Pemodelan Habitat Singgah Sikep Madu Asia Di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking

PEMODELAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU ASIA DI
PULAU RUPAT BERDASARKAN DATA SATELLITE
TRACKING

HENDRY PRAMONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Habitat
Singgah Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Pulau Rupat Berdasarkan Data
Satellite Tracking adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Hendry Pramono
E351110141

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.

RINGKASAN
HENDRY PRAMONO. Pemodelan Habitat Singgah Sikep-madu Asia di Pulau
Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking. Dibimbing oleh YENI ARYATI
MULYANI dan SYARTINILIA.
Burung pemangsa merupakan kelompok burung penting dalam sebuah
ekosistem karena posisinya sebagai predator puncak (top predator ). Kelompok
burung ini sering digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan dalam suatu
ekosistem. Sebanyak 202 jenis burung pemangsa di dunia melakukan migrasi, 55
jenis diantaranya bermigrasi di Benua Asia.

Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu burung
pemangsa yang bermigrasi. Burung ini terbang dari daerah berbiak yaitu bagian
Asia Utara menuju serta melalui Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Hasil
pengamatan menggunakan satellite tracking diketahui bahwa Sikep-madu Asia
bermigrasi dari Jepang menuju Indonesia melalui pulau Rupat (Sumatera).
Data satellite tracking berisikan data lokasi dan waktu keberadaan Sikepmadu Asia. Bila data tersebut digabungkan dengan variabel lingkungan seperti
(penutupan lahan, slope dan elevasi) yang dianalisis dengan model regresi logistik
menggunakan analisis GIS, maka dapat dibuat peta karakteristik habitat, salah
satunya adalah habitat singgah. Pada penelitian ini dilakukan juga pengamatan
langsung untuk mendeskripsikan jumlah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat.
Penghitungan dilakukan menggunakan metode point count, sedangkan
pengambilan data pola terbang dilakukan menggunakan metode pemindaian
(scanning method). Data yang dihasilkan berupa grafik, tabel maupun gambar.
Hasil analisis pada wilayah studi seluas 1 461.95 km2 menunjukkan bahwa
kawasan yang sesuai untuk habitat singgah di pulau Rupat seluas 1 276.67 km2 (
87%), sedangkan kawasan yang tidak sesuai seluas 15 876 km2 (13%). Terdapat
enam variabel yang sangat penting bagi karakteristik habitat singgah Sikep-madu
Asia di pulau Rupat. Ketersediaan pakan berhubungan dengan badan air, mangrove
dan perkebunan, sedangkan termal berhubungan erat dengan variabel slope. Hasil
pengamatan selama bulan Oktober 2012 mencatat sejumlah 4 074 ekor Sikep-madu

Asia terbang menuju Pulau Rupat pada pukul 07:00-15:00 WIB, dengan puncak
migrasi harian terjadi pukul 10:00-11:00 WIB. Pola terbang dominan berupa
gliding (melayang/meluncur) (57.14%), disusul oleh soaring (membubung ke atas)
(28.57%) dan flapping (mengepak) (14.29%). Rekomendasi yang ditawarkan untuk
pengembangan Pulau Rupat berdasarkan migrasi burung pemangsa adalah
perubahan RTRW, perbaikan penutupan lahan hutan mangrove, pembatasan izin
pembukaan lahan, pengkayaan jenis pohon dengan pohon kelapa (Cocos nucifera )
dan pendidikan lingkungan.
Kata kunci: Habitat singgah, Pernis ptilorhynchus, Pulau Rupat, regresi logistik,
Sikep-madu Asia

SUMMARY
HENDRY PRAMONO. Modelling Stop over Habitat of Oriental Honey-buzzard in
Rupat Island Based on Satellite Tracking Data. Supervised by YENI ARYATI
MULYANI and SYARTINILIA.
Birds of prey is group of birds is very important in a ekositem, as its position
is top of predators, so this group of birds is often used as an indicator of
environmental health in an ecosystem. A total of 202 species of birds of prey in the
world do migrate, 55 species of them migrated in the continental Asia. Birds of prey
that migrate across the ocean towards the area that has the potential for far more

resources, because their breeding areas are experiencing winter.
One of a species of birds of prey that migrate are Oriental Honey-buzzard
(Pernis ptilorhynchus). The birds flew from breeding site in the northern parts of
asia to the southern part of a country like malaysia the Philippines, and Thailand
and Indonesia. The results of the observations are used by tracking satellite, Oriental
Honey-buzzard migrated from Japan to the Indonesian passing through Rupat
Island on Sumatera.
Data satellite contains data tracking the location and time where Sikep-Asian
honey. However, when these data are combined with such environmental variables
(land cover, slope and elevation) were analyzed by logistic regression model using
GIS analysis, it will obtain a stop over habitat characteristics Sikep-Asian honey in
the form of maps stop over habitat characteristics. Direct observation is done also
to describe the amount of Oriental honey Buzzard in Rupat using point count
methode, while fly pattern data collection is done by collecting data in the field
using scanning methode. The data generated in the form of graphs, tables and
images.
Analysis of characteristic habitats done with logistic regression methode with
the final result is form of maps characteristic of habitats Oriental Honey-buzzard
on the Rupat Island, while discriptioni done with point count methode and scanning
methode. The results of analysis of the study areas using 1 461.95 km2 show that

area that is suitable for stop over habitats of 1 276.67 km2 (87%), while the area
which does not suitable as much as 15 876 km2 (13%). There were only 6 variables
that are important for stop over characteristic habitat of Oriental Honey Buzzard on
the Rupat Island. The availability of feed relating to a body of water, mangrove and
plantation, thermal while closely connected with a variable slope.
The results of observations during October 2012, a number of Oriental
Honey-buzzard as 4 074 individu recorded by flew to the island at 7:00-15:00 wib
and the top daily migration occurred at 10:00-11:00 wib with a fly pattern are
gliding on 57.14%,
flapping on 14.29%, and soaring on 28.57%.
Recommendations are offered for development Rupat Island by the migration of
birds of prey can be strengthened through changes in spatial planning RTRW),
improvement of mangrove forest land cover, land clearing permit restrictions,
enrichment coconut tree species and environmental education.
Keywords: Logistic Regretion, Oriental Honey-buzzard, Pernis ptilorhynchus,
Rupat Island, Stop over Habitat

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMODELAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU ASIA DI
PULAU RUPAT BERDASARKAN DATA SATELLITE
TRACKING

HENDRY PRAMONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Afra Donatha Nimia Makalew, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012
ini ialah Ilmu Hewan, dengan judul “Pemodelan Habitat Singgah Sikep-madu
Asia di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking”.
Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri teladan Nabi
Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Penelitian ini
merupakan rangkaian penelitian dalam kerjasama peneliti yang berjudul
“Hibah Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional No.
203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) dengan ketua tim Dr. Syartinilia, SP, M.Si.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Hiroyoshi Higuchi (Keio University, Jepang) atas kesediaannya
memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data Satellitetracking dari individu Sikep-madu Asia (SMA).

2. Komisi pembimbing atas nasihat dan bimbingannya;
3. Kelompok Studi Satwa Liar Riau atas dukungan tenaga dan waktunya;
4. Perkumpulan Suaka Elang atas atas dukungannya,
5. Bapak, Ibu, adik, dan keluarga tercinta atas nasihat, doa, dan
dukungannya;
6. Teman-teman tercinta atas doa, dukungan, dan bantuannya.
Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan nilai manfaat dan menjadi
amal saleh yang diterima oleh Allah SWT., amin.

Bogor, Juni 2015
Hendry Pramono

DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

i
ii
iii
1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Migrasi dan Jalur
Satellite Tracking
Model Kesesuaian Habitat
Sikep-madu Asia
Pulau Rupat


4
4
6
8
8
12

3 METODE
12
Lokasi
12
Alat
13
Bahan
13
Prosedur Analisis Data
14
Membangun Model Distribusi Habitat Singgah (Stop over Habitat)
Berdasarkan Data Satellite tracking

18
Jumlah Individu dan Pola Terbang
20
Penyusunan Rekomendasi
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Model Distribusi Habitat Sikep-madu Asia
Jumlah, Pola Terbang dan Waktu Migrasi
Periode Singgah Sikep-madu Asia
Pembahasan
Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia
Periode Singgah Sikep-madu Asia
Deskripsi Jumlah
Penggunaan Waktu dan Pola terbang
Rekomendasi Pengelolaan Pulau Rupat

22
22
22
27
28
28
28
29
30
30
31

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

35
35
35

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

36
41
59

DAFTAR TABEL

No Daftar
1
2
3
4
5
6
7
8

Hal

Jenis, bentuk dan sumber data penelitian
14
Deskripsi kelas penutupan lahan
16
Kondisi penutupan lahan di Pulau Rupat
16
Klasifikasi kemiringan lahan
17
Klasifikasi kelas ketinggan
17
Variabel jarak ke lingkungan
18
Hasil analisis signifikansi 14 variable lingkungan dengan uji t 22
Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode
Backward Stepwise (LR)
22
9 Jenis burung pemangsa yang bermigrasi melewati Pulau Rupat 32
10 Keanekaragaman jenis burung pemangsa penetap di Pulau Rupat
32

DAFTAR GAMBAR
No Daftar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Alur kerangka penelitian Sikep-madu Asia
Musim migrasi burung pemangsa di Asia
Jalur migrasi Sikep-madu Asia melalui satellite tracking
Cara kerja satellite tracking melalui ARGOS
Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus orientalis)
Pola terbang gliding
Pola terbang soaring
Pola terbang flaping
Peta Pulau Rupat sebagai lokasi penelitian
Penutupan lahan di Pulau Rupat
Lokasi pengamatan
Simulasi penentuan lokasi dan pengamatan
Peta model kesesuaian habitat singgah Sikep-madu Asia
di Pulau Rupat
Peta model validasi kesesuaian habitat singgah
Sikep-madu Asia
Jumlah individu Sikep-madu Asia yang teramati
Waktu bermigrasi Sikep-madu Asia
Pola terbang yang teramati
Periode Singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat
berdasarkan data sattelite tracking

Hal
4
5
6
8
9
10
11
11
14
15
20
21
24
25
26
26
27
27

DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Peta penutupan lahan
Peta kelas kemiringan
Peta kelas kelerengan
Peta jarak terdekat dengan hutan
Peta jarak terdekat dengan semak belukar
Peta jarak terdekat dengan sawah
Peta jarak terdekat dengan badan air
Peta jarak terdekat dengan mangrove
Peta jarak terdekat dengan perkebunan
Peta jarak terdekat dengan permukiman
Peta jarak terdekat dengan pertanian
Peta jarak terdekat dengan slope 0-3%
Peta jarak terdekat dengan slope 25-40%
Peta jarak terdekat dengan slope 3-8%
Peta jarak terdekat dengan slope >40%
Peta jarak terdekat dengan slope 15-25%
Peta jarak terdekat dengan slope 8-15%
Peta jarak terdekat dengan elevasi

Hal
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Burung pemangsa merupakan terminologi yang sering digunakan
dalam mendefinisikan pengelompokan jenis-jenis elang; secara global
terminologi tersebut berkembang dikalangan peneliti dan pemerhati burung
(Rahman 2006; Yamazaki et al. 2012). Burung pemangsa memiliki peranan
penting dalam ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top
predator ) menjadikan kelompok burung ini sebagai indikator kesehatan
lingkungan. Gangguan terhadap jenis burung pemangsa dapat mempengaruhi
keseimbangan ekologi suatu ekosistem, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Berdasarkan perilakunya, burung pemangsa dapat hidup sebagai
penetap dan tinggal di suatu kawasan (resident), sedangkan beberapa
diantaranya hidup bermigrasi (migrant), yaitu melakukan perjalanan panjang
mengarungi samudera secara periodik setiap tahunnya. Ini merupakan
adaptasi alami burung migran untuk mempertahankan hidupnya karena
daerah berbiak mereka sedang mengalami musim dingin. Burung-burung
migran mengunjungi daerah yang lebih hangat agar mendapatkan sumber
pakan (Ferguson & Christie. 2001). Menurut Ferguson dan Christie (2001)
terdapat 307 jenis burung pemangsa di dunia, dan menurut Bildstein (2006)
202 jenis diantaranya merupakan burung pemangsa migran.
Indonesia merupakan salah satu perlintasan dan daerah singgah migrasi
burung pemangsa. Sejak tahun 2003, pengamatan telah dilakukan oleh
komunitas pengamat, pemerhati dan peneliti burung pemangsa di Indonesia.
Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa migrasi yang dilakukan
melewati kawasan berhutan dan kawasan terbuka, beberapa diantaranya
cenderung memilih untuk tinggal sementara hingga musim berbiak tiba.
Menurut Zalles dan Bildstein (2000) 24 jenis burung pemangsa migran
melintasi dan menetap sementara (stop over ) di wilayah Indonesia melalui
Pulau Sumatera. Sumatera menjadi salah satu pintu gerbang migrasi burung
pemangsa di Indonesia melalui Pulau Rupat. Walaupun belum didefinisikan
sebagai daerah penting untuk burung (Important Bird Area ), namun Holmes
dan Rombang (2001) menyatakan bahwa Pulau Rupat sangat penting karena
merupakan lintasan sekaligus persinggahan (stop over ) bagi migrasi burung
pemangsa. Menurut Sukmantoro et al (2006) bahwa burung pemangsa
bermigrasi melintasi Pulau Rupat, singgah sementara waktu dan kemudian
melanjutkan perjalannya kembali. Sedangkan Iqbal (2000) menyatakan
bahwa sebanyak 1 080 individu burung pemangsa teramati melintasi Pulau
Rupat.
Salah satu jenis burung pemangsa migran yang teramati menggunakan
Pulau Rupat sebagai habitat singgah adalah Sikep-madu Asia (Zales &
Bildstein. 2000; Iqbal 2000; Bildstein 2006; Sukmantoro et al. 2006;
Yamazaki et al. 2012; Syartinilia et al. 2013). Penelitian menggunakan
sattelite tracking yang dilakukan oleh Higuchi 2005 membuktikan adanya
rekaman data Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat sebagai habitat.

2

Migrasi Sikep-madu Asia sangat bergantung kepada kesediaan pakan
dan termal. Termal adalah udara hangat yang bergerak naik secara vertikal
akibat perbedaan lansekap dipermukaan bumi dalam menerima sinar matahari
(Bildstein 2006) yang membantu burung untuk terbang membumbung
kemudian melayang dan meluncur untuk mempersingkat jarak agar dapat
menghemat energi (Tholin 2011). Untuk memenuhi kebutuhan pakan selama
bermigrasi, Sikep-madu Asia lebih banyak menggunakan daratan sebagai
lintasan migrasinya karena daratan menyediakan lebih sumber pakan untuk
mengisi energi (Tholin 2011).
Sejak tahun 2003, sebanyak 49 ekor Sikep-madu Asia telah dipasangi
transmiter di Jepang guna mengetahui arah pergerakan burung tersebut
menggunakan teknologi satellite tracking. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Sumatera merupakan salah satu pintu masuk migrasi Sikep-madu Asia,
burung tersebut terbang melewati Semenanjung Malaysia melintasi Selat
Malaka kemudian menuju ke Pulau Sumatera melalui Pulau Rupat, Provinsi
Riau (Higuchi et al. 2005; Syartinilia et al. 2013).
Penelitian dan pengembangan studi menggunakan teknologi satellite
tracking untuk bidang ekologi mulai dikembangkan sejak tahun 1966 (Cohn
1999; Webster et al. 2002) hingga saat ini. Teknologi ini membantu para ahli
mengumpulkan banyak bukti, misalnya; lokasi persinggahan (Higuchi et al.
1996; Green et al. 2002; Hake et al. 2003; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati
2014; Mardiyanto 2015) dan penelitian tersebut telah terpublikasi. Penelitian
yang telah dilakukan tidak hanya memberikan informasi dasar namun juga
memberikan kontribusi terhadap penentuan lokasi penting yang digunakan
sebagai habitat persinggahan atau tumpang tindih sejumlah spesies burung
(Brothers et al. 1998; Higuchi et al. 2004).
Data satellite tracking hanya terbatas informasi mengenai lokasi
keberadaan dan waktu keberadaan satwa tersebut dalam waktu tertentu.
Namun informasi tersebut menjadi sangat penting jika digabungkan dengan
variabel lingkungan (penutupan lahan, elevasi dan slope) dan dianalisis
kembali menggunakan pemodelan, sehingga menghasilkan peta karakteristik
habitat, termasuk karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau
Rupat.

Perumusan Masalah
Habitat yang dibutuhkan oleh setiap jenis satwa liar sangatlah berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Satwa liar menempati habitat sesuai
dengan lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupannya
(Alikodra 2002). Satwa liar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang
ada sebagai habitatnya, tetapi hanya menempati beberapa bagian secara
selektif (Morris 1987), hal ini berlaku juga bagi Sikep-madu Asia yang
bermigrasi, burung tersebut tidak hanya menempati seluruh kawasan
berhutan, tetapi juga kawasan lahan yang dikelola dan kawasan semi-gurun
(Ferguson & Christie. 2001).
Kawasan yang menjadi habitat sementara dan jalur migrasi satwa telah
mengalami penurunan kualitas dari waktu ke waktu. Ini menjadi ancaman,

3

sehingga dikhawatirkan menjadi hambatan terhadap keberhasilan siklus
migrasi dimasa mendatang. Tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi,
degradasi dan fragmentasi), tumpang tindih kawasan, alih fungsi lahan, serta
konversi kawasan menjadi lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi
biotik dan abiotik sekitar (Rakhman et al. 2006) menjadi ancaman serius bagi
keberlangsungan siklus tersebut. Penggunaan pestisida secara berlebihan juga
dapat memotong rantai ekologi satwa pakan pakan, sehingga jika dikonsumsi
secara akumulatif dapat menjadi racun yang berdampak buruk terhadap
kondisi burung pemangsa saat berbiak dan melakukan perjalanan panjang
(Smithsonian Institute 2012).
Informasi dasar persinggahan burung pemangsa diharapkan dapat
menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan mengenai pembangunan Pulau
Rupat. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam
pengelolaan kawasan-kawasan penting bagi migrasi burung pemangsa di
Pulau Rupat dan daerah persinggahan lainnya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan; 1) membuat model distribusi habitat
serta melakukan analisis terhadap karakteristik distribusi habitat singgah
(stop over ) Sikep-madu Asia di Pulau Rupat, 2) mendeskripsikan jumlah,
penggunaan waktu dan pola terbang migrasi saat masuk ke daratan Pulau
Rupat, dan 3) menyusun rekomendasi pengelolaan Pulau Rupat untuk
pelestarian habitat Sikep-madu Asia.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak terkait sebagai dasar
dalam merencanakan pembangunan Pulau Rupat berdasarkan siklus migrasi
burung pemangsa. Melalui penelitan ini diharapkan dapat meminimalkan
dampak penurunan kualitas habitat persinggahan dan lintasan migrasi burung
pemangsaan di Pulau Rupat.
Ruang Lingkup Penelitian
Teknologi satellite tracking telah banyak memberikan informasi
mengenai jalur dan keberadaan migrasi satwa. Informasi yang disediakan
oleh satellite tracking hanya terbatas pada lokasi keberadaan dan waktu saja.
Informasi ini menjadi sangat berharga jika digabungkan dengan variabelvariabel lingkungan dan dikelola dengan Sistem Informasi Geografis (SIG).

4

Indikator fungsi
ekologi

Burung
pemangsa
Migrasi

Ancaman :
kerusakan habitat,
deforestasi,
degradasi dan
fragmentasi

Resident
Jumlah dan pola
terbang

Sikep-madu Asia
Jalur migrasi

Sattelite tracking

Pulau Rupat
Habitat singgah
Analisis GIS
dan modeling

Penutupan
lahan

slope/ kelerengan Elevasi/ kemiringan

Distribusi karakteristik
habitat singgah
Kebijakan

Rekomendasi Pengelolaan Pulau Rupat

Gambar 1 Kerangka penelitian Sikep-madu Asia

TINJAUAN PUSTAKA
Migrasi dan Jalur
Migrasi merupakan perpindahan sekumpulan satwa dari satu wilayah
menuju ke wilayah lain secara periodik (Yamazaki et al. 2012). Migrasi
dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya dari musim dingin
di habitat berbiaknya (Clark & Newton. 1990; Yamazaki et al. 2012).
Fenomena migrasi telah berlangsung selama ratusan tahun, ini dilakukan juga
oleh burung pemangsa. Musim dingin yang melanda daerah berbiak burung
tersebut mengakibatkan minimnya ketersedian pakan, maka pilihan yang
dapat diambil adalah bermigrasi ke daerah yang lebih hangat dengan sumber
pakan yang lebih berlimpah (Bildstein 2006; Yamazaki et al. 2012).
Penelitian ilmiah telah banyak dilakukan untuk mengetahui bagaimana
sejumlah burung melakukan migrasi. Pendapat yang paling kuat mengenai
bagaimana burung bermigrasi adalah magnetic sensing. Burung migran
memiliki bahan kimia khusus atau senyawa dalam mata dan otak untuk
membantu merasakan medan magnet di bumi, ini sangat membantu navigasi
burung dalam melakukan perjalanan panjang (Ferguson & Christie. 2001).
Burung migran melakukan migrasi dengan rute setiap tahun,
walaupun terkadang rute tersebut berubah ketika mengalami gangguan yang
disebabkan oleh alam, seperti; gunung meletus, kebakaran hutan maupun
badai. Rute yang dilewati diajarkan oleh induk kepada burung muda yang

5

telah mampu bermigrasi. Informasi rute tersebut kemudian diteruskan ke
generasi berikutnya (Mayenth 2012). Burung pemangsa memiliki penglihatan
tajam sehingga memungkinkan untuk memetakan perjalanan dalam bentang
alam yang luas dan fitur geografis yang berbeda; seperti sungai, pesisir dan
pegunungan (Smithsonian Institute 2012).
Musim migrasi umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu; 1)
migrasi musim gugur (autumn migration), yaitu burung bermigrasi dari
daerah berbiak (breeding area ) menuju daerah musim dingin (wintering area ),
umumnya dilakukan sekitar Bulan September-November, dan 2) migrasi
musim semi (spring migration), yaitu burung bermigrasi kembali dari daerah
musim dingin (wintering area ) menuju daerah berbiak (breeding area ),
umumnya dilakukan sekitar Bulan Maret-Mei (Gambar 2) (Yamazaki et al.
2012).

Gambar 2 Musim migrasi burung pemangsa di Asia
(Sumber: Yamazaki et al. 2012: halaman 2)

Penelitian mengenai jalur migrasi menggunakan teknologi satellite
tracking telah dilakukan sejak tahun 2003. Sebanyak 49 individu Sikep-madu
Asia telah dipasangi Transmitter di Jepang, sehingga secara otomatis
merekam perjalanan migrasi dari habitat berbiak menuju habitat musim
dingin hingga kembali lagi (Higuchi et al. 2005) (Gambar 3).

6

Gambar 3 Jalur migrasi Sikep-madu Asia melalui satellite- tracking
(Sumber: Higuchi et al. 2005)

Keberadaan migrasi tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga dijadikan
sebagai kerangka dasar dalam pengelolaan dan perlindungan suatu area,
seperti penentuan important bird area oleh BirdLife atau area perlindungan
yang diusulkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources) (IUCN 2008). Secara umum, strategi konservasi
yang ditetapkan pemerintah Indonesia mengenai migrasi lebih banyak
mengacu pada IUCN melalui pedoman pengelompokan pengelolaan kawasan
dilindungi (Guidelines for Protected Area Management Categories) (IUCN
2008). Namun peraturan-peraturan yang lebih spesifik terhadap pengelolaan
kawasan sebagai lintasan maupun habitat singgah migrasi burung pemangsa
belum diatur secara terperinci.

Satellite Tracking

Satellite tracking merupakan salah satu metode pemantauan satwa
menggunakan teknologi satelit. Metode ini memiliki akurasi paling baik
dibandingkan teknologi lainnya, seperti; radio telemetry atau radio collar .
Menggunakan teknologi ini peneliti dapat mengetahui lokasi keberadaan
suatu satwa dan waktunya secara terperinci. Satellite tracking sudah
dikembangkan untuk mempermudah penelitian dan pengembangan ilmu
ekologi dalam skala dunia (Cohn 1999; Webster et al. 2002). Teknologi ini
telah digunakan oleh para ahli ekologi dalam mengumpulkan fakta ilmiah
yang telah terpublikasi mengenai migrasi burung, misalnya lokasi

7

persinggahan (Higuchi et al. 1996; Green et al. 2002; dan Hake et al. 2003)
dan jarak mencari makan (Brothers et al. 1998). Penelitian lain telah
dilakukan, tidak hanya memberikan informasi dasar mengenai pergerakan
spesies, tetapi juga memberikan kontribusi bagi konservasi satwa liar seperti
menunjukkan area persinggahan, tumpang tindih suatu spesies burung dalam
mencari makan, migrasi penyu dan paus (Brothers et al. 1998; Higuchi et al.
2004).
Sattelite tracking yang terpasang pada satwa disebut Platform Terminal
Transmitter (PTTs). PTTs merupakan transmitter yang digabungkan dengan
Global Position System (GPS). Pada jenis burung, alat tersebut dipasangkan
pada bagian punggung (Gillespie 2001). Transmitter yang dipasang pada
Sikep-madu Asia memiliki berat kurang dari 5% dari berat badan burung
tersebut, yaitu sekitar 9.5 gram. Alat ini menggunakan baterai nikel-kadmium
dengan memanfaatkan bahan bertenaga surya agar dapat terisi kembali. Masa
pakai baterai PTTs digunakan mencapai lebih kurang 2 sampai 4 tahun
(Howey 1997; Gillespie 2001).
Frekuensi transmisi yang digunakan pada PTTs berada pada frekuensi
401.67 MHz dan 401.68 MHz. Cara kerja PTTs adalah merekam jalurnya
menggunakan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration). Data yang diperoleh berupa informasi lokasi dan waktu saja
(kapan dan dimana satwa tersebut berada). Bentuk dan ukuran PPTs yang
terpasang pada burung pemangsa dirancang khusus agar pada saat burung
tersebut beraktivitas tidak merasa terganggu (Howey 1997).
Platform Terminal Transmitter (PTTs) dilacak menggunakan satelit
yang dimiliki oleh ARGOS. Sistem ini sengaja didedikasikan untuk
kepentingan penelitian dan mempelajari lingkungan. Instrumen ARGOS
dikendalikan di kapal US National Oceanic and Atmospheric Administration
Satelit (NOAA) dan dikelola oleh Organisasi Eropa untuk Eksploitasi
Meteorologi Satelit. Satelit tersebut bergerak mengikuti lintasan orbit sejauh
800 km di atas permukaan bumi pada kecepatan satu orbit setiap sekitar 100
menit. Data yang diterima dan disimpan oleh satelit ditransmisikan ke stasiun
di bumi, kemudian dikirim ke pusat pengolahan ARGOS global di Perancis
dan Amerika Serikat. Informasi tersebut kemudian dikirim kepada para
ilmuwan melalui internet dengan format yang diubah menjadi informasi
posisi lintang (Latitude) dan bujur (Longitude), proses ini hanya
membutuhkan waktu 20-30 menit dari waktu satelit menerima sinyal oleh
pemancar ke waktu data lokasi yang diperoleh oleh para ilmuwan di bumi
(Howey 1997; Gillespie 2001; Higuchi et al. 2005).

8

Gambar 4 Cara kerja satellite tracking melalui ARGOS
(Sumber: Higuchi et al. 2005)

Model Kesesuaian Habitat
Model kesesuaian habitat didefinisikan sebagai suatu perkiraan yang
menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk mendukung kehidupan
dan perkembangbiakan satwa (Nursal 2007). Menurut Shenk dan Franklin
(2001) bahwa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pembuatan model
adalah dengan mengumpulkan variabel bebas yang merupakan fungsi suatu
ruang yang dihubungkan dengan variabel bebas dengan ruang lainnya. Tujuan
pembangunan sebuah model bagi satwa adalah memprediksi kelayakan suatu
wilayah tertentu untuk dijadikan sebagai pendekatan dalam mengambil
keputusan pengelolaan melalui pemahaman terhadap sistem ekologi, ini
dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh
perubahan-perubahan dari keadaan tertentu (Shenk & Franklin. 2001). Model
kesesuaian habitat merupakan sebuah pendekatan yang umum dilakukan
dalam analisa spasial, hal ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang
dihadapi agar dapat mengetahui keadaan terhadap suatu kondisi lingkungan
yang kompleks.
Sikep-madu Asia
Tercatat 55 jenis burung pemangsa bermigrasi di wilayah Asia
(Yamazaki et al. 2012). Salah satu yang bermigrasi menuju Indonesia adalah
Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus Temminck, 1821) (Higuchi 2005;
Syartinilia et al. 2013). Sikep-madu Asia termasuk burung pemangsa
berukuran sedang, memiliki ukuran tubuh antara 54-65 cm dengan rentang

9

sayap mencapai 150-170 cm dan berat badan mencapai 0.75-1.49 kg
(Yamazaki et al. 2012).
Ras Jenis Sikep-madu Asia
Burung ini digolongkan dalam dua ras yang dibedakan, perbedaan
tersebut didasarkan pada panjang jambul, yaitu; 1). Ras berjambul panjang
seperti Pernis ptilorhynchus torquatus dan Pernis ptilorhynchus
ptilorhynchus, dan 2). Ras berjambul palearktika timur dengan jambul
pendek yaitu Pernis ptilorhynchus orientalis.
Jenis Pernis ptilorhynchus torquatus tersebar mulai dari Semenanjung
Malaysia, Thailand, Sumatera dan Borneo dan jenis Pernis ptilorhynchus
ptilorhynchus tersebar di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan.
Jenis Pernis ptilorhynchus orientalis tersebar diseluruh Sunda Besar.
Berbiak di selatan Siberia, Korea (Selatan dan Utara), China dan Taiwan.
Pada saat musim dingin burung ini melakukan migrasi dari Asia bagian utara
(Siberia, Jepang, Korea dan Cina) menuju Asia (Ferguson & Christie. 2001).
Pernis ptilorhynchus orientalis dapat hidup hingga ketinggian 1 200 mdpl
(MacKinnon 1990).

Gambar 5 Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus orientalis)
Perilaku Bermigrasi
Sikep-madu Asia memiliki prilaku bermigrasi secara berkelompok
(flock) bersama jenis migran lainnya antara lain, seperti; Elang Alap Cina/
Chinese Sparrowhawks (Accipiter soloensis), Elang Kelabu/ Grey-faces
Buzzard (Butastur indicus), dan Baza Hitam/ Black bazza (Aviceda leuphotes )
(The Peregrine Found 2012). Burung ini bergerak secara berkelompok
dengan jumlah antara 10 hingga lebih dari 100 ekor. Bergerak dari habitat
berbiaknya menuju daerah yang lebih hangat seperti Semenanjung Malaysia,
kepulauan di Thailand, Philipina dan kepulauan di Indonesia. Indonesia
menjadi tujuan Sikep-madu Asia yang masuk melalui Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi hingga ke Flores untuk menghabiskan musim dingin (winter ) dan
kemudian terbang kembali pada musim semi (spring) untuk berbiak

10

(Ferguson & Christie. 2001; DeCandido et al. 2004; Higuchi 2005; Syartinilia
2013).
MacKinnon et al (1990) menjelaskan bahwa migrasi Sikep-madu Asia
dilakukan dengan mengunjungi hutan pegunungan dan daerah terbuka.
Sewaktu terbang, burung tersebut memiliki ciri khas yaitu melakukan
beberapa kali kepakan kemudian melayang tinggi di udara dengan sayap
membentang datar (soaring) diikuti dengan luncuran panjang (gliding)
(MacKinnon et al. 1990). Selain itu, burung ini memiliki kebiasaan unik lain,
yaitu merampas sarang-sarang lebah (The Peregrine Found 2012).
Pola Terbang
Pola terbang migrasi burung pemangsa merupakan adaptasi dari bentuk
dan ukuran tubuh burung tersebut dengan lingkungan sekitar. Ini dilakukan
oleh burung pemangsa secara umum segai usaha melakukan efisiensi energi
mereka. Menurut Prawiradilaga et al (2003), pola terbang burung pemangsa
diidentifikasi dengan menggunakan istilah yang umum digunakan oleh
peneliti dan pemerhati burung pemangsa. Beberapa istilah tersebut antara
lain :
Undulating
(berayun)
Diving
(menukik)
Gliding
(meluncur)

: merupakan pola terbang berayun ke atas dan ke bawah
berbentuk frekuensi transversal, ini biasa dilakukan
untuk menghindari terpaan angin secara berlawanan.
: merupakan pola terbang menukik ke bawah dengan
cepat, aktivitas ini biasa dilakukan pada saat berburu
ataupun menghindari angin yang bergerak kencang.
: merupakan pola terbang meluncur dengan membuka
saya sedikit mengerucut tanpa melakukan kepakan.
Aktivitasi ini menggunakan bantuan angin dan sangat
efektif dalam perjalanan panjang selama bermigrasi.

Gambar 6. Pola terbang gliding

11

: yaitu terbang membumbung keatas membentuk
lingkaran spiral, adaptasi ini dilakukan burung
pemangsa saat pemanfaatan tekanan udara panas
yang naik secara vertikal atau biasa disebut termal.

Soaring
(membubung)

Gambar 7 Pola terbang soaring
Flapping
(mengepak)

: Aktivitas ini dilakukan oleh semua jenis burung,
flapping merupakan aktivitas terbang dengan
mengepakkan sepasang sayapnya, beberapa burung
pemangsa berukuran sedang hingga besar sangat
jarang melakukannya karena membutuhkan tenaga
yang cukup besar.

Gambar 8 Pola terbang flapping
Status Konservasi
Menurut Convention on International Trade in Endangared Species of
Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 2012, sejak tahun 2011 Sikep-madu
Asia dimasukkan ke dalam Appendix II (CITES 2012). Sedangkan The
International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2012
memasukkan burung ini kedalam kategori Least Concern (LC) yang artinya
telah dievaluasi dan tidak memenuhi syarat masuk kategori kritis, langka atau
terancam karena sebaran yang luas (IUCN 2012). Menurut hukum di Negara
Republik Indonesia, semua jenis burung pemangsa diurnal termasuk Sikepmadu Asia dimasukkan dalam daftar satwa dilindungi Undang-Undang No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya,
serta Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999.

12

Pulau Rupat
Pulau Rupat memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut.
Musim hujan terjadi antara Bulan Juli hingga November, dengan jumlah
curah hujan ± 1 100 mm/tahun dan curah hujan rata-rata 2 356 mm/tahun.
Suhu udara antara 25.5-26.4 °C dengan tekanan udara rata-rata 1 010.5 atm.
Pulau Rupat ketinggian maksimum 25 mdpl dengan topografi datar. Kelas
kemiringan yang dominan adalah kelas kemiringan 0-3%.
Habitat penting untuk migrasi bagi burung pemangsa di Asia adalah
daerah lintasan (migration routes), daerah singgah (stop over ) dan daerahdaerah yang menjadi habitat musim dingin (wintering area ) (Yamazaki et al.
2012). Habitat ini menjadi faktor kunci keberhasilan dari migrasi burung
pemangsa (Higuchi et al. 1996). Berdasarkan data satellite tracking, Pulau
Rupat memiliki nilai penting dalam jalur migrasi burung pemangsa yaitu
sebagai habitat singgah (Higuchi 2005). Holmes dan Rombang (2001)
menyatakan bahwa Pulau Rupat adalah daerah penting untuk migrasi burung
pemangsa di Sumatera.
Menurut Zalles dan Bildstein (2000) danYamazaki et al (2012),
diperkirakan migrasi burung pemangsa bergerak dari Tanjung Tuan-Malaysia
sejauh 50 km ke arah Selatan menuju Pulau Rupat melewati selat Melaka.
Sebanyak 1 080 individu Sikep-madu Asia telah dihitung di Teluk Rhu dan
Pulau Rupat pada tahun 2005 (Iqbal 2010). Burung tersebut singgah di Pulau
Rupat pada malam hari dan melanjutkan perjalanan pada pagi hari. Jarak
tempuh sejauh 50 km dilalui oleh Sikep-madu Asia untuk melewati selat
Melaka dari Semenanjung Malaysia menuju Pulau Rupat-Sumatera, begitu
juga sebaliknya (Yamazaki et al. 2012). Beberapa pulau lain yang menjadi
jalur migrasi diantaranya adalah: 1). Pulau Bengkalis, 2). Kepulauan
Karimata, dan 3). Kepulauan Riau dan 4). Pulau Belitung (Higuchi et al.
2005).

METODE
Lokasi
Penelitian dilaksanakan bersamaan dengan musim migrasi burung
pemangsa 2012 yaitu pada bulan Oktober 2012 di Pulau Rupat. Pulau Rupat
merupakan pulau terluar yang terletak antara Pulau Sumatera (Provinsi Riau)
dan Semenanjung Malaysia. Secara administrasi pulau ini masuk ke dalam
wilayah administratif Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau sedangkan secara
geografis pulau ini terletak di 01o70, 2’- 2o 5' LU dan 101o 30, 5' - 101o 72'
BT dengan luas ± 1 500 km2 (Gambar 9).

13

Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, Tally sheet pengamatan,
Binocular dan Telescope, Digital SLR Camera dengan perbesaran lensa 70300 mm hingga 150-400 mm, kompas, alat penunjuk waktu, Manual Guide
Raptor of the Word (Ferguson & Christie. 2001). Analisis data dilakukan
dengan menggunakan ArcMap 9.3, Ramas GIS, SPSS 16.0, dan Erdas ER
MAPPER.

Gambar 9 Peta Pulau Rupat sebagai lokasi penelitian

Bahan
Bahan yang digunakan adalah peta Aster DEM untuk membuat peta
slope dan elevasi peta. Data Citra Spot_4 diakses tanggal 27 Juni 2011 dengan
skala 10x10 m digunakan untuk membuat peta penutupan lahan, dan data
satellite tracking untuk membuat Presence (Tabel 1). Data satellite tracking
yang diperoleh merupakan data satelit yang telah di analisis sebelumnya
(Higuchi et al. 2005).
Tabel 1 Jenis, bentuk dan sumber data penelitian
No.

Jenis data

Tipe data

Sumber data

1.

Peta Administrasi
Kabupaten Bengkalis

Vektor

BAPPEDA Kabupaten Bengkaliss

2.

Data Tracking

Vektor: Poin

ARGOS 2011

3.

Slope/ Kelerengan

Raster; Continue

ASTER GDEM
(http://asterweb.jpl.nasa.
gov/gdem.asp)

4.

Elevasi

Raster; Continue

ASTER GDEM
(http://asterweb.jpl.nasa.
gov/gdem.asp)

5.

Citra Spot_4 (27 Juni
2011)

Vektor; resolusi 10
x 10 m

LAPAN

14

a

Raster adalah kumpulan pixel yang membentuk suatu objek yang terdiri dari baris dan
kolom; bVektor merupakan gambar yang didefinisikan dalam notasi x dan y guna
menggambarkan titik lokasi, garis atau polygon; cDEM (Digital Elevation Model)

Prosedur Analisis Data
Analisis data dalam penelitian dilakukan melalui 3 tahap, yaitu;
pembangunan model distribusi habitat singgah Sikep-madu Asia berbasis
data satellite tracking, tahap kedua adalah mendeskripsikan jumlah dan pola
terbang migrasi Sikep-madu Asia di Pulau Rupat dan tahap ketiga adalah
menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan Pulau Rupat.
Kondisi penutupan lahan
Data yang digunakan dalam pembuatan model adalah peta penutupan
lahan, oleh karena itu diperlukan analisis citra untuk pembuatan peta
penutupan lahan. Pembuatan penutupan lahan dimulai dengan menentuan
kelas penutupan lahan yang sesuai dengan kondisi dilokasi penelitian. Peta
yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Spot 4_27 Juni 2011 dengan
resolusi 10x10 m yang telah dilakukan koreksi geometrik dalam format WGS
1984 UTM Zone 47S. Proses pembuatan peta penutupan lahan dikerjakan
dengan menggunakan software ERDAS IMAGE 9.1.
Analisis penutupan lahan Pulau Rupat memperoleh 8 kelas penutupan
lahan yaitu; badan air, hutan, mangrove, pemukiman, pertanian, perkebunan,
sawah dan semak belukar (Table 2 & 3). Penutupan lahan kemudian dihitung
nilai akurasinya. Akurasi dapat diterima jika overall accuration dan Kappa
accuration mencapai minimal 75% untuk akurasi keseluruhan (Syartinilia &
Tsuyuki. 2008). Berdasarkan hasil analisa penutupan lahan, diperoleh nilai
akurasi umum hasil klasifikasi dalam peta penutupan lahan sebesar 96.69%,
sedangkan akurasi kappa sebesar 96.37%.
Kawasan Pulau Rupat memiliki luasan lebih kurang 1 500 km2, namun
peta citra yang dimiliki terpotong pada bagian selatannya sehingga sisanya
tidak dapat dianalisis, sehingga luas area studi menjadi seluas 1 461.95 km2
(Table 2 & 3). Hutan mendominasi penutupan lahan di Pulau Rupat dengan
luas mencapai 32.83 % dari total luasan pulau, perkebunan yang ada di
kawasan pulau mencapai 22.75%. Pertanian memiliki luasan mencapai
13.76%. Kondisi penutupan lahan kemudian yang dianalisis menghasilkan
peta penutupan lahan (Lampiran 1) dengan gambaran lahan seperti gambar
10.

15

Gambar 10 Penutupan lahan di Pulau Rupat

16

Tabel 2 Diskripsi kelas penutupan lahan

1

Penutupan
Lahan
Air

2

Hutan

3

Perkebunan

4

Pertanian

5

Mangrove

6

Permukiman

7

Sawah

8

Semak
Belukar

No

Diskripsi
: Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan, termasuk
sungai, danau dan waduk.
: Merupakan area hutan yang luas, sebagian hutan tergenang air
setiap periodik dan sebagian merupakan area hutan gambut.
Sebagian telah dibersihkan (land clearing) secara masif.
Daerah ini merupakan konsesi hutan produksi yang telah
disahkan oleh Pemerintah daerah dan mendapat persetujuan
Kementerian Kehutanan untuk dikelola.
: Merupakan tegakan monokultur seperti kelapa (Cocos
nucifera ), kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq ) atau karet
(Hevea brasiliensis) yang dikelola oleh perorangan maupun
perusahaan. Tegakan ini menggunakan lahan yang luas
(minimal 2 Ha), ditanam dengan rapih menggunakan jarak
tanam yang telah ditentukan.
: Merupakan area tanaman pangan berupa jenis pertanian lahan
kering seperti singkong, jagung dan tanaman sayuran lainnya.
: Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh di daerah
pantai atau sekitar muara yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Di Pulau Rupat Vegetasi mangrove tersebut meliputi
koloni bakau hitam (Rhizophora mucronata ), bakau putih (R.
apiculata ), api-api (Avicennia sp.), tanjang (Bruguiera
gymnorrhiza ), tenggar (Ceriops tagal), pedada (Sonneratia
sp.), lenggadai (Bruguiera parviflora ), nyirih (Xylocarpus sp),
buta-buta (Excoecaria sp.), nibung (Oncosperma tigillarid),
jelutung (Dyera lawii), nipah (Nypa frutikan) dan lontar
(Borassus flabellifer ).
: Seluruh kawasan yang difungsikan sebagai permukiman,
bangunan maupun sarana dan prasaranan terbangun lainnya.
Berupa permukiman padat (perumahan) atau area terbangun
lainnya.
: Seluruh kawasan berupa pertanian yang ditanami padi lahan
basah.
: Seluruh kawasan yang terdiri dari campuran antara semak
belukar yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan.

Sumber: data lapang

Tabel 3 Kondisi penutupan lahan di Pulau Rupat
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Penutupan Lahan
Air
Hutan
Perkebun
Pertanian
Mangrove
Permukiman
Sawah
Semak Belukar
Total

Sumber: citra spot 4 10X10 m juni 2011

km2
3019.56
48001.16
33259.16
20114.88
14373.12
504.32
2117.2
16014.92
146,195

%
2.07
32.83
22.75
13.76
9.83
0.34
1.45
10.95
100.00

17

Kemiringan lahan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/ Kpts/ Um/
11/ 1980 dan No: 683/ Kpts/ Um/ 8/ 1981, maka untuk kelas kemiringan lahan
(slope) dibagi menjadi enam kelas (Tabel 4). Pembuatan klasifikasi kelas
kemiringan lahan dilakukan dengan metode reclassify menjadi 6 kelas dengan
menggunakan software ARC MAP 9.3 (Lampiran 2). Bahan pembuatan peta
slope yaitu peta ASTER DEM dengan resolusi 30x30 m.
Tabel 4 Klasifikasi kemiringan lahan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kelas
I
II
III
IV
V
VI

Kemiringan Lahan
0-3%
3-8%
8-15%
15-25%
25-40%
>40%

Sumber : SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan
No: 683/Kpts/Um/8/1981. Sumber: ASTER DEM Juni 2011

Kelas kemiringan lahan Di Pulau Rupat didominasi oleh kelas
kemiringan 0-3%. Walaupun demikian, beberapa daerah di Pulau Rupat juga
memiliki kelas kemiringan lahan mencapai >40%. Daerah yang memiliki
kelas kemiringan lereng >40% terdapat di perbatasan antara Rupat Utara dan
Rupat Selatan (Lampiran 2).
Ketinggian Tempat
Berdasarkan penelitian sebelumnya, kelas ketinggian tempat (elevasi)
dibagi menjadi lima kelas. Dengan cara recode/ reclassify menjadi 5 kelas
dengan menggunakan software ARC MAP 9.3 (Tabel 5 & lampiran 3). Bahan
pembuatan peta ketinggian tempat yaitu peta ASTER DEM dengan resolusi
30x30m.
Tabel 5 Klasifikasi kelas ketinggian tempat
No
1.
2.
3.
4.
5.

Kelas
I
II
III
IV
V

Elevasi
0-100 meter
100-200 meter
200-300 meter
400-500 meter
500-600 meter

Sumber : ASTER DEM Juni 2011

Hasil analisis menunjukkan bahwa maksimal elevasi atau ketinggian
tempat di Pulau Rupat hanya mencapai 85 meter (< 100 meter). Mengacu
pada Ameliawati (2014) dan Mardiyanto (2015) maka maka kelas elevasi
dianggap memiliki kelerengan seragam (Lampiran 3)

18

Pembuatan Variabel Lingkungan
Peta jarak terdekat (euclidean distance) dari selurh variable lingkungan
dibuat untuk memberikan informasi setiap sel dalam raster ke sumber terdekat
sama (ESRI 2007). Untuk memperoleh jarak terdekat, maka seluruh peta
diubah melalui proses euclidean distance pada Spatial Analysis Tools
sehingga menghasilkan peta jarak dari 15 variabel lingkungan yang
digunakan dalam proses penyusunan model (Tabel 6 & Lampiran 4-18).
Tabel 6 Variabel jarak ke Lingkungan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Variabel Lingkungan
Jarak terdekat ke Kemiringan 0-3 %
Jarak terdekat ke Kemiringan 3-8 %
Jarak terdekat ke Kemiringan 8-15 %
Jarak terdekat ke Kemiringan 15-25 %
Jarak terdekat ke Kemiringan 25-40 %
Jarak terdekat ke Kemiringan > 40 %
Jarak terdekat ke Elevasi
Jarak terdekat ke Badan Air
Jarak terdekat ke Pertanian
Jarak terdekat ke Pemukiman
Jarak terdekat ke perkebunan
Jarak terdekat ke Sawah
Jarak terdekat ke Hutan
Jarak terdekat ke Belukar
Jarak terdekat ke Mangrove

Singkatan
JTKS1
JTKS2
JTKS3
JTKS4
JTKS5
JTKS6
JTE 1
JTKA
JTKPt
JTKPm
JTKPb
JTKS
JTKH
JTKB
JTKM

Sumber
Ekstrasi dari ASTER
DEM yang di buat
menjadi peta euclidean
distance

Ekstrasi
dari
peta
penutupan lahan yang di
buat
menjadi
peta
euclidean distance

Membangun Model Distribusi Habitat Singgah (Stop over Habitat)
Berdasarkan Data Satellite tracking
Kajian habitat singgah dilakukan dengan cara melakukan observasi
langsung (ground check) berdasarkan data satellite tracking, data informasi
dilapangan maupun studi literatur. Informasi yang terkumpul kemudian
didokumentasikan dalam bentuk pencatatan koordinat. Evaluasi yang
dilakukan berupa evaluasi fisik mengenai perubahan atau gangguan
lingkungan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi terkini sebagai bahan
analisis selanjutnya, sehingga dapat diteruskan ke membangun model.
Membangun Model
Data yang dikumpulkan adalah data spasial dan non-spasial. Data
spasial meliputi peta administrasi, peta penutupan lahan, peta kemiringan
lahan dan peta ketinggian tempat. Sedangkan data non-spasial berupa data
informasi dari lapangan maupun studi literatur.
Membangun model dilakukan berdasarkan perbandingan peubahpeubah lingkungan yang terdapat dilokasi dijumpai Sikep-madu Asia dan
lokasi yang diduga tidak ada Sikep-madu Asia. Model yang digunakan adalah
model regresi logistik biner (Binary Logistic Regression). Regresi logistik
biner adalah regresi dengan variabel terikatnya adalah dummy, yaitu 1 dan 0.
Penotasian y = 1 menyatakan lokasi teridentifikasi ada dan y = 0 menyatakan

19

lokasi teridentifikasi tidak ada. Model ini pernah digunakan pada burung
Elang Jawa (Syartinilia & Tsuyuki. 2008), Burung Maleo (Ambagau 2010).

Presence dan Pseudo-absence

Model dibangun berdasarkan presence dan pseudo-absence dengan
asumsi bahwa titik presence maupun pseudo-absence berjumlah sama
(Syartinilia & Tsuyuki. 2008; Ambagau 2010; Ameliawati 2014). Data
presence berjumlah 58 titik, dengan rincian berupa 26 titik satellte tracking
dan 32 titik yang terkumpul dilapang.
Pseudo-absence diambil dari lokasi yang tidak ditemukan Sikep-madu
Asia melalui hasil pengamatan dilapangan (20 titik). Sejumah 38 titik
ditambahkan melalui pemilihan lokasi terdekat dengan titik presence.
Pemilihan didasarkan pada karakteristik penutupan lahan yang sama, namun
tidak dijumpai Sikep-madu Asia. Ini dibuat dengan cara membuat grid seluas
1x1 km2, kemudian menunjukan titik sejauh 3 grid dari titik presence,
dilakukan menggunakan random sample plug-in hawths tools pada perangkat
lunak ArcGIS. Jumlah total yang digunakan secara keseluruhan adalah 116
titik. Total jumlah titik yang digunakan untuk membangun model sebanyak
70%, sedangkan sisanya sebanyak 30% digunakan sebagai validasi model.
Analisis regresi logistik digunakan untuk memprediksi pengaruh antara
variabel terikat dan variabel bebas. Pengaruh nyata atau tidak variable
tersebut dilakukan dengan uji t (α ≤0.01). Prosedur penanggulangan untuk
mengatasi masalah variabel tidak berpengaruh nyata (tidak signifikan)
dilakukan dengan mengeliminasi peubah yang memiliki sig (p ≤0.05).
Pengembangan model regresi logistik dilakukan menggunakan software
SPSS, selanjutnya dimasukan kedalam software Ramas GIS (Syartinilia &
Tsuyuki. 2008) sesuai rumus yang telah ditentukan (Syartinilia 2008;
Ambagau 2010; Ameliawati 2014) hingga menghasilkan peta kesesuaian.
Pi 

1

k
 

1  exp    0    j x ji 
j 1
 


Keterangan: P= Peluang perjumpaan Sikep-madu Asia; Xji = adalah variabel/ peubah atas
(kovariet); i adalah piksel dan ß0 adalah konstanta dan ßj adalah koefisien
hasil pengukuran dan k adalah jumlah peubah

Penerapan model akan menghasilkan peta kesesuaian habitat Sikepmadu Asia yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu; daerah yang sesuai
(suitable) dan daerah yang tidak sesuai (not-suitable). Pembuatan peta
kesesuaian habitat Sikep-madu Asia dibuat menggunakan tools RAMAS
Landscape dalam perangkat lunak ARC GIS 9.3.
Uji Kelayakan Model
Uji kelayakan model dibangun berdasarkan Uji Hosmer-Lemeshow.
Variabel yang mempunyai nilai ≤ 0.05 dinyatakan layak. Koefisien

20

determinasi ditentukan berdasarkan nilai Nagelkerke R2 dengan batas nilai ≥
50% (Syartinilia & Tsuyuki. 2008). Apabila model tersebut layak maka akan
dilanjutkan pada tahapan berikutnya, sedangkan jika tidak memenuhi batas
nilai maka proses di ulang kembali.
Model Validasi
Validasi model dilakukan dengan menggunakan 30% dari sisa
penyusunan model, Validasi model akan menghasilkan dua kesalahan
(error ); pertama ommision error , yaitu model memprediksi suatu lokasi
sebagai habitat yang tidak sesuai walaupun Sikep-madu Asia ditemukan pada
lokasi tersebut dan, kedua adalah comission error, yaitu model memprediksi
suatu lokasi sebagai habitat yang sesuai namun tidak pernah dilaporkan
adanya Sikep-madu Asia pada lokasi tersebut (Ottaviani et al. 2014;
Syartinilia & Tsuyuki. 2008).
Menurut Syartinilia dan Tsuyuki (2008), terdapat dua kesalahan (error )
yang dijumpai dalam tahap validasi model baku. Pertama comission error ,
yaitu model memprediksi suatu lokasi atau bisa didefinisikan sebagai
kesalahan k