Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU) dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Jagung (Zea mays).

PEMBUATAN PUPUK UREA BERSALUT GIBSUM (GYPSUM
COATED UREA,GCU) DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN JAGUNG (Zea mays)

INDAH APRILIYA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Pupuk Urea
Bersalut Gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU) dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Jagung (Zea mays) adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015

Indah Apriliya
NIM A14100098

ABSTRAK
INDAH APRILIYA. Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum (Gypsum Coated
Urea, GCU) dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Jagung (Zea mays).
Dibimbing oleh BUDI NUGROHO dan LILIK TRI INDRIYATI.
Urea (CO(NH2)2) merupakan jenis pupuk nitrogen yang paling banyak
ditemui dipasaran dan digunakan oleh petani di Indonesia. Sifat higroskopis yang
dimiliki oleh pupuk urea menyebabkan pupuk ini mudah larut dalam air dan
mudah tercuci keluar dari sistem tanah, akibatnya pemupukan menjadi sangat
tidak efisien. Salah satu upaya untuk mengurangi kehilangan N akibat pencucian
yaitu dengan memodifikasi sifat fisik pupuk urea dengan mengubah menjadi
pupuk lambat tersedia (slow release). Halangan fisik pada pupuk slow release,
dapat digunakan untuk memperlambat interaksi antara pupuk urea dengan air
sehingga urea akan lebih tahan pelarutan oleh air dan mengurangi kehilangan N

melalui pencucian. Tujuan penelitian ini adalah : (1) Membuat pupuk urea
bersalut gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU), (2) Mengukur konsentrasi N-NH4+
dan N-NO3- dari pupuk GCU pada percobaan pencucian, (3) Menentukan
pengaruh pupuk GCU terhadap pertumbuhan dan serapan nitrogen, serta kalsium
pada jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh empat jenis pupuk
GCU berbentuk granul ukuran 3-5 mm dengan kandungan nitrogen sebesar
33.36% (S1) , 30.97% (S2), 31.51% (M1), dan 29.73% (M2). Empat jenis pupuk
tersebut berkarakter sebagai slow release karena dapat mengurangi pencucian
nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat. Berdasarkan data pertumbuhan dan
analisis serapan hara tanaman menunjukkan bahwa bentuk slow release yang
diperoleh berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi jagung pada 2 hingga 5
minggu setelah tanam.

Kata kunci : kehilangan nitrogen, pencucian, pupuk lambat tersedia

ABSTRACT
INDAH APRILIYA.The Process of Making Gypsum Coated Urea (GCU)
Fertilizer and Its Effect on Maize Growth. Supervised by BUDI NUGROHO and
LILIK TRI INDRIYATI.
Urea (CO(NH2)2) is the most marketable nitrogen fertilizer that is used by

Indonesian farmer. The hygroscopic characteristic of urea cause the fertilizer is
very water soluble and it is easy to leached, so as fertilization of urea become
inefficient. An effort to reduce nitrogen lost by leaching is modifying the physical
character of urea fertilizer to be slow release fertilizer. Physical barrier on slow
release fertilizer can retard interaction of urea and water with resulting in urea will
be more resist and nitrogen loss can be reduced. This research aims to: (1) make
Gypsum Coated Urea (GCU), (2) measure NH4+-N and NO3--N concentration
from GCU at the leaching experimental laboratory, (3) determine GCU impact to
growth and absorption of nitrogen and calcium at maize. The result showed that
there were four types of GCU fertilizer 3-5 mm sized with nitrogen content :
33.36% (S1) , 30.97% (S2), 31.51% (M1), and 29.73% (M2). All of them were
slow release fertilizer because they could reduce nitrogen leaching in form of
ammonium and nitrate. Based on growth data and plantation nutrient’s absorption
analysis, slow release fertilizer’s type substantialy affected on plant’s height
growth at 2 – 5 week after planted.
Key words: Nitrogen loss, leaching, slow release fertilizer

PEMBUATAN PUPUK UREA BERSALUT GIBSUM (GYPSUM
COATED UREA,GCU) DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN JAGUNG (Zea mays)


INDAH APRILIYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

(Gypsum Coated Urea,
dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan ]agung (Zea mays).

Judul Skripsi: Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum
GCU)

Nama

: Indah Apriliya

NIM

: A14100098

Disetujui oleh

Dr Ir Budi Nugroho, MSi
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

1 8 FEB 2015

Dr Ir Lilik Tri Indriyati, MSc
Pembimbing II


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan,
penelitian, dan penulisan skripsi ini. Skripsi yang dilaksanakan sejak Februari
2014 ini berjudul Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum (Gypsum Coated
Urea, GCU) dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Jagung (Zea mays).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Budi Nugroho, MSi selaku
dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, nasihat, dan
motivasi selama penelitian sampai penulisan skripsi. Terima kasih kepada Dr Ir
Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi kedua atas bimbingan
dan berbagai saran dalam penyempurnaan penulisan skripsi.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Desi Nadalia, SP, M.Si selaku dosen penguji atas kritik, saran, dan
masukkan dalam perbaikan skripsi ini.
2. Seluruh staf Laboratorium dan staf Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3. Keluarga Besar H. Tasdik Machroni (Alm) atas doa, kasih sayang, dan
kepercayaannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan S1 ini.
4. Jaka Rahmaddan, Tim PKM GCU (Budi, Fathya, Andang), Sugih, Lohot,

Rizki, Nara, Sudiarto yang telah mendukung dan memberi motivasi
kepada penulis.
5. Rekan-rekan MSL 47 atas kebersamaan dan dukungannya selama
penelitian.
6. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membacanya.

Bogor, Februari 2015
Indah Apriliya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

i

DAFTAR GAMBAR

i


DAFTAR LAMPIRAN

i

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2


Nitrogen (N) dalam Tanah

2

Pupuk Urea dan Permasalahannya

3

Slow Release Fertilizer (SRF)

3

Karakteristik Bahan Pelapis (Coating Agent)

3

METODE

4


Waktu dan Tempat Penelitian

4

Bahan

4

Alat

4

Pembuatan Pupuk Gypsum Coated Urea (GCU)
+

4
-

Kandungan Amonium (N-NH4 ) dan Nitrat (N-NO3 ) dengan Percobaan

Pencucian

5

Percobaan Aplikasi Pupuk terhadap Pertumbuhan Jagung

6

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU)

7

Jumlah Nitrogen yang terdapat pada Perkolat (N-mineral yang tercuci)

9

Pengaruh Pupuk GCU terhadap Pertumbuhan dan Serapan Jagung
KESIMPULAN DAN SARAN

12
16

Kesimpulan

16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

18

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1. Rancangan perbandingan urea, gibsum, dan gum arab serta kandungan
nitrogen dalam pupuk
2. Perlakuan percobaan pencucian
3. Dosis pupuk per pot
4. Hasil analisis kandungan hara pupuk GCU
5. Pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman minggu ke-5

5
6
7
9
12

DAFTAR GAMBAR
Siklus nitrogen global (Sumber : Hofman et al 2004)
Pembuatan pupuk GCU sistem salut (a), dan sistem matriks (b)
Model paralon pencucian
Bentuk pupuk Gypsum Coated Urea (GCU)
Pengaruh jenis pupuk GCU terhadap jumlah N-NH4+ yang tercuci (a), dan
rata-rata jumlah N-NH4+ yang tercuci akibat peningkatan dosis pemberian (b).
6. Pengaruh perbedaan dosis terhadap jumlah: (a) N-NO3-; (c) N-mineral, ratarata jumlah: (b) N-NO3-; (d) N-mineral akibat pemberian pupuk GCU.
7. Pola pertumbuhan tinggi tanaman 8 MST
8. Bobot kering tanaman
9. Serapan nitrogen jagung
10. Serapan kalsium jagung
1.
2.
3.
4.
5.

2
5
6
8
10
11
14
15
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Data analisis awal tanah percobaan pencucian dan uji tanaman
Konsentrasi N-NH4+ pada percobaan pencucian
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-3
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-6
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-9
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-12
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-15
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-18
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-21
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-24
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-27
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ yang tercuci pada hari ke-30
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NH4+ pada percobaan pencucian
selama 30 hari
Konsentrasi N-NO3- pada percobaan pencucian
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-3
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-6
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-9
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-12
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-15
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-18
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-21

18
18
19
19
19
19
20
20
20
21
21
21
22
22
22
23
23
23
23
24
24

22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.

Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-24
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-27
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- yang tercuci pada hari ke-30
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-NO3- pada percobaan pencucian
selama 30 hari
Jumlah N-mineral yang tercuci pada percobaan pencucian
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-3
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-6
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-9
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-12
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-15
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-18
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-21
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-24
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-27
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi N-mineral yang tercuci pada hari ke-30
Hasil analisis sidik ragam jumlah N-mineral yang tercuci selama 30 hari
Pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-2
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-3
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-4
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-5
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-6
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-7
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman pada
minggu ke-8
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap bobot kering jagung
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap serapan N jagung
Hasil analisis sidik ragam pengaruh pupuk GCU terhadap serapan Ca jagung
Data sifat tanah setelah percobaan pencucian 1 bulan
Model percobaan pencucian
Uji kelarutan pupuk GCU
Dokumentasi percobaan pencucian
Pengacakan perlakuan percobaan uji tanaman
Dokumentasi percobaan uji tanaman
Jumlah kebutuhan air pada percobaan pencucian

24
25
25
25
26
26
26
27
27
27
27
28
28
28
29
29
29
30
30
30
31
31
31
32
32
32
32
33
33
33
34
34
35
36

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara esensial yang diperlukan oleh
tumbuhan dalam jumlah yang banyak. Nitrogen sangat diperlukan oleh tumbuhan
untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti
daun, batang, dan akar.
Saat ini, pupuk urea (CO(NH2)2) merupakan jenis pupuk nitrogen yang
paling banyak ditemui di pasaran dan digunakan oleh petani di Indonesia. Akan
tetapi, pupuk ini mudah larut dalam air sehingga berpeluang mengalami
pencucian. Wu et al. (2008) melaporkan kehilangan N terbanyak melalui
pencucian sebesar 44% dan sisanya melalui volatilisasi serta denitrifikasi,
sehingga pemupukan menjadi tidak efisien. Selain itu, kehilangan N melalui
pencucian dapat berkontribusi sebagai sumber pencemaran lingkungan terutama
pada badan air.
Salah satu upaya untuk mengurangi kehilangan N akibat pencucian yaitu
dengan memodifikasi sifat fisik pada pupuk urea dengan membuat pupuk lambat
tersedia (slow release). Hambatan fisik pada pupuk slow release, dapat
memperlambat interaksi antara pupuk urea dengan air sehingga urea akan lebih
tahan pelarutan oleh air. Cara ini mengurangi kehilangan N melalui pencucian.
Prakoso (2006) melaporkan bahwa melalui bentuk slow release dapat
menghemat 30% penggunaan pupuk urea. Salah satu alternatif bahan pelapis yang
dapat digunakan untuk melapisi pupuk urea yaitu Gibsum (CaSO4.2H2O). Gibsum
merupakan limbah dari pembuatan asam fosfat. Gibsum sebagai barang yang
diperdagangkan umumnya mengandung 90% CaSO4.2H2O (Banurea 2011).
Gibsum merupakan salah satu mineral yang tidak larut dalam air pada waktu yang
lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, gibsum dapat mengubah sifat urea yang
mudah menguap dan cepat larut menjadi lambat tersedia (slow release) sehingga
tanaman dapat mengambil N secara bertahap sesuai dengan kebutuhannya.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuat pupuk urea bersalut gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU) dengan
berbagai perbedaan kandungan hara
2. Mengukur konsentrasi N-NH4+ dan N-NO3- dari pupuk GCU dari percobaan
pencucian
3. Menentukan pengaruh pupuk GCU terhadap pertumbuhan dan serapan
nitrogen, serta kalsium pada jagung

2

TINJAUAN PUSTAKA
Nitrogen (N) dalam Tanah
Menurut Leiwakabessy et al (2003), Nitrogen tanah dikelompokkan dalam
dua bentuk yaitu bentuk organik dan anorganik. Bentuk N-organik pada umumnya
terdapat dalam bentuk asam amino, protein, gula-gula amino dan lain-lain. Bentuk
N-anorganik ialah NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO, dan gas N2 yang hanya
dimanfaatkan oleh Rhizobium. Tanaman mengambil nitrogen dalam bentuk NH4+,
dan NO3-. Siklus nitrogen secara global disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus nitrogen global (Sumber : Hofman et al 2004)
Nitrogen dalam tanah berasal dari gas N2 di udara yang diubah menjadi
bentuk NH4+ melalui fiksasi biologik dan fiksasi pabrik. Proses fiksasi secara
biologi merupakan cara yang sangat penting dalam penyediaan nitrogen bagi
tumbuhan. Selain berasal dari fiksasi biologik, nitrogen di dalam tanah juga
berasal dari pupuk-pupuk N dari fiksasi pabrik yang diberikan serta bahan organik
pada tanah tersebut. Perubahan N-organik menjadi N-anorganik disebut sebagai
mineralisasi, sedangkan perubahan bentuk N-anorganik menjadi N-organik
disebut dengan proses imobilisasi.
Perubahan bentuk nitrogen dari bahan organik dalam tanah dapat melalui
berbagai macam proses antara lain proses aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi.
Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dalam dekomposisi bahan organik
(protein) oleh mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukan ammonium dari
dekomposisi senyawa amino oleh mikroorganisme. Nitrifikasi adalah oksidasi
ammonium (N-NH4+) menjadi nitrit (N-NO2-) yang dilakukan bakteri
Nitrosomonas kemudian (N-NO2-) menjadi (N-NO3-) yang dilakukan oleh
Nitrobacter (Hardjowigeno 2007).
Kehilangan nitrogen dalam tanah dapat disebabkan karena proses
volatilisasi, denitrifikasi, aliran permukaan, pemanenan, dan pencucian (leaching).

3
Volatilisasi amoniak (penguapan amoniak) dari pupuk dipengaruhi oleh faktorfaktor tanah (pH, kadar CaCO3, KTK, tekstur), suhu udara, kelembaban jenis
pupuk ammonium, dosis pupuk ammonium dan dalamnya penempatan pupuk.
Penguapan amoniak meningkat dengan meningkatnya pH, kadar CaCO 3, suhu,
dan taraf ammonium. Kehilangan ini dapat diatasi dengan memperhatikan cara
pemberiannya sehingga kehilangan nitrogen dari pupuk karena adanya penguapan
dapat dikurangi. Denitrifikasi merupakan perubahan oksida nitrogen seperti nitrat
(NO3-) dan nitrit (NO2-) menjadi bentuk yang lebih tereduksi seperti gas-gas N2,
nitrous oxide (N2O), nitric oxide (NO), dan NH3 (Leiwakabessy et al 2003).
Pupuk Urea dan Permasalahannya
Menurut Soepardi (1983) urea merupakan gabungan dari ammonia dan
karbondioksida yang digambarkan oleh persamaan reaksi sebagai berikut:
2NH3 + CO2 ↔ NH2COONH4 ↔ NH2CONH2 + 2H2O
Penyerapan nitrogen oleh tumbuhan akan terjadi setelah urea diuraikan
menjadi ammonium (NH4+) dengan bantuan enzim urease melalui proses
hidrolisis. Pada saat urea diberikan ke dalam tanah, proses hidrolisis akan
berlangsung dengan cepat sehingga sebagian nitrogen akan hilang melalui proses
pencucian (Soepardi 1983).
Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004), salah satu cara untuk
mengurangi kehilangan N dari pupuk urea adalah dengan memodifikasi bentuk
fisik dan kimia pupuk urea sehingga diharapkan dapat memperlambat proses
hidrolisis. Pembuatan pupuk urea dalam butiran besar juga dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan N. Beberapa contoh modifikasi bentuk fisik urea antara lain :
urea super granul, dan sulfur coated urea (SCU).
Slow Release Fertilizer (SRF)
Slow dan controlled-release fertilizer adalah suatu pupuk yang
mengandung unsur hara tertentu, dalam suatu bentuk yang dapat menunda
ketersediaan unsur hara tertentu untuk penyerapan dan penggunaan tanaman
setelah aplikasi pupuk tersebut. Penundaan ketersediaan unsur hara ini bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi pemupukan (Trenkel 2010).
Menurut Trenkel (2010), penggunaan pupuk slow release dapat
mengurangi 20-30% kehilangan hara pada aplikasi pemupukan konvensional.
Guertal (2009) juga mengatakan bahwa pupuk slow release memainkan peranan
penting dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk oleh tanaman dengan
mengurangi frekuensi pemupukan, sehingga hal ini dapat mengurangi pencemaran
lingkungan dan mengarah ke perkembangan pertanian berkelanjutan.
Karakteristik Bahan Pelapis (Coating Agent)
Bahan pelapis yang dapat digunakan untuk melapisi urea salah satunya
yaitu Gibsum (CaSO4.2H2O). Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004),
kandungan gibsum 23.1% Ca dan 18.6% S. Selain itu, Gibsum memiliki sifat
yang tidak mudah larut dalam air. Kegunaan Gibsum menurut Banurea (2011)

4
salah satunya adalah sebagai pupuk. Pada awal abad ke-19, gibsum digunakan
dalam jumlah besar sebagai pupuk di ladang gandum Amerika Serikat.
Selain gibsum, bahan lain yang dapat ditambahkan pada pelapis pupuk
atau perekat salah satunya adalah arabic gum atau gum arab. Gum arab berasal
dari getah yang dihasilkan oleh tanaman akasia (Acacia sp.). Keunggulan Arabic
gum menurut Williams et al. (2000), adalah dapat larut dalam air dingin,
kelarutannya dalam air cukup tinggi yaitu >50%, pengemulsi yang baik,
berviskositas rendah pada konsentrasi tinggi, dan memiliki pH berkisar antara
4.0-4.5.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Agustus 2014 di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Percobaan uji tanaman dilakukan di
Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah Pupuk Urea, Gibsum dan Gum Arab, Bahan
Tanah Latosol dan serangkaian bahan kimia untuk analisis Ammonium, Nitrat,
dan Kalsium. Selain itu, digunakan juga jagung hibrida varietas Pertiwi.

Alat
Alat yang digunakan adalah Granulator, Sprayer, Nyiru, Paralon
pencucian, Mortar, Ayakan, Ember (tampungan perkolat) dan serangkaian alat
gelas di laboratorium unuk analisis Ammonium, Nitrat, dan Kalsium.

Pembuatan Pupuk Gypsum Coated Urea (GCU)
Pembuatan pupuk GCU dilakukan dengan membuat dua sistem penyalutan
yaitu sistem salut tunggal dan sistem matriks. Perbedaan dari dua sistem
penyalutan ini yaitu pada sistem salut tunggal bahan gibsum yang diberikan
dibuat menyelimuti permukaan setiap butir urea. Pada sistem matriks, urea
dihaluskan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan bahan gibsum (diaduk
rata) sehingga urea masuk kedalam adonan bahan gibsum.
Proses pembuatan pupuk ini dilakukan dengan mengkombinasikan urea,
gibsum, dan gum arab sesuai dengan rancangan yang disajikan pada Tabel 1.
Tahapan pembuatan pupuk ini disajikan pada Gambar 2. Setelah pupuk diperoleh,
selanjutnya dilakukan analisis N-total, kalsium, dan sulfat yang terdapat pada
pupuk.

5

Tabel 1. Rancangan perbandingan urea, gibsum, dan gum arab serta kandungan
nitrogen dalam pupuk
N dalam Kode
Urea* Gibsum Gum Arab
Jenis Pupuk
Pupuk
Pupuk ----------------(g)--------------Pupuk GCU Salut 1
40%
S1
870
110
20
Pupuk GCU Salut 2
35%
S2
760
200
40
Pupuk GCU Matriks 1
40%
M1
870
110
20
Pupuk GCU Matriks 2
35%
M2
760
200
40
*Pertimbangan urea 46%N

Tahapan pembuatan pupuk GCU
Urea di masukkan ke
dalam granulator

Urea yang telah halus,
kemudian dicampurkan
dengan Gibsum, lalu di
masukkan ke dalam
granulator

Gibsum dicampurkan
dengan Gum Arab dan
Aquadest (4:1),
kemudian di semprotkan
ke permukaan urea
menggunakan sprayer

Gum arab dan aquadest
ditambahkan dengan
perbandingan 4:1

Pupuk dikeringkan pada
suhu 40°C

Pupuk dikeringkan pada
suhu 40°C

(b)
(a)
Gambar 2. Pembuatan pupuk GCU sistem salut (a), dan sistem matriks (b)
Kandungan Amonium (N-NH4+) dan Nitrat (N-NO3-) dengan Percobaan
Pencucian
Percobaan pencucian dilakukan dalam pipa paralon yang dirancang khusus
dengan diameter 16 cm dan panjang 40 cm (Gambar 3) yang disusun pada meja
model percobaan pencucian (Lampiran 21). Pada pipa paralon tersebut
dimasukkan tanah seberat 5.0 kg bobot kering mutlak (BKM) yang telah lolos
saringan 2 mm. Selanjutnya untuk memperoleh kepadatan yang sama, tanah
tersebut dipadatkan dengan cara diketukkan ke lantai masing-masing sebanyak
200 ketukan dan dilembabkan hingga mencapai keadaan kapasitas lapang. Setelah

6
tanah siap, dilakukan aplikasi pupuk dengan dosis seperti Tabel 2. (Dosis
didasarkan dari hasil analisis Urea dan GCU yang akan diuji).
Jumlah air yang diberikan sesuai dengan data curah hujan wilayah Dramaga
(3537.5 mm/tahun) yaitu sebesar 584.7 ml setiap aplikasi dengan selang waktu
pemberian 3 hari sekali selama satu bulan. Penetapan konsentrasi NH4+ dalam air
perkolasi dilakukan dengan metode Kjeldahl dan konsentrasi NO3- ditetapkan
dengan menggunakan UV-VIS spectrophotometer (Shimadzu UV-1201) pada
panjang gelombang 210 nm dan 275 nm.

Keterangan :
1. Kawat Kassa
2. Tanah + Pupuk
3. Kain Kassa
4. Besi Pengait
Gambar 3. Model paralon pencucian
Tabel 2. Perlakuan percobaan pencucian
Jenis Perlakuan
Pupuk Urea Dosis 1
Pupuk Urea Dosis 2
Pupuk GCU Salut 1 Dosis 1
Pupuk GCU Salut 1 Dosis 2
Pupuk GCU Salut 2 Dosis 1
Pupuk GCU Salut 2 Dosis 2
Pupuk GCU Matriks 1 Dosis 1
Pupuk GCU Matriks 1 Dosis 2
Pupuk GCU Matriks 2 Dosis 1
Pupuk GCU Matriks 2 Dosis 2
Keterangan:

Kode Perlakuan
Std 1
Std 2
S1D1
S1D2
S2D1
S2D2
M1D1
M1D2
M2D1
M2D2

Bobot Pupuk
(g/kolom)
0.6937
1.3874
0.8096
1.6192
0.8718
1.7436
0.8569
1.7138
0.9082
1.8164

Salut 1 dan Matriks 1 : 40%N ; Salut 2 dan Matriks 2 : 35%N
Dosis 1 (D1) : 270 mg N/kolom; Dosis 2 (D2) : 540 mg N/kolom

Percobaan Aplikasi Pupuk terhadap Pertumbuhan Jagung
Uji pupuk GCU dilakukan pada jagung hibrida varietas Pertiwi untuk
mengetahui respon tanaman terhadap pupuk GCU. Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
sebagai berikut:
Yij = µ + ti +
(i:1,2,3,…,10 ; j:1,2,3,…,10)
Keterangan :
Yij
= Pengaruh perlakuan ke-i, dan ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
ti
= Pengaruh perlakuan ke-i
= Galat Percobaan

7
Percobaan ini terdiri dari 10 perlakuan (2 standar, 8 pupuk GCU), dan
diulang 3 kali sehingga total unit percobaan 30. Bahan tanah yang digunakan
sebanyak 14.18 kg (BKM)/pot, masing-masing diberi kapur sebanyak 1.5 ton/Ha
(30 g/pot), pupuk SP-36 sebanyak 300 kg/Ha (6 gram/pot), dan pupuk KCl
sebanyak 200 kg/ha (4 g/pot) yang diberikan 2 kali (awal masa tanam dan 4
Minggu Setelah Tanam, MST). Pupuk nitrogen diberikan dosis setara dengan urea
300 kg/Ha untuk dosis 1 dan dosis 2 diberikan 2 kali lipat dari dosis 1, dosis
pupuk nitrogen per pot tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Dosis pupuk per pot
Kode Perlakuan
Std 1
Std 2
S1D1
S1D2
S2D1
S2D2
M1D1
M1D2
M2D1
M2D2

Pupuk N
2.335
4.670
7.002
14.004
7.540
15.080
7.411
14.822
7.855
15.080

Dosis Pupuk (g/pot)
SP-36
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00
6.00

KCl
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00
4.00

Pada tiap pot ditanam dua benih jagung, setelah 1 MST dilakukan
penjarangan, dan dipertahankan satu tanaman per pot. Penyiangan dan
pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Tinggi
tanaman diamati setiap minggu sejak 2 MST sampai 8 MST. Pengacakan
perlakuan disajikan pada Lampiran 24. Pemberian pupuk GCU pada percobaan uji
tanaman, dilakukan satu kali pada masa awal tanam.
Analisis Data
Rancangan Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua factorial. Data yang diperoleh selanjutnya
di sidik ragam. Pada perlakuan yang berpengaruh nyata selanjutnya dilakukan
analisis lanjutan dengan menggunakan uji wilayah berganda Duncan (Duncan
Multiple Range Test, DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Pupuk Urea Bersalut Gibsum (Gypsum Coated Urea, GCU)
Pembuatan pupuk lambat tersedia (slow release fertilizer, SRF) dalam
penelitian ini menggunakan pencampuran urea, gibsum, dan perekat gum arab
yang dinotasikan dengan lambang S1, S2, M1, dan M2. Bentuk pupuk yang
dihasilkan disajikan pada Gambar 4.

8

S1

S2

M1

M2

Gambar 4. Bentuk pupuk Gypsum Coated Urea (GCU)
Gambar 4. menunjukkan bahwa pupuk yang dihasilkan berbentuk granul
dengan ukuran 3-5 mm. Secara fisik, perbedaan keempat pupuk tersebut terletak
pada ukuran butir. Pupuk GCU dengan sistem matriks memiliki ukuran butir yang
relatif lebih seragam jika dibandingkan dengan sistem salut. Hal ini dikarenakan
adanya proses penghalusan urea pada pembuatan pupuk sistem matriks, sehingga
dapat digranulasikan secara seragam, tidak tergantung pada ukuran urea atau
gumpalan butiran urea.
Selain urea dan gibsum, komponen penting dalam pembuatan pupuk ini
yaitu adanya gum arab yang berperan sebagai perekat. Gum arab dipilih karena
merupakan polimer alam yang bersifat stabil dalam larutan asam. Selain itu, gum
arab dikenal pula sebagai gum acacia yang merupakan getah dari penyadapan
pada batang tumbuhan Acacia (Mahendran et al. 2008). Hasil analisis kandungan
hara pupuk GCU dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis kandungan hara pupuk GCU
Jenis Pupuk
Kandungan Pupuk
S1
S2
M1
N-Total (%)
33.36
30.97
31.51
Kalsium (%)
2.85
5.28
3.99
Sulfat (%)
6.45
10.79
7.37
Kadar Air (%)
2.31
3.13
7.37

M2
29.73
6.65
7.50
2.99

Kandungan N yang diinginkan pada pupuk GCU yaitu 40% N pada pupuk
S1 dan M1, serta 35% N pada pupuk S2 dan M2. Hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa kadar nitrogen pada pupuk S1 dan M1 sebesar 33.36% dan
31.51%, sedangkan pada pupuk S2 dan M2 sebesar 30.97% dan 29.73%.
Kandungan nitrogen pada pupuk GCU yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini karena kadar urea yang digunakan sebagai bahan pembuatan
pupuk ini hanya berkadar 38.92%N, selain itu pembuatan pupuk ini dilakukan
dengan bantuan granulator sederhana, sehingga memungkinkan masih terdapat
sisa bahan pada alat tersebut. Menurut Carney (2008), dalam pembuatan pupuk
slow release, kandungan N yang optimum pada pupuk tersebut sebesar 30-40% N.
Pupuk GCU yang diperoleh tidak hanya menyumbangkan nitrogen, tetapi
juga dapat menyumbangkan kalsium dan sulfat. Kandungan kalsium dan sulfat
yang terdapat pada pupuk GCU berasal dari gibsum yang digunakan sebagai
bahan pelapis pupuk. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004), gibsum
merupakan pupuk yang tergolong dalam dwi unsur yaitu Ca dan S. Kandungan Ca
dan S pada gibsum (CaSO4.2H2O) masing-masing sebesar 23.1% dan 18.6%.

9
Jumlah Ammonium (N-NH4+) dan Nitrat (N-NO3-) yang terdapat pada
Perkolat (N-mineral yang tercuci)

3.50

2.00

3,01a

3.00
2.50
2.00

1,65b
1,31b

1.50

1,32b

1,06b

1.00
0.50

Jumlah N-NH4+ (mg/L)

Jumlah N-NH4+ (mg/L)

Pencucian nitrogen dari pupuk dianalisis berdasarkan konsentrasi
ammonium (N-NH4+) dan nitrat (N-NO3-) melalui metode pencucian. Proses
pencucian nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat dari pupuk yang telah
dicampur dengan tanah dalam penelitian ini diawali dengan pelarutan pupuk GCU
oleh air melalui percobaan pencucian yang diasumsikan sebagai kejadian hujan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pupuk berpengaruh nyata
pada jumlah N-NH4+ yang tercuci hari ke-21, 24, 27, dan 30 (Lampiran 9-12),
tetapi jenis dan dosis pupuk tidak berpengaruh nyata pada hari ke-3, 6, 9, 12, 15,
dan 18 (Lampiran 3-8).
Hasil analisis ragam pada total pencucian selama 30 hari menunjukkan
bahwa jenis pupuk berpengaruh nyata terhadap jumlah N-NH4+ yang tercuci pada
percobaan pencucian (Lampiran 13). Hasil Uji Duncan jumlah nitrogen dalam
bentuk N-NH4+ selama 30 hari disajikan pada Gambar 5a, dan rata-rata pencucian
N-NH4+ akibat peningkatan dosis pemberian disajikan pada Gambar 5b.

0.00

(a)

1.75

1.69

1.64

1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00

Std

S1

S2
M1
Jenis Pupuk

M2

(b)

D1

D2
Dosis

Gambar 5. Pengaruh jenis pupuk GCU terhadap jumlah N-NH4+ yang tercuci
(a), dan rata-rata jumlah N-NH4+ yang tercuci akibat peningkatan
dosis pemberian (b). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di
atas balok data tidak berbeda nyata 1% Uji Wilayah Duncan
(DMRT).
Gambar 5a menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah N-NH4+ yang
tercuci dari Std ke S1, S2, M1, dan M2 secara berturut-turut sebesar 45.18%,
64.78%, 56.48%, 56.15%. Penurunan ini disebabkan adanya halangan fisik dari
lapisan gibsum dan gum arab pada pupuk GCU, sehingga dapat memperlambat
pelarutan pupuk nitrogen dalam tanah. Halangan fisik ini yang menyebabkan
terhambatnya pupuk mengalami kontak langsung dengan air. Gibsum yang
diberikan pada pupuk urea berperan sebagai selimut yang membantu melindungi
urea dari pelarutan. Gibsum merupakan merupakan salah satu mineral yang tidak
larut dalam air pada waktu yang lama, sehingga gibsum dapat mengubah sifat urea
yang mudah menguap dan cepat larut menjadi lambat tersedia (slow release).
Menurut Vashishtha et al (2010), gibsum merupakan pelapis yang baik dalam

10
pembuatan pupuk urea berlapis karena mampu melindungi kehilangan nitrogen
dalam tanah melalui denitrifikasi, volatilisasi, maupun pencucian.
Gambar 5b merupakan grafik nilai rata-rata pencucian akibat adanya
peningkatan dosis pemberian pupuk. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada
Gambar 5b menunjukkan bahwa pada D1 dan D2 relatif tidak memberikan
perbedaan jumlah N-NH4+ yang tercuci, sehingga pemberian dosis pupuk GCU
pada D2 (dosis tinggi) relatif lebih menguntungkan karena jumlah yang hilang
akibat pencucian relatif sama dan jumlah N yang tertahan oleh tanah relatif lebih
tinggi.
Jumlah nitrogen yang hilang melalui pencucian pada pupuk GCU juga
dilihat dalam bentuk nitrat (N-NO3-). Pencucian nitrogen dalam bentuk
ammonium dan nitrat jika dijumlahkan disebut sebagai pencucian N-mineral dari
pupuk yang ditambahkan. Hasil analisis ragam pada jumlah N-NO3- dan Nmineral yang tercuci menunjukkan bahwa peningkatan dosis berpengaruh nyata
pada jumlah N-NO3- dan N-mineral yang tercuci hari ke-3, 24, 27, dan 30, tetapi
jenis dan dosis pupuk tidak berpengaruh nyata pada hari ke-6, 9, 12, 15, 18, dan
21 (Lampiran 15-24; Lampiran 27-36). Hasil analisis ragam total pencucian NNO3- dan N-mineral selama 30 hari menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk
berpengaruh nyata terhadap jumlah N-NO3- dan N-mineral yang tercuci
(Lampiran 26 dan Lampiran 37).
Gambar 6a dan 6c menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah NNO3- dan N-mineral yang tercuci dari dosis 1 (D1) ke dosis 2 (D2) masing-masing
sebesar 21.33% dan 21.29%. Namun, berdasarkan Uji Duncan menunjukkan
bahwa peningkatan jumlah N-NO3- yang tercuci dari D1 ke D2 berbeda nyata
(Gambar 6a), tetapi peningkatan jumlah N-mineral yang tercuci dari D1 ke D2
tidak berbeda nyata (Gambar 6c). Peningkatan ini disebabkan oleh jumlah
ammonium yang terlarut pada D2 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan D1,
sehingga dengan adanya suasana oksidatif yang terdapat pada tanah menyebabkan
proses perubahan ammonium menjadi nitrat (nitrifikasi) pada D2 relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan D1. Pada penelitian ini, faktor yang paling
berpengaruh dalam nitrifikasi yaitu ketersediaan ammonium di dalam tanah.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nitrifikasi antara lain ketersediaan
ammonium di dalam tanah, populasi mikroorganisme, pH tanah, aerasi tanah,
temperatur, dan kelembaban tanah (Dubey 1968; De Boer dan Kester 1996; Krave
et al. 2002).
Gambar 6b dan 6d merupakan grafik nilai rata-rata jumlah N-NO3- dan Nmineral yang tercuci akibat pemberian pupuk GCU. Gambar 6b menunjukkan
bahwa jumlah N-NO3- yang tercuci pada perlakuan jenis pupuk cenderung terjadi
penurunan jika dibandingkan dengan standar. Penurunan ini masing-masing
sebesar 13.56%, 8.55%, 10.50%, dan 9.94%. Demikian pula dengan jumlah Nmineral yang tercuci masing-masing sebesar 13.66%, 8.73%, 10.65%, dan
10.08%. Penurunan jumlah N-NO3- dan N-mineral yang tercuci dari Std ke
perlakuan S1, S2, M1, dan M2 disebabkan adanya halangan fisik dari lapisan
gibsum dan gum arab pada pupuk GCU, sehingga dapat memperlambat pelarutan
pupuk nitrogen dalam tanah.

11
976,79b

800

1000
953.75

Jumlah N-NO3- (mg/L)

Jumlah N-NO3- (mg/L)

1000
768,40a

600
400
200

950
900

D2

800

Dosis

Std

S1

(b)

S2
M1
Jenis Pupuk

M2

1000

1200
978,43a

1000
770,10a

600
400
200

Jumlah N-mineral (mg/L)

Jumlah N-mineral (mg/L)

824.42

750
D1

800

858.99
853.58

850

0

(a)

872.22

956.77

950
900

873.28
860.31
854.89

850

826.07

800
750

0
D1

D2

Std

S1

S2

M1

M2

(d)
(c)
Dosis
Jenis Pupuk
Gambar 6. Pengaruh perbedaan dosis terhadap jumlah: (a) N-NO3-; (c) N-mineral,
rata-rata jumlah: (b) N-NO3-; (d) N-mineral akibat pemberian pupuk
GCU. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di atas balok data
tidak berbeda nyata 5% Uji Wilayah Duncan (DMRT).
Pola pencucian nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat (N-mineral)
pada masing-masing jenis pupuk memiliki perbedaan. Pada perlakuan sistem salut
1 (S1) memiliki pencucian N-mineral yang lebih rendah dibandingkan dengan
sistem salut 2 (S2). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kelarutan
dan kandungan N-Total yang terdapat pada masing-masing jenis pupuk.
Perbedaan tingkat kelarutan pada masing-masing jenis pupuk ditentukan oleh
kandungan N-Total yang terdapat pada pupuk. Kandungan N-Total pada
perlakuan S1 lebih tinggi dibandingkan dengan S2 (Tabel 4). Semakin tinggi
kandungan N-Total pada pupuk, maka jumlah N yang akan terlarut diduga akan
semakin tinggi, sehingga pencucian N akan lebih tinggi pada pupuk yang
memiliki kandungan N-Total lebih tinggi. Namun, pada penelitian ini perlakuan
S1 memiliki pencucian N-mineral yang lebih rendah dibandingkan dengan S2.
Ketidaksesuaian antara kandungan N-Total dan tingkat kelarutan pada penelitian
ini karena pembuatan pupuk ini dilakukan secara manual dengan bantuan alat
granulator sederhana sehingga memungkinkan bahan pelapis tidak melapisi butir
urea secara merata. Pelapisan pada perlakuan S2 diduga kurang merata, sehingga
lebih banyak jumlah pupuk urea yang larut dan mengalami pencucian. Pada
perlakuan sistem matriks 1 (M1) memiliki pencucian N-mineral yang relatif sama
dengan sistem matriks 2 (M2). Hal ini karena kandungan N-Total dan tingkat

12
kelarutan pada perlakuan M1 dan M2 relatif sama, sehingga jumlah N-mineral
yang tercuci pada perlakuan M1 dan M2 relatif sama. Selain itu, adanya proses
penghalusan pada sistem matriks menyebabkan pupuk ini dapat digranulasikan
secara seragam dan merata, sehingga jumlah pupuk yang larut antara M1 dan M2
relatif sama.
Perbedaan jumlah N-mineral yang tercuci juga terdapat pada perlakuan
sistem salut dan matriks. Selisih kandungan N-Total pada sistem salut sebesar
2.39%N, sedangkan M1 dan M2 memiliki selisih kandungan N-Total sebesar
1.78% (Tabel 4). Hal ini menyebabkan jumlah N-mineral yang tercuci pada sistem
matriks relatif sama dibandingkan dengan sistem salut. Selain itu, adanya proses
penghalusan dan pencampuran pada sistem matriks menyebabkan kandungan
bahan pelapis pada pupuk sistem matriks relatif lebih merata dibandingkan
dengan sistem salut, sehingga jumlah N-mineral yang tercuci pada sistem matriks
relatif sama antara M1 dan M2.
Pada pupuk lambat tersedia yang dibuat dengan cara penyalutan,
pelepasan hara melalui salut/membran tidak dipengaruhi secara langsung oleh
sifat-sifat tanah, seperti pH tanah, salinitas tanah, tekstur, aktivitas mikroba,
potensial redoks, kekuatan ion larutan tanah, tetapi lebih dipengaruhi oleh suhu
dan permeabilitas salut dari pupuk tersebut (Trenkel 2010). Permeabilitas salut
dapat dipengaruhi oleh ketebalan dan kerataan lapisan salut. Dengan demikian,
semakin tebal dan merata lapisan salut, tingkat kelarutan pupuk akan semakin
rendah.
Pengaruh Pupuk GCU terhadap Pertumbuhan dan Serapan N dan Ca pada
Jagung
Pengaruh pupuk GCU terhadap pertumbuhan jagung diamati melalui
pengukuran tinggi tanaman sejak 2 sampai 8 MST (Lampiran 38). Hasil analisis
ragam (Lampiran 39-45) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jenis dan
dosis pupuk berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 2, 3, 4,
dan 5 MST, sedangkan pada 6 hingga 8 MST tidak nyata pada sumber keragaman
jenis maupun dosis pupuk. Hasil Uji Duncan pengaruh pupuk GCU terhadap
tinggi tanaman pada minggu ke-5 disajikan pada Tabel 5, dan pola pertumbuhan
tinggi tanaman pada minggu ke-8 disajikan pada Gambar 7.
Tabel 5. Pengaruh pupuk GCU terhadap tinggi tanaman minggu ke-5

Perlakuan
Standar
S1
S2
M1
M2
Rata-Rata

D1
D2
Rata-Rata
-------------------------------------cm------------------------------------64.33a
105.00b
84.67
89.33b
82.33a
85.83
81.33a
75.33a
78.33
92.33b
78.00a
85.17
70.33a
83.00a
76.67
79.53
84.73

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata 5% Uji Wilayah Duncan (DMRT)

13
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada dosis 1 (D1) pertumbuhan tertinggi
terdapat pada perlakuan M1 dengan semua tanaman yang mendapat GCU lebih
tinggi dari standar. Hal ini karena pada dosis 1, perlakuan Standar 1 memiliki
kandungan N yang mudah terlarut lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk GCU
(Gambar 5 dan Gambar 6), sehingga resiko pencucian pada perlakuan standar 1
lebih tinggi dan mengakibatkan rendahnya tinggi jagung perlakuan standar 1
dibandingkan perlakuan lainnya.
Pertumbuhan pada dosis 2 (D2) tertinggi terdapat pada standar 2 dengan
pola semua perlakuan pupuk GCU lebih rendah dari pertumbuhan jagung pada
pupuk standar 2. Hal ini karena ketersediaan N yang tinggi pada perlakuan standar
2, mampu memenuhi ketersediaan N hingga berakhirya masa pertumbuhan
vegetatif jagung.
Selain itu, tinggi jagung antara dosis 1 dan dosis 2 pada seluruh perlakuan
GCU relatif tidak berbeda. Akan tetapi, tinggi jagung pada perlakuan standar,
relatif berbeda antara dosis 1 dan dosis 2. Hal ini karena kelarutan N yang relatif
sama (Gambar 5 dan Gambar 6) pada perlakuan GCU dosis 1 dan dosis 2,
menyebabkan pertumbuhan jagung yang relatif tidak berbeda antara kedua dosis.
Pada perlakuan standar, standar dosis 2 memiliki kelarutan N yang lebih tinggi
dibandingkan standar dosis 1, sehingga resiko pencucian pada standar dosis 2
relatif lebih besar dibandingkan dengan standar dosis 1. Meskipun standar dosis 2
memiliki resiko pencucian yang lebih besar dibandingkan dengan standar dosis 1,
namun karena dosis jauh lebih besar maka jumlah N yang tertahan oleh tanah
masih memenuhi untuk kebutuhan vegetatif jagung sehingga pertumbuhan standar
dosis 2 lebih tinggi dibandingkan dengan standar dosis 1. Menurut Moore et al
(1996), nitrogen yang berasal dari pupuk urea dengan mudah tersedia bagi
tanaman sehingga memberikan respon lebih cepat pada awal percobaan. Pupuk
nitrogen slow release akan memberikan respon awal yang lebih lambat karena
sumber nitrogen pupuk slow release dibungkus (coating) sehingga memerlukan
waktu yang lama untuk tersedia bagi tanaman. Pola tinggi tanaman pada Tabel 5
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk GCU memiliki pertumbuhan tinggi
tanaman yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan standar 2.
Namun, pada akhir masa percobaan (8 MST) pertumbuhan tinggi tanaman pada
pupuk GCU dan perlakuan standar 2 memiliki karakter pertumbuhan tinggi
tanaman yang hampir sama. Pola pertumbuhan tinggi tanaman pada minggu ke-8
disajikan pada Gambar 7.
Tinggi Tanaman (cm)

140
120
100

126.5

115.2
93.5

133.0

118.5

122.3
125.8

109.2
118.3
120.0

80
60
40
20
0
Standar

S1

S2
Jenis Pupuk

M1
Dosis 1

M2
Dosis 2

Gambar 7. Pola pertumbuhan tinggi tanaman 8 MST

14

Bobot Kering (g/pot)

Gambar 7 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tinggi tanaman 8 MST
pada perlakuan pupuk GCU memberikan pola yang relatif sama antara sistem
salut dan matriks. Kedua sistem ini diduga dapat menyediakan unsur hara yang
relatif sama pada dosis 1 dan dosis 2, sehingga perbedaan pemberian dosis akan
menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang relatif sama. Pola pertumbuhan
tinggi tanaman pada perlakuan standar 1 dan standar 2 relatif memberikan
perbedaan tinggi tanaman pada minggu ke-8, sehingga perbedaan pemberian dosis
akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman. Selain itu, pola
pertumbuhan jagung pada perlakuan GCU dan standar pada 8 MST memiliki
tinggi tanaman yang sama, sehingga penggunaan pupuk GCU diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman pada periode tanam
berikutnya.
Pertumbuhan tanaman juga dapat dilihat dari besarnya nilai bobot kering
tanaman. Menurut Gardner (1991), bobot kering tanaman dapat menunjukkan
keadaan senyawa organik keseluruhan yang ada pada tanaman. Umumnya bila
bobot kering tinggi, maka senyawa organik yang dihasilkan tanaman juga tinggi.
Bobot kering tanaman yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar
8.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

39.67

31.83
23.64

23.78

24.20 23.78

24.35
19.55
13.03

12.13

Std

S1

S2
Jenis Pupuk

M1
Dosis 1

M2
Dosis 2

Gambar 8. Bobot kering tanaman
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada dosis 1 perlakuan GCU memiliki
bobot kering tanaman lebih tinggi dibandingkan standar, sedangkan pada dosis 2
perlakuan standar memiliki bobot kering tanaman lebih tinggi dibandingkan
perlakuan GCU meskipun secara statistika keduanya tidak berpengaruh nyata.
Perbedaan bobot kering tanaman pada dosis 1 dan dosis 2 sangat dipengaruhi oleh
perbedaan tingkat kelarutan antara standar dengan pupuk GCU pada masingmasing dosis pupuk yang diterapkan. Menurut Heiniger et al. (2014), penggunaan
pupuk slow release dapat meningkatkan bobot kering dan serapan N pada
tanaman. Serapan hara yang dianalisis pada penelitian ini yaitu serapan nitrogen
(Gambar 9) dan kalsium (Gambar 10).

Serapan N (mg/tan)

15
700
600
500
400
300
200
100
0

598.12
418.55

409.12 417.44

394.39

385.85

380.87

287,55
207.75

167.88

Std

S1

S2
Jenis Pupuk

M1
Dosis 1

M2
Dosis 2

Gambar 9. Serapan nitrogen jagung

Serapan Ca (mg/tan)

Gambar 9 menunjukkan bahwa pada perlakuan dosis 1, serapan N pada
pupuk GCU (S1, S2, M1, dan M2) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
standar, tetapi pada dosis 2 perlakuan standar memiliki serapan N lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan pupuk GCU, walaupun secara statistika keduanya
tidak berpengaruh nyata. Perbedaan pola serapan N pada dosis 1 dan dosis 2
disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kelarutan antara perlakuan standar
dengan pupuk GCU pada masing-masing dosis yang diterapkan. Semakin tinggi
tingkat kelarutan pada pupuk, bobot kering yang dihasilkan akan semakin besar
dan serapan hara pada tanaman tersebut juga akan semakin tinggi.
Nitrogen dapat tersedia di sekitar perakaran tanaman terutama dengan cara
aliran massa yaitu sebesar 98.8% (Hardjowigeno 2007). Mekanisme aliran massa
ini akan menyebabkan nitrogen yang telah terlarut dari pupuk bergerak menuju
permukaan akar bersama dengan gerakan massa air, sehingga nitrogen akan
tersedia di sekitar perakaran tanaman tersebut. Nitrogen yang telah tersedia di
sekitar perakaran tanaman tersebut, selanjutnya dengan bantuan energi metabolik
akan diserap dan digunakan oleh tanaman untuk pembentukan protein serta
pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada pupuk yang memiliki kelarutan lebih tinggi,
jumlah nitrogen yang tersedia di sekitar perakaran tanaman akan semakin tinggi
pula, sehingga kebutuhan nitrogen untuk memenuhi pertumbuhan vegetatif
tanaman relatif lebih tercukupi dibandingkan dengan pupuk yang memiliki
kelarutan rendah. Selain serapan nitrogen, pada penelitian ini juga menganalisis
serapan kalsium yang disajikan pada Gambar 10.
160
140
120
100
80
60
40
20
0

148.19
108.31
89.02

89.20

85.74

93.58

87.08
77.17

58.78

49.84

Std

S1

S2
Jenis Pupuk

M1

Gambar 10. Serapan kalsium jagung

M2
Dosis 1

Dosis 2

16
Gambar 10 menunjukkan bahwa pada perlakuan dosis 1, serapan kalsium
pada pupuk GCU lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan standar, tetapi pada
dosis 2 perlakuan standar memiliki serapan kalsium yang lebih tinggi
dibandingkan dengan seluruh perlakuan pupuk GCU, meskipun keduanya secara
statistika tidak nyata. Pola ini serupa dengan pola serapan nitrogen yang sangat
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat kelarutan antara pupuk GCU dengan standar
pada masing-masing dosis pupuk yang diterapkan.
Kalsium diserap oleh tanaman dalam bentuk Ca2+ melalui dua cara yaitu
aliran massa sebesar 71.4%, dan intersepsi akar sebesar 28.6% (Hardjowigeno
2007). Penyediaan dan penyerapan kalsium pada tanaman melalui aliran massa
memiliki mekanisme yang serupa dengan serapan nitrogen yaitu bergeraknya
unsur hara menuju permukaan akar bersama dengan gerakan massa air. Selain
melalui aliran massa, kalsium juga diserap melalui mekanisme intersepsi akar.
Mekanisme ini melengkapi penyediaan dan penyerapan kalsium bagi tanaman
melalui pemanjangan akar-akar tanaman yang terus tumbuh menuju unsur hara
yang berada di tempat-tempat yang lebih jauh di dalam tanah. Selanjutnya,
kalsium akan diserap dan digunakan oleh tanaman untuk menyusun dindingdinding sel tanaman, pembelahan sel, dan sangat esensial untuk perkembangan
biji.
Pola serapan nitrogen (Gambar 9) dan kalsium (Gambar 10) relatif sama
dengan pola pertumbuhan tinggi tanaman (Tabel 5, dan Gambar 7) dan bobot
kering tanaman (Gambar 8), dimana pada dosis 1 serapan pada pupuk GCU lebih
tinggi dibandingkan dengan serapan pada perlakuan standar, sedangkan pada
dosis 2 perlakuan standar memiliki serapan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan pupuk GCU. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat
kelarutan antara standar dengan pupuk GCU pada masing-masing dosis pupuk
yang diterapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pupuk GCU yang dihasilkan pada sistem salut mengandung nitrogen sebesar
33.36% (S1) , 30.97% (S2), dan pada sistem matriks mengandung nitrogen
sebesar 31.51% (M1), dan 29.73% (M2).
2. Pupuk GCU baik dalam bentuk salut dan matriks dapat berfungsi sebagai
pupuk lambat tersedia. Gibsum dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
bahan pelapis untuk mengurangi kehilangan nitrogen melalui pencucian dari
pupuk urea.
3. Bentuk slow release yang diperoleh berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi tanaman pada 2 hingga 5 MST dan tidak nyata terhadap serapan
nitrogen serta kalsium pada tanaman.

17
Saran
Pupuk GCU yang dihasilkan masih memerlukan pengembangan untuk
digunakan sebagai pupuk slow release. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai mekanisme pelepasan pupuk GCU di dalam tanah dan pengaruh pupuk
GCU terhadap tanaman tahunan.

DAFTAR PUSTAKA
[Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air,
dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah.
Banurea R. 2011. Pemanfaatan Serbuk Batang Kelapa Sawit sebagai Pengisi pada
Pembuatan Lembaran Plafon Gipsum dengan Bahan Pengikat Poliuretan
[tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Carney F. 2008. New Developments in Sulfur Coating Technology. Charleston
(US): Fertilizer Outlook and Technology Conference.
De Boer W, Kester RA. 1996. Variability of nitrification potentials in patches of
undergrowth vegetation in primary Scats pine stands. J Forest Ecology and
Management. 86: 97-103.
Dubey HD. 1968. Effect of Soil Moisture Levels on Nitrification. Canadian J of
Microbiol. 14: 1348-1350.
Gardner P, Franklin. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta (ID): UI Pr.
Guertal EA. 2009. Slow-release Nitrogen Fertilizer in Vegetable Production.
HorTechnology. 19(1): 16-19.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Heiniger RW, Smith TA, Wiatrak P. 2014. The Impact of The Polymer Coating
NutrisphereTM in Increasing Nitrogen Use Efficiency and Corn Yield.
American J Agric and Biol Science. 9(1): 44-54.
Hofman G, Cleemput OV. 2004. Soil and Plant Nitrogen. Paris (FR): International
Fertilizer Industry Association [IFA].
Krave AS,