft Office 2010 dan software ArcGis. Sedangkan bahan-bahan yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah data iklim, data kekeringan lahan
persawahan, data produktivitas padi, dan data pola tanam.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah
mengumpulkan data lapang kemudian melakukan proses pengolahan data hingga
selesai. Adapun proses sederhana dalam penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 6.

1
2

3

Keterangan :
1= Kec. Donorojo, 2=Kec. Pringkuku, 3=Kec. Kebonagung
Gambar 5 Peta administrasi Kabupaten Pacitan

12
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan harian
pengamatan stasiun hujan 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan selama 16 tahun
yaitu mulai tahun 1998 hingga 2013. Data curah hujan dikumpulkan dari Dinas
Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Pacitan serta Dinas Pertanian Kabupaten
Pacitan. Data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kejadian
kekeringan 2 mingguan, serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) tahun
2007 hingga 2012 serta data luas panen, luas tanam tanaman padi dan produksi
padi tahun 1998 hingga 2012 untuk 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan. Data
kejadian kekeringan yang digunakan adalah data bulanan yang terdiri dari dua
periode setiap bulannya (2 mingguan).
Pengolahan Data
A. Metode Historical Burn Analysis (HBA)
Indeks iklim dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan metode
Historical Burn (Historical Burn Analysis, HBA) yang dikembangkan oleh IRI
Columbia University. Tahapan analisis “Historical Burn” adalah sebagai berikut :
1. Memilih tahun dan periode yang akan diasuransikan (indeks window)
Indeks window dalam penelitian ini adalah bulan 1 Mei - 30 September
tahun 1998 hingga tahun 2013 untuk 12 kecamatan di Kabupaten Pacitan.
2.

Menghitung curah hujan dasarian pada periode yang akan diasuransikan
(indeks window)
Formula untuk menghitung curah hujan dasarian adalah sebagai berikut :
Bulan dekad 1 = SUM (hari 1:hari 10)
Bulan dekad 2 = SUM (hari 11:hari 20)
Bulan dekad 3 = SUM (hari 21:hari 30)

Menghitung besarnya “cap” dan curah hujan yang disesuaikan (adjusted
rainfall total)
Cap merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung
untuk setiap periode sepuluh hari (IRI 2010). Penentuan nilai “cap” berhubungan
dengan nilai evapotranspirasi potensial harian.
3.

Tabel 1 Rata-rata nilai ETp (mm hari -1) untuk berbagai wilayah agroklimat
(Allen et al. 1998)
Wilayah
Tropik dan subtropik
- Lembab dan sub lembab
- Kering dan semi kering
Temperate
- Lembab dan sub lembab
- Kering dan semi kering

Rata-rata suhu harian (ᴼC)
Dingin
Sedang
Hangat
(~10ᴼC)
(~20ᴼC)
(>30ᴼC)
2-3
2-4

3-5
4-6

5-7
6-8

1-2
1-3

2-4
4-7

4-7
6-9

13
Sehingga nilai ETp yang digunakan adalah mendekati nilai 5 mm/hari.
Maka nilai cap untuk 10 harian adalah :
Cap dasarian = 5mm x 10 hari = 50
Formula untuk menentukan besarnya curah hujan yang disesuaikan
(adjusted rainfall total) adalah sebagai berikut :
Bulan (periode yang diasuransikan) dekad 1 = IF(curah hujan total
dekad 1