Invasi Jepang dan Pergerakan Paska Kemerdekaan

3.6 Invasi Jepang dan Pergerakan Paska Kemerdekaan

Setelah tanggal 8 Desember 1941 - waktu Jepang menyerang Pearl Harbour, Hong Kong, Pilipina dan Malaysia - Belanda segera bergabung dengan sekutunya mendeklarasikan perang terhadap Jepang. Invasi Jepang di Indonesia dimulai pada tanggal 10 Januari 1942, dan Belanda yang tidak mendapat dukungan dari rakyat Indonesia menyerah pada tanggal 8 Maret 1942 (Ricklefs 2001, p. 244). Pada masa pendudukan Jepang, seluruh layanan perpustakaan umum dilarang di Indonesia (Natadjumena, 1997). Namun invasi tersebut ternyata banyak mendukung penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, suatu hal yang tidak disadari oleh Jepang. Jepang ingin mempromosikan bahasa dan budaya mereka sendiri, namun mereka menyadari bahwa hampir semua orang di Indonesia belum bisa berbahasa Jepang, sehingga mereka menerima penggunaan bahasa Melayu sebagai solusi yang menjembatani ketidakmampuan Setelah tanggal 8 Desember 1941 - waktu Jepang menyerang Pearl Harbour, Hong Kong, Pilipina dan Malaysia - Belanda segera bergabung dengan sekutunya mendeklarasikan perang terhadap Jepang. Invasi Jepang di Indonesia dimulai pada tanggal 10 Januari 1942, dan Belanda yang tidak mendapat dukungan dari rakyat Indonesia menyerah pada tanggal 8 Maret 1942 (Ricklefs 2001, p. 244). Pada masa pendudukan Jepang, seluruh layanan perpustakaan umum dilarang di Indonesia (Natadjumena, 1997). Namun invasi tersebut ternyata banyak mendukung penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, suatu hal yang tidak disadari oleh Jepang. Jepang ingin mempromosikan bahasa dan budaya mereka sendiri, namun mereka menyadari bahwa hampir semua orang di Indonesia belum bisa berbahasa Jepang, sehingga mereka menerima penggunaan bahasa Melayu sebagai solusi yang menjembatani ketidakmampuan

Tiba-tiba saja, bahasa Melayu de facto menjadi bahasa administrasi dan pendidikan. Ini, bersama-sama dengan peraturan Jepang yang keras untuk menghindari penggunaan istilah dalam bahasa Belanda pada teks bahasa Melayu, menjadikan bahasa Melayu berkembang dengan sangat cepat. Editor surat kabar, yang tidak bisa bergantung pada istilah bahasa Belanda, dipaksa untuk menemukan kata-kata baru yang sering dipinjam dari bahasa Jawa dan Sansekerta (op. cit. hal. 112). Pada waktu kekalahan Jepang semakin dekat, sebuah komite yang merencanakan kemerdekaan Indonesia telah terbentuk, dan mereka membuat rancangan konstitusi baru dalam bahasa Melayu – diberi nama Bahasa Indonesia – yang menjadi bahasa nasional (op. cit. hal.113). Kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun pasukan Belanda mencoba untuk mengambil kembali koloninya dan pertempuran-pertempuran tetap berlangsung hingga tahun 1949 (op. cit. hal. 115). Sayang sekali, banyak perpustakaan yang hancur pada masa pendudukan dan perang paska kemerdekaan (Lee, 1957).

Presiden pertama Indonesia merdeka, Sukarno, memulai program pembangunan bangsa yang baru. Ada hubungan yang kuat antara pengaksaraan, anti-penjajahan dan nasionalisme, dan kampanye anti buta aksara menjadi sangat penting (Hadi, 1956). Pada kenyataannya, kelompok- kelompok revolusioner telah mulai mengorganisir pelatihan anti buta aksara jauh sebelum mereka mendapat dukungan dari pemerintah. Di tahun 1946, pemerintah mengadakan penelitian buta aksara dan mendirikan sebuah departemen khusus yang memimpin aktivitas berskala besar pada tahun 1948 (Hadi, 1957). Sebuah hirarki dari perpustakaan dirancang dalam tiga tingkat. Tingkat A di subdistrik, dirancang bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan dasar. Tingkat B di tingkat kabupaten dan kota diperuntukkan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah dan tingkat C dibangun di ibukota propinsi. Pada tahun 1959 terdapat 1,469 perpustakaan tingkat A, 192 perpustakaan tingkat B dan 19 perpustakaan tingkat C (Tjoen, 1966).

Indonesia adalah negara dengan 160,000 pulau, dimana 8,000 diantaranya berpenghuni, dan bisa diketahui, bahwa perpustakaan-perputakaan tersebut tidak pernah dimaksudkan, juga tidak mampu, menyediakan akses bagi masyarakat secara umum. Perpustakaan dibawah tingkat A menjadi tanggung jawab dari pemerintah lokal bersama dengan kelompok masyarakat, yang didukung oleh Jawatan Pendidikan Masyarakat. Pada tahun 1956, ditengah panasnya pergerakan kemerdekaan, Hadi (1956) melaporkan bahwa 16,000 perpustakaan desa (disebut perpustakaan rakyat ) telah dibuka dengan asumsi “Masyarakat dapat mengorganisir pelayanan perpustakaan bagi mereka sendiri jika masalah persediaan perpustakaan diselesaikan ditingkat nasional” . Komite lokal dibentuk di desa-desa, dan perpustakaan dimelayani ratusan pustakawan sukarela, sedangkan masyarakat setempat menyediakan perumahan yang layak dan tenaga kerja sukarela (ibid).

Kami tidak yakin bahwa angka-angka tersebut akurat. Tjoen, dalam tulisan yang banyak mengutip Perpustakaan dari zaman ke zaman (1966), mencatat pemahaman masyarakat terhadap perpustakaan sangatlah lemah di awal periode paska kemerdekaan, dan membuat daftar tiga pandangan umum. Pertama, mereka memandang bahwa perpustakaan hanya diperuntukkan bagi para ahli, lulusan sekolah dan kaum intelektual. Kedua, masyarakat Kami tidak yakin bahwa angka-angka tersebut akurat. Tjoen, dalam tulisan yang banyak mengutip Perpustakaan dari zaman ke zaman (1966), mencatat pemahaman masyarakat terhadap perpustakaan sangatlah lemah di awal periode paska kemerdekaan, dan membuat daftar tiga pandangan umum. Pertama, mereka memandang bahwa perpustakaan hanya diperuntukkan bagi para ahli, lulusan sekolah dan kaum intelektual. Kedua, masyarakat

Dimaklumi bahwa pada masa kemerdekaan dan beberapa tahun sesudahnya itu Pemerintah Republik Indonesia baru berjalan pada tahap awal sekali. Belum terpikirkan adanya unit yang menangani khusus tentang perpustakaan beserta pembinaannya. Oleh karena itu, belum juga dilakukan pendokumentasian mengenai proses dan hasil penyelenggaraan perpustakaan di Indonesia (ibid.)

Akan sangat menarik melakukan riset dokumen untuk mempelajari lebih banyak tentang program ini, namun yang pasti adalah antusiasme itu berlangsung sangat pendek. Tjoen (1966) menjelaskan bahwa terbatasnya dana, dan situasi politik pada pemerintahan Sukarno menyebabkan perpustakaan-perpustakaan desa tidak berkembang lebih lanjut, dan banyak dari mereka yang tutup kembali (lihat juga Anuar, 1983).