Pengelolaan Lanskap Ketapang sebagai Bottleneck Habitat Sikep Madu Asia (Pernis ptilorynchus) ke Pulau Kalimantan

PENGELOLAAN LANSKAP KETAPANG SEBAGAI
BOTTLENECK HABITAT SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorynchus)
KE PULAU KALIMANTAN

ANDRE SUTJIPTO

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Lanskap
Ketapang sebagai Bottleneck Habitat Sikep Madu Asia (Pernis ptilorynchus) ke
Pulau Kalimantan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Andre Sutjipto
NIM A44080074

ABSTRAK
ANDRE SUTJIPTO. Pengelolaan Lanskap Ketapang sebagai Bottleneck Habitat
Sikep Madu Asia (Pernis ptilorynchus) ke Pulau Kalimantan. Dibimbing oleh
SYARTINILIA.
Migrasi hewan adalah sebuah gerakan periodik hewan dari tempat di mana
ia telah tinggal ke daerah yang baru dan kemudian melakukan perjalanan kembali
ke habitat asli, seperti yang dilakukan Sikep Madu Asia (SMA). Migrasi SMA ke
Pulau Kalimantan melewati Ketapang sebagai pintu masuk migrasi. Tujuan
penelitian ini adalah 1) untuk mengidentifikasi karateristik lanskap bottleneck
habitat SMA, 2) untuk menganalisis potensi ekowisata berbasis migrasi SMA, 3)
untuk membandingkan karakteristik bottleneck habitat di Ketapang dengan
wintering habitat di Kalimantan Selatan dan 4) untuk menghasilkan rekomendasi
pengelolaan lanskap bottleneck habitat SMA. Karakteristik lanskap bottleneck
telah dianalisis dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) dengan bantuan

Sistem Informasi Geografis (SIG). Potensi ekowisata di Ketapang telah ditentukan
dengan metode pemilihan sampel yang dibantu dengan pembuatan grid pada data
titik migrasi, serta diskusi dengan para ahli. Sebanyak tujuh komponen utama
(KU) telah ditentukan yang menjelaskan sebanyak 76,2% dari variasi data,
Metode uji T-Student digunakan untuk uji perbandingan variabel lingkungan
bottleneck habitat di Ketapang dengan wintering habitat yang merupakan hasil
studi sebelumnya di Kalimantan Selatan, serta telah ditentukan sebanyak lima
lokasi yang memiliki potensi ekowisata di Ketapang. Rekomendasi pengelolaan
lanskap bottleneck dapat direncanakan berdasarkan jangka waktu (jangka pendek
dan jangka panjang), serta dapat direkomendasikan pengembangan ekowisata di
Ketapang.
Kata kunci : ekowisata, karakteristik lanskap, SIG, satellite tracking
ABSTRACT
ANDRE SUTJIPTO. Landscape Management of Ketapang as Bottleneck Habitat
of Oriental Honey Buzzard (Pernis ptylorhinchus) Migration to Borneo Island.
Supervised by SYARTINILIA.
The migration of animals is a periodic movement of animals from the
place where they has been living to the area is new and then travel back to their
natural habitat, like Oriental Honey Buzzard (OHB). The OHB’s migration routes
to Borneo Island passes through Ketapang as a bottleneck habitat. The objective

of this research were 1) to identify the landscape characteristics of the OHB’s
bottleneck habitat in Ketapang, 2) to analyze a potential of ecotourism based on
OHB’s migration, 3) to compare characteristics of bottleneck habitat in Ketapang
with wintering habitat in South Kalimantan and 4) to produce the landscape

5

management plan of OHB’s bottleneck habitat. The landscape characteristics in
bottleneck habitat was analyzed by using Principal Component Analysis (PCA)
combined with Geographic Information System (GIS). The potential of
ecotourism in Ketapang specified from purposive sampling that assisted by
creating a grid on satellite tracking points and discussions with the experts. Seven
principal components (PCs) were retained which is explained 76,2% of data
variance in bottleneck habitat, T-Student test method was used to compare
environmental variables between bottleneck habitat in Ketapang and previous
study about wintering habitat in South Kalimantan, then the result was different,
and specified five location that have potential of ecotourism in Ketapang.
Management of bottleneck habitat can be planned with a certain period (short
term and long term), and the ecotourism based on raptor migration can be
developed in Ketapang.

Key words : ecotourism, landscape characteristics, GIS, satellite tracking

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN LANSKAP KETAPANG SEBAGAI
BOTTLENECK HABITAT SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorynchus)
KE PULAU KALIMANTAN

ANDRE SUTJIPTO

Skripsi

sebagai salah satu untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Pengelolaan Lanskap Ketapang sebagai Bottleneck Habitat
Sikep Madu Asia (Pernis ptilorynchus) ke Pulau Kalimantan
: Andre Sutjipto
: A44080074


Disetujui oleh

Dr. Syartinilia, SP, Msi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
!
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul Pengelolaan Lanskap Ketapang sebagai Bottleneck Habitat Sikep Madu
Asia (Pernis ptilorynchus) ke Pulau Kalimantan. Skripsi ini dibuat sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada departemen Arsitektur
Lanskap. Penelitian yang dimulai pada bulan Mei 2012 hingga Desember 2012.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Syartinilia, SP, MSi yang
telah menjadi pembimbing dan pemberi masukan, serta Annisa Hasanah, LSM
Raptor Indonesia, dan Yayasan Palung. Penelitian ini merupakan rangkaian
penelitian dalam kerjasama penelitian yang berjudul “Hibah Kerjasama Luar
Negeri dan Publikasi Internasional No. 203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012
Tahun Anggaran 2012 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan ketua tim Dr Syartinilia SP, MSi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Hiroyoshi Higuchi (Keio
University, Jepang) atas kesediannya memberikan izin kepada penulis untuk
menggunakan data Satellite Tracking dari individu Sikep Madu Asia (SMA),
kepada Abdurrahman Al-Qadrie ata ketersediaannya mendampingi saat ground
check di Ketapang, serta semua pihak yang terlibat secara langsung dalam
penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Sutjipto
Rastam, Latifah Zaini, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan,
kepercayaan, dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ariel Diesto Situmorang, Enjoyment Akbar Siregar, Ali Sunanta, M. Amin
Shodiq, Dian Permatasari serta seluruh teman mahasiswa Arsitektur Lanskap
angkatan 45. Terima kasih juga disampaikan kepada Lina Aminah, Annisa Retno
Fitriani, Ageng Satria Anugerah, serta Andy Darius atas motivasi dan dorongan
semangat yang diberikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan dapat

menjadi acuan penulisan skripsi selanjutnya.

 

Bogor, Januari 2013

Andre Sutjipto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Kerangka Pikir
TINJAUAN PUSTAKA
Habitat Burung Migran
Bottleneck habitat
Ekowisata
Satellite tracking
Sikep Madu Asia
Deskripsi fisik
Penyebaran
Kebiasaan, makanan dan perkembangbiakan
Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin
Sikep Madu Asia di Kalimantan Selatan
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Alat dan Bahan

Data
Metode Penelitian
Inventarisasi
Analisis Karakteristik Lanskap
Analisis spasial dengan variabel lingkungan
Analisis statistik pada karakteristik lanskap
Analisis Potensi Ekowisata
Analisis Perbandingan Karakteristik Lanskap Habitat
Ground Check
Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Bottleneck
Output
Bagan Alur Penelitian
HASIL

1
1
2
3
3
3

3
4
4
5
7
7
8
8
8
8
9
9
9
10
15
15
15
15
18
18
19
19
19
19
20
21

12

Kondisi Umum
Kabupaten Ketapang
Kabupaten Kayong Utara
Kondisi Biofisik
Ground Check
Hutan Rawa Gambut Pematang Gadung
Kawasan Taman Nasional Gunung Palung
Karakteristik Lanskap Bottleneck
Perbandingan Karakteristik Lanskap
Perbandingan karakteristik bottleneck di Ketapang dengan core di
Kalsel
Perbandingan karakteristik bottleneck di Ketapang dengan edge di
Kalsel
Potensi Ekowisata
Kepulauan Karimata
Kawasan Pulau Maya
Kawasan Taman Nasional Gunung Palung
Pulau Sawi
Hutan Rawa Gambut Pematang Gadung
PEMBAHASAN
Karakteristik lanskap bottleneck
Perbandingan karakteristik lanskap bottleneck dengan wintering
Perbandingan karakteristik bottleneck dan core habitat
Perbandingan karakteristik bottleneck dan edge habitat
Potensi Ekowisata
Burung Migrasi di Kepulauan Karimata
Satwa Burung dan Lanskap Pesisir Pulau Maya
Ekosistem Taman Nasional Gunung Palung (TNGP)
Burung Migrasi dan Lanskap Pulau Sawi
Keanekaragaman Ekosistem Hutan Rawa Gambut Pematang Gadung
Prinsip Ekowisata
Rekomendasi Pengelolaan
Jangka Pendek
Jangka Panjang
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
21
22
23
24
25
27
29
30
31
33
33
34
35
36
37
37
37
39
39
41
41
42
43
45
46
47
49
49
50
52
57
57
58

13

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

59
58
82

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Jenis, bentuk dan sumber data
Klasifikasi faktor kemiringan lahan
Variabel lingkungan
Hasil analisis komponen utama
Perbandingan karakteristik bottleneck habitat Ketapang dan core habitat
Kalsel
Hasil uji T-student variabel lingkungan bottleneck habitat Ketapang dan
core habitat Kalsel
Perbandingan karakteristik bottleneck habitat Ketapang dan edge habitat
Kalsel
Hasil uji T-student variabel lingkungan bottleneck habitat Ketapang dan
edge habitat Kalsel
Rute Perjalanan ke TNGP
Potensi Wisata Pulau Maya
Potensi Wisata Taman Nasional Gunung Palung
Potensi Wisata Pulau Sawi
Potensi Wisata Hutan Rawa Gambut Pematang Gadung

10
16
17
28
30
31
31
32
45
54
55
56
57

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kerangka pikir penelitian
Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS
Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus)
Pulau Kalimantan
Lokasi penelitian
Titik Satellite Tracking Ketapang
Peta penutupan lahan Ketapang
Peta elevasi Ketapang
Peta slope Ketapang
Bagan alur penelitian
Grafik luas klasifikasi penutupan lahan Ketapang
Grafik luas klasifikasi elevasi Ketapang
Grafik luas klasifikasi slope Ketapang
Hutan rawa gambut
Tepi sungai di hutan rawa gambut

3
6
7
9
9
11
12
13
14
20
22
23
23
24
25

14

16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Kawasan Taman Nasional Gunung Palung
Kepulauan Karimata
Lokasi dengan Grid 3x3 km
Lokasi dengan Grid 5x5 km
Lokasi dengan Grid 10x10 km
Efek perubahan jalur migrasi
Peta Kepulauan Karimata
Peta Pulau Maya
Area pertanian di Pulau Maya
Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Palung
Sikep Madu Asia di Pulau Sawi
Lanskap pantai Pulau Sawi
Satwa Orang Utan di Hutan Rawa Gambut
Satwa Burung Pelatuk dan Bekantan di Hutan Rawa Gambut
Gambar hubungan antar pulau dalam migrasi satwa
Populasi SMA tertinggi saat migrasi

25
33
34
35
36
39
42
44
44
46
47
47
48
48
53
54

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 0-300 meter (JTE1) 61
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 300-500 meter
(JTE2)
62
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 500-700 meter
(JTE3)
63
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 700-1000 meter
(JTE4)
64
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi >1000 meter (JTE5) 65
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 0-3%
(JTK1)
66
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 3-8%
(JTK2)
67
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 8-15%
(JTK3)
68
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 15- 25%
(JTK4)
69
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 25- 40%
(JTK5)
70
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan > 40%
(JTK6)
71
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan Lahan Kering
(JTHK)
72
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan Rawa Gambut
(JTHR)
73

15

14
15
16
17
18
19
20
21

Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Semak Belukar Rawa
(JTSB)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Sawah (JTSH)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Perkebunan Sawit (JTST)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Pertanian/ Perkebunan/
Semak (JTPS)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Badan Air (JTBA)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbuka (JTBK)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbangun (JTBG)
Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan Mangrove (JTMG)

74
75
76
77
78
79
80
81

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Migrasi hewan adalah sebuah gerakan periodik hewan dari tempat di mana
ia telah tinggal ke daerah yang baru dan kemudian melakukan perjalanan kembali
ke habitat asli. Faktor hewan melakukan migrasi biasanya adalah untuk mencari
makanan yang berlimpah dan menghindari keadaan di habitat aslinya yang sedang
berubah. Migrasi hewan musiman merupakan suatu fenomena alam yang menarik.
Salah satu jenis burung yang melakukan perjalanan periodik ini adalah
jenis burung pemangsa. Setiap akhir September sampai Desember, berlangsung
musim migrasi burung dari belahan Bumi utara meliputi wilayah Utara daratan
Asia, Eropa, dan Amerika. Saat itu berbagai macam rantai makanan terputus oleh
hibernasi berbagai spesies mangsa dan iklim ekstrem, sehingga ribuan individu
bermigrasi melintasi benua menuju wilayah yang bisa mencukupi kebutuhan
makan dan aktivitas hariannya. Indonesia adalah lokasi yang cocok sebagai jalur
migrasi dan lokasi istirahat (resting sites) saat burung bermigrasi. Jenis burung
pemangsa adalah diantaranya yang bermigrasi. Mereka kerap dikategorikan
sebagai top predator dalam piramida makanan, sehingga kadang disebut sebagai
raptor, burung elang, atau alap-alap (Sukmantoro 2007). Ada dua jalur dari utara
yang biasa digunakan burung-burung, salah satunya koridor daratan timur, yang
dimulai dari daratan Rusia menyusuri pinggiran benua Asia, melewati negara
China, Vietnam, Thailand, Malaysia hingga sampai di Indonesia, yakni salah
satunya di pulau Kalimantan (Dinas Pertamanan DKI Jakarta 2011).
Salah satu burung pemangsa yang melakukan perjalanan tersebut adalah
Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus). Sejak tahun 2003, terdapat sebanyak 49
individu burung Sikep Madu Asia yang telah diikuti jejaknya dengan
menggunakan satelit ARGOS dan terdapat tujuh individu burung yang diteliti
mengalami kegagalan dalam tracking. Sistem ARGOS menggunakan satelit
United State National Oceanic and Atmospheric Adminsitration (NOAA). NOAA
mengikuti lintasan sepanjang 830 km di atas permukaan bumi pada kecepatan satu
lintasan orbit setiap 102 menit. Data yang diterima dan ditaruh oleh NOAA akan
dikirimkan ke stasiun pusat di Amerika Serikat dan Prancis. Data ini umumnya
diterima sekali per orbit dan dikirimkan ke ARGOS Global Processing Centre.
Informasi diubah ke dalam informasi posisi lintang dan bujur. Informasi ini
dikirimkan kepada peneliti melalui internet. Proses ini membutukan 1-2 jam dari
waktu saat satelit menerima signal dari transmitter ke waktu saat data lokasi
diperoleh oleh peneliti (Higuchi dan Pierre 2005).
Satellite tracking adalah alat yang cukup ampuh untuk menginvestigasi
pergerakan hewan ketika sedang berpindah dalam skala global (Cohn 1999).
Teknologi ini dapat mengakumulasi bukti terkait pada rute migrasi, lokasi
stopover habitat, dan lokasi singgah suatu spesies burung yang berpotensi untuk
mencari makanan (Yamaguchi et al. 2008).

2

Pada periode migrasi, burung migran memiliki beberapa habitat yang
berbeda sesuai dengan tujuan burung tersebut berada pada habitat itu. Pada
umumnya terdapat tiga tujuan yang membedakan habitat-habitat burung migran,
yaitu sebagai tempat berkembang biak (breeding site), sebagai tempat singgah
(stopover), dan sebagai tempat menetap selama musim dingin (wintering area).
Migrasi jarak jauh dapat memberi manfaat menghindari musim dingin yang cukup
keras di belahan utara, dapat meningkatkan kelangsungan hidup seperti
pemenuhan kebutuhan makan dan beristirahat, serta dapat menjamin masa
reproduksi rata-rata yang lebih tinggi di habitat aslinya (Bildstein 2006).
Kalimantan merupakan tempat yang paling sesuai sebagai habitat musim dingin
SMA, karena dari data SMA yang telah direkam jejaknya dengan satelit ARGOS
sejak tahun 2003, terdapat sekitar 47% (23 burung) yang menggunakan pulau
Kalimantan sebagai habitat musim dinginnya dan masuk ke pulau Kalimantan
melalui Ketapang (Syartinilia et al. 2010).
Jalur migrasi Sikep Madu Asia (SMA) di Kalimantan melewati wilayah
Kalimantan Barat sebagai bottleneck habitat ke pulau Kalimantan, tepatnya di
wilayah Ketapang. Bottleneck habitat adalah salah satu stopover habitat (tempat
singgah) yang ada pada jalur migrasi burung. Syartinilia (2011) menyatakan
bahwa yang membedakan bottleneck habitat dengan stopover habitat yang lain
adalah sebagai tempat pintu masuk migrasi burung ke pulau tujuannya. Pada
periode migrasi, terdapat banyak jenis burung migran (tidak hanya SMA) yang
melewati Ketapang sebagai bottleneck habitat ke pulau Kalimantan. Hal ini
merupakan salah satu potensi ekowisata yang dapat diidentifikasi dan
dikembangkan oleh pihak pengelola.
Pengetahuan tentang karakteristik lanskap habitat SMA dalam konteks
bottleneck habitat adalah suatu prasyarat untuk memahami dan mengelola ekologi
bottleneck habitat. Oleh karena itu, lanskap bottleneck yang merupakan pintu
masuk migrasi SMA ke pulau Kalimantan sangatlah penting untuk dijaga dan
dikelola dengan baik. Selain itu, potensi ekowisata yang ada juga perlu dianalisis
sebagai bahan pertimbangan pengelola dalam mengembangkan lanskap bottleneck
tersebut.

Tujuan

1.
2.
3.
4.

Tujuan dari penelitian ini adalah
Mengidentifikasi karakteristik lanskap pintu masuk migrasi Sikep Madu
Asia di Kota Ketapang
Menganalisis potensi ekowisata di Ketapang sebagai pintu masuk migrasi
Membandingkan karakteristik bottleneck habitat di Ketapang dengan
wintering habitat di Kalimantan Selatan
Menghasilkan rekomendasi rencana pengelolaan lanskap bottleneck
burung Sikep Madu Asia

3

Manfaat
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi perencanaan
pengelolaan kawasan ini dan dijadikan sumber pengetahuan bagi masyarakat
maupun pemerhati burung karena diamati karakteristik burung Sikep Madu Asia
yang melakukan migrasi ke Kalimantan.

Kerangka Pikir
Berikut merupakan alur kerangka pikir pada penelitian ini (Gambar 1).
Migrasi Satwa
Satellite
tracking

Habitat Burung Pemangsa
Migran (Sikep Madu Asia)

Breeding habitat
(Jepang)

Stopover
habitat

Wintering habitat
(Kalimantan)

Core & Edge habitat
(Kalimantan Selatan)

Bottleneck (Ketapang)

Potensi Ekowisata

Karakteristik lanskap
Bottleneck

Karakteristik lanskap
Core & Edge habitat

studi terdahulu
Perbandingan Karakteristik

Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Bottleneck SMA

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Habitat Burung Migran
Pada periode migrasi, burung migran memiliki beberapa habitat yang
berbeda sesuai dengan tujuan burung tersebut berada pada habitat itu. Pada
umumnya terdapat tiga tujuan yang membedakan habitat-habitat burung migran,
yaitu sebagai tempat berkembang biak (breeding site), sebagai tempat singgah
(stopover), dan sebagai tempat menetap selama musim dingin (wintering area).
Yang pertama yakni sebagai tempat berkembang biak, adalah habitat yang

4

digunakan oleh suatu spesies untuk melakukan perkembangbiakan atau
perkawinan, biasanya habitat ini adalah tempat asal suatu spesies tersebut. Yang
kedua yakni tempat singgah atau stopover, adalah suatu lokasi atau tempat yang
menjadi rute migrasi dan dijadikan tempat singgah sementara sekitar satu minggu
atau lebih ketika sedang melakukan migrasi (Bildstein 2006).
Selama masa persinggahan burung melakukan istirahat, berkumpul, dan
mencari makan. Yang ketiga yakni habitat musim dingin atau wintering area,
adalah area dimana didefinisikan sebagai area Sikep Madu Asia tinggal di dalam
area yang kurang dari diameter 30 km dalam kurun waktu 24 jam (Higuchi dan
Pierre 2005). Selama habitat aslinya sedang mengalami musim dingin maka
burung migran bermigrasi menuju tempat yang lebih hangat, tempat ini disebut
sebagai habitat musim dingin (wintering area). Migrasi jarak jauh dapat memberi
manfaat menghindari musim dingin yang cukup keras di belahan utara, dapat
meningkatkan kelangsungan hidup seperti pemenuhan kebutuhan makan dan
beristirahat, serta dapat menjamin masa reproduksi rata-rata yang lebih tinggi di
habitat aslinya (Bildstein 2006).

Bottleneck habitat
Bottleneck habitat adalah salah satu stopover habitat (tempat singgah)
yang ada pada jalur migrasi burung. Syartinilia (2011) menyatakan bahwa yang
membedakan bottleneck habitat dengan stopover habitat yang lain adalah sebagai
tempat pintu masuk migrasi burung ke pulau tujuannya. Terdapat beberapa contoh
bottleneck habitat yang ada di Indonesia, seperti pulau Rupat sebagai pintu masuk
migrasi ke pulau Sumatera, kawasan Puncak sebagai pintu masuk migrasi ke
pulau Jawa, dan Ketapang sebagai pintu masuk migrasi ke pulau Kalimantan.
Pada bottleneck habitat ini, jalur migrasi akan menyempit di satu titik
pada daerah masuk migrasi, yang dapat diilustrasikan seperti yang terjadi dengan
sekelompok lebah yang memasuki sarangnya. Penyempitan jalur sangat penting
dalam jalur migrasi, tetapi sifat dan karakter dari wilayah pintu masuk dan
sekitarnya lebih penting (Forman dan Gordon 1986).

Ekowisata
Berdasarkan dua kata eco dan tourism, yang ketika diadopsi ke dalam
bahasa Indonesia menjadi kata eko dan turisme atau eko dan wisata . Makna dasar
dari 2 kata tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, eko yang dalam bahasa
Greek (Yunani) berarti rumah , dan tourism yang berarti wisata atau perjalanan.
Pengertian selanjutnya oleh beberapa ahli kata Eco dapat diartikan sebagai
Ecology atau Economy sehingga dari kedua kata tersebut akan memunculkan
makna Wisata ekologis (Ecological Tourism) atau Wisata Ekonomi (Economic
Tourism) dan hal ini masih terus diperdebatkan oleh para ahli mengenai makna
dari kata dasar tersebut (Dirawan 2003).

5

Ekowisata merupakan sebuah istilah baru yang masih sangat sering
dibicarakan di berbagai Negara saat ini karena melihat potensi untuk
mengembangkan pariwisata baru dan mempromosikan konservasi alam disamping
dapat memberikan keuntungan pada masyarakat lokal (Ziffer 1989). Menurut The
International Ecotourism Society atau TIES pada tahun 1991, ecotourism adalah
perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau
menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal.
Ecotourism adalah sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism
sektor ekonomi yang lebih luas dari ecotourism yang mencakup sektor-sektor
pendukung kegiatan tourism secara umum. Menurut deklarasi Quebec (hasil
pertemuan dari anggota TIES di Quebec, Canada tahun 2002), Ecotourism adalah
sustainable tourism yang secara spesifik memuat upaya-upaya:
1. Konstribusi aktif dalam konservasi alam dan budaya
2. Partisipasi penduduk lokal dalam perencanaan, pembangunan dan
operasional kegiatan wisata serta meninkamti kesejahteraan
3. Transfer pengetahuan tentang warisan budaya dan alam kepada
pengunjung
4. Bentuk wisata independen atau kelompok wisata berukuran kecil
Pada saat ini ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar
untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak hutan
belantara, tetapi terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal.
Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang
tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata
tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut
sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggung jawab (Fandeli dan Mukhlison
2000).
Ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang
bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial, dan ekonomi
bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan
yang berkelanjutan. Lima aspek utama untuk berkembangnya ekowisata adalah :
(1) adanya keaslian lingkungan alam dan budaya (2) keberadaan dan daya dukung
masyarakat (3) pendidikan dan pengalaman (4) berkelanjutan dan (5) kemampuan
manajemen dalam pengelolaan ekowisata (Choy 1997).

Satellite tracking
Satellite tracking merupakan alat yang sangat ampuh untuk
menginvestigasi pergerakan hewan khususnya dalam situasi ketika subyek yang
diteliti bepergian dalam skala global (Cohn 1999; Webster et al. 2002). Dengan
menggunakan teknologi ini, ahli ekologi dapat mengakumulasi bukti yang terkait
pada jalur migrasi, tempat singgah, dan tempat mencari makan. Data satellite
tracking ini tidak hanya menyediakan informasi dasar mengenai pergerakan dari
spesies target, tetapi juga menunjukkan tempat singgah penting yang didatangi

6

oleh burung-burung yang sedang mencari makan atau yang berada di area
perikanan (Higuchi dan Pierre 2005).
Sejak tahun 1980, teknologi satellite tracking digunakan untuk memantau
burung. Satellite tracking pada hewan menggunakan PTTs (Platform Transmitter
Terminals) untuk di-track menggunakan satelit NOAA (National Oceanic and
Atmospheric Administration). PTT ditempelkan pada bagian punggung dari
burung kemudian PTT digabungkan dengan GPS (Global Positioning System)
(Gillespie 2001). Berat PTT relatif kecil (sekitar 200 gram) untuk menghindari
gangguan pada burung saat sedang terbang. Energi yang digunakan dalam PTT
memanfaatkan tenaga surya dengan menggunakan baterai nikel-kadmiun yang
dapat diisi kembali. Baterai ini dapat diisi ulang sebanyak 1000 kali dan bertahan
selama 3 tahun (Seegara et al. 1996).
SMA di-track dengan sistem ARGOS (Argos 1996). Sistem ARGOS
menggunakan satelit United State National Oceanic and Atmospheric
Adminsitration (NOAA). NOAA mengikuti lintasan sepanjang 830 km di atas
permukaan bumi pada kecepatan satu lintasan orbit setiap 102 menit. Data yang
diterima dan ditaruh oleh NOAA akan dikirimkan ke stasiun pusat di Amerika
Serikat dan Prancis. Data ini umumnya diterima sekali per orbit dan dikirimkan ke
ARGOS Global Processing Centre. Informasi diubah ke dalam informasi posisi
lintang dan bujur. Informasi ini dikirimkan kepada peneliti melalui internet
(Gambar 2). Proses ini membutukan 1-2 jam dari waktu saat satelit menerima
signal dari transmitter ke waktu saat data lokasi diperoleh oleh peneliti (Higuchi et
al. 2005).

Gambar 2 Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS
(Sumber : Higuchi et al. 2005)

7

Sikep Madu Asia
Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) adalah jenis burung pemangsa
yang hidup di kawasan hutan, kawasan lahan yang terolah, dan semi gurun
(Ferguson dan Christie 2005).
Deskripsi fisik
Elang ini memiliki berukuran sedang, berwarna gelap dengan jambul kecil
(Gambar 3). Panjang burung sekitar 53-65 cm, lebar sayap sekitar 113-142 cm,
dan lebar ekor sebesar 24-29 cm (Ferguson et al. 2005). Warna sangat bervariasi
dengan penampilan warna terang, normal, dan gelap dari dua ras yang berbeda.
Tubuh bagian atas coklat, bagian tubuh bawah putih sampai merah sawo matang
dan coklat gelap, berbintik-bintik dan bergaris-garis banyak. Pada ekor terdapat
garis-garis yang tak teratur. Setiap ras mempunyai bercak di kerongkongan yang
umumnya berwarna pucat dan dibatasi coretan hitam, sering mempunyai garis
hitam berwarna hitam. Warna iris jingga, warna paruh abu-abu, kaki kuning, dan
dari jarak pendek bulu-bulu yang berbentuk sisik di depan mata merupakan ciri
khas yang diagnostik. Suara burung ini keras dan bernada tinggi (MacKinnon
1990). Burung ini bertengger secara berkelompok (Ferguson dan Christie 2005).
Berdasarkan jenis kelamin, burung ini memiliki beberapa perbedaan,
diantaranya :
a. Jantan dewasa : memiliki puncak kepala yang ramping, bulunya berwarna
coklat, kepala dan badanya berwarna coklat tua gelap
b. Jantan dewasa khas : memiliki puncak kepala yang panjang, berwarna
coklat
c. Betina dewasa : terbang rendah, tidak memiliki puncak, lebih pucat, besar
d. Muda: kepala berwarna keputih-putihan, bagian bawah badan berwarna
krem

Gambar 3 Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus)
(Sumber : www.mangoverde.com)

8

Penyebaran
Sikep Madu Asia (SMA) berkembang biak di bagian Selatan Siberia,
Utara Mongolia, Timur Laut Cina, Korea dan Jepang yang kemudian bermigrasi
ke arah Selatan pada musim dingin (Ornithological Society of Japan 2000). SMA
ini merupakan salah satu dari burung pemangsa yang bermigrasi yang
menghabiskan waktu musim dingin di Asia Tenggara yang dijadikan sebagai
habitat musim dingin. SMA terdistribusi ke Filipina, Malaysia, Indonesia, dan
Timor Leste. Semua SMA yang bermigrasi ke Asia Tenggara akan bergerak
menuju semenanjung Malaysia, tetapi arah dan titik pangkalan berbeda antar
individu. Setelah mencapai Sumatera, tujuh burung mengubah arah pergerakan ke
arah timur laut, satu individu tiba di Pulau Mindanau dan enam individu
mengakhiri migrasi untuk menetap selama musim dingin di Pulau Kalimantan
(Yamaguchi et al. 2008).
Kebiasaan, makanan dan perkembangbiakan
Burung ini memiliki kebiasaan sering mengunjungi hutan pegunungan.
Ciri sewaktu terbang adalah beberapa kepakan dalam yang diikuti luncuran
panjang. Melayang tinggi di udara dengan sayap datar. Mempunyai kebiasaan
aneh yaitu merampas sarang tawon dan lebah. Makanan yang biasa dimakan oleh
burung ini adalah lebah, tempayak, madu, sampai materi sarang lebah. Juga
memakan buah-buahan yang lunak, dan reptilia. Untuk perkembang biakannya
burung Sikep Madu Asia membuat sarang yang terbuat dari ranting-ranting
bercampur daun hijau, diletakkan pada pohon di hutan. Telur 1-2 butir berwarna
putih atau kuning tua dengan banyak bercak merah atau coklat (MacKinnon
1990).

Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin
Sikep Madu Asia di Kalimantan Selatan
Pulau Kalimantan menjadi salah satu lokasi dengan keberadaan SMA yang
cukup tinggi dan tersebar dibeberapa lokasi berdasarkan wilayah administrasi
seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimatan
Timur. Studi karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA ini sebelumnya
pernah dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan mengidentifikasi core
dan edge habitat di kawasan tersebut. Hasil studinya menyatakan bahwa terdapat
tujuh komponen utama yang dinilai sebagai karakteristik lanskap habitat musim
dingin SMA di core habitat dan delapan komponen utama pada edge habitat.
Terdapat tiga komponen utama yang menyusun karakteristik dasar pada core dan
edge habitat musim dingin SMA di Kalimantan Selatan, diantaranya adalah
karakteristik lanskap yang memiliki jarak terdekat dengan elevasi lebih dari 300
meter dan jarak terdekat dengan hutan lahan kering, jarak terdekat dengan hutan
rawa gambut, dan jarak terdekat yang memiliki kemiringan lahan 3-8% (agak
datar) dan 8-15% (bergelombang) (Hasanah 2012).

9

!
Pada core habitat terdapat beberapa komponen utama lainnya yang
menyusun karakteristiknya, yaitu jarak terdekat dengan lanskap yang terkait
dengan kegiatan manusia (contoh : sawah dan semak belukar rawa), jarak terdekat
dengan badan air, dan jarak terdekat dengan rawa gambut. Komponen utama yang
menyusun karakteristik edge habitat lainnya yaitu jarak terdekat dengan hutan
mangrove, dan jarak terdekat dengan hutan rawa gambut (Hasanah 2012).

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi
Waktu kegiatan penelitian memakan waktu kurang lebih 8 bulan yaitu
dilaksanakan dari bulan Mei 2012 hingga Desember 2012. Lokasi penelitian
berada di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di daerah
pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa (Gambar 4).

Gambar 4 Pulau Kalimantan
(Sumber : Syartinilia 2011(1 ))

Gambar 5 Lokasi penelitian
(Sumber : ARGOS 2006 - 2010)

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama penelitian berupa kamera digital yang
digunakan untuk dokumentasi hasil ground check. Untuk melakukan pengamatan
digunakan monokuler serta GPS (Global Positioning System) untuk dapat
mendapat rekaman jejak pengamatan yang dilakukan. Kemudian untuk mengolah
(1) Disampaikan

dalam Workshop Raptor of Borneo, Samarinda, 18 April 2011

10

data menggunakan bantuan Software ArcGIS 9.3, ERDAS Imagine 9.1, dan
Software XL-Stat for Microsoft Excel 2010.

Data
Data yang digunakan memiliki bentuk raster, vektor, dan deskriptif.
Jenis, bentuk, dan sumber data terdapat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jenis, betuk, dan sumber data
No

Jenis

Bentuk

Sumber

1

Data Satellite Tracking Vektor , Titik (23 individu ARGOS, 2006-2010
Individu SMA
SMA
(Gambar 6)
Nomor Platform : 40729,
40753, 40759, 40782, 40789,
40790, 66547, 66549, 66550,
66551, 66552, 66553, 76324,
84426, 84428, 84430, 85233,
90753, 90754, 90756, 90758,
95444, 95445)

2

Peta Penutupan Lahan
Ketapang
(Gambar 7)

3

Peta Elevasi Ketapang Raster, Kontinu (Resolusi
(Gambar 8)
30m x 30m)

ASTER DEM (http://
gdex.cr.usgs.gov/gdex/)

4

Peta Slope Ketapang
(Gambar 9)

Raster, Kontinu ((Resolusi
30m x 30m)

Dihasilkan dari ASTER
DEM

5

Potensi Ekowisata

Spasial dan Deskriptif

Wawancara
Survey lapang

Raster, Kategori (sumber
image : ALOS PALSAR,
Resolusi 50m x 50m)

Laburatorium Remote
Sensing, Fakultas
Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor, 2007

11

Gambar 6 Titik Satellite Tracking Ketapang
(Sumber : ARGOS 2006 - 2010)

12

Gambar 7 Peta penutupan lahan Ketapang
(Sumber : Laboratorium Remote Sensing, Fakultas Kehutanan IPB 2007)

13

Gambar 8 Peta elevasi Ketapang
(Sumber : ASTER DEM)

14

Gambar 9 Peta slope Ketapang
(Sumber : ASTER DEM)

15

Metode Penelitian
Metode yang dilakukan pada penelitian terbagi dalam tujuh tahapan, yaitu
inventarisasi, analisis karakteristik lanskap, analisis perbandingan karakteristik
lanskap, analisis potensi ekowisata, ground check, penyusunan rencana
pengelolaan, serta output. Alur dari metode yang dilakukan dapat dilihat pada
bagan alur penelitian (Gambar 10).
Inventarisasi
Pada tahap ini dilakukan dengan pengumpulan data berupa data spasial
dan non spasial. Data spasial yang digunakan berupa peta penutupan lahan, peta
kemiringan lahan, peta elevasi, serta data satellite tracking. Pada tahap ini, peta
penutupan lahan, peta kemiringan lahan, dan peta elevasi digunakan sebagai
bahan untuk menghasilkan variabel lingkungan. Data satellite tracking digunakan
untuk mencari nilai pada individu SMA yang dipasangkan transmitter, karena
berdasarkan data satellite tracking, ditemukan bahwa seluruh SMA (23 individu)
melewati Ketapang sebagai pintu masuk migrasi (bottleneck) ke pulau Kalimantan
(Syartinilia et al. 2010). Masing-masing individu SMA yang dipasangkan
transmitter dengan nomor platform yang berbeda-beda. Nomor Platform : 40729,
40753, 40759, 40782, 40789, 40790, 66547, 66549, 66550, 66551, 66552, 66553,
76324, 84426, 84428, 84430, 85233, 90753, 90754, 90756, 90758, 95444, 95445.
Masing-masing platform memiliki informasi waktu yang berbeda-beda pada
periode tahun 2006 sampai dengan 2010. Pada tahap ini juga dilakukan
pengumpulan berbagai informasi mengenai lokasi penelitian, keadaan lanskap
eksisting, informasi tambahan yang mendukung, serta menyiapkan daftar
pertanyaan yang akan dilakukan pada wawancara saat ground check.

Analisis Karakteristik Lanskap
Analisis karakteristik lanskap dilakukan dalam dua tahap, yaitu analisis
spasial, kemudian analisis statistik. Pada analisis spasial digunakan Sistem
Informasi Geografi dengan bantuan software ArcGIS dan ERDAS. Analisis
statistik yang akan dilakukan dalam penelitian yaitu dengan metode Analisis
Komponen Utama (AKU).
Analisis spasial dengan variabel lingkungan
Peta yang digunakan dalam analisis spasial masing-masing memiliki
variabel lingkungan yang terklasifikasi. Sebanyak 21 variabel lingkungan
digunakan dalam analisis spasial, diambil dari faktor penutupan lahan, faktor
ketinggian lahan, dan faktor kemiringan lahan. Pada kemiringan lahan, terdapat
klasifikasi yang disajikan dalam Tabel 2. Daftar variabel lingkungan yang
digunakan tersaji dalam Tabel 3. Variabel yang digunakan merupakan jarak

16

terdekat (euclidean distance), yaitu berupa enam jarak terdekat dari sepuluh jarak
terdekat dari faktor penutupan lahan, lima jarak terdekat dari faktor ketinggian
lahan, dan faktor kemiringan lahan.
Dalam menghasilkan peta jarak tersebut dilakukan pengolahan data
dengan bantuan software ArcGIS dan Erdas. Pada seluruh peta dilakukan proses
recode/reclassify dengan menggunakan Spatial Analysis Tools untuk menyamakan
nilai yang ada pada tiap piksel data, dari awalnya yang memiliki banyak nilai
menjadi lebih sederhana yaitu bernilai 1 dan 0. Dimana nilai 1 merupakan nilai
yang ingin digunakan sebagai klasifikasi faktor lingkungan, sedangkan nilai 0
merupakan faktor lingkungan lain yang sementara ingin dihilangkan, sehingga
akan terbentuk peta dengan satu nilai faktor lingkungan. Setelah peta tersebut
menginformasikan satu faktor lingkungan pada tiap 21 peta, dilakukan
pengubahan jenis data yang sebelumnya berbentuk raster menjadi bentuk vektor
melalui proses convert raster to polygon. Setelah seluruh peta berbentuk vektor,
dilakukan penghilangan informasi selain nilai 1 pada tiap 21 peta. Pada akhirnya,
peta-peta klasifikasi tersebut masing-masing diubah menjadi peta jarak terdekat
(euclidean distance). Euclidean distance ini berfungsi untuk memberi informasi
jarak dari tiap sel dalam raster ke sumber terdekat, yang diukur pada garis lurus
dalam satuan proyeksi raster dan dihitung dari pusat sel ke pusat sel yang lain
(ESRI 2007).
Dalam pengolahan data spasial ini sebelumnya dilakukan penyamaan data
dalam resolusi yang sama. Data penutupan lahan memiliki resolusi 50m x 50m.
Data elevasi dan slope memiliki resolusi 30m x 30m. Sehingga, seluruh data
variabel disamakan dalam resolusi 50m x 50m. Seluruh peta variabel lingkungan
yang telah dibuat menjadi peta jarak terdekat (euclidean distance) dapat dilihat di
lampiran.
Tabel 2 Klasifikasi faktor kemiringan lahan
Kelas

Kemiringan Lahan

Klasifikasi

I

0-3%

Datar

II

3-8%

Agak Datar

III

8 - 15 %

Bergelombang

IV

15 - 25 %

Berbukit

V

25 - 40 %

Pegunungan

VI

> 40 %

Pegunungan

Sumber : SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/
Um/1981

17

Tabel 3 Variabel lingkungan
No Variabel Lingkungan

Singkatan

1

Jarak Terdekat ke Elevasi 0-300 meter

JTE1

2

Jarak Terdekat ke Elevasi 300-500 meter

JTE2

3

Jarak Terdekat ke Elevasi 500-700 meter

JTE3

4

Jarak Terdekat ke Elevasi 700-1000 meter

JTE4

5

Jarak Terdekat ke Elevasi >1000 meter

JTE5

6

Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 0-3%

JTK1

7

Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 3-8%

JTK2

8

Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 8-15%

JTK3

9

Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 15-25%

JTK4

10 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 25-40%

JTK5

11 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan >40%

JTK6

12 Jarak Terdekat ke Badan Air

JTBA

13 Jarak Terdekat ke Hutan Lahan Kering

JTHK

14 Jarak Terdekat ke Hutan Rawa Gambut

JTHR

15 Jarak Terdekat ke Hutan Mangrove

JTMG

16 Jarak Terdekat ke Lahan Terbangun

JTBG

17 Jarak Terdekat ke Lahan Terbuka

JTBK

Sumber

Ekstraksi dari
DEM SRTM
yang dibuat
menjadi peta
euclidean
distance

Ekstraksi dari
peta penutupan
lahan yang
dibuat menjadi
peta euclidean
distance

18 Jarak Terdekat ke Pertanian/Perkebunan/Semak JTPS
19 Jarak Terdekat ke Perkebunan Sawit

JTST

20 Jarak Terdekat ke Semak Belukar Rawa

JTSB

21 Jarak Terdekat ke Sawah

JTSH

Data titik satellite tracking dari SMA yang melewati Ketapang digunakan
sebagai sampel untuk diekstraksi nilanya. Data titik yang berada bukan di daerah
core atau edge habitat dipilih sebagai sampel. Akan didapat nilai jarak terdekat
dari tiap sampel.

18

Analisis statistik pada karakteristik lanskap
Analisis statistik terhadap karakteristk lanskap menggunakan metode
Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama. Analisis
Komponen Utama adalah teknik statistik yang secara linear mengubah rangkaian
variabel menjadi rangkaian kecil variabel yang berkorelasi yang menunjukan
informasi yang lebih banyak dari variabel asli (Dunteman 1989). Nilai yang telah
di ekstraksi dianalisis dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) oleh
Varimax rotation dengan Kaiser Normalization untuk mengintegrasikan semua
atribut lingkungan dan identifikasi karakter lanskap bottle neck habitat SMA
dengan bantuan software XLStat.

Analisis Potensi Ekowisata
Analisis potensi ekowisata dilakukan dengan metode grid untuk
menentukan sampel sebagai wilayah yang memiliki potensi ekowisata. Pemilihan
sampel berdasarkan dengan kumpulan data satellite tracking yang ada di
Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Dari kumpulan data satellite
tracking tersebut ditentukan titik-titik sampel dengan bantuan grid pada ukuran
tertentu. Area yang dipilih sebagai sampel diambil dari kumpulan data satellite
tracking yang ada di Ketapang, dilihat dari informasi variasi waktu dan intensitas.
Kemudian akan dibuat grid dengan ukuran yang berbeda-beda pada daerah
Ketapang, dimana kumpulan data satellite tracking tersebut akan terdistribusi
pada grid dengan ukuran tertentu sesuai kumpulan titik yang ada. Ukuran grid
yang dibuat terdiri dari ukuran 3 x 3 km, 5 x 5 km, 10 x 10 km.
Selain dari kumpulan data satellite tracking, hasil diskusi dengan
pemerhati burung setempat juga menghasilkan rekomendasi daerah yang memiliki
potensi ekowisata. Pada tahap ini juga dikumpulkan data-data non spasial yang
menunjang, juga dilakukan wawancara terhadap beberapa pihak yaitu mulai dari
pihak masyarakat, pemerhati burung, serta pemerintah daerah selaku stake holder
di Ketapang.
Wawancara dilakukan kepada beberapa pihak, yaitu dari pihak berwenang
(pengambil kebijakan), dari pihak pemerhati satwa, serta dari masyarakat sekitar.
Kepaada pihak berwenang (pengambil kebijakan), dilakukan wawancara langsung
dengan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc selaku Direktur Direktorat Pemanfaatan
Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLKKHL).
Wawancara dilakukan pada tanggal 13 November 2012 di kantor PJLKKHL.
Kepada pihak pemerhati satwa, dilakukan wawancara langsung dengan
Abdurrahman Al-Qadrie selaku pemerhati burung di Ketapang, dan juga dengan
Tito P. Indrawan selaku Manajer Yayasan Palung (Organisasi Non-Pemerintah yan
bergerak di bidang pelestarian satwa di Ketapang). Wawancara dilakukan pada
tanggal 6 dan 7 Desember 2012 di Kantor Yayasan Palung, Ketapang. Hasil dari
pengumpulan data sampling, data non spasial, serta hasil wawancara akan
dianalisis secara deskriptif.

19

Analisis Perbandingan Karakteristik Lanskap Habitat
Pada tahap ini dilakukan perbandingan antara karakteristik lanskap
bottleneck dengan karakteristik lanskap habitat musim dingin core dan edge SMA
di Kalimatan Selatan (Kalsel). Hasil studi terdahulu yaitu karakteristik habitat
musim dingin Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi pembanding bagi karakteristik
lanskap bottleneck di Ketapang. Tahapan ini dilakukan dengan membandingkan
secara deskriptif dan statistik karakteristik bottleneck di Ketapang dengan
karakteristik Core habitat di Kalsel, serta perbandingan karakteristik bottleneck di
Ketapang dengan karakteristik Edge habitat di Kalsel. Uji statistik digunakan
dengan menggunakan metode uji T-student dengan bantuan program Xl-Stat.
 

Ground Check
Kegiatan ground check dilakukan dengan mengambil sampel beberapa
titik pilihan di kawasan yang paling tepat untuk menginterpretasikan keberadaan
SMA di kawasan pintu masuk migrasi. Kegiatan ini bertujuan untuk, mengamati
langsung karakteristik lanskap pintu masuk migrasi SMA, mengamati langsung
kondisi lapangan, membuktikan hasil analisis, dan mengamati keberadaan
langsung burung SMA. Dalam tahap ini, dilakukan kroscek terhadap kondisi
eksisiting tapak dan keberadaan SMA serta pencarian data umum mengenai lokasi
penelitian, juga mewawancarai penduduk sekitar mengenai potensi ekowisata
pada kota Ketapang. Alat yang digunakan diantaranya kamera digital, GPS, peta
tematik, dan recorder. Selama ground check, pengamatan dilakukan di beberapa
titik lokasi untuk mengidentifikasi dan membandingkan kondisi tapak yang cocok
sebagai titik interpretasi Sikep Madu Asia.

Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Bottleneck
Proses penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap bottleneck
menggunakan analisis deskriptif pada poin-poin permasalahan yang dipilih.
Analisis ini memaparkan permasalahan yang didapatkan dari hasil identifikasi
karakteristik dan analisis potensi ekowisata yang dilakukan. Pada tahap
selanjutnya dianalisis pada tiap poin untuk mendapatkan rekomendasi pengelolaan
yang baik guna mengatasi permasalahan yang ada.

Output
Setelah seluruh tahapan analisis, hasil dari penelitian ini adalah
karakteristik utama lanskap bottleneck SMA di Ketapang, identifikasi potensi
ekowisata yang ada pada lanskap bottle neck, serta rekomendasi pengelolaan
lanskap bottleneck migrasi SMA di Ketapang.

20

Bagan Alur Penelitian
Pengumpulan Data Spasial
dan Non Spasial

Survey Lapang dan
Wawancara

Invertarisasi
Bottleneck

Peta Penutupan
Lahan

Peta
Slope

Peta
Elevasi

Titik Satellite
Tracking

Hasil
Wawancara

Peta Binary
Analisis Grid
Peta Jarak
(Euclidean Distance)

Overlat Peta
Wilayah Berpotensi
Ekowisata
Ekstraksi Variabel Lingkungan

Analisis Komponen
Utama (AKU)

Karakteristik Bottleneck
Habitat SMA

Karakteristik Core dan
Edge Habitat SMA
(Hasanah, 2011)

Perbandingan Karakteristik
Lanskap (Uji T-student)

Groundcheck

Analisis Deskriptif

Analisis
1.
2.
3.
4.

Karakteristik Lanskap Bottleneck
Perbandingan Karakteristik Lanskap Bottleneck dengan Wintering
Identifikasi Potensi Ekowisata
Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Bottleneck SMA

Output
Gambar 10 Bagan alur penelitian

21

HASIL
Kondisi Umum
Lokasi penelitian ini semula merupakan satu daerah kabupaten yang
berada di Propinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang. Semenjak tahun
2007, telah dilakukan pemekaran di wilayah kabupaten ini menjadi dua wilayah
kabupaten. Dua wilayah ini merupakan Kabupaten Ketapang yang terdiri dari 20
wilayah kecamatan (semula 25 kecamatan), dan Kabupaten Kayong Utara yang
terdiri dari 5 wilayah kecamatan.
Kabupaten Ketapang
Daerah Kabupaten Ketapang mempunyai luas wilayah 31.588 km²
(±3.158.830 ha). Secara geografis, Kabupaten Ketapang berada pada posisi 00 19’
26,51’’ Lintang Selatan sampai dengan 30 4’16,59’’ Lintang Selatan dan 1090
47’36,55’’ Bujur Timur sampai dengan 1110 21’37,36’’ Bujur Timur, dan berada
pada posisi sebelah selatan provinsi Kalimantan Barat. Dibandingkan kabupaten
lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas,
memiliki pantai yang memanjang dari selatan ke utara dan sebagian pantai yang
merupakan muara sungai, berupa rawa-rawa terbentang mulai dari Kecamatan
Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir Selatan,
Kendawangan dan Pulau Maya Karimata, sedangkan daerah hulu umumnya
berupa daratan yang berbukit-bukit dan diantaranya masih merupakan hutan.
Sungai terpanjang di Kabupaten Ketapang adalah Sungai Pawan yang
menghubungkan Kota Ketapang dengan Kecamatan Sandai, Nanga Tayap dan
Sungai Laur serta merupakan urat nadi penghubung kegiatan ekonomi masyarakat
dari desa dengan kecamatan dan kabupaten. Selanjutnya berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang pembentukan
Kabupaten Kayong Utara di Propinsi Kalimantan Barat, maka sejak tanggal 26
Juni 2007, 5 (lima) wilayah kecamatan di Kabupaten Ketapang dimekarkan
menjadi satu kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kayong Utara (Pemerintah
Kabupaten Ketapang 2011).
Kabupaten Kayong Utara
Kabupaten Kayong Utara (KKU) mempunyai luas wilayah 422070 km²,
dan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ketapang sebelumnya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 dan surat
Mendagri Nomor 135/439/SJ Tanggal 27 Februari 2007, luas wilayah KKU
adalah 4.568,26 Km2. Luas wilayah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan
wilayah kabupaten atau kota lain di Kalimantan Barat. Secara geografis, KKU
berada di sisi selatan Propinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 00 43’
5,15’’ Lintang Selatan sampai dengan 10 46’ 35,21’’ Lintang Selatan dan 1080 40’
58,88’’ Bujur Timur sampai dengan 1100 24’ 30,05’’ Bujur Timur. Wilayah KKU
terdiri dari 5 Kecamatan, dimana kecamatan-kecamatan tersebut berbatasan

22

langsung dengan laut. Dengan demikian masing-masing kecamatan mempunyai
potensi kelautan yang tentunya dapat dikembangkan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya (Pemerintah Kabupaten Kayong Utara 2011).
Sebagian besar daerah KKU terdiri atas tanah kuarter (322040 ha atau
76,30 %), intrusif dan plutonik asam (68.145 ha atau 16,24 %), efusif tak dibagi
(24.825 ha atau 5,88 %), serta intrusif dan plutonik basa menengah (6.325 ha atau
1,50 %), yang terhampar di sebagian besar setiap kecamatan. Sebagian besar
wilayah KKU merupakan perairan laut dan memiliki banyak pulau. Pulau yang
ada di KKU berjumlah 103 pulau. Pulau-pulau ini tersebar di tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Sukadana, Kecamatan Simpang Hilir, dan Kecamatan Pulau Maya
Karimata, dengan total luas keseluruhan pulau sebesar 135.129 ha (Pemerintah
Kabupaten Kayong Utara 2011).
Kondisi Biofisik
Kodisi biofisik wilayah Ketapang yang terdiri dari kabupaten Ketapang
dan Kayong Utara dapat dilihat dari kondisi penutupan lahan, ketinggian lahan,
serta persentase kemir