Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dan Dispersi Asap Berbasis Data Model

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM PERINGKAT BAHAYA

KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DAN DISPERSI ASAP

BERBASIS DATA MODEL

EKO HERIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dan Dispersi Asap Berbasis Data Model adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014 Eko Heriyanto NRP P052114051


(4)

RINGKASAN

EKO HERIYANTO. Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dan Dispersi Asap Berbasis Data Model. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan SOBRI EFFENDY.

Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan (SPBK) dilakukan dengan memanfaatkan data model WRF resolusi 9 km. Indeks Fine Fuel Moisture Code (FFMC) atau potensi kemudahan terjadinya kebakaran dan Fire Weather Index (FWI) atau potensi tingkat kesulitan pengendalian kebakaran disusun menggunakan parameter cuaca seperti suhu, kelembapan, kecepatan dan arah angin, serta curah hujan kumulatif. Dilakukan verifikasi terhadap luaran WRF sebelum digunakan untuk menyusun indeks FFMC dan FWI. Indeks FFMC dan FWI luaran WRF dan observasi dibandingkan pada 8 (delapan) lokasi yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Hasil verifikasi luaran WRF terhadap observasi menunjukkan korelasi yang kuat – sangat kuat dengan rentang nilai 0.53 – 0.80 untuk semua parameter penyusun indeks. Perbandingan indeks FFMC dan FWI luaran WRF dan observasi mempunyai korelasi di atas 0.62 dengan maksimum persentase kesalahan sebesar 0.57. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa luaran WRF dapat digunakan secara baik untuk menyusun indeks FFMC dan FWI pada Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan.

Dilakukan simulasi prediksi dispersi asap (hindcast) menggunakan model Weather Research and Forecasting with Chemistry (WRF-Chem) pada kejadian kebakaran hutan/lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Masukan data model menggunakan Global Forecast System (GFS) 0.5º dan emisi global EDGAR. Verifikasi luaran model dispersi asap menggunakan data satelit Atmospheric Infrared Sounder (AIRS-NASA). Hasil verifikasi parameter CO maksimum model WRF-Chem dan data Total Column AIRS mempunyai nilai korelasi diatas 0.61 dan rentang nilai RMSE antara 1.39 – 1.67. Nilai bias model di bawah 1.66, dan mempunyai kecenderungan underforecasting terhadap observasi satelit. Hasil korelasi dan error menunjukkan bahwa hasil simulasi model mempunyai prediksi yang cukup baik. Model ini dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini dispersi asap kebakaran hutan/lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Penyebab utama kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia adalah akibat ulah manusia terutama dalam kegiatan penyiapan lahan. Telah dilakukan analisis data aktivitas masyarakat lokal dalam penyiapan lahan untuk pertanian. Hasil analisis dari kuesioner menunjukkan bahwa aktivitas penyiapan lahan dengan cara dibakar sebesar 70% dan penyiapan lahan tanpa di bakar sebesar 30%. Faktor efisiensi dan biaya yang murah menjadi faktor pendorong utama masyarakat lokal melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan cara di bakar.


(5)

SUMMARY

EKO HERIYANTO. Development of Land/Forest Fire Danger Rating System and Smoke Dispersion Based on Data Model. Supervised by LAILAN SYAUFINA and SOBRI EFFENDY.

Development of Land/Forest Fire Danger Rating System (SPBK) using the WRF model 9 km in resolution. Fine Fuel Moisture Index Code (FFMC) or the potential ease of fire and the Fire Weather Index (FWI) or potential fire control difficulty level compiled using weather parameters such as temperature, humidity, wind speed and direction, and cumulative rainfall. Need to verify the WRF outputs before used for index FFMC and FWI. FFMC and FWI index WRF outputs and observations compared to eight (8) locations in Sumatra and Kalimantan. Verification result of WRF and observation showed a strong - very strong correlation with a value range 0.53 - 0.80 for all parameters making up the index. Comparison of FFMC and FWI index WRF outputs and observations have a correlation above 0.62 with a maximum percentage error of 0.57. The verification results show that the WRF outputs can be used either to index the FFMC and FWI Land/Forest Fire Danger Rating System. Simulation of smoke dispersion (hindcast) using the Weather Research and Forecasting Model with Chemistry (WRF-Chem) on the incidence of land/forest fires in Sumatra and Kalimantan. Input data model using the Global Forecast System (GFS) 0.5º and EDGAR global emission. Verification of smoke dispersion models using Atmospheric Infrared Sounder satellite data (AIRS-NASA). The results of the verification parameters maximum CO WRF-Chem models and data Total Column AIRS has a correlation value above 0.61 and RMSE values range between 1.39 - 1.67. Value of bias model below 1.66 and have a tendency

underforecasting against satellite observations. The results of the error and correlation from model simulation showed that a fairly good prediction. This model can be used as an early warning system of land/forest fire smoke dispersion in Sumatera and Kalimantan.

The main cause of land/forest fires in Indonesia are caused by human activities, especially in land clearing. Data analysis has been conducted of local community activities in the preparation of land for farming. The results of the analysis of the questionnaires showed that the activities of land clearing by burning is 70% and land preparation without fuel is 30%. Efficiency and low cost factors to be the primary driver of the local communities in land clearing activities by way of fuel.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

PENGEMBANGAN SISTEM PERINGKAT BAHAYA

KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DAN DISPERSI ASAP

BERBASIS DATA MODEL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

(9)

Judul Tesis : Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dan Dispersi Asap Berbasis Data Model

Nama : Eko Heriyanto NIM : P052114051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc Ketua

Dr Sobri Effendy, M.Si Anggota

Mengetahui, Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Cecep Kusmana, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Kajian dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 terkait kebakaran hutan/lahan, dengan judul Pengembangan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dan Dispersi Asap Berbasis Data Model.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, M.Sc dan Bapak Dr Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing, serta Dr Tania June, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman Puslitbang-BMKG yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Terima kasih atas sponsor Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan yang telah membantu biaya penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, anak, istri dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014 Eko Heriyanto


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR SINGKATAN ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 2

1.3. Perumusan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan/Lahan ... 5

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan/Lahan ... 5

2.2.1. Faktor Alam ... 5

2.2.1.1. Bahan Bakar……… ... 5

2.2.1.2. Tipe Tanah ... 6

2.2.1.3. Topografi dan Kelerengan ... 7

2.2.1.4. Cuaca/Iklim ... 7

2.2.2. Faktor Aktivitas Manusia ... 10

2.3. Sistem Peringkat bahaya Kebakaran Hutan/Lahan (SPBK) ... 11

2.3.1. Indeks FWI (Fire Weather Index) ... 11

2.3.2. Indeks FFMC (Fine Fuel Moisture Code) ... 12

2.4. Sistem Informasi Geografis ... 12

2.5. Model Prediksi Cuaca WRF (Weather Research Forecasting) ... 13

2.6. Model Dispersi Asap WRF-Chem ... 14

BAB III METODE 3.1. Lokasi Penelitian ... 17

3.2. Bahan dan Alat ... 17


(12)

3.3. Pengolahan Data ...18

3.3.1. Pengolahan Data Cuaca Model ...18

3.3.2. Pengolahan Peta SPBK ...19

3.3.3. Pengolahan Data Hotspot ...19

3.3.4. Pengolahan Data Simulasi Dispersi Asap ...19

3.3.5. Pengolahan Data Aktivitas Masyarakat Lokal dalam Penyiapan Lahan Pertanian……….20

3.4. Analisis dan Verifikasi ...20

3.4.1. Analisis dan Verifikasi Data Cuaca Model ...20

3.4.2. Analisis dan Verifikasi Peta SPBK ...21

3.4.3. Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK ...21

3.4.4. Analisis dan Verifikasi Simulasi Dispersi Asap ...22

3.4.5. Analisis Kuesioner Data Aktivitas Masyarakat Lokal ...22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Kajian ...24

4.2. Analisis dan Verifikasi Data Parameter Cuaca Model WRF ...24

4.2.1. Medan - Sumatera Utara ...25

4.2.2. Pekanbaru - Riau ...26

4.2.3. Jambi ...27

4.2.4. Palembang - Sumatera Selatan ...29

4.2.5. Pontianak - Kalimantan Barat ...30

4.2.6. Palangkaraya - Kalimantan Tengah ...31

4.2.7. Banjarmasin - Kalimantan Selatan...32

4.2.8. Samarinda - Kalimantan Timur ...34

4.3. Analisis Hasil Peta SPBK ...36

4.3.1. Indeks Peta Fine Fuel Moisture Code (FFMC) Wilayah Sumatera ...37

4.3.2. Indeks Peta Fire Weather Index (FWI) Wilayah Sumatera ...38

4.3.3. Indeks Peta Fine Fuel Moisture Code (FFMC) Wilayah Kalimantan ...40

4.3.4. Indeks Peta Fire Weather Index (FWI) Wilayah Kalimantan ...41

4.4. Verifikasi Peta SPBK WRF ...42

4.5. Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK ...47


(13)

4.6. Analisis dan Verifikasi Simulasi Dispersi Asap ... 50 4.7. Analisis Aktivitas Masyarakat Lokal dalam Penyiapan Lahan Pertanian .. 55 4.7.1. Sistem Penyiapan Lahan Dengan Dibakar ... 56 4.7.2. Sistem Penyiapan Lahan Tanpa Dibakar ... 57 4.7.3. Antisipasi Masyarakat dalam Menanggulangi Kebakaran ... 58 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ... ...60 5.2. Saran ... ...61 DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP


(14)

DAFTAR SINGKATAN

1. AFWA : Air Force Weather Agency 2. AIRS : Atmospheric Infrared Sounder

3. BEIS : Biogemic Emissions Inventory System

4. BMKG : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 5. BOM : Bureau of Meteorology (Australia)

6. CFS : Canadian Forest Service

7. CIDA : Canadian International Development Agency

8. CO : Carbon Monoxide

9. DC : Drought Code

10. DMC : Drought Moisture Code

11. EDGAR : Emission Data Base for Global Atmospheric Research 12. EPA : Environmental Protection Agency

13. FIRMS : Fire Information for Resource Management System 14. FDRS : Fire Danger Rating System

15. FWI : Fire Weather Index

16. FFMC : Fine Fuel Moisture Code 17. GFS : Global Forecast System

18. GrADS : Grid Analysis and Display Systems

19. JRC-IES : Joint Research Center-International Environmental for Sustainability

20. KPP : Kinetic Pre-Processor

21. LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional 22. MADE/SORGAM : The Model Aerosol Dynamics Model for Europe 23. MOSAIC : The Model for Simulating Aerosol Interactions and Chemistry

24. MODIS : The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer 25. NASA : National Aeronautics and Space Administration 26. NetCDF : Network Common Data File

27. NOAA-AVHRR : National Oceanic and Atmospheric Administration – The


(15)

Advanced Very High Resolution Radiometer 28. NOAA/FSL : Forecast System Laboratory of the NOAA 29. NCEP : National Centers for Environmental Prediction 30. NCAR : National Center of Atmospheric Research 31. NCEP : National Center of Environmental Prediction 32. NDVI : Normalized Diferrence Vegetation Index 33. NWP : Numerical Weather Prediction

34. ODBC : Open Database Connectivity

35. RBI : Rupa Bumi Indonesia

36. RH : Relative Humidity

37. RMSE : Root Mean Square Error 38. SIG : Sistem Informasi Geografis 39. SFMS : Spatial Fire Management System 40. SPBK : Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran 41. USGS : United States Geology Survey 42. WRF : Weather Research Forecasting

43. WRF-Chem : Weather Research Forecasting with Chemistry

44. WPS : Weather Research Forecasting Pre Processing System


(16)

DAFTAR TABEL

1. Klasifikasi tingkat bahaya FWI ... 12

2. Klasifikasi tingkat bahaya FFMC ... 12

3. Jenis dan sumber data ... 17

4. Software yang digunakan ... 18

5. Format tabel penyusun indeks FFMC dan FWI SPBK ... 19

6. Hasil korelasi, persentase kesalahan, RMSE dan akurasi ... 35

7. Hasil korelasi, persentase kesalahan, dan RMSE ... 46

8. Perbandingan nilai CO maksimum model WRF-Chem dan AIRS ... 54

9. Kalender kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian ... 57


(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir penelitian ... 4

2. Tiga wilayah iklim di Indonesia ... 8

3. Penerapan sistem NWP ... 14

4. Diagram alur sistem WRF/WRF-Chem ... 15

5. Lokasi penelitian ... 17

6. Tahapan kerja penelitian ... 23

7. Koordinat lokasi data luaran WRF 9 km ... 24

8. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Sumatera Utara ... 26

9. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Riau ... 27

10. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Jambi ... 28

11. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Sumsel ... 29

12. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Kalbar ... 31

13. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Kalteng ... 32

14. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Kalsel... 33

15. Perbandingan suhu, kec.angin dan kelembapan wilayah Kaltim ... 35

16. Indeks peta FFMC observasi dan WRF wilayah Sumatera ... 38

17. Perbandingan hasil peta FWI observasi dan WRF wilayah Sumatera ... 39

18. Perbandingan hasil peta FFMC observasi dan WRF wilayah Kalimantan ... 40

19. Perbandingan hasil peta FWI observasi dan WRF wilayah Kalimantan ... 42

20. Lokasi pengambilan nilai indeks FFMC dan FWI SPBK obs dan WRF ... 43

21. Perbandingan nilai indeks FFMC dan FWI data observasi dan WRF wilayah Sumatera dan Kalimantan ... 43

22. Pola distribusi hotspot periode JJA-2013 wilayah Sumatera dan Kalimantan ... 47

23. Distribusi hotspot periode JJA-2013 propinsi wilayah Sumatera dan Kalimantan ... 48

24. Indeks peta FFMC model WRF dioverlay dengan hotspot wilayah Sumatera dan Kalimantan ... 49

25. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/Terra MODIS dioverlay dengan data AIRS (Juni 2013) ... 51


(18)

26. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/Terra

MODIS dioverlay dengan data AIRS (Juli 2013) ... 52 27. Perbandingan simulasi dispersi asap (CO) WRF-Chem dengan Aqua/Terra

MODIS dioverlay dengan data AIRS (Agustus 2013) ... 53 28. Hasil verifikasi CO maksimum model WRF-Chem dengan AIRS ... 54 29. Dokumentasi saat pengisian kuesioner dan wawancara serta lahan garapan

milik masyarakat di Kecamatan Rasau Jaya………55 30. Presentase cara masyarakat lokal menyiapkan lahan untuk pertanian ... 56


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perbandingan Parameter Cuaca Observasi Permukaan dan WRF 2. Peta Indeks FFMC dan FWI Luaran WRF

3. Simulasi Dispersi Asap Model WRF-Chem

4. Daftar Pertanyaan Kuesioner Aktivitas Masyarakat Lokal Dalam Penyiapan Lahan Pertanian


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia merupakan ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan. Bencana yang selalu terjadi di musim kemarau ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan kerugian pada aspek ekonomi, sosial dan budaya. Tacconi (2003) menyebutkan bahwa ada tiga masalah utama terkait dengan kebakaran hutan di Indonesia yaitu (1) pencemaran kabut asap, emisi karbon dan dampak terkait lainnya; (2) degradasi hutan, deforestasi dan hilangnya hasil hutan dan berbagai jasa lingkungan serta (3) kerugian di sektor pedesaan akibat kebakaran hutan dan anomali cuaca yang dipicu oleh kebakaran hutan.

Kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi fokus utama kejadian kebakaran saat ini, mengingat dampak asap dan emisi karbon yang dihasilkan. Hutan rawa gambut seluas 2.124.000 hektar telah terbakar pada kejadian kebakaran 1997/1998 (Tacconi. 2003), mengemisikan sekitar 156,3 juta ton karbon ke atmosfer dan mencapai kerugian sebesar 10 milyar dolar AS (Bappenas-ADB. 1999). Sumantri (2007) menyebutkan bahwa kebakaran bawah yang mendominasi kebakaran gambut merupakan kebakaran yang sulit dikendalikan karena tidak menampakkan nyala api, menghasilkan asap tebal, sumber api sulit dideteksi dan penyebaran api menyerupai terowongan di bawah permukaan sehingga menyebar sampai ratusan meter dari sumber api.

Salah satu upaya untuk mencegah kebakaran hutan/lahan yang dilakukan adalah dengan mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran hutan/lahan (SPBK) disebut juga dengan Fire Danger Rating System (FDRS) yang diadopsi dari Kanada (Field et al. 2004). SPBK telah dikembangkan di Indonesia melalui penerapan sistem Fire Weather Index (sistem indeks cuaca kebakaran, FWI). Sistem indeks cuaca kebakaran dibangun dengan tujuan sebagai sistem peringatan dini dan mitigasi kebakaran hutan/lahan yang biasanya disertai dengan masalah asap (smoke) yang serius. Hasil dari SPBK diantaranya adalah peta indeks Fine Fuel Moisture Index (FFMC) dan Fire Weather Index (FWI). FFMC merupakan potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan dan FWI merupakan potensi tingkat kesulitan pengendalian kebakaran hutan/lahan yang ditinjau dari parameter cuaca (BMKG. 2013).

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga yang berwenang dalam informasi menggunakan data cuaca di Indonesia, telah melakukan operasionalisasi SPBK secara nasional sejak Februari 2002 (Guswanto dan Heriyanto. 2009). Parameter yang digunakan untuk menyusun SPBK menggunakan data observasi stasiun cuaca seluruh wilayah Indonesia, seperti suhu udara, kelembapan, kecepatan angin, arah angin, dan curah hujan kumulatif.

Tahun 2005 Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) telah melakukan operasionalisasi SPBK dengan semua data bersumber dari penginderaan jauh. Perkembangan teknologi penginderaan jauh memungkinkan untuk diperolehnya


(21)

data secara sistematis dan spasial, dan terkini (update) menjadikan data ini sebagai data yang handal untuk kegiatan pemantauan (Vetrita et al. 2012).

Musim kemarau yang berkepanjangan menjadi salah satu pendukung utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, terutama di beberapa daerah rawan kebakaran. Kebakaran tersebut memberikan dampak yang besar terhadap kabut asap dan penyebaran asap (smoke dispersion) yang tidak terkendali. Kurangnya informasi mengenai penyebaran asap di beberapa wilayah yang terpapar turut memberikan andil dalam penurunan kualitas kesehatan dan kehidupan masyarakat sekitar daerah tersebut. Penyebab utama kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia adalah akibat ulah manusia dalam kegiatan penyiapan lahan, baik oleh masyarakat lokal maupun pengelola HTI dan perkebunan (Syaufina. 2008).

1.2 Kerangka Pemikiran

Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) dengan menggunakan sistem FWI menyediakan peringkat potensi kebakaran berdasarkan parameter data cuaca, dimana kode FWI biasanya dihitung dari titik-titik pengamatan dengan input parameter suhu udara, kelembapan udara, kecepatan angin, arah angin, curah hujan kumulatif dan tekanan permukaan.

Perkembangan operasional SPBK milik BMKG saat ini menggunakan data observasi cuaca di 331 titik pengamatan yang tersebar di Asia Tenggara. Data stasiun cuaca digunakan untuk menghitung kode-kode FWI masih berbasiskan titik (point base), untuk menjadikan suatu informasi spasial (keruangan) memerlukan teknik interpolasi. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan terutama apabila jarak titik stasiun sangat berjauhan dan tidak mewakili topografi wilayah (Narasimhan dan Srinivasan. 2002). Perbedaan teknik interpolasi yang digunakan akan menghasilkan informasi spasial yang berbeda pula. Teknik interpolasi memerlukan jaringan stasiun cuaca yang cukup mewakili suatu wilayah. Untuk suatu wilayah yang luas seperti Sumatera maupun Kalimantan diperlukan jaringan stasiun cuaca yang terdistribusi homogen, sehingga dapat mewakili seluruh wilayah di Sumatera maupun Kalimantan (Khomarudin et al. 2005).

Perkembangan operasional SPBK berbasis data penginderaan jauh (remote sensing) telah diterapkan oleh instansi LAPAN. Untuk menyusun database SPBK berbasis penginderaan jauh digunakan data suhu udara dan kelembapan relatif dari NOAA-AVHRR, data curah hujan Qmoprh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), dan kecepatan angin diperoleh dari Bureau of Meteorology (BOM-Australia). Jika dibandingkan dengan pengukuran manual dengan alat-alat cuaca yang hanya mencakup satu lokasi atau titik, maka data penginderaan jauh lebih efektif untuk suatu luasan yang besar (Khomarudin et al. 2005). Keunggulan lain data penginderaan jauh adalah diperolehnya data secara spasial yang dapat menurunkan unsur-unsur cuaca tersebut secara langsung dengan resoluasi spasial 1 x 1 km (Noviar et al. 2005). Disebutkan pula bahwa kendala yang dimiliki bila liputan awan tinggi pada suatu daerah, maka parameter seperti suhu permukaan dan NDVI tidak dapat ditentukan. Keterbatasan data dan distribusi yang tidak homogen pada data observasi cuaca serta kendala interpretasi data dengan teknik penginderaan jauh pada saat


(22)

terdapat liputan awan tinggi dapat mempengaruhi proses pengolahan data dan hasil informasi SPBK.

Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut dengan memanfaatkan data luaran model Numerical Weather Prediction (NWP). Data luaran model NWP merupakan suatu data yang potensial untuk memprediksi unsur-unsur cuaca sebagai database SPBK. Daerah dimana lokasi stasiun cuaca tidak terjangkau, data model dapat digunakan untuk menyediakan informasi spasial dengan data yang lebih rapat, lengkap dan homogen untuk suatu cakupan wilayah.

SPBK yang dikembangkan saat ini tidak dilengkapi dengan informasi dispersi asap jika terjadi kebakaran hutan/lahan. Hal ini menjadi masalah ketika kabut asap melintas ke negara tetangga (transboundary haze), mengganggu transportasi dan aktivitas, serta menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Dengan deteksi dini dispersi asap diharapkan dapat memberikan peringatan dini kepada masyarakat dan instansi terkait agar melakukan persiapan khusus menghadapi bencana kabut asap. Penelitian ini mengembangkan SPBK dengan menggunakan salah satu luaran model NWP yaitu Weather Research Forecasting (WRF) yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan National Center for Environmental Prediction (NCEP). Parameter cuaca luaran WRF digunakan untuk menyusun database SPBK dengan resolusi spasial 9 x 9 km. SPBK akan diintegrasikan dengan model dispersi asap kebakaran hutan/lahan wilayah Sumatera dan Kalimantan. Secara garis besar kerangka pikir penelitian dijelaskan Gambar 1.


(23)

1.3 Perumusan Masalah

Rumusan masalah ini dapat dituangkan dalam pertanyaan berikut:

1. Bagaimana memanfaatkan data model WRF sebagai database penyusun SPBK.

2. Perlunya mengetahui dispersi asap kebakaran hutan/lahan sebagai peringatan dini terhadap wilayah yang terdampak.

3. Apakah hasil SPBK berbasis data model akan lebih baik dalam memberikan keakuratan informasi dini terkait kebakaran hutan/lahan termasuk pola dispersi asapnya.

4. Bagaimanakah aktivitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan, khususnya dalam penyiapan lahan pertanian.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan SPBK dan simulasi dispersi asap menggunakan data model

WRF.

2. Melakukan analisis dan verifikasi SPBK dan simulasi dispersi asap diwilayah Sumatera dan Kalimantan.

3. Mengidentifikasi aktivitas masyarakat lokal dalam menyiapkan lahan untuk pertanian.

1.5Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi instansi terkait sebagai bahan masukan dan diseminasi informasi peringatan dini mengenai wilayah yang diprediksi berpotensi terjadi kebakaran hutan/lahan beserta simulasi penyebaran asap di wilayah rawan kebakaran.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebakaran Hutan/Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur‐unsur lainnya dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis. 1973). Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian dimana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran di Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api dari kawasan hutan ke kawasan non hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan/lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia.

Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997. Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup. 2002).

2.2. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan/Lahan

Secara garis besar kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan/lahan di beberapa wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan/slash and burning) dan kecil kemungkinannya disebabkan oleh faktor alamiah seperti fenomena alam, petir, gesekan kayu dan lain-lain.

2.2.1. Faktor Alam

2.2.1.1. Bahan Bakar

Deeming (1995) menyatakan bahwa bahan bakar adalah segala jenis vegetasi baik yang hidup maupun mati (serasah dan humus) serta gambut kering yang berpotensi untuk terbakar. Komponen penting yang harus diperhatikan dalam


(25)

hubungannya dengan bahan bakar adalah kadar air, jumlah (potensi), dan ketebalan bahan bakar (Brown dan Davis. 1973). Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi, konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat tercapai (Davis. 1959).

Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu :

1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar.

2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran.

3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan.

4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi.

5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar.

Banyak sedikitnya serasah dalam hutan yang berpotensi untuk terbakar sangat tergantung pada jenis pohon yang mendominasi hutan dan juga musim. Sedangkan yang dimaksud dengan kadar air bahan bakar adalah jumlah kandungan air dalam bahan bakar yang dinyatakan dalam persentase berat air terhadap berat kotor bahan bakar yang dikeringkan pada suhu 100ºC (Clar and Chatten. 1954).

2.2.1.2.Tipe Tanah

Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal dan vertikal (Syaufina. 2002).

Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008).

Berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu gambut dangkal (0.6 – 1 m), gambut sedang (1‐2 m) dan gambut dalam (> 2 m). Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada system drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversibledrying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar


(26)

sisa batang dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah (Syaufina. 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi dapat berlangsung berminggu‐minggu sampai sebulan atau lebih lama (De Bano et al. 1998).

2.2.1.3. Topografi dan Kelerengan

Topografi berpengaruh terhadap penjalaran api di mana daerah yang tidak rata (frekuensi dan variasi topografi cukup besar) berkaitan dengan penyebaran kebakaran yang tidak teratur yang dapat menyulitkan pemadaman. Berkaitan dengan kelerengan tempat dinyatakan bahwa kecepatan penjalaran api meningkat dua kali pada setiap kenaikan kelerengan sebesar 10º (Brown dan Davis. 1973). Dijelaskan juga bahwa kecepatan penjalaran api meningkat dua kali lipat pada kelerengan 15º – 30º dan setiap 10º setelahnya.

2.2.1.4. Cuaca/Iklim

Fuller (1991) menyatakan bahwa cuaca sangat mempengaruhi bagaimana, di mana, dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi sehingga pengendali kebakaran hutan menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather), yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Misalnya cuaca panas yang kering sisertai dengan angin rebut, badai, dan petir akan menyebabkan kebakaran.

Sebagai salah satu unsur segitiga lingkungan api, iklim dan/atau cuaca memegang peran sangat penting dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Chandler (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah.

Menurut Syaufina (2008) iklim atau cuaca mempengaruhi kebakaran hutan secara berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flamabilitas dari bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran bahan bakar hutan.

Iklim suatu tempat dipengaruhi oleh letak lintang, lereng, ketinggian, serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan arus lautnya. Wilayah yang berada dekat dengan garis ekuator bumi (derajat lintang rendah atau nol) seperti Indonesia beriklim tropis, sedangkan wilayah lintang menengah dan tinggi sebagai daerah iklim subtropis dan iklim kutub (Aldrian et al. 2011)

Letak wilayah Indonesia sangat menentukan jenis iklim yang terjadi. Secara umum, Indonesia termasuk dalam iklim tropis karena diselimuti rata-rata suhu udara yang panas dengan perbedaan secara ruang tidak signifikan. Sebagai benua maritim, iklim di Indonesia dicirikan dengan suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi. Letak Indonesia yang berada diantara dua samudera (Pasifik dan Hindia) juga ikut mempengaruhi keunikan iklimnya. Iklim di Indonesia memiliki tiga jenis pola iklim, yaitu iklim monsunal, iklim ekuatorial, dan iklim lokal. Hal ini didukung oleh Aldrian dan Susanto (2003) yang telah mengklasifikasikan iklim Indonesia sebagai berikut.


(27)

Gambar 2. Tiga wilayah iklim di Indonesia. Wilayah A (Monsun) garis ungu, Wilayah B (Ekuatorial) garis biru putus, dan Wilayah C (lokal) garis merah putus (Aldrian dan Susanto).

Curah hujan pola monsunal dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni-Juli-Agustus terjadi musim kering, sedangkan bulan Desember-Januari-Februari merupakan bulan basah, dan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan (pancaroba). Daerah yang didominasi oleh pola monsun berada didaerah Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.

Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan), biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober. Pola ini terdapat diwilayah Sumatera bagian tengah dan utara, serta Kalimantan bagian utara. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun, wilayahnya meliputi Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.

a. Suhu Udara

Suhu bahan bakar dipengaruhi oleh penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan sekitarnya. Daerah yang mempunyai suhu tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran terutaman jika terjadi pada musim kemarau panjang. Chandler (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Suhu udara merupakan


(28)

faktor pengatur perubahan tekanan udara, kelembapan udara dan evaporasi. Peningkatan suhu udara di suatu tempat menyebabkan penurunan kerapatan udara yang akan diikuti oleh penurunan tekanan. Hal sebaliknya terjadi pada suhu udara menurun. Peningkatan suhu udara juga menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air, sehingga walaupun jumlah molekul uap tetap kelembapan relatif akan menurun jika suhu udara meningkat. Peningkatan suhu udara juga akan meningkatkan evaporasi, karena turunnya kelembapan (RH) akan meningkatkan defisit tekanan uap yang merupakan salah satu pembangkit penguapan. Suhu akan berangsur-angsur turun dengan meningkatnya ketinggian tempat, sehingga banyaknya satuan panas berbeda-beda. Ada 3 alasan yang menyebabkan kejadian ini, yaitu : 1. Sumber pemanasan utama udara adalah bumi.

2. Kerapatan uap air menurun dengan menurunnya ketinggian, jadi panas sedikit dapat disimpan di udara.

3. Suhu menurun yang merupakan hasil ekspansi dari udara yang naik dari permukaan bumi.

Menurut Saharjo (2003) pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20ºC ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada suatu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30-35ºC sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-rubah karena pengaruh angin.

b. Curah Hujan

Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (milimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembapan bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembapan bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran (Septicorini. 2006).

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakan hutan dan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan (Van Wilgen et al. 1990). Triani (1995) menyatakan bahwa faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.

c. Kelembapan Udara

Menurut Fuller (1991) di dalam hutan kelembapan udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini


(29)

dikarenakan kelembapan (kadar air udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin sedikit kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering. Kelembapan udara dari siang hari berkisar antara 80-85 % akan membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%), sebaliknya pada pagi hari kelembapan relatif tinggi yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik.

d. Angin

Menurut Chandler (1983) angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong meningkatkan pembakaran dengan mensuplai udara secara terus-menerus dan peningkatkan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.

2.2.2. Faktor Aktivitas Manusia

Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, di mana kegiatan konversi menyumbang 34%, peladang liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, proyek transmigrasi 8% dan hanya 1% yang disebabkan oleh alam (Dephut. 2002). Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positif, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso. 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran.

Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat biasanya di latar belakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo. 2007).

Pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah. Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran.

Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi hutan secara besar‐besaran. Di Kalimantan Barat menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan


(30)

lahan secara besar‐besaran untuk kelapa sawit, di mana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah.

2.3. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan (SPBK)

Sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ditunjukkan dengan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (Fire Danger Rating System) sebagai sistem peringatan dini bahaya kebakaran. Di Indonesia, sistem ini dikembangkan oleh Canadian Forest Service (CFS) dan lembaga pemerintah, seperti Kementerian Kehutanan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasiona (LAPAN), yang didukung dana hibah dari Canadian Internasional Development Agency (CIDA). Keluaran dari sistem peringatan dini tersebut berupa peta tentang kemudahan dimulainya api, tingkat kesulitan pengendalian api, dan kondisi kekeringan di wilayah Indonesia.

Peringkat bahaya kebakaran hutan adalah proses dari evaluasi sistematik faktor-faktor tunggal maupun kombinasi yang mempengaruhi bahaya kebakaran hutan. Sedangkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan (SPBK) adalah metode prakiraan yang mengukur resiko kebakaran dari permulaan muncul sampai penyebarannya. Prakiraan ini berdasarkan pada data dan informasi cuaca yang dimodifikasikan dengan analisis vegetasi sebagai bahan bakar serta data mengenai kebakaran itu sendiri. SPBK memerlukan input data cuaca pada saat kejadian dan data cuaca historikal (sebelumnya). Informasi cuaca diperlukan untuk mengetahui gambaran cuaca. Sedangkan informasi iklim historikal diperlukan untuk kalibrasi atau menyesuaikan kondisi setempat. SPBK menyediakan informasi untuk:

1. Pencegahan (Prevention)

- Menyediakan metode perencanaan jangka pendek dan panjang untuk mengidentifikasikan daerah yang rawan terhadap kebakaran hutan.

- Menyediakan sistem untuk perijinan kegiatan pembakaran. 2. Monitoring

- Memberikan indikator bahaya kebakaran harian

- Penting untuk perencanaan pengawasan dari udara dan penekanan terhadap aktivitas maupun perundang-undangan mengenai pembakaran.

3. Mitigasi

- Memberikan pemodelan untuk menekan penyebaran optimal dari pemanfaatan sumber daya alam.

2.3.1. Indeks FWI (Fire Weather Index )

Kegunaan dari FWI (Fire Weather Index) adalah untuk menghitung pengaruh cuaca terhadap bahan bakar hutan dan kebakaran hutan. Kegunaan lain dari FWI yaitu untuk mengevaluasi bahaya kebakaran sebagai fungsi dari kondisi cuaca


(31)

sekarang dan yang lalu. Sistem FWI dirancang untuk menghasilkan jumlah informasi yang maksimum dengan jumlah data harian atau antar jam yang minimum. FWI merupakan peringkat numerik dari intensitas kebakaran. Indeks ini secara umum disebut sebagai potensi tingkat kesulitan pengendalian bahaya kebakaran ditinjau dari aspek parameter cuaca. Bahaya kebakaran adalah indikasi umum dari semua faktor yang mempengaruhi kemudahan terbakar, penyebaran api, dampak fisik kebakaran dan tingkat kesulitan pengendalian kebakaran. Sistem FWI terdiri dari beberapa komponen yaitu kode kelembapan bahan bakar FFMC (Fine Fuel Moisture Code), DMC (Drought Moisture Code) dan DC (Drought Code). Tiap-tiap komponen memiliki nilai dengan skala masing-masing.

2.3.2. Indeks FFMC (Fine Fuel Moisture Code)

Merupakan peringkat numerik dari kandungan kelembapan dari serasah dan bahan bakar halus lainnya. Kode ini menandakan potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan ditinjau dari parameter cuaca (meteo.bmkg.go.id. 2013). Kode ini berkorelasi dengan kejadian-kejadian kebakaran yang disebabkan manusia. Kode ini digunakan untuk indikator potensi penyulutan api menjadi kebakaran. Berikut adalah tabel klasifikasi bahaya kebakaran hutan dan lahan dari indeks cuaca kebakaran atau FWI yang digunakan oleh BMKG yaitu :

Tabel 1. Klasifikasi tingkat bahaya FWI

Tabel 2. Klasifikasi tingkat bahaya FFMC

2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan data secara spasial (keruangan) yang merepresentasikan kondisi bumi. Penanganan dan analisis data berdasarkan lokasi geografis merupakan kunci dari sistem informasi geografis. Sistem ini sangat membantu bila data yang ditangani terlalu banyak untuk diproses secara manual. Mungkin ada ratusan atau ribuan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam suatu lokasi. Data ini bisa berupa peta maupun tabel data, sehingga data yang dimasukkan dalam suatu SIG (Sistem Informasi Geografis) akan lebih mudah untuk dimanipulasi dan dianalisa. Volume data yang besar sangat tidak efisien jika


(32)

ditangani dengan metode manual. Selain itu jika menggunakan metode manual akan lebih mahal, menghabiskan waktu lebih banyak dan tidak mungkin dilakukan secara praktis.

SIG mampu mengatasi berbagai macam masalah yang ada dalam dunia nyata, karena SIG menyimpan informasi real world sebagai kumpulan dari tematik layer yang dapat di link secara geografis. Data merupakan unsur yang penting pada SIG dimana keandalan suatu informasi yang disajikan akan sangat bergantung kepada kualitas datanya. SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem yang merupakan unsur dalam pengolahan data pada SIG. Subsistem tersebut seperti berikut ini:

1. Masukan Data

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversikan atau mengtransformasikan format data aslinya kedalam format yang dapat digunakan oleh SIG (Sistem Informasi Geografis).

2. Manajemen Data

Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate, dan diedit. 3. Manipulasi dan Analisa Data

Subsistem manipulasi dan analisa data berfungsi untuk menentukan informasi yang bisa diberikan oleh SIG, bentuk data yang diperlukan harus ditentukan sebagai bagian dari kebutuhan sistem. Subsistem ini melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

4. Keluaran Data

Subsistem keluaran data berfungsi untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik, peta dan lain-lain.

2.5. Model Prediksi Cuaca WRF (Weather Research and Forecasting)

Numerical Weather Prediction (NWP) merupakan sebuah pemahaman tentang bagaimana cara memprediksi cuaca menggunakan model atmosfer dan tehnik komputasi. Dalam hal ini model yang digunakan menggunakan pendekatan bahwa atmosfer kita merupakan suatu fluida, sehingga untuk memprediksi cuaca yang akan datang dapat didekati dengan persamaan-persamaan dinamika fluida dan termodinamika dengan menggunakan sample data (initial condition) pada waktu tertentu. Walaupun banyak model NWP yang berkembang saat ini, namun biasanya mempunyai konfigurasi yang sama. Biasanya perbedaan mendasar yang sering terlihat adalah model grid serta pendekatan fisik maupun dinamik atmosfer yang digunakan pada tiap-tiap model. Perkembangan penelitian dan peramalan cuaca terkini cenderung digunakan untuk pengamatan dinamika dan proses fisis atmosfer adalah model Weather Research and Forecasting (WRF), dimana model WRF adalah suatu usaha multi-Institusional yang mengembangkan suatu sistem asimilasi data skala meso dan peramalan yang lebih akurat, efisien dan ter-skalakan (Michalakes et al. 1999).


(33)

Weather Research & Forecasting (WRF) merupakan model Numerical Weather Prediction (NWP) yang lengkap dan relatif lebih mudah digunakan, walaupun untuk menjalankan sebuah model cuaca atau iklim masih membutuhkan pengetahuan dasar tentang ilmu cuaca dan ilmu komputer. WRF adalah salah satu model prediksi cuaca numerik skala meso yang saat ini sering digunakan secara luas dalam prediksi cuaca di seluruh dunia. WRF-ARW (The Advanced Research-WRF) yang merupakan salah satu post processing dari WRF dikembangkan oleh NCAR (National Center for Atmospheric Research) yang bekerja sama dengan National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Colorado USA, dan didukung oleh Forecast System Laboratory of the NOAA (NOAA/FSL), Air Force Weather Agency (AFWA) serta instansi lainnya dengan versi pertamanya WRF versi 1.0 yang di rilis Desember 2000.

Gambar 3. Penerapan sistem NWP

Tidak semua proses di atmosfer bisa diselesaikan secara eksplisit dari persamaan gerak pada model numerik. Ada proses - proses di atmosfer yang memiliki skala spasial dan temporal lebih kecil dari skala grid dari model (sub-grid). Sehingga dalam setiap model NWP terdapat parameterisasi terhadap parameter cuaca yang perhitungannya tidak bisa dilakukan langsung dengan suatu rumusan matematis (Jascourt et al. 2000). Skema-skema parameterisasi ini mencoba membuat simulasi seperti kondisi nyata. Kombinasi dari parameterisasi yang berbeda akan memberikan hasil keluaran model yang berbeda pula.

2.6. Model Dispersi Asap WRF-Chem

WRF-Chem adalah model WRF dikopel (ditambah) dengan chemistry (kimia). Model tersebut dapat mensimulasikan emisi, transportasi, pencampuran, dan transformasi kimia jejak gas dan aerosol bersamaan dengan proses meteorologi. Model ini digunakan untuk investigasi skala regional kualitas udara, analisis program lapangan, dan interaksi skala-awan antara awan-awan dan kimia (Peckam et al. 2013)

Perbedaan dengan WRF biasa berasal dari bagian chemistry pada model yang diperlukan dalam penambahan data input grid emisi. Data input tambahan ini


(34)

disediakan oleh WPS (bagian dust erosion) atau membaca dalam inisialisasi real.exe (yaitu pembakaran biomassa, emisi biogenik, bagian background GOCART dll) atau membaca selama eksekusi WRF (yaitu emisi anthropogenik, syarat batas, emisi vulkanik dll). Ketika beberapa program yang disediakan oleh pengguna dalam pembangunan file-file data input eksternal (sebagaimana disebutkan sebelumnya) tidak semua pilihan emisi berfungsi untuk semua kemungkinan pilihan namelist dalam model WRF-Chem. Dengan kata lain, pembentukan data input emisi untuk simulasi kimia atmosfer dapat menjadi sangat komplek dan kadangkala pengguna akan membutuhkan modifikasi skrip atau konfigurasi model untuk mendapatkan hasil sesuai dengan keinginan.

Gambar 4. Diagram alur sistem WRF/WRF-Chem

Pengembangan WRF-Chem merupakan upaya kolaborasi antar masyarakat ilmuwan. NOAA/ESRL. Saat ini model WRF-Chem merupakan bagian dari paket pemodelan WRF. Paket model WRF-Chem terdiri dari komponen-komponen berikut: 1. Deposisi kering, di-kople dengan skema tanah/vegetasi.

2. Empat pilihan emisi biogenik: - Tanpa emisi biogenik.

- Perhitungan online emisi biogenik seperti dalam Simpson et al. (1995) dan Guenther et al. (1994) termasuk emisi isophrene, monoterpenes dan emisi nitrogen oleh tanah.


(35)

- Modifikasi online emisi biogenik yang dispesifikasi oleh pengguna, seperti EPA Biogemic Emissions Inventory System (BEIS) version 3.13. Kelemahannya: pengguna harus menyediakan data emisi untuk domain yang mereka pilih sesuai dengan format file data WRF.

- Perhitungan online emisi biogenik dari MEGAN. 3. Tiga pilihan emisi antropogenik:

- Tidak ada emisi antropogenik.

- Emisi antropogenik yang dispesifikasikan pengguna seperti yang tersedia dari data yang tersimpan dalam EPA NEI-05. Kelemahannya: pengguna harus

menyediakan data emisi untuk domain yang mereka pilih sesuai dengan format file data WRF.

- Data emisi global dari data set 1.5º RETRO dan 10º EDGAR. 4. Beberapa pilihan mekanisme kimia fase-gas:

- Mekanisme kimia RADM2, RACM, CB-4 dan CBM-Z.

- Menggunakan Kinetic Pre-Processor (KPP) untuk menghasilkan mekanisme kimia.

5. Tiga pilihan skema-skema fotolisis:

- Skema madronich ditambah dengan parameterisasi hidrometeor, aerosol dan konvektif.

- Skema fotolisis Fast-J ditambah dengan parameterisasi hidrometeor, aerosol dan konvektif.

- Skema fotolisis F-TUV. 6. Tiga pilihan skema aerosol:

- The Model Aerosol Dynamics Model for Europe - MADE/SORGAM.

- The Model for Simulating Aerosol Interactions and Chemistry (MOSAIC - 4 or 8 bins).

- Massa keseluruhan modul aerosol dari GOCART.

7. Pengaruh langsung aerosol melalui interaksi atmosfer, fotolisis dan mikrofisika. 8. Pengaruh tidak langsung aerosol melalui interaksi radiasi atmosfer, fotolisis dan

mikrofisika.

9. Pilihan transpor pelacak dimana mekanisme kimia, deposisi dan lain-lain telah dimatikan.


(36)

BAB III METODE

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang merupakan daerah rawan kebakaran hutan/lahan. Di wilayah Sumatera terdapat 4 (empat) provinsi rawan kebakaran hutan/lahan yaitu; Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi, sedangkan di wilayah Kalimantan terdapat 4 (empat) provinsi yaitu; di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimatan Selatan dan Kalimatan Timur.

Gambar 5. Lokasi penelitian

3.2. Bahan dan Alat

Bahan penelitian berupa data untuk menyusun database SPBK, masukan model WRF-Chem, dan bahan analisis serta verifikasi. Periode waktu yang digunakan pada penelitian ini bulan Juni-Juli-Agustus 2013. Jenis dan sumber data yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan sumber data

No Jenis Data Sumber Data Keperluan

1 Cuaca observasi BMKG Verifikasi prediksi model cuaca WRF

2 Global Forecast System NCEP-NOAA Database WRF &WRF-Chem

3 Emisi global EDGAR JRC - IES Database model WRF-Chem

4 Landuse dan Topografi USGS Database WRF & WRF-Chem


(37)

No Jenis Data Sumber Data Keperluan

6 Hotspot FIRMS-MODIS Analisis SPBK

7 Satelit Terra/Aqua MODIS NASA Analisis & verifikasi dispersi asap

8 TC CO AIRS NASA Analisis & verifikasi dispersi asap

Software aplikasi atau tools yang digunakan untuk menunjang penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Software yang digunakan

No Software/Tools Keperluan

1 Weather Research and Forecasting (WRF)

Mengolah, menurunkan skala, dan menghasilkan data cuaca prediksi resolusi 9 km wilayah Sumatera dan Kalimantan

2 WRF-Chem Membuat simulasi dispersi asap kebakaran hutan/lahan

wilayah Sumatera dan Kalimantan 3 Microsoft Database Acces

2007

Menyiapkan dan mengolah data cuaca untuk database SPBK.

4 Spatial Fire Management System (SFMS)

Mengolah dan menganalisis peta SPBK

5 Arcview 3.3, ERDAS 9.1 Mengolah, menganalisis, overlay dan melayout peta 6 Grid Analysis and Display

Systems (GrADS)

Menampilkan, menganalisis, dan men-verifikasi simulasi dispersi asap.

Alat yang digunakan untuk melakukan proses running model WRF adalah PC Cluster 16 node dengan menggunakan sistem operasi Linux Rock Cluster 4.1. Digunakan juga PC Desktop dengan sistem operasi Windows untuk mempersiapkan, mengolah, dan membuat peta SPBK serta menjalankan model WRF-Chem.

3.3. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan terbagi menjadi empat tahap, yaitu; pengolahan data parameter cuaca model, pengolahan peta SPBK, pengolahan data dan simulasi dispersi asap, serta pengumpulan data aktivitas masyarakat lokal.

3.3.1. Pengolahan Data Cuaca Model

Tahapan pengumpulan dan pengolahan data model dilakukan dengan me-running model WRF menggunakan PC Cluster 16 node untuk menghasilkan data parameter cuaca, seperti; suhu udara, kelembapan, kecepatan dan arah angin, serta curah hujan kumulatif.

Inisial data yang digunakan adalah Global Forecast System (GFS) yang memiliki resolusi spasial (0.5º x 0.5º). Untuk memperoleh hasil prediksi cuaca yang akurat perlu dilakukan downscaling dari resolusi global menjadi resolusi skala lokal.


(38)

Penajaman resolusi model dilakukan hingga 9 km, dengan interval waktu 1 jam. Parameterisasi skema fisik yang digunakan dalam running model WRF adalah skema Cumulus (Grell 3D), skema Michrophysic (Lin et al scheme), dan skema Surface Layer menggunakan Monin-Obukhov. Format data luaran WRF berupa grid dalam bentuk Network Common Data File (NetCDF). Pengambilan nilai dilakukan pada setiap grid model dan dikonversi dalam format Microsoft Database (mdb) yang digunakan sebagai database penyusun peta SPBK.

3.3.2. Pengolahan Peta SPBK

Pengolahan database penyusun SPBK menggunakan aplikasi Microsoft Database Acces dengan fasilitas Open Database Connectivity (ODBC). Digunakan juga aplikasi Spatial Fire Managements Systems (SFMS) yang merupakan tool ekstensi pada software ArcView 3.3. SPBK yang dibangun menggunakan data model WRF adalah peta FFMC dan FWI. Proses pembuatan peta SPBK menggunakan teknik pembobotan (scooring) dan interpolasi dalam pengolahan spasial, serta proses tumpang tindih (overlay).

Tabel 5. Format tabel penyusun indeks FFMC dan FWI SPBK

STATION DATE LST YYYY LST MM LST DD LST REC_INSERT TIME TEMP 12 RH 12 WD SPD WD DIR RAIN 0UTC

FFMC DMC DC ISI BUI FWI

3.3.3. Pengolahan Data Hotspot

Data sebaran hotspot diunduh dari website FIRMS (Fire Information for Resources Managements Systems). Data FIRMS menggunakan sensor Aqua/Terra MODIS periode JJA-2013 wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hotspot yang digunakan mempunyai tingkat kepercayaan antara 20% – 100%, data tersebut di kelompokkan atau clustering per provinsi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, dan kemudian dianalisis berdasarkan distribusi sebarannya.

3.3.4. Pengolahan Data Simulasi Dispersi Asap

Proses running model untuk mendapatkan simulasi dispersi asap kebakaran hutan/lahan dilakukan menggunakan model WRF-Chem. Model ini membutuhkan masukan data GFS, landuse, topografi dan data emisi global. Tahapan awal masukan data model WRF-Chem adalah melakukan proses gridding terhadap data landuse dan topografi, kemudian proses ungrib terhadap data GFS 0.5º menggunakan WRF-Preprocessing System (WPS), sehingga masukan data model untuk parameter cuaca dan permukaan berubah format menjadi *.metgrid. Setelah data metgrid dan emisi sudah tersedia, maka proses running model siap dilakukan. Parameterisasi skema fisik model menggunakan mekanisme fase kimiawi RADM2 (Regional Acid Deposition Model version 2). Penajaman resolusi model dilakukan hingga 27 km,


(39)

dengan interval waktu 1 jam untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pilihan kimiawi menggunakan profil kimiawi ideal, dan menggunakan pilihan emisi EDGAR simple emissions.

3.3.5. Pengolahan Data Aktivitas Masyarakat Lokal dalam Penyiapan Lahan Pertanian

Pengumpulan data aktivitas masyarakat lokal dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara, metode sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Pertanyaan dalam kuesioner terkait latar belakang dan aktivitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan gambut khususnya pada saat penyiapan dan pengolahan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Pengambilan data dilakukan di wilayah Rasau Jaya (Kalimantan Barat) dan Kampar (Kepulauan Riau). Data yang terkumpul diolah, ditabulasikan, dianalisis kemudian diinterpretasikan.

3.4. Analisis dan Verifikasi

3.4.1. Analisis dan Verifikasi Data Cuaca Model

Data cuaca model WRF yang digunakan sebagai database penyusun SPBK menggunakan inisial waktu jam 13.00 WIB untuk setiap lokasi diwilayah Sumatera dan Kalimantan. Inisial waktu yang digunakan didasarkan pada asumsi bahwa waktu tersebut mewakili kondisi suhu puncak dan kelembapan terendah serta berpotensi tinggi terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Sebelum data cuaca model digunakan sebagai database penyusun SPBK perlu dilakukan verifikasi. Proses verifikasi dilakukan terhadap luaran model untuk melihat tingkat akurasi model terhadap observasi, dengan menggunakan pendekatan statistik. Verifikasi parameter suhu udara, kelembapan, dan kecepatan angin dilakukan dengan perhitungan korelasi dan Root Mean Square Error (RMSE), ditunjukkan dengan persamaan Kyun (2002).

(1)

Dengan F = forecast (nilai prediksi model) dan O = observation (nilai pengamatan), metode prakiraan dikatakan baik jika memiliki nilai korelasi yang tinggi dan nilai RMSE yang rendah. Untuk mengetahui persentase kesalahan (percent

(

)

= − = N n n n O F N RMSE 1 2 1

(

) (

)

(

)

(

)

= = = − × − − × − = N n n N n n N n n n O O F F O O F F Corr 1 2 1 2 1 (2)


(40)

error) pada semua parameter antara hasil model dan observasi menurut Hanke (1992) menggunakan perhitungan sebagai berikut;

E = (O – F) x 100% (3) O

Dimana O adalah data hasil observasi, F adalah data hasil simulasi model dan E adalah hasil dari persentase kesalahan. Verifikasi parameter curah hujan kumulatif menggunakan metode pengukuran Threat Score (TS) yaitu untuk mengukur ketepatan prakiraan antara model dan observasi. Perhitungan nilai TS menggunakan metode Saito (2001) sebagai berikut:

Threat Score (4)

Dimana Nhit = jumlah hit, Npass = jumlah pass, dan Nfalse = jumlah false alarm. Hit adalah kondisi apabila hasil model dan observasi dalam waktu observasi sesuai. Pass adalah kondisi apabila kejadian tidak terprakiraan oleh model, namun teramati dalam waktu observasi. Sedangkan false alarm adalah kondisi apabila kejadian terprakiraan di model, namun tidak teramati dalam waktu observasi. Adapun untuk Prosentase Hit adalah Threat Score dikalikan 100. Hasil metode verifikasi akan didapatkan nilai korelasi, error, dan tingkat akurasi data model terhadap data observasi.

3.4.2. Analisis dan Verifikasi Peta SPBK

Hasil peta SPBK berbasis model dianalisis dan dibandingkan dengan peta SPBK berbasis observasi milik BMKG. Teknik verifikasi menggunakan metode pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah korelasi, RMSE, dan percent error (persentase kesalahan) seperti pada persamaan no. 1, 2, dan 3 diatas. Hasil dari metode kuantitatif adalah nilai korelasi dan error antara peta SPBK berbasis model dan observasi.

3.4.3. Analisis Hubungan Hotspot dan SPBK

Analisis keterkaitan antara Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan (SPBK) dengan kejadian titik panas (hotspot) dilakukan dengan teknik tumpang tindih (overlay) antara peta SPBK khususnya peta indeks FFMC dengan hotspot. Jika sebaran hotspot dominan terdapat pada wilayah dengan kategori mudah-sangat mudah terbakar (berwarna kuning-merah), artinya hotspot berkorelasi terhadap peta SPBK dan berpotensi tinggi terjadinya kebakaran hutan dan lahan diwilayah tersebut. Dalam menganalisis hubungan ini digunakan peta SPBK khususnya peta

false pass hit hit N N N N + + =


(41)

indeks potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan (FFMC) pada periode puncak hotspot tanggal 19 dan 21 Juni, 21 dan 23 Juli di Provinsi Riau, serta tanggal 19 dan 26 Agustus di Provinsi Kalimantan Barat.

3.4.4. Analisis dan Verifikasi Simulasi Dispersi Asap

Analisis hasil simulasi dispersi asap model WRF-Chem dengan data satelit AIRS-NASA dilakukan secara kualitatif berdasarkan pola spasial kedua obyek. Pendekatan secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan nilai konsentrasi karbon monoksida (CO) maksimum pada 8 (delapan) titik atau lokasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan korelasi, RMSE, dan bias. Untuk mencari nilai korelasi dan RMSE hasil model dengan data satelit AIRS menggunakan persamaan no. 1 dan 2 di atas. Metode bias akan ditampilkan pada persamaan De Foy (2009) sebagai berikut.

Dimana F adalah forecast (nilai prediksi model) dan O merupakan observation (nilai pengamatan). Hasil dari analisis didapatkan nilai korelasi, dan error antara simulasi dispersi asap model WRF-Chem dengan data satelit AIRS-NASA.

3.4.5. Analisis Kuesioner Data Aktivitas Masyarakat Lokal

Analisis yang umum digunakan untuk inventarisasi data melalui kuesioner menurut Hadi (1998) adalah sebagai berikut;

1. Melakukan pengecekan jawaban yang lengkap dan yang tidak lengkap.

2. Mentabulasikan jawaban-jawaban ke daftar tabulasi. Pilah tabulasi jawaban yang lengkap dan yang tidak lengkap.

3. Meneliti jawaban yang tidak relevan dengan pertanyaan. Diputuskan apakah tidak konsistennya jawaban itu dinilai tidak valid, atau masih dapat dianalisis. 4. Data kuesioner yang sudah sesuai kebutuhan dianalisis dengan pendekatan

statistik dan selanjutnya diinterpretasikan.

Analisis kuesioner akan mengidentifikasi kegiatan/aktivitas masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan sehingga didapatkan gambaran perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat dalam menyiapkan dan mengolah lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan. Tahapan atau alur kerja penelitian secara umum ditunjukkan pada Gambar 6.

O F


(42)

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Wilayah Kajian

Secara geografis Pulau Sumatera dan Kalimantan terletak pada posisi antara -5°57' 53.58" - 5°42'57.32" LS dan 95°5'16.41" - 119°4'5.81" BT. Pulau terbesar keenam di dunia ini memiliki luas wilayah 470.000 km2 dan secara geografis pulau ini terletak di bagian barat gugusan kepulauan Nusantara. Di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia. Pulau Kalimantan mempunyai luas wilayah sebesar 549.032 km2, luasan ini merupakan 28% seluruh daratan Indonesia. Kalimantan berbatasan dengan Sabah dan Sarawak di bagian utara, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Selat Karimata, di bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan di sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar, dan Laut Sulawesi (Kemendagri. 2013)

Wilayah Sumatera dan Kalimantan yang luas, seharusnya memiliki jaringan stasiun cuaca observasi yang rapat dan homogen. Keterbatasan data cuaca observasi untuk menyusun peta SPBK dapat memanfaatkan sumber data model luaran WRF resolusi 9 km. Lokasi sebaran data cuaca prediksi luaran WRF ditunjukkan Gambar 7.

Gambar 7. Koordinat lokasi data luaran WRF 9 km

4.2. Analisis dan Verifikasi Data Parameter Cuaca Model WRF

Proses running model WRF menghasilkan data prediksi cuaca untuk bulan Juni – Agustus 2013, dengan menggunakan luasan domain 5°57' 53.58" - 5°42'57.32" LS dan 95°5'16.41" - 119°4'5.81" BT dengan resolusi temporal 1 jam. Pengambilan nilai luaran WRF dilakukan pada setiap grid domain ukuran 9 km x 9 km berdasarkan titik yang terdekat dengan lokasi data cuaca observasi. Hasil luaran


(44)

model yang digunakan adalah parameter suhu, kelembapan, kecepatan dan arah angin, dan curah hujan kumulatif. Data prediksi cuaca model diverifikasi dengan data cuaca observasi wilayah Sumatera dan Kalimantan di 8 (delapan) propinsi yang merupakan wilayah rawan kebakaran hutan/lahan.

Data cuaca observasi yang digunakan sebagai verifikator data model di wilayah Sumatera adalah Bandara Polonia Medan-Sumatera Utara, Stasiun Meteorologi Pekanbaru-Riau, Bandara Sultan Thaha-Jambi, dan Talang Betutu-Palembang (Sumsel). Sedangkan data stasiun observasi cuaca di wilayah Kalimantan adalah; Bandara Supadio-Pontianak (Kalbar), Panarung-Palangkaraya (Kalteng), Bandara Syamsuddin-Banjarmasin (Kalsel), dan Temindung-Samarinda (Kaltim)

Grafik perbandingan antara parameter cuaca luaran WRF dengan observasi pada 8 (delapan) propinsi rawan kebakaran hutan/lahan di Sumatera dan Kalimantan ditunjukkan Gambar 8 -15.

4.2.1. Medan - Sumatera Utara

Gambar 8 merupakan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF resolusi 9 km pada periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Polonia- Sumatera Utara.


(45)

Gambar 8. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Sumatera Utara

Puncak suhu maksimum observasi terjadi dibulan Juni mempunyai nilai 35ºC, sedangkan data WRF 32ºC. Kelembapan terendah terjadi bulan Juni pada hari yang sama saat suhu maksimum terjadi pada tanggal 20 Juni, nilai kelembapan hasil observasi adalah 46% sedangkan hasil WRF 55%. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu sebesar 0.77 dan 1.09, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.76 dan RMSE sebesar 8.64, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.53 dan RMSE sebesar 2.41. Parameter kelembapan dan angin model WRF mempunyai nilai lebih besar (over forecasting) terhadap observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 65%. 4.2.2. Pekanbaru - Riau

Gambar 9 adalah hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Pekanbaru – Riau.


(46)

Gambar 9. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Riau

Puncak suhu maksimum data observasi terjadi di bulan Juni dengan nilai 34ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32ºC. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 40% sedangkan WRF sebesar 65%. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.73 dan 1.85, parameter kelembapan mempunyai korelasi 0.66 dan RMSE sebesar 17.56, nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.56 dan RMSE sebesar 4.43. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai nilai lebih tinggi (over forecasting) terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 68%.

4.2.3. Jambi

Gambar 10 adalah hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan antara data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Jambi.


(47)

Gambar 10. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Jambi

Profil data suhu udara, angin dan kelembapan berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31ºC. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi


(48)

adalah 51% sedangkan data WRF sebesar 69%. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.75 dan 1.48, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.63 dan RMSE sebesar 16.28.

4.2.4. Palembang - Sumatera Selatan

Gambar 11 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan WRF wilayah Sumatera Selatan.


(49)

Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31ºC. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Juni, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 50% sedangkan data WRF sebesar 62%. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.80 dan 1.40, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.66 dan RMSE sebesar 12.54, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.56 dan RMSE sebesar 4.92. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 63%. Parameter kelembapan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi.

4.2.5. Pontianak – Kalimantan Barat

Gambar 12 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan antara data observasi cuaca dengan data WRF resolusi 9 km pada periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Pontianak, Kalimantan Barat.


(50)

Gambar 12. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalbar

Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32ºC. Kelembapan terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 55% sedangkan data WRF sebesar 61%. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.70 dan 1.94, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.58 dan RMSE sebesar 11.01, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.55 dan RMSE sebesar 3.15. Parameter kelembapan model WRF mempunyai nilai lebih tinggi (over forecasting) terhadap data observasi.

4.2.6. Palangkaraya – Kalimantan Tengah

Perbandingan suhu, kecepatan angin, dan kelembapan antara observasi dengan WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah ditunjukkan Gambar 13.


(51)

Gambar 13. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalteng

Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 32ºC. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Agustus dengan nilai kelembapan minimum data observasi 54% sedangkan data WRF sebesar 62%. Nilai korelasi dan RMSE antara observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.71 dan 1.47, parameter kelembapan mempunyai korelasi 0.66 dan RMSE sebesar 11.90, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.69 dan RMSE sebesar 3.0. Parameter kelembapan dan curah hujan WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 64%.

4.2.7. Banjarmasin – Kalimantan Selatan

Gambar 14 adalah perbandingan suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan data WRF periode Juni-Juli-Agustus 2013 di wilayah Banjarmasin, Kalimantan Selatan.


(52)

Gambar 14. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kalsel

Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 34ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 31ºC. Kelembapan


(53)

terendah terjadi juga pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 51% sedangkan data WRF sebesar 64%. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.72 dan 1.83, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.68 dan RMSE sebesar 14.63, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.60 dan RMSE sebesar 3.88. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 61%.

4.2.8. Samarinda – Kalimantan Timur

Gambar 15 menunjukkan hasil perbandingan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan data observasi cuaca dengan WRF wilayah Kalimantan Timur.


(54)

Gambar 15. Perbandingan suhu, kec. angin dan kelembapan wilayah Kaltim

Profil data suhu udara, angin dan kelembapan cukup berfluktuasi sepanjang periode JJA-2013. Puncak suhu maksimum data observasi terjadi dibulan Juni dengan nilai 33ºC, sedangkan data WRF mempunyai nilai maksimum 33ºC. Kelembapan terendah terjadi pada pertengahan bulan Agustus, nilai kelembapan minimum data observasi adalah 58% sedangkan data WRF sebesar 65%. Nilai korelasi dan RMSE antara data observasi dan WRF untuk parameter suhu udara adalah 0.74 dan 1.59, parameter kelembapan mempunyai korelasi sebesar 0.73 dan RMSE sebesar 10.49, dan nilai korelasi parameter kecepatan angin 0.53 dan RMSE sebesar 2.91. Nilai Threath Score untuk parameter curah hujan sebesar 65%. Parameter kelembapan dan curah hujan model WRF mempunyai over forecasting terhadap data observasi.

Tabel 6 adalah hasil korelasi, persentase kesalahan, RMSE, dan akurasi untuk parameter suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan curah hujan di wilayah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.


(55)

Nilai korelasi menunjukkan tingkat kekuatan hubungan (pola) antara dua variabel yaitu data observasi dan luaran model, Nilai korelasi mendekati satu (1) berarti model mempunyai korelasi hubungan sempurna (pola identik) dengan data observasi. Hasil korelasi parameter suhu mempunyai nilai 0.7 – 0.8 di semua lokasi, sedangkan kelembapan mempunyai korelasi antara 0.58 – 0.76, dan kecepatan angin antara 0.53 – 0.69. Secara keseluruhan nilai parameter suhu, kelembapan, kecepatan angin mempunyai nilai korelasi antara 0.53 – 0.80.

Menurut Sarwono (2006) untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, dibagi kriteria berdasarkan nilai sebagai berikut;

- 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel - >0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah

- >0,25 – 0,5 : Korelasi cukup - >0,5 – 0,75 : Korelasi kuat

- >0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat - 1 : Korelasi sempurna

Berdasarkan pembagian kriteria diatas terhadap parameter suhu, kelembapan, dan kecepatan angin, hasil model WRF mempunyai kategori korelasi kuat - sangat kuat dengan data observasi cuaca. Persentase kesalahan (percent error) untuk parameter kelembapan di semua lokasi mempunyai nilai negatif, artinya prediksi parameter kelembapan hasil model WRF mempunyai nilai diatas data observasi (over forecasting). Nilai over forecasting model untuk parameter kecepatan angin terdapat di wilayah Sumatera Utara, sedangkan di wilayah Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur untuk parameter curah hujan juga mengalami kondisi yang sama.

Rentang nilai RMSE parameter suhu antara 1.09 – 1.94, parameter kelembapan mempunyai nilai antara 8.64 – 17.56, sedangkan untuk parameter kecepatan angin mempunyai nilai RMSE antara 2.41 – 4.92. Berdasarkan nilai RMSE dapat diketahui bahwa selisih nilai antara model dan observasi cukup besar terutama untuk parameter kelembapan. Nilai akurasi dari metode Threath Score pada parameter curah hujan antara 60.81 – 68.47, hal ini menunjukkan bahwa prediksi curah hujan model WRF terhadap observasi mempunyai akurasi yang baik.

4.3. Analisis Hasil Peta SPBK

Nilai yang digunakan untuk menyusun peta SPBK adalah parameter cuaca yang meliputi; suhu, kelembapan, kecepatan dan arah angin, dan curah hujan kumulatif, dengan menggunakan inisial waktu pukul 13.00 WIB dengan asumsi bahwa waktu tersebut mewakili kondisi suhu maksimum dan kelembapan minimum serta berpotensi tinggi terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Pengolahan data parameter cuaca model WRF menggunakan Microsoft Database Acces dan tools ekstensi SFMS (Spatial Fire Managements Systems), dan dihasilkan peta SPBK berupa indeks peta FFMC (Fine Fuel Moisture Code) dan FWI (Fire Weather Index). Hasil peta SPBK berbasis luaran model WRF resolusi 9 km dibandingkan dengan peta SPBK berbasis observasi milik BMKG.


(56)

4.3.1. Indeks Peta Fine Fuel Moisture Code (FFMC) Wilayah Sumatera

Peta FFMC adalah potensi tingkat kemudahan terjadinya kebakaran hutan/lahan ditinjau dari analisa parameter cuaca. Berikut adalah contoh peta FFMC hasil luaran model WRF dan observasi pada saat terjadinya peningkatan distribusi hotspot diwilayah Sumatera.


(57)

Gambar 16. Perbandingan hasil peta FFMC observasi (kiri) dan WRF (kanan) tanggal 21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 wilayah Sumatera.

Hasil perbandingan menujukkan bahwa pola spasial peta FFMC-WRF mempunyai pola yang berbeda dengan observasi. Peta FFMC observasi tanggal 21 Juni menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah Sumatera kecuali sepanjang bukit barisan dan Sumatera bagian ujung utara dominan berwarna merah dan masuk kategori sangat mudah terbakar, sedangkan hasil FFMC-WRF mempunyai pola variasi warna biru – merah yang mempunyai kategori aman – sangat mudah terbakar. FFMC-observasi tanggal 22 Juli menunjukkan bahwa sebagian besar Sumatera bagian tengah dan utara berwarna merah masuk kategori sangat mudah terbakar, sedangkan FFMC-WRF berwarna kuning dan merah dan mempunyai kategori mudah – sangat mudah terbakar. Peta FFMC-WRF mempunyai variasi pola dan kelas kategori dibandingkan hasil FFMC-observasi.

4.3.2. Indeks Peta Fire Weather Index (FWI) Wilayah Sumatera

Peta FWI adalah potensi tingkat kesulitan pengendalian api jika terjadi kebakaran hutan/lahan ditinjau dari analisa parameter cuaca. Gambar 17 menunjukkan peta FWI-observasi tanggal 21 Juni bahwa dibagian timur Sumatera didominasi warna kuning dan merah dengan kategori sulit dan sangat sulit dikendalikan, sedangkan FWI-WRF didominasi oleh warna hijau dan biru dengan kategori aman dan tidak sulit dikendalikan. Pada tanggal 22 Juli dan 18 Agustus hasil FWI-observasi dan WRF mempunyai pola hampir sama, keduanya didominasi oleh warna hijau dan biru yang menunjukkan tidak sulit dikendalikan dan aman. Terdapat spot warna merah di bagian ujung utara pulau Sumatera pada peta FWI-WRF. Hasil peta FWI diatas menunjukkan bahwa peta FWI-WRF mempunyai pola yang lebih bervariasi dari FFMC-observasi.


(58)

Gambar 17. Perbandingan hasil peta FWI-observasi (kiri) dan WRF (kanan) tanggal 21 Juni, 22 Juli, dan 18 Agustus 2013 diwilayah Sumatera.


(1)

6. Manfaat apa yang anda rasakan dari keberadaan hutan/lahan gambut ? (pilihan bisa lebih dari satu):

Manfaat langsung : □ Sumber kayu □ Sumber air □ Lahan pertanian

□ Lainnya………..

Manfaat Tidak langsung □ Pengendali banjir dan erosi □ Kesejukan dan kenyamanan

□ Keindahan alam dari kawasan hutan

□ Lainnya……….. 7.Apakah anda menggarap/membuka lahan di kawasan hutan/lahan gambut diwilayah Rasau Jaya-Pekanbaru?

a. Ya b. Tidak

8. Bagaiman cara anda dalam menggarap/membuka lahan? a. Dibakar

b. Dicangkul

d. Menggunakan herbisida

c. Lainnya……….……… 9. Alasan menggarap dan menyiapkan lahan dengan cara:

□ Dibakar………... □ Dicangkul………... □ Menggunakan herbisida……… □ Lainnya……….. 10. Berapa luas lahan yang anda garap?

a. < 0,5 ha b.0.5-1 ha c. > 1 ha

11. Jenis tanaman apa saja yang anda tanam?

a. Tanaman pertanian :……….………..……. b. Tanaman perkebunan :……… c. Tanaman lainnya :………..……… 12. Hasil dari lahan garapan digunakan untuk apa ?

a. Digunakan untuk kebutuhan sendiri b. Dijual

13. Bagaimana sistem/teknik yang anda gunakan dalam penggarapan dan penyiapan lahan? ………..……….


(2)

LAMPIRAN 1


(3)

LAMPIRAN 2


(4)

LAMPIRAN 3


(5)

LAMPIRAN 4

Daftar Pertanyaan Kuesioner Aktivitas Masyarakat Lokal Dalam Penyiapan Lahan Pertanian


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Oktober 1977 di Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari ayah Eddy Sunaryo dan ibu Turyati. Penulis menikah dengan Adiyati Mayang Halida pada tanggal 11 November 2007 dan telah dianugerahi seorang putra bernama Abdiel Naufal Alfatih yang lahir pada tanggal 1 Agustus 2011.

Setelah menyelesaikan pendidikan di SMAN I Gombong, penulis memasuki jenjang perguruan tinggi pada tahun 1996 di Universitas Islam Indonesia pada Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri. Tahun 2011 penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Beasiswa penelitian tesis diperoleh dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan.

Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi pegawai negeri sipil di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Mulai tahun 2009 sampai sekarang sebagai seorang peneliti bidang meteorologi dan klimatologi di Pusat Penelitian dan Pengembangan-BMKG.