Pengelolaan Lanskap Stopover Habitat Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) Berbasis Data Satellite-tracking di Kabupaten Karangasem Bali

PENGELOLAAN LANSKAP STOPOVER HABITAT
SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorhynchus) BERBASIS
DATA SATELLITE-TRACKING DI KABUPATEN
KARANGASEM BALI

PARADITIO BRYAN PRAKOSO

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Lanskap
Stopover Habitat Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) Berbasis Data Satellitetracking di Kabupaten Karangasem Bali adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Paraditio Bryan Prakoso
NIM A44090010

ABSTRAK
PARADITIO BRYAN PRAKOSO. Pengelolaan Lanskap Stopover Habitat Sikep
Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) Berbasis Data Satellite-tracking di Kabupaten
Karangasem Bali. Dibimbing oleh SYARTINILIA.
Sikep Madu Asia (SMA, Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu raptor
migran yang terlacak melalui satelit sejak tahun 2003. Migrasi SMA ke timur
Indonesia melewati Kabupaten Karangasem sebagai tempat singgah dalam
bermigrasi. Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengidentifikasi karakteristik
lanskap stopover habitat SMA, 2) untuk menganalisis potensi ekowisata berbasis
migrasi SMA, dan 3) untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan lanskap
stopover habitat SMA. Karakteristik lanskap stopover habitat telah dianalisis
dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) dengan bantuan Sistem

Informasi Geografis (SIG). Potensi ekowisata di Kabupaten Karangasem telah
ditentukan dengan metode pemilihan sampel yang dibantu dengan pembuatan grid
pada data titik Satellite-tracking. Sebanyak lima komponen utama (KU) telah
ditentukan yang menjelaskan sebanyak 82,4% dari variasi data, serta telah
ditentukan lokasi yang memiliki potensi ekowisata di Kabupaten Karangasem.
Rekomendasi pengelolaan lanskap stopover dapat direncanakan dan
dikembangkan untuk ekowisata berbasis raptor migran di Kabupaten Karangasem.
Kata kunci: analisis komponen utama, ekowisata, karakteristik lanskap, SIG

ABSTRACT
PARADITIO BRYAN PRAKOSO. Landscape Habitat Management of Oriental
Honey Buzzards Stopover in Karangasem Bali Based on Satellite-tracking Data.
Supervised by SYARTINILIA.
Oriental Honey Buzzard (OHB, Pernis ptilorhynchus) is one of migratory raptor
that had been satellite tracked since 2003. The OHB’s migration routes to eastern
Indonesia passes through Karangasem as a stopover habitat. The objectives of this
research were 1) to identify the landscape characteristics of the OHB’s stopover
habitat in Karangasem, 2) to analyze a potential of ecotourism based on OHB’s
migration, and 3) to produce the landscape management plan of OHB’s stopover
habitat. The landscape characteristics in stopover habitat was analyzed by using

Principal Component Analysis (PCA) combined with Geographic Information
System (GIS). The potential of ecotourism in Karangasem specified from
purposive sampling that assisted by creating a grid on Satellite-tracking points.
Five principal components (PCs) were retained which is explained 82,4% of data
variance in stopover habitat, and specified location that have potential of
ecotourism based on OHB’s migration in Karangasem. Management of stopover
habitat can be planned and developed for ecotourism based on raptor migration in
Karangasem.
Keywords: ecotourism, GIS, landscape characteristics, principal component
analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGELOLAAN LANSKAP STOPOVER HABITAT
SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorhynchus) BERBASIS
DATA SATELLITE-TRACKING DI KABUPATEN
KARANGASEM BALI

PARADITIO BRYAN PRAKOSO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Judul Skripsi : Pengelolaan Lanskap Stopover Habitat Sikep Madu Asia (Pernis
ptilorhynchus) Berbasis Data Satellite-tracking di Kabupaten
Karangasem Bali
Nama
: Paraditio Bryan Prakoso
NIM
: A44090010

Disetujui oleh

Dr Syartinilia, SP, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Pengelolaan
Lanskap Stopover Habitat Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) Berbasis Data
Satellite-tracking di Kabupaten Karangasem Bali” ini berhasil diselesaikan
dengan baik. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2013 hingga Desember
2014. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dalam kerja sama peneliti
yang berjudul “Landscape Ecological Studies on Habitat of Oriental Honey
Buzzards (Pernis ptilorhynchus) Based on Satellite-tracking Data” pada Hibah
Kerjasama
Luar
Negeri
dan
Publikasi
Internasional
No.
203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI)
dengan ketua tim Dr Syartinilia, SP, MSi.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan,

motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa syukur penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Syartinilia, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,
arahan, masukan, dan dukungan serta ilmu yang sangat bermanfaat.
2. Dr Ir Aris Munandar, MS dan Dewi Rezalini Anwar, SP, MADes selaku
dosen penguji atas masukan dan saran untuk perbaikan skripsi.
3. Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr selaku dosen pembimbing
akademik atas bimbingan dan nasihat yang telah diberikan.
4. Prof Hiroyoshi Higuchi (Keio University, Jepang) atas kesediaannya
memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data Satellite-tracking
dari individu Sikep Madu Asia (SMA).
5. Kedua Orang Tua (Hari Prasetyo, ST & Dra Endang Suliestyowati) dan
seluruh keluarga atas segala doa, materi, dukungan, kepercayaan, dan kasih
sayang yang telah diberikan.
6. Presti Ameliawati, Anggi Mardiyanto, Irham Fauzi, Andre Sutjipto, dan Sri
Chairi Mulyani atas masukan, bantuan, dan ilmu yang telah diberikan.
7. Teman-teman panitia “Bali Bird of Prey Migration Watch Festival 2013”;
Heri U. Baihaqi, Fajar Mubarok, Deny R. Hatief, Ratna Bayuningsih P., I
Gusti Made Anantawijaya, Mochamad Syaifudin (KPB Kokokan Bali), dan
Dono Waluyo (TVRI Gunung Sega Bali) atas bantuannya selama survei

lapang.
8. Teman-teman seperjuangan; Nindy Aslinda, Sry Wahyuni, dan Ramandhini
Puspitasari serta keluarga besar Arsitektur Lanskap Angkatan 46
(Landscapers 46) atas bantuan, semangat, dukungan, dan kebersamaannya.
9. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari tentunya karya ilmiah ini masih memiliki banyak
kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015

Paraditio Bryan Prakoso

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR


xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Kerangka Pikir Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA
Sikep Madu Asia

3

Satellite-tracking

4

Ekowisata

5

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian

6


Alat dan Data Penelitian

7

Metode Penelitian

8

HASIL
Gambaran Situasional

14

Karakteristik Lanskap Stopover Habitat

21

Potensi Ekowisata Berbasis Raptor Migran SMA

22

PEMBAHASAN
Karakteristik Lanskap Stopover Habitat

28

Potensi Ekowisata Berbasis Raptor Migran SMA

31

Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Stopover Habitat

36

SIMPULAN DAN SARAN

38

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

59

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data
Penampakan training area pada Landsat 8 tahun 2013
Klasifikasi faktor kemiringan lahan
Variabel lingkungan
Perbandingan luas hasil klasifikasi penutupan lahan di Kab. Karangasem
Pendugaan akurasi dari penggunaan dan penutupan lahan
Hasil analisis komponen utama
Data objek dan daya tarik wisata (ODTW) Kabupaten Karangasem Bali
Keberadaan SMA di Kab. Karangasem saat bermigrasi berdasarkan Data
Satellite-tracking
10 Lokasi dan objek daya tarik yang berpotensi pada grid terpilih
11 Pengembangan ekowisata berbasis raptor migran SMA di
Kabupaten Karangasem

7
11
12
12
19
19
21
26
35
35
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Bagan kerangka pikir
Sikep Madu Asia
Mekanisme Satellite-tracking dengan ARGOS
Lokasi penelitian (Kabupaten Karangasem, Bali)
Data Satellite-tracking individu SMA
Bagan alur penelitian
Badan air dan lahan terbangun
Lahan terbuka dan semak belukar
Hutan dan ladang
Sawah
Grafik luas klasifikasi elevasi di Kabupaten Karangasem
Grafik luas klasifikasi kemiringan lahan di Kabupaten Karangasem
Peta elevasi
Peta kemiringan lahan
Peta petutupan lahan
Lokasi dengan grid 2.5 x 2.5 km
Lokasi dengan grid 5 x 5 km
Lokasi dengan grid 10 x 10 km
Peta lokasi ekowisata berbasis raptor migran Sikep Madu Asia dan
ODTW di Kabupaten Karangasem
Leading line
Jalur migrasi musim gugur
Lahan terbuka dan hutan pada elevasi >700 meter (KU3)
Fenomena migrasi raptor yang terlihat dari Gunung Sega Karangasem
Raptor migran
Raptor non migran
Objek wisata budaya Taman Tirtagangga di Desa Ababi
Objek wisata tirta di Jemeluk Amed Desa Purwakerti
Kegiatan menyelam di Desa Tulamben
Bentukan lahan di Pegunungan Seraya

2
3
4
6
8
9
14
15
15
15
16
16
17
18
20
23
24
25
27
29
29
30
31
32
32
33
33
34
35

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 0-300 meter (JTE1)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 300-500 meter
(JTE2)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 500-700 meter
(JTE3)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 700-1 000 meter
(JTE4)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi >1 000 meter (JTE5)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan 0-3%
(JTK1)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan 3-8%
(JTK2)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan 8-15%
(JTK3)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan 15-25%
(JTK4)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan 25-40%
(JTK5)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan Lahan >40 %
(JTK6)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Badan Air (JTBA)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbangun (JTBG)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbuka (JTBK)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Semak (JTSK)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan (JTHT)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Ladang (JTLD)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Sawah (JTSH)

41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Top predator merupakan kedudukan tertinggi dalam sebuah rantai
makanan. Top predator memiliki peranan penting dalam sebuah ekosistem yaitu
sebagai indikator spesies. Keberadaaan indikator spesies pada suatu lingkungan
dapat menentukan kualitas lingkungan. Raptor atau burung pemangsa merupakan
salah satu dari top predator. Raptor terbagi menjadi dua yaitu burung pemangsa
migran dan burung pemangsa non migran. Sikep Madu Asia (Pernis
ptilorhynchus) merupakan salah satu raptor migran yang bermigrasi ke Indonesia
ketika belahan bumi bagian utara mengalami musim dingin.
Selama habitat aslinya sedang mengalami musim dingin maka raptor
bermigrasi menuju tempat yang lebih hangat, tempat ini disebut sebagai habitat
musim dingin (wintering habitat). Pada saat bermigrasi, sebelum menuju habitat
musim dingin Sikep Madu Asia (SMA) singgah di stopover habitat dan masuk ke
habitat musim dingin melalui bottleneck habitat. Migrasi adalah pergerakan
organisme musiman terarah yang dilakukan selama perjalanan bulak-balik di
antara habitat reproduksi (breeding habitat) dan habitat musim dingin. Selama
migrasi, burung pemangsa memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan
untuk tiga tujuan, yaitu reproduksi (breeding), persinggahan (stopover), dan
tinggal sementara pada habitat musim dingin. Breeding habitat adalah tempat
yang digunakan oleh spesies untuk melakukan proses reproduksi atau
berkembangbiak. Stopover habitat merupakan lokasi yang menjadi rute migrasi
dan tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu
atau lebih (Bildstein 2006). Bottleneck habitat merupakan salah satu bagian dari
stopover habitat yang ada pada jalur migrasi burung. Akan tetapi, yang
membedakan bottleneck habitat dengan stopover habitat yaitu pada bottleneck
habitat terdapat pemusatan jalur migrasi untuk tempat masuk migrasi burung
menuju habitat musim dingin.
Satellite-tracking adalah alat yang cukup ampuh untuk menginvestigasi
pergerakan satwa ketika sedang berpindah dalam skala global (Cohn 1999;
Webster et al. 2002). Teknologi ini dapat mengakumulasi bukti terkait pada rute
migrasi dan lokasi singgah suatu spesies burung yang berpotensi untuk mencari
makanan (Yamaguchi et al. 2008). Sejak tahun 2003 terdapat sebanyak 49
individu burung Sikep Madu Asia yang telah diikuti jejaknya dengan
menggunakan satelit ARGOS dan sebanyak 13% dari jumlah individunya yaitu
enam individu SMA singgah di Bali sebelum menuju habitat musim dingin di
NTB, NTT, dan Timor Timur (Syartinilia et al. 2013).
Bali sebagai salah satu tempat tujuan wisata memiliki berbagai jenis
wisata yang ditawarkan, dari wisata budaya hingga wisata alam. Kabupaten
Karangasem sebagai stopover habitat SMA di Bali sebelum bermigrasi menuju
wintering habitat ke Indonesia bagian timur sangat berpotensi untuk dijadikan
sebagai objek ekowisata berbasis raptor migran. Selain itu, dengan tingginya
kunjungan wisata di Bali dapat mengancam kelestarian stopover habitat SMA
akibat dari aktivitas berwisata. Oleh karena itu, diperlukan rekomendasi
pengelolaan yang tepat dalam menjaga kawasan, khususnya kawasan yang

2
menjadi habitat SMA di Bali, sehingga setiap tahunnya SMA tetap singgah di Bali
dan dapat dijadikan objek ekowisata baru.
Tujuan Penelitian
1
2
3

Tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi karakteristik lanskap stopover habitat Sikep Madu Asia di
Kabupaten Karangasem, Bali;
menganalisis potensi ekowisata berbasis raptor migran SMA di Kabupaten
Karangasem, Bali;
membuat rekomendasi pengelolaan lanskap stopover habitat SMA di
Kabupaten Karangasem, Bali.
Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pertimbangan dan rekomendasi
bagi pihak-pihak yang berwenang dalam melakukan pengelolaan lanskap stopover
habitat Sikep Madu Asia di Kabupaten Karangasem, Bali.
Kerangka Pikir
Top Predator

Indikator Spesies

Raptor
Raptor Non Migran
Contoh: Elang Jawa

Raptor Migran
Sikep Madu Asia

Satellite-Tracking

Habitat

Wintering Habitat
(Nusa Tenggara &
Timor Leste)

Stopover Habitat

Breeding Habitat
(Jepang)

Bali

Daerah Tujuan
Wisata

Kab.Karangasem

Potensi Ekowisata

Karakteristik Lanskap
Stopover

Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Stopover Habitat SMA
Gambar 1 Bagan kerangka pikir

3

TINJAUAN PUSTAKA
Sikep Madu Asia
Elang berukuran sedang, berwarna gelap dengan jambul kecil. Warna
sangat bervariasi dengan penampilan warna terang, normal, dan gelap dari dua ras
yang berbeda, masing-masing menyerupai jenis-jenis Spizaetus dan Buteo. Tubuh
bagian atas coklat, bagian tubuh bawah putih sampai merah sawo matang dan
coklat gelap, berbintik-bintik, serta bergaris-garis banyak. Pada ekor terdapat
garis-garis yang tidak teratur. Setiap ras mempunyai bercak di kerongkongan yang
umumnya berwarna pucat dan dibatasi coretan hitam, sering mempunyai garis
tengah berwarna hitam. Iris berwarna jingga, paruh berwarna abu-abu, kaki
berwarna kuning, dan dari jarak pendek bulu-bulu yang berbentuk sisik di depan
mata merupakan ciri khas yang diagnostik (Mackinnon 1993). Sikep Madu Asia
memiliki klasifikasi sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Aves
Ordo
: Accipitriformes
Family
: Accipitridae
Genus
: Pernis
Species
: Pernis ptilorhynchus
Sikep Madu Asia memiliki ukuran panjang antara 54 hingga 65 cm dan panjang
rentang sayap antara 150 hingga 170 cm. Berat jantan dewasa antara 0.75 hingga
1.28 kg dan pada betina antara 0.95 hingga 1.49 kg (Yamazaki et al. 2012).

Gambar 2 Sikep Madu Asia
(Sumber: Hatief 2013)

4
Satellite-tracking
Teknologi Satellite-tracking telah digunakan untuk memantau burung
sejak tahun 1980. Satellite-tracking pada satwa menggunakan PTTs (Platform
Transmitter Terminals) untuk dilacak menggunakan satelit NOAA (National
Oceanic and Atmospheric Administration). PTT ditempelkan pada bagian
punggung dari burung kemudian PTT digabungkan dengan GPS (Global
Positioning System). Berat PTT relatif kecil (sekitar 200 gram) untuk menghindari
gangguan pada burung saat sedang terbang. Energi yang digunakan dalam PTT
memanfaatkan tenaga surya dengan menggunakan baterai nikel-kadmiun yang
dapat diisi kembali. Baterai ini dapat diisi ulang sebanyak 1 000 kali dan bertahan
selama 3 tahun (Seegara et al. 1996).
Sikep Madu Asia dilacak dengan sistem Argos (Argos 1996). Sistem
ARGOS menggunakan satelit United State National Oceanic and Atmospheric
Adminsitration (NOAA). NOAA mengikuti lintasan sepanjang 830 km di atas
permukaan bumi pada kecepatan satu lintasan orbit setiap 102 menit. Data yang
diterima dan ditaruh oleh NOAA akan dikirimkan ke stasiun pusat di Amerika
Serikat dan Prancis. Data ini umumnya diterima sekali per orbit dan dikirimkan ke
ARGOS Global Processing Centre. Informasi diubah ke dalam informasi posisi
lintang dan bujur. Informasi ini dikirimkan kepada peneliti melalui internet
(Gambar 3). Proses ini membutuhkan 1-2 jam dari waktu saat satelit menerima
signal dari transmitter ke waktu saat data lokasi diperoleh oleh peneliti (Higuchi
et al. 2005).

Gambar 3 Mekanisme Satellite-tracking dengan ARGOS
(Sumber : Higuchi et al. 2005)

5
Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus.
Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai
lawan dari wisata massal. Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata
merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian
sumber daya pariwisata. Masyarakat Ekowisata International mengartikan sebagai
perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Dari definisi ini
ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama, ekowisata sebagai
produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; dan ketiga, ekowisata sebagai pendekatan
pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang
berbasis sumber daya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang
diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai
pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya pariwisata secara ramah lingkungan. Dari definisi
tersebut dapat diidentifikasikan beberapa prinsip ekowisata (Damanik 2006),
yaitu sebagai berikut:
1. mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan
dan budaya akibat kegiatan wisata;
2. membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di
destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku
wisata lainnya; dan
3. menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerja sama
dalam pemeliharaan atau konservasi objek dan daya tarik wisata (ODTW).
Ekowisata merupakan jenis wisata yang paling murah karena hanya
menjual “rasa” kepada wisatawan. Namun begitu “rasa” ini sampai ke wisatawan,
maka “rasa” tersebut diekspresikan dengan senang hati dan berbagi “rasa” dengan
orang lain, yang dengan sadar atau tanpa sadar telah mengeluarkan uang dalam
jumlah yang tidak sedikit. Ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan
menyertakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan
budaya dengan pengelolaan kelestarian ekologis (Tuwo 2011).
Menurut Bambang Supriyanto selaku pejabat Direktorat Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLKKHL) dalam Sutjipto
2013 bahwa ekowisata memiliki fungsi utama yaitu edukasi kepada masyarakat.
Dalam pengembangan pariwisata alam terdapat empat syarat yang biasa disebut
dengan 4A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas, Akomodasi, dan Acceptance (penerimaan
dari masyarakat). Untuk syarat Atraksi dan Akomodasi, merupakan investasi
swasta, dalam hal ini adalah masyarakat sekitar. Keanekaragaman satwa dan
ekosistem yang masih alami menjadi atraksi yang menarik untuk diamati.
Sedangkan untuk syarat Aksesibilitas dan Acceptance merupakan investasi
pemerintah, dalam hal ini adalah pemda dan dinas pariwisata setempat.

6

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2013 sampai Desember
2014 yang meliputi tahap inventarisasi, analisis spasial dan potensi ekowisata,
serta sintesis berupa penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap stopover
habitat Sikep Madu Asia. Lokasi penelitian terletak pada Kabupaten Karangasem,
Bali (Gambar 4).

Gambar 4 Lokasi penelitian (Kabupaten Karangasem, Bali)

7
Alat dan Data Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System) dan kamera digital, serta komputer dengan program ArcGIS 9.3
(Environmental Systems Research Institute 2001), ERDAS Imagine 9.1 (Leica
Geosystems Geospatial Imaging LLC 2008), Adobe Photoshop CS2 (Adobe
Systems Incorporated 2008), dan IBM SPSS Statistics 22. Sementara data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial (raster dan vektor) dan nonspasial (deskriptif) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, bentuk, sumber, dan kegunaan data
No
1

Jenis
Data Satellitetracking Individu
SMA
(Gambar 5)

2

Data Citra
Lansat 8
(3November
2013)
Peta Batas
Administrasi
Propinsi dan
Kabupaten
Peta Batas
Administrasi
Kecamatan dan
Desa
Peta Penutupan
Lahan

3

4

5

6

Peta Elevasi
Kab.
Karangasem

7

Peta Kemiringan
Lahan Kab.
Karangasem

8

Bentuk
Vektor, Titik
(5 individu
Nomor
Platform:
40757,
66554,
84422,
84425, dan
84427)
Raster,
Resolusi 30m
x 30m

Sumber
ARGOS 2006-2009

Kegunaan
Identifikasi
keberadaan
individu SMA

Vektor

Syartinilia 2012

Penentuan wilayah
fokus penelitian
(Kab. Karangasem)

Vektor

BPS 2010

Analisis Potensi
Ekowisata

Raster,
kategori
(Resolusi
30m x 30m)
Raster,
Kontinu
(Resolusi
30m x 30m)
Raster,
Kontinu
(Resolusi
30m x 30m)
Deskriptif

Dihasilkan dari Citra
Landsat 8

Analisis spasial

ASTER GDEM

Analisis spasial

Dihasilkan dari
ASTER GDEM

Analisis spasial

earthexplorer.usgs.gov Pembuatan peta
penutupan lahan

Potensi
Wawancara dan survei Analisis Potensi
Ekowisata
lapang
Ekowisata
Keterangan:
ARGOS
= Advanced Research and Global Observation Satellite
ASTER GDEM = Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer
Global Digital Elevation Model
BPS
= Badan Pusat Statistik

8

Gambar 5 Data titik Satellite-tracking individu SMA
(Sumber: ARGOS 2006-2009)

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu:
(1) inventarisasi, (2) analisis, dan (3) sintesis. Pada tahap analisis meliputi analisis
komponen utama untuk mengidentifikasi karakteristik lanskap habitat dan analisis
grid untuk menentukan lokasi ekowisata berbasis raptor migran. Bagan alur
penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Inventarisasi
Pada tahap inventarisasi, dilakukan berbagai kegiatan, yaitu pengumpulan data
serta survei lapang. Pengumpulan data mencakup data spasial (raster dan vektor) dan
non-spasial (deskriptif dan statistik). Pada kegiatan survei lapang dilakukan
pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, wawancara dengan pihak terkait,
dan melakukan dokumentasi keadaan lapang. Selain itu, juga dilakukan studi pustaka
yang terkait untuk mendukung tujuan penelitian.
Analisis Karakteristik Lanskap Stopover Habitat
Pada tahap analisis karakteristik lanskap terdapat dua tahap analisis, yaitu
analisis spasial dan analisis statistik. Pada analisis spasial menggunakan Sistem

9
Informasi Geografi (SIG) dengan bantuan software ERDAS dan ArcGIS. Pada
analisis stastistik menggunakan metode analisis komponen utama (AKU) dengan
bantuan software SPSS.

Gambar 6 Bagan alur penelitian
Analisis Spasial
1. Klasifikasi Penutupan Lahan
Peta penutupan lahan dibuat dari citra satelit Landsat 8 tanggal 3
November 2013 dengan komposit band sesuai standar Departemen Kehutanan
Indonesia yaitu band combination 6-5-4. Komposit ini dibuat menggunakan
panjang gelombang atau spektrum inframerah sedang (Near Infrared/ NIR) (λ 1.2
– 3.2 µm), inframerah dekat (Short-Wave Infrared / SWIR) (λ 0.7 – 0.9 µm), dan
spektrum merah atau hijau (λ 0.6 – 0.7 atau 0.5 – 0.6 µm) secara berturut-turut
pada red, green, dan blue digunakan saat men-display citra. Tampilan dari
komposit ini mendekati warna alami. Komposit ini mempunyai variasi informasi
yang lebih banyak dibandingkan dengan komposit warna palsu standar. Hal ini
disebabkan karena informasi yang disajikan mencakup band inframerah sedang,
inframerah dekat dan sinar tampak. Sinar inframerah sedang merekam variasi

10
kelembaban (water content) dari vegetasi, inframerah dekat terkait dengan
biomassa, sedangkan sinar tampak terkait informasi kehijauan daun (chlorophyll).
Pada komposit ini vegetasi dan kerapatan vegetasi relatif lebih mudah dibedakan
(dideliniasi) dibandingkan dengan komposit warna palsu standar. Namun,
sebagian warna yang tampil tidak sama dengan warna alami. Sebagai contoh,
lahan-lahan kosong tampak mempunyai kisaran warna antara magenta, pink
sampai dengan putih, sementara warna alaminya berkisar antara coklat tua sampai
coklat muda (Jaya 2010).
Peta penutupan lahan dibuat dengan menggunakan klasifikasi terbimbing
pada program ERDAS. Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan
dengan arahan analisis (supervised). Kriteria pengelompokan kelas diterapkan
berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh analis melalui
pembuatan training area (area contoh). Training area diperlukan pada setiap
kelas yang akan dibuat, dan diambil dari areal yang cukup homogen (Tabel 2).
Metode yang digunakan adalah Metode Kemungkinan Maksimum (Maximum
Likelihood Classifier). Metode ini mempertimbangkan berbagai faktor,
diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam suatu
kelas atau kategori tertentu (Jaya 2010).
Pada peta penutupan lahan yang telah dibuat, perlu dilakukan evaluasi
dengan menghitung akurasi klasifikasi pada peta tersebut. Akurasi sering
dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matriks bujur
sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matriks ini juga sering
disebut dengan “error matrix” atau “confusion matrix”. Secara konvensional,
akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang
dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah
piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang
digunakan). Akurasi tersebut sering disebut dengan overall accuracy (akurasi
umum). Akan tetapi akurasi ini umumnya terlalu “over estimate” sehingga jarang
digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu
klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal
suatu matrik kontingensi (Jaya 2010).
Akurasi yang sangat dianjurkan adalah akurasi Kappa. Akurasi ini
menggunakan semua elemen matriks. Dalam matriks kontingensi ini, analisis
dapat juga menghitung besarnya akurasi pembuat (producer’s accuracy) dan
akurasi pengguna (user’s accuracy) dari setiap kelas. Akurasi pembuat adalah
akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total
piksel training area setiap kelas. Pada akurasi ini akan terjadi kesalahan omisi,
oleh karena itu akurasi pembuat ini juga dikenal dengan istilah omission error.
Sedangkan, jumlah piksel yang benar dibagi dengan total piksel dalam kolom
akan menghasilkan akurasi pengguna, yang juga dikenal dengan istilah
“commission error”. Omission error terjadi ketika area tersebut dikeluarkan dari
kategori yang sesungguhnya benar, sedangkan commission error terjadi ketika
area tersebut dikategorikan ke kategori yang salah (Jaya 2010). Pada peta
penutupan lahan yang dibuat, tingkat akurasi yang dapat dipercaya adalah
minimal 75% untuk akurasi keseluruhan (Syartinilia 2004). Peta penutupan lahan
kemudian digunakan untuk menghasilkan variabel lingkungan.

11
Tabel 2 Penampakan training area pada Landsat 8 tahun 2013
No
1

Kelas Penutupan
Lahan
Badan Air

Penampakan pada Citra

Keterangan

2

Lahan Terbangun

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

3

Lahan Terbuka

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

4

Semak Belukar

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

5

Hutan

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

6

Ladang

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

7

Sawah

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

Band Combination:
Red
: layer 6
Green : layer 5
Blue : layer 4

2. Pangkalan Data Variabel Lingkungan
Variabel lingkungan diperoleh dengan mengekstraksi peta elevasi
(Gambar 13), kemiringan lahan (Gambar 14), dan penutupan lahan (Gambar 15),
menjadi peta jarak terdekat (euclidean distance). Setiap peta akan memiliki
beberapa variabel lingkungan yang terklasifikasi. Peta-peta merupakan variabel
lingkungan (environmental variables) yang diperoleh dari hasil analisis dengan
software ArcGIS dan digunakan untuk menganalisis karakteristik lanskap habitat
SMA. Variabel lingkungan ini terbentuk dari peta jarak terdekat (euclidean
distance), yaitu enam jarak terdekat terhadap faktor kemiringan lahan (Tabel 3),
lima jarak terdekat terhadap faktor elevasi, dan tujuh jarak terdekat terhadap

12
penutupan lahan. Variabel lingkungan terbentuk Sebanyak 18 variabel lingkungan
(euclidean distance) digunakan dalam penelitian ini (Tabel 4).
Tabel 3 Klasifikasi faktor kemiringan lahan

Kelas
I
II
III
IV
V
VI

Kemiringan Lahan
0-3%
3-8%
8-15%
15-25%
25-40%
>40%

Klasifikasi
Datar
Agak Datar
Bergelombang
Berbukit
Pegunungan
Pegunungan

(Sumber: SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/1981)

Tabel 4 Variabel lingkungan
No Variabel lingkungan
1
Jarak terdekat ke elevasi 0-300 meter
2
Jarak terdekat ke elevasi 300-500 meter
3
Jarak terdekat ke elevasi 500-700 meter
4
Jarak terdekat ke elevasi 700-1 000 meter
5
Jarak terdekat ke elevasi > 1 000 meter
6
Jarak terdekat ke kemiringan lahan 0-3%
7
Jarak terdekat ke kemiringan lahan 3-8%
8
Jarak terdekat ke kemiringan lahan 8-15%
9
Jarak terdekat ke kemiringan lahan 15-25%
10 Jarak terdekat ke kemiringan lahan 25-40%
11 Jarak terdekat ke kemiringan lahan >40%
12 Jarak terdekat ke badan air
13 Jarak terdekat ke lahan terbuka
14 Jarak terdekat ke lahan terbangun
15 Jarak terdekat ke semak belukar
16 Jarak terdekat ke hutan lahan kering
17 Jarak terdekat ke ladang
18 Jarak terdekat ke sawah

Singkatan
JTE1
JTE2
JTE3
JTE4
JTE5
JTK1
JTK2
JTK3
JTK4
JTK5
JTK6
JTBA
JTBK
JTBG
JTSK
JTHK
JTLD
JTSH

Sumber
Ekstraksi dari
ASTER DEM
yang dibuat
menjadi peta
euclidean
distance

Ekstraksi dari
peta penutupan
lahan yang
dibuat menjadi
peta euclidean
distance

Peta jarak terdekat tersebut diperoleh melalui proses reclassify yang
bertujuan untuk menyeragamkan informasi masing-masing piksel data menjadi
bernilai 0 dan 1 dengan menggunakan Spatial Analysis Tools. Nilai 1 adalah nilai
variabel lingkungan yang ingin diinformasikan sedangkan nilai 0 adalah nilai
variabel lingkungan yang sementara dihilangkan informasinya. Setelah itu, petapeta diubah melalui proses vektor polygon. Proses ini bertujuan untuk mengubah
data raster menjadi bentuk vektor. Pada akhirnya, peta-peta bentuk vektor akan
diubah menjadi peta jarak terdekat (euclidean distance). Fungsi euclidean
distance adalah memberikan informasi tentang jarak dari setiap sel dalam raster ke
sumber terdekat. Peta-peta euclidean distance tercantum pada Lampiran 1 hingga
Lampiran 18.
Analisis Statistik Pada Karakteristik Lanskap
Analisis komponen utama adalah metode analisis peubah ganda yang
bertujuan memperkecil dimensi peubah asal sehingga diperoleh peubah baru

13
(komponen utama) yang tidak saling berkorelasi, tetapi menyimpan sebagian
besar informasi yang terkandung pada peubah asal (Jollife 2002). Nilai yang telah
diekstraksi dianalisis dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) oleh
Varimax Rotation dengan Kaiser Normalization untuk mengintegrasikan semua
atribut lingkungan dan mengidentifikasi karakter lanskap stopover habitat SMA
dengan bantuan software SPSS.
Analisis Potensi Ekowisata
Analisis potensi ekowisata dilakukan dengan metode grid untuk
menentukan sampel lokasi sebagai wilayah yang memiliki potensi ekowisata.
Pemilihan sampel berdasarkan dengan kumpulan data Satellite-tracking yang ada
di Kabupaten Karangasem. Dari kumpulan data Satellite-tracking tersebut
ditentukan titik-titik sampel dengan bantuan grid pada ukuran tertentu. Area yang
dipilih sebagai sampel diambil dari kumpulan data Satellite-tracking yang ada di
Kabupaten Karangasem, dilihat dari informasi variasi waktu dan intensitas.
Kemudian akan dibuat grid dengan ukuran yang berbeda-beda pada daerah
tersebut, dimana kumpulan data Satellite-tracking tersebut akan terdistribusi pada
grid dengan ukuran tertentu sesuai kumpulan titik yang ada. Ukuran grid yang
dibuat terdiri dari ukuran 2.5 x 2.5 km, 5 x 5 km, 10 x 10 km. Selain dari
kumpulan data Satellite-tracking, hasil diskusi dengan pemerhati burung setempat
juga menghasilkan rekomendasi daerah yang memiliki potensi ekowisata. Ukuran
grid yang dibuat berfungsi untuk menentukan lamanya waktu kegiatan ekowisata
berbasis raptor migran SMA. Semakin besar ukuran grid, semakin lama waktu
yang diperlukan untuk kegiatan ekowisata. Ukuran grid 2.5 x 2.5 km
menunjukkan ukuran grid kecil, ukuran grid 5 x 5 km menunjukkan ukuran grid
sedang, dan ukuran grid 10 x 10 km menunjukkan ukuran grid besar. Pada
analisis grid diperoleh grid terpilih di setiap masing-masing ukuran grid yang
kemudian grid terpilih tersebut di-overlay dengan peta lokasi desa yang memiliki
Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW), sehingga didapatkan grid terpilih yang
juga ditemui ODTW. Grid terpilih yang ditemui ODTW berpotensi untuk
dikombinasikan antara kegiatan ekowisata berbasis raptor SMA dengan kegiatan
wisata yang sudah ada di Kabupaten Karangasem. Pada tahap ini juga
dikumpulkan data-data non spasial yang menunjang, juga dilakukan wawancara
terhadap beberapa pihak yaitu mulai dari pihak masyarakat dan pemerhati burung.
Sintesis
Dari tahap-tahap yang telah dilakukan dapat diperoleh sebuah sintesis
berupa karakteristik lanskap stopover habitat SMA, identifikasi potensi
ekowisata berbasis raptor migran SMA, dan rekomendasi pengelolaan lanskap
stopover habitat SMA di Kabupaten Karangasem, Bali.

14
HASIL
Gambaran Situasional
Letak Geografis dan Administrasi
Lokasi penelitian terletak pada Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali.
Lokasi ini terletak pada koordinat 8° 00’ 00’’ – 8°41’37.8’’ Lintang Selatan dan
115° 35’ 9.8’’ – 115° 54’ 8.9’’ Bujur Timur dengan luas wilayah adalah
83
794.77 ha (Tabel 5). Luas wilayah Kabupaten Karangasem mencapai 14.90 % dari
luas Pulau Bali yaitu 5 632.86 km2 (Pemerintah Kabupaten Karangasem 2011).
Secara administrasi, Kabupaten Karangasem terbagi atas 8 kecamatan, 78 desa
dengan jumlah penduduk 401 133 jiwa (BPS 2010). Secara adat, Kabupaten
Karangasem memiliki 188 desa adat dan 605 banjar adat (Pemerintah Kabupaten
Karangasem 2011). Kabupaten Karangasem dibatasi oleh:
a. sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali,
b. sebelah timur berbatasan dengan Selat Lombok,
c. sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, Bangli, dan
Klungkung.
Penutupan Lahan
Penutupan lahan di Kabupaten Karangasem meliputi beberapa kelas
diantaranya badan air, lahan terbuka, lahan terbangun, semak belukar, hutan,
ladang, dan sawah. Klasifikasi tersebut dibuat berdasarkan kondisi di lapangan
yang mengacu pada data citra Landsat 8. Badan air (Gambar 7a) merupakan
seluruh kondisi tutupan lahan yang didominasi oleh air meliputi sungai, danau,
dan laut. Lahan terbangun (Gambar 7b) merupakan seluruh kawasan dengan lahan
terbangun yang mencakup pemukiman, jalan raya, tempat ibadah, dan bangunan
lainnya.

(a)
(b)
Gambar 7 (a) Badan air dan (b) lahan terbangun
(Sumber: Survei lapang 2013)

Lahan terbuka (Gambar 8a) merupakan seluruh kawasan yang didominasi
oleh batuan dan tanah kosong. Semak belukar (Gambar 8b) merupakan seluruh
kawasan yang terdiri dari campuran antara vegetasi tinggi dan rendah yang
tumbuh secara liar serta belum termanfaatkan.

15

(a)
(b)
Gambar 8 (a) Lahan terbuka dan (b) semak belukar
(Sumber: Survei lapang 2013)

Hutan (Gambar 9a) merupakan seluruh hamparan lahan kering maupun
basah yang didominasi oleh tegakan pohon. Ladang (Gambar 9b) merupakan
seluruh kawasan berupa pertanian lahan kering yang ditanami non-padi seperti
umbi-umbian, jagung, buah-buahan dan sayuran. Sawah (Gambar 10) merupakan
seluruh kawasan berupa pertanian lahan basah yang ditanami padi.

(a)

(b)
Gambar 9 (a) Hutan dan (b) ladang
(Sumber: Survei lapang 2013)

Gambar 10 Sawah
(Sumber: Survei lapang 2013)

Elevasi dan Kemiringan Lahan
Elevasi atau ketinggian lahan di Kabupaten Karangasem mulai dari 0 mdpl
hingga 3031 mdpl (Gambar 13). Elevasi 0-300 meter memiliki luas terbesar di

16
Kabupaten Karangasem yaitu sebesar 32 744.8 ha (Gambar 11) atau sebesar
39.33% dari luas total keseluruhan. Sedangkan luas terendah terletak pada elevasi
700-1 000 meter yaitu sebesar 10 308.7 ha atau sebesar 12.35% dari luas total
keseluruhan.

Gambar 11 Grafik luas klasifikasi elevasi di Kabupaten Karangasem
(Sumber : ASTER GDEM)

Kemiringan lahan atau slope di Kabupaten Karangasem bervariasi, mulai
dari datar hingga pegunungan (Gambar 14). Pada Gambar 12 menunjukan bahwa
luas daerah kemiringan lahan terbesar
yaitu kemiringan lahan 8-15%
(bergelombang) dengan luas 19 412.6 ha atau sebesar 23.16% dari luas total
keseluruhan. Sedangkan luas terendah terletak pada kemiringan lahan 0-3%
(datar) yaitu sebesar 4 892.77 ha atau sebesar 5.84% dari luas total keseluruhan.
25000

19412,6

20000

17136,6

14915,8
15000

13880,6

13565,8

10000
4892,77

5000

0
0-3%

3-8%

8-15%

15-25%

25-40%

>40%

Gambar 12 Grafik luas klasifikasi kemiringan lahan di Kabupaten Karangasem
(Sumber : ASTER GDEM)

17

Gambar 13 Peta elevasi
(Sumber : ASTER GDEM)

18

Gambar 14 Peta kemiringan lahan
(Sumber : ASTER GDEM)

19
Klasifikasi Penutupan Lahan
Hasil klasifikasi penutupan lahan dengan metode klasifikasi terbimbing
menghasilkan beberapa kelas referensi yaitu no data (data kosong atau bayangan
awan), awan, lahan terbangun, badan air, hutan, ladang, sawah, lahan terbuka, dan
semak belukar (Gambar 15). Perbandingan luas penutupan lahan di Kabupaten
Karangasem dapat dilihat pada Tabel 5. Kelas penutupan lahan memiliki luas
terbesar yaitu sebesar 25 330.05 ha sebesar 30.23% dari total keseluruhan luas
penutupan lahan dan kelas penutupan lahan badan air memiliki luas terkecil yaitu
sebesar 632.61 ha atau sebesar 0.75% dari total keseluruhan luas penutupan
lahan.
Tabel 5 Perbandingan luas hasil klasifikasi penutupan lahan di Kab. Karangasem
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Kelas Penutupan Lahan
Badan Air
Lahan Terbangun
Lahan Terbuka
Semak Belukar
Hutan
Ladang
Sawah
Awan
Total

Luas (ha)

Persentase (%)

632.61
4 086.54
8 187.93
19 020.33
13 064.04
25 330.05
9 742.68
3 730.59
83 794.77

0.75
4.88
9.77
22.70
15.59
30.23
11.63
4.45
100.00

Evaluasi akurasi dengan metode kemungkinan maksimum (maximum
likelihood) menghasilkan akurasi umum (overall accuracy) sebesar 90.35%. Akurasi
Kappa yaitu sebesar 88.69%. Matriks kesalahan pada pendugaan akurasi
menunjukkan bahwa nilai akurasi pengguna (user’s accuracy) terbesar yaitu kelas
penutupan lahan badan air sebesar 100%, sedangkan yang terendah yaitu hutan
sebesar 86.21%. Nilai akurasi pembuat (producer’s accuracy) terbesar yaitu kelas
penutupan lahan untuk semak belukar sebesar 93.48%, sedangkan yang terendah
yaitu lahan terbangun sebesar 84.44%. Besarnya akurasi pembuat dan akurasi
pengguna pada masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Pendugaan akurasi dari penggunaan dan penutupan lahan tahun 2013
Kelas

Data Acuan

1
2
3
4
5
6
7
Badan Air 1
32
0
0
0
0
0
0
Lahan Terbuka 2
2
38
2
0
0
0
0
Lahan Terbangun 3
0
0
32
3
0
0
0
Semak Belukar 4
1
0
1
36
1
0
1
Hutan 5
0
1
0
0
25
3
0
6
Ladang
0
2
0
0
1
43
3
Sawah 7
0
3
0
0
0
0
28
Awan8
0
1
0
0
0
0
0
Total Kolom
35
45 35
39
27
46
32
PA (%)
91.43 84.44 91.43 92.31 92.59 93.48 87.50
Overall Accuracy = 90.35%; Kappa Accuracy = 88.69%
Keterangan:
UA= Users Accuracy; PA= Producers Accuracy

Total
Baris
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-

32
42
35
40
29
49
31
1
259

UA
(%)
100
90.48
91.43
90.00
86.21
87.76
90.32
-

20

Gambar 15 Peta penutupan lahan
(Sumber : Landsat 8 tanggal 3 November 2013 resolusi 30 x30 meter)

21
Karakteristik Lanskap Stopover Habitat
Analisis Komponen Utama (AKU) yang telah dilakukan pada seluruh
variabel lingkungan menghasilkan 5 Principal Component (PC) atau Komponen
Utama (KU) yang dapat menjelaskan 82.491 % dari variasi data bagi karakteristik
stopover habitat SMA (Tabel 7). Setiap karakteristik lanskap yang terbentuk
memiliki struktur lanskap baru yang tersusun dari variabel lingkungan yang
berhubungan. Pada hasil AKU yang telah dilakukan pada seluruh variabel
lingkungan dan dirotasi dengan metode varimax rotation didapatkan banyak
Komponen Utama (KU). Dari banyaknya KU yang terbentuk, terdapat lima KU
yang dapat mewakili 82.491 % dari jumlah data. Dari kelima KU yang didapat
memiliki karakteristik lanskap yang berbeda-beda. Karakteristik masing-masing
KU juga tersusun oleh variabel lingkungan yang berbeda tiap KU.
Tabel 7 Hasil analisis komponen utama
Variabel Lingkungan
JTK1
JTK2
JTK3
JTK4
JTK6
JTLD
JTE1
JTE2
JTE3
JTE4
JTE5
JTBK
JTHT
JTBA
JTSH
JTK5
JTSK
JTBG
Eigenvalue
Variance (%)
Cumulative (%)

KU1
0.905
0.790
0.869
0.641
-0.818
0.726

KU2

KU3

KU4

KU5

0.892
0.950
0.883
0.858
0.842
0.834
0.613
0.794
0.859

4.496
24.976
24.976

3.396
18.866
43.842

3.028
16.821
60.663

2.062
11.455
72.118

0.791
0.765
0.556
1.867
10.373
82.491

*Value are omitted if 1 000 m
JTHT = Jarak Terdekat ke Hutan
JTK1 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 0-3% JTLD = Jarak Terdekat ke Ladang
JTK2 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 3-8% JTSH = Jarak Terdekat ke Sawah
JTK3 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 8-15%
JTK4 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan15-25% KUn = Komponen ke- n untuk stopover
JTK5 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 25-40%
habitat
JTK6 = Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan >40%

22
Pada komponen utama yang pertama (KU1) memiliki nilai variance dan
eigenvalue masing-masing 24.976% dan 4.496, artinya KU1 dapat menjelaskan
sebesar 24.976% dari variasi data yang menjadi karakteristik lanskap stopover
habitat SMA dan memiliki pengaruh sebesar 4.496. KU1 diinterpretasikan
sebagai daerah beragam kemiringan lahan dan ladang. Karakteristik lanskap ini
memiliki jarak terdekat dengan lanskap yang memiliki kemiringan lahan 0%
sampai 25% dan >40% serta penutupan lahan berupa ladang. Rata-rata jarak
terdekat dari variabel lingkungan JTK1, JTK2, JTK3, JTK4, JTK6, dan JTLD
masing-masing sebesar 1.23 km, 0.74 km, 0.30 km, 0.27 km, 0.59 km, dan 0.34
km.
Pada komponen utama yang kedua (KU2) memiliki nilai variance dan
eigenvalue masing-masing 18.866% dan 3.396, artinya KU2 dapat menjelaskan
sebesar 18.866% dari variasi data yang menjadi karakteristik lanskap stopover
habitat SMA dan memiliki pengaruh sebesar 3.396. KU2 diinterpretasikan
sebagai daerah elevasi 700 meter, lahan terbuka, dan hutan. Karakteristik
lanskap ini terkait jarak terdekat dengan lahan terbuka, semak belukar, elevasi
700-1 000 meter, dan elevasi >1 000 meter. Variabel lingkungan JTE4, JTE5,
JTBK, dan JTHT, memiliki rata-rata jarak terdekat sebesar 0.97 km, 2.15 km,
0.80 km, dan 0.52 km.
Pada komponen utama yang keempat (KU4) memiliki nilai variance dan
eigenvalue masing-masing 11.455% dan 2.062, artinya KU4 dapat menjelaskan
sebesar 11.455% dari variasi data yang menjadi karakteristik lanskap stopover
habitat SMA dan memiliki pengaruh sebesar 2.062. KU4 diinterpretasikan
sebagai daerah badan air dan sawah. Rata-rata jarak terdekat dari variabel
lingkungan JTBA dan JTSH masing-masing sebesar 5.27 km dan 1.28 km.
Pada komponen utama yang kelima (KU5) memiliki nilai variance dan
eigenvalue masing-masing 10.373% dan 1.867, artinya KU5 dapat menjelaskan
sebesar 10.373% dari variasi data yang menjadi karakteristik lanskap stopover
habitat SMA dan memiliki pengaruh sebesar 1.867. KU5 diinterpretasikan
sebagai daerah pegunungan dekat semak dan lahan terbangun. Hal ini karena
karakteristik lanskap ini berada pada jarak terdekat dengan kemiringan lahan 2540% (pegunungan), penutupan lahan semak, dan lahan terbangun. Variabel
lingkungan JTK5, JTSK dan JTBG memiliki rata-rata jarak terdekat sebesar 0.25
km, 0.30 km, dan 0.90 km.
Potensi Ekowisata Berbasis Raptor Migran SMA
Pada analisis potensi ekowisata berbasis raptor migran SMA digunakan
metode grid untuk menentukan lokasi yang berpotensi. Metode grid adalah
membuat grid dengan ukuran tertentu sebagai alat untuk menentukan lokasi

23
terpilih atau lokasi yang berpotensi. Grid yang dibuat meliputi ukuran 2.5 x 2.5
km, 5 x 5 km, dan 10 x 10 km. Kemudian grid dengan masing-masing ukuran dioverlay dengan titik data Satellite-tracking yang tersebar di Kabupaten
Karangasem. Setelah itu dipilih satu grid dari masing-masing ukuran grid dengan
kriteria grid terpilih yaitu grid yang memiliki jumlah titik data Satellite-tracking
terbanyak di dalamnya. Analisis potensi ekowisata yang telah dilakukan dengan
metode grid menghasilkan sebanyak empat grid terpilih.

Gambar 16 Lokasi dengan Grid 2,5 x 2,5 km
(Sumber : ARGOS 2006 - 2009)

24
Grid tersebut meliputi satu grid terpilih pada grid 2.5 x 2.5 km, dua grid
terpilih pada grid 5 x 5 km, dan satu grid terpilih pada grid 10 x 10 km. Pada grid
terpilih dengan ukuran grid 2.5 x 2.5 km ditemukan empat titik Satellite-tracking.
Lokasi grid tersebut terletak di Desa Ban, Kecamatan Kubu (Gambar 16).

Gambar 17 Lokasi dengan Grid 5 x 5 km
(Sumber : ARGOS 2006 - 2009)

25
Pada grid 5 x 5 km terdapat dua grid terpilih dengan masing-masing grid
ditemukan lima titik Satellite-tracking. Grid terpilih yang pertama terletak di Desa
Ban, Kecamatan Kubu, sedangkan grid terpilih yang kedua terletak di Desa
Bunutan, Kecamatan Abang dan Desa Seraya Timur, Kecamatan Karangasem.
Jumlah titik Satellite-tracking di Desa Bunutan sebanyak dua titik dan tiga titik di
Desa Seraya Timur (Gambar 17).

Gambar 18 Lokasi dengan Grid 10 x 10 km
(Sumber : ARGOS 2006 - 2009)

26
Pada grid terpilih 10 x 10 km terpilih satu grid dengan jumlah titik
Satellite-tracking sebanyak enam titik. Enam titik tersebut tersebar di tiga desa
yang mencakup dua titik ditemukan di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, dua titik di
Desa Datah, Kecamatan Abang, dan dua titik di Desa Nawakerti, Kecamatan
Abang (Gambar 18).
Masing-masing grid terpilih tersebut kemudian di-overlay dengan lokasi
desa yang memiliki objek dan daya tarik wisata (ODTW) di Kabupaten
Karangasem (Tabel 8), Sehingga diperoleh grid terpilih yang berpotensi untuk
dikombinasikan dengan ODTW yang sudah ada. Grid tersebut adalah grid terpilih
10 x 10 km, karena didalam grid terdapat tiga desa yang memiliki ODTW. Desa
tersebut adalah Desa Ababi dengan objek wisata budaya, Desa Purwakerti dan
Desa Tulamben dengan objek wisata tirta (Gambar 19).
Tabel 8 Data objek dan daya tarik wisata (ODTW) Kabupaten Karangasem Bali
No
1

Nama Objek dan Daya
Tarik Wisata (ODTW)
Bukit Jambul

Jenis Wisata
Wisata Alam

Lokasi

Desa Pasaban,
Kecamatan Rendang
2 Putung
Wisata Alam
Desa Duda Timur,
Kecamatan Selat
3 Iseh
Wisata Alam
Desa Side