Dampak nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar (M2) terhadap inflasi Indonesia periode tahun 2002-2012

DAMPAK NILAI TUKAR DAN PERTUMBUHAN UANG
BEREDAR (M2) TERHADAP INFLASI INDONESIA
PERIODE TAHUN 2002-2012

LUQMAN AZIS

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Nilai Tukar
dan Pertumbuhan Uang Beredar (M2) terhadap Inflasi Indonesia Periode Tahun
2002-2012 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Luqman Azis
NIM H14100133

iv

ABSTRAK
LUQMAN AZIS. Dampak Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar (M2)
Terhadap Inflasi Indonesia Periode 2002-2012. Dibimbing oleh NUNUNG
NURYARTONO.
Inflasi merupakan fenomena kenaikan harga barang dan jasa secara umum.
Pengendalian inflasi menjadi tugas yang penting untuk pemerintah supaya
terkendalinya harga barang dan jasa yang ada di masyarakat. Laju inflasi
dipengaruhi faktor dalam negeri maupun luar negeri. Krisis yang berasal dari luar
negeri seperti tahun 2005 dan 2008 memberikan dampak inflasi yang tinggi di
dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh nilai tukar dan

jumlah uang beredar terhadap inflasi Indonesia periode 2002-2012. Metode yang
digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Bentuk data yang
digunakan pada penelitian adalah time series per-kuartalan dari kuartal 1 tahun
2002 hingga kuartal 4 tahun 2012. Berdasarkan uji Impulse Response Function
(IRF) hasil penelitian menunjukkan, variabel nilai tukar dan variabel jumlah uang
beredar memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi untuk duapuluh kuartal
(lima tahun) kedepan. Berdasarkan uji Variance Decomposition (VD) hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah uang beredar memiliki pengaruh
yang lebih dominan dibandingkan variabel nilai tukar untuk duapuluh kuartal
(lima tahun) kedepan.
Kata kunci : impulse response function,
decomposition, vector error correction model.

inflasi,

pengaruh,

variance

ABSTRACT

LUQMAN AZIS. The Impact of Exchange Rate and Money Growth (M2) On
Inflation Indonesia from 2002 until 2012. Supervised by NUNUNG
NURYARTONO.
Inflation is a phenomenon of rising prices of goods and services in general.
Inflation control becomes an important task for the goverment that controlled
prices of goods and services in the community. Inflation rate is influenced by
domestic and foreign factors. The crisis that comes from foreign such as the 2005
and 2008 impact of high inflation in the country. The purpose of the study is to
see the effect of exchange rate and money growth on inflation Indonesia from
2002 until 2012. Method used in this study is Vector Error Correction Model
(VECM). The study used quartal time series from quartal 1 on 2002 until quartal 4
on 2012. According to Impulse Response Function test, the results of this study
show that exchange rate variable and money growth variable have a positive
impact on inflation for the next twenty quarters (5 years). According to Variance
Decomposition test shows that money growth variable has a dominant impact than
exchange rate variable for the next twenty quarters (5 years).
Keyword : effect, impulse response function, inflation, variance decomposition,
vector error correction model.

DAMPAK NILAI TUKAR DAN PERTUMBUHAN UANG

BEREDAR (M2) TERHADAP INFLASI INDONESIA
PERIODE 2002-2012

LUQMAN AZIS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

vi

viii


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
inflasi, dengan judul Dampak Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar (M2)
terhadap Inflasi Indonesia Periode 2002-2012. Ucapan terimakasih yang
mendalam penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini.
2. Ibu Dr. Ir. Yetty Lis Purnamadewi, M.Sc dan Ibu Widyastutik, M.Si
selaku dosen penguji, atas segala kritikan dan masukannya yang
membangun sehingga penulis mendapat pengetahuan baru serta dapat
mengetahui kelemahan dan kekurangan untuk perbaikan karya ilmiah
ini.
3. Papah (H. Ishaq S.E), Mama (Ipa Samsiah) serta adik-adikku Risya
Amelia Rahmawanti dan Imran Abrilianno yang selalu memberikan
dukungan dalam segala bidang, doa, motivasi, keuangan dan kasih
sayangnya.

4. Denadia Mutty Oktarina yang selalu bersemangat dan tidak pernah
bosan dalam memberikan doa dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah.
5. Para dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan
ilmu dan bantuan kepada penulis.
6. Rekan seperjuangan bimbingan skripsi, Andri Sukrudin, Fatimah Zahra,
Mirsyad Awawin, Ahmad Azhari Pohan, Masyitoh Al Kautsar, dan
Nana Rodiana.
7. Sahabat seperjuangan semasa kuliah S1 di IPB, Pangrio dan Aki, serta
keluarga Ilmu Ekonomi 47 khususnya prodi ESP 47.
8. Keluarga Pondok Iona, HIPOTESA, Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Bogor dan Gengges Ciledug atas motivasi dan dukungannya
kepada penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
9. Seluruh orang yang pernah berkomunikasi dengan penulis.
Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam
penyusunan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Luqman Azis


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

8

Ruang Lingkup Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA
METODE DAN PENELITIAN


8
20

Jenis dan Sumber Data

20

Metode Analisis Data

20

Pengolahan Data

21

Model Penelitian

24

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


24

Perkembangan Inflasi di Indonesia

24

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS

25

Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2)

26

Hasil Estimasi Model VECM

27

Implikasi Estimasi Pengaruh Nilai Tukar dan Jumlah Uang Beredar Terhadap

Inflasi
35
SIMPULAN DAN SARAN

36

Simpulan

36

Saran

36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

52

x

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Perbandingan inflasi aktual dengan target inflasi
Uji Stasioneritas pada level
Stasioneritas pada first difference
Perhitungan Lag Optimum
Stabilitas sistem Vector Autoregression
Hasil Johansen Cointegration test
Hasil Granger Causality Test
Hasil Estimasi VECM Inflasi

7
28
28
29
29
30
31
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Laju Inflasi Indonesia Tahun 1998-2012
Pertumbuhan JUB Tahun 2001-2012
Laju Pertumbuhan GDP Indonesia tahun 1992-2012
Kurs Rupiah Terhadap Dollar AS Tahun 2002-2012
Tingkat Ekspor-Impor Indonesia Tahun 2002 – 2012
Inflationary gap
Mekanisme Transmisi Nilai Tukar ke Inflasi
Kerangka Pemikiran
Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 2002-2012
Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2002-2012
Jumlah Uang Beredar (M2) Indonesia Tahun 2002-2012
Impulse Response Function (IRF) Persamaan LNCPI
Variance Decomposition (%) LNCPI

2
3
3
4
5
12
16
19
25
26
27
32
34

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Data yang digunakan
Pengujian Pra Estimasi
Uji Lag Optimum
Uji Stabilitas VAR
Uji Kointegrasi
Uji Granger Causality
Estimasi VECM
Impulse Response Function
Variance Decomposition

40
41
44
45
45
47
47
49
50

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengendalian inflasi menjadi salah satu tujuan kebijakan moneter yang
diterapkan oleh seluruh negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Inflasi
merupakan permasalahan ekonomi yang tidak dapat diabaikan, karena inflasi
dapat menimbulkan dampak yang sangat luas seperti pengangguran, ekspor dalam
negeri, dan perlambatan ekonomi. Inflasi selalu menjadi target kebijakan
pemerintah, karena inflasi yang tinggi dapat menimbulkan ketidakstabilan pada
perekonomian. Pada suatu negara kestabilan ekonomi merupakan salah satu
kondisi yang harus terpenuhi dalam berlangsungnya pembangunan ekonomi.
Kestabilan ekonomi tersebut dapat tercermin melalui terkendalinya laju inflasi
(Kemenkeu 2014).
Laju inflasi merupakan fenomena ekonomi yang lazim terjadi di
perekonomian suatu negara. Inflasi akan menjadi permasalahan yang penting
ketika berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan berada pada level yang
tinggi. Secara teoritis inflasi diartikan dengan meningkatnya harga-harga barang
secara umum dan terus menerus (Yuliadi 2008). Untuk mengendalikan laju inflasi
supaya tetap pada level yang diharapakan maka dibutuhkan suatu kebijakan yang
dilakukan oleh otoritas moneter melalui kebijakan moneter.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan oleh otoritas
moneter atau bank sentral (Bank Indonesia). Melalui kebijakan moneter
diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan
laju inflasi yang rendah serta keseimbangan neraca pembayaran yang kuat
(Sardjonopermono 1993).
Laju inflasi di Indonesia beberapa kali mengalami fluktuasi, contohnya
ketika masa orde lama di tahun 1966. Laju inflasi mengalami peningkatan yang
tinggi mencapai 650%, laju inflasi yang sudah diatas 100% maka dikategorikan
hyper inflation (Mankiw 2007). Akibat adanya fenomena tersebut menyebabkan
mata uang dalam negeri mengalami devaluasi yaitu penyesuaian nilai tukar mata
uang terhadap mata uang asing yang dilakukan oleh Bank sentral atau otoritas
moneter pada saat itu dengan cara mengganti uang lama dengan uang baru dengan
kurs Rp. 1000 menjadi Rp. 1 (Dumairy 1996).
Memasuki pemerintahan orde baru pengendalian inflasi menjadi tugas
pokok negara dalam menjaga kestabilan perekonomian negara, hal ini dibuktikan
dengan penurunan laju inflasi menjadi 15%. Laju inflasi Indonesia kembali
mengalami peningkatan pada pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 1998
sebesar 77%, saat itu Indonesia mengalami krisis moneter dan mengakibatkan
penurunan perekonomian (BPS 2014).
Laju inflasi Indonesia yang berfluktuatif berlanjut hingga periode setelah
krisis tahun 1998, seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, data
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), laju inflasi Indonesia pada tahun
1998 hingga 2012 terlihat sangat fluktuatif. Laju inflasi tertinggi setelah periode
krisis 1998 adalah di tahun 2005 yang mencapai 17,11% dan 2008 sebesar
11,06%. Sedangkan laju inflasi terendah dalam periode ini adalah pada tahun
2009 yaitu sebesar 2,78%.

2

90
80

77.63

70

(persen)

60
50
40
30
17.11

20
10

9.35

12.55

2.01

10.03

6.6 6.59

5.06 6.4

11.06
2.78

6.96

3.79 4.3

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 1 Laju inflasi Indonesia tahun 1998 – 2012
Laju inflasi di tahun 2005 dan 2008 yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya diakibatkan krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya
harga minyak dunia yang kemudian berdampak kepada harga yang tinggi pada
komoditi minyak domestik yang sebagian besar bergantung pada impor. Diawali
pada tahun 2005, pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menaikkan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 126 persen dengan menetapkan harga
minyak tanah sebesar Rp. 2.500 per liter dan harga BBM bersubsidi menjadi Rp.
6.000 per liter dan solar sebesar Rp. 5.500 per liter. Laju inflasi di tahun 2008
cenderung menurun akan tetapi masih memiliki laju yang tinggi. Hal tersebut
tidak luput dari kenaikan harga minyak dunia seperti pada tahun 2005 (Setneg
2009).
Laju inflasi Indonesia di tahun 2005 mencapai titik tertingginya dalam
periode 2002-2012, sedangkan di tahun 2009 laju inflasi Indonesia berbanding
terbalik, dimana hanya sebesar 2,78%, hal ini terjadi diakibatkan oleh faktor
eksternal dimana terjadinya kelesuan pasar dunia yang diakibatkan oleh krisis
global di tahun 2008 (Heriawan 2010).
Kaum monetaris menyatakan penyebab utama inflasi adalah adanya
kelebihan penawaran uang yang ada di masyarakat. Ketika jumlah uang beredar
yang ada di masyarakat lebih banyak dibadingkan jumlah barang yang ada, maka
akan menurunkan nilai uang dan dampaknya harga barang dan jasa yang ada di
masyarakat akan meningkat (Sardjonopermono 1993). Sudah banyak penelitian
yang mencoba melihat hubungan antara jumlah uang beredar (JUB) dan inflasi.
Dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa JUB memiliki kausalitas
dengan inflasi (Sutawijaya 2012).
JUB di Indonesia dalam setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan.
Peningkatan dalam setiap tahunnya sebesar 15 sampai 16 persen (Waas 2013).
Pada Gambar 2 terlihat pertumbuhan JUB dari tahun 2001 hingga 2012 grafiknya
memiliki tren yang selalu positif.

3

900000.0
800000.0
700000.0

(Milyar Rp)

600000.0
500000.0
400000.0
300000.0
200000.0
100000.0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 2 Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) Indonesia tahun 2001-2012
Fluktuatifnya laju inflasi Indonesia juga memiliki dampak terhadap
pertumbuhan GDP rill di Indonesia. Laju inflasi yang stabil dan rendah untuk
waktu yang panjang, akan membuat pertumbuhan ekonomi lebih stabil. Hal
tersebut karena kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah
konsumsi rumah tangga (Danareksa Research Institute 2013). Ketika inflasi
tinggi, harga barang dan jasa akan tinggi sehingga membuat konsumsi masyarakat
akan menurun dengan asumsi pendapatan masyarakat konstan. Menurut Mankiw
(2007) GDP rill adalah nilai barang dan jasa yang diukur menggunakan harga
konstan. Untuk pertumbuhan GDP rill Indonesia dapat di lihat pada Gambar 3.
10

(persen)

5

0

-5

-10

-15

Tahun

Sumber : worldbank.org

Gambar 3 Laju Pertumbuhan GDP Indonesia tahun 1992-2012

4

Laju pertumbuhan GDP selalu dikaitkan dengan kinerja perekonomian
(Mankiw 2007). Pada Gambar 3 terlihat periode tahun 1992 hingga 1995
pertumbuhan GDP selalu meningkat akan tetapi di tahun 1998 GDP Indonesia
mengalami penurunan yang sangat drastis hingga menyentuh angka pertumbuhan
(-13%). Hal ini terjadi diakibatkan karena pada saat itu Indonesia sedang
mengalami krisis ekonomi, sehingga memberikan efek negatif terhadap
petumbuhan GDP nasional. Di tahun 1999, perekonomian Indonesia mulai
membaik, hal ini terlihat pada Gambar 3 yang menunjukkan pertumbuhan GDP
nasional sudah mengalami perbaikan, dimana angkanya menyentuh 0,7% dari
tahun sebelumnya sebesar (-13%), dan di tahun 2000 GDP Indonesia sebesar
4,9%. Pada periode selanjutnya tahun 2001 hingga 2012 GDP Indonesia selalu
mengalami pertumbuhan, mencapai rata-rata 5% per tahun.
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus (-) di era 19971998 yang disebabkan oleh krisis moneter. Krisis yang berdampak sistemik ini
disebabkan salah satunya oleh nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup tajam
saat itu, ditambah dengan porsi hutang swasta yang tinggi, membuat
perekonomian Indonesia saat itu menjadi krisis (Tarmidi 1999).
Sistem nilai tukar Indonesia beberapa kali mengalami perubahan, pada
pemerintahan orde baru, sistem nilai tukar Indonesia menganut fixed exchange
rate atau sistem nilai tukar tetap. Akan tetapi setelah rezim orde baru, pada sistem
pemerintahan setelahnya hingga sekarang ini, sistem nilai tukar Indonesia berubah
menjadi floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Sistem nilai
tukar ini bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan
sistem nilai tukar tetap dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah
agar tetap konstan dengan membeli atau menjual valas untuk menghadapi supply
dan demand yang berubah-ubah (Setneg 2009).
14000.00
12000.00

(Rupiah)

10000.00
8000.00
6000.00
4000.00
2000.00
0.00
2002

2003

2004

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun
Sumber : Bank Indonesia

Gambar 4 Pergerakan kurs rupiah terhadap dollar AS Tahun 2002-2012
Periode tahun 2007 hingga 2008, kondisi ekonomi Indonesia mengalami
guncangan yang bersumber dari krisis di Amerika Serikat (AS) yaitu krisis

5

subprime mortgage. Subprime mortgage adalah krisis kredit macet di AS. Hal ini
yang membuat bank sentral AS (The Fed) mengambil kebijakan untuk
mengurangi supply dollar ke pasar dunia. Krisis yang terjadi di AS memberikan
dampak kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Alan Greenspan mengatakan
krisis ini akan membawa dampak terhadap perekonomian global. Organisasi
keuangan internasional, International Monetary Fund (IMF) bahkan mengatakan
bahwa krisis ini sebagai “largest financial shock since great depression”, yang
menandakan betapa dalam krisis telah terjadi (Hamid 2009).
Kondisi kurs rupiah terhadap dollar AS di tahun 2002 hingga 2012 dapat
dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat kurs rupiah di tahun 2002
hingga 2007 relatif stabil, akan tetapi di tahun 2008 hingga 2009 terjadi
pelemahan nilai rupiah atau depresiasi. Hal ini terjadi karena krisis yang telah
dijelaskan sebelumnya, The Fed atau Bank Sentral AS mengambil kebijakan
untuk mengurangi supply dollar AS ke pasar dunia sehingga membuat jumlah
dollar AS di Indonesia menjadi lebih sedikit dibandingkan rupiah, sehingga
membuat harga dollar menjadi meningkat dan rupiah menjadi terdepresiasi
(Hamid 2008).
Krisis finansial di AS pada tahun 2008 memberikan dampak tidak hanya
kepada nilai tukar, akan tetapi juga memberikan dampak kepada kinerja eksporimpor Indonesia melalui defisitnya neraca pembayaran Indonesia (NPI), hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Krisis di AS pada saat itu membuat daya
beli masyarakat AS menurun dan menyebabkan penurunan permintaan impor dari
Indonesia. Dengan demikian nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan. BI
memperkirakan secara keseluruhan NPI defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun
2008.
250,000

(Jutaan Rp)

200,000
150,000
100,000
50,000
0
2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Axis Title
Impor (nilai)

ekspor (nilai)

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 5 Total ekspor-impor Indonesia Tahun 2002 – 2012.

2010

2011

2012

6

Rumusan Masalah
Inflasi adalah fenomena kenaikan harga barang atau jasa secara umum.
Inflasi yang tinggi dapat memberikan dampak yang buruk terhadap suatu negara.
Sehingga pemerintah melalui otoritas moneternya memiliki tanggung jawab yang
besar dalam mengendalikan inflasi. Inflasi yang ideal adalah inflasi yang lajunya
dibawah 10 % (Mankiw 2007).
Penyebab terjadinya guncangan terhadap inflasi dapat bersumber dari dalam
negeri maupun luar negeri. Kondisi perekonomian Indonesia yang menganut
sistem ekonomi terbuka, menuntut supaya selalu siap dalam menghadapi krisis
dari luar negeri yang membuat laju inflasi menjadi tidak terkontrol.
Laju inflasi Indonesia periode tahun 2002-2012 cenderung termasuk
kategori inflasi ringan yaitu dengan laju dibawah 10 %. Namun, tahun 2005 dan
2008 laju inflasi Indonesia memiliki laju yang cukup tinggi yaitu berada diatas 10
%. Hal itu disebabkan oleh guncangan krisis dari luar negeri. Tahun 2005 krisis
disebabkan meningkatnya harga minyak dunia yang berdampak terhadap kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik. Tahun 2008 krisis disebabkan oleh
guncangan finansial di AS yang berdampak pada nilai rupiah yang terdepresiasi
terhadap dollar (Hamid 2009).
Depresiasi nilai rupiah yang tidak dapat diantisipasi dengan baik oleh
pemerintah dapat memberikan dampak yang buruk terhadap neraca pembayaran.
Masyarakat Indonesia cenderung mengkonsumsi barang impor yang membuat
neraca pembayaran menjadi defisit. Neraca pembayaran yang terus defisit dapat
berdampak pada fluktuatifnya nilai tukar. Apabila pemerintah tidak dapat
mengantisipasi defisit neraca pembayaran, maka Indonesia terancam mengalami
krisis ekonomi (Sugema 2013).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia cenderung membuat laju
pertumbuhan ekonomi melambat. Tahun 1998, ekonomi Indonesia dilanda krisis
yang hebat yang terkenal dengan sebutan krisis ’98. Pada saat itu laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka -13 %. Perlambatan ekonomi
yang melanda Indonesia saat itu mendorong pemerintah melakukan pinjaman
dana kepada IMF. Diharapkan dana pinjaman tersebut dapat dialokasikan untuk
pembiayaan sektor riil sehingga pertumbuhan ekonomi dapat kembali meningkat.
Hal ini terbukti berhasil, terlihat pada tahun 1999 laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia kembali meningkat menjadi 0,7 % dari tahun sebelumnya sebesar -13
%.
Pembiayaan sektor riil yang dilakukan pemerintah salah satunya adalah
dengan cara pemberian kredit melalui bank umum kepada masyarakat untuk
melakukan usaha yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia
melalui instrumen moneter tidak langsungnya akan menurunkan tingkat diskonto
yang membuat bank umum yang ada di Indonesia melakukan invasi kredit besarbesaran kepada masyarakat. Dengan banyaknya pemberian kredit kepada
masyarakat secara langsung akan meningkatkan jumlah uang yang beredar di
masyarakat. Ini yang menjadi dilema pemerintah, ketika jumlah kredit yang
diberikan kepada masyarakat diperluas, kuantitas uang yang ada di masyarakat
cenderung akan meningkat.
Kaum monetaris berpendapat bahwa ketika jumlah uang yang beredar di
masyarakat menjadi lebih banyak, maka inflasi akan meningkat. Oleh sebab itu,

7

pemerintah melalui kebijakan moneternya memiliki tujuan utama untuk kestabilan
harga dengan cara menjaga pertumbuhan uang beredar di masyarakat.
Kebijakan moneter di Indonesia pada tahun 2005 mengeluarkan produk
pengendalian inflasi yang lebih modern yaitu inflation targeting. Kebijakan ini
sudah tidak menggunakan variabel jumlah uang beredar yang menjadi sasaran
utamanya, namun menggunakan suku bunga. Inflation targeting adalah
penargetan inflasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengarahkan ekspektasi
dan menjadi acuan bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonominya
ke depan. Akan tetapi pelaksanaan kebijakan yang dilakukan sejak tahun 2005 ini
tidak pernah dapat terealisasi atau dengan kata lain target inflasi yang ditetapkan
pemerintah tidak pernah tercapai, hal ini terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan inflasi aktual dengan target inflasi
Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual (%, yoy)
2002
9% - 10%
10,03
2003
9 + 1%
5,06
2004
5,5 + 1%
6,4
2005
6 + 1%
17,11
2006
8 + 1%
6,6
2007
6 + 1%
6,59
2008
5 + 1%
11,06
2009
4,5 + 1%
2,78
2010
5 + 1%
6,96
2011
5 + 1%
3,79
2012
4,5 + 1%
4,3
Sumber : Bank Indonesia

Kebijakan moneter yang diterapkan pemerintah saat ini terbukti belum
optimal dalam pelaksanaannya untuk mengendalikan inflasi. Hal ini terlihat belum
tercapainya laju inflasi yang stabil, seperti di tahun 2005 dan 2008. Banyaknya
faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi tersebut yang berasal dari dalam
maupun luar negeri, sehingga mendorong untuk dilakukan penelitian mengenai
pengaruh nilai tukar dan jumlah uang beredar terhadap inflasi dengan metode
VECM dengan rentang waktu tahun 2002-2012.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh nilai tukar terhadap inflasi Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh jumlah uang beredar di masyarakat terhadap inflasi
Indonesia?
3. Variabel manakah yang memiliki kontribusi paling besar terhadap inflasi
Indonesia ?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah-masalah yang sudah
dirumuskan sebelumnya, yaitu :
1. Menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap inflasi Indonesia.

8

2.
3.

Menganalisispengaruh jumlah uang beredar di masyarakat terhadap inflasi
Indonesia.
Menganalisis variabel yang memiliki kontribusi paling besar terhadap
inflasi Indonesia.
Manfaat Penulisan

Dengan adanya penulisan ini, penulis mengharapkan bahwa tulisan ini dapat
bermanfaat untuk :
1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah dan Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter dalam kaitan merumuskan kebijakan moneter yang
diperlukan untuk menjaga laju inflasi Indonesia.
2. Memberikan kontribusi bagi kalangan akademisi dan peneliti (ekonom)
dalam memberikan referensi mengenai dampak depresiasi nilai tukar dan
pertumbuhan uang terhadap inflasi Indonesia terutama pada tahun 20022012.
3. Memberikan kontribusi bagi masyarakat luas sebagai pemenuhan
informasi.

Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini lebih berfokus kepada pengaruh nilai tukar dan jumlah
uang beredar terhadap Inflasi Indonesia. Data yang akan digunakan adalah data
sekunder time series dengan periode data dari tahun 2002-2012 yang berasal dari
data International Monetary Fund, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik.

TINJAUAN PUSTAKA
Inflasi
Case & Fair (2007) mengatakan, inflasi adalah fenomena peningkatan
harga secara keseluruhan. Dalam mengukur tingkat inflasi dapat dilihat melalui
jumlah barang dan jasa yang besar serta menghitung peningkatan harga rata-rata
dalam beberapa periode tertentu. Menurut Iswardono (1993) masalah ekonomi
yang dominan selain permasalahan pengangguran adalah inflasi, yang sudah sejak
lama dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia. Inflasi adalah suatu kenaikan
harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum (bukan satu
macam barang saja dan sesaat), sedangkan kenaikan harga yang sporadis bukan
dikatakan sebagai inflasi.

9

Penggolongan Inflasi
Menurut Atmadja (1999) inflasi dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis, yaitu menurut sifat, penyebab dan asal inflasi.
a. Jenis inflasi menurut sifat
1. Inflasi ringan
Inflasi ringan ditandai dengan laju inflasi yang rendah sebesar (100%)
dan memiliki tingkat keparahan yang tinggi terhadap perekonomian.
b. Jenis inflasi menurut sebab
1. Demand pull inflation yaitu inflasi yang terjadi karena adanya
kenaikan permintaan agregat, sedangkan produksi telah berada pada
keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan
kerja penuh.
2. Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya
produksi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam
penawaran agregat sebagai akibat kenaikan biaya produksi.
c. Jenis inflasi menurut asal
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi ini timbul antara lai disebabkan oleh defisit anggaran belanja
yang dibiayai melalui pencetakan uang baru ataupun terjadinya
kegagalan panen.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi ini berasal dari pengaruh kenaikan harga-harga (inflasi) di luar
negeri atau diluar negera tersebut. Dalam hubungan ini pengaruh
inflasi dari luar negeri ke dalam negeri dapat terjadi melalui kenaikan
harga barang-barang impor maupun kenaikan harga barang-barang
ekspor.
Indikator Inflasi
Pengertian inflasi secara sederhana adalah sebagai meningkatnya hargaharga secara umum dan terus menerus. Apabila kenaikan harga disebabkan oleh
satu atau dua barang saja itu tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Indikator yang selalu digunakan dalam mengukur tingkat inflasi adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi

10

masyarakat. Sejak juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah
dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan
harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar
tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Pengelompokan Inflasi
Inflasi berdasarkan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok
pengeluaran (berdasarkan the classification of individual consumption by purpose
– COICOP), yaitu :
1. Kelompok Bahan Makanan
2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan dan Olahraga
7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disagregasi Inflasi
BPS saat ini mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokkan yang
lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi, selain pengelompokan berdasarkan
COICOP. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu
indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat
fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokkan menjadi :
1. Inflasi Inti (Core Inflation)
Komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam
pergerakan inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti :
 Interaksi permintaan-penawaran
 Lingkungan eksternal : nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi
mitra dagang
 Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non inti
Komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi
oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :
 Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks dalam kelompok bahan
makanan seperti panen, gangguan alam atau faktor perkembangan harga
komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas
pangan internasional.
 Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Price) :
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks berupa kebijakan harga
pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan,
dll.

11

Teori Inflasi
Teori Inflation Targetting
Merupakan suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang memiliki ciri-ciri
utama yaitu adanya pernyataan resmi dari bank sentral bahwa tujuan akhir
kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga inflasi yang rendah, serta
pengumuman target inflasi kepada publik.
Oleh karena itu teori Mishkin (Shofa 2004) mencoba memformulasikan
batasan-batasan dari inflation targetting dengan menyatakan bahwa ini merupakan
suatu strategi kebijakan moneter yang terdiri dari lima elemen, yaitu :
1. Pengumuman target tingkat laju inflasi jangka menengah kepada
masyarakat.
2. Suatu komitmen institusional terhadap stabilitas harga sebagai tujuan
utama dari kebijakan moneter, sementara tujuan lain bersifat
subordinat.
3. Suatu strategi informasi yang bersifat inklusif dimana banyak variabel
bukan hanya variabel agregat moneter atau nilai tukar, digunakan
dalam penyusunan instrumen kebijakan.
4. Peningkatan transparansi dari strategi kebijakan moneter melalui
pengkomunikasian rencana-rencana, tujuan-tujuan dan keputusan
otoritas moneter kepada masyarakat dan pasar.
5. Peningkatan akuntabilitas bank sentral dalam mencapai tujuan inflasi
jangka menengahnya.

a.

b. Teori Kuantitas Uang
Kaum monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter
yang terjadi karena adanya peningkatan jumlah uang beredar, sehingga
menyebabkan kenaikan dalam pertumbuhan uang beredar dan dipercaya sebagai
pemicu utama terjadinya inflasi. T di dalam persamaan 1 menyatakan total jumlah
transaksi selama periode waktu tertentu. P adalah harga dari suatu transaksi
tertentu. Produk dari harga transaksi dan jumlah transaksi (PT), sama dengan
jumlah uang yang dipertukarkan. M adalah jumlah uang sedangkan V adalah
perputaran uang transaksi. Untuk persamaan sisi kiri (MV) menyatakan uang yang
digunakan untuk melakukan transaksi (Mankiw 2007). Hubungan diantara
transaksi dan uang ditunjukan dalam persamaan berikut yang disebut persamaan
kuantitas:

M

Uang x Perputaran = Harga x Transaksi
x
V
=
P
x
T ...............(1)

Persamaan kuantitas adalah sebuah identitas, definisi dari empat variabel
membuat nilainya benar. Persamaan ini berguna karena menunjukkan bahwa jika
satu dari variabel-variabel itu berubah, satu atau lebih variabel lainnya juga harus
berubah untuk menjaga kesamaan (Mankiw 2007).

12

c.

Teori Keynes
Menurut keynes, inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan barang dan
jasa yang lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu
sendiri. Seperti pada Gambar 6, output dalam jangka panjang dianggap tetap
karena seluruh kapasitas produksi telah dipergunakan (full employment) sehingga
kurva AS berbentuk vertikal. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena
permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia. Inflationary gap ini
diawali dari adanya peningkatan pengeluaran total yang menyebabkan permintaan
agregat demand sehingga kurva AD bergeser ke kanan. Pengeluaran total dapat
berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakaat, konsumsi pemerintah dan
pengeluaran investasi sektor swasta. Keadaan ini menggeser permintaan agregat
bergerak naik melebihi keadaan output full employment. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya kelebihan permintaan pada pasar barang dan jasa
sehingga harga meningkat. Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa akan
menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor produksi, sehingga
kuantitas permintaannya semakin meningkat. Kenaikan harga barang dan jasa
serta faktor produksi inilah yang menyebabkan terjadi inflasi dalam perekonomian
(Judisseno 2002).
P
AS

P1
P0

Inflationary gap
AD1
AD0
Y
Y0

Y1

Sumber : Mankiw (2007)

Gambar 6 Inflationary gap

Jumlah Uang Beredar
Seluruh aspek kehidupan dalam peradaban modern saat ini sangat
dipengaruhi oleh uang. Seluruh peradaban di dunia ini tidak ada satupun yang
tidak mengenal dan menggunakan uang. Kalaupun ada, maka perekonomian
dalam peradaban tersebut akan mengalami stagnan atau tidak berkembang
(Judisseno 2002).
Bahan (material) uang yang beredar di masyarakat terbuat dari logam dan
kertas. Menurut teori perbankan, jenis uang yang beredar di masyarakat terdiri
dari uang kartal dan giral. Uang kartal adalah jenis uang yang dikeluarkan oleh BI
sedangkan uang giral dikeluarkan oleh bank umum (Sardjonopemono 1993).

13

Jumlah uang beredar dalam artian sempit didefinisikan sebagai (M1) yang
merupakan jumlah seluruh uang kartal yang dipegang anggota masyarakat (the
nonbank public) dan “demand deposit” yang dimiliki oleh perseorangan pada
Bank-bank umum (M1 = kartal + demand deposit (DD)). Definisi dalam arti luas
adalah M2 yang merupakan penjumlahan dari M1 dengan “time deposit (TD) =
deposito berjangka” (M2 = M1 + TD). Definisi yang paling luas dikenal dengan
M3 yang merupakan penjumlahan dari M2 dengan semua deposito pada lembagalembaga keuangan yang lain (nonbank) (Sardjonopermono 1993).
Bank sentral (Bank Indonesia) mengendalikan jumlah uang beredar secara
tidak langsung dengan mengubah basis moneter maupun rasio deposito-cadangan.
Bank sentral memiliki tiga instrumen kebijakan moneter (Mankiw 2007), yaitu :
1. Operasi pasar terbuka, merupakan pembelian dan penjualan obligasi
pemerintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari
publik, jumlah uang beredar yang dibayarkan untuk obligasi itu akan
meningkatkan basis moneter sekaligus meningkatkan jumlah uang beredar
yang ada di masyarakat.
2. Persyaratan cadangan, merupakan peraturan bank sentral yang menuntut
bank-bank untuk memiliki rasio deposito-cadangan minimum. Kenaikan
dalam persyaratan cadangan akan meningkatkan rasio deposito-cadangan
dan menurunkan pengganda uang serta jumlah uang beredar.
3. Tingkat diskonto, merupakan tingkat bunga yang dikenakan bank sentral
ketika memberi pinjaman kepada bank-bank. Bank meminjam dari bank
sentral ketika cadangan mereka terlalu sedikit untuk memenuhi
persyaratan cadangan. Semakin kecil tingkat diskonto, semakin murah
cadangan yang dipinjamkan, dan semakin banyak bank yang meminjam
dengan fasilitas discount window bank sentral. Maka, penurunan tingkat
diskonto meningkatkan basis moneter dan jumlah uang beredar.

Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang atau yang sering disebut dengan kurs atau valuta
asing adalah harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau
dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing. Nilai
tukar mata uang antara dua negara adalah harga dari mata uang yang digunakan
oleh penduduk negara-negara terebut untuk saling melakukan perdagangan antara
satu sama lain (Mankiw 2007).
Menurut Suseno (2004) mengklasifikasikan sistem nilai tukar dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Absolutely Fixed Exchange Rate Regime (Sistem Nilai Tukar Tetap)
Pada sistem nilai tukar tetap ini, mata uang suatu negara ditetapkan secara
tetap dengan mata uang asing tertentu, misalnya, mata uang rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat (USD). Di Indonesia sistem ini pernah
diterapkan, yaitu ketika dikeluarkannya UU No.32 Tahun 1964. Pada
periode ini nilai tukar Rupiah pernah ditetapkan sebesar Rp 250,- per
USD.

14

2. Pure Floating Exchange Rate Regime (Sistem Nilai Tukar Mengambang
Penuh)
Pada sistem ini nilai mata uang akan dapat berubah setiap saat tergantung
dari pemintaan dan penawaran mata uang domestik relatif terhadap mata
uang asing dan perilaku spekulan. Dalam sistem nilai tukar mengambang
murni, bank sentral tidak menargetkan besarnya nilai tukar dan melalukan
intervensi langsung ke pasar valuta asing. Sistem ini diterapkan di
Indonesia pada saat ini.
3. Fixed But Adjustable Rate (Sistem Nilai Tukar tetap Tetapi Dapat
Disesuaikan)
Sistem nilai tukar ini merupakan kombinasi dari sistem nilai tukar tetap
dengan sistem nilai tukar mengambang murni. Dalam sistem ini, besarnya
nilai tukar ditetapkan oleh pembuat kebijakan, bank sentral, dan
dipertahankan melalui intervensi langsung di pasar valuta asing atau bank
sentral mengarahkan pasar dengan jalan menjual dan membeli valuta asing
dengan harga tetap. Sistem ini dicirikan dengan adanya komitmen dari
bank sentral/pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar sebesar
tertentu. Nilai tukar dapat berubah, tetapi penyesuaiannya jarang dilakukan
untuk menjaga kredibilitas.
Faktor yang mempengaruhi nilai tukar atau valuta asing dapat dilihat dari
sisi permintaan dan penawaran. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan valuta asing yaitu, pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi
impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing
sehingga nilai tukar akan cenderung melemah (depresiasi). Sebaliknya, jika impor
menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong
menguatnya nilai tukar (apresiasi). Kedua, faktor aliran modal keluar (capital
outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan
valuta asing dan pada lanjutannya nilai tukar akan terdepresiasi. Aliran modal
keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta maupun
pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar
negeri. Ketiga, kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta
asing yang dilakukan oleh spekulan maka semakin besar permintaan terhadap
valuta asing sehingga melemahkan nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang
asing.
Faktor utama dalam sisi penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua
faktor. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume
penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang
dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang
asing cenderung menguat atau apresiasi. Sebaliknya, jika ekspor menurun, maka
jumlah valuta asing yang dimiliki semakin menurun sehingga nilai tukar juga
cenderung mengalami depresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital
inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung
menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar
negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (Portofolio investment)
dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment).

15

Purchasing Power Parity (PPP)
Purchasing Power Parity (PPP) dikembangkan oleh Gustav Cassell’s yang
menulis pada 1920an (Lukas 2009). Konsep dasar yang melandasi teori PPP ini
adalah dorongan arbitrase akan mengarahkan kepada persamaan harga barang
secara internasional saat harga diukur dalam mata uang yang sama. Teori ini
merepresentasikan aplikasi „law of one price‟.
Law of One Price
Law of One Price mengatakan bahwa kehadiran struktur pasar yang
kompetitif dan ketiadaan biaya transportasi dan hambatan lainnya untuk
perdagangan, produk yang sama, yang akan dijual pada pasar yang berbeda akan
dijual pada harga yang sama ketika dinyatakan dalam mata uang yang sama.
Pendekatan Moneter untuk Nilai Tukar
Pendekatan moneter (monetary approach) untuk nilai tukar dikembangkan
pada akhir 1970an sebagai respon terhadap fleksibilitas yang dihadapi oleh
kebanyakan negara industri setelah 1973. Pendekatan moneter ini dimulai dari
definisi nilai tukar. Nilai tukar adalah harga mata uang asing dijual dalam mata
uang domestik. Dalam pendekatan moneter, nilai tukar ditentukan oleh
permintaan dan penawaran mata uang antar dua negara karena konsep nilai tukar
yang digunakan adalah nilai tukar bilateral. Secara lebih spesifik, untuk menjaga
keseimbangan pasar uang domestik, penawaran uang (money supply) harus sama
dengan permintaan uang (money demand) atau dapat dituliskan sebagai berikut :
...........................................................................................................(2)
dan
................................................................................................(3)
Di mana M/P merepresentasikan penawaran uang riil domestik dan L (i, Y)
adalah permintaan uang dalam negeri sebagai fungsi dari suku bunga domestik (i)
dan pendapatan (Y). Sedangkan M*/P* adalah penawaran uang riil luar negeri,
dan L* (i*, Y*) adalah permintaan uang luar negeri sebagai fungsi dari suku
bunga luar negeri (i*) dan pendapatan luar negeri (Y*).
Untuk mengetahui bagaimana nilai tukar mempengaruhi keseimbangan pasar
uang dapat dijelaskan dengan paritas daya beli / Purchasing Power Parity (PPP).
Tingkat Harga Luar Negeri Mempengaruhi Nilai Tukar
Peningkatan tingkat harga luar negeri dibandingkan dengan tingkat harga
dalam negeri akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang-barang
luar negeti dan meningkatkan permintaan barang dalam negeri. Peningkatan
permintaan terhadap barang dalam negeri akan menyebabkan peningkatan
permintaan terhadap mata uang dalam negeri. Peningkatan permintaan terhadap
mata uang dalam negeri akan menyebabkan nilai tukar dalam negeri terapresiasi.

16

Hubungan Nilai Tukar Dengan Inflasi
The law of one price diartikan sebagai tingkat harga-harga umum barangbarang yang sejenis akan sama di setiap negara apabila di konversikan dalam mata
uang lokal dari masing-masing negara. Pengertian ini sering disebut dengan
konsep absolute purchasing power parity (PPP), yang dapat diformulasikan
sebagai berikut:
P = S P* ...............................................(4)
Dimana P adalah tingkat harga di dalam negeri, S adalah nilai tukar mata
uang asing terhadap mata uang lokal dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.

Tidak
Lansung

Domestic
demand

Net
external
demand

Nilai
Tukar
Langsung

Total
demand

Domestic
Inflationary
pressure

Inflation
Import
prices

Sumber : Suseno (2004)

Gambar 7 Mekanisme transmisi nilai tukar ke inflasi
Berdasarkan Gambar 7, mekanisme langsung dengan mengacu konsep PPP
di atas, dapat dijelaskan hubungan antara nilai tukar dan inflasi pada suatu negara.
Harga barang-barang impor dipengaruhi oleh harga di luar negeri dan nilai tukar.
Apabila harga di luar negeri meningkat, maka harga barang dalam negeri yang
berasal dari impor juga meningkat. Dalam kaitannya dengan nilai tukar, apabila
terjadi penurunan nilai tukar lokal terhadap mata uang asing atau depresiasi maka
harga barang-barang yang diimpor juga meningkat.
Selain itu, untuk hubungan tidak langsung nilai tukar dan harga
ditansmisikan melalui permintaan domestik dan permintaan eksternal bersih atau
ekspor dan impor. Mekanisme transmisi permintaan domestik dapat terjadi
melalui perubahan harga relatif antara harga barang domestik dengan harga
barang impor. Kenaikan harga barang impor relatif terhadap harga barang di
dalam negeri akibat depresiasi mengakibatkan kecenderungan masyarakat untuk
membeli lebih banyak barang di dalam negeri. Kenaikan permintaan tersebut
dapat mendorong peningkatan harga-harga barang dalam negeri. Sementara itu,
transmisi tidak langsung melalui permintaan eksternal bersih terjadi melalui
mekanisme perubahan harga barang-barang impor dan ekspor. Devaluasi nilai
tukar mengakibatkan harga barang impor lebih mahal dan harga barang ekspor
lebih murah. Kenaikan harga barang impor dapat mendorong terjadinya
penurunan jumlah barang impor, sementara penurunan harga barang ekspor dapat
meningkatkan ekspor. Secara keseluruhan kedua faktor ini akan meningkatkan
permintaan eksternal bersih dan pada lanjutannya meningkatkan total permintaan
agregat dan pada akhirnya meningkatkan laju inflasi (Suseno 2004).

17

Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Sutawijaya (2012) yang dianalisis dengan menggunakan
metode OLS (Ordinary Least Square). selama periode tahun 1985 hingga tahun
2005 menunjukkan bahwa variabel JUB dan nilai tukar memiliki pengaruh yang
positif terhadap inflasi di Indonesia. Ketika variabel JUB mengalami kenaikan
sebesar Rp 1 miliar maka akan meningkatkan laju inflasi sebesar 0,00580. Ketika
variabel nilai tukar mengalami kenaikan (apresiasi) sebesar Rp 1 maka variabel
inflasi akan mengalami peningkatan sebesar 0,00427, dengan sumsi faktor lainnya
konstan.
Garcia dan Restrepo (2001) menunjukkan bahwa pass-through nilai tukar
bergantung pada aktivitas ekonomi yang positif di Chile. Output dari aktifitas
ekonomi yang negatif di Chile memberikan dampak kepada tingkat inflasi dan
nilai tukar yang terdepresiasi. Penelitian ini menggunakan data kuartalan dimulai
tahun 1986 hingga tahun 2001. Estimasi model menggunakan Linier Quadratic
Adjustment Cost (LQAC) models.
Hasil penelitian Setyawan (2005) menunjukkan bahwa kausalitas antara
inflasi dengan JUB hanya terjadi satu arah, dimana perubahan JUB lah yang akan
mempengaruhi tingkat inflasi, sedangkan perubahan inflasi belum memiliki
kausalitas terhadap JUB. Pengujian kausalitas ini menggunakan metode Granger
dengan periode tahun 1997 hingga tahun 2005.
Penelitian yang menjadi sumber acuan dalam penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Akinbobola (2012). Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan data kuartalan dari tahun 1986 hingga 2008 dengan menggunakan
metode Vector Error Correction Model (VECM). Hasil empiris yang dihasilkan
adalah dalam jangka panjang peningkatan JUB akan mengakibatkan peningkatan
laju inflasi di Nigeria. Sedangkan untuk pengaruh nilai tukar terhadap inflasi di
Nigeria tidak signifikan.
Kerangka Pemikiran
Perekonomian terbuka adalah suatu sistem ekonomi yang didalamnya
terdapat kegiatan ekspor dan impor yang dilakukan antara satu negara dengan
negara lainnya. Indonesia salah satu dari sekian banyak negara yang menerapkan
perekonomian terbuka. Interaksi Indonesia dengan negara-negara lain terlihat dari
kegiatan perdagangan melalui ekspor impor. Sistem ini memiliki banyak
kelebihan seperti pemenuhan kebutuhan suatu komoditi yang tidak ada di dalam
negeri namun ada di negara lain, sehingga dengan hubungan antar negara,
pemenuhan komoditi tersebut dapat terpenuhi.
Sistem ini tidak selalu memberikan dampak yang positif, namun juga
memiliki beberapa dampak negatif, contohnya adalah ketergantungan suatu
negara terhadap negara lain. Ketergantungan ini terkadang tidak hanya berdampak
pada kegiatan perdagangan, namun terkadang lebih jauh lagi hingga sampai ke
sistem perekonomian suatu negara. Kondisi tersebut pernah dialami oleh
Indonesia, contoh krisis moneter ’98, guncangan kenaikan minyak dunia tahun
2005 dan krisis finansial AS di tahun 2008.

18

Mengatasi krisis atau dampak yang disebabkan oleh krisis dari dalam
maupun luar negeri, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan mikroekonomi
dan kebijakan makroekonomi. Kebijakan mikroekonomi adalah kebijakan yang
mengatur perilaku rumah tangga dan perusahaan dalam mengambil keputusan
yang berinteraksi di pasar. Kebijakan makroekonomi adalah kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur perekonomian secara menyeluruh,
seperti pengendalian laju inflasi.
Pengendalian laju inflasi menjadi tujuan utama pemerintah dalam menjaga
stabilitas ekonomi negara. Laju inflasi yang tinggi dapat memberikan dampak
negatif terhadap stabilitas negara. Pada periode penelitian di tahun 2005 dan tahun
2008, laju inflasi Indonesia mengalami guncangan yang cukup tinggi. Tahun 2005
laju inflasi disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan tahun 2008
disebabkan oleh krisis finansial di AS.
Laju inflasi yang tinggi di tahun 2005 memberikan dampak terhadap
kenaikan harga barang dan jasa yang ada di dalam negeri. Pada saat itu,
pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Sebelumnya, pemerintah memiliki cara untuk mengendalikan laju inflasi
Indonesia yaitu dengan cara mengontrol jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Namun, kebijakan tersebut sudah tidak lagi digunakan karena dianggap sudah
tidak cocok untuk pengendalian laju inflasi di Indonesia. Pada tahun 2005,
pemerintah memiliki kebijakan baru dalam pengendalian laju inflasi yaitu dengan
inflation targeting, akan tetapi dalam penerapannya kebijakan tersebut pun tidak
pernah berhasil dalam mengendalikan laju inflasi yang diharapkan.
Laju inflasi Indonesia kembali bergejolak di tahun 2008, meskipun
angkanya tidak setinggi di tahun 2005. Krisis finansial di AS yang menjadi
penyebab meningkatnya laju inflasi Indonesia pada saat itu. Krisis tersebut
memberikan dampak yang cukup besar untuk Indonesia, terlihat dari merosotnya
nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah membuat neraca pembayaran
menjadi defisit, sehingga dampaknya laju pertumbuhan ekonomi menjadi turun.
Laju inflasi yang cukup

Dokumen yang terkait

Analisis pengaruh nilai tukar, kridit, suku bunga SBI, Inflasi dan investasi terhadap jumlah uang beredar (m2) di Indonesia

0 3 157

Analisis pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dan Dollar Inflasi, dan Jumlah uang beredar (M2) terhadap dana pihak ketiga (DPK) serta implikasinya pada pembiayaan Mudharabah pada perbankan Syariah di Indonesia

0 13 137

Analisis Pengaruh Perubahan BI rate, Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar, Inflasi, IHSG dan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Tingkat Pengembalian Saham PT. bank Mandiri (Persero) Tbk

3 10 115

Pengaruh variabel makro ekonomi terhadap harga saham syariah di Indonesia dan Malaysia periode Mei 2011 – Desember 2015

0 14 127

DAMPAK KETIDAKSTABILAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP PERMINTAAN UANG M2 DI INDONESIA

1 5 16

ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SUKU BUNGA, DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, Suku Bunga, dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Surakarta Tahun 1995-2014.

0 3 11

ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, Suku Bunga, dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Surakarta Tahun 1995-2014.

0 3 14

DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DAN PERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI APLIKASI THRESHOLD MODEL.

0 2 108

PENGARUH PDB, BI RATE, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN NILAI TUKAR TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2008-2014.

0 0 16

DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DAN PERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI APLIKASI THRESHOLD MODEL

0 0 16