Pemantauan Perubahan Iklim dengan Metode

(1)

Seminar Nasional Sains Atmosfer LAPAN 2009 - POSTER

PEMANTAUAN PERUBAHAN IKLIM MELALUI PENGAMATAN

TEMPORER LAPISAN

PERMAFROST

DENGAN METODE

ELECTRICAL

RESISTIVITY TOMOGRAPHY

Alva Kurniawan1

Abstraksi

Perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat dipantau melalui pengamatan lapisan

permafrost secara temporer. Terjadinya pencairan pada lapisan permafrost merupakan indikasi terjadinya perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bahwa pemantauan iklim dapat dilakukan dengan cara yang berbeda yaitu melalui pengamatan lapisan

permafrost secara temporer. Pengamatan lapisan permafrost tidak dapat dilakukan secara langsung karena lapisan permafrost terletak di bawah permukaan Bumi. Pengamatan lapisan

permafrost dilakukan dengan metode Electrical Resistivity Tomography (ERT). Metode ERT merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui gambaran perlapisan material bawah permukaan Bumi berdasarkan nilai resistivitas material dan pola distribusinya. Pengamatan dilakukan pada lima model lapisan permafrost dengan kondisi berbeda yang mewakili kondisi terjadinya perubahan iklim. Hasil metode ERT pada lima model permafrost menunjukkan terjadinya perubahan nilai resistivitas material dan pola distribusinya. Saat permafrost dalam berada pada kondisi beku maka nilai resistivitas material pada lapisan bawah permukaan Bumi masih di dominasi oleh nilai resistivitas material yang tinggi. Seiring dengan makin intensifnya pencairan permafrost, maka nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi semakin menurun. Perubahan nilai resistivitas material dan pola distribusinya menunjukkan terjadinya perubahan kondisi permafrost dimana perubahan kondisi permafrost dipengaruhi oleh terjadinya perubahan iklim. Pengamatan lapisan permafrost di Indonesia yang terdapat di sekitar Gletser Meren, Papua, perlu dilakukan karena lapian permafrost tersebut sensitif terhadap perubahan iklim. Kata kunci: Electrical Resistivity Tomography, model, permafrost, perubahan iklim, resistivitas

1. PENDAHULUAN

Perubahan iklim global yang terjadi saat ini mengakibatkan terjadinya pencairan lapisan permafrost (Marescot et al, 2007). Berdasarkan pernyataan tersebut maka pemantauan perubahan iklim pada dasarnya dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan pada lapisan permafrost secara temporer. Lapisan permafrost merupakan lapisan tanah yang membeku secara permanen karena suhu rata-rata tahunan lapisan tanah yang kurang dari 0° Celsius (Foth, 1990). Pengamatan lapisan permafrost untuk memantau perubahan iklim jarang dilakukan dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk


(2)

memberikan gambaran bahwa perubahan iklim dapat dipantau dengan cara yang berbeda yaitu melalui pengamatan lapisan permafrost secara temporer.

Pengamatan permafrost untuk memantau perubahan iklim pada umumnya dilakukan pada belahan Bumi yang memiliki iklim sedang atau polar. Pengamatan lapisan permafrost

juga dapat dilakukan di Indonesia walaupun wilayah Indonesia tergolong wilayah tropis. Lapisan permafrost di Indonesia terdapat pada areal puncak pegunungan di Papua (Boelhouwers dan Hall, 2002). Zona puncak perbukitan Papua memiliki suhu yang sangat dingin sehingga terdapat gletser-gletser tropis (Bennett dan Glasser, 2009) diantaranya adalah Gletser Cartenz dan Gletser Meren (sebelah timur tambang emas Freeport, Grasberg).

2. TEORI DAN METODE

Pengamatan lapisan permafrost secara temporer dapat dilakukan dengan metode

Electrical Resistivity Tomography atau ERT. Metode ERT merupakan metode untuk mengetahui gambaran perlapisan material bawah permukaan Bumi berdasarkan pola distribusi spasial nilai resistivitas material (Lowrie, 2007). Pengukuran nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi dilakukan dengan injeksi arus DC ke bawah permukaan Bumi melalui rangkaian elektroda arus dan elektroda potensial (Milsom, 2003). Pengamatan lapisan permafrost pada penelitian ini dilakukan pada lima model permafrost yang dibuat dengan forward modeling menggunakan software Res2DMod. Model permafrost dibuat berdasarkan litologi daerah permafrost yang umumnya terdiri dari lapisan aktif (active layer),

permafrost, dan batuan (Schaetzl dan Anderson, 2005). Kedalaman lapisan permafrost

ditentukan menurut Schaetzl dan Anderson (2005) yaitu antara 0,5 hingga 2,5 m.

Lima model permafrost dibuat untuk mewakili kondisi terjadinya perubahan iklim secara temporer. Model permafrost yang pertama mewakili kondisi permafrost yang belum mencair karena perubahan iklim belum terjadi. Model permafrost yang kedua mewakili kondisi permafrost yang telah mengalami pencairan karena terjadinya perubahan iklim.


(3)

Model-model permafrost yang dibuat adalah model permafrost 2010 (Gambar 1a), model permafrost 2011 (Gambar 1b), model permafrost 2012 (Gambar 1c), model

permafrost 2013 (Gambar 1d), dan model permafrost 2014 (Gambar 1e). Model permafrost

2010 merupakan model permafrost dalam kondisi normal dimana lapisan permafrost belum mengalami pencairan akibat perubahan iklim. Model permafrost 2011 hingga model

permafrost 2013 merupakan model dimana lapisan permafrost yang sudah mengalami pencairan, terjadinya pencairan lapisan permafrost menyebabkan lapisan permafrost

dikelilingi oleh lapisan tanah yang lembab. Model permafrost 2014 merupakan model dimana seluruh lapisan permafrost telah mencair.

Gambar 1a. Model permafrost 2010


(4)

Gambar 1c. Model permafrost 2012

Gambar 1d. Model permafrost 2013


(5)

material batuan di bawah lapisan permafrost adalah 5000 Ω.m. Pencairan permafrost

menyebabkan lapisan tanah disekeliling permafrost menjadi lembab sehingga terjadi penurunan nilai resistivitas. Nilai resistivitas pada tanah lembab di sekeliling lapisan

permafrost adalah 9000 Ω.m. Nilai resistivitas batuan relatif lebih rendah karena batuan

diasumsikan tidak beku. Suhu permukaan tanah pada dasarnya masih kurang dingin untuk dapat membekukan lapisan batuan. Penentuan nilai resistivitas diatas dilakukan berdasarkan penelitian dari King dan Seppälä (1987), Kääb dan Kneisel (2006), Lambiel dan Baron (2008), serta Kneisel et al (2008).

Gambar 2a. Model resistivitas dari model permafrost 2010


(6)

Simulasi injeksi arus listrik dilakukan pada lima model permafrost untuk mendapatkan data distribusi spasial nilai resistivitas dari masing-masing model. Masing-masing model permafrost merepresentasikan keadaan fisik yang berbeda pada lingkup waktu yang berbeda. Simulasi injeksi arus listrik pada lima model permafrost terbesebut merepresentasikan injeksi arus listrik yang dilakukan secara berkala. Keadaan fisik model

permafrost yang berbeda menggambarkan pengaruh perubahan iklim terhadap lapisan

permafrost. Konfigurasi Wenner α digunakan pada elektroda untuk mendapatkan data yang sensitif terhadap perubahan nilai resistivitas secara vertikal (Loke, 2000). Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan software Res2DInv. Perubahan iklim dapat dipantau berdasarkan perubahan pola distribusi spasial nilai resistivitas pada lapisan

permafrost. Perubahan nilai resistivitas lapisan permafrost menunjukkan terjadinya pencairan lapisan permafrost yang disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim.

Gambar 2d. Model resistivitas dari model permafrost 2013


(7)

Masing-masing kondisi lapisan permafrost memiliki nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas yang berbeda. Pada saat lapisan permafrost belum mengalami pencairan (Gambar 3a), nilai resistivitas lapisan pada kedalaman 0,5 hingga 2 m (lapisan permafrost) sangat tinggi yaitu antara 15000-20000 Ω.m. Saat pencairan permafrost

mulai terjadi, nilai resistivitas lapisan mengalami perubahan (Gambar 3b). Nilai resistivitas lapisan pada kedalaman 0,5 m menjadi lebih rendah dari sebelumnya yaitu 4000 hingga 13000 Ω.m. Terjadinya pencairan permafrost pada tahap selanjutnya menyebabkan lapisan bernilai resistivitas tinggi yang merupakan lapisan permafrost menjadi semakin jauh dari permukaan Bumi (Gambar 3c-Gambar 3d). Pola distribusi spasial nilai resistivitas juga berbeda pada masing-masing kondisi permafrost. Saat lapisan permafrost belum mengalami pencairan, zona-zona bernilai resistivitas tinggi masih tampak dominan terdistribusi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m. Terjadinya pencairan lapisan permafrost penyebabkan terjadinya perubahan pola distribusi nilai resistivitas. Zona-zona bernilai resistivitas tinggi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m semakin tidak dominan seiring dengan semakin banyaknya lapisan permafrost yang mencair dan semakin sedikitnya lapisan permafrost. Pada saat lapisan permafrost seluruhnya mencair (Gambar 3e), hampir tidak terdapat lagi zona bernilai resistivitas tinggi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m.

Hasil pengamatan nilai resistivitas dan pola distribusinya pada lapisan permafrost saat lapisan permafrost masih belum mencair maupun saat lapisan permafrost telah mencair seluruhnya menunjukkan bahwa terjadinya pencairan lapisan permafrost menyebabkan timbulnya perubahan nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi. Perubahan iklim secara global yang merupakan penyebab utama terjadinya pencairan permafrost dapat dipantau melalui pengamatan pada nilai resistivitas dan pola distribusi spasial lapisan permafrost yang dilakukan secara berkala.


(8)

Gambar 3b. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost saat pencairan mulai terjadi

Gambar 3c. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost saat pencairan makin intensif

Gambar 3d. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost yang hampir seluruhnya telah mencair


(9)

4. KESIMPULAN

Pemantauan perubahan iklim dapat dilakukan dengan pengamatan kondisi fisik lapisan permafrost berdasarkan nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi pada suatu lokasi yang memiliki lapisan permafrost. Pemantauan perubahan iklim melalui pengamatan permafrost perlu dilakukan di Indonesia karena lapisan permafrost yang ada di Indonesia (wilayah tropis) sensistif terhadap perubahan iklim global. Pemantauan perubahan iklim melalui pengamatan permafrost

dengan metode ERT dapat dilakukan di Indonesia pada sekitar Gletser Meren yang dekat dengan lokasi tambang Freeport di Grasberg (kurang lebih 6 km). Hasil pemantauan akan memberikan kontribusi yang besar dalam analisis terjadinya perubahan iklim global.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Udara Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dan Ibu Emilya Nurjani, S.Si., M.Si., yang telah memberikan dukungan dana bagi terlaksananya penelitian ini.

6. REFERENSI

Bennett, M. R., Glasser, N. F. (2009). Glacial Geology: Ice Sheets and Landforms. Singapore: John Willey & Sons.

Boelhouwers, J., Hall, K. (2002). Periglacial and Permafrost Resesarch in the Southern Hemisphere. South Africal Journal of Science, 98, hal. 46.

Foth, H. D. (1990). Fundamentals of Soil Science, 8th Edition. New York: John Wiley & Sons

King, L., Seppälä, M. (1987). Permafrost Thickness and Distribution in Finnish Lapland-Result of Geoelectrical Sounding. Polarforschung, 57 (3), hal. 127-147.


(10)

Kneisel, C., Kääb, A. (2006). Permafrost Creep within a Recently Deglaciated Glacier Forefield: Muragl, Swiss Alps. Permafrost and Periglacial Processes, 17, hal. 79-85. Kneisel, C., Hauck, C., Fortier, R., Moorman, B. (2008). Advances in Gephysical Methods

for Permafrost Investigation. Permafrost and Periglacial Processes, 19, hal. 157-178. Lambiel, C., Baron, L. (2008). Two-Dimensional Geoelectrical Monitoring in an Alpine

Frozen Moraine. Ninth International Conference on Permafrost.

Loke, M. H. (2000). Electrical Imaging Survey for Environmental and Engineering Studies. 06/03/2009. http://www.geometrics.com.

Lowrie, W. (2007). Fundamentals of Geophysics, 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Marescot, L. Loke, M. H., Abbet, D., Delaloye, R., Hauck, C., Hilbich, C., et al. (2007). Assessing the Reliability of Geoelectric Imaging Result for Permafrost Investigation.

Exploration Geophysics.

Milsom, J. (2003). Field Geophysics, The Geological Field Guide Series 3rd Edition. West Sussex: John Wiley & Sons.

Schaetzl, J. R., Anderson, S. (2005). Soils: Genesis and Geomorphology. Cambridge: Cambridge University Press.


(1)

material batuan di bawah lapisan permafrost adalah 5000 Ω.m. Pencairan permafrost

menyebabkan lapisan tanah disekeliling permafrost menjadi lembab sehingga terjadi penurunan nilai resistivitas. Nilai resistivitas pada tanah lembab di sekeliling lapisan

permafrost adalah 9000 Ω.m. Nilai resistivitas batuan relatif lebih rendah karena batuan

diasumsikan tidak beku. Suhu permukaan tanah pada dasarnya masih kurang dingin untuk dapat membekukan lapisan batuan. Penentuan nilai resistivitas diatas dilakukan berdasarkan penelitian dari King dan Seppälä (1987), Kääb dan Kneisel (2006), Lambiel dan Baron (2008), serta Kneisel et al (2008).

Gambar 2a. Model resistivitas dari model permafrost 2010


(2)

Simulasi injeksi arus listrik dilakukan pada lima model permafrost untuk mendapatkan data distribusi spasial nilai resistivitas dari masing-masing model. Masing-masing model permafrost merepresentasikan keadaan fisik yang berbeda pada lingkup waktu yang berbeda. Simulasi injeksi arus listrik pada lima model permafrost terbesebut merepresentasikan injeksi arus listrik yang dilakukan secara berkala. Keadaan fisik model

permafrost yang berbeda menggambarkan pengaruh perubahan iklim terhadap lapisan

permafrost. Konfigurasi Wenner α digunakan pada elektroda untuk mendapatkan data yang sensitif terhadap perubahan nilai resistivitas secara vertikal (Loke, 2000). Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan software Res2DInv. Perubahan iklim dapat dipantau berdasarkan perubahan pola distribusi spasial nilai resistivitas pada lapisan

permafrost. Perubahan nilai resistivitas lapisan permafrost menunjukkan terjadinya pencairan lapisan permafrost yang disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2d. Model resistivitas dari model permafrost 2013


(3)

Masing-masing kondisi lapisan permafrost memiliki nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas yang berbeda. Pada saat lapisan permafrost belum mengalami pencairan (Gambar 3a), nilai resistivitas lapisan pada kedalaman 0,5 hingga 2 m (lapisan permafrost) sangat tinggi yaitu antara 15000-20000 Ω.m. Saat pencairan permafrost

mulai terjadi, nilai resistivitas lapisan mengalami perubahan (Gambar 3b). Nilai resistivitas lapisan pada kedalaman 0,5 m menjadi lebih rendah dari sebelumnya yaitu 4000 hingga 13000 Ω.m. Terjadinya pencairan permafrost pada tahap selanjutnya menyebabkan lapisan bernilai resistivitas tinggi yang merupakan lapisan permafrost menjadi semakin jauh dari permukaan Bumi (Gambar 3c-Gambar 3d). Pola distribusi spasial nilai resistivitas juga berbeda pada masing-masing kondisi permafrost. Saat lapisan permafrost belum mengalami pencairan, zona-zona bernilai resistivitas tinggi masih tampak dominan terdistribusi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m. Terjadinya pencairan lapisan permafrost penyebabkan terjadinya perubahan pola distribusi nilai resistivitas. Zona-zona bernilai resistivitas tinggi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m semakin tidak dominan seiring dengan semakin banyaknya lapisan permafrost yang mencair dan semakin sedikitnya lapisan permafrost. Pada saat lapisan permafrost seluruhnya mencair (Gambar 3e), hampir tidak terdapat lagi zona bernilai resistivitas tinggi pada kedalaman 0,5 hingga 2 m.

Hasil pengamatan nilai resistivitas dan pola distribusinya pada lapisan permafrost saat lapisan permafrost masih belum mencair maupun saat lapisan permafrost telah mencair seluruhnya menunjukkan bahwa terjadinya pencairan lapisan permafrost menyebabkan timbulnya perubahan nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi. Perubahan iklim secara global yang merupakan penyebab utama terjadinya pencairan permafrost dapat dipantau melalui pengamatan pada nilai resistivitas dan pola distribusi spasial lapisan permafrost yang dilakukan secara berkala.


(4)

Gambar 3b. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost saat pencairan mulai terjadi

Gambar 3c. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost saat pencairan makin intensif

Gambar 3d. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost yang hampir seluruhnya telah mencair

Gambar 3e. Pola distribusi spasial nilai resistivitas lapisan permafrost yang telah mencair secara menyeluruh


(5)

4. KESIMPULAN

Pemantauan perubahan iklim dapat dilakukan dengan pengamatan kondisi fisik lapisan permafrost berdasarkan nilai resistivitas dan pola distribusi spasial nilai resistivitas material bawah permukaan Bumi pada suatu lokasi yang memiliki lapisan permafrost. Pemantauan perubahan iklim melalui pengamatan permafrost perlu dilakukan di Indonesia karena lapisan permafrost yang ada di Indonesia (wilayah tropis) sensistif terhadap perubahan iklim global. Pemantauan perubahan iklim melalui pengamatan permafrost

dengan metode ERT dapat dilakukan di Indonesia pada sekitar Gletser Meren yang dekat dengan lokasi tambang Freeport di Grasberg (kurang lebih 6 km). Hasil pemantauan akan memberikan kontribusi yang besar dalam analisis terjadinya perubahan iklim global.

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Laboratorium Hidrologi dan Kualitas Udara Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dan Ibu Emilya Nurjani, S.Si., M.Si., yang telah memberikan dukungan dana bagi terlaksananya penelitian ini.

6. REFERENSI

Bennett, M. R., Glasser, N. F. (2009). Glacial Geology: Ice Sheets and Landforms. Singapore: John Willey & Sons.

Boelhouwers, J., Hall, K. (2002). Periglacial and Permafrost Resesarch in the Southern Hemisphere. South Africal Journal of Science, 98, hal. 46.

Foth, H. D. (1990). Fundamentals of Soil Science, 8th Edition. New York: John Wiley & Sons

King, L., Seppälä, M. (1987). Permafrost Thickness and Distribution in Finnish Lapland-Result of Geoelectrical Sounding. Polarforschung, 57 (3), hal. 127-147.


(6)

Kneisel, C., Kääb, A. (2006). Permafrost Creep within a Recently Deglaciated Glacier Forefield: Muragl, Swiss Alps. Permafrost and Periglacial Processes, 17, hal. 79-85. Kneisel, C., Hauck, C., Fortier, R., Moorman, B. (2008). Advances in Gephysical Methods

for Permafrost Investigation. Permafrost and Periglacial Processes, 19, hal. 157-178. Lambiel, C., Baron, L. (2008). Two-Dimensional Geoelectrical Monitoring in an Alpine

Frozen Moraine. Ninth International Conference on Permafrost.

Loke, M. H. (2000). Electrical Imaging Survey for Environmental and Engineering Studies. 06/03/2009. http://www.geometrics.com.

Lowrie, W. (2007). Fundamentals of Geophysics, 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Marescot, L. Loke, M. H., Abbet, D., Delaloye, R., Hauck, C., Hilbich, C., et al. (2007). Assessing the Reliability of Geoelectric Imaging Result for Permafrost Investigation.

Exploration Geophysics.

Milsom, J. (2003). Field Geophysics, The Geological Field Guide Series 3rd Edition. West Sussex: John Wiley & Sons.

Schaetzl, J. R., Anderson, S. (2005). Soils: Genesis and Geomorphology. Cambridge: Cambridge University Press.