Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus) Di Kabupaten Belitung Timur Berbasis Data Satellitetracking

MODEL KESESUAIAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU
ASIA (Pernis ptilorhynchus) DI KABUPATEN BELITUNG
TIMUR BERBASIS DATA SATELLITE-TRACKING

ANGGI MARDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Kesesuaian
Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung
Timur berbasis Data Satellite-tracking adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Anggi Mardiyanto
NIM A451110101

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
ANGGI MARDIYANTO. Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia
(Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung Timur berbasis Data Satellitetracking. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan AFRA D. N. MAKALEW.
Pengetahuan mengenai distribusi habitat singgah adalah suatu prasyarat
untuk memahami ekologi dan pengelolaan habitat singgah. Kabupaten Belitung
Timur adalah habitat singgah yang penting bagi elang migran Sikep Madu Asia
(SMA) (Pernis ptilotrhynchus) berdasrkan data satellite-tracking tahun 20062009. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membangun model kesesuaian habitat
singgah SMA berbasis data satellite-tracking, (2) mengekstrapolasi model ke
seluruh wilayah Kabupaten Belitung Timur, dan (3) menyusun rekomendasi
pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur.
Distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA ditentukan melalui sistem
informasi geografis (SIG) dan data satellite-tracking. Analisis regresi logistik

digunakan untuk mengalisis beberapa variabel lingkungan meliputi kemiringan
lahan, elevasi, dan jarak terdekat terhadap beberapa penutupan lahan untuk
menentukan distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA.
Model regresi logistik menghasilkan 5 variabel lingkungan yang
mempengaruhi distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA. Variabel
lingkungan tersebut, yaitu jarak terdekat dengan elevasi lebih dari 300 m, jarak
terdekat dengan badan air, jarak terdekat dengan hutan, jarak terdekat dengan
perkebunan, dan jarak terdekat dengan area tambang. Model tersebut layak
berdasarkan uji Hosmer & Lemeshow dengan nilai sebesar 98.7%. Nilai
Negelkerke R2 hasil perhitungan sebesar 85.4%. Hal itu menunjukkan bahwa
85.4% distribusi habitat singgah SMA dapat dijelaskan oleh variabel dalam model
dan 14.6% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model. Ekstrapolasi
model menunjukkan luas habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur
sebesar 2 453.14 km2 mencakup 94.93% area Kabupaten Belitung Timur.
Identifikasi karakteristik lanskap dari penelitian ini dapat digunakan sebagai
informasi dasar bagi pembangunan wilayah Kabupaten Belitung Timur berbasis
ekologi dan pengelolaan habitat singgah.
Kata kunci: habitat singgah, logistik biner, satellite-tracking, SIG, Sikep Madu
Asia


SUMMARY
ANGGI MARDIYANTO. Spatial suitability model of stopover habitats used by
oriental honey buzzards in East Belitung based on satellite-tracking data.
Supervised by SYARTINILIA and AFRA D. N. MAKALEW.
Knowledge of spatial distribution the stopover habitats of migratory raptors
is a prerequisite to understanding their stopover ecology and managing their
habitats. East Belitung is the important stopover habitat of migratory raptors
Oriental Honey Buzzards (OHBs Pernis ptilorhynchus) based on satellite-tracking
data 2006-2009. The aims of this study were: (1) to develop OHBs’ stopover
habitat suitability model based on satellite-tracking data, (2) to extrapolate model
to the whole area of East Belitung, and (3) to provide recommendations for
managing the stopover habitat in East Belitung.
Distribution and characteristics of OHBs stopover habitats in East Belitung
could be determined by using geographic information systems (GIS) and satellitetracking data. Logistic regression analysis were used for analyzing several
environmental variables (i.e. slope, elevation and distance to the nearest several
land cover) for characterizing the landscape characteristics of OHBs’ stopover
habitats.
Logistic regression model generated five environmental variables that affect
the distribution of OHBs’ stopover habitat. Those variables, which were nearest
distance to elevation more than 300 m, nearest distance to water body, nearest

distance to the forest, nearest distance to the plantation, and nearest distance to the
mining area. This model was feasible based on the Hosmer & Lemeshow test
because it has a value of 98.7%. The result of Negelkerke R2 test revealed 85.4%
value. This showed that 85.4% of OHBs’ stopover habitat distribution could be
explained by the variables in the model and 14.6% were explained by variables or
other factors outside the model. Extrapolation model showed that distribution of
stopover habitats covered 2 453.14 km2 (94.93%) of East Belitung area.
Indentification these landscape characteristics provide baseline for ecologicalbased development of East Belitung and managing stopover habitats.
Keywords: GIS, logistic regression, Oriental Honey Buzzards, satellite-tracking,
stopover site

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


MODEL KESESUAIAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU
ASIA (Pernis ptilorhynchus) DI KABUPATEN BELITUNG
TIMUR BERBASIS DATA SATELLITE-TRACKING

ANGGI MARDIYANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc


PRAKATA
Segala puji dan syukur bagi Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyusun penelitian dengan judul “Model Kesesuaian
Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung
Timur berbasis Data Satellite-tracking. Salawat serta salam semoga tetap tercurah
kepada suri teladan Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat, dan
pengikutnya. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dalam kerjasama
peneliti yang berjudul “Hibah Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional
No. 203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI)
dengan ketua tim Dr. Syartinilia, SP, M.Si.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Prof. Hiroyoshi Higuchi (Keio University, Jepang) atas kesediannya
memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data satellite-tracking
dari individu Sikep Madu Asia (SMA);
2. Dr. Syartinilia, SP, M.Si. dan Dr. Ir. Afra D. N. Makalew, M.Sc. selaku
komisi pembimbing atas saran, nasihat, dan bimbingannya;
3. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. selaku
penguji atas komentar, saran, dan nasihatnya;
4. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur atas izin dan bantuan yang diberikan

saat pelaksanaan survei;
5. Bapak, ibu, adik, dan keluarga tercinta atas nasihat, doa, dan dukungannya;
6. Teman-teman tercinta atas doa, dukungan, dan bantuannya.
Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan nilai manfaat dan menjadi amal
saleh yang diterima oleh Allah Swt., amin.

Bogor, April 2015
Anggi Mardiyanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sikep Madu Asia
Model Kesesuaian Habitat
Habitat Singgah

Satellite-tracking dan SIG

4
4
5
5
6

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Alat dan Data Penelitian
Tahapan Penelitian

7
7
8
8

4 KONDISI UMUM
Letak

Fisik
Kondisi Masyarakat

19
19
20
20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA
Ekstrapolasi Model Habitat Singgah SMA
Periode Singgah SMA
Rekomendasi Pengelolaan Habitat Singgah SMA

21
21
30
31
33


6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

35
35
35

DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

57

DAFTAR TABEL
1 Pengambilan informasi dan data
2 Klasifikasi kemiringan lahan
3 Komposisi penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur
4 Deskripsi kelas penutupan lahan
5 Variabel lingkungan
6 Hasil uji VIF
7 Hasil uji t-test variabel lingkungan
8 Hasil analisis regresi logistik forward stepwise
9 Perbedaan karakteristik habitat singgah dan habitat musim dingin SMA

8
11
12
14
15
21
22
23
25

DAFTAR GAMBAR
1 Rute migrasi 23 individu SMA tahun 2006-2009
1
2 Kerangka pikir studi
2
3 Sikep Madu Asia
4
4 Peta lokasi penelitian
7
5 Bagan alir studi
9
6 Bagan alir pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan
10
7 Peta elevasi Kabupaten Belitung Timur
10
8 Peta kemiringan lahan Kabupaten Belitung Timur
11
9 Bagan alir pembuatan peta tutupan lahan
12
10 Kondisi penutupan lahan (a) area tambang, (b) badan air, (c) permukiman,
(d) semak belukar, (e) hutan, (f) perkebunan, dan (g) tegalan
13
11 Peta penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur
14
12 Area pembuatan model
17
13 Peta administrasi Kabupaten Belitung Timur
19
14 Keadaan buruh menurut sektor dan jenis kelamin di Kabupaten tahun 2010 20
15 Leading line
24
16 Model habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur
25
17 Lanskap (a) hutan mangrove dan (b) hutan lahan kering
27
18 Lanskap badan air
28
19 Lanskap perkebunan sawit
29
20 Lanskap area tambang
29
21 Struktur habitat singgah SMA
30
22 Model ekstrapolasi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung
31
23 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim gugur
32
24 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim semi
32
25 Lama tinggal SMA di Pulau Kalimantan
32
26 Gambar distribusi individu SMA yang singgah lebih dari 10 hari
33

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai akurasi umum dan akurasi kappa
2 Peta euclidean distance badan air
3 Peta euclidean distance semak belukar
4 Peta euclidean distance hutan
5 Peta euclidean distance perkebunan
6 Peta euclidean distance permukiman
7 Peta euclidean distance area tambang
8 Peta euclidean distance tegalan
9 Peta euclidean distance elevasi 0-300 m
10 Peta euclidean distance elevasi >300 m
11 Peta euclidean distance slope 0-3%
12 Peta euclidean distance slope 3-8%
13 Peta euclidean distance slope 8-15%
14 Peta euclidean distance slope 15-25%
15 Peta euclidean distance 25-40%
16 Peta euclidean distance >40%
17 Daftar waktu singgah SMA

40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Elang adalah burung pemangsa yang menempati posisi tertinggi dalam
rantai makanan, serta berfungsi sebagai spesies indikator bagi kesehatan
ekosistem. Penurunan jumlah populasi elang dapat menunjukkan penurunan
kualitas pada ekosistem yang menjadi habitatnya. Kelestarian habitat elang
terancam karena perubahan struktur dan fungsi pada suatu lanskap seperti
deforestasi, fragmentasi lahan, dan perburuan liar (Syartinilia dan Tsuyuki 2008).
Keberadaan elang di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1990
dan Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999.
Sikep Madu Asia (SMA) (Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu jenis
elang yang melakukan migrasi dan diketahui mempunyai habitat untuk tiga tujuan,
yaitu: reproduksi (habitat berkembang biak), persinggahan (habitat singgah), dan
tinggal sementara pada masa musim dingin (habitat musim dingin). SMA
berkembang biak di bagian Selatan Siberia, Utara Mongolia, Timur Laut Cina,
Korea dan Jepang yang kemudian bermigrasi ke arah Selatan pada musim dingin
(Ornithological Society of Japan 2000). SMA mempunyai habitat musim dingin
di Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste (Syartinilia et al. 2015).
Kabupaten Belitung Timur merupakan habitat singgah SMA yang sangat
penting. Berdasarkan data satellite-tracking tahun 2006-2009, 23 individu SMA
(11 betina dan 12 jantan) menggunakan Kabupaten Belitung Timur sebagai
habitat singgah terakhir sebelum mencapai habitat musim dinginnya di
Kalimantan (Gambar 2). Kerusakan pada lanskap Kabupaten Belitung Timur
dapat mengancam kelestarian habitat singgah SMA yang dapat mengakibatkan
kepunahan SMA karena kehilangan salah satu dari tiga habitat dalam hidupnya.

BELITUNG TIMUR

Gambar 1 Rute migrasi 23 individu SMA tahun 2006-2009
(Sumber: ARGOS)

2
Pembangunan model kesesuaian habitat diperlukan untuk mengetahui
distribusi habitat singgah SMA. Pembangunan model kesesuaian habitat singgah
SMA diharapkan dapat mengidentifikasi karakteristik habitat singgah yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA di
Kabupaten Belitung Timur (Gambar 2). Model kesesuaian habitat singgah SMA
dibangun berdasarkan data satellite-tracking yang diintegrasikan dengan SIG.
Satellite-tracking memberikan informasi mengenai waktu dan lokasi keberadaan
SMA. Pengintegrasian data satellite-tracking dan SIG memungkinkan untuk
menganalisis karakteristik habitat singgah SMA.
Kerusakan ekosistem:
fragmentasi lahan,
deforestasi dan perburuan
liar

Elang

Spesies
indikator

Keberlanjutan ekosistem

UU No. 5 tahun 1990, PP No. 7 dan 8
tahun 1999
SMA

Migrasi

Habitat
berkembangbiak

§ Sistem Informasi Geografis (SIG)
§ Data spasial (variabel lingkungan)

Elevasi

Penutupan lahan

Ekstrapolasi model ke
seluruh wilayah Kabupaten
Belitung Timur

Habitat
singgah

Karakteristik habitat
singgah SMA

Kemiringan
lahan

Validasi model

Model kesesuaian
habitat singgah SMA

Rekomendasi
pengelolaan habitat
singgah SMA di
Kabupaten Belitung
Timur

Gambar 2 Kerangka pikir studi

Satellite-tracking

Habitat
musim dingin

3
Perumusan Masalah
Suatu ekosistem akan lestari apabila struktur dan fungsinya terjaga dengan
baik. Elang merupakan spesies indikator yang paling sensitif terhadap perubahan
ekosistem. SMA merupakan elang yang melakukan migrasi pada musim dingin
untuk memenuhi kebutuhan makanannya menuju wilayah tropis yang mempunyai
iklim lebih hangat. Salah satu habitat musim dingin SMA adalah Indonesia.
Sebelum menetap di suatu tempat di Indonesia, terlebih dahulu mereka singgah
untuk mengumpulkan energi, istirahat, dan menunggu keadaan iklim yang baik.
Data satellite-tracking pada tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa Kabupaten
Belitung Timur adalah habitat singgah terakhir sebelum menuju habitat musim
dingin di Kalimantan.
SMA merupakan burung migrasi yang mempunyai data satellite-tracking
paling lengkap. Data satellite-tracking merupakan data yang paling akurat untuk
mengetahui distribusi habitat dibandingkan dengan data lain seperti: (1) sarang
yang diteliti oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008) pada distribusi Elang Jawa di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) jarak dari padang rumput, sungai,
dan pantai pada model habitat Banteng di Ujung Kulon oleh Rekyanto (2010), (3)
tutupan lahan hutan dan badan air pada model kesuaian habitat Harimau Sumatera
oleh Putri (2010), dan (4) pergerakan satwa setelah bertelur, bunyi satwa, serta
serasah yang terinjak oleh satwa pada model habitat burung Maleo di Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone oleh Ambagau (2010). Keberadaan habitat
singgah di Kabupaten Belitung Timur terancam apabila tidak ada pengelolaan
yang baik. Pembangunan model kesesuaian habitat singgah SMA serta identifikasi
kondisi habitat sangat diperlukan untuk menyusun rekomendasi pengelolaan
habitat singgah SMA.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun model kesesuaian habitat
singgah SMA berbasis data satellite-tracking; (2) mengekstrapolasi model ke
seluruh Kabupaten Belitung Timur; dan (3) menyusun rekomendasi pengelolaan
habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perencanaan dan
pengelolaan wilayah yang berbasis ekologi dan menjadi pedoman konservasi bagi
wilayah lain yang menjadi habitat singgah SMA.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah membangun model kesesuaian habitat
singgah SMA berdasarkan data satellite-tracking dengan mengidentifikasi
variabel lingkungan yang mendukung kelestarian habitat singgah SMA.
Keberadaan SMA menjadi indikator bagi kesehatan dan kelestarian ekosistem di
Kabupaten Belitung Timur.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sikep Madu Asia
SMA (Gambar 3) merupakan elang berukuran sedang, berwarna gelap
dengan jambul kecil panjang sekitar 53–65 cm, lebar sayap sekitar 113-142 cm,
dan lebar ekor sebesar 24-29 cm serta burung ini bertengger secara berkelompok
(Ferguson dan Christie 2005). Berat jantan dewasa antara 0.75 hingga 1.28 kg dan
pada betina antara 0.95 hingga 1.49 kg (ARRCN 2012). Warna sangat bervariasi
dengan penampilan warna terang, normal, dan gelap dari dua ras yang berbeda,
masing-masing menyerupai jenis-jenis Spizaetus dan Buteo. Tubuh bagian atas
coklat, bagian tubuh bawah putih sampai merah sawo matang dan coklat gelap,
berbintik-bintik, serta bergaris-garis banyak. Pada ekor terdapat garis-garis yang
tidak teratur.

Gambar 3 Sikep Madu Asia
(Sumber: Purwanto 2009)
Setiap ras mempunyai bercak di kerongkongan yang umumnya berwarna
pucat dan dibatasi coretan hitam, sering mempunyai garis tengah berwarna hitam.
Iris berwarna jingga, paruh berwarna abu-abu, kaki berwarna kuning, dan dari
jarak pendek bulu-bulu yang berbentuk sisik di depan mata merupakan ciri khas
yang diagnostik (Mackinnon 1993). SMA hidup di kawasan hutan, kawasan lahan
yang terolah, dan semi-gurun (Ferguson dan Christie 2005). SMA memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Aves
Ordo
: Accipitriformes
Family
: Accipitridae
Genus
: Pernis
Species
: Pernis ptilorhynchus

5
Model Kesesuaian Habitat
Model merupakan penyederhanaan bentuk nyata. Pemodelan Arsitektur
Lanskap adalah bagaimana membangun model yang dapat menerangkan
hubungan antar parameter/variabel dalam lanskap, dan dengan simulasi yang
dibuat dapat menciptakan lanskap yang ideal (harmonis, serasi, indah, dan
nyaman) (Hadi 2012). Pemodelan kesesuaian habitat singgah SMA dibangun
berdasarkan data satellite-tracking yang dibangun dengan teknik SIG. Model yang
dihasilkan dapat digunakan untuk mengetahui distribusi habitat singgah SMA di
Kabupaten Belitung Timur secara menyeluruh dengan asumsi tertentu.
Model mengandung dua pengertian, yaitu abstraksi dari suatu kenyataan
yang ada di permukaan bumi dan representasi dari data realitas (Jaya 2007).
Model spasial merupakan model berbasis data spasial yang dapat dikelaskan
dalam tiga klasifikasi model bergantung pada masukan data, analisis, maupun
keluaran dari model tersebut (Rekyanto 2010). Model kesesuian habitat
merupakan model lokasi penyebaran kesesuaian habitat. Model tersebut berbentuk
peta kesesuaian habitat. Model kesesuaian habitat merupakan sebuah model yang
menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk mendukung kehidupan dan
perkembangbiakan satwa (Nursal 2007).
Model spasial adalah sesuatu yang memiliki satu atau lebih variabel bebas
yang merupakan fungsi suatu ruang atau sesuatu yang dapat dihubungkan dengan
variabel bebas (Ambagau 2010). Pemodelan kesesuaian habitat satwa liar adalah
suatu analisis hubungan kompleks antara beberapa variasi faktor lingkungan yang
tersedia yang merupakan kebutuhan hidup dari satwa liar dalam bentuk geografis
(Coop dan Catling 2002). Pemodelan dalam peneltian ini digunakan untuk
memprediksi penyebaran habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur.
Model tersebut merupakan kelompok pemodelan prediktif (Jaya 2002). Dalam
penelitian ini pembangunan model menggunakan variabel-variabel prediktor yang
berasal dari data spasial. Pemodelan prediktif pada umunya menggunakan teknik
statistik dalam penyusunan model dan yang metode yang digunakan biasanya
menggunakan analisis regresi (Putri 2010).

Habitat Singgah
Makhluk hidup memerlukan sebuah habitat atau lingkungan untuk hidup.
Habitat merupakan suatu lanskap dimana makhluk hidup tinggal, mencari
makanan, dan berkembang biak. Habitat bagi satwa liar mempunyai fungsi
sebagai penyedia makanan, air, dan perlindungan (Alikodra 1983; Bailey 1984).
Setiap makhluk hidup mempunyai karakter habitat masing-masing. Selama
migrasi, SMA memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan untuk tiga
tujuan, yaitu: reproduksi (breeding site), persinggahan (stopover), dan tinggal
sementara pada masa musim dingin (wintering site).
Tempat reproduksi ialah tempat yang digunakan oleh suatu spesies untuk
melakukan proses reproduksi. Setiap makhluk hidup yang melakukan migrasi
memerlukan tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanannya. Tempat
peristirahatan atau persinggahan dikenal dengan istilah habitat singgah (stopover).
Pada habitat singgah makhluk hidup melakukan aktifitas mencari makanan dan
berisitirahat. Lokasi habitat singgah ialah lokasi yang menjadi rute migrasi dan

6
tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu atau
lebih. Aktivitas persinggahan ini seringkali digunakan untuk antisipasi terhadap
migrasi yang melewati habitat yang tidak terlalu baik (Bildstein dan Keith 2006).
Habitat musim dingin (wintering site) didefinisikan sebagai area dimana SMA
tinggal di dalam area yang kurang dari diameter 30 km dalam kurun waktu 24 jam
(Higuchi dan Pierre 2005).
Habitat singgah merupakan stepping stone, yaitu suatu tapak sebagai tempat
pemberhentian satwa yang memungkinkan melakukan aktivitas lain seperti
berkembang biak dan membuat sarang (Forman dan Godron 1986). Kabupaten
Belitung Timur merupakan stepping stone terakhir bagi SMA sebelum mencapai
habitat musim dinginnya di Pulau Kalimantan. Keberadaan habitat singgah sangat
penting pada satwa yang melakukan migrasi sebagai tempat untuk beristirahat dan
memulihkan energi untuk mencapai habitat musim dinginnya.

Satellite-tracking dan SIG
Satellite-tracking merupakan teknologi yang digunakan untuk studi
pergerakan burung mulai skala lokal sampai skala global (Syartinilia et al. 2015).
Habitat burung migrasi jarak jauh dapat diketahui melalui data satellite-tracking
(Fiedler 2009). Data mengenai jejak SMA didapat dari data satellite-tracking
yang berisi informasi mengenai waktu dan posisi SMA. Satellite-tracking adalah
suatu teknik luar biasa untuk meniliti pergerakan satwa karena memberikan para
ahli ilmu burung jejak individu satwa dimanapun di dunia (Cohn 1999 dan
Webster et al. 2002 dalam Higuchi et al. 2005). Melalui data satellite-tracking
dapat diketahui jalur dan habitat dari satwa yang melakukan migrasi. Sejak tahun
2003 satellite-tracking telah sukses digunakan untuk merekam jejak SMA. Studi
tersebut menghasilkan rute migrasi SMA (Higuchi et al. 2005), penggunaan rute
yang sama dalam setiap migrasi (Shiu et al. 2006), dan perubahan rute migrasi
(Yamaguchi et al. 2008). Satellite-tracking telah digunakan pada studi identifikasi
rute migrasi pada bebek, angsa, bangau, dan elang (Higuchi 2012). Jejak SMA
yang direkam melalui data satellite-tracking yang teridentifikasi di Indonesia
salah satunya terdapat di Kabupaten Belitung Timur.
Teknologi sistem informasi geografis (SIG) digunakan untuk menganalisis
dan membuat model distribusi SMA menggunakan data satellite-tracking untuk
menaksir distribusi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur. Sistem
informasi geografis merupakan seperangkat sistem komputer yang berfungsi
untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil, menganilisis, dan menampilkan
data geografis (Chang 2002). SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan
untuk mengelola (masukan, manajemen, proses, dan keluaran) data spasial atau
data yang bereferensi geografis (Nuarsa 2005). Setiap data yang merujuk lokasi di
permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial yang bereferensi geografis
(Nuarsa 2005). Sistem ini dipadukan dengan analisis secara statistika untuk
mengetahui variabel atau faktor-faktor yang membentuk karakteristik habitat
singgah SMA.

7

3 METODE
Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka
Belitung (Gambar 4). Penelitian dilakukan bulan November 2012 sampai Februari
2015. Survei lapang dilakukan pada bulan Desember 2012.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian
(Sumber: Citra SPOT 4 R:4;G:1;B:3, 19 Agustus 2011)

8
Alat dan Data Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kamera digital, binokular,
Global Positioning System (GPS), perangkat lunak ArcGIS 9.3 (Environmental
Systems Research Institute 2009), SPSS 16, ERDAS Imagine 9.1 (Leica Geosystems
Geospatial Imaging LLC 2008), dan RAMAS GIS (Version 4.0). Data yang
digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengambilan informasi dan data
No.

Jenis data

Sumber

Bentuk

Kegunaan

1

Peta
Administrasi
Kabupaten
Belitung
Timur
Citra SPOT
4 (19
Agustus
2011)
Peta Elevasi

BAPPEDA Kabupaten
Belitung Timur

Vektor

Penentuan
batas wilayah
studi

LAPAN

Raster,
resolusi
20x20 m

Pembuatan
peta penutupan
lahan

2

3

4

Peta
Kemiringan
Lahan

5

Peta
Penutupan
Lahan
Data
satellitetracking

6

ASTER GDEM
Raster,
(http://asterweb.jpl.nasa. kontinyu
gov/gdem.asp)
(resolusi
30x30 m)
ASTER GDEM
Raster,
(http://asterweb.jpl.nasa. kontinyu
gov/gdem.asp)
(resolusi
30x30 m)
Dihasilkan dari CITRA Raster,
SPOT 4
resolusi
20x20 m
ARGOS tahun 2006- Vektor, poin
2009

Analisis
spasial

Analisis
spasial

Analisis
spasial
Identifikasi
keberadaan
individu SMA

Keterangan:
ARGOS
: Advanced Research and Global Observation Satellite
ASTER GDEM : Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global
Digital Elevation Model
BAPPEDA
: Badan Perencana Pembangunan Daerah

Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap (Gambar 5), yaitu:
1. pembangunan model SMA berbasis data satellite-tracking;
2. ekstrapolasi model ke seluruh Kabupaten Belitung Timur; dan
3. penyusunan rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten
Belitung Timur.

9
Kabupaten Belitung Timur

Presence

Data satellite-tracking

Peta penutupan lahan
dan data satellitetracking

Pseudo-absence

Penentuan lokasi
pseudo-absence
Sampel acak dengan
grid 1000x1000m

Uji VIF dan
Independent ttest
JTE1
JTE2
JTK1
JTK2
JTK3
JTK4
JTK5
JTK6
JTBA
JTBL
JTHT
JTKB
JTPK
JTTB
JTTL

Variabel lingkungan
(Variabel bebas)

Presence dan pseudo-absence
(Variabel terikat)

Penetapan
regresi logistik

Pi 

1
k
 

1  exp    0    j x ji 
j 1

 

Uji kelayakan model

Validasi model

TIDAK

YA
Ekstrapolasi model
Rekomendasi pengelolaan
habitat singgah

Gambar 5 Bagan alir studi
(Sumber: Modifikasi dari Ameliawati 2014)
Pembangunan Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA
Pembangunan model kesesuaian habitat singgah SMA dilakukan melalui
dua tahap, yaitu penyusunan data spasial dan analisis data.
1. Penyusunan Data Spasial
Penyusunan data spasial adalah kegiatan pembuatan peta tematik yang
berupa peta elevasi, peta kemiringan lahan, peta penutupan lahan, data
presence dan pseudo-absence, serta peta variabel lingkungan. Peta tematik
dibuat menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 dan ERDAS Imagine
versi 9.1. Peta tersebut dilengkapi dengan informasi deskripsi (attribute) yang
menerangkan peta tersebut.
a. Peta elevasi dan kemiringan lahan
Peta elevasi dan kemiringan lahan dihasilkan dari peta DEM (Digital
Elevation Model) yang diperoleh dari ASTER GDEM melalui situs
http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp. Bagan alir perolehan peta elevasi
dan peta kemiringan lahan terdapat pada Gambar 6. Peta DEM merupakan
data elevasi suatu tempat. Elevasi dalam penelitian ini diklasifikasikan
menjadi dua kelas, yaitu elevasi 0-300 m dan elevasi lebih dari 300 m
(Gambar 7). Peta kemiringan lahan didapat setelah melakukan analisis
topografi pada DEM menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine versi

10
9.1. Kemiringan lahan diklasifikasikan menjadi enam kelas (Gambar 8 dan
Tabel 2).
Peta DEM

Pemotongan sesuai area studi

Proyeksi ke UTM

Analisis topografi

Peta elevasi

Peta kemiringan lahan

Gambar 6 Bagan alir pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan
(Sumber: Modifikasi dari Putri 2010)

Gambar 7 Peta elevasi Kabupaten Belitung Timur

11

Gambar 8 Peta kemiringan lahan Kabupaten Belitung Timur
Tabel 2 Klasifikasi kemiringan lahan
Kelas Kemiringan lahan

Klasifikasi

I
II
III
IV
V
VI

Datar
Agak datar
Bergelombang
Agak curam
Curam
Sangat suram

0-3%
3-8%
8-15%
15-25%
25-40%
>40%

Sumber: Diadaptasi dari Soeka et al. (2008)

12
b. Peta penutupan lahan
Peta penutupan lahan dihasilkan dari analisis citra SPOT 4 tanggal
19 Agustus 2011. Bagan alir pembuatan peta penutupan lahan terdapat
pada Gambar 9. Kelas penutupan lahan dibagi ke dalam 7 kelas (Tabel 3).
Tabel 3 Komposisi penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur
No. Jenis penutupan lahan

Luas (ha)

Presentase (%)

1
2
3
4
5
6
7
Total

34 646.3
15 385
114 423
42 068.6
37 222.9
3 766.9
10 907.5
258 420.5

13.41
5.95
44.28
16.28
14.40
1.46
4.22
100

Area tambang
Badan air
Semak belukar
Hutan
Perkebunan
Permukiman
Tegalan

Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine
versi 9.1 dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification)
dengan batasan parameter maximum likelihood. Klasifikasi terbimbing
dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari survei pada lokasi
penelitian (ground truth check). Informasi tersebut digunakan sebagai
training area untuk klasifikasi terbimbing dan validasi (Gambar 10).
Validasi penutupan lahan menggunakan akurasi Kappa dan akurasi
keseluruhan. Tingkat akurasi keseluruhan dapat dipercaya apabila
mempunyai nilai minimal 75% (Lampiran 1). Peta penutupan lahan dapat
dilihat pada Gambar 11. Deskripsi masing-masing kelas penutupan lahan
terdapat pada Tabel 4.
Citra SPOT 4

Koreksi geometrik

Klasifikasi terbimbing

Validasi (hasil ground truth check)
Ya

Tidak

Peta penutupan lahan

Gambar 9 Bagan alir pembuatan peta tutupan lahan
(Sumber: Modifikasi dari Putri 2010)

13

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

Gambar 10 Kondisi penutupan lahan (a) area tambang, (b) badan air,
(c) permukiman, (d) semak belukar, (e) hutan, (f)
perkebunan, dan (g) tegalan

14

Gambar 11 Peta penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur
Tabel 4 Deskripsi kelas penutupan lahan
No. Kelas penutupan lahan

Deskripsi

1

Area tambang

2

Badan air

Area terbuka yang meliputi area pertambangan
meliputi sarana dan prasarananya dimana masih
terdapat vegetasi seperti rumput dan semak
belukar
Seluruh kawasan yang terdapat air meliputi,
rawa, danau, situ, dan sungai

15
Tabel 4 Deskripsi kelas penutupan lahan (lanjutan)
No. Kelas penutupan lahan
3
Semak belukar
4

Hutan

5

Perkebunan

6

Permukiman

7

Tegalan

Deskripsi
Kawasan yang terdapat vegetasi perdu dan
pohon rendah serta semak
Kawasan yang didominasi oleh vegetasi pohon
baik kering atau basah
Kawasan yang didominasi oleh tanaman
perkebunan, yaitu kelapa sawit
Kawasan permukiman penduduk dan ruang
terbangun lainnya
Kawasan pertanian lahan kering yang ditanami
sayuran dan palawija

c. Titik presence dan pseudo-absence
Data satellite-tracking SMA digunakan sebagai data presence.
Sedangkan data pseudo-absence ditentukan secara acak pada lokasi yang
diduga tidak ditemukan atau ditemukan titik satellite-tracking SMA dalam
intensitas rendah. Pembuatan sampel pseudo-absence menggunakan
random sample plug-in hawths tools pada perangkat lunak ArcGIS 9.3
dengan grid 1000x1000 m.
d. Peta variabel lingkungan
Variabel lingkungan yang diamati meliputi elevesi, kemiringan lahan
dan jenis tutupan lahan (badan air, area tambang, semak belukar,
pemukiman, sawah, kebun, tegalan, dan hutan) (Tabel 5). Variabel
lingkungan tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup SMA yang
disesuaikan dengan kondisi geografi pada wilayah studi. Variabel tersebut
selanjutnya dibuat peta jarak (euclidean distance) (Lampiran 2-16)
menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Euclidean distance
difungsikan untuk memberikan informasi tentang jarak setiap sel dalam
raster ke sumber terdekat (ESRI 2007).
Tabel 5 Variabel lingkungan
Variabel lingkungan

Singkatan Sumber

Jarak Terdekat ke Elevasi 0-300 m
Jarak Terdekat ke Elevasi >300 m
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 0-3%
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 3-8%
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 8-15%
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 15-25%
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 25-40%
Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan>40%

JTE1
JTE2
JTK1
JTK2
JTK3
JTK4
JTK5
JTK6

Ekstraksi
dari
ASTER
GDEM
yang dibuat
menjadi
Peta
Euclidean
Distance

16
Tabel 5 Variabel lingkungan (lanjutan)
Variabel lingkungan

Singkatan

Sumber

Jarak Terdekat ke Badan Air
Jarak Terdekat ke Semak Belukar
Jarak Terdekat ke Hutan
Jarak Terdekat ke Perkebunan
Jarak Terdekat ke Permukiman
Jarak Terdekat ke Area Tambang
Jarak Terdekat ke Tegalan

JTBA
JTBL
JTHT
JTKB
JTPK
JTTB
JTTL

Ekstraksi dari
Peta Penutupan
Lahan yang
dibuat menjadi
Peta Euclidean
Distance

2. Analisis Data
Prosedur analisis data meliputi pembangunan model, validasi, dan
ekstrapolasi hingga menghasilkan peta distribusi habitat singgah SMA.
a. Pembangunan model
Model kesesuaian habitat singgah SMA dibangun berdasarkan data
satellite-tracking. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan
teknik statistik dalam penyusunan model, dan metode yang digunakan
secara umum adalah analisis regresi (Putri 2010). Analisis regresi yang
digunakan untuk membangun model adalah regresi logistik (Logistic
Regression). Total titik satellite-tracking SMA yang terdeteksi di
Kabupaten Belitung Timur adalah 181 titik. 60% (112 titik) digunakan
untuk membangun model, sedangkan 40% (69 titik) digunakan untuk
validasi (Gambar 12). Data presence (112 titik) dan pseudo-absence (112
titik) ditumpang tindih dengan peta euclidean distance variabel
lingkungan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi habitat
singgah SMA. Variabel yang mempengaruhi habitat singgah SMA
ditentukan melalui analisis regresi logistik menggunakan perangkat lunak
SPSS 16 dengan metode stepwise forward pada taraf 5%. Sebelumnya
variabel lingkungan diuji untuk mengetahui adanya multikolinearitas
antar variabel bebas melalui uji Variance Inflation Factor (VIF). Uji
independent t-test (α40%. Sebagian besar wilayahnya merupakan
dataran lembah dan sebagian kecil merupakan perbukitan dan pegunungan.
Kabupaten Belitung Timur memiliki keindahan panorama pasir putih, bebatuan
granit, dan laut yang jernih yang menjadikan Kabupaten Belitung mempunyai
potensi sebagai tempat wisata alam yang menarik. Obyek wisata yang ada saat ini
meliputi, Pantai Nyiur Melambai, Pantai Punai, Pantai Tanjung Keluang, dan
Pantai Burung Mandi.
Kondisi Masyarakat
Jumlah penduduk Kabupaten Belitung Timur pada tahun 2010 berjumlah
110 315 jiwa. Penyebaran penduduk tidak merata dan terpusat di Kecamatan
Manggar dengan kepadatan 114.03 jiwa per km2. Mata pencaharian utama, yaitu:
pertanian dan perkebunan, serta pertambangan (Gamabar 14). Data tersebut
didapatkan dari data Belitung Timur dalam Angka 2011. Mata pencaharian
penduduk Kabupaten Belitung Timur pada sektor buruh sebagian besar bekerja
pada bidang pertanian dan perkebunan.

Pertanian dan Perkebunan
Pertambangan
Industri
Perempuan
Perdagangan

Laki-laki

Bangunan
Jasa dan Koperasi
0

1000

2000

3000

4000

Gambar 14 Keadaan buruh menurut sektor dan jenis kelamin di Kabupaten
tahun 2010
(Sumber: Belitung Timur dalam Angka 2011)

21

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA
Hasil uji multikolinieritas presence dan pseudeo-absence menghasilkan
variabel yang signifikan sebanyak delapan variabel (Tabel 6). Dari hasil uji
tersebut tidak ada variabel yang terdapat multikolinieritas karena nilai toleransi
(tolerance value) >0.1 dan nilai VIF antara 0 dan 10.
Tabel 6 Hasil uji VIF
Parameter
Elevasi 0-300 m (JTE1)
Elevasi >300 m (JTE2)
Slope 0-3% (JTK1)
Slope 3-8% (JTK2)
Slope 8-15% (JTK3)
Slope 15-25% (JTK4)
Slope 25-40% (JTK5)
Slope >40% (JTK6)
Badan Air (JTBA)
Semak Belukar (JTBL)
Hutan (JTHT)
Perkebunan (JTKB)
Permukiman (JTPK)
Area Tambang (JTTB)
Tegalan (JTTL)

Collinearity statistics
Tolerance
VIF
0.913
1.09558941
0.550
1.817533978
0.480
2.081382764
0.559
1.79038272
0.697
1.434146737
0.347
2.885766855
0.245
4.086625189
0.239
4.183914253
0.635
1.574972739
0.648
1.543960077
0.650
1.537774616
0.470
2.125849658
0.503
1.98628153
0.479
2.086288461
0.651
1.536490303

Setelah dilakukan uji multikolinieritas, variabel lingkungan tersebut di uji
dengan uji independent t-test untuk mengetahui adanya pengaruh nyata atau tidak
antar variabel lingkungan tersebut. Variabel lingkungan yang signifikan dari hasil
uji independent t-test (Tabel 7), yaitu: jarak terdekat dengan elevasi >300 m
(JTE2), jarak terdekat dengan kemiringan lahan 0-3% (JTK1), jarak terdekat
dengan kemiringan lahan 3-8% (JTK2), jarak dengan badan air (JTBA), jarak
terdekat dengan semak belukar (JTBL), jarak terdekat dengan hutan (JTHT), jarak
terdekat dengan perkebunan (JTKB), dan jarak terdekat dengan area tambang
(JTTB). Variabel lingkungan yang tidak signifikan, yaitu: jarak terdekat dengan
elevasi 0-300 m (JTE1), jarak terdekat dengan kemiringan lahan 8-15% (JTK3),
jarak terdekat dengan kemiringan lereng 15-25% (JTK4), jarak terdekat dengan
kemiringan lahan 25-40% (JTK5), jarak terdekat dengan kemiringan lahan >40%
(JTK6), jarak terdekat dengan permukiman (JTPK), dan jarak terdekat dengan
tegalan (JTTL). Variabel lingkungan tersebut menunjukkan pengaruh yang nyata
dengan nilai α300 m (JTE2)
Slope 0-3% (JTK1)
Slope 3-8% (JTK2)

Slope 8-15% (JTK3)

Slope 15-25% (JTK4)

Slope 25-40% (JTK5)

Slope >40% (JTK6)
Badan Air (JTBA)
Semak Belukar (JTBL)
Hutan (JTHT)
Perkebunan (JTKB)

Permukiman (JTPK)
Area Tambang (JTTB)

Tegalan (JTTL)

t

t-test for Equality of Means
df
Sig. (2-tailed)

Keterangan

-1

222

0.318399238

Tidak
signifikan

-1
-7.98705
-7.98705
4.341919
4.341919
4.538691
4.538691

111
222
210.3878
222
157.5466
222
177.8549

0.319485507
7.4278E-14
8.93323E-14
2.14729E-05
2.5178E-05
9.27467E-06
1.03955E-05

0.444502

222

0.657112817

0.444502

221.6046

0.65711359

-1.67023

222

0.096282699

-1.67023

221.9941

0.096282737

-0.43702

222

0.662520827

-0.43702

209.2187

0.66254676

0.110357

222

0.912225788

0.110357
-4.57591
-4.57591
-7.55669
-7.55669
6.173797
6.173797
4.548683
4.548683

198.7818
222
198.7421
222
161.2012
222
167.3076
222
217.8077

0.912237426
7.88822E-06
8.34083E-06
1.0735E-12
2.93001E-12
3.13574E-09
4.8784E-09
8.88096E-06
8.96153E-06

1.200394

222

0.231265739

Tidak
signifikan

1.200394
-8.70129
-8.70129

221.9853
222
160.4713

0.231265823
7.47788E-16
3.73538E-15

Signifikan

0.266296

222

0.790258172

Tidak
signifikan

0.266296

206.3351

0.790276924

Signifikan
Signifikan
Signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan

Analisis regresi logistik dari delapan variabel lingkungan hasil uji
independent t-test menghasilkan lima variabel lingkungan yang mempengaruhi
distribusi habitat singgah SMA. Variabel tersebut meliputi jarak terdekat dengan
elevasi >300 m (JTE2), jarak terdekat dengan badan air (JTBA), jarak terdekat
dengan hutan (JTHT), jarak terdekat dengan perkebunan (JTKB), jarak terdekat

23
dengan area tambang (JTTB) (Tabel 8). Hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai pvalue kurang dari 5%.
Tabel 8 Hasil analisis regresi logistik forward stepwise
β

Variabel
Elevasi >300 m (JTE2)
Hutan (JTHT)
Badan Air (JTBA)
Perkebunan (JTKB)
Area Pertambangan (JTTB)
Konstanta

p-value
(sig)

-4.300
3.213
-1.707
1.203
-1.039
0.103

0.000
0.000
0.000
0.021
0.029

Hosmer &
Lemeshow

Nagelkerke R2

98.7%

85.4%

Model tersebut layak berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow karena
mempunyai nilai 98.7% (di atas 5%). Nilai Negelkerke R2 hasil perhitungan
sebesar 85.4%. Hal itu menunjukkan bahwa 85.4% distribusi habitat singgah
SMA dapat dijelaskan oleh variabel dalam model dan 14.6% dijelaskan oleh
variabel atau faktor lain di luar model. Persamaan regresi logistik distribusi
habitat singgah SMA adalah:
Pi 

1



1  exp 
 0.103  4.300JTE2  1.707JTBA  3.213JTHT  1.203JTKB  1.039JTTB



Model regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi
model kesesuaian habitat singgah SMA berdasarkan besarnya koefisien regresi
secara berurutan adalah elevasi lebih dari 300 mdpl, hutan, badan air, perkebunan,
dan area tambang.
Pengaruh elevasi terhadap kesesuaian habitat singgah sejalan dengan
penelitian Ameliawati (2014) pada habitat musim dingin SMA di Jawa Barat dan
Syartinilia et al. (2015) pada habitat musim dingin SMA di Kalimantan. Variabel
elevasi mempengaruhi perilaku terbang SMA terutama kebutuhan angin termal.
Angin termal dimanfaatkan SMA pada saat terbang dan berburu. Elang
memerlukan energi termal untuk terbang membumbung yang dipengaruhi oleh
kondisi topografi (Newton 2008). Elevasi dan kemiringan adalah ciri fisik
topografi wilayah/bentukan lahan (Syartinilia et al. 2015). Topografi merupakan
bentuk fitur geografi suatu wilayah. Topografi menyediakan leading line (Gambar
15) bagi elang migran. Leading line merupakan fitur geografi yang terdiri dari
pegunungan dan sistem sungai (Bildstein 2006). Leading line tersebut menarik
SMA untuk terbang mengikuti jalur tersebut karena leading line memungkinkan
menyediakan kebutuhan hidup bagi SMA seperti makanan dan tempat untuk
beristirahat. Kombinasi fitur bentukan lahan beserta pengaruh cuaca akan
menghasilkan angin termal (ARRCN 2012). Selama bermigrasi sebagian besar
elang menggunakan angin termal untuk terbang membumbung (soaring) dan
meluncur untuk menghemat energi (Panuccio 2011).

24

Gambar 15 Leading line
(Sumber: Bildstein (2006))
Model regresi logistik kesesuaian habitat singgah SMA di Kabupaten
Belitung Timur menghasilkan peta kesesuaian habitat singgah SMA pada Gambar
16. Luas wilayah studi yang dibangun untuk model adalah 1 908.67 km2. Area
yang sesuai sebagai habitat singgah seluas 1 777.24 km2 (93.11%), sedangkan
area yang tidak sesuai seluas 131.44 km2 (6.89%). Validasi model dilakukan
sebelum melakukan ekstrapolasi. Hasil validasi model terdapat omission error
sebesar 4.34% dari tiga individu SMA yang berbeda. Omission error terjadi
karena model memprediksi lokasi tidak sesuai untuk habitat SMA, akan tetapi
pada lokasi terdapat data satellite-tracking SMA. Omission error dapat
disebabkan oleh perubahan tutupan lahan pada tahun 2011, sehingga terdapat
lokasi yang menjadi tidak sesuai untuk habitat singgah. Data satellite-tracking
direkam pada tahun 2006-2009, sedangkan citra yang digunakan untuk
membangun peta tutupan lahan adalah citra tahun 2011. Commission error tidak
ditemui dalam model ini dimana model memprediksi lokasi sesuai dengan habitat
SMA, akan tetapi tidak ada data satellite-tracking yang menunjukkan SMA
berada di lokasi tersebut.

25

Gambar 16 Model habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur
Karakteristik habitat singgah SMA berbeda dengan karakteristik habitat
musim dingin SMA di Kalimantan yang diteliti oleh Syartinilia et al. (2015)
dengan menggunakan metode analisis komponen utama dan habitat musim dingin
SMA di Jawa Barat yang diteliti oleh Ameliawati (2014) dengan menggunakan
metode regresi logistik (Tabel 9).
Tabel 9 Perbedaan karakteristik habitat singgah dan habitat musim dingin SMA
Komponen Habitat inti
(core habitat)
musim dingin
di Kalimantana
KU1c
Elevasi

Slope
Penutupan
lahan

300-500 m,
500-700 m,
700-1 000 m,
>1 000 m
15-25%, 2540%, >40%
Hutan

Habitat tepi
(edge habitat)
musim dingin
di Kalimantana

Habitat inti
(core habitat)
musim dingin
di Jawa Baratb

Habitat
singgah di
Belitung
Timur

300-500 m,
500-700 m,
700-1 000 m,
>1 000 m
-

0-100 m, 100- 300-421 m
300 m, >1 000
m
25-40%

-

Hutan

Hutan, badan
air, sawah

Hutan, badan
air,
perkebunan,
area
pertambangan

26
Tabel 9 Perbedaan karakteristik
(lanjutan)
Komponen Habitat inti
(core habitat)
musim dingin
di Kalimantan
KU2
Elevasi
Slope
Penutupan
lahan

KU3
Elevasi
Slope
Penutupan
lahan
KU4
Elevasi
Slope
Penutupan
lahan
KU5
Elevasi
Slope
Penutupan
lahan

habitat singgah dan habitat musim dingin SMA
Habitat tepi
(edge habitat)
musim dingin
di Kalimantan

Habitat inti
(core habitat)
musim dingin
di Jawa Barat

Habitat
singgah di
Belitung
Timur

0-300 m
Area
terbangun,
lahan terbuka,
hutan rawa
gambut, semak
belukar, sawah

Area
terbangun,
lahan terbuka,
sawah, semak
belukar, lahan
pertanian atau
perkebunan

-

-

0-3%, 3-8%, 815%
-

15-25%, 2540%, >40%
-

-

-

-

-

Hutan
mangrove,
badan air

3-8%, 8-15%
-

-

-

Hutan, hutan
mangrove,
hutan rawa
gambut

Hutan rawa
gambut

-

-

Keterangan: asumber: Syartinilia et al. (2015); bsumber: Ameliawati (2014); cKU: Komponen
Utama

Habitat singgah SMA mempunyai elevasi tidak lebih dari 500 m. Kondisi
tersebut berbeda dengan elevasi pada habitat musim dingin dengan ketinggian
mencapai lebih dari 1 000 m. Hal tersebut menunjukkan karakteristik habitat
singgah SMA mempunyai elevasi yang rendah. Kemiringan lahan di Kabupaten
Belitung Timur relatif datar, yaitu berada pada kemiringan 0-3% dan 3-8%,
sedangkan kemiringan lahan di Kalimantan dan Jawa Barat relatif hetero