Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan

MODEL KEMAMPUAN TELUSUR
PADA INDUSTRI TEPUNG IKAN

NOVA ALEMINA SITEPU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Model Kemampuan
Telusur pada Industri Tepung Ikan” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 28 Agustus 2014

Nova Alemina Sitepu
NIM F35112011

RINGKASAN
NOVA ALEMINA SITEPU. Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung
Ikan. Dibimbing oleh SYAMSUL MAARIF dan TITI CANDRA SUNARTI.
Kemampuan telusur merupakan sistem yang mampu melacak produk pada
seluruh rantai distribusi, memberikan informasi tentang bahan baku, dan
memahami serta mengkomunikasikan dampak dari cara produksi dan distribusi
terhadap mutu dan keamanan pangan. Model ini dapat mengidentifikasi kode
produk yang bermasalah di konsumen sehingga dapat ditindaklanjuti dengan
cepat. Keuntungan mengetahui produk yang bermasalah secara pasti adalah dapat
meminimasi penarikan produk dan meminimasi kerugian. Penelitian ini
melakukan penentuan titik kritis sistem kemampuan telusur di UD Hijau Daun
Sidoarjo.
Pengolahan data dimulai dari pengamatan proses produksi dan penentuan
fungsi ID. Setelah dilakukan penentuan fungsi ID, data diolah menjadi bentuk
kuesioner yang diisi oleh pakar. Pakar yang terlibat dalam penelitian ini mewakili
pelaku usaha (UD Hijau Daun), penentu kebijakan (Balai Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya) dan

akademisi (Dosen Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor). Pemilihan
pakar dilakukan berdasarkan reputasi, kedudukan, dan pemahaman terhadap objek
penelitian. Pakar menentukan nilai severity, occurance dan detection. Nilai
severity kemudian diterjemahkan ke dalam tabel military standard 1629A menjadi
level tingkat kepelikan. Nilai occurance diterjemahkan ke dalam tabel military
standard 1629A menjadi peluang terjadi. Nilai severity, occurance dan detection
paling tinggi adalah 10. Setelah nilai severity, occurance dan detection ditentukan
dilakukan perhitungan risk probability number (RPN) dengan cara mengalikan
severity, occurance dan detection. Kuesioner pakar menghasilkan area kritis
unacceptable yang dapat dilihat pada matriks analisis kritikal. Ketiga pakar
memiliki pandangan berbeda dalam penentuan area unacceptable, namun
demikian pada poin 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku
tidak FIFO) ketiga pakar sepakat untuk memasukkan poin tersebut sebagai area
unacceptable. Nilai RPN yang didapat menujukkan tingkat resiko sistem
kemampuan telusur. Semakin tinggi RPN maka semakin tinggi resiko kegagalan
sistem kemampuan telusur tersebut.
Setelah diketahui area kritis, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis
efek lokal dan global. Analisis efek ini diperlukan untuk penentuan tindakan
perbaikan. Tindakan perbaikan yang diusulkan ke UD Hijau Daun merupakan
perbaikan menyeluruh. Usulan perbaikan berdasarkan kekurangan yang selama ini

ada di UD Hijau Daun. Penelitian ini melakukan perbaikan dengan cara
memperbaiki skema proses produksi dengan bantuan BPMN (Business Process
Model and Notation) untuk membuat model bisnis proses.
Kata kunci: FMECA, kemampuan telusur, tepung ikan

SUMMARY
NOVA ALEMINA SITEPU. Traceability Model of Fish Powder. Supervised by
SYAMSUL MAARIF and TITI CANDRA.
Traceability is ability to track any product (food, feed, food-producing or
substance) through all stages of production, processing and distribution. This
sistem allowed food business operators or authorities to withdraw or recall
products which have been identified as unsafe condition. They must be able to
identify where their produc
ts have come from and where they are going and to provide rapidly this
information to the competent authorities. The advantages this system is to
minimize the withdrawal of the product and minimize losses. This study
determined the critical points of traceability system at UD Hijau Daun Sidoarjo.
The first step was determining ID function. After got the ID function, data
was processed into questionnaire and evaluated by the experts. The experts are
representative of UD Hijau Daun as a business actors; Fish Quarantine, Quality

Control, and Safety of Fishery Class I Surabaya as a policy makers and lecturer
from Fishery Product Technology Department, Bogor Agricultural University as a
academics. The selection of experts are based on their reputation, position, and
knowledge about the object of this research. Experts determined the severity value,
occurance and detection. Severity value then be converted into level severities
according to table of military standard 1629A. This value was also converted from
table of occurance military standard 1629A into occured opportunities. The
maximize value of severity, occurance and detection was 10. These values were
used to determine Risk Probability Number (RPN). The results from expert
questionnaires evaluation were expressed in unacceptable critical area that
described in critical analysis matrix. Each expert had different responses when
they determinated the unacceptable area however at the 6.20 point they agreed this
point as unacceptable area. RPN values showed the level of risk the system's
search capabilities. Higher RPN value related to the the higher of failure risk in
the traceability system.
Based on critical area, the next step was analyzing the global and local
effects. This analysis was used to determine corrective actions. Proposed
corrective action for UD Hijau Daun were whole corrective, based on their own
unacceptable condition. To improve this research then we made correction
conducting business process model to show process business flow in all process

production.
Keywords: FMECA, traceability, fish powder

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KEMAMPUAN TELUSUR
PADA INDUSTRI TEPUNG IKAN

NOVA ALEMINA SITEPU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP. MT

Judul Tesis : Model Kemampuan Telusur pada Industri Tepung Ikan
Nama
: Nova Alemina Sitepu
NIM
: F351120111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir M. Syamsul Maarif, MEng
Ketua

Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Machfud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 16 Juli 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Model
Kemampuan Telusur, dengan judul Model Kemampuan Telusur pada Industri
Tepung Ikan. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Tepung Ikan Sidoarjo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Maarif,
M.Eng dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti. M.Si selaku pembimbing, yang telah
banyak memberi arahan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan Balai Karantina Surabaya dan UD Hijau Daun yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, Rika dan Enda atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa pascasarjana S2 TIP
IPB angkatan 2012, khususnya kepada para sahabat yaitu Benski, Eddwina Aidila
Fitria, Elfa Susanti, Elfira Febriani, Nina Hairiyah dan Rafi Rasyid atas segala
dukungan dan kebersamaan kuliah. Terima kasih juga kepada rekan dari jurusan
lain yang senantiasa membantu yaitu Teguh Pratama Pamungkas. Terimakasih
juga kepada sahabat penulis Dian Fitrohtin yang senantiasa memberi dukungan
dalam segala kondisi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 28 Agustus 2014
Nova Alemina Sitepu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
3

2. TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Ikan
Kemampuan Telusur
Metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis)
Penelitian Terdahulu

3
3
3
5

5

3. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan Data

6
6
6

Metode

6

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Identifikasi Perusahaan
11
Proses Produksi Tepung Ikan dan Penetapan Critical Control Poin (CCP) 11
Penentuan Nilai Kritis dengan FMECA (Failure Modes and Effects
Criticaly Analysis)
12
Model Bisnis Proses Kemampuan Telusur
20
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
RIWAYAT HIDUP

23
23
23
40

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL
Tingkat kepelikan (Severity classification)
Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence)
Deteksi terjadinya kegagalan (detection)

9
9
10
10

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Diagram alir metode penelitian
Tahapan penentuan fungsi ID dalam produksi tepung ikan
Matrik analisis kritikal
Model bisnis kemampuan telusur fragmen supplier-produksi tahap
pengiriman sampel tulang ikan

8
16
19
21

DAFTAR LAMPIRAN
1. Landasan hukum
2. Contoh pengisian kuesioner oleh pakar dari UD Hijau Daun
3. Usulan tindakan perbaikan
4. Efek lokal dan efek global
5. Model bisnis kemampuan telusur

27
28
31
35
40

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemampuan telusur dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melacak dan
mengikuti jejak pakan, makanan, ternak atau ikan pada seluruh mata rantai
produksi, pengolahan, dan distribusi. Prinsip dasar model ini adalah melacak
produk pada seluruh rantai distribusi, memberikan informasi tentang bahan baku,
dan memahami serta mengkomunikasikan dampak dari cara produksi dan
distribusi terhadap mutu dan keamanan pangan. Kemampuan telusur menjadi
salah satu faktor kritis efisiensi penarikan produk (Grunow 2008).
Model ini dapat mengetahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan
jaringan pemasok yang terlibat. Manfaat mengetahui secara jelas pokok persoalan
adalah proses penarikan produk dari pasar dapat dipersempit, sehingga dapat
meminimasi kerugian. Tahap perancangan model memiliki dua tujuan utama,
memenuhi kebutuhan pengguna dan memberi informasi kepada pengguna.
Peraturan mengenai ketersediaan data telusur terdapat pada Per. 01/Men/2007
mengenai pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan keamanan hasil Perikanan
(Lampiran 1).
FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis) adalah metode yang
digunakan untuk mengukur dan menganalisis keamanan dari suatu produk atau
proses. FMECA merupakan prosedur yang dilakukan setelah analisis kegagalan
efek modus untuk mengklasifikasikan setiap efek potensi kegagalan menurut
tingkat keparahan dan probabilitas kejadian. Masukan dari FMECA berupa
rencana, diagram, probabilitas, dan frekuensi data berdasarkan data historis.
Keluaran dari FMECA adalah daftar titik kritis serta beberapa target dari mitigasi
risiko (Sultan et al. 2011).
Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh
dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks dan mineral (Ca dan P, vitamin B12)
(Marzuki 2008). Tepung ikan dari Indonesia diekspor ke Jepang digunakan
sebagai pakan dan pupuk. Jepang menggunakan tepung ikan dengan tujuan
kandungan protein dalam tepung akan meningkatkan nilai gizi pada sayuran yang
menggunakan pupuk dari tepung dan nilai gizi hewan yang menggunakan pakan
dari tepung ikan.
Eropa telah mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed
(RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan
informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan
serta pakan. Saat ditemukannya notifikasi ALERT pada suatu produk maka akan
dilakukan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin.
Saat dilakukannya penarikan ulang terhadap produk, maka perusahaan
memerlukan model telusur untuk dapat menelusuri produk. Model telusur
dibutuhkan oleh produsen, sehingga jika terjadi permasalahan selama proses
produksi maka produsen dapat menarik kembali batch yang terkena masalah dan
bukan keseluruhan produk. Hal ini menjadi penting bagi produsen untuk membuat

2
surat izin agar dilakukan penghentian proses produksi pada bagian lot yang
bersangkutan.
Pemerintah Indonesia dan Jepang sejak 1 Juli tahun 2008 merealisasi
persetujuan kemitraan ekonomi. Perjanjian kerjasama ini membuka peluang
ekspor perikanan Indonesia ke mancanegara khususnya Jepang untuk produk
olahan tepung ikan. Namun, kerjasama ini pernah rusak akibat embargo tepung
ikan Indonesia oleh Jepang terkait indikasi protein non ikan pada tepung ikan
Indonesia. Salah satu temuan yang terbesar tahun 2013 oleh UD. Hijau Daun di
Jawa Timur yaitu Jepang menolak tepung ikan yang mengandung protein non
ikan, khususnya protein dari aves dan mamalia terkait isu virus H5N1 pada aves
dan anthrax pada mamalia sapi.
Kemampuan telusur internal sebenarnya telah dikembang di UD. Hijau
Daun. Namun pada kenyataannya tidak berjalan sehingga saat dilakukan
penolakan oleh Jepang semua tepung ikan yang dikirim ditarik kembali, bukan
hanya tepung yang bermasalah. Penelitian ini akan memperbaiki kemampuan
telusur dengan menentukan titik kritis sehingga nantinya kemampuan telusur
internal dapat berjalan lebih baik dari sebelumnya.

Perumusan Masalah

Ketidakmampuan telusur informasi di UD. Hijau Daun merupakan masalah
yang sering dihadapi karena proses produksi yang belum memiliki alur serta
banyaknya pemasok yang memasok bahan baku. Kemampuan telusur sendiri
merupakan salah satu syarat agar tepung ikan yang diproduksi dapat diterima oleh
Jepang. Manfaat penelitian ini membantu UD. Hijau Daun dalam pembuatan
model kemampuan telusur sehingga dapat menjamin mutu produk untuk ekspor
khususnya dan membantu pemerintah membangun model telusur industri kecil
yang bergerak dalam bidang ekspor hasil perikanan secara umum.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan merancang jaminan mutu dan pasokan produk
tepung ikan di UD. Hijau Daun Sidoarjo menggunakan metode FMECA (Failure
Modes and Effects Criticaly Analysis) untuk mengetahui titik kritis kemampuan
telusur dan membuat model dengan bantuan BPMN (Business Process Modelling
Notation).

3
Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada sistem telusur internal UD. Hijau
Daun Sidoarjo sebagai produsen dan eksportir. UD. Hijau Daun telah
menggunakan kemampuan telusur internal, namun kemampuan telusur ini tidak
berjalan karena saat terjadi masalah kemampuan telusur ini tidak mampu
menelusur batch yang bermasalah. Penelitian ini membantu penentuan titik kritis
yang ada pada proses produksi tepung ikan, sehingga nantinya kemampuan telusur
bisa lebih baik dari sebelumnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah FMECA (Bertolini 2006).

TINJAUAN PUSTAKA

Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh
dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks (metionina dan lisina) dan mineral (Ca, P dan
vitamin B12) (Sitompul 2004). Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku
sumber protein hewani dan mineral yang dibutuhkan dalam komposisi pakan
(Marzuki 2008).
Menurut Anonimus (2001), bahan yang digunakan adalah ikan segar, tetapi
yang paling ekonomis adalah ikan-ikan kecil (rucah) yang kurang disukai untuk
dikonsumsi dan harganya murah. Tahapan produksi tepung tulang ikan sebagai
berikut:
 Penerimaan bahan baku; di tahap ini dilakukan proses sortir untuk memisahkan
antara tulang ikan dengan tulang hewan lain dan bahan pengotor.
 Penggilingan, tahap ini merupakan penghancuran tulang ikan.
 Pengeringan, tepung sebaiknya tidak dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi.
 Pengemasan dan pelabelan, tahap ini mengemas tepung ikan lalu diberi label
identitas kemudian dilakukan penyimpanan di dalam silo.

Kemampuan Telusur

Kemampuan telusur merupakan bagian dari jaminan mutu yang bertujuan
utama menjamin mutu dan keamanan produk, melalui kemudahan akses informasi
pada setiap tahapan proses produksi. Bahkan hasil penelitian Grujic (2010) juga

4
termasuk di dalamnya juga tentang asal usul dan kualitas bibit benur dan pakan
yang digunakan.
Kemampuan telusur merupakan suatu konsep, alat, prosedur kerja dan
peralatan untuk menelusur dan penelusuran (T&T) dalam lingkungan produksi
dan distribusi (Smith 2006). Terdapat lima elemen dalam sistem QTT: (1) tujuan
dan keuntungan, (2) manajemen penawaran dan permintaan, (3) kualitas informasi
pelacakan dan penelusuran, (4) kualitas teknologi pelacakan, dan (5) proses dan
produk (Koenderink and Hulzebos 2006).

Landasan Hukum Kemampuan Telusur






Codex Alimentarius Commission, Guidelines for Generic Official Certificates
Formats and the Production and Issuance of Certificates 38 – 2001 (Lampiran
1).
Council and European Parliament Regulation (EC) No 178/2002 : Article 18,
19, 20 merupakan lembaran kunci legislasi Food Kemampuan telusur di Uni
Eropa (Lampiran 1).
PERMENKP RI Nomor : Per. 01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem
Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pada BAB III menerangkan
Prisip-prinsip Pengendalian Pasal 3, huruf c. Menerapkan prinsip
ketertelusuran bagi pelaku usaha (Lampiran 1).
KEPMENKP RI No.: 01/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan di Tahap Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
BAB VIII, Pasal 13 Ketertelusuran (Lampiran 1).

Jenis Kemampuan Telusur
Kemampuan telusur dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
kemampuan telusur internal dan eksternal. Penelitian ini merupakan kemampuan
telusur internal. Kemampuan telusur internal mencakup ketertelusuran bahan baku,
produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit
pengolahan dan hanya melibatkan satu pihak (Dupuyet al. 2005).
Secara eksternal rantai ketertelusuran mencakup perpindahan produk dari
alur sepanjang rantai suplai dan bisa melibatkan lebih dari satu pihak. Menurut
Huang dan Gotel (2012) kemampuan telusur dapat dibagi menjadi beberapa:
 Paper-base
Paper-base ini adalah bentuk paling sederhana dari informasi merekam
kemampuan telusur.
 Komputer
Komputer memiliki keuntungan tambahan untuk dapat menghubungkan dan
mengolah data sebagai bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan.
 Bar code
Bar code menggunakan kode numerik atau alfanumerik sebagai sarana
identifikasi. Tujuan utama dari kode bar adalah mengidentifikasi dan
menghilangkan atau mengurangi kesalahan manusia dengan menyediakan
metode elektronik dengan komputer perusahaan.

5


RFID (Radio frequency identification)
RFID adalah versi elektronik dari teknologi bar code. Pengguna tidak perlu
berhadapan langsung untuk tag karena informasi yang dilewatkan melalui
gelombang radio.
 Computer Linked Equipment An Integrated IT
Penggunaan teknologi modern pada kemampuan telusur dengan penggabungan
jaringan computer dan internet diantaranya adalah Computer Linked Equipment
and An Integrated IT.
Penelitian ini menggunakan kemampuan telusur paper base. Hasil
pengecekan di simpan dalam bentuk dokumen dan bila terjadi masalah dokumen
akan di periksa secara manual.

Metode FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis)

Menurut Tuncel dan Alpan(2010), FMECA adalah metode yang digunakan
untuk mengukur dan menganalisis keamanan dari suatu produk atau proses.
Masukan dari FMECA adalah rencana, diagram, probabilitas, dan frekuensi data
berdasarkan data historis. Keluaran dari FMECA adalah daftar titik kritis serta
beberapa target dari mitigasi risiko. Seorang analis menggunakan FMECA untuk
mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan kegagalan tersebut sebelum tiba
di pelanggan atau konsumen (Kwai-Sang 2009). Bertolini (2006), mengatakan
analisis titik kegagalan menyediakan informasi penting dalam sub dan produk
akhir, kegagalan, serta daftar dan deskripsi seluruh titik kegagalan, peluang
kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity), analisis kritikal (Criticality
Analisis/ CA).

Penelitian Terdahulu

Hesamestyna (2011), melakukan penelitian di PT Y menggunakan metode
FMECA dalam proses produksi udang. Tujuan penelitian menggunakan metode
FMECA untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi
internal telusur dalam proses produksi udang breaded di PT Y. Penelitian ini
dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pemahaman terhadap proses produksi (serta
proses telusur di perusahaan), pembuatan outline (skema) proses produksi dan
analisis data. Hasil FMECA yang diperoleh, PT Y memiliki 10 titik kegagalan.
Penyebab-penyebab kegagalan adalah tidak ada pencatatan surat perjanjian jual
beli udang, tidak ada nota pembelian produk, tidak ada pencatatan nota timbang
produk saat di tambak/ tiba diperusahaan, tidak ada tagging grup karyawan/
masing-masing karyawan, tidak diberikan label, tidak diketahui berat akhir udang
setelah proses breaded, penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi
label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC, dan misslabelling.

6
Yuskartika (2012), meneliti metode FMECA pada proses bisnis rantai pasok
makanan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi peluang risiko yang terjadi
pada rantai pasok dan dapat dilakukan penanganan yang baik terhadap peluang
risiko tersebut agar aktivitas rantai pasok dapat berjalan optimal dan sesuai
rencana manajemen. Identifikasi proses bisnis PT. SI menggunakan model SCOR.
Hasil FMECA didapatkan 53 risiko dan diketahui nilai rangking serta kategori
masing-masing potensial risiko yang teridentifikasi pada setiap aktivitas dalam
model SCOR.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan sejak Januari 2014. Tempat
penelitian dilakukan di Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan
Hasil Perikanan Kelas I Surabaya dan industri pengolahan tepung ikan UD Hijau
Daun di daerah Sidoarjo.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1. Data primer diperoleh dari unit produksi, hasil kuesioner pakar wawancara
langsung kepadakontrol mutu, produksi dan staf-staf produksi
2. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka

Metode
Penelitian ini dilaksanakan dalam tahap sebagaimana digambarkan pada
Gambar 4, yang terdiri atas (Bowles 2004):
1. Identifikasi masalah yang ada dengan mengamati proses produksi dan
membuat critical control point pada tiap tahapan produksi.
2. Analisis data FMECA
Tahap analisis data dibantu dengan pengisian kuesioner oleh pakar. Setelah
kuesioner diisi maka dilakukan analisis sebagai berikut:
 Analisis ragam atau titik kegagalan. Analisis kegagalan dilakukan dengan
tiga tahap yaitu penentuan fungsi ID, menentukan tahapan proses dan

7
menentukan titik-titik kegagalan dan penyebab terjadinya kegagalankegagalan tersebut.
 Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA) yang dilakukan melalui tahapan
(1) menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S) dan peluang terjadinya
(Probability/ P) pada Tabel 1, penilaian pakar berdasarkan tingkat kepelikan
(Tabel 2) dan peluang terjadi (Tabel 3). (2) menentukan nilai masingmasing titik kegagalan (Tabel 4) dengan menggunakan metode RPN (Risk
Probabilty Number). (3) Menentukan posisi tingkat kepelikan dan peluang
terjadinya dalam matriks kritikal (criticality matrix). (4) menentukan
tingkatan/ area kritis (Criticality level).
Penghitungan RPN dilakukan setelah kuesioner terisi dan memiliki
nilai.
RPN = S*O*D………………………………..(1)
Keterangan



3.





: S = Severity, poin tertinggi 10 (Bowles 2004).
O = Occurrence, poin tertinggi 10 (Bowles 2004).
D = Detection, poin tertinggi 10 (Bowles 2004).

Nilai RPN menentukan berkisar 1 hingga 1000. Nilai RPN yang lebih
tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004).
Analisis efek. Analisis efek dibedakan menjadi dua jenis yaitu analisis efek
lokal dan analisis efek global. Penentuan analisi efek berdasarkan kondisi di
UD Hijau Daun.
Model bisnis proses kemampuan telusur
Model bisnis proses merupakan tindakan koreksi berupa adopsi prosedur
baru untuk manajemen operasi atau sejumlah perbaikan struktural skema
proses sehingga adanya modifikasi dari skema produksi yang sudah ada
sebelumnya di perusahaan. Tahap untuk perbaikan skema proses dimulai
dengan identifikasi. Identifikasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Identifikasi batasan berupa input dan stake holder yang terlibat.
Identifikasi target, skema proses yang diperbaiki berupa sistem dokumentasi.
Penggambaran skema proses dengan BPMN.

8

1

Mulai

Pengamatan Proses Produksi

Pengumpulan Data dengan Metode Kuesioner

Data
Lengkap

Tidak
Ya

Analisis Ragam/ Tingkat kegagalan menggunakan Risk Probality Number
(RPN)
2

Klasifikasi kepelikan dengan MIL-STD-1629A

Menterjemahkan tingkat kritis berdasarkan matriks kritis

3

Identifikasi batasan

Identifikasi target

Model bisnis proses dengan BPMN

Selesai

Gambar 1 Diagram alir metode penelitian

9
Tabel 1 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL
STD-1629A
Deskripsi
Tingkat Kepelikan
I
Catatstophic: tingkat kepelikanbanyak menyebabkan
kehilangan informasi (total lost)
II
Critical:
tingkat
kepelikan
menyebabkan
ketidakefisienanberat dan atau ketidakefektifan saat
rekonstruksi informasi.
III
Marginal:
tingkat
kepelikan
menyebabkan
ketidakefisienanringan dan atau ketidakefektifan saat
rekonstruksi informasi.
IV
Minor:
tingkat
kepelikan
dapat
dilakukan
tindakanpenanggulangan secara langsung (tanpa perlu
dijadwalkan).
Peluang Terjadinya
A
Frequent: peluang terjadinya tinggi
B
Reasonably common: peluang terjadinya moderat
(sedang)
C
Occasional: peluang terjadinya jarang
D
Rare: sangat tak mungkin terjadi
E
Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah
nol.
Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)

Ranking
9,10

Tabel 2 Tingkat kepelikan (Severity classification)
Efek
Level
Arti
Kepelikan
Sangat
Catastrophic Tingkat
kepelikan
menyebabkan
tinggi
kehilangan banyak informasi (total lost)

7,8

Tinggi

Critical

4,5,6

Sedang

Marginal

2,3

Rendah

Minor

1

Tingkat
kepelikan
menyebabkan
ketidakefesienan
berat
dan
atau
ketidakefisienan
saat
rekontruksi
informasi
Tingkat
kepelikan
menyebabkan
ketidakefesienan ringan dan atau
ketidakefisienan
saat
rekontruksi
informasi
Tingkat kepelikan dapat dilakukan
tindakan
penanggulangan
secara
langsung (tanpa perlu dijadwalkan)

Sangat
Very Minor
Rendah
Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)

10
Tabel 3 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence)
Possible Failure
Ranking
Peluang Terjadinya Kegagalan
Level
Rates
10 Frequent: peluang terjadinya tinggi
A
≥ 1 in 2
9
1 in 3
8 Reasonably common: Peluang terjadinya
B
1 in 8
moderat (sedang)
1 in 20
7
6 Occasional: peluang terjadinya jarang
C
1 in 80
5
1 in 400
4
1 in 2000
3 Rare: sangat tak mungkin terjadi
D
1 in 15.000
2
1 in 150.000
Extremely rare: peluang terjadinya
1
E
< 1 in 1.500.000
kegagalan adalah nol
Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)
Tabel 4 Deteksi terjadinya kegagalan (detection)
Criteria: Likelyhood of detection by
Rank Detection
design control
Design control sistem kemampuan telusur tidak akan
Benar-benar
10
dan/atau tidak dapat mendeteksi kegagalan atau tidak
tidak tentu
ada design control
Sangat sedikit peluang design control sistem
9
Sangat sedikit kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik
kritis
Sedikit sekali peluang design control sistem
8
Sedikit
kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik
kritis
Sangat rendah peluang design control sistem
7
Sangat rendah kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik
kritis
Rendah peluang design control sistem kemampuan
6
Rendah
telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis
Sedang peluang design control sistem kemampuan
5
Sedang
telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis
Agak tinggi peluang design control sistem kemampuan
4
Agak tinggi
telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis
Tinggi peluang design control sistem kemampuan
3
Tinggi
telusur dapat mendeteksi kegagalan titik kritis
Sangat tinggi peluang design control sistem
2
Sangat Tinggi kemampuan telusur dapat mendeteksi kegagalan titik
kritis
Design control sistem kemampuan telusur hampir pasti
1
Hampir pasti
dapat mendeteksi kegagalan
Sumber: US Military Standard, MIL-STD-1629A (1983)

11
Tabel tingkat kepelikan (Tabel 2) digunakan untuk menentukan level
kepelikan terhadap setiap fungsi ID (Lampiran 2). Berdasarkan tingkat kepelikan
akan diputuskan apakah fungsi ID akan dimasukkan ke dalam model bisnis
kemampuan telusur atau tidak. Tabel peluang terjadinya kegagalan (Tabel 3)
digunakan untuk menentukan level kegagalan pada fungsi ID, sebagai contoh
dapat dilihat penentuan level kegagalan di Lampiran 2. Semakin tinggi level
kegagalan maka semakin tinggi nilai RPN yang berarti harus dijadikan aliran
keputusan pada model bisnis kemampuan telusur. Tabel deteksi terjadinya
kegagalan (Tabel 4) digunakan untuk mendeteksi kegagalan fungsi ID, sebagai
contoh dapat dilihat di Lampiran 2. Fungsi ID yang berpotensi menyebabkan
kegagalan yang tinggi harus disertakan dalam model bisnis kemampuan telusur.
Tabel klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD1629 A (Tabel 1) digunakan untuk mentukan posisi fungsi ID pada matriks
analisis kritis. Fungsi ID yang berada pada area unacceptable mendapat prioritas
pada model bisnis kemampuan telusur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Perusahaan

UD Hijau Daun adalah salah satu industri yang bergerak dalam bidang
ekspor tepung ikan ke Jepang. Tepung ikan yang diekspor berasal dari tulang
Tuna, Tongkol, Cakalang maupun ikan runcah. UD Hijau Daun berada di daerah
Gedangan, Sidoarjo Jawa Timur. Industri ini memproduksi tepung ikan, tepung
kepiting dan pupuk dari kotoran kelelawar. Pemasok UD Hijau Daun terdiri atas
industri pengalengan ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang tersebar di pulau
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Hingga saat ini terdapat 6 pemasok yang
memasok tulang ikan ke UD Hijau Daun. Saat ini negara tujuan ekspor tepung
ikan hanya ke Jepang saja. Tepung ikan ini dijadikan pupuk dan pakan oleh
Jepang.

Proses Produksi Tepung Ikan dan Penetapan Critical Control Poin (CCP)

Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh
dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asamasam amino esensial yang kompleks dan mineral (Ca dan P, vitamin B12).
Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-68%, air 5.58.5%, serta garam 0.5-3.0%. Kandungan protein atau asam amino tepung ikan
dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses pembuatannya.
Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang berwarna

12
cokelat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi
rusak (Marzuki 2008).
Berdasarkan keputusan tim HACCP di UD Hijau Daun maka ditetapkan
titik kontrol kritis berada pada area penerimaan bahan baku, sortir dan pelabelan.
Penerimaan bahan baku ditetapkan sebagai area titik kontrol kritis karena bahan
baku yang tercampur dengan tulang non ikan dapat langsung dikembalikan ke
pemasok. Area sortir ditetapkan sebagai titik kontrol kritis karena sortir dilakukan
100% sehingga diketahui kontaminasi tulang ikan. Area label ditetapkan sebagai
titik kontrol kritis karena saat terjadi penolakan tepung ikan maka yang menjadi
poin utama penarikan ialah melihat kode tepung ikan pada label di kemasan.

Penentuan Nilai Kritis dengan FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly
Analysis)

Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu (1) Analisis awal,
dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis), yaitu
mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan. (2) CA (Criticality
Analysis), untuk menilai resiko kegagalan, serta menentukan peluang kejadian dan
tingkat kepelikan, berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan yang telah
ditetapkan pada tahap sebelumnya. Evaluasi terhadap titik kegagalan dapat
dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda yaitu Criticality
Number (CN) atau mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al.
2006; Braglia, 2000).
Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak
tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus
ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah subjektifitas
hasil analisis (Fiorenzo and Marizio 2001).
Metode FMECA memiliki dua jenis pendekatan utama yang dapat
digunakan yaitu hardware approach dan functional approach (Eka 2009).
Penelitian ini menggunakan pendekatan Hardware approach. Hardware
appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin dapat
diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan (alur proses), gambaran
secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach juga disebut
bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap
tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan yang nantinya digunakan
untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi (Kenchakkanavar
2011). functional approach umumnya digunakan ketika komponen-komponen
mesin tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem
membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke bawah. functional
approach digunakan untuk menganalisis akibat-akibat yang ditimbulkan hanya
pada sistem-sistem utama yang ada (US Military Standard 1983).
Menurut Yanti (2004), tahapan untuk membangun FMECA sebagai berikut:
 Membangun batasan penelitian.
 Membangun proses pemetaan FMECA yang mendiskripsikan proses produksi

13







Melihat struktur proses
Identifikasi kegagalan potensial pada masing-masing proses.
Mempelajari penyebab kegagalan dari pengaruhnya.
Pengurutan kegagalan proses menggunakan risk priority number (RPN)
Mengklasifikasikan variabel proses
Menentukan kendali proses sebagai metode untuk mendeteksi bentuk
kegagalan atau penyebab.
 Identifikasi dan mengukur tindakan korektif.
 Analisis, dokumentasi dan memperbaiki FMECA.
Penentuan pendekatan FMEA harus ditetapkan di awal. Penentuan
pendekatan penting untuk memudahkan peneliti melakukan analisis tahapan
proses produksi. Pendekatan FMEA pada penelitian ini memiliki kelebihan
menganalisis keterandalan sistem produksi baik keterandalan keseluruhan sistem
atau per tahapan proses (Braglia 2000). Selain itu, penggunaan metode FMECA
pada penelitian ini dikarenakan sejarah data dan data statistik tidak tersedia di
perusahaan. Tahapan awal analisis FMECA dikenal sebagai FMEA yaitu
mengidentifikasi kemungkinan penyebab terjadinya kegagalan (Bertolini et al.
2006; Braglia 2000). Analisis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu
analisis titik kegagalan sistem kemampuan telusur dan analisis efek titik-titik
kegagalan sistem kemampuan telusur. Analisis efek terdiri dari dua macam yaitu
analisis efek lokal dan analisis efek global.

Analisis Ragam atau Titik Kegagalan
Tahap pertama dari penelitian ini adalah analisis kegagalan yang dilakukan
dalam tiga tahapan yaitu penentuan fungsi ID, penentuan tahapan proses dan
penentuan titik kegagalan serta penyebab terjadinya. Agar lebih sederhana maka
pada penelitian ini tahapan penentuan proses dilakukan bersamaan dengan
penentuan fungsi ID. Tahapan proses di UD Hijau daun telah ditetapkan oleh tim
HACCP, berdasarkan urutan tahapan proses maka ditentukan fungsi ID satu
persatu.
Setiap kegagalan sistem kemampuan telusur diberikode unik, misalkan pada
tahapan pertama diberi fungsi ID = 1 dan seterusnya. Kode ini digunakan untuk
menganalisis secara spesifik kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi pada
tahapan proses. Fungsi ID dimulai saat penerimaan bahan baku hingga saat
stuffing. Lebih jelasnya berikut dirinci tahapan proses berserta fungsi ID di UD
Hijau Daun.
1. Pemilihan pemasok
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 1. Tahapan ini merupakan proses
menentukan atau memilih pemasok yang layak untuk dijadikan rekan
berdasarkan kelayakan sumberbahan baku yang di ambil, kelayakan proses di
tempat pemasok dan kelayakan peralatan serta karakter pemasok dalam
memproses bahan baku yang di jual ke produsen. Pemilihan pemasok terdiri
dari beberapa kegiatan yaitu (1) memeriksa secara langsung sumber bahan
baku yang diambil oleh pemasok. (2) audit pemasok yaitu mengirim karyawan
untuk memeriksa tempat proses dalam keadaan baik dan aman dari unggas dan
mamalia, tingkat kekeringan bahan baku, kemasan sebagai tempat bahan baku

14

2.

3.

4.

5.

6.

sebelum dikirim dan memastikan kemasan bersih dan baik, tempat
penyimpanan sebelum dikirim aman dari mamalia dan unggas, transportasi
bersih dan aman dari kemungkina tercemar unggas dan mamalia, karyawan
ahli mengawal transportasi yang mengangkut bahan baku sampai di tempat
tujuan. (3) membuat perjanjian dengan pemasok terkait tulang ikan yang
dikirim meliputi kualitas tulang ikan, jumlah pengiriman, transportasi dan
jadwal pengiriman.
Penerimaan Bahan Baku
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 2. Penerimaan bahan baku yaitu proses
memeriksa bahan baku dan memastikan apakah bahan baku yang diterima
sesuai dengan kesepakatan baik jenis, jumlah dan kualitasnya. Tahap ini juga
diharapkan dapat mengidentifikasi kontaminasi bahan baku sehingga bisa
segera ditentukan langkah pencegahannya.
Pengecekan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 3. Pengecekan pada tahapan ini
dilakukan secara manual. Pengecekan bahan baku terdiri dari beberapa tahapan
yaitu (1) melakukan pemeriksaan dengan mengambil sampel sebanyak 20%
dari total pengiriman bahan baku dan diperiksa apakah sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati dengan pemasok. (2) memeriksa jenis bahan
baku, kalau tidak sesuai dengan yang dipesan dilakukan negosiasi atau
dikembalikan. (3) memeriksa apakah ada bahan yang tercampur dengan tulang
non ikan, jika terdeteksi ada langsung dikembalikan. (4) memeriksa apakah ada
benda asing seperti logam, batu kertas, plastik. Bila ada dicantumkan dalam
formulir hasil pemeriksaan. (5) memeriksa kadar air, bila kadar air tidak sesuai
dengan kesepakatan dilakukan negosiasi ulang dengan pemasok mengenai
harga dan pembayaran, kemudian dilakukan pengeringan sampai standar yang
ditentukan. (6) melakukan penimbangan, untuk mengetahui tonase barang yang
dikirim pemasok.
Penjemuran
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 4. Penjemuran merupakan proses yang
dilakukan apabila tulang ikan yang dikirim pemasok tidak memenuhi standar
kadar air dari UD Hijau Daun. Penjemuran dilakukan secara manual dengan
memanfaatkan sinar matahari dan lokasi penjemuran jauh dari pemukiman
penduduk sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi mamalia dan aves.
Pensortiran bahan baku
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 5. Pensortiran bahan baku yaitu proses
memilah antara tulang ikan dengan kontaminasi lain dengan tujuan
memastikan benda selain ikan dari bahan baku seperti sampah plastik, karet,
tali, kertas dan logam. Tulang ikan yang telah melewati tahapan ini
dimasukkan ke dalam karung bersih yang sudah disiapkan dan benda asing
disisihkan dan dimasukkan ke dalam sarung khusus sampah dan langsung
dibuang hari itu juga.
Penyimpanan Bahan Baku
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 6. Penyimpanan bahan baku
merupakan tahapan idle saat tulang ikan telah melewati tahap sortir dan
menunggu proses selanjutnya.

15
7. Pencampuran
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 7. Pencampuran merupakan tahapan
mencampur tulang ikan Tuna dengan Tongkol atau jenis lain untuk memenuhi
kadar protein yang ditentukan pembeli
8. Penggilingan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 8. Penggilingan merupakan proses
menyamakan ukuran bahan yang sudah dicampur agar menghasilkan produk
jadi dengan ukuran yang sesuai dengan spesifikasi produk yang sudah
ditentukan. Terdapat beberapa poin penting saat penggilingan yaitu
pengecekan kebersihan mesin giling dan lubang saringan serta pemasangan
magnet untuk menghindari logam.
9. Pengemasan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 9. Pengemasan dilakukan untuk
menghindari kontaminasi tepung ikan yang telah selesai diproduksi dan
diketahui identitasnya dengan melihat kemasan.
10. Penimbangan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 10. Penimbangan yaitu kegiatan
menyamakan timbangan per karung dengan timbangan sesuai dengan yang
ditentukan oleh pembeli. Setelah selesai penimbangan tepung ikan di simpan
dalam gudang
11. Pelabelan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 11. Pelabelan merupakan kegiatan
memberi tanda untuk setiap produk sesuai dengan ketentuan agar kemasan
memiliki identitas.
12. Penyimpanan finish good
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 12. Penyimpanan finish good
merupakan menyimpan bahan jadi di tempat yang aman. Ruang penyimpanan
memiliki beberapa kriteria yaitu tempat penyimpanan tidak digunakan untuk
menyimpan bahan lain selain ikan, tempat penyimpanan bersih dan kering dan
berventilasi yang cukup, dilengkapi dengan palet kayu, dilakukan
penyemprotan serangga setiap dua minggu sekali.
13. Pengecekan (sampling dan test DNA)
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 13. Tahapan ini dilakukan oleh pihak
ketiga yaitu Balai Karantina Surabaya yang bertujuan untuk memastikan
tepung ikan yang siap dikirim tidak terkontaminasi DNA mamalia dan aves
melalui test DNA. Sample yang diambil mewakili seluruh batch yang dikirim.
14. Pengangkutan
Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 14. Tahapan ini yaitu memasukkan
produk ke dalam kontainer dengan cara yang aman. Saat dilakukan
pengangkutan akan di saksikan oleh pihak ketiga yaitu perwakilan dari balai
karantina kemudian dilakukan pengisian form checklist pengangkutan.
Setiap tahapan proses yang dijadikan fungsi ID dianggap berpotensi menjadi
titik kegagalan. Agar lebih jelas maka fungsi ID disajikan dalam Gambar 2 berikut.

Mulai
16

Alternatif
Pemasok

Pemilihan Pemasok
Penerimaan Bahan Baku
Tepung ikan
Pengecekan
Penjemuran

Sample tepung ikan
Air

Tepung ikan kering
Pensortiran bahan baku

Bahan pengotor

Tepung ikan bebas kontaminasi
Penyimpanan bahan baku
Pencampuran

Penggilingan
Pengemasan
Penimbangan
Label

Pelabelan
Penyimpanan Finish Good

Sample/batch

Pengecekan (Sampling dan test DNA)
Pengangkutan

Selesai
Gambar 2 Tahapan penentuan fungsi ID dalam produksi tepung ikan

17
Critical Analysis (CA)
Setelah dilakukan tahap pertama, maka peneliti merangkum kemungkinan
kegagalan-kegagalan yang dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah
terjadi di dalam perusahaan dalam bentuk kuesioner. Kegagalan tersebut dapat
disebut sebagi titik kritis. Pakar melakukan evaluasi titik kritis dan menentukan
nilai titik kritis. Evaluasi titik kritis dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
Criticality Number (CN) dan pengembangan Risk Priority Number (RPN)
(Bertollini et al. 2006). Penelitian ini melakukan titik kritis dengan pendekatan
pengembangan RPN. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan acuan RPN
pada SAE J1739.RPN adalah metode yang dikembangkan dengan menganalisis
tingkat kepelikan.
Penelitian ini menggunakan pakar untuk mengisi kuesioner. Pakar adalah
orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab
kuesioner (Marimin 2004). Peneliti menentukan tiga pakar untuk pengisian
kuesioner yaitu pemilik UD Hijau Daun, Balai karantina Surabaya dan dosen dari
Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan pakar
ini berdasarkan pada pengetahuan tentang objek penelitian dan pengenalan pakar
terhadap metode penelitian. Menurut Marimin (2004), Penetapan pakar atau ahli
terkait didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: (1) keberadaan responden,
keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2) reputasi, kedudukan, dan
telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan (3) pengalaman pribadi
yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memberikaan saran yang benar
dan membantu memecahkan masalah. Seorang pakar dalam menyelesaikan suatu
persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu: efektif, efisien dan sadar
keterbatasan. Metode utama yang digunakan dalam menyerap pengetahuan dari
seorang ahli adalah melalui wawancara secara langsung dan mendalam
Untuk memudahkan pakar menilai titik kritis maka penyusunan pertanyaan
harus semudah mungkin untuk dipahami. Setiap pertanyaan yang diajukan berisi
pertanyaan-pertanyaan yang sudah diamati penelitian di perusahaan mengenai
kemungkinan-kemungkinan kegagalan. Tipe dan bentuk pertanyaan yang diajukan
bersifat terbuka artinya jawaban yang diberikan bersifat bebas sehingga pada saat
wawancara pakar dapat memberikan masukan. Pakar kemudian menentukan nilai
severity, occurance dan detection. Nilai kepelikan dapat dilihat pada Tabel 2, nilai
peluang dapat dilihat pada Tabel 3 dan nilai detection dapat dilihat pada Tabel 4.
Ketiga faktor tersebut dikalikan dan masing-masing faktor memiliki ranking yang
berkisar antara 1 hingga 10.
Setelah pakar menentukan nilai severity, occurance dan detection, maka
peneliti menentukan nilai RPN dengan cara mengalikan severity, occurance dan
detection. Sebagai contoh, pada Lampiran 1 untuk Failure ID 1 pakar menentukan
nilai severity 10, nilai occurance 1 dan nilai detection 1. Maka didapat nilai RPN
10. Lebih jelasnya penilaian pakar dan hasil RPN dapat dilihat pada Lampiran 2.
Ketiga pakar yang dipilih telah menentukan penilaiannya dan didapat nilai
RPN yang berbeda. RPN dari pakar 1 (balai karantina) sebesar 4319,25. RPN dari
pakar 2 (dosen) sebesar 5726. RPN dari pakar 3 (industri) sebesar 568. Nilai RPN
berfungsi untuk menentukan tingkat resiko kemampuan telusur yang ada di
industri tersebut. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004;

18
Kwai-Sang et al. 2009). Hal ini berarti di beberapa poin balai karantina menilai
kemampuan telusur UD Hijau Daun lebih berpotensi gagal dibanding dengan
penilaian oleh pemilik UD Hijau Daun. Perbedaan pendapat ini dikarenakan sudut
pandang menilai objek berbeda dan perbedaan latar belakang.
Setelah diketahui nilai RPN maka dilanjutkan dengan penentuan posisi di
matriks kritikal. Penentuan posisi dilakukan dengan cara mengubah nilai severity
dan occurance. Nilai severity diklasifikasikan menjadi tingkat kepelikan
berdarkan Tabel 1. Demikian juga nilai occurance diklasifikasikan menjadi
peluang terjadinya berdasarkan Tabel 1. Sebagai contoh pada Lampiran 1, failure
1.10 nilai severity adalah 10. Nilai 10 ini berdasarkan Tabel 2 masuk pada level
catastrophic. Level catastrophic di Tabel 1 masuk pada tingkat kepelikan I. Nilai
occurance yang diisi oleh pakar adalah 1. Nilai ini bila dilihat pada Tabel 3
memiliki arti peluang terjadinya extremely rare. Extremely rare bila dilihat pada
Tabel 1 berarti peluang terjadinya pada level E, sehingga posisi failure 1.10 pada
matrik kritikal adalah IE atau berada di area putih (accaptable with revision).
Pengisian nilai severity dan occurace yang berbeda mengakibatkan posisi
failure ID ketiga pakar di matrik kritikal juga berbeda. Perbedaan paling nyata di
matrik kritikal pada area unacceptable. Pakar yang mewakili instansi Balai
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I
Surabaya menentukan area kritis unacceptable pada 1.10 (tidak ada pencatatan
surat perjanjian jual beli bahan baku), 1.20 (tidak dilakukan pencatatan hasil audit
pemasok), 2.10 (Tidak dilakukan dokumentasi kode pemasok, tanggal datang dan
karyawan penerima bahan baku oleh karyawan), 2.50 (tidak ada certificate of
analysis (CoA) dari pemasok), 3.10 (Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan
oleh kualiti kontrol), 3.20 (Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang
telah di lakukan pemeriksaan), 4.10 (Tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.30
(Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran),
6.10 (Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku), 6.20 (salah pengambilan
bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 6.30 (tidak ada dokumentasi
monitoring selama penyimpanan), 7.10 (tidak ada dokumentasi karyawan yang
melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran), 8.10 (tidak ada
dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan
pencampuran), 8.20 (tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan
proses pengilingn dan tanggal dilakukan proses penggilingan), 9.10 (tidak ada
pelabelan kode produksi, kode karyawan, kode mesin pada kemasan), 9.20 (tidak
dilakukan penandaan FIFO pada kemasan), 11.10 (tidak diberikan label), 12.10
(tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods), 12.20
(tidak ada kontrol ruangan penyimpanan), 13.10 (tidak dilakukan dokumentasi
hasil samping dan test DNA), 14.20 (tidak melampirkan CoA finish goods), 14.30
(tidak melampirkan surat jalan) dan 14.40 (ketidakcocokan antara label kemasan
dengan isi kemasan).
Pakar yang mewakili Universitas menilai RPN 5726 dengan area kritis
unacceptable pada 3.10 (tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti
kontrol), 4.10 (tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.20 (tidak dilakukan
pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur), 4.30 (tidak ada
pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran), 5.20 (tidak
dilakuk